Upload
ratih-kusumawardani
View
33
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Ringworm atau DermatofitosisEtiologi Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh cendawan pada bagian kutan/superfisial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk). Trichopyton spp dan Microsporum spp, merupakan 2 jenis kapang yang menjadi penyebab utama ringworm pada hewan. Di Indonesia yang menonjol diserang adalah anjing, kucing dan sapi. Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu sekelompok cendawan dari genus Epidermophyton, Microsporum dan Trichophyton. Cendawan dermatofit penyebab ringworm menurut taksonomi tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes (Ahmad., R.Z. 2009).
Divisi : Amastigomycotina. Sub-Divisi : Ascomycotina Klas : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Family : Moniliaceae Genus : Microsporum, Trichophyton Species : M. canis, M. gypseum, T.mentagrophytes
M. canis bersifat ectothrix dan zoofilik yang terdapat pada kucing, anjing, kuda, dan kelinci, gambaran mikroskopis dari kultur adalah macroconidia berbentuk spindle, berdinding tebal dan kasar. Microconidia berbentuk clubbing dan berdnding halus, sedangkan M. gypseum bersifat ectothrix dan geofilik. Gambaran makroskopisnya macroconidia berbentuk spindle, dinding tipis 3-6 septa, dan microconidianya sedikit dan berbentuk clubbing (Pohan., A. 2009).
Patogenesis Sebaran geografis keberadaannya cukup luas, namun penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama daerah dengan kondisi udara panas dan kelembaban yang tinggi. Kemudian pada daerah yang mempunyai empat musim, setelah periode multiplikasi kapang pada bulu selama musim panas. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena luka, bekas luka atau patahan bulu untuk melangsungkan hidupnya. Dapat tumbuh pada lingkungan kering, dingin, aerobik serta tanpa mikroorganisme lain dan terlindung dari sinar matahari. Di negara-negara yang beriklim subtropik atau dingin, kejadian ringworm lebih sering, karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan-hewan selain kurang menerima sinar matahari secara langsung, juga sering bersama-sama di kandang, sehingga kontak langsung di antara sesama individu lebih banyak terjadi. Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari beberapa faktor seperti faktor virulensi dari dermatofita, faktor trauma, kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, factor suhu dan kelembaban, kurangnya kebersihan dan faktor umur dan jenis kelamin (Ahmad., R.Z. 2009).
Gejala klinis
Kerusakan bulu di seluruh muka, hidung dan telinga
Perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada kaki dan perut bagian bawah
Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan pertumbuhan aktif terdapat pada bulu berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah (Ahmad., R.Z. 2009).
Umumnya gejala-gejala klinik yang ditimbulkan oleh golongan geofilik pada manusia bersifat akut dan sedang dan lebih mudah sembuh.
Dermatofita yang antropofilik terutama menyerang manusia, karena memilih manusia sebagai hospes tetapnya.
Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif, karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan.
Contoh jamur yang antropofilik ialah: Mikrosporon audoinii Trikofiton rubrum. (Boel., T. 2009).
Diagnosa Untuk mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel kerokan kulit, serpihan kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan Wood light, atau pemeriksaan langsung dengan mikroskop dengan KOH, atau pewarnaan, atau dengan membuat biakan pada media. Penyakit ini dapat dikelirukan dengan lesi yang diperlihatkan seperti gigitan serangga, urtikaria, infeksi bakteri dan dermatitis lainnya, namun dengan adanya bentuk cincin pada derah yang terinfeksi dan peneguhan diagnose dengan pemeriksaan laboratorium akan memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit (Ahmad., R.Z. 2009).
