Upload
bloadyroar
View
55
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
All about uveitis hahahaa
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid)
dengan berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea
yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Peradangan
pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris yang
disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut siklitis. Iritis dengan siklitis
disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan merupakan
bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan koroid disebut uveitis
posterior atau koroiditis.1,2
Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia
pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang
kabur,mata merah (merah sirkumneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil
atau ireguler. Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan tipe
granulomatosa dan non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat
eksogen dan endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi: infeksi, proses
autoimun, yang berhubungan dengan penyakit sistemik, neoplastik dan idiopatik.1
Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan
perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang
diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun
37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan
dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis
anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika,
penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Keterkaitan antara
uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi
genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al.1,2
Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang. Sekitar 75% merupakan
uveitis anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik
terkait. Di Amerika Serikat, uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga
1
setelah Retinopati Diabetik dan Degenerasi Macular. Dimana terdapat 2,3 juta
orang penderita uveitis dimana kasus baru ditemukan sebanyak 45.000 pertahun.
Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertal sampai 50
tahun. Uveitis dapat terjadi pada semua usia, tetapi kebanyakan terjadi pada usia
20-50 tahun dan menurun insidennya pada usia 70 tahun. Uveitis lebih banyak
ditemukan di negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju karena
lebih tingginya prevalensi infeksi yang bisa mempengaruhi mata, seperti
tokoplasmosis dan tuberkulosis di negara berkembang. Uveitis dapat
menyebabkan 10-20% kebutaan. 3,4
Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor
penyebabnya dan dimana kelainan itu terjadi,biasanya pasien datang mengeluh
nyeri ocular, Fotofobia,penglihatan kabur, dan mata merah. Pada pemeriksaan
didapatkan tajam penglihatan menurun, terdapat injeksi siliar, KP, flare, hipopion,
sinekia posterior, tekanan intra okuler bisa meningkat hingga sampai edema
macular.2,3
Komplikasi yang dapat terjadi pada uveitis anterior biasanya terbentuk
sinekia anterior ataupun posterior. Yang dapat mengakibatkan terjadinya
glaukoma sekunder. Manajemen uveitis anterior adalah bertujuan untuk mencegah
kerusakan stuktur dan fungsi mata seperti sinekia anterior, sinekia posterior,
kerusakan pembuluh darah iris, katarak, glaukoma, parut kornea, dan kekeruhan
badan kaca. Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis bergantung pada banyak
hal seperti derajat keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Uveitis anterior
memiliki respon yang cenderung lebih cepat terhadap pengobatan dibandingkan
dengan uveitis intermediet, posterior, atau difus. Prognosis cenderung lebih buruk
apabila retina, koroidm atau nervus optikus juga terkena. 1,3,5
I.2 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum
mengenai definisi, etiologi dan fisiologi anatomi, patofisiologi dan patogenesis,
manifestasi klinis, penegakan diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari
uveitis.
BAB II2
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid)
dengan berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea
yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. 10
II.2 ANATOMI FISIOLOGI
Uvea terdiri dari : iris, badan siliaris (corpus siliaria) dan koroid. Bagian
ini adalah lapisan vascular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.
Bagian ini juga ikut memasok darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga
uvea anterior sedangkan koroid disebut uvea posterior. 6
Gambar 1. Anatomi mata
Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan diafragma
yang membagi bola mata menjadi 2 segmen, yaitu segmen anterior dan segmen
posterior, di tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik
mata depan (camera oculi anterior) dan bilik mata posterior (camera oculi
posterior). Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar
ke dalam bola mata. 6
Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang diantaranya terdapat
lekukan-lekukan dipermukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan
kripa. Didalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh
darah dan saraf.
Dipermukaan anterior ditutup oleh endotel terkecuali pada kripta, dimana
pembuluh darah dalam stroma, dapat berhubungan langsung dengan cairan
dicamera oculi anterior, yang memungkinkan percepatan terjadinya pengaliran
nutrisi ke coa dan sebaliknya. Dibagian posterior dilapisi dengan 2 lapisan epitel,
yang merupakan lanjutan dari epitel pigmen retina, warna iris tergantung dari sel-
3
sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma yang banyaknya dapat
berubah-ubah, sedangkan epitel pigmen jumlahnya tetap.6
Didalam iris terdapat otot sfingter pupil (M.Sphincter pupillae), yang
berjalan sirkuler, letaknya didalam sroma dekat pupil dan dipersarafi oleh saaraf
parasimpatis, N III. Selain itu juga terdapat otot dilatator pupil (M. Dilatator
pupillae), yang berjalan radier dari akar iris ke pupil, letaknya di bagian posterior
stroma dan diurus saraf simpatis. 8
Pasokan darah ke iris adalah dari circulus major iris, kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlobang. Persarafan iris adalah melalui
serat-serat didalam nervi siliaris. 7
Badan Siliar (Corpus Ciliaris) berbentuk segitiga, terdiri dari 2 bagian
yaitu: pars korona, yang anterior bergerigi, panjangnya kira-kira 2mm dan pars
plana, yang postrior tidak bergerigi panjangnya kira-kira 4 mm. Badan siliaris
berfungsi sebagai pembentuk humor aquous. Badan siliar merupakan bagian
terlemah dari mata. Trauma, peradangan, neoplasma didaerah ini merupakan
keadaan yang gawat. 5
4
Gambar 2. Srkulasi Humour Aquous
Pada bagian pars korona diliputi oleh 2 lapisan epitel sebagai kelanjutan
dari epitel iris. Bagian yang menonjol (processus ciliaris) berwarna putih oleh
karena tidak mengandung pigmen, sedangkan di lekukannya berwarna hitam,
karena mengandung pigmen. Didalam badan siliaris terdapat 3 macam otot silier
yang berjalan radier, sirkuler dan longitudinal. Dari processus siliar keluar serat-
serat zonula zinii yang merupakn penggantung lensa. Fungsi otot siliar untuk
akomodasi. Kontraksi atau relaksasi otot-otot ini mengakibatkan kontraksi dan
relaksasi dari kapsula lentis, sehingga lensa menjadi lebih atau kurang cembung
yang berguna pada penglihatan dekat atau jauh. Badan siliar banyak mengandung
pembuluh darah dimana pembuluh darah baliknya mengalirkan darah
ke V.vortikosa. Pada bagian pars plana, terdiri dari satu lapisan tipis jaringan otot
dengan pembuluh darah diliputi epitel. 6,7
Koroid adalah suatu membran yang berwarna coklat tua yang terletak
antara sklera dan retina terbentang dari ora serata sampai papil saraf optik. Koroid
kaya pembuluh darah dan berfungsi terutama memberi nutrisi kepada retina
bagian luar.
