27
STUDI DESKRIPTIF TENTANG MEKANISME KOPING PASIEN HEMODIALISIS DI RSUD RATU ZALEKHA MARTAPURA

He Modi Alisa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: He Modi Alisa

STUDI DESKRIPTIF

TENTANG MEKANISME KOPING PASIEN HEMODIALISIS

DI RSUD RATU ZALEKHA MARTAPURA

Page 2: He Modi Alisa

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit apapun yang berlangsung dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai

suatu penderitaan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya.

Pada dasarnya semua manusia ingin agar tubuhnya selalu dalam kondisi sehat, baik sehat fisik

maupun psikologisnya (jiwa). Patricia, 2005 mengatakan bahwa dalam rentang kehidupan

selalu terjadi permrasalahan kesehatan (penyakit) yang diderita oleh seorang manusia.

Penyakit yang diderita seorang manusia bentuknya bermacam-macam, seperti

penyakit ringan yang membutuhkan pengobatan murah dan waktu singkat, akan tetapi ada

juga penyakit berat (kronis) dan berbahaya bagi kelangsungan hidup seseorang yang

membutuhkan proses pengobatan mahal dan waktu yang panjang (lama) sehingga

berpengaruh terhadap kondisi psikososial seseorang. Salah satu penyakit berat dan berbahaya

tersebut adalah penyakit gagal ginjal.

Secara global terdapat 200 kasus gangguan ginjal per sejuta penduduk. 8 juta di

antara jumlah populasi yang mengalami gangguan ginjal berada dalam tahap gagal ginjal

kronis. Cohen et al., 2004, dalam penelitiannya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara

keadaan gagal ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri pada pasien. Kondisi ini bisa terjadi

pada kasus gagal ginjal akut maupun yang kronis.

Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan penyakit yang

kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan,

frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya. (Harvey S, 2007). Clinar et al, 2009

menyebutkan bahwa terdapat 24 stressor yang muncul pada pasien hemodialisis diantaranya

keterbatasan, kelemahan, ketergantungan pada mesin hemodialisis dan ketidakpastian masa

depan. Kondisi yang telah disebutkan di atas yang membuat salah satu tugas perawat dialisis

sebelum melakukan prosedur hemodialisis kepada pasien disarankan untuk menilai status

kesehatan jiwa pasien yang akan dihemodialisis (Hudson et al, 2005).

Di RSUD Ratu Zalekha Martapura adalah salah satu Rumah Sakit yang menyediakan

pelayanan terapi hemodialisis, dan sampai dengan tahun 2012 ini jumlah pasien dengan terapi

hemodialisis berjumlah ………………………

Page 3: He Modi Alisa

Dalam wawancara dan observasi awal terhadap pasien ruangan hemodilisa RSUD

Ratu Zalekha Martapura didapatkan beberapa tanda dan gejala perubahan pada tubuh pasien

hemodialisis seperti adanya inflamasi (pembengkakan), pruritus, kulit kering dan belang

sebagai akibat dari proses terapi hemodialisis

Dari data-data yang telah disebutkan, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan

penelitian tentang gambaran (dekriptif) mekanisme koping (pertahanan diri) pada pasien yang

sedang menjalani proses terapi hemodialisis di ruang hemodialisa RSUD Ratu Zalekha

Martapura.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah

“Bagaimanakah mekanisme koping (pertahanan diri) pasien hemodialisis di ruang

hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura?”

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme koping pada pasien hemodialisis di

ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui jenis mekanisme koping yang terjadi pada pasien hemodialisis di ruang

hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan, khususnya ilmu keperawatan pada

pasien dengan terapi hemodialisis.

2. Bagi Profesi Perawat

Penelitian ini akan berguna sebagai referensi baru bagi perawat rumah sakit,

khususnya yang bekerja di ruang hemodialisis, sehingga perawat dapat mengetahui

mekanisme koping yang terjadi pada pasien yang dirawatnya.

3. Bagi Keluarga Pasien

Page 4: He Modi Alisa

Penelitian ini akan berguna untuk menjadi informasi dalam membuat keputusan-

keputusan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sedang menjalani terapi

hemodialisis.

4. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberikan pengalaman baru bagi peneliti dalam

mengidentifikasi mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis

RSUD Ratu Zalekha Martapura

Page 5: He Modi Alisa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah terjadinya gangguan pada fungsi renal (ginjal) yang

progresif dan irreversible yang diikuti dengan ketidakmampuan tubuh dalam

mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga

menyebabkan terjadinya retensi urea dan penumpukan sampah nitrogen lain di dalam

darah atau uremia (Smeltzer, 2002). Sedangkan Corwin, 2006 menyatakan bahwa

keadaan GGK merupakan kerusakan (destruksi) yang terjadi pada struktur ginjal yang

bersifat progresif dan terus-menerus. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa

keadaan GGK adalah penurunan atau kerusakan struktur ginjal yang berakibat pada

terganggunya fungsi dan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan produk metabolism

tubuh.

2. Etiologi

Faktor penyebab gagal ginjal kronik dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:

1) Penyebab Pre-Renal:

Berupa gangguan aliran darah ke arah ginjal sehingga ginjal kekurangan suplai

darah yang menyebabkan hipoksia jaringan ginjal. Hal ini berlanjut dengan

terjadinya kerusakan jaringan ginjal. Contohnya adalah, volume darah berkurang

akibat dehidrasi berat, kehilangan darah dalam jumlah besar, daya pompa jantung

berkurang dan adanya sumbatan pada arteri yang menuju ginjal.

2) Penyebab Renal:

Berupa gangguan atau kerusakan yang mengenai jaringan ginjal sendiri, contohnya

kerusakan ginjal akibat diabetes mellitus (diabetic nephropathy), hipertensi

(Hypertensive nephropathy), penyakit system kekebalan tubuh seperti SLE (Systemic

Lupus Erithematosus), peradangan, keracunan obat, kista dalam ginjal dan berbagai

gangguan aliran darah dalam ginjal. Manurut Roesly, 2008, berdasarkan data IRR

(Indonesian Renal Registry) pada tahun 2007-2008, urutan faktor penyebab GGK

terbanyak adalah sebagai berikut:

a. Glomerulonefritis (25%)

b. Diabetes Melitus (23%)

Page 6: He Modi Alisa

c. Hipertensi (20%), dan

d. Ginjal Polikistik (10%)

3) Penyebab Post-Renal

Berupa gangguan atau hambatan aliran keluar (out put) urin sehingga

terjadi aliran Patologi balik urin yang berakibat pada kerusakan ginjal, misalnya

adanya batu ureter sampai uretra, penyempitan akibat saluran tertekuk,

pembesaran prostat, tumor dan lain-lain.

3. Gambaran Klinis

Gambaran klinis gagal ginjal kronik berat disertai syndrome azotemia sangat

kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti; kelainan hemopoeisis,

saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan

kardiovaskular (Sukandar, 2006)

1) Kelainan hemopoeisis

Terjadinya anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU)

sering ditemukan pada pasien GGK. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila

ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kurang dari 25 ml/min.

2) Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien

GGK stadium terminal. Patogenesis terjadinya mual dan muntah diduga

mempunyai hubungan dengan dekompresi flora usus sehingga terbentuk

ammonia. Amonia inilah yang mengakibatkan iritasi dan rangsangan lambung dan

usus halus.

3) Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amourosis) dapat dijumpai pada sebagian kecil pasien

GGK. Gangguan visus ini akan hilang beberapa hari setelah mendapatkan

pengobatan GGK yang adekuat, seperti hemodialisis. Kelainan saraf mata

mengakibatkan terjadinya nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Penimbunan atau

deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome

akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada

beberapa pasien GGK akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

4) Kelainan kulit

Keluhan gatal sering terjadi pada pasien GGK yang diduga berhubungan

dengan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan akan hilang setelah

Page 7: He Modi Alisa

dilakukan paratiroidektomi. Kulit pasien biasanya kering dan bersisik dan sering

ditemukan timbunan kristal urea pada kulit wajah (urea frost).

5) Kelainan selaput serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai

pada GGK stadium terminal. Adanya kelainan ini merupakan indikasi mutlak untuk

segera dilakukan dialysis.