Penanganan & pengendalian Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sanitasi kesehatan, lingkungan maupun hewannya. Terdapat 5 kelompok macam obat dengan berbagai cara dapat dipakai untuk menghilangkan dermatofit, yaitu: (1). Iritan, dilakukan untuk membuat reaksi radang sehingga tidak terjadi infeksi dermatofit; (2). Keratolitik, digunakan untuk menghilangkan dermatofit yang hidup pada stratum korneum; (3) Fungisidal, secara langsung merusak dan membunuh dermatofit; (4). Perubah. Merubah dari stadium aktif menjadi tidak aktif pada rambut. Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan adalah mencegah penyebaran sehingga tidak terjadi endemik, peningkatkan masalah kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat dengan cara memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk anjing dan kucing. Vaksinasi adalah pencegahan yang baik. Di Indonesia pemakaian vaksin dermatofit belum dilaksanakan. Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik dan topikal. Secara sistemik dengan preparat Griseofulvin, Natamycin, dan azole peroral maupun intravena dengan cara topikal menggunakan fungisida topikal dengan berulang kali, setelah itu kulit hewan penderita tersebut disikat sampai keraknya bersih; setelah itu dioles atau digosok pada tempat yang terinfeksi. Selain itu, dapat pula dengan obat tradisional seperti daun
ketepeng (Cassia alata), Euphorbia prostate dan E. thyophylia (Ahmad., R.Z. 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Boel., T. 2009. Mikosis superficial. Fakultas kedoteran gigi. Universitas Sumatera Utara.
Pohan., A. 2009. Bahan Kuliah Mikologi. [email protected]://cahyadiblogsan.blogspot.com/2012/04/ringworm-atau-dermatofitosis.html\
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur
dermatofita (Budimulja, 2005).
Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan
Epidermophyton (Madani, 2000). Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan
keratin. Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing dua
spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum dan 21
spesies Trichophyton (Budimulja, 2005).
II. 1. Dermatofita
Menurut Madani (2000) golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan beberapa
bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang
berbeda, tergantung letak lokasi anatominya.
A. Tinea Kapitis
Dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut ini umumnya menyerang anak
prapubertas. Jamur menyerang stratum korneum dan masuk ke folikel rambut yang
selanjutnya akan menyerang bagian luar atau sampai ke bagian dalam rambut,
bergantung pada spesiesnya (Daili, dkk., 2005).
Menurut Madani (2000) ada tiga bentuk klinis tinea kapitis, yaitu :
1. Grey patch ringworm
Bentuk ini terutama disebabkan oleh Microsporum audouinii (Mulyono, 1986). Bentuk ini
ditemukan pada anak-anak dan biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil
di sekitar folikel rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat
karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak
berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada
daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat
sebagai grey patch.Bercak abu-abu ini sulit terlihat batas-batasnya dengan pasti bila
tidak menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan dengan lampu Wood memberikan
fluoresensi kehijau-hijauan sehingga batas-batas yang sakit dapat terlihat jelas.
Gambar 1. Grey Patch Ringworm (Sumber : Kao, 2005)
2. Kerion
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis(Mulyono,
1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa
pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya.
Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.
Gambar 2. Kerion (Sumber : Kao, 2005)
3. Black dot ringworm
Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis berupa
terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi
tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik
hitam.
Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia areata, dermatitis seboroik dan
psoriasis (Siregar, 2005).
B. Tinea Favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh Trichophyton schoenleini,
Trichophyton violaceum dan Microsporum gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain
tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus
pada kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen. Kadang kulit
halus dan kuku dapat terkena.
Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit kepala dan
terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut,
serta lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut
luas, kulit mengalami atrofi dan sembuh dengan jaringan parut permanen.
Penegakan diagnosis tinea favosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
mikroskopis langsung, dengan menemukan miselium, air bubbles yang bentuknya tidak
teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak fluoresensi hijau pudar (dull
green) (Madani, 2000).
C. Tinea Korporis
Tinea korporis atau tinea sirsinata adalah infeksi jamur golongan dermatofita (berbagai
spesies Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton) pada badan, tungkai dan
lengan dan mempunyai gambaran morfologi yang khas (Daili, dkk., 2005).
Menurut Madani (2000) penyebab tersering penyakit ini adalah Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagrophytes.
Pasien merasa gatal dan kelainan umumnya berbentuk bulat, berbatas tegas, terdiri
atas macam-macam efloresensi kulit (polimorf) dengan bagian tepi lesi lebih jelas tanda
peradangannya daripada bagian tengah. Beberapa lesi dapat bergabung dan
membentuk gambaran polisiklis. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak
khas terutama pada pasien imunodefisiensi. Pada kasus dermatofitosis dengan
gambaran klinis tidak khas, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan kulit dengan larutan KOH 10-20 &#x (;Daili, dkk.,
2005).
Gambar 3. Tinea korporis (Sumber : Lesher, 2004)
Diagnosis banding tinea korporis adalah morbus hansen, pitiriasis rosea dan
neurodermatitis sirkumskripta (Siregar, 2005).