Badan kaca, mengisi sebagian besar bola mata di belakang lensa, tidak
berwarna, bening dan konsistensinya lunak. Bagian luar merupakan lapisan tipis.
Struktur badan kaca tidak mempunyai pembuluh darah dan menerima nutrisinya
dari jaringan sekitarnya : koroid, badan siliar dan retina.
Retina, adalah suatu membran yang tipis dan bening, terdiri atas serabut-
serabut saraf optik letaknya antara kaca dan koroid. Retina mempunyai ketebalan
sekitar 1 mm terdiri atas 10 lapisan :
- Membran limitan dalam
- Lapisan serabut saraf5
- Lapisan sel ganglion
- Lapisan pleksiform dalam
- Lapisan nukleus dalam
- Lapisan pleksiform luar
- Lapisan nukleus luar
- Membran limitan luar
- Lapisan batang dan kerucut
- Lapisan epitel pigmen
II.3 KLASIFIKASI UVEITIS BERDASARKAN LOKASINYA
Berdasarkan lokasinya, uveitis dibedakan atas uveitis anterior,
intermediete, posterior dan difus/ panuveitis. Inflamasi iris dan korpus siliaris
anterior (pars plicata), bersama dengan peningkatan permeabilitas vaskuler,
dinamakan iritis atau uveitis anterior. Inflamasi pars plana (korpus siliaris
posterior) dinamakan siklitis atau uveitis intermediet. Inflamasi segmen posterior
(uveitis posterior) menghasilkan sel-sel inflamasi di cairan vitreous. Selain itu
juga terdapat inflamasi koroid atau retina terkait (masing-masing adalah koroiditis
dan retinitis). Panuveitis terjadi ketika uveitis anterior dan posterior terjadi
bersamaan.10
II.3.1 UVEITIS ANTERIOR
II.3.1.1 DEFINISI
Uveitis anterior adalah suatu proses inflamasi intraokular dari
bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan
dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik
seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom
Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.9
Uveitis anterior adalah peradangan pada iris (iritis) atau
peradangan pada iris dan badan siliar (iridosiklitis) yang merupakan
bentuk paling sering terjadi dari uveitis. Peradangan yang terjadi sering
dikaitkan dengan adanya penyakit autoimun, tetapi banyak kasus terjadi
pada orang sehat. Penyakit ini hanya menyerang salah satu mata dan
sering terjadi pada usia muda dan pertengahan.11
6
II3.1.2 ETIOLOGI
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang
dapat berjalan akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat
diketahui dengan melihat gambaran klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis
dapat merupakan suatu manifestasi klinik reaksi imunologik terlambat,
dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior. Uveitis anterior
dapat disebabkan oleh gangguan sistemik di tempat lain, yang secara
hematogen dapat menjalar ke mata atau timbul reaksi alergi mata.5
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa
golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
Penyebab autoimun terdiri dari: Juvenile Rheumatoid Arthritis, spondilitis
ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa,
sarkoidosis, penyakit Crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari:
sipilis, tuberkulosis, lepra (Morbus Hansen), herpes zooster, herpes
simpleks, onkoserkiasis, adenovirus, leptospirosis. Untuk penyebab
keganasan terdiri dari: Sindrom Masquerade, retinoblastoma, leukemia,
limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari:
idiopatik, uveitis traumatika, ablatio retina, Fuchs' Heterochromic
Iridocyclitis, dan krisis glaukomatosiklitik (sindrom Posner-Schlossman).3
Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa
penyakit sistemik, antara lain: Spondyloarthritides, Crohn's disease,
Sarcoidosis, Behcet's disease Hypersensitivity reactions, Tubulointerstitial
nephritis ,Juvenile rheumatoid arthritis, Kawasaki disease, multiple
sclerosis, and relapsing polychondritis, Multiple sclerosis,Relapsing
polychondritis, Sjögren's syndrome, Systemic lupus erythematosus,
Systemic vasculitis, Granulomatous angiitis of the central nervous, Vogt-
Koyanagi-Harada syndrome, AIDS, Blau syndrome.5,9,10
Berdasarkan spesifitas penyebab: Penyebab spesifik (infeksi)
Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi,ataupun parasit yang spesifik.
Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau
7
antigen yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen
antibodi dengan predileksi pada traktus uvea.
Berdasarkan asalnya: Eksogen Pada umumnya disebabkan oleh
karena trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik. Secara endogen,
dapat disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme atau
agen lain dari dalam tubuh pasien, misalnya infeksi tuberkulosis, Herpes
simpleks, dan sebagainya.2
Penyebab uveitis anterior nongranulomatosa akut antara lain
adalah trauma, diare kronis, penyakit Reiter, Herpes simpleks, sindrom
Behcet, sindrom Posner Schlosman, pascabedah, infeksi adenovirus,
parotitis, influenza, dan chlamydia. Uveitis nongranulomatosa kronis dapat
disebabkan oleh artritis reumatoid dan Fuchs heterokromik iridosiklitis.
