10
IMPLEMENTASI PERAYAAN HARI RAYA GALUNGAN DALAM MENINGKATKAN KESADARAN MENJALANKAN DHARMA Oleh Ni Ketut Murtikawati NIM : 05. 694 1. Pendahuluan Kata hari raya Galungan sudah merupakan kata yang tidak asing lagi kita dengar. Galungan adalah salah satu hari suci umat hindu di Indonesia yang diperingati secara rutin setiap enam bulan di Bali. Dulu hari suci ini jauh lebih populer dari pada hari-hari suci Hindu lainnya, lebih-lebih pada saat agama Hindu belum berkedudukan seperti sekarang ini. Namun hari Galungan ini kerap kali hanya dipahami sebagai hari besar yang harus disambut dengan jenis bebantenan tertentu. Lebih parah lagi kedatangan hari suci ini identik dengan mebet. Apa makna sesungguhnya hari suci Galungan? Siapa pun tidak akan menyangkal bahwa perayaan hari raya Galungan adalah untuk memperingati kemenangan dharma melawan adharma. Dalam ajaran Hindu ada disebutkan “Satyameva Jayate” yang mempunyai makna akhirnya kebernaran itulah yang menang”. Kebenaran identik dengan dharma, dan apabila semua kegiatan itu berdasarkan dharma, maka akan menimbulkan keberanian untuk langkah selanjutnya, karena dasar berani itu adalah benar. Sebagaimana dijelaskan dalam misi Hindu yakni untuk mencapai kebahagiaan sejati, Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma. Namun dalam pelaksanaan sehar-hari, ternyata sangat beraneka ragam. Ajaran dharma yang diterapkan akan jauh melenceng, apabila ternyata pada praktek keagamaan yang diterapkan didominasi oleh tradisi/budaya setempat. Hindu sangat toleran dengan keanekaragaman dan menghargai budaya setempat, namun jangan disalah artikan, setidak-tidaknya tindakan yang dilakukan didasarkan pada atmansastutil (keheningan hati). 1

Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

IMPLEMENTASI PERAYAAN HARI RAYA GALUNGANDALAM MENINGKATKAN KESADARAN MENJALANKAN DHARMA

Oleh Ni Ketut Murtikawati

NIM : 05. 694

1. PendahuluanKata hari raya Galungan sudah merupakan kata yang tidak asing lagi kita

dengar. Galungan adalah salah satu hari suci umat hindu di Indonesia yang diperingati secara rutin setiap enam bulan di Bali. Dulu hari suci ini jauh lebih populer dari pada hari-hari suci Hindu lainnya, lebih-lebih pada saat agama Hindu belum berkedudukan seperti sekarang ini. Namun hari Galungan ini kerap kali hanya dipahami sebagai hari besar yang harus disambut dengan jenis bebantenan tertentu. Lebih parah lagi kedatangan hari suci ini identik dengan mebet. Apa makna sesungguhnya hari suci Galungan?

Siapa pun tidak akan menyangkal bahwa perayaan hari raya Galungan adalah untuk memperingati kemenangan dharma melawan adharma. Dalam ajaran Hindu ada disebutkan “Satyameva Jayate” yang mempunyai makna akhirnya kebernaran itulah yang menang”. Kebenaran identik dengan dharma, dan apabila semua kegiatan itu berdasarkan dharma, maka akan menimbulkan keberanian untuk langkah selanjutnya, karena dasar berani itu adalah benar.

Sebagaimana dijelaskan dalam misi Hindu yakni untuk mencapai kebahagiaan sejati, Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma. Namun dalam pelaksanaan sehar-hari, ternyata sangat beraneka ragam. Ajaran dharma yang diterapkan akan jauh melenceng, apabila ternyata pada praktek keagamaan yang diterapkan didominasi oleh tradisi/budaya setempat. Hindu sangat toleran dengan keanekaragaman dan menghargai budaya setempat, namun jangan disalah artikan, setidak-tidaknya tindakan yang dilakukan didasarkan pada atmansastutil (keheningan hati).

Ajaran Hindu selalu memberikan pilihan pada umatnya tentunya dengan akibat sesuai dengan hukum karma. Bagi umat yang mengetahui ajaran dharma,mungkin tidak memiliki kesulitan dalam melakukan pilihan, tetapi bagi umat yang masih diliputi avidya (gelap), pilihan tersebut belum tentu jatuh pada apa yang diharapkan sesui dengan ajaran dharma, karena yang bersangkutan belum mengetahuinya.