6) Kelainan neuropsikiatri

Gangguan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia dan depresi

sering di jumpai pada pasien GGK. Selain itu dapat juga terjadi gangguan mental

berat seperti konfulsi, dilusi bahkan gejala psikosis. Gangguan mental ini dapat

dijumpai pada pasien dengan atau tanpa terapi hemodialysis, tergantung pada

dasar kepribadian (personality)

7) Kelainan kardiovaskular

Pathogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada pasien GGK sangat

kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hypertensi, aterosklerosis, kalsifikasi

system vaskular sering dijumpai pada pasien GGK stadium terminal dan dapat

berakibat pada kegagalan faal jantung.

4. Stadium

Penurunan fungsi ginjal yang berujung pada keadaan Gagal Ginjal Kronik (GGK)

berlangsung seiring dengan berjalannya waktu. Apabila kerusakan ginjal dapat

diketahui sedin mungkin maka akan dapat dilakukan pengobatan untuk memperlambat

penurunan fungsi ginjal sehingga tidak mencapai GGK stadium akhir. Hartono, 2008

menyatakan bahwa sangat penting bagi penderita untuk mengetahui stadium berapa

penyakit ginjal yang dideritanya agar tim medis dapat menentukan jenis terapi yang

tepat. Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) membagi 5 stadium penyakit ginjal

berdasarkan penghitungan nilai GFR (Glomerular Filtration Rate) sebagai berikut:

table 2.1

Stadium Gagal Ginjal Kronik

STADIUM GFR KETERANGANSTADIUM 1 > 90 ml/min NormalSTADIUM 2 60-89 ml/min RinganSTADIUM 3 30-59 ml/min ModeratSTADIUM 4 15-29 ml/min ParahSTADIUM 5 > 15 ml/min Terminal

sumber : YDGI, 2008

Page 8: He Modi Alisa

5. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan atau pengobatan pada pasien dengan GGK adalah untuk

mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer, 2002).

Sedangkan FK Universitas Indonesia, 2006 menjelaskan bahwa penanganan tahapan

GGK dapat dibagi menurut beberapa cara antara lain dengan memperhatikan fungsi faal

ginjal yang masih tersisa. Apabila fungsi faal ginjal yang tersisa sangat minim, sehingga

usaha konservatif seperti diet, pembatasan minum dan obat-obatan tidak dapat

memberikan pertolongan yang diharapkan lagi, maka keadaan ini disebut dengan Gagal

Ginjal Terminal (GGT). Prosedur pengobatan yang harus dilakukan adalah hemodialysis

atau transplantasi ginjal. Diantara kedua prosedur ini, yang banyak digunakan adalah

hemodialysis, karena prosedur transplantasi ginjal biayanya sangat mahal dan sulit

untuk mendapatkan pendonor ginjal (Iskandarsyah, 2006)

FKUI, 2006 secara umum membagi jenis terapi pengganti menjadi:

table 2.2

Berbagai Jenis Terapi Penggganti Ginjal

I. Dialisisa. Dialisis Peritoneal

b. Hemodialisis

DP Intermiten (DP) DP mandiri berkesinambungan (DPMB) DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) DP noktural (DPN)

II. Transpalantasi Ginjal (TG) TG donor hidup (TGDH) TG donor jenazah (TGDJ)

Terapi Hemodialisis dibutuhkan bila fungsi ginjal seseorang telah mencapai

tingkat akhir (stadium 5) atau yang sering disebut Gagal Ginjal Terminal (GGT). Pada

keadaan ini, hemodialisis dilakukan dengan cara mengalirkan darah ke dalam tabung

ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari 2 kompartemen yang terpisah.

Page 9: He Modi Alisa

B. Mekanisme Koping

1. Definisi

Koping merupakan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh seseorang (individu) untuk

menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan atau ancaman

(Siswanto 2007). Lubis, 2006 menyatakan dalam konsep kesehatan mental, koping

adalah proses penyesuaian diri seseorang dalam menghadapi stress. Sehingga dapat

dikatakan perilaku yang mengarah pada apa saja yang dilakukan oleh individu dalam

mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh dengan tekanan atau yang dapat

membangkitkan emosi.