Sedangkan uveitis granulomatosa akut dapat terjadi akibat sarkoiditis,
sifilis tuberculosis, virus, jamur (histoplasmosis), atau parasit
(toksoplasmosis).1
Uveitis yang disebabkan oleh toksoplasmosis dan toksocariasis
dikaitkan dengan hewan peliharaan. Penyakit menular seksual juga
dikaitkan dengan uveitis anterior seperti adanya riwayat sifilis, sindrom
Reiter, atau HIV menandakan risiko yang signifikan. Beberapa penyakit
infeksi lokal seperti masalah gigi, telinga, tenggorokan, traktus
urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain juga dapat
menyebabkan uveitis anterior. 9
II.3.1.3 PATOFISIOLOGI
Radang akut pada jaringan ini diawali dengan dilatasi pembuluh
darah kecil yang kemudian diikuti eksudasi, sehingga jaringan iris edema,
pucat dan refleks menjadi lambat sampai terhenti sama sekali. Eksudasi
fibrin dan sel radang masuk ke bilik mata depan, maka akuos humor
menjadi keruh dinamakan flare dan sel positif. Bila sel radang
menggumpal dan mengendap di bagian bawah bilik mata depan
dinamakan hipopion, dan bila mengendap di endotel kornea dinamakan
keratik presipitat. 14
8
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek
langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik
biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli; walaupun kadang-kadang
dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi
mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang
berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan
(antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba
yang infeksius .Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama
setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas. 1,9
Reaksi hipersensitivitas tipe III menyebabkan kerusakan jaringan
dengan presipitasi dan deposisi dari kompleks imun. Kompleks antigen-
antibodi dapat memulai kaskade komplemen yang melibatkan makrofag,
neutrofil, dan platelet, yang menimbulkan kerusakan jaringan. Trakus uvea
dengan vaskularisasi tinggi, dikatakan mendapat suplai darahnya dari
korteks renal. Kompleks imun dapat menumpuk di glomerulus ginjal, oleh
karena itu kompleks imun juga dapat menumpuk di uvea. Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE), retinopati, sklerouveitis reumatoid, sarcoidosis,
uveitis kronik idiopatik, sindrom Behcet, artritis reumatoid, Wegener’s
granulomatosis, dan uveitis terinduksi lensa dapat disebabkan karena
adanya reaksi hipersensitivitas tipe III. Pembentukan kompleks antigen-
antibodi juga dapat menjadi mekanisme untuk menghilangkan antigen dari
peredaran atau untuk menekan penyakit. Pada pasien vaskulits retina
ringan telah dilaporkan titer dari kompleks imun tinggi sedangkan pada
inflamasi berat didapatkan serum titer yang rendah. 17
Pada sebagian besar kasus uveitis, tipe hipersensitivitas yang
berperan masih belum jelas. Uveitis berhubungan dengan reaksi
hipersensitivitas yang dapat dikategorikan sebagai adanya antigen eksogen
(berasal dari lingkungan) dan endogen (berasal dari dalam). Antigen
eksogen (enviromental antigens). dihubungkan dengan alergen debu,
9
makanan, tanaman, hewan (kucing, ulat, tarantula, sengatan lebah). Reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe cepat) sering disebut sebagai reaksi yang
berperan dengan melepaskan mediator radang dan manifestasinya injeksi
konjungtiva, kemosis dan edema kornea. Namun hubungan antara alergi
kontak dengan insiden uveitis tidak signifikan. Penyebab infeksi yang
sering pada uveitis (tuberculosis, sifilis, toksoplasmosis), namun hubungan
dengan reaksi hipersensitivitas jarang dikenali secara klinis. Ada
kemungkinan terjadi rangsangan multipel yang memulai infeksi inflamasi
uvea. Uveitis mungkin dapat terjadi karena replikasi mikroba atau adanya
reaksi hipersensitivitas pada tubuh. 17
Antigen endogen menyebabkan terjadi inflamasi intraokuler.
Phacoantigenic uveitis merupakan bentuk uveitis granulomatosa yang
diikuti dengan gangguan lensa yang biasanya disebabkan karena trauma
atau postoperasi intraokuler. Phacoantigenic uveitis tampaknya
merupakan penyakit kompleks imun (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan
tingkat keparahan penyakit didasarkan pada titer antibodi. Sympathetic
ophthalmia merupakan bentuk panuveitis bilateral granulomatosa yang
terjadi setelah terjadi cedera pada satu mata dan cedera ini dapat
menyebabkan kelainan pada mata lainnya (fellow eye). Penyebab yang
sering disebutkan karena adanya autoimun melawan melanin uveal,
melanosit uveal, epitel pigmen retina, atau antigen retina. Reaksi
hipersensitivitas tipe II (sitotoksik antibodi) atau tipe IV (tipe lambat (cell
mediated hyoersensitivity) yang terlibat dalam patogenesis penyakit ini,
dimana terdapat antimelanin autoantibodi dan limfosit sensitif melanin di
darah perifer. Serum antibodi atas antigen retina ditemukan sebagai
perantara penyakit ini. 17
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood
Aqueous Barrrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel
radang dalam humor akuos yang tampak pada slitlamp sebagai berkas
sinar yang disebuit flare (aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk
menghambat gerakan kuman, akan tetapi justru mengakibatkan perlekatan-
10
perlekatan, misalnya perlekatan iris pada permukaan lensa (sinekia
posterior). 1,11
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma
dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel
pada permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula
terjadi pada tepi pupil disebut koeppe nodules, bila di permukaan iris
disebut busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa
dan sudut bilik mata depan. Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat
sedemikian banyak sehingga menimbulkan hipopion.1,3
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil
akan miosis dan dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat
terjadi seklusio maupun oklusio pupil, sehingga cairan di dalam kamera
okuli posterior tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan
dalam dalam camera okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam camera
okuli anterior sehingga iris tampak menggelembung ke depan yang disebut
iris bombe (Bombans). 1,11
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar
menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan
sel-sel radang dapat berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga
terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder. Pada
fase akut terjadi glaucoma sekunder karena gumpalan – gumpalan pada
sudut bilik depan,sedang pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi
karena adanya seklusio pupil. Naik turunnya bola mata disebutkan pula
