Upload
buixuyen
View
261
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pisang Kepok
Pisang kepok memiliki sebutan yang bermacam-macam di beberapa
daerah. Buahnya memiliki bentuk agak gepeng pipih dan kulit yang tebal. Berat
per tandan bisa mencapai 20 kg lebih yang terdiri 12-16 sisir, tiap sisir terdiri atas
12-20 buah. Jika matang warnanya kuning penuh, saat mentah warna hijau. Pisang
kepok terdiri atas dua jenis yaitu kepok kuning dan putih. Daging kepok kuning
berwarna sedikit kuning atau sedikit orange, teksturnya lebih kenyal dan lembut,
manis dan tidak lembek. Kepok kuning paling digemari sehingga harganya lebih
mahal dibanding kepok putih. Kepok putih lebih lembek, ada rasa asam dan
kurang manis. Jenis pisang kepok paling umum digunakan untuk membuat pisang
crispy yang digoreng (Yuyun, 2011).
Pisang kepok kuning dan putih terlihat serupa, hanya dibedakan oleh
bagian ujungnya. Bentuk ujung dari pisang kepok putih lebih tumpul
dibandingkan pisang kepok kuning. Pisang kepok putih juga mempunyai biji di
dalam daging buahnya, sedangkan daging buah pisang kepok kuning tidak
terdapat biji. Pada umumnya, sebagian zat padat dalam buah adalah karbohidrat.
Karbohidrat terdiri dari gula sederhana, polisakarida seperti pati, selulosa, dan
hemiselulosa. Pisang memiliki sumber karbohidrat yang relatif tinggi, yaitu
kisaran 17-34% tergantung jenis pisangnya. Setelah penepungan, tepung pisang
memiliki warna yang agak kekuningan dengan kandungan karbohidrat pada
kisaran 70-80% (Prabawati, 2008).
5
Buah pisang mengandung nilai gizi cukup tinggi sebagai sumber
karbohidrat, vitamin, dan mineral. Kandungan karbohidratnya terutama berupa zat
tepung atau pati (starch) dan macam-macam gula. Kandungan gula dalam pisang
terdiri atas senyawa-senyawa seperti dextrosa 4,6%, levulosa 3,6%, dan sukrosa
2%. Ketiga jenis gula tersebut mudah dicerna oleh tubuh manusia baik tua
maupun muda bahkan bayi. Daging buah pisang mengandung berbagai vitamin
seperti vitamin A, vitamin B1, vitamin C, dan lainnya. Buah pisang juga
mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi (Santoso, 1995). Buah
pisang segar ketika dipanen mengandung pati 20-30% berat basah dan kandungan
gula sekitar 1-2%. Kandungan gula pisang hijau segar selama proses pematangan
meningkat sekitar 15-20%, sedangkan total pati menurun sekitar 1-2%
(Simmonds, 1970). Komponen kimia pisang kepok disajikan pada Tabel 1.
Pisang yang baik untuk pembuatan tepung pisang adalah yang dipanen
pada saat mencapai tingkat ketuaan ¾ penuh atau kira-kira berumur 80 hari
setelah berbunga. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut pembentukan pati telah
mencapai maksimum dan sebagian besar tanin telah terurai menjadi senyawa eter
aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang. Jika
pisang yang digunakan terlalu matang, maka rendemen tepung yang dihasilkan
sedikit dan selama pengeringan akan terbentuk cairan. Hal ini karena pati telah
terhidrolisis menjadi gula-gula sederhana sehingga kandungan patinya menurun
(Crowther, 1979).
6
Tabel 1. Komposisi kimia pisang kepok (per 100 g) Komposisi Kadar
Air 70,00 (g) Karbohidrat 27,00 (g) Serat kasar 0,50 (g) Protein 1,20 (g) Lemak 0,30 (g) Abu 0,90 (g) Kalsium 80,00 (mg) Fosfor 290,00 (mg) Sodium - β-carotein 2,40 (mg) Thiamin 0,50 (mg) Riboflavin 0,50 (mg) Asam askorbat 120,00 (mg) Energi 104,00 (kal)
Sumber: Satuhu (1999)
B. Tepung Pisang
Tepung pisang adalah salah satu olahan pisang yang bertujuan untuk
pengawetan pisang dalam bentuk olahan. Syarat bahan pembuatan tepung pisang
adalah buah pisang mentah yang sudah tua, tetapi belum masak. Keunggulan dari
pengolahan pisang menjadi tepung pisang adalah meningkatkan daya guna, hasil
guna, dan nilai guna, lebih mudah diolah atau diproses menjadi produk yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, lebih mudah dicampur dengan tepung dan bahan
lainnya, serta menambah umur simpan pisang sendiri. Tepung pisang dapat
digunakan sebagai alternatif pengganti tepung terigu. Tepung pisang memiliki
kandungan amilosa cukup tinggi yaitu 9,1-17,2%, selain itu tepung pisang
mempunyai kandungan vitamin C yang tidak dimiliki pada tepung terigu. Tepung
pisang merupakan produk setengah jadi yang dapat dimanfaatkan untuk
7
pembuatan cake, roti, dan kue kering (Kaleka, 2013). Kandungan gizi tepung
pisang (per 100 g) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi tepung pisang (per 100 g) Kandungan Tepung Pisang
Kalori 340 (kal) Air 11,2 – 13,5 (g) Protein 3,84 – 4,1 (g) Lemak 0,9 –1,0 (g) Karbohidrat 79,6 (g) Serat 3,2 – 4,5 (g) Abu 3,1 (g) Kalsium 30 – 39 (mg) Fosfor 93 – 94 (mg) Zat besi 2,6 – 2,7 (mg)
Sumber: Morton (1987) dalam Lolodatu (2014)
Tepung pisang dapat dibuat menggunakan teknologi pengeringan. Menurut
Adams (2004), teknologi pengeringan merupakan salah satu teknologi
pengawetan yang sudah lama pada pembuatan tepung dan melalui teknologi
pengeringan dapat memperpanjang umur simpan serta mengurangi kerugian buah
pisang apabila disimpan dalam bentuk segar. Selanjutnya, (Juarez, 2006)
melaporkan bahwa tepung pisang memiliki total pati 73,36% dan serat pangan
14,52% dari total pati. Syarat mutu tepung pisang berdasarkan SNI 01-3841-1995
disajikan pada Tabel 3.