2. Jenis Koping

Terdapat 2 ahli yang membagi jenis koping secara berbeda beda, yaitu Lazarus dan

Harber et.al. (Siswanto, 2007). Pembagian jenis koping berdasarkan pendapat kedua ahli

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Lazarus, 1976, membagi 2 jenis koping, yaitu:

1) Tindakan langsung (Direct action)

Koping ini adalah tindakan yang langsung dapat dilakukan oleh individu untuk

mengatasi ancaman, kesakitan atau lukan dan tantangan. Terdapat 4 jenis

mekanisme direct action ini, yaitu:

a) Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka

b) Agresi, yaitu melakukan tindakan serangan terhadap agen yang dinilai

mengancam

c) Penghindaran (avoidance)

d) Apati, yaitu tindakan yang dilakukan untuk menerima begitu saja ancaman

dan tantangan. Biasanya mekanisme ini dilakukan oleh orang yang sudah

putus asa.

2) Peredaan atau Peringanan (Pallation)

Mekanisme koping ini berorintasi untuk meringankan, mengurangi atau

mentoleransi tekanan dan ancaman. Terdapat 2 jenis pallation, yaitu:

a) Diarahkan pada gejala (Symptom direct modes), untuk mengurangi

gangguan yang disebabkan oleh tekanan tersebut.

b) Cara intrapsikis (intrapsychis modes) atau mekanisme pertahanan diri

(defence mechanism), yaitu mekanisme koping yang bersifat menyaring

realita, terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi sehingga dapat

digolongkan sebagai koping yang tidak sehat (destruction), kecuali Sublimasi.

Page 10: He Modi Alisa

Macam-macam mekanisme ini adalah sebagai berikut, denial, Identifikasi,

Pengalihan (displacement), reaksi formasi, proyeksi, rasionalisasi dan

sublimasi

b. Harber dan Runyon, 1984 membagi jenis koping yang bersifat konstruktif sebagai

berikut:

1) Penalaran, menggunakan kemampuan kognitif

2) Obyektifitas, pembedaan antara emosi dan logika dalam pemikiran dan

penalaran

3) Konsentrasi, kemampuan memusatkan perhatian secara penuh

4) Humor, melihat hal yang dianggap lucu dari persoalan yang dihadapi

5) Supresi, kemampuan menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada

6) Toleransi terhadap kekhawatiran atau amibuitas, yaitu adanya kemampuan

untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas

7) Empati, melihat sesuatu dari pandangan orang lain

c. Maramis, 2005, menjelaskan mengenai mekanisme strategi koping dalam

menghadapi stress, sebagai berikut:

1) Cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented), yaitu cara yang

bertujuan untuk mengahdapi tuntutan, ancaman dan tantangan secara sadar,

realistis, obyektif dan rasional. Cara ini dapat dilakukan secara terbuka maupun

terselubung, seperti;

a) Serangan atau menghadapi ancaman secara frontal (terang-terangan)

b) Penarikan diri, dan

c) Kompromi.

2) Cara penyesuaian yang berorientasi pada pembelaan ego (ego defence oriented),

yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi diri sendiri terhadap rasa

devaluasi diri dan kecemasan yang mengancam atau menyakitkan, diantaranya:

a) Fantasi, keinginan yang tidak terkabul dipuaskan dengan imajinasi

b) Penyangkalan, tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang

menakutkan

c) Rasionalisasi, berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan (yang