Suatu ilustrasi sederhana yang merupakan fenomena nyata dilapangan namun bersifat ekstrim misalnya mengkonsumsi daging sapi. Meskipun bertentangan dengan ajaran dharma, namun banyak masyarakat Hindu yang turut menikmati bakso daging sapi. Apalagi umat yang menjalankan ajaran ahimsa secara murni boleh dikatakan relatif sedikit, sebagian besar umat menjalankan ajaran ahimsa dengan melakukannya setengah-setengah. Akibatnya masalah yang terjadi yang menimpa umat seolah-seolah tidak ada henti-hentinya khususnya di Bali, kekerasan terjadi terus menerus, dan umat Hindu cendrung hidup dengan pola konsumtif. Ini merupakan peluang bagi orang luar, sampai ada akedot mengatakan orang luar datang ke Bali menjual bakso untuk membeli tanah, sedangkan orang Bali menjual tanah untuk membeli bakso.

1

Page 2: Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

Fenomena tersebut merupakan fakta di lapangan. Terbukti bahwa penduduk yang beragama Hindu di Bali diperkirakan sekitar 60%. Angka ini merupakan ambang batas, pengurangan tersebut akan semakin bertambah cepat, kalau umat Hindu tidak sadar. Kalau angka tersebut mendekati atau sama dengan 50%, tentu saja akan merugikan umat Hindu, karena seluruh kebijakan/peraturan yang berkaitan dengan keagamaan yang dapat melindungi penduduk asli yang beragama Hindu di daerah akan sulit direalisasikan. Di hal ini hampir menjadi suatu kenyataan sebagaimana kasus RTRW Bali yang kini masih menjadi polemik.

Masalah-masalah di atas tidak akan berhenti begitu saja dengan sendirinya, masalah akan terus terjadi secara berkelanjutan, karena kita hidup tidak sesuai dengan pedoman hidup yang bersumber dari weda. Masalah tersebut tidak akan berhenti, kalau hanya direspon oleh segelintir orang atau beberapa orang saja, masalah tersebut akan berakhir apabila disikapi oleh seluruh umat dengan misi dan tujuan yang sama, sehingga menimbulkan suatu resultante yang kuat. Umat Hindu butuh suatu komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan, kalau umat terpecah belah mengacu pada tradisi masing-masing, soroh masing-masing wangsa masing-masing dan sebagainya, umat Hindu akan menjadi pangsa pasar yang sangat potensial untuk melakukan proselitasi (memindah agamakan orang yang sudah beragama).

Permasalahan yang bersifat konseptual hingga yang bersifat teknis sekalipun akan selalu muncul dalam setiap gerak dan aktivitas kita, karena sesungguhnya setiap permasalahan pasti memiliki penyelesaian yang tuntas. Penundaaan penyelesaian maslah akan menambah beban masalah selanjutnya dari masalah baru atau maslah yang terbengkalai tersebut. Demikian seterusnya hingga membentuk gundukan problematika yang memadat membesar, serta saling terkait antara satu dengan lainnya. Permasalahan akan akan terus berdatangan bagaikan aliran gravitasi air pegunungan yang datang secara mendadak membanjiri dan menghanyutkan lahan kehidupan yang ada. Permasalahan tersebut tidak akan pernah mengenal atau menunggu kesiapan kita walaupun dengan berbagai alasan pembenaran. Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali mencoba untuk tetap menghadapinya dan segera menyelesaikan hal tersebut dengan cepat, tepat dan tuntas dengan tetap berpedoman pada dharma.

Dengan demikian usaha peningkatan kesadaran umat untuk melaksanakan dharma menjadi sangat penting dan mendesak di tengah dinamika perubahan yang berbanding lurus dengan keyakinan yang digenggamnya. Keberadaan nilai-nilai yang dianut haruslah diyakini sebagai sebuah kebenaran yang tentunya telah melalui proses dinamika pemahaman, pembuktian dan pengkristalan. Perjalanan dan peralihan substansi nilai-nilai kebenaran ajaran Veda akan sangat membutuhkan kader-kader yang berwawasan intelektual dengan pijakan spiritual kehinduan.

Disisi lain, peningkatan kesadaran umat untuk melaksanakan setiap upacara-upacara keagamaan yang ada perlu di tingkatkan. Namun tidak hanya dalam melaksanakan secara fisik semata tetapi juga memahami makna yang terkandung di dalamnya kemudian mengimplementasikannya dalam tindakan nyata. Sejalan dengan hal tersebut, implementasi perayaan hari raya galungan secara tepat diharapkan akan mampu meningkatkan kesadaran umat dalam menjalankan dharma.