8
Tabel 3. Syarat mutu tepung pisang
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
Jenis A Jenis B 1 2 3 4 5
1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 9.1 9.2 9.3 9.4 10. 11. 11.1 11.2 11.3 11.4 11.5 11.6
Keadaan : Bau Rasa Warna Benda asing Serangga (dalam segala bentuk stadia dan potongan-potongannya Jenis pati lain selain tepung pisang Kehalusan lolos ayakan 60 mesh Air Bahan tambahan makanan Sulfit (SO2) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Cemaran arsen (As) Cemaran mikroba : Angka lempeng total Bakteri bentuk coli Escherichia coli Kapang dan khamir Salmonella/25 gram Staphilococcus aureus/g
- - - - - - % b/b % b/b - mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/gAPM/G koloni/gkoloni/g- -
normal normal normal tidak boleh ada tidak boleh ada tidak boleh ada min. 95 maks. 5 negatif maks. 1,0 maks. 10,0 maks. 40,0 maks. 0,05 maks. 0,5 maks. 104 0 0 maks. 102 negatif negatif
normal normal normal tidak boleh ada tidak boleh ada tidak boleh ada min. 95 maks. 12 maks. 10 maks. 1,0 maks. 10,0 maks. 40,0 maks. 0,05 maks. 0,5 maks. 106 0 maks. 106 maks. 106 - -
Sumber: Anonim (1995)
Keterangan:
Jenis A : Tepung yang diperoleh dari penepungan pisang yang sudah matang
melalui proses pengeringan dengan menggunakan mesin pengering.
Jenis B : Tepung yang diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, tidak
matang melalui proses pengeringan.
9
Secara umum, semua jenis pisang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan tepung pisang. Tetapi, tingkat ketuaan pisang harus mencukupi (cukup
tua tetapi belum masak). Tingkat ketuaan yang dipilih berdasarkan kadar patinya
yaitu pada saat kadar maksimum. Sifat tepung pisang sangat dipengaruhi oleh
jenis pisang yang digunakan. Keseragaman bahan baku seperti tingkat
kematangan buah sangat mempengaruhi tepung pisang yang dihasilkan. Tidak
semua jenis pisang dapat menghasilkan tepung pisang yang bermutu baik. Pisang
yang terbaik untuk dijadikan tepung adalah pisang kepok karena menghasilkan
warna tepung yang paling putih. Selain itu, jenis pisang kepok mempunyai tekstur
yang lebih padat (Choo, 2007).
Cara membuat tepung pisang yaitu dengan memilih pisang yang sudah
cukup matang atau tua, dan yang berkualitas baik tanpa cacat apapun. Kemudian,
kupas kulitnya dan potong-potong hingga berukuran kecil dengan menggunakan
pisau yang steril. Potongan pisang tadi selanjutnya direndam di dalam air matang
bersih yang telah dicampurkan dengan sodium metabisulfit. Durasi perendaman
selama kurang lebih 10 menit. Perendaman ini dilakukan dengan tujuan agar getah
pada buah pisang lenyap sempurna. Sebab, jika getah masih menempel, kualitas
tepung kurang maksimal. Setelah 10 menit, potongan pisang tadi ditiriskan dalam
sebuah wadah bersih untuk kemudian dijemur di bawah terik sinar matahari.
Penjemuran kira-kira selama kurang lebih 2 hari. Setelah kering sempurna,
potongan pisang tersebut digiling atau dihaluskan dengan cara ditumbuk. Akan
jauh lebih baik jika menggunakan mesin penghalus beras agar hasil jauh lebih
sempurna. Setelah selesai, tepung pisang segera dikemas dalam wadah
10
penyimpanan tertutup dan selanjutnya tepung pisang siap untuk digunakan
(Suryana, 2013). Diagram alir proses pembuatan tepung pisang kepok putih
disajikan pada Gambar 1 (Ariefa, 2006).
Pisang kepok putih tua
Tepung pisang kepok putih
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tepung pisang kepok putih
Penimbangan pisang kepok (timbangan)
Perendaman pisang dengan asam sitrat 0,5% (5 menit)
Pengupasan kulit pisang, dan pemotongan daging pisang setebal 0,5 cm (pisau)
Pengukusan pisang (panci)
Pengeringan pisang dengan oven suhu 700C (2 jam)
Penggilingan pisang (mesin penggiling tepung)
Pengayakan tepung dengan ayakan 60 mesh (ayakan)
Kulit pisang
Air
11
Pembuatan tepung pisang dapat dilakukan dengan menggunakan asam
sitrat. Asam sitrat merupakan senyawa intermediet dari asam organik yang
berbentuk kristal atau serbuk putih. Sifat-sifat asam sitrat antara lain : mudah larut
dalam air, spirtus, dan ethanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika
dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai
menjadi arang. Asam sitrat menghambat terjadinya pencoklatan karena dapat
mengkompleks ion tembaga yang dalam hal ini berperan sebagai katalis dalam
reaksi pencoklatan. Selain itu, asam sitrat juga dapat menghambat pencoklatan
dengan cara menurunkan pH sehingga enzim PPO (polifenol oksidase) menjadi
inaktif (Winarno, 2002).
Menurut Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas
Obat dan Makanan Amerika Serikat, asam sitrat merupakan bahan pengawet yang
dinyatakan benar-benar aman untuk dikonsumsi. Asam sitrat masih berdekatan
dengan vitamin C dan sama-sama merupakan pengawet alami yang baik.
Kandungan asam didalamnya berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri dan
jamur. Asam sitrat dinyatakan aman pada 99,9% populasi (Cahyono, 2013).
Menurut Balai Pengawasan Pangan Obat dan Makanan (BPPOM) penggunaan
maksimum asam sitrat dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter. Asam sitrat
dapat dipakai untuk mengatur keasaman ataupun bahan pengawet makanan, dan
juga untuk mencegah pemucatan/browning misalnya pada buah-buahan.