sebenarnya tidak baik) rasional dan dapat dibenarkan serta diterima

Page 11: He Modi Alisa

d) Identifikasi, menambah rasa harga diri dengan menyamakan dirinya dengan

seseorang atau suatu hal yang dikaguminya

e) Introyeksi, individu menerima dan memasukan ke dalam pendiriannya

berbagai aspek keadaan yang mengancamnya

f) Represi, secara sadar menekan pemikiran yang berbahaya dan yang

menyedihkan keluar dari alam sadar ke alam tak sadar manusia

g) Regresi, kembali ke taraf perkembangan yang sudah dilalui

h) Proyeksi, menyalahkan orang lain mengenai kesulitannya sendiri atau

melemparkan kepada orang lain keinginan sendiri yang kurang baik

i) Penyusunan reaksi, supaya tidak menuruti keinginan yang jelek, maka

sebagai penghalang diambil sikap dan perilaku yang sebaliknya, tetapi

dilakukan secara berlebihan

j) Sublimasi, nafsu yang tidak terpenuhi (sexual) disalurkan kepada kegiatan

lain yang dapat diterima oleh masyarakat

k) Kompensasi, menutupi kelemahan dengan cara menonjolkan sifat yang baik

l) Salah-pindah, emosi dalam arti simbolik atau fantasi terhadap seseorang

atau suatu benda, dicurahkan kepada seseorang atau benda lain yang

biasanya kurang berbahaya dari pada benda semula

m) Pelepasan, meniadakan atau membatalkan suatu fikiran, kecenderungan

atau tindakan yang tidak disetujui

n) Penyekatan emosi, individu mengurangi tingkat keterlibatan emosinalnya

dalam keadaan yang dapat menimbulkan kekecewaan atau yang

menyakitkan

o) Isolasi, merupakan bentuk penyekatan emosional yang mana beban emosi

dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan atau diubah (distorsi)

p) Simpatisme, berusaha untuk mendapatkan simpati dengan cara

menceritakan “berbagai kesukaran hidupnya”

q) Pemeranan, mengurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh berbagai

keinginan yang terlarang dengan membiarkan ekspresinya dan

melakukannya

Ke 17 ego oriented ini dikatakan koping mal adaftif bila digunakan secara

terus-menerus, karena sifat koping ini tidak realistis, cenderung menipu diri

sendiri, bekerja asecara tidak disadari dan sulit dievaluasi secara sadar

(Maramis, 2007)

Page 12: He Modi Alisa

d. Spirit dan Stark, 1993 (dalam Sarabia, 2007) membagi 3 strategi koping secara lebih

bervariasi sebagai berikut:

1) Strategi koping menghindar (avoidant-coping)

Cirinya adalah pengalihan (distraction), penarikan diri (social withdrawal),

berkhayal (wishfull thinking), dan pengunduran diri (resignation)

2) Strategi koping negative (negative-coping)

Cirinya adalah mengkritisi diri (self critism), mencari kompensasi negatif dengan

cara penyalahgunaan narkoba dan alcohol (substance abuse) dan menyalahkan

orang lain (blaming others) ketika menghadapi masalah.

3) Strategi koping aktif (active coping)

Cirinya adalah individu menggunakan pemecahan masalah (problem solving),

melakukan regulasi emosi (emotional regulation), melakukan restrukturisasi

kognitif (cognitive restructuring) dan mencari dukungan sosial (social support

seeking)

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stress Pasien Hemodialisis

Berdasarkan pendapat beberapa ahli terdapat faktor-faktor yang dapat

menyebabkan mempengaruhi stress pada pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis,

sebagai berikut:

1. Usia

Usia merupakan salah satu factor yang berhubungan erat dengan stress dan juga sebagai

stressor yang paling mengganggu. Pada usia dewasa lebih mampu mengotrol stress

dibandingkan dengan usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007). Akan tetapi

semakin dewasa umur seseorang (semakin tua), maka akan terjadi proses penurunan

kemampuan fungsi organ tubuh (regeneratif) yang akan mempengaruhi dalam membuat

sebuah keuptusan seperti halnya penanganan terhadap penyakit GGK dan terapi

hemodialisis sehinggan pasien dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks (Toya,

2002)

2. Jenis kelamin

Wanita biasanya bertahan lebih baik terhadap stressor dibandingkan dengan pria.

Siswanto (2007) menyatakan secara biologis kelenturan tubuh wanita dapat

mentoleransi terhadap stress. Sedangkan Yeh (2009) dalam penelitiaanya menemukan

bahwa jenis kelamin/jender sangat berpengaruh terhadap penyakit, stress serta

penggunaan koping dalam menghadapi masalah.

Page 13: He Modi Alisa

3. Tingkat pendidikan

Notoatmojo (2003) mengatakan bahwa perilaku dan pola hidup seseorang dapat

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena makin tinggi pendidikan seseorang akan

lebih mudah dalam menerima informasi sehingga banyak pengetahuan yang dimiliki.