sebagai peran asetilkolin dan prostaglandin. 1,3
II.3.1.4 KLASIFIKASI UVEITIS ANTERIOR
Berdasarkan klasifikasi, uveitis anterior dibagi dalam dua
kelompok, yaitu iritis dimana inflamasi umumnya mengenai iris dan
iridocyclitis diamana mengenai dari iris dan bagian anterior dari korpus
ciliaris.11
Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis
eksogen dan uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan
11
oleh trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis
endogen dapat disebabkan oleh fokal ifeksi di organ lain maupun reaksi
autoimun. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan
penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan
uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak
dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik
mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-
bulan maupun tahunan. 9
Berdasarkan patologi dapat dibedakan 2 jenis uveitis anterior, yaitu
granulomatosa dan non granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa
umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan karena berespon
baik terhadap terapi kortokosteroid diduga peradangan ini semacam
fenomena hipersensitivitas. Uveitis ini timbul terutama dibagian anterior
traktus yakni iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang dengan
terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup
banyak dan sedikit sel mononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk
bekuan fibrin besar atau hipopion didalam kamera okuli anterior.1,9
Sedangkan pada uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme
penyebab (misal Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan dan
diagnosis etiologi pasti jarang ditegakkan. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang traktus uvealis namun lebih sering
pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel epithelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang
terkena. Deposit radang pada permukaan posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis etiologi
spesifik dapat ditegakkan secara histologik pada mata yang dikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam
tuberculosis, spirocheta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarcoidosis atau oftalmia simpatika dan beberapa penyebab
spesifik lainnya.9
Tabel 1. Perbedaan uveitis granulomatosa dan nongranulomatosa3
Non granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Sakit Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
12
Penglihatan
kabur
Sedang Nyata
Merah
sirkumkorneal
Nyata Ringan
Perisipitat
keratik
Putih halus Kelabu besar
Pupil Kecil dan tak teratur Kecil dan tak teratur
(bervariasi)
Synechia
posterior
Kadang-kadang Kadang-kadang
Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang
Tempat Uvea anterior Uvea posterior dan posterior
Perjalanan Akut Menahun
Rekurens Sering Kadang-kadang
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:
Beberapa keadaan yang menyebabkan tanda dan gejala yang
berhubungan dengan uveitis anterior akut, yaitu:9,10
1. Traumatic Anterior Uveitis
Trauma merupakan salah satu penyebab Uveitis Anterior, biasanya
terdapat riwayat truma tumpul mata atau adneksa mata. Luka lain seperti
luka bakar pada mata, benda asing, atau abrasi kornea dapat menyebabkan
terjadinya Uveitis Anterior. Visual aquity dan tekanan intraocular mungkin
terpengnaruh, dan mungkin juga terdapat darah pada anterior chamber.
2. Idiopathic Anterior Uveitis
Istilah idiopatik dipergunakan pada Uveitis Anterior dengan
etiologi yang tidak diketahui apakah merupakan kelainan sistemik atau
traumatic. Diagnosis ini ditegakan sesudah menyingkirkan penyebab lain
dengan anamnesis dan pemeriksaan.
13
3. HLA-B27 Associated Uveitis
HLA-B27 mengacu pada spesifik genotype atau chromosome.
Mekanisme pencetus untuk Uveitis Anterior pada pasien
dengan genotype seperti ini tidak diketahui. Ada hubungan yang kuat
dengan ankylosing spondylitis, sindrom Reiter, Inflamatory bowel disease,
psoariasis, arthritis, dan Uveitis Anterior yang berulang.
4. Behcet’s Diseases/síndrome
Sebagian besar menyerang laki-laki dewasa muda dari bangsa
mediterania atau jepang. Terdapat trias penyakit Behcets, yaitu akut
Uveitis Anterior dan ulkus pada mulut dan genital. Penyakit behcet yang
menyebabkan Uveitis Anterior akut adalah sangat langka.
5. Lens Associated Anterior Uveitis
Ada beberapa keadaan yang ditemukan pada peradangan anterior
chamberdan penyebab yang disebabkan oleh keadaan lensa, yaitu : phaco-
anaphylactic andhopthalmitis dan phacogenic (phacotoksik) uveitis;
phacolitic glaukoma; dan UGH syndrome ( Uveitis, Glaukoma dan
Hifema).
6. Masquerade síndrome
Merupakan keadaan yang mengancam, seperti lymphoma,
leukemia, retinoblastoma, dan malignant melanoma dari choroid, dapat
menimbulkan Uveitis Anterior. Keadaan seperti retinal detachment dan
benda asing di intraokular juga dapat disertadi peradangan pada anterior
chamber.
Beberapa keadaan yang dapat menghasilkan tanda dan gejala yang
terdapat pada diagnosis Uveitis Anterior kronik adalah :9,10
1. Juvenile Rheumatoid Arthritis
Juvenile Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit artritis
seronegatif kronis yang terjadi pada anak-anak kurang dari 16 tahun,
dengan peradangan yang terjadi setidaknya 3 bulan, idiopatik, yang dapat
sebagai penyakit sistemik dengan demam dan limfoadenopati, artritis
pausiartikular atau poliartikular
14
Anterior Uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai
beberapa persendian. Karena kebanyakan dari pasien JRA adalah positif
dengan test ANA ( Anti Nuklear Antibody ), yang merupakan
pemeriksaan adjuvant. JRA lebih banyak mengenai anak perempuan
dibanding anak lelaki. Merupakan suatu anjuran pada semua anak yang
menderita JRA untuk diperiksa kemungkinan terdapatnya Uveitis
Anterior. Pada pasien ini mata tampak berwarna putih, hal ini tidak biasa
pada iritis, namun didapatkan tanda lain dari uveitis anterior, karena
uveitis bersifat kronis maka dapat timbul katarak dan glaukoma baik
sebagai akibat dari uveitis dan akibat penggunaan tetes mata steroid untuk
mengobati uveitis. Sekitar 70% kasus menyerang bilateral.
Gambar 3, Sinekia Anterior pada Pasien dengan Uveitis yang Mempunyai JRA
2. Anterior Uveitis Associated with Primary Posterior Uveitis
Penyakit sistemik, seperti sarcoidosis, toksoplamosis, sipilis,
tuberculosis, herpes zoster, cytomegalovirus, dan AIDS mungkin saja
terlibat dalam Uveitis Anterior baik primer ataupun sekunder dari uveitis
posterior. Permasalahan posterior lainnya seperti ablasio retina dapat
menyebabkan sel dan flare pada bilik mata depan.