12
C. Cookies
Cookies berbeda dengan roti karena mengandung lemak lebih tinggi,
sehingga menghasilkan cookies dengan tekstur yang rapuh dan garing. Cookies
yang baik memiliki tekstur yang ringan dan rapuh. Ketika membuat cookies yang
berbentuk tipis, pembuatan harus diperhatikan pada saat mencampurkan adonan
lemak dan terigu sebelum ditambahkan air, terigu telah bercampur dengan lemak
dan tidak berubah menjadi gluten. Namun sebaliknya, mencampurkan adonan
terlalu lama dapat membuat tekstur cookies menjadi keras (Ngabito, 2014).
Cookies merupakan salah satu produk yang tahan lama. Cookies dapat
disimpan untuk jangka waktu yang lama berkisar antara 3-6 bulan. Secara umum,
karakteristik cookies adalah berstruktur renyah, rapuh, kering, berwarna kuning
kecoklatan atau sesuai warna bahan yang digunakan, beraroma harum khas, serta
terasa lezat, gurih dan manis. Prinsip pembuatan cookies adalah dibuat dari
adonan tepung, telur, lemak, dan gula dicetak dan dibakar. Dua bagian utama dari
proses pembuatan cookies adalah pembuatan adonan dan pembakaran
(Adikhairani, 2012). Cookies biasanya dibuat dari tepung terigu. Tetapi, kini
cookies telah banyak diformulasi dari beberapa macam tepung non terigu, baik
sebagai campuran maupun pengganti terigu. Pembuatan cookies dapat
menggunakan metode creaming, yaitu telur dan gula diaduk hingga setengah
mengembang supaya gula larut dalam telur dan telur mengikat udara (adonan
pertama), kemudian bahan lain seperti margarin atau butter diaduk hingga
homogen dengan ditandai berwarna pucat (adonan kedua). Kedua adonan tersebut
lalu dicampur secara merata beserta tepung hingga homogen. Pembuatan cookies
13
menggunakan margarin bertujuan untuk menambah aroma serta untuk
memudahkan pemindahan cookies dari loyang (tidak lengket) (Pratiwi, 2008).
Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit diklasifikasikan dalam empat jenis,
yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Syarat mutu kue kering
berdasarkan SNI 01-2973-1992 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu kue kering
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan Kue
Kering
1
Keadaan: 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna
Normal Normal Normal
2 Kadar air (b/b) % Maks. 5 3 Kadar abu (b/b) % Maks. 2 4 Kadar protein (b/b) % Min. 6 5 Kadar Lemak (b/b) % Min. 8 6 Kadar Karbohidrat (b/b) % Min. 70 7 Asam Lemak Bebas (b/b) % Maks. 1 8 Bilangan Peroksida mEq/kg Maks. 6
9
Cemaran Logam: 8.1 Kadmium (Cd) 8.2 Timah (sn) 8.3 Merkuri (hg) 8.4 Timbal (pb)
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
Maks. 0,2 Maks. 40 Maks. 0,05 Maks. 0,5
10 Cemaran Arsen (as) Mg/kg Maks. 0,1
11
Cemaran Mikroba: 10.1 Angka Lempeng Total 10.2 Escherichia coli 10.3 Salmonella sp 10.4 Bacillus cereus 10.5 Kapang dan Khamir
Koloni/g Per g Per 25g Koloni/g Koloni/g
Maks. 1x104 Maks. 10 Negatif Maks. 1x102 Maks. 1x104
Sumber: Anonim (1992)
14
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas cookies yaitu pemilihan bahan,
penimbangan bahan, pencampuran bahan, pencetakkan adonan, pemanggangan,
pendinginan, dan pengemasan. Bahan yang tidak baik kualitasnya akan
menghasilkan cookies yang tidak baik pula. Pemilihan bahan harus diteliti antara
lain dengan memperhatikan warna, aroma, kebersihan dan umur. Proses
penimbangan bahan harus dilakukan dengan tepat dan menggunakan alat ukur
yang standart. Penimbangan bahan yang dilakukan tidak tepat akan menyebabkan
kegagalan dalam pembuatan cookies. Bahan-bahan yang telah ditimbang
dicampur secara rata (homogen) untuk mendapatkan adonan yang bagus. Ketika
mencampur adonan tidak boleh terlalu lama, karena jika terlalu lama, adonan akan
lembek, sehingga adonan tidak dapat dicetak (Fajiarningsih, 2013).
Pencetakan adonan yang terlalu tebal akan menjadikan kue kurang bagus
bentuknya dan tekstur bagian dalam kurang kering sedangkan jika pencetakan
terlalu tipis mengakibatkan kue cepat gosong. Ukuran tebal cookies harus sama
yaitu 0,5 cm – 1 cm, bila akan dioven, hal ini bertujuan untuk mencegah
kehangusan, mencegah perbedaan warna, mempengaruhi tingkat kematangan serta
tekstur cookies yang dihasilkan. Suhu pembakaran tergantung pada tebal tipisnya
adonan. Suhu yang terlalu panas akan mengakibatkan kue terbentuk sebelum
menyebar. Suhu yang terlalu rendah akan mengakibatkan kue terlalu banyak
menyebar, sehingga terlalu banyak air yang hilang karena pembakarannya terlalu
lama, selain itu aroma dan rasa juga menjadi hilang. Oven dipanaskan 10–15
menit sebelum adonan dipanggang agar suhu stabil atau ketika suhu mencapai
1500C selama 20 menit (Fajiarningsih, 2013).
15
D. Bahan Pembuatan Cookies
Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan cookies secara umum
terdiri dari tepung terigu, lemak (margarin), gula, dan telur. Formula bahan
pembuatan cookies disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Formula dasar pembuatan cookies No Bahan Jumlah 1 Tepung terigu 250 g 2 Margarin 175 g 3 Kuning telur 1 butir 4 Gula halus 100 g
Sumber: Raya (2005) dalam Fajiarningsih (2013)
1. Tepung terigu
Tepung terigu adalah tepung yang berasal dari bulir gandum, dan
digunakan sebagai bahan dasar pembuat kue, mie dan roti. Tepung terigu
mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam
air. Tepung terigu juga mengandung protein dalam bentuk gluten, yang berperan
dalam menentukan kekenyalan makanan yang terbuat dari bahan terigu. Tepung
terigu juga berasal dari gandum, bedanya terigu berasal dari biji gandum yang
dihaluskan, sedangkan tepung gandum utuh (whole wheat flour) berasal dari
gandum beserta kulit arinya yang ditumbuk (Fajiarningsih, 2013). Kandungan gizi
tepung terigu (per 100 g) disajikan pada Tabel 6.