D. Tinea Imbrikata
Tinea imbrikata adalah dermatofitosis kronik rekuren disebabkan Trichophyton
concentricum. Di indonesia penyakit ini ditemukan endemis di wilayah tertentu, antara
lain Papua, Sulawesi, Sumatra dan pulau-pulau bagian tengah Indonesia Timur,
terutama pada masyarakat terasing. Kerentanan terhadap penyakit ini diduga
diturunkan secara genetik dengan pola penurunan autosomal resesif.
Gambaran klinis pada kulit berupa lingkaran-lingkaran konsentris terdiri atas lesi
papuloskuamosa, dengan stratum korneum yang lepas sisi bebasnya menghadap ke
arah dalam lesi, sehingga tampak tersusun seperti genting. Pada keadaan kronik rasa
gatal tidak menonjol (Daili, dkk., 2005).
E. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia dan
sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Penyebabnya
biasanya adalah Epidermophyton floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan
oleh Trichophyton rubrum.
Gambaran klinik biasanya adalah lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri. Mula-mula
lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal, yang lama-kelamaan meluas sehingga
dapat meliputi skrotum, pubis, glutea bahkan sampai paha. Tepi lesi aktif, polisiklis,
ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil.
Diagnosis banding tinea kruris meliputi dermatitis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma,
dermatitis kontak dan psoriasis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan
mikroskop langsung memakai larutan KOH 10-20 &#x (;Madani, 2000; Siregar, 2005).
Gambar 5. Tinea Kruris (2) (Sumber : Wiederkehr, 2004)
F. Tinea Manus dan Pedis
Tinea manus dan pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari
tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering
adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes danEpidermophyton floccosum.
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu
tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah
dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai tanpa keluhan sampai mengeluh
sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan (Madani,
2000).
Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk klinis tinea manus dan pedis yang sering
dijumpai, yakni :
1. Bentuk intertriginosa
Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela jari. Tampak
warna keputihan basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi
sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan
kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. Bentuk klinik ini dapat
berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, selulitis dan
erisipelas yang disetai gejala-gejala umum.
2. Bentuk vesikular akut
Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam
di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki bagian
tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat
memperburuk keadaan ini.
3. Bentuk mocassin foot
Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit
menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan, terutama terlihat pada bagian tepi
lesi.
Diagnosis banding untuk tinea manus adalah dermatitis kontak alergika, dermatitis
dishidrotik dan dermatitis numularis. Diagnosis banding untuk tinea pedis adalah
kandidiasis, akrodermatitis perstans dan pustular bacterid(Siregar, 2005). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan
KOH 10-20 &#x y;ang menunjukkan elemen jamur (Madani, 2000).
G. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita.
Penyebab penyakit yang tersering adalah Trichophyton
mentagrophytes dan Trichophyton rubrum.
Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan penderita
berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram. Bergantung penyebabnya,
destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral ataupun keseluruhan. Bila disertai
paronikia, sekitar kuku akan terasa
nyeri dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik
dan sukar penyembuhannya (Madani, 2000).
Gambar 6. Tinea Unguium (Sumber : Anonim, 2003)
Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk gejala klinis tinea unguium, yakni :
1. Bentuk subungual distalis
Penyakit ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke
proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh.
2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita
Bentuk ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk
membuktikan adanya elemen jamur.
3. Bentuk subungual proksimal
Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.
Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan.
Diagnosis banding adalah onikodistrofi oleh karena kandida albikans, onikodistrofi
akibat trauma dan psoriasis pada kuku (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 tau
dilakukan biakan untuk menemukan elemen jamur (Madani, 2000).
II. 2. Pengobatan Topikal
Menurut Djuanda (1994) ada dua pedoman dalam pengobatan topikal, yaitu :
1. a. Basah dengan basah
Berarti jika dermatosis basah (eksudatif) diobati dengan kompres terbuka. Tetapi
prinsip ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan
peradangan hebat.
b. Kering dengan kering
Berarti jika dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya salep.
2. Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktif yang dipakai
Berarti pada dermatosis yang akut jangan diberi terapi dengan bahan aktif yang kuat,
yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat.