2

Page 3: Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

2. Makna Hari Raya Galungan

Hari raya galungan yang diperingati secara rutin setiap enam bulan di Bali, kerap kali hanya dipahami sebagai hari besar yang hanya harus disambut dengan banten tertentu. Lebih parah lagi kedatangan hari suci ini identik dengan mebat.

Seperti tema agama umumnya, hari suci ini menjadikan kebenaran sebagai sentralnya. Perang melawan ketidakbenaran pada hakekatnya adalah perang abadi dalam diri manusia. Perang tersebut menentukan apakah manusia berhasil mencapai esensinya sebagai madawa (manusia dewa) atau tidak. Pun apakah manusia akan berhasil atau gagal merealisasikan tujuan hidupnya yaitu dharma,arta, kama dan moksa (keharmonisan, kecukupan materi, kesenangan hati dan penyatuan kembali Sang Diri ke Sang Maha Pencipta).

Hari raya Galungan dan Kuningan adalah hari-hari yang berkenaan dengan arti dan tujuan hidup. Hidup adalah suatu perjuangan atau pergulatan (Galungan) dalam rangka menolong diri dari belenggu samsara dengan memenangkan Dharma atas Adharma.

Agama Hindu senantiasa menganjurkan supaya manusia mengalahkan musuh yang terdapat dalam dirinya terlebih dahulu. Dalam kekawin Ramayana dinyatakan: ragadi musuh maparo, rihati ya tanggwannya tan madoh ring awak artinya nafsu dan semacamnya itu adalah musuh yang dekat, dihati tempatnya tidak jauh dari badan. Sebab menuntut Kekawin Nitisastra musuh yang hebat terdapat dalam diri kita sendiri: TAN HANA MUSUH MANGLIWAHANE GELENG HANARIHATI, artinya tidak ada musuh yang melebihi kemarahan dalam hati. Dan kapan manusia mampu mengalahkan musuh-musuhnya itu? Memang melawan musuh yang selalu mengganggu dirinya, maka manusia akan mendapatkan kemerdekaan pikiran, kebebasan jiwa dan raga.

Galungan yang berarti perang, adalah juga pertarungan kebenaran melawan ketidak benaran, yang menggunakan cerita Mayadanawa sebagai latar belakang walapun hari suci ini sudah ada jauh sebelumnya. Tema cerita ini pararel dengan epos Mahabarata dan Ramayana. Hari suci ini semacam Srada Wijaya Dhasmi di India. Histografi Mayadanawa yang bersifat empiris dirancang kembali penuturannnya untuk melatar belakangi, mendekatkan (baik secara tempat, waktu, maupun rasa) dan memasukkan ke dalam penghidupan pemeluknya di Indonesia, agar ajaran agama Hindu benar-benar menjadi milik kebutuhan dan tanggungjawabnya. Hal ini dimungkinkan sesuai prinsip kebebasaan memilih (atmanastuti) dan prinsip penyesuaian pelaksanaan (dharma sidhiarta) Hindu yang secara populer disebut desa – kala – patra. Oelh karena itu Agama hindu yang menyebar keberbagai jurusan selalu mendapat dan membuant bentuknya sendiri dengan menyerap dan diserap oleh local genius kebudayaan setempat.

Hari suci Galungan sebagai hari kemenangan dharma atas adharma, juga disebut hari suci “Pemedalan Jagat”, hari penciptaan dunia. Mungkin yang dimaksudkan disini adalah dunia baru yang ditandai dengan kalahnya Mayadanawa, raja lalim dan ahamkara yang berkuasa di Bedahulu (Bali) dan menganggp dirinya sebagai Tuhan.

Perayaan hari raya Galungan dan Kuningan, setidaknya meliputi tiga pokok : penyembahan brahma (dalam hubungan hari pawedalan jagat), penyembahan pitra/leluhur dan rsi/maharesi (dalam hubungan dengan kemenangan atas adharma) dan penghormatan guru dalam artian penghapusan

3

Page 4: Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

kegelapan dan kebodohan serta kemiskinan (diwujudkan dengan upacara pemarisudan guru dan sajen tumpeng guru).