3. Fuch’s Heterochromatic Iridocyclitis
Merupakan suatu penyakit kronik, biasanya asimptomatik, terdapat
2% pasien Uveitis Anterior. Hilangnya pigmen stroma iris sering
menghasilkan “heterokromia” halus pada mata. Peradangan yang terjadi
ringan dan jarang berespon terhadap pengobatan.
Uveitis kronis langka yang sering ditemukan pada dewasa muda,
penyebab masih belum jelas dan tidak berhubungan dengan penyakit
sistemk. Pasien tidak selalu menunjukan riwayat iritis yang khas, keluhan
awal dapat berupa penglihatan kabur dan floater. Gambaran uveitis
15
anterior ringan tanpa ada tanda inflamasi konjungtiva dan tidak ada sinekia
posterior. Terdapat keratik presipitat yang terdistribusi merata pada
kornea. Iris heterokromik karena hilangnya beberapa sel pigmen epitel.
Vitreous dapat mengalami inflamasi dan dapat ditemukan kondensasi
(penyebab floater). Sekitar 70% pasien akan mengalami katarak.
Glaukoma jarang terjadi.
II.3.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Keluhan subyektif yang menyertai uveitis anterior adalah nyeri,
terutama di bulbus okuli, sakitnya spontan atau pada penekanan di daerah
badan siliar, sakit kepala di kening yang menjalar ke temporal, fotofobia,
bervariasi dan dapat demikian hebat pada uveitis anterior akut, lakrimasi
yang terjadi biasanya sebanding dengan derajat fotofobia, gangguan visus
dan bersifat unilateral.
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan
penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang
timbul. Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri
ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi
iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita,
sehingga sulit menentukan derajat nyeri.5,13
Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan
karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf
pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia. Pada
uveitis anterior kronik, gejala subyektif ini hampir tak ada atau ringan.5,13
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat, atau
hilang timbul, tergantung penyebab. Uveitis anterior akut disebabkan oleh
pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos, dan badan kaca
depan karena eksudasi sel radang dan fibrin. Uveitis anterior residif atau
kronis, disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea
seperti edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema
kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami kalsifikasi. Pada
16
infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi
stroma perifer dan pannus kornea. 5,13
Riwayat yang berhubungan dengan uveitis adalah usia, kelamin,
suku bangsa penting untuk di catat karena dapat memberikan petunjuk ke
arah diagnosis uveitis tertentu. Riwayat pribadi tentang penderita, yang
utama adalah adanya hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta
kebiasaan memakan daging atau sayuran yang tidak dimasak termasuk
hamburger mentah. Hubungan seks diluar nikah untuk menduga
kemungkinan terinfeksi oleh STD atau AIDS. Penggunaan obat-obatan
untuk penyakit tertentu atau narkoba (intravenous drug induced), serta
kemungkinan tertular penyakit infeksi menular (seperti Tbc) dan
terdapatnya penyakit sistemik yang pernah diderita. Riwayat tentang mata
didapatkan apakah pernah terserang uveitis sebelumnya atau pernah
mengalami trauma tembus mata atau pembedahan.15
Gejala Obyektif, pemeriksaan dilakukan dengan slit lamp,
oftalmoskop direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau
ultrasonografi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus umumnya normal
atau berkurang sedikit, injeksi konjungtiva dan injeksi siliar, serta kornea
keruh karena udem dan keratik presipitat. Hasil yang mungkin didapatkan
dari pemeriksaan antara lain:
Hiperemi Konjungtiva
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar sekitar
limbus. Pada uveitis anterior akut, hiperemi merupakan tanda
patognomonik dan gejala dini. Bila hebat, hiperemi dapat meluas sampai
pembuluh darah konjungtiva. Pada uveitis anterior hiperakut, selain dari
hiperemi, dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis.
Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah
siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan
siliar.
Perubahan Kornea
Keratik presipitat
17
Keratik presipitat merupakan kumpulan sel-sel yang menempel
pada endotel kornea, biasanya di bagian bawah. Terjadi karena
pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel
kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya berat dan perbedaan
potensial listrik endotel kornea.
Pada uveitis non granulomatosa, keratik presipitat berukuran kecil
dan sedang berwarna putih. Pada uveitis granulomatosa, keratik presipitat
besar-besar dan lonjong dan dapat menyatu membentuk bangunan yang
lebih besar, sehingga dapat mencapai diameter 1mm. Lokasi dapat di
bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan menjadi baru (bundar dan
berwarna putih) dan lama (mengkerut, berpigmen, lebih jernih). Jenis
selnya dapat berupa lekosit berinti banyak dengan kemampuan aglutinasi
rendah, halus keabuan. Limfosit dengan kemampuan aglutinasi sedang
membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih. Makrofag dengan
kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis membentuk
kelompok lebih besar dikenal sebagai “mutton fat”. Ukuran sel halus dan
banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis, uveitis
intermedia.
Uveitis anterior akut dengan etiologi penyakit sendi dan infeksi
fokal. Keratik presipitat kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom
Posner-Schlossman. “Mutton fat” keabuan dan agak basah. Terdapat pada
uveitis granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, Vogt-
Koyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui pada uveitis non
granulomatosa akut dan kronik yang berat.
Mutton fat dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan
fagositosis dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk
kelompok besar. Semakin lama membesar, menipis dan berpigmen akibat
fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah jernih padaendotel
kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil dan sering menimbulkan
18
perubahan endotel kornea membentuk gambaran gelang keruh di tengah
karena pengendapan pigmen dan sisa hialin sel.
Gambar 4. Keratik presipitat “mutton fat”
Tabel 2. Berat Ringannya Flare dan Sel
Grade Flare Sel
0 tidak ada tidak ada
1+ Faint Flare (sulit dideteksi) 5-10 sel /l apang pandang
2+ Moderate Flare (detail iris dan lensa masih
tampak)
11-20 sel / lapang pandang
3+ Marked Flare (iris dan lensa diselimuti
kekeruhan)
21-50 sel / lapang pandang
4+ Intense Flare (penggumpalan fibrin pada
humur aquos)
>50 sel / lapang pandang
Kelainan kornea
Pada uveitis anterior akut, keratitis dapat terjadi bersamaan dengan
keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks,
herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
Sedangkan pada uveitis anterior kronik dapat terjadi edema kornea yang
disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan
19
neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea berupa lipatan
Descemet dan vesikel pada epitel kornea.