Sedangkan Siswanto, 2007, menyebutkan bahwa toleransi terhadap stressor dapat

dilakukan dengan lebih baik pada individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

4. Status perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu penyebab stress psikososial, yang mana persoalan-

persoalan perkawinan dapat menjadi sumber stress bagi seseorang, seperti

pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian pasangan (Yosep, 2007). Stressor ini

dapat menyebabkan seseorang jatuh pada depresi dan kecemasan.

5. Status ekonomi

Tingkat ekonomi yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan

kesehatan(Notoatmojo, 2007). Yosep, 2007 menyatakan bahwa masalah keuangan

(kondisi ekonomi) yang tidak sehat dapat mempengaruhi kesehatan jiwa seserang.

Tingkat ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap metoda terapi GGK, biaya yang

besar meliputi pembelian obat, pemeriksaan laboratorium, transportasi, hemodialisis

dan transplantasi. Selain itu aspek penting yang lain adalah terjadinya efek samping

metoda terapi yang juga membutuhkan biaya yang besar (Indonesian Nursing, 2008).

6. Lama terapi

Pada pasien GGK stadium 2 dan 3 yang tidak disertai dengan berbagai komplikasi tentu

memiliki angka keberhasilan dan harapan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan

pasien GGK terminal. Terapi hemodialisis dapat dirasakan manfaatnya bagi pasien yang

sejak awal sudah diketahui ketika ada indikasi dan langsung dirujuk untuk menjalani

terapi hemodialisis (Indonesian Nursing, 2008). Menurut Iskandarsyah, 2006, pasien

yang mampu mentoleransi penyakitnya (GGT) adalah pasien yang telah menjalani terapi

hemodialisis selama 4 tahun.

7. Frekwensi terapi hemodialisis

Semakin lama pasien GGT menjalani terapi hemodialisis, maka akan semakin patuh terhadap proses terapi, sedangkan pasien yang tidak patuh terhadap proses terapi adalah pasien yang belum lama menjalani terapi hemodialisis (Sapri, n.d )

Page 14: He Modi Alisa
Page 15: He Modi Alisa

GAGAL GINJAL TERMINAL HEMODIALISIS STRESS

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep

Terjadinya stress diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan

sumber daya yang dimiliki individu yang mana semakin tinggi kesenjangan yang terjadi maka

semakin tinggi pula tingkat stress yang dialami individu (Yosep, 2007). Stressor merupakan

sumber stress atau penyebab stress. Yosep, 2007 menyatakan bahwa perkawinan, problem

orang tua, pekerjaan, keluarga dan penyakit fisik adalah beberapa penyebab stress.

Apabila individu mampu untuk menggunakan cara-cara adaptif yang sehat dengan

stress yang dialami, walaupun stressor atau tekanan tetap ada, maka individu tersebut tetap

dapat hidup sehat. Bahkan stressor tersebut pada akhirnya akan memunculkan potensi

manusiawi yang tersembunyi secara optimal. Proses penyesuaian diri dalam menghadapi stress

dikenal dengan istilah koping (Lubis, 2006). Siswanto (2007) menyatakan bahwa koping dapat

juga diartikan sebagai hal-hal apa saja yang telah dilakukan oleh individu untuk menguasai

situasi ancaman atau tantangan.

Stress mungkin terjadi pada bidang badaniah (stress fisik atau somatik) seperti infeksi

dan penyakit lainnya yang menggerakkan mekanisme penyesuaian somatik agar

mengembalikan keseimbangan. Reaksi ini berupa zat anti kuman (antibody) dimana butiran

darah putih dimobilisasi ke tempat invasi kuman itu, dan dilanjutkan dengan lebih banyak

kortison dan adrenalin dilepaskan dan sebagainya(Maramis, 2002). Dari penjelasan diatas

dapat dihubungkan antara stress, stressor dan koping. Stress merupaka respon yang muncul

akibat adanya tekanan atau ancaman yang disebut dengan stressor. Ketika individu mengalami

stress karena adanya stressor, maka dibutuhkan mekanisme koping yang sehat untuk

menghadapi stress tersebut

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan tersebut, maka kerangka konsep pada

penelitian ini adalah sebagai berikut

Page 16: He Modi Alisa

B. Definisi Operasional

1. Mekanisme koping adaftif, adalah cara-cara yang bersifat konstruktif yang telah dilakukan

oleh seorang pasien GGT dengan terapi hemodialisis.