16
Tabel 6. Kandungan gizi tepung terigu (per 100 g) Komposisi Jumlah
Energi Min 340 kal Air 14 g Protein Min 13 g Besi (Fe) Min 5 mg Zinc (Zn) Min 3 mg Asam folik Min 0,2 mg Kalsium 13 mg Karbohidrat 70 mg Lemak 0,9 g Vitamin B1 Min 0,25 mg Vitamin B2 Min 0,4 mg
Sumber: Fitasari, 2009
Menurut jenisnya tepung terigu dibedakan menjadi 3 macam, yaitu tepung
protein rendah (soft wheat), tepung protein sedang (medium wheat), dan tepung
protein tinggi (hard wheat) (Pertiwi, 2011).
a. Tepung protein rendah (soft wheat)
Tepung ini dibuat dari gandum lunak yang kandungan glutennya hanya 8-
9%. Tepung ini memiliki daya serap terhadap air yang rendah sehingga
sulit diuleni, tidak elastis, lengket, dan susah untuk mengembang. Tepung
ini cocok untuk kue kering, biskuit, pastel, dan kue yang tidak memerlukan
fermentasi.
b. Tepung protein sedang (medium wheat)
Tepung ini memiliki kandungan gluten 10–11%. Tepung terigu ini terbuat
dari campuran terigu protein tinggi dan terigu protein rendah atau biasa
disebut tepung serbaguna. Tepung ini cocok untuk membuat kue, bolu, kue
kering dan gorengan.
17
c. Tepung protein tinggi (hard wheat)
Tepung ini dibuat dari gandum keras dan memiliki kandungan protein 11–
13%. Tingginya kadar protein pada terigu ini membuatnya mudah
dicampur, difermentasi, memiliki daya serap terhadap air yang tinggi,
elastis dan mudah digiling. Tepung ini cocok untuk membuat mie, roti dan
pasta.
Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah tepung
protein rendah yang kandungan glutennya hanya 8-9%. Gluten merupakan protein
elastis yang umumnya terkandung pada bahan pembuat roti, biskuit, pasta, sereal,
mie dan semua jenis makanan yang terbuat dari tepung terigu. Dalam proses
pembuatan roti, gluten bermanfaat untuk mengikat dan membuat adonan menjadi
elastis, sehingga mudah dibentuk. Komponen pembentuk gluten mengandung 75-
80% protein yang terbentuk dari gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin
bergabung membentuk gluten sangat lengket. Fungsi utama tepung dalam
pembuatan cookies adalah untuk membentuk kerangka kue. Pada dasarnya
cookies tidak memerlukan proses pengembangan adonan dalam pembentukannya.
Jika digunakan bahan pengembang pada pembuatan cookies berfungsi untuk
menambah volume dan membantu merenyahkan tekstur cookies (Surjani, 2009).
Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan berdasarkan SNI 01-3751-2006
disajikan pada Tabel 7.
18
Tabel 7. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan No. Jenis uji Satuan Persyaratan 1
1.1 1.2 1.3
Keadaan Bentuk Bau Warna
- - -
serbuk normal (bebas dari bau asing) putih, khas terigu
2 Benda asing - tidak ada
3 Serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak
- tidak ada
4 Kehalusan, lolos ayakan 212 μm No. 70 (b/b)
% min. 95
5 Kadar air (b/b) % maks. 14,5 6 Kadar abu (b/b) % maks. 0,6 7 Kadar protein (b/b) % min. 7,0 8 keasaman mg KOH/100g maks. 50
9 Falling number (atas dasar kadar air 14%)
detik min. 300
10 Besi (Fe) mg/kg min. 50 11 Seng (Zn) mg/kg min. 7,0 12 Vitamin B1 (thiamin) mg/kg min. 2,5 13 Vitamin B2 (riboflavin) mg/kg min. 4 14 Asam folat mg/kg min. 2 15
15.1 15.2 15.3
Cemaran logam Timbal (Pb) Raksa (Hg) Tembaga (Cu)
mg/kg mg/kg mg/kg
maks. 1,00 maks. 0,05 maks. 10
16 Cemaran Arsen mg/kg maks. 0,50 17
17.1 17.2 17.3
Cemaran mikroba Angka lempeng total E.coli Kapang
koloni/g APM/g koloni/g
maks. 106 maks. 10 maks. 104
Sumber: Anonim (2006)
19
2. Lemak (Margarin)
Jenis lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies adalah
margarin. Margarin merupakan lemak nabati yang terbuat dari minyak kelapa
sawit, memiliki kadar lemak berkisar 80-85%. Menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI 01-3541-1994), margarin adalah produk makanan berbentuk
emulsi padat atau semipadat yang dibuat dari lemak nabati dan air dengan atau
tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (Fajiarningsih, 2013).
Penggunaan margarin dalam kue kering berpengaruh pada teksturnya lebih
kokoh dan berbentuk, dan aromanya tak segurih bila menggunakan lemak
mentega (Vivi, 2011). Fungsi lemak adalah memberikan aroma harum sehingga
meningkatkan cita rasa. Selain itu, lemak membuat tekstur kue menjadi lebih
lembut dan renyah. Lemak yang terlalu banyak menyebabkan kue melebar saat
dipanggang, sedangkan kurang lemak membuat kue seret dan kasar dimulut
(Sutomo, 2008). Komposisi kimia margarin disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi kimia margarin (per 100 g) No. Komposisi Jumlah 1 Kalori 720 (kal) 2 Karbohidrat 0,6 (g) 3 Lemak 81 (g) 4 Protein 0,4 (g) 5 Kalsium 20 (mg) 6 Fosfor 16 (mg) 7 Besi 0 (mg) 8 Vitamin A 2000 (RE) 9 Vitamin B 0 (mg) 10 Vitamin C 0 (mg) 11 Air 15,5 (g)
Sumber : Anonim, 2005
20
3. Gula
Gula merupakan salah satu bahan utama dalam pembuatan kue kering.