Pada umumnya perayaannya dilakukan di rumah-rumah (keluarga), sehingga keluarga sebagai bentuk masyarakat terkecil, di mana kesejateraan, pendidikan, dan pengajaran berpusat, semestinya paling konsekuen menegakan dharma, baik sebagai kekuatan, cara maupun tujuan. Dalam rangka ini perlu juga kita kaitkan bahwa selama antara galungan dan kuningan (10 hari) para pitara ada di sekitar keluarga, sehingga tentunya dituntut keadaan kondusif bagi kehadiran beliau itu. Menyalakan lampu dan menghaturkan wargasari di sanggah konon dulu biasa dilakukan. Peran pitara/leluhur dalam keluarga sangat penting. Yang dipuja bukanlah wasana leluhur, tetapi atmanya yang berarti Tuhan itu sendiri dalam aspek itu, karena wasananya mungkin sudah mendapat wadah baru, bereinkarnasi. Perayaan yang merupakan runtutan peristiwa yang diawali dari tumpek wariga (25 hari sebelum) dan berakhir pada Buda Keliwon atau pegatwakan (35 hari setelah galungan), terutama selama masa “Nguncal Balung” selama 40 hari (5 hari sebelum dan 35 hari setelah galungan) dengan pentabuan atas pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membangun rumah, kawin dan mecaru, tentunya kegiatan-kegiatan yang bersifat kerohanian demi perkuat dan pengisian dharma serta kewaspadaan terhadap buta kala yang selalu siaf memanfaatkan kelengahan menusa. Lontar sundarigama menegaskan bahwa “Buda Keliwon Galungan adalah yang mengarahkan bersatunya pikiran agar menjadi terang dan berkesadaran tinggi, untuk melenyapkan penyebab kekacauan pikiran “ adalah berkaitan dengan peran cartur guru yang diakomdoasikan dalam perayaan Galungan. Hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa pada masa selama runtutan perayaan galungan itu perlu pross belajar mengajar yang bersifat kerohanian dintesiftkan. Di dalam seolah-olah telah direkayasa suatu makna oleh “local genius”Hindu di masa itu untuk memberikan makna khusus dalam rangka upaya mengingatkan,menyegarkan dan menekankan ajaran-ajaran ajaran Hindusecara siklus dan berencana selama masa tertentu. Perayaan Galungan difokuskan kepada keluarga menunjukkan bahwa kita ditugaskan untuk lebih mengerti tugas, fungsi, peran dan tanggung jwab keluarga sebagai basis dari kesejateraan umat manusia. Artinya jika setiap keluarga bisa mereaspi dengan benar ajaran dharma, maka dapat dipastikan kesejahteraan dunia dapat diwujudkan.

Pada hari suci Galungan yang dipuja adalah istadewata Sang Hyang Dharma/Sang Hyang Galungan/Bhatara Saringing Galungan. Tapa, berata, yoga dan semadi yang dilakukan pada hari ini merupakan langkah perenungan, penghayatan dan penyerahan diri kepada Hyang Widhi Wasa. Secara internal hal tersebut ditunjukkan untuk memperkukuh jati diri dan secara eksternal ditujukan untuk menguatkan kepedulian kita terhadap persoalan-persoalan yanag ada disekitar kita. Misalnya, kita diwajibkan untuk memerangi korupsi, pungli, penindasan dan lain sebagainya yang merupakan bentuk-bentuk nyata dari adharma dalam kehidupan.

Selama nguncal balung, biasanya dilakukan kegiatan kesenian seperti “ngelawang” barong. Hal ini sesungguhnya adalah tradisi yang punya nilai yang luar biasa. Yiatu upaya yang dilakukan dari pintu ke pintu untuk mengajak masyarakat untuk menyegarkan ingatan kepada epos Ramayana dan Mahabarata , serta peperangan antara kebaikan dan kejatahan.

4

Page 5: Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

Dilihat dari model upacaranya, prayaan galungan yang siklikal (rutin datangnya setiap 6 bulan) tampaknya hendak melengkapi makna-makna pelakanaan upacara hari suci lainnya yang bersifat masal tetapi tidak merata. Sebuah siklus yang dapat diandaikan sebagai sebuah putaran sentrifugal yang memusat ke bathin manusia yang merupakan tipologi Hindu dalam menghayati ketuhanannya.

3. Meningkatkan Kesadaran Menjalankan DharmaManusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan memiliki dimensi ganda. Manusia

sebagai mahluk individu berhadapan dengan dirinya sendiri dan manusia sebagai mahluk sosial berhadapan dengan lingkungan sosial dalam masyarakat dan hidup bersama di lingkungan alam.

Sebagai mahluk individu menusia berhadapan dengan badan jasmani dan badan rohaninya. Menghadapi badan jasmaninya, manusia membutuhkan kebutuhan biologis seperti makan, minum, pakaian, perumahan dan lain-lainnya. Manusia secara individu berhadapan dengan kemauannya, perkembangan pikiran cira-cita , perasaannya dan lain-lain. Sebagai mahluk sosial manusia berhadapan dengan mahluk hidup lainnya di Bhuana agung ini. Dalam masyarakat kita hidup bersama dengan beraneka jenis watak, sifat dan bakat manusia.