Menurut Hamzah (2005) prinsip obat topikal secara umum terdiri atas dua bagian yaitu
bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktif dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahan dasar (vehikulum)
Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting
yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan
ialah pada keadaan yang membasah dipakai bahan dasar yang cair atau basah,
misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat atau kering,
misalnya salep. Secara sederhana bahan dasar dibagi menjadi tiga yaitu cairan, bedak
dan salep. Disamping itu ada dua campuran atau lebih bahan dasar, yaitu bedak kocok
(lotion), krim, pasta dan linimen.
a. Cairan
Cairan terdiri atas solusio (larutan dalam air) dan tinctura (larutan dalam alkohol).
Solusio dibagi dalam kompres, rendam (bath) dan mandi (full bath). Prinsip pengobatan
cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan sebagainya) dan
sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan atau
pecahnya vesikel, bula dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang
membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak
dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga
untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh
bermacam-macam dermatosis. Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat
menyebabkan kulit menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau
secara teliti. Kalau keadaan sudah mulai kering, maka pemakaiannya dikurangi dan
kalau perlu dihentikan untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres
lebih disukai daripada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat
pendinginan dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi
proses maserasi. Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat
astringen dan antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein.
Kompres terdiri dari dua macam, yaitu kompres terbuka dan kompres tertutup.
Kompres terbuka dasarnya adalah penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi
eksudat atau pus. Indikasinya meliputi dermatosis madidans, infeksi kulit dengan eritem
yang mencolok (misalnya erisipelas) dan ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta
(Hamzah, 2005). Menurut Hardyanto (1990) cara ko
mpres bekerja pada radang akut melalui :
1) Penguapan air akan menarik kalor dari lesi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang
mengakibatkan eritem berkurang.
2) Vasokonstriksi memperbaiki permeabilitas vaskuler, sehingga pengeluaran serum
dan udem berkurang.
3) Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit, sehingga mudah
terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta ini akan mengurangi sarang
makanan untuk bakteri dari cairan yang terperangkap di bawah krusta.
Kompres tertutup (kompres impermeabel) dasarnya adalah vasodilatasi, bukan untuk
penguapan. Indikasinya ialah kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venereum
(Hamzah, 2005).
b. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat
erat sehingga penetresinya sedikit sekali. Efek bedak ialah mendinginkan, antiinflamasi
ringan karena ada sedikit efek vasokonstriksi, antipruritus lemah, mengurangi
pergeseran pada kulit yang berlipat (intertrigo) dan proteksi mekanis. Pengobatan
dengan bedak yang diharapkan terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya ialah talkum
venetum. Bedak biasanya dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersifat
mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah.
Indikasi pemberian bedak ialah dermatosis yang kering dan superfisial,
mempertahankan vesikel atau bula agar tidak pecah. Kontraindikasinya adalah
dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder (Hamzah, 2005).
Jika terjadi eksudat atau pus, maka campuran bedak dengan eksudat merupakan
adonan yang memudahkan terjadinya infeksi (Djuanda, 1994).
c. Salep
Salep ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak.
Indikasinya adalah dermatosis yang kering dan kronik, dermatosis yang dalam dan
kronik dan dermatosis yang bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis
madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan
salep tidak dianjurkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh (Hamzah, 2005).
d. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak yang biasanya ditambah dengan
gliserin sebagai bahan perekat, supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi
kering maka jumlah zat padat maksimal 40 an jumlah gliserin 10 15 &#x. ;Hal ini berarti
jika beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka prosentase tersebut jangan
terlampaui. Indikasi digunakan bedak kocok adalah dermatosis yang kering, superfisial
dan agak luas, serta dermatosis pada keadaan sub akut. Kontraindikasinya ialah
dermatitis madidans dan daerah badan yang berambut (Hamzah, 2005).
e. Krim
Krim adalah emulsi O/W (oil in water) atau W/O (water in oil). Kombinasi antara minyak
dengan air ditambah emulgator menghasilkan emulsi W/O atau O/W, bergantung pada
susunan komponen di atas. Krim W/O (cold cream) lebih cocok dipakai waktu malam
karena melengket lebih lama di kulit. Krim O/W (vanishing cream) lebih cocok dipakai
waktu siang karena lebih cair dan tidak lengket (Madani, 2000). Indikasi digunakan krim
ialah indikasi kosmetik, dermatosis yang subakut dan luas, dan boleh digunakan di
daerah yang berambut. Kontraindikasi untuk krim W/O ialah dermatitis madidans
(Hamzah, 2005).
f. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan
mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.