Gula dalam pembuatan kue kering berfungsi sebagai pengikat, pemberi rasa manis
dan memberi warna agar kue tidak pucat. Gula yang digunakan untuk membuat
kue kering adalah gula halus. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3821-
1995) tepung gula adalah tepung yang diperoleh dengan menghaluskan gula pasir
dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Jenis
gula yang dicampur di dalam adonan tidak menggunakan gula pasir yang berbutir
terlalu besar/kasar karena akan sulit larut. Gula pasir yang berbutir kasar cocok
untuk taburan kue kering (Surjani, 2009). Komposisi kimia gula halus disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi kimia gula halus (per 100 g) No. Komposisi Jumlah 1 Kalori 364 (kal) 2 Karbohidrat 94 (g) 3 Lemak 0 (g) 4 Protein 0 (g) 5 Kalsium 5 (mg) 6 Fosfor 1 (mg) 7 Besi 0,1 (mg) 8 Vitamin A 0 (RE) 9 Vitamin B 0 (mg) 10 Vitamin C 0 (mg) 11 Air 5,4 (g)
Sumber: Anonim, 2005
21
4. Telur
Telur yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah jenis telur ayam
negeri atau telur ayam ras. Selain harganya murah, telur tersebut mudah didapat
dan tidak terlalu amis dibandingkan dengan telur bebek. Telur berfungsi sebagai
mengikat bahan lain, membangun struktur kue, melembabkan, memberikan rasa
gurih, dan meningkatkan nilai gizi (Sutomo, 2008). Umumnya, kue kering
menggunakan kuning telur saja atau kuning telur lebih banyak dari putihnya
karena kuning telur akan memberikan hasil yang lembut/tidak keras (Surjani,
2009). Kuning telur mengandung lecithin yang berfungsi sebagai emulsifier dan
mengandung kadar air sebanyak 50%, sedangkan putih telur mempunyai sifat
creaming yang sangat baik dibandingkan dengan kuning telur, dan mengandung
air 86% didalamnya. Komposisi kimia telur ayam disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Komposisi kimia telur (per 100 g) No. Komposisi Jumlah 1 Kalori 361 (kal) 2 Karbohidrat 0,7 (g) 3 Lemak 81 (g) 4 Protein 16,3 (g) 5 Kalsium 147 (mg) 6 Fosfor 586 (mg) 7 Besi 7,2 (mg) 8 Vitamin A 2000 (RE) 9 Vitamin B 0,27 (mg) 10 Vitamin C 0 (mg) 11 Air 49,4 (g)
Sumber: Anonim, 2005
22
E. Bahan Pengembang (Natrium Bikarbonat)
Natrium bikarbonat atau natrium hidrogen karbonat adalah senyawa kimia
dengan rumus NaHCO3. Natrium bikarbonat berbentuk padatan putih kristal tetapi
sering muncul berbentuk bubuk halus, memiliki rasa sedikit asin basa menyerupai
soda (natrium karbonat). Natrium bikarbonat memiliki banyak nama seperti
baking soda, soda roti, soda memasak, dan soda bikarbonat. Natrium bikarbonat
digunakan dalam membuat kue yang berperan seperti zat ragi, bereaksi dengan
komponen asam dalam butter (lemak), melepaskan karbondioksida yang
menyebabkan pengembangan adonan dan membentuk tekstur dari olahan gandum
seperti pancake, kue, roti, dan makanan panggang dan goreng lainnya. Senyawa
asam yang menginduksi reaksi ini termasuk fosfat, krim tartar, jus lemon,
yoghurt, buttermilk, kakao, cuka, dan lain-lain.
Natrium bikarbonat dapat digantikan dengan baking powder. Bentuk
baking powder mengandung natrium bikarbonat yang dikombinasikan dengan
satu atau lebih asam fosfat atau krim tartar. Natrium bikarbonat dapat bereaksi
dengan asam dalam makanan, termasuk vitamin C (asam askorbat-L). Hal ini juga
digunakan dalam breadings, seperti untuk makanan yang digoreng untuk
meningkatkan kerenyahan. Penggunaan yang luas dari natrium bikarbonat sebagai
bahan pengembang didasarkan pada harga yang murah, tidak beracun, mudah
penggunaannya, relatif tidak terasa dalam produk akhir dan memiliki kemurnian
tinggi. Menurut SK. Menkes No.722/Menkes/Per/IX/88 penggunaan natrium
bikarbonat yang diperbolehkan adalah 2 g/kg adonan (Praja, 2015).
23
Menurut Haryadi (1997), menambahkan bahan pengembang dapat
meningkatkan kemampuan pati dalam menyerap air. Natrium bikarbonat
(NaHCO3) dapat mengikat air membentuk NaOH dan H2CO3 yang nantinya
berperan pada pengembangan dengan dihasilkan CO2 dan uap air karena adanya
pemanasan (pengukusan, pengeringan, dan penggorengan). Hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi NaHCO3 yang ditambahkan maka gas CO2
dari NaHCO3 yang dihasilkan akan semakin banyak sehingga pada saat
pemanasan rongga-rongga dari suatu produk pangan akan semakin banyak atau
semakin mengembang. Rongga-rongga inilah yang menyebabkan tingkat
kekerasan menurun.