2. Mekenism koping mal adaftif adalah cara-cara yang bersifat destruktif yang telah dilakukan

oleh seorang pasien GGT dengan terapi hemodialisis.

Pertanyaan atau kuesioner terdiri dari 24 item, dengan ketentuan kuesioner adaptif di

nomor 1 sampai dengan 12, sedangkan kuesioner mal adaptif di nomor 13 sampai dengan

24. Masing-masing item di berikan skor 1 – 4 dengan ketentuan sebagai berikut:

Nilai 4 : SELALU (S)

Nilai 3 : SERING (SR)

Nilai 2 : KADANG-KADANG (KK)

Nilai 1 : TIDAK PERNAH (TP)

Alat ukur yang digunakan adalah skala Likert, dengan criteria obyektif

Koping adaptif bila skor : 25 sampai 48

Koping mal adaptif bila skor : 12 sampai 24

Page 17: He Modi Alisa

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melakukan deskripsi

terhadap fenomena yang telah ditemukan, baik berupa faktor resiko maupun efek. Data

yang didapatkan disajikan apa adanya dan tidak dianalisi mengapa fenomena itu terjadi,

karena itu dalam penelitian deskriptif tidak diperlukan adanya hipotesis (Sostroasmoro,

2008). Rancangan penelitian bertujuan untuk menggambarkan masalah penelitian yang

terjadi berdasarkan karakterisik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, social, ekonomi,

pekerjaan, status perkawinan, pola hidup dan lain-lain (Hidayat, 2007). Adapun penelitian ini

dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme koping yang dilakukan oleh

pasien GGK/GGT dengan terapi hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha

Martapura

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura, pada

bulan November 2012.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Pada penelitian ini, populasi penelitian adalah semua pasien yang menjalani terapi

hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura

2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total populasi

sampling, yang mana semua pasien yang menjalani terapi hemodialisis di ruang

hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura adalah sampel penelitian dengan kriteria

sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

1) Pasien GGK dengan terapi hemodialisis

2) Pasien rawat inap atau jalan dengan frekwensi HD > 1 kali dalam satu tahun

terakhir

3) Pasien dewasa dengan usia minimal 19 tahun

4) Pendidikan minimal SD

Page 18: He Modi Alisa

5) Pasien askes atau mandiri (swasta)

6) Kesadaran komposmentis dan dapat bekomunikasi

7) Bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian

b. Kriteria eksklusi

1) Pasien GGK yang tidak menjalani HD

2) Hanya melakukan 1 kali dalam 1 tahun terakhir

3) Pasien anak-anak atau remaja (bawah 19 tahun)

4) Pasien dengan gangguan komunikasi dan tidak sadar

5) Tidak bersedia bepartisipasi dalam penelitian

D. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

a. Editing

Setelah data dikumpulkan, maka data diedit dan dilakukan pemeriksaan terhadap

kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman data

b. Koding

Agar proses pengolahan data dapat dilakukan lebih mudah, maka setiap jawaban

diberikan symbol atau kode tertentu

c. Tabulating

Merupakan proses pegolahan data dan selanjutnya data tersebut dianalisis dengan

menggunakan program komputer SPSS for windows versi 16 dan selanjutnya

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi

2. Analisa Data

Analisa yang diguanakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif yang

menggambarkan cara meringkas, menyajikan dan mendiskripsikan data agar dapat

mudah difahami dan mempunyai makna.

Page 19: He Modi Alisa

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Data tentang terapi

hemodialisis dilakukan dengan cara observasi , sedangkan data tentang mekanisme koping

dilakukan dengan cara menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Terdapat 12 item

kuesioner mengenai koping adaptif dan 12 item kuesioner mengenai koping mal adaptif

dengan pemberian skor sebagai beikut:

1. Selalu (s) : 4

2. Sering (sr) : 3

3. Kadang-kadang (kd) : 2

4. Tidak pernah (tp) : 1