Kontraindikasinya ialah dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk
daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan karena terlalu
melekat (Hamzah, 2005). Sekarang pasta jarang dipakai karena pengolesan dan
pembersihannya lebih sulit (Madani, 2000).
g. Linimen
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salep. Indikasi
penggunaanya yaitu pada dermatosis yang subakut. Kontraindikasinya yaitu dermatosis
madidans (Hamzah, 2005).
Menurut Hamzah (2005) ada vehikulum lain yaitu gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau
hidrofilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel di
antaranya ialah karbomer, metilselulosa dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur
dengan air dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat
gel menjadi sangat jernih dan halus. Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit
dan membentuk satu lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim.
2. Bahan aktif
Pemilihan obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimasukkan
ke dalam vehikulum, yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan
topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko-kimia permukaan
kulit, di samping komposisi formulasi zat yang dipakai.
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek
vehikulum terhadap kulit.
Bahan-bahan aktif yang biasa digunakan pada penyakit kulit secara umum di antaranya
ialah alumunium asetat, asam asetat, asam benzoat, asam borat, asam salisilat, asam
undesilenat, asam vitamin A (tretionin, asam retinoat), benzokain, benzil
benzoat, camphora, kortikosteroid topikal, mentol, padofilin, selenium disulfid, sulfur,
ter, tiosulfas natrikus, urea, zat antiseptik, antibiotik dan antifungal (Djuanda, 1994;
Hamzah, 2005).
II. 3. Obat Antijamur Topikal
Menurut Kuswadji dan Widaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah obat
yang aktif pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai formula yang beragam, efek
samping minimal atau bahkan tidak ada, dengan formula yang spesifik (misalnya untuk
kuku dan mukosa) dan mempunyai manfaat tambahan untuk kelainan yang biasa
menyertai infeksi jamur (misalnya antiinflamasi, keratolitik dan antibakteri).
Obat topikal yang diperuntukkan pada infeksi dermatofita berdasarkan mekanisme
kerjanya meliputi :
1. Bahan kimia antiseptik
Mempunyai sifat antibakteri dan antijamur ringan serta bersifat mengeringkan,
misalnya Cestallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan untuk kasus tinea
kruris dan kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat dindikasikan untuk tinea
unguium, tinea imbrikata dan tinea korporis (Kuswadji dan Widaty, 2001; Siregar,
2005).
2. Bahan keratolitik
Yaitu bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum korneum. Misalnya
salepWhitefield mengandung asam salisilat 3 &#x, ;asam benzoat 6 alam petrolatum,
dikatakan efektif bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 &#x. ;Asam
salisilat pada konsentrasi rendah (1 2 &#x) ;berefek keratoplastik, konsentrasi tinggi (3
20 &#x) ;berefek keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang hiperkeratotik
dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 &#x) ;dipakai untuk kelainan-kelainan yang
dalam. Asam salisilat berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi 3 6
alam salep, selain itu berkhasiat bakteriostasis lemah. Asam salisilat tidak dapat
dikombinasikan dengan seng oksida karena akan terbentuk garam sengsalisilat yang
tidak aktif. Asam benzoat mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal.
Salep Whitefield dapat juga berguna untuk pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea
unguium dan tinea korporis. Asam undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan
pada tinea unguium (Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Hamzah,
2005; Siregar, 2005).
3. Golongan allilamin
Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada proses
pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki efektivitas klinis yang
tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70 100 &#x. ;Naftitin merupakan obat
antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang sintetis. Dapat menurunkan
ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur. Pada konsentrasi 1 &#x
m;emiliki daya antiinflamasi. Tersedia dalam bentuk krim, g
el atau solusio 1 &#x. ;Penderita tinea korporis dewasa maupun anak-anak cukup
dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama 2 minggu dalam bentuk krim 1
&#x. ;Tinea kruris 4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 &#x. ;Tinea
pedis dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 tau 2 kali sehari dalam bentuk gel 1
&#x. ;Terbinafin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang menghambat
epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur yang
menghasilkan defisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian
menemukan bahwa obat ini efektif dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak.
Terbinafin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis baik
dewasa maupun anak-anak dalam waktu 1 4 minggu. Penderita tinea pedis dewasa dan
anak-anak (>12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim
(Cholis, 2001; Kuswadji dan Widaty, 2001; Lesher, 2004; Rubiez, 2004; Wiederkehr,
2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat
naftitin yaitu exoderil dan contoh nama merk dagang obat terbinafin yaitu interbi,
lamisil dan termisil (Evaria, 2005).