F. Tahapan Pembuatan Cookies
Tahap-tahap pembuatan cookies meliputi: pencampuran semua bahan,
pencetakan, dan pemanggangan. Pencampuran bahan dilakukan dengan
memasukkan margarin dan gula halus terlebih dahulu ke dalam baskom,
kemudian di mixer hingga rata (tidak boleh terlalu lembut), masukkan kuning
telur dan kocok hingga rata, dan terakhir masukkan tepung terigu yang sudah
diayak terlebih dahulu, lalu aduk hingga rata. Pemanggangan adalah suatu cara
untuk mematangkan cookies menggunakan oven dengan suhu dan waktu yang
ditentukan. Terlebih dahulu oven tersebut dipanaskan, sebelum cookies masuk
dalam oven. Pemanggangan dilakukan dengan cara memasukkan cookies yang
sudah ditata diatas loyang ke dalam oven, panggang dengan suhu 1500 C selama
20 menit. Selama pemanggangan tidak boleh terlalu sering di buka sebelum
24
cookies benar-benar matang dan berwarna kuning keemasan. Setelah dikeluarkan
dari oven, kue kering didiamkan diatas loyang, biarkan kue dingin diatas loyang
karena uap air dapat menguap dengan sempurna. Cara lain, pindahkan kue di atas
rak kawat ketika kue masih hangat, tidak boleh memindahkan saat kue masih
panas karena kue akan mudah patah ketika dipindahkan. Setelah kue kering dingin
proses selanjutnya adalah pengemasan. Selain menjaga kualitas produk tetap baik
serta mencegah kerusakan dan kontaminasi mikroorganisme, pengemasan
memudahkan alat penyimpanan dan pengangkutan (Fajiarningsih, 2013). Skema
proses pembuatan cookies disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema pembuatan cookies
Seleksi bahan
Pengemasan
Pencetakan bahan
Pemanggangan 20 menit dengan suhu 1500
Pencampuran bahan
Penimbangan
Pendinginan
25
G. Sifat Organoleptik Cookies
Cookies mempunyai beragam bentuk, warna dan rasa, tergantung pada
bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatannya, seperti coklat atau keju
dan dalam pencetakannya. Pada umumnya cookies berukuran kecil, renyah, dan
manis (Suarni, 2009). Penilaian mutu cookies ditinjau dari aspek sifat karakteristik
bahan pangan dengan menggunakan indera manusia meliputi beberapa hal yaitu
warna, aroma, tekstur, dan rasa (Kartika, 1988).
1. Warna
Warna yang baik untuk cookies adalah kuning kecoklatan atau tergantung
bahan yang digunakan. Waktu pembakaran juga dapat mempengaruhi warna
cookies. Pembakaran yang terlalu lama akan menghasilkan cookies yang berwarna
gelap karena terjadi reaksi pencoklatan non enzimatik, yaitu karamelisasi dan
reaksi maillard.
2. Aroma
Aroma cookies didapat dari bahan-bahan yang digunakan, yang dapat
memberikan aroma tersendiri atau dengan menambah bahan pemberi aroma
seperti susu, vanili atau essen, sehingga dapat menghasilkan aroma cookies yang
harum. Waktu proses pemanggangan adonan, cookies yang ditambahkan dengan
tepung pisang akan menimbulkan aroma khas pisang. Hal ini karena cookies yang
ditambahkan dengan tepung pisang mengandung pati. Pati akan terdegradasi
waktu proses pemanggangan adonan. Pati terjadi perubahan yang ekstensif
dengan eliminasi molekul air dan fragmentasi molekul gula, yaitu terjadi
26
pemutusan ikatan karbon yang akan menghasilkan senyawa karbonil dan senyawa
volatil sehingga menimbulkan aroma yang khas dari cookies pisang.
3. Tekstur
Tekstur cookies tergantung pada bahan dan penambahan bahan
pengembang. Cookies yang baik mempunyai tekstur yang halus, renyah, ringan,
tidak hancur bila dipotong dan permukaan cookies tidak mengembang.
Berkurangnya tepung terigu dan digantikannya tepung terigu dengan tepung lain
akan menyebabkan kandungan gluten dalam tepung berkurang, sehingga adonan
akan berkurang elastisitasnya dan produk tersebut akan semakin keras
(Permatasari, 2009).
4. Rasa
Rasa cookies cenderung lebih dekat dengan aroma. Rasa cookies yang baik
adalah manis, gurih, dan sesuai dengan bahan yang digunakan dalam membuat
adonan. Menurut Fajri (2012), tepung pisang mempunyai rasa yang khas dan
istimewa sehingga dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan
aneka jenis makanan. Substitusi tepung pisang akan mempengaruhi cookies baik
warna, aroma, tekstur, dan rasa, terutama protein dan daya kembang.
H. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian meliputi
penilaian subyektif dan penilaian obyektif (Kartika, 1988).
1. Metode penilaian subyektif
a. Uji inderawi
27
Semua orang pada dasarnya dapat melakukan penilaian subyektif
dan dari penilaian subyektif tersebut akan diperoleh hasil yang berbeda-beda
karena tingkat kepekaan tiap manusia berbeda-beda. Penilaian subyektif
menggunakan alat indera manusia atau uji inderawi yaitu indera
penglihatan, indera penciuman, indera peraba, dan indera perasa. Tipe
pengujian ini digunakan untuk menilai mutu bahan dan intensitas sifat
tertentu yaitu warna, aroma, tekstur, dan rasa. Hasil penilaian inderawi
kemudian akan dianalisis secara statistik agar hasil penilaiannya tidak
bersifat subyektif lagi, sehingga data yang diperoleh menjadi valid atau
dapat dipercaya (Kartika, 1988).
b. Uji organoleptik
Penilaian subyektif yang lain yaitu pengujian organoleptik.
Pengujian organoleptik adalah suatu disiplin ilmu yang digunakan untuk
mengungkap, mengukur, menganalisis dan menafsir reaksi indera
penglihatan, perasa, pembau dan peraba ketika menangkap karakteristik
produk. Karakteristik pengujian organoleptik adalah penguji cenderung
malakukan penilaian berdasarkan kesukaan, penguji tanpa melakukan
latihan, penguji umumnya tidak melakukan penginderaan berdasarkan
kemampuan seperti dalam pengujian inderawi, dan pengujian dilakukan di
tempat terbuka sehingga diskusi kemungkinan terjadi. Pada waktu
melakukan uji kesukaan ini digunakan tingkat kesukaan panelis terhadap
sampel (Kartika, 1988).
28
Uji kesukaan merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan
responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji.
Pada pengujian ini digunakan panelis yang belum terlatih. Panelis diminta
untuk mengemukakan pendapatnya secara spontan tanpa membandingkan
dengan sampel standar. Oleh karena itu, pengujian dilakukan secara
berurutan, tidak disajikan secara bersama-sama. Uji kesukaan juga disebut
uji hedonik. Panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat
kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya
dalam hal “suka” dapat mempunyai skala hedonik seperti amat sangat suka,
sangat suka, suka, agak suka, begitu pula untuk “tidak suka”, dan ada satu
lagi skala “netral” (Kartika, 1988). Lembar penilaian yang digunakan dalam
uji organoleptik dapat disajikan pada Lampiran 4.