Kekeruhan bilik mata
Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh
meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin.
Efek Tyndall
Efek Tyndall menunjukkan ada atau menetapnya peradangan
dalam bola mata. Pada uveitis anterior akut terjadi kenaikan jumlah sel
dalam bilik depan mata sebanding dengan derajat peradangan dan
penurunan jumlah sel sesuai dengan penyembuhan pada pengobatan
uveitis anterior. Pada uveitis anterior kronik, terdapat efek Tyndall
menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah terjadi perubahan dalam
permeabilitas pembuluh darah iris. Bila terjadi peningkatan efek Tyndall
disertai dengan eksudasi sel, hal ini menunjukkan adanya eksaserbasi
peradangan.
Sel
Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan
terganggu bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan slit
lamp dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan tinggi celah 3 mm
dengan sudut 45°. Kemudian dapat dibedakan sel yang terdapat dalam
bilik mata depan. Jenis- jenis sel, antara lain:
– limfosit dan sel plasma : bulat, mengkilap putih keabuan.
– makrofag : lebih besar, warna tergantung bahan yang difagositosis.
– sel darah : berwarna merah.
– pigmen : kecil dan coklat.
Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang
atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap pada
kornea.Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke
dalam bilik depan mata (iritis plastik).
Hipopion
20
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan
bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari
4+. Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan
sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit
Behcet, dan fakoanafilaktik.
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang juga disebut
pada kelompok sindrom Masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan
pemeriksaan dengan pupil yang telah dilebarkan dengan midriatik.
Sindrom Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris esensial,
limfoma maligna, leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma,
pseudoeksfoliatif dan tumor metastasis.
Hiperemi Iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. Edema
dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya
dengan pembuluh darah sehingga struktur iris normal hilang dan gambaran
iris kusam coklat keabuan. Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh
darah iris kadang-kadang tidak terlihat karena ditutupi oleh eksudasi sel.
Miosis pupil atau ireguler
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris
karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil
terhadap cahaya lambat disertai nyeri. Pembengkakan iris merupakan hasil
dari pelepasan prostaglandin yang menyebabkan pupil berkonstriksi.
Pengecualin pada pasien dengan uveitis herpetic akan memberi gambaran
pupil yang dilatasi. Pupil pada pasien dengan uveitis anterior sering
ireguler dan fixed karena perkembangan dari sinekia posterior.
Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma
tidak selalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk oleh limfosit, sel
plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui pada iritis atau iridosiklitis
kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.
Nodul Koeppe
21
Lokasi di pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil,
jernih, warna putih keabuan.
Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang terjadi pada stroma iris, terlihat
scbagai benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui
bentuk kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan
hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior
granulomatosa.
Gambar 5. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris dan sedikit
“mutton fat” pada aspek inferior.
Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris.
Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan
granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar
dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat,
menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila
granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses hialinisasi dan
atrofi jaringan.
Sinekia iris
Merupakan perlekatan iris dengan struktur yang berdekatan pada
uveitis anterior karena eksudasi fibrin dan pigmen, kemudian mengalami
proses organisasi sel radang dan fibrosis iris.
Sinekia posterior
22
Merupakan perlekatan iris dengan kapsul depan lensa.
Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal.
Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan
berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin, membentuk sinekia seperti cincin;
bila seklusi sempurna, akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini
dapat dijumpai pada uveitis granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih
sering bentuk akut dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui juga
pada bentuk residif bila efek Tyndall berat.
Pada uveitis anterior akut belum terjadi proses organisasi, sehingga
sinekia posterior lebih mudah lepas dengan midriatika, dengan
meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul depan lensa.
Sedangkan pada uveitis anterior kronik, sinekia posterior dibentuk oleh
jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan perubahan
pinggir pupil.
Sinekia anterior
Perlekatan iris dengan sudut irido-kornea, yang jelas terlihat
dengan gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada permulaan blok
pupil sehingga akar iris maju ke depan menghalangi pengeluaran akuos,
edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi
organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea menarik iris ke arah sudut.
Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis
anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan
mata.
Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran
radang pada pinggir pupil. Pada uveitis anterior akut terjadi eksudasi
protein dalam bilik depan mata disertai tarikan hebat daerah pupil.
Sedangkan pada uveitis anterior kronik terjadi proses organisasi sehingga
membran radang berubah menjadi membran fibrotik dengan
neovaskularisasi. Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi
23
membran fibrovaskular dapat menyebabkan eversi epitel pigmen sehingga
terjadi ektropion uvea.
Atrofi iris
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang.
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat
pada iridosiklitis akut disebabkan oleh virus, terutama herpetik.
Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebabnya antara lain
kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan
stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.
Perubahan sel lensa
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior,
yaitu: pengendapan sel radang, pigmen dan kekeruhan lensa.
Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi
pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan slit lamp ditemui
kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau
berkelompok pada permukaan lensa.
Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul
depan lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas.
Sinekia posterior yang menyerupai lubang pupil disebut cincin dari
Vossius.
Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat
peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan
sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan
lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit. Pada uveitis anterior kronik, terjadi
perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan subkapsul belakang.
Predileksi daerah sentral menunjukkan telah timbul reaksi hipersensitivitas
daerah lensa tersebut terhadap stimuli toksik metabolik. Kekeruhan
24
subkapsul belakang dapat disebabkan pemberian kortikosteroid lokal atau
sistemik. Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis
anterior kronik atau residif. Reaksi radang pada uveitis anterior lebih
sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis.
Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat
fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu,
benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh sel limfosit,
plasma dan makrofag.
Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni),
normal atau meningkat (hipertoni).
Hipotoni
Pada uveitis anterior akut, hipotoni timbul karena sekresi badan
siliar berkurang karena peradangan. Pada uveitis anterior kronik, hipotoni
menetap karena perubahan badan siliar dan dapat mengakibatkan atrofi
bola mata.