4. Golongan benzilamin
Butenafin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin yang bersifat
fungisidik terhadap dermatofit, seperti Trichophyton mentagrophytes, Microsporum
canis dan Trichophyton rubrum yang menyebabkan infeksi-infeksi tinea. Butenafin
bekerja pada stadium yang lebih dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan
terjadinya akumulasi skualen dan kematian sel jamur. Sifat fungisidik butenafin
menyebabkan masa pengobatan yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi
dan angka kekambuhan yang rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak
(> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1
&#x. ;Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4
kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 &#x. ;Penderita tinea pedis dewasa
dan anak-anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4
kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 &#x. ;Contoh nama merk dagang
obat butenafin adalah mentax (Cholis, 2001; Lesher, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins,
2005).
5. Golongan imidazol
Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat fungistatis dan pada dosis tinggi bekerja
fungisid terhadap fungi tertentu. Imidazol memiliki efektivitas klinis yang tinggi dengan
angka kesembuhan berkisar 70 100 &#x. ;Mekanisme kerjanya dengan menghambat
sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran sel (Gonzales, 1987
cit Hardyanto, 1990; Cholis, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003). Golongan imidazol meliputi
:
a. Mikonazol
Derivat mikonazol ini berkhasiat fungisid kuat dengan spektrum kerja lebar sekali. Lebih
aktif dan efektif terhadap dermatofit biasa dan kandida daripada fungistatika lainnya.
Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman Gram positif
kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa
dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2
&#x, ;bedak kocok ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak
diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 2 6 minggu dalam bentuk krim 2 tau bedak
kocok. Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama 2 4
minggu (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS
tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat mikonazol yaitu micoskin,
mexoderm dan daktarin (Evaria, 2005).
b. Klotrimazol
Derivat imidazol ini memiliki spektrum fungistatis yang relatif lebih sempit daripada
mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman
Gram positif. Penderita tinea pedis dan tinea korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali
sehari selama 2 6 minggu dalam bentuk krim 1 tau solusio, sedangkan pada anak-anak
tidak tersedia. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali
sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 &#x, ;solusio ataupun bedak kocok (Tjay
dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005
menyebutkan contoh nama merk dagang obat klotrimazol yaitu canesten, lotremin dan
fungiderm (Evaria, 2005).
c. Ketokonazol
Ketokonazol adalah fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral (1981).
Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen.
Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali
sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 &#x. ;Penderita tinea kruris dewasa dan
anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam
bentuk krim 2 &#x. ;Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak dioleskan
sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 2 &#x (;Tjay dan Rahardja,
2003; Lesher, 2004; Rubeiz, 2004; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005
menyebutkan contoh nama merk dagang obat ketokonazol yaitu formyco, nizoral dan
mycozid (Evaria, 2005).
d. Ekonazol
Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor diganti oleh atom
H. Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktif terhadap Aspergillus. Obat
ini efektif untuk infeksi kutaneus. Titik tangkapnya berhubungan dengan metabolisme
sintesis RNA dan protein, mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga
menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak
dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 &#x.
;Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali
sehari dalam bentuk krim 1 &#x. ;Contoh nama merk dagang obat ekonazol adalah
pevaryl (Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004; Robins, 2005).
e. Oksikonazol
Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kematian sel jamur.
Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2
minggu dalam bentuk krim 1 &#x. ;Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak
dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk krim 1 tau bedak
kocok. Contoh nama merk dagang obat oksikonazol adalah oxistat (Wiederkehr, 2004;
Robins, 2005).
f. Sulkonazol
Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel,
sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-
anak (> 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 4 minggu dalam bentuk
krim 1 tau solusio. Contoh nama merk dagang obat sulkonazol adalah exelderm
(Wiederkehr, 2004).
g. Sertakonazol
Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktif melawanTrichophyton
rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Diindikasikan
untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari baik dewasa maupun anak-anak (> 12
tahun). Contoh nama merk dagang obat sertakonazol adalah ertaczo (Rubeiz, 2004).
h. Bifonazol
Bifonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa jenis jamur
dan ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa kuman Gram positif.