2. Metode penilaian obyektif
Penilaian obyektif adalah penilaian yang dilakukan di laboratorium kimia
dengan menggunakan alat-alat laboratorium untuk mengetahui kandungan gizi
dari makanan. Alat pengumpulan data yang digunakan pada uji inderawi adalah
panelis agak terlatih dan pada uji organoleptik adalah panelis tidak terlatih
(Kartika, 1988).
a. Panelis agak terlatih
Instrumen atau alat yang digunakan untuk penilaian inderawi adalah
panelis agak terlatih sejumlah 8-25 orang. Panelis agak terlatih adalah
panelis yang sebelum melakukan penilaian dilatih terlebih dahulu, dengan
29
tujuan agar panelis dapat mengetahui sifat-sifat atau karakteristik suatu
bahan. Untuk menilai karakterisitik mutu pangan, panelis harus memenuhi
syarat atau ketentuan yang ditetapkan sebagai dasar penilaian.
Salah satu syarat untuk mendapatkan panelis agak terlatih adalah
instrumen (panelis) mempunyai kepekaan dan konsistensi yang tinggi
dengan kata lain valid dan reliabel. Upaya yang dapat dilakukan untuk
memperoleh instrumen (panelis) yang valid dan reliabel harus melalui
tahap-tahap seleksi panelis atau tahap-tahap validasi instrumen dan
reliabilitasi instrumen. Untuk mendapatkan panelis agak terlatih maka
dilakukan seleksi panelis, dengan cara melakukan wawancara menggunakan
beberapa pertanyaan yang menyangkut kesediaan panelis, kesehatan panelis,
kebiasaan panelis dan pengetahuan umum tentang produk yang diujikan.
b. Panelis tidak terlatih
Panelis tidak terlatih digunakan untuk menilai tingkat kesukaan pada
suatu produk atau pun menilai tingkat kemauan seseorang untuk
menggunakan suatu produk. Menyangkut tingkat kesukaan terhadap suatu
produk makanan maka semakin banyak jumlah anggota panelis maka
hasilnya akan semakin baik.
30
I. Pengujian Fisikawi
1. Uji tekstur
Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan alat Texture Analyzer.
Prinsip pengukuran tekstur adalah memberikan gaya kepada bahan dengan
besaran tertentu sehingga kekerasan dapat diukur (Faridah, 2008). Besarnya nilai
kekerasan suatu produk akan dipengaruhi oleh komposisi penyusun, suhu, dan
waktu pemanggangan (Pratama, 2014). Sebelum melakukan pengujian tekstur,
alat texture analyzer sebaiknya dihidupkan terlebih dahulu minimal 30 menit dan
diprogram sesuai parameter yang diinginkan. Cara pengujian tekstur yaitu
memotong sampel terlebih dahulu dengan ukuran (2x2x2) cm3, kemudian sampel
yang telah dipotong diletakkan di bawah alat penekan dan alat dijalankan. Pada
layar monitor dapat diamati besarnya ukuran tekstur sampel (Galves, 1992).
2. Uji pengembangan
Analisis pengembangan dilakukan dengan cara mengukur volume adonan
yaitu mengukur ketinggian adonan pada keempat sisi dan satu titik pusat,
kemudian menghitung volume cookies menggunakan rumus volume lingkaran.
Hasil dari volume tersebut diubah ke dalam bentuk persen menggunakan rumus
volume sesudah pemanggangan dikurangi dengan volume sebelum pemanggangan
lalu dibagi volume sebelum pemanggangan dan dikali 100% (Matz, 1962). Daya
kembang cookies ditentukan oleh kadar protein, kadar amilopektin dan kadar
lemak. Protein akan mengalami denaturasi sehingga mengurangi daya kembang
cookies, karena granula pati sulit mengembang. Hal ini karena granula pati tanpa
protein akan mudah pecah dan jumlah air yang masuk dalam granula pati akan
31
lebih banyak sehingga pengembangan pati menjadi meningkat. Pada waktu
pengadonan, pati akan menyerap air dari bahan dan memerangkap udara sehingga
membentuk gelembung udara kecil, kemudian dilanjutkan dengan proses
pemanasan maka terjadi proses gelatinisasi yang diawali dengan penggembungan
pati, pelelehan kristalin, pelarutan pati, penyebaran, pemekaran, dan
pengembangan (Oktavia, 2008).
Hubungan antara tingkat pengembangan dan tingkat kekerasan (tekstur)
dapat dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dalam analisis tersebut
terdapat koefisien determinasi atau sering disimbolkan dengan R2 yang diartikan
sebagai pemberi kontribusi pengaruh yang diberikan variabel bebas (x) terhadap
variabel terikat (y). Nilai koefisien determinasi (R2) dapat dipakai untuk
memprediksi seberapa besar kontribusi pengaruh variabel bebas (x) terhadap
variabel terikat (y) dengan syarat hasil uji F dalam analisis regresi bernilai
signifikan. Semakin kecil nilai koefisien determinasi, maka ini artinya pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat semakin lemah. Sebaliknya, jika nilai R2
semakin mendekati 1, maka pengaruh tersebut akan semakin kuat (Sudjana 1982
dalam Anggraeni 2008).
Tingkat kekerasan dipengaruhi oleh derajat gelatinisasi, derajat
pengembangan, indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Derajat
gelatinisasi pati yang semakin tinggi akan menyebabkan derajat pengembangan
semakin tinggi, sehingga nilai kekerasan menurun (Muchtadi 1988 dalam
Pitrawati 2008). Tingkat kekerasan yang rendah dapat disebabkan oleh kandungan
lemak. Lemak dapat membentuk suatu kompleks dengan amilosa yang dapat
32
menurunkan derajat pengembangan, namun perbandingan lemak dengan amilosa
yang semakin tinggi menyebabkan kekerasan menurun karena semakin banyak
lemak yang tidak membentuk kompleks dengan amilosa. Lemak bebas yang tidak
membentuk kompleks dengan amilosa ini menyebabkan produk menjadi tidak
keras (Harper 1981 dalam Pitrawati 2008). Indeks penyerapan air yang tinggi
dapat menurunkan tingkat kekerasan karena semakin banyak air yang diserap
maka produk yang dihasilkan akan semakin lunak (Pitrawati, 2008). Faktor yang
mempengaruhi nilai tingkat kekerasan produk biskuit yang dihasilkan ialah
formulasi biskuit, ketebalan biskuit serta konsentrasi tepung yang ditambahkan
(Kaya, 2008).