Dalam kehidupan bersama inilah manusia membutuhkan suatu tatananan dan aturan agar hidup bersama itu dapat dikembangkan menjadi kerjasama saling melengkapi secara harmonis, dinamis dan produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendapatkan rasa aman dan sejahtera secara adil dalam ajaran Hindu disebut moksartam jagathita ya ca iti dharma. Untuk mewujudkannya dalam ajaran Hindu dituntut agar setiap tindakan di dasarkan pada atmanastuti yang berlandaskan dharma.

Namun dalam dinamika perkembangan kehidupan masyarakat, tolerasi dan kesadaran menjalankan dharma di kalangan umat Hindu makin melemah yang dibuktikan dengan menyurutnya jumlah umat Hindu akibat tekanan dari umat lain, karena kita hidup tidak sesuai dengan pedoman hidup yang bersumber pada weda. Hal ini tentu berdampak timbulnya berbagai masalah-masalah yang harus dihadapai umat Hindu. Untuk itulah perlu suatu kerja sama seluruh umat untuk bersatu dengan misi dan tujuan yang sama dan tetap menegakan ajaran Hindu dan meningktkan kesadaran menjalankan dharma. Dibutuhkan suatu komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan. Proses perbaikan untuk perubahan sesuai dengan ajaran weda harus dilakukan secara berkesinambungan, yang membutuhkan kepedulian seluruh umat Hindu, diantaranya :

Pertama adalah pola hidup sederhana. Umat Hindu dianjurkan untuk hidup sederhana bahkan persembahan kepada Tuhan pun yang memiliki nilai paling tinggi adalah dengan kesederhanaan (tanpa daging), seperti yang didapatkan pada upacara yajna agnihotra, yang didasarkan dengan ketulusan. Dalam Bhagawad Gita IX-26 disebutkan “Siapa pun yang dengan sujud bhakti kepada Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.”

Pola hidup yang diajarkan weda penuh dengan kesederhanaan, demikian juga dengan upacara keagamaan tidak mesti dengan bermewah-mewahan mengikuti tradisi yang penuh dengan sifat rajas dan tamas, sehingga kitak tidak

5

Page 6: Implementasi Perayaan Hari Raya Galungan_seminar

perlu mendatangkan janur atau kelapa dari daerah lain. Hindu hanya mentolerir tradisi yang memiliki nilai positif saja, yang negatif harus dibuang. Perubahan ini dapat dilakukan yang lama kelamaan akan memiliki dampak yang besar, yaitu pada tingkat keimanan umat akan semakin miningkat, dan dampak positif secara ekonomi yaitu efek multiplier akan terjadi di kalangan umat Hindu sendiri, dana tidak keluar (sebagai reaksi positif terhadap sertifikat halal)

Kedua adalah berpikir tinggi. Umat Hindu dianjurkan untuk berpikir tinggi, yang mana dalam realisasinya Dewi Saraswati meupakan lambang ilmu pengetahuan. Hindu memberikan aspirasi yang sangat tinggi pada pengetahuan. Peringatan hari raya Saraswati dilakukan sebagai pintu gerbang untuk membasmi ketidaktahuan, untuk memabngun identitas diri, tradisi, atau peradaban yang selaras dengan ajaran weda.

4. PenutupBerdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perayaan hari raya

Galungan tidak semata pelaksanaan upacara sebagai pengejawantahan sradha, bhakti dan yadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, tetapi seyogyanya meresapi dan menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Dengan meresapi dan menghayati makna yang terkandung didalamnya akan mampu meningkatkan kesadaran kita dalam menjalankan dharma dalam kehidupan sehari-hari yang dicerminkan dengan pola hidup sederhana namun memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.

Daftar Pustaka

Catra Yasa Wayan, 2005, Memahami Dharma Menimbulkan Keberanian, Tabanan : Pustaka Manik Geni

Murdayaso Made, 1999, Militasi dan Problematika Kader Hindu, Tabanan : Yayasan Manik Geni Dharmasastra

Sargede, 2004, Kebangkitan Hindu, Surabaya : ParamitaSedana Nyoman, 2005, Meningkatkan Kesadaran Menjalankan Dharma,

Tabanan: Pustaka Manik GeniSvami Sivananda, 1998, Japa Yoga, Surabaya : Penerbit ParamitaWiana Ketut, 1999, Membina Kekutan Moral Sebagai Landasan Berpolitik,

Tabanan : Yayasan Manik Geni DharmasastraYasa Tohjiwa, 1994, Galungan bukan Sekedar Mebat, Tabanan : Pustaka Manik

Geni

6