Bifonazol bermanfaat pada pengobatan tinea unguium dalam bentuk losio atau krim
yang dikombinasikan bersama urea 40 engan bebat (Madani, 2000; Tjay dan Rahardja,
2003). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat bifonazol yaitu
mycospor (Evaria, 2005).
6. Golongan lainnya
a. Siklopiroks
Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat fungisid
terhadap Candida albican dan Trichophyton rubrum, fungistatis terhadapMalassezia
furfur (panu), lagi pula bekerja bakteriostatis lemah. Walaupun struktur kimianya
berbeda dengan zat-zat imidazol, tetapi mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu
ter
hadap membran plasma sel jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan
perintah transpor dari asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya
kerjanya diperkuat bila dibuat ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara
dermal. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (> 10 tahun) dioleskan sebanyak
2 kali sehari dalam bentuk krim 1 &#x, ;jika tidak ada perbaikan setelah 4 minggu maka
perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga berlaku pada penderita tinea kruris dan tinea
kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan dapat berpenetrasi melalui semua lapisan
kuku pada kasus tinea unguium namun memiliki efikasi yang rendah sehingga perlu
kombinasi dengan obat antijamur oral. (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004;
Wiederkehr, 2004; Blumberg, 2005; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan
contoh nama merk dagang obat siklopiroks yaitu batrafen dan loprox nail lacquer
(Evaria, 2005).
b. Tolnaftat
Tonaftat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang sangat efektif
terhadap dermatofitosis dan infeksi Pityrosporum orbicularetetapi tidak
terhadap Candida. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat epoksidasi
skualen pada membran sel jamur. Biasanya digunakan 2 kali sehari selama 2 4 minggu
dan dilanjutkan 2 minggu setelah gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan
anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 &#x, ;solusio
dan bedak. Tolnaftat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis
dan tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaftat adalah tinactin
(Hardyanto, 1990; Wiederkehr, 2004, Siregar, 2005).
c. Haloprogin
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum,
Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya gatal-
gatal, perasaan terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak
dioleskan sebanyak 3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 an solusio. Biasanya
digunakan dalam waktu 2 4 minggu. Contoh nama merk dagang obat haloprogin adalah
halotex (Kuswadji dan Widaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Wiederkehr, 2004).
Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat antijamur
oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinafin, karena jika hanya
mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas
sehingga tidak efektif (Blumberg, 2005). Pengobatan tinea manus pada prinsipnya
sama dengan pengobatan yang dilakukan pada tinea pedis (Madani, 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, M.S., 2001, Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia, dalamBudimulja,
U., Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty, S. (eds),
Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 1 6.
Anonim, 2003, Fungus Infections : Tinea,/derm
title=http://www.emedicine.com/derm
target=_blank>http://www.emedicine.com/derm
Budimulja, U., 2005, Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta :
89 105.
Cholis, M., 2001, Penatalaksanaan Tinea Glabrosa Dan Perkembangan Obat
Antijamur baru, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Brawidjaja, Malang : 21 24.
Daili, E.S.S., Menaldi S.L. dan Wisnu, I.M., 2005, Penyakit Kulit Yang Umum Di
Indonesia Sebuah Panduan Bergambar, PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta :
27 37.
Djuanda, A., 1994, Pengobatan Topikal Dalam Bidang Dermatologi, Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta.
Dorland, 1996, Kamus Kedokteran Dorland, dalam Harjono, R.M., Oswari, J.,
Ronardy, D.H., Santoso, K., Setio, M., Soenarno, Widianto, G., Wijaya, C. dan Winata, I.
(eds), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1937.
Evaria, 2005, MIMS Edisi Bahasa Indonesia, 6th vol, PT InfoMaster, Jakarta : 395 398.
Hamzah, M., 2005, Dermatoterapi, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds),
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta: 340 - 350.
Hardyanto, 1990, Antijamur Dalam Dermatologi, dalam Ednawati dan Soedarmadi
(eds), Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta : 41 58.
Kao, G.F., 2005, Tinea Capitis,
title=http://www.emedicine.com/derm
target=_blank>http://www.emedicine.com/derm
Siregar, R.S., 2005, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta : 10 44.
Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2003, Obat-Obat Penting, 5th, Penerbit PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta: 91 104.
Wiederkehr, M., 2004, Tinea Cruris,http://medicom.blogdetik.com/2009/03/10/dermatofitosis-2/