Produk dengan kandungan lemak dan gula yang lebih banyak memiliki
struktur yang lebih plastis (Manley, 2000). Kandungan gula dan lemak akan
mempengaruhi pengembangan biskuit karena pada adonan yang kurang diperkaya
oleh lemak dan gula maka glutennya akan terbentuk dan mengembang selama
pemanggangan. Strukturnya juga berbeda, pada adonan yang kaya akan lemak dan
gula strukturnya lebih renyah, terbuka dan tidak beraturan sedangkan pada adonan
lain strukturnya berlapis-lapis (Manley, 2001). Biskuit yang terlalu mengembang
densitasnya berkurang sehingga akan berpengaruh pada tingkat kekerasan.
Perubahan tekstur karena pemanggangan ditentukan oleh sifat makanan
(kandungan alami dan komposisi lemak, protein, karbohidrat struktural (selulosa,
pati dan petin), suhu dan lamanya pemanasan). Pemanasan pada produk makanan
dapat mengakibatkan protein terdenaturasi, kehilangan kemampuannya dalam
mengikat air, lemak meleleh dan terdispersi ke seluruh makanan (Fellows, 2000).
33
J. Pengujian Kimiawi
1. Uji kadar air
Kadar air akan mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa suatu
produk (Winarno, 2008). Daya ikat adonan disebabkan oleh kandungan gluten
(Candra, 2014). Kandungan gluten yang kecil menyebabkan kemampuan gluten
untuk mengikat air menjadi kecil sehingga menentukan kerenyahan suatu produk.
Selain itu, proses pemanggangan dengan metode oven akan mempengaruhi kadar
air pada suatu produk (Fellows, 2000). Metode yang biasa dilakukan untuk
menentukan kadar air adalah dengan cara destilasi. Sampel yang akan diuji
dipotong kecil-kecil atau berupa bubuk secukupnya dan dipindahkan ke dalam
labu destilasi, lalu ditambahkan kurang lebih 75-100 ml toluene dan memasang
labu destilasi pada alat destilasi khusus dengan penampang air yang menguap,
pemanasan diatur sampai kira-kira 4 tetes toluene jatuh dari kondensor setiap
detik, selanjutnya destilasi sampai semua air menguap dan air dalam penampang
tidak bertambah lagi (kurang lebih 1 jam), kemudian diamati dan menghitung
persen air dari berat sampel (AOAC, 1970).
2. Uji kadar abu
Penentuan kadar abu pada produk pangan bergantung pada besarnya
kandungan mineral bahan yang digunakan (Basito, 2012). Adanya kandungan abu
yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau
kotoran yang lain. Kadar abu ditentukan dengan cara membakar sampel dalam
tanur dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang sampel 3-5 gram
pada cawan dan diletakkan pada tanur pengabuan, dibakar sampai dapat abu
34
berwarna abu-abu atau beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap,
tahap pertama 4000C dan tahap kedua 5500C, lalu didinginkan dan ditimbang
untuk dihitung menggunakan rumus kadar abu dalam satuan persen (AOAC,
1970).
3. Uji kadar protein
Protein dalam bahan makanan merupakan sumber asam amino yang
mengandung unsur C,H,O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat.
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh, karena zat ini selain
berfungsi sebagai penghasil energi, adalah zat pembangun dan zat pengatur. Salah
satu cara analisis kuantitatif protein adalah dengan mikro kjeldahl. Cara analisis
ini merupakan cara tidak langsung karena yang dianalisis adalah kadar nitrogen
suatu bahan (Winarno, 2008). Terdapat tiga tahap dalam proses analisis protein
mikro kjeldahl, yaitu proses destruksi bahan menggunakan asam sulfat pekat,
destilasi dengan amonium sulfat menjadi ammonia dan titrasi dengan amonium
sulfat menjadi amonia (Sudarmadji, 2010).
4. Uji kadar lemak
Salah satu ciri khas lemak adalah larut dalam pelarut organik seperti eter,
benzena dan kloroform, serta tidak larut dalam air. Proses analisis lemak bertujuan
untuk menentukan kadar kuantitatif lemak dalam bahan makanan. Pada cara
kering, sampel dioven secara vakum namun dalam suhu yang tidak terlalu tinggi
(sekitar 70oC). Jika bahan mengandung banyak air, maka bahan diesktraksi
terlebih dahulu sebab air akan ikut terekstraksi bersama minyak dan
mempengaruhi validitas pengukuran. Ekstraksi lemak dilakukan secara terputus-
35
putus menggunakan metode soxhlet yang menggunakan alat soxhlet dengan
pelarut heksana untuk mengekstrak lipid dari bahan kering sehingga dapat
dipisahkan dari bahan yang diuji untuk diukur kadarnya (Sudarmadji, 2010).
5. Uji kadar karbohidrat
Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik
bahan makanan seperti rasa, warna, dan tekstur. Nilai kadar karbohidrat dihitung
menggunakan metode by difference, yaitu dengan memperhitungkan jumlah
karbohidrat dari pengurangan komponen total (100%) terhadap kadar air, lemak,
protein, dan abu (El-Shobaki, 2010).
6. Uji kadar pati
Metode analisis hidrolisis pati dengan asam (metode Lane-Eynon)
digunakan sebagai larutan stok pada penentuan kandungan gula pereduksi
(glukosa). Berat glukosa (gula pereduksi) yang terukur dikalikan dengan 0,9 yang
merupakan faktor konversi untuk pembentukan glukosa dari hidrolisis pati
sehingga kadar pati dapat ditentukan (Apriyantono, 1998).
L. Hipotesis
Penggunaan tepung pisang kepok putih dan natrium bikarbonat pada
pembuatan cookies diduga berpengaruh pada sifat fisik dan tingkat kesukaan
panelis pada cookies yang dihasilkan.