Normotensi
Menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan
mata.
Hipertoni
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil
dan sudut irido-kornea oleh sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran
Schlemm dan trabekula. Hipertoni dijumpai juga pada uveitis disebabkan
oleh virus herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman.
Tabel 3. Pembagian Uveitis Anterior secara klinis* *
Ringan Sedang Berat
Keluhan ringan sampai
sedang
VA 20/20 to 20/30
Kemerahan sirkumkornel
Keluhan sedang sampai
berat
VA from 20/30 to 20/100
Kemerahan sirkumkornel
Keluhan sedang sampai
berat
VA < 20/100
Kemerahan sirkumkornel
25
superficial
Tidak ada KPs (keratic
presipitat)
1+ cells and flare
tekanan intraokuler
berkurang < 4 mmHg
dalam
Tampak KPs
1-3+ cells and flare
Miotic, sluggish pupil
Sinekia posterior ringan
Udem iris ringan
tekanan intraokuler
berkurang 3-6 mm Hg
Anterior virtreous cells
dalam
Tampak KPs
3-4+ cells and flare
pupil terfiksir
Sinekia posterior (fibrous)
Tidak tampak kripte pada
iris
tekanan intraokuler
meningkat
cells anterior sedang
sampai berat
* Reprinted with permission. Catania LJ. Primary care of the anterior
segment,2nd ed. Norwalk, CT: Appleton & Lange, 1995:371.
II.3.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG9
Laboratorium sangat dibutuhkan guna mendapat sedikit gambaran
mengenai penyebab uveitis. Pada pemeriksaan darah, yaitu Differential
count, eosinofilia: kemungkinan penyebab parasit atau alergi, VDRL,
FTA, Autoimun marker (ANA, Reumatoid factor, Antidobble Stranded
DNA), Calcium, serum ACE level (sarcoidosis), Toxoplasma serologi dan
serologi TORCH lainnya. Pemeriksaan urin berupa kalsium urin 24 jam
(sarcoidosis) dan Kultur (bechet’s reitters). Pemeriksaan Radiologi, yaitu
Foto thorax (Tbc, Sarcoidosis, Histoplasmosis), Foto spinal dan sendi
sacroiliaka (Ankylosing sponfilitis), Foto persendian lainya (Reumatoid
arthritis, juvenile rheumatoid arthritis) dan Foto tengkorak, untuk melihat
adakah kalsifikasi cerebral (toxoplasmosis)
Skin Test, yaitu Mantoux test, untuk Tbc, Pathergy test,
untuk Bechet’s disease akan terjadi peningkatan sensivitas kulit terhadap
trauma jarum pada pasien bila disuntikkan 0,1 ml saline intradermal dalam
18-24 jam kemudian terjadi reaksi pustulasi. Pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut diperlukan untuk mengetahui etiologi secara spesifik, bila
26
dicurigai adanya kecurigaan penyakit sistemik, Uveitis rekuren, Uveitus
bilateral, Uveitis berat, Uveitis posterior dan Onsetnya muda. 10,11
Tabel 4: Anjuran pemeriksaan Untuk mengetahui penyebab sistemik uveitis anterior
Penyakit yang
dicurugau
berdasarkan riwayat
dan pemeriksaan
fisik
Hasil
laboratorium
Pemeriksaan
radiologi
konsultasi Pemeriksaan
lainnya
Ankylosing
spondylitis
ESR,(+)
HLA-B27
Sacroiliac x-
Rays
Rheumatologist
Inflammatory
bowel disease
(+)HLA-B27 Internist or
Gastroenterologist
Reiter’s syndrome ESR,(+)
HLA-B27
Joint x-
Rays
Internist,
urologist,
rheumatologist
Cultures;
conjunctival,
urethral,
prostate
Psoriatic arthritis (+)HLA-B27 Rheumatologist,
dermatologist
Herpes Diagnosis
klinis
Dermatologist
Behcet’s disease (+)HLA-B27 Internist or
Rheumatologist
Behcet’s skin
puncture
Test
Lyme disease ELISA or
Lyme
immunofluore
scent assay
Internist,
Rheumatologis
Juvenile
rheumatoid arthritis
ESR,
(+)ANA,
(-)Rheumatoi
Joint x- rays Rheumatologist or
Pediatrictian
27
d factor
Sarcoidosis Angiotensin
converting
enzyme
(ACE)
Chest x-ray Internist
Syphilis (+)RPR or
VDRL
FTA-ABS or
MHA-
TP
Internist
Tuberculosis Chest x-ray Internist Purified
protein
derivative
(PPD)
skin test
*Adapted from Cullen RD,Chang B,eds.The Wills eye manual.
Philadelphia:JBLippincott,1994:354-5.
II.3.1.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding uveitis anterior adalah konjungtivitis, Keratitis
atau keratokonjungtivitis dan Glukoma akut. Pada konjunctivitis
penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, dan umumnya tidak ada rasa
sakit, fotofobia, atau injeksi ciliar.
Pada keratitis atau keratokonjunctivitis, penglihatan dapat kabur
dan ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti
herpes simplek dan zoster dapat mengenai uveitis anterior sebenarnya.
Pada glaucoma akut, pupil melebar, tidak ada synekia posterior, dan
korneanya “beruap”. 7
Tabel 5. Diagnosa Banding Uveitis Anterior
28
Gejala Uveitis Akut Konjungtivi
tis Akut
Glaukoma
Akut
Keratitis /
Keratokonjungtivitis
Nyeri Moderate, sakit
rasa tertekan
Negatif Sangat sakit Sedikit sakit
Sekret Negatif Positif Negatif Negatif, sedikit
Visus Mundur Normal Sangat
mundur
Mundur
Hiperemi Perikornea Konjungtiva Perikornea Perikornea
Kornea Biasanya jernih Jernih Keruh Keruh
Pupil Miosis Normal Midriasis Normal/kecil
Refleks
pupil
Lambat Normal Negatif Kuat
TIO Normal Normal Tinggi Normal
II.3.1.8 KOMPLIKASI 9,14
Pada uveitis anterior dapat terjadi komplikasi berupa katarak,
retinitis proliferans, ablasi retina, glukoma sekunder yang dapat terjadi
pada stadium dini dan stadium lanjut, pada uveitis anterior dengan visus
yang sangat turun, sangat mungkin disertai penyulit edema macula
kistoid.
Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang
manghalangi humor akueis keluar dari sudut kamera anterior dan berakibat
glaukoma. Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan
memungkinkan berkumpulnya humor aqueus di belakang iris, sehingga
menonjolkan iris ke depan. Pelebaran pupil sejak dini dan terus menerus
mengurangi kemungkinan timbulnya sinekia posterior. Gangguan
metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Ablasio retina kadang-
kadang timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus.
Edema kistoid makular dan degenerasi dapat terjadi pada uveitis anterior
yang berkepanjangan.
29
Gambar 6. Glaucoma sudut tertutup dan Katarak matur
Gambar 7. Sinekia Anterior (perlekatan iris pada kornea)
Gambar 8. Sinekia posterior (perlekatan iris pada lensa)
Gambar 10: ablasio retina
Gambar 9. Ablatio retina
II.3.1.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada
keparahannnya dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topical
atau oral adalah ditujuan untuk mengurangi peradangan.12 Tujuan dari
pengobatan uveitis anterior adalah memperbaiki visual acuity, meredakan
30
nyeri pada ocular, menghilangkan inflamasi ocular atau mengetahui asal
dari peradangannya, mencegah terjadinya sinekia, dan mengatur tekanan
intraocular.14
Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya
menggunakan kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya
steroid atau nonsteroidal anti inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan.
Namun obat-obatan steroid dan imunosupresan lainnya mempunyai efek
samping yang serius, seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula
darah, hipertensi, osteoporosis, dan glaukoma, khususnya pada steroid
dalam bentuk pil. 10
Terapi non spesifik 9,14,16
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada
uveitis yaitu, midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya
diberikan. Tujuan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis
anterior adalah mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi
eksudat, menstabilkan membran sel, menghambat penglepasan lysozym
oleh granulosit, dan menekan sirkulasi limposit.
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh
sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata,
sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan
frekuensi pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang
dipakai, bentuk larutan.
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi
obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula
efek antiinflamasinya. Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis
diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena
penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon
dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra,
konjungtiva dan kornea superfisial.
31
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat
topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang
terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus
oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih
mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat
dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak
maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan
alkohol dan asetat bersifat biphasic.
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.
Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik
daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk
suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum
dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi
seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis
pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon
acetate 0,125% dan 1%, prednisolone sodium phospat 0,125%, 0,5%, dan
1%, deksamentason alcohol 0,1%, deksamethasone sodium phospat 0,1%,
fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan medrysone 1%.
Cycloplegics dan mydriatics
Semua agent cycloplegic adalah cholinergic antagonist yang
bekerja memblokade neurotransmitter pada bagian reseptor dari sphincter
iris dan otot ciliaris. Cycloplegic mempunyai tiga tujuan dalam
pengobatan uveitis anterior, yaitu untuk mengurangi nyeri dengan
memobilisasi iris, mencegah terjadinya perlengketan iris dengan lensa
anterior ( sinekia posterior ), yang akan mengarahkan terjadinya iris
bombe dan peningkatan tekanan intraocular, menstabilkan blood-aqueous
barrier dan mencegah terjadinya protein leakage (flare) yang lebih
jauh.Agent cycloplegics yang biasa dipergunakan adalah atropine 0,5%,
1%, 2%, homatropine 2%, 5%, Scopolamine 0,25%, dan cyclopentolate
0,5%, 1%, dan 2%.
32
Oral steroid dan Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs
Prednisone oral dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan
penggunaan steroid topical hanya berespon sedikit. Penghambat
prostaglandin, NSAIDs ( biasanya aspirin dan ibuprofen ) dapat
mengurangi peradangan yang terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs
dipergunakan untuk mengurang peradangan yang dihubungkan
dengan cystoids macular edema yang menyertai uveitis anterior.
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat
peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat
prednison dengan dosis awal antara 12 mg/kgBB/hari, yang selanjutnya
diturunkan perlahan selang sehari(alternating single dose). Dosis
prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu
pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis
diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu.
Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis
posterior, Uveitis bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA,
Reiter). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan
terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing,
hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi,
hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.
Pengobatan lainnya
Jika pasien tidak koperatif atau iritis tidak berespon banyak dengan
penggunaan topical steroid, injects subkonjuctival
steroid ( seperi celestone ) akan berguna. Depot steroid seharusnya
dihindari pada kasus uveitis sekunder, seperti yang diakibatkan oleh
herpes atau toksoplasmosis karena dapat memperparah.
Injeksi peri-okular dapat diberikan dalam bentuk long
acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa solutio.
Keuntungan injeksi periokular adalah dicapainya efek anti peradangan
secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.
33
Indikasi injeksi periokular adalah apabila pasien tidak responsif
terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi periokular dapat dianjurkan,
Uveitis unilateral, pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi
mata, anak-anak, dan komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis
infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis.
Lokasi injeksi peri-okular sub-konjuctiva dan sub-tenon
steroid repository serta Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar.
Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai
dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 24
minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali
seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat
dapat dipakai dexametason 24 mg. Injeksi sub-tenon posterior dan retro-
bulbar, cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera,
koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular adalah Perforasi bola mata, Injeksi
yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan
katarak sub-kapsular posterior, Glaukoma yang persisten terhadap
pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan
bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata, Astrofi lemak
sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
Follow-up awal pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 – 7
hari, tergantung pada keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-
up adalah visual aquity, pengukuran tekanan intraocular, pemeriksaan
dengan menggunakan slitlamp, assasment cel dan flare, dan evaluasi
respon terhadap terapi.
Table 6. frekuensi dan komposisi terhadap penilaian dan penanganan uveitis anterior
Tingkat
keparahan
Uveitis
Banyknya
kunjungan
follow up
Visual
Acuity
Cells
danFlare
pada
pemeriksaan
Tono-
metry
Ophthalmo-
scopy
Rencana
penetalaksanaan
34
Anterior Slit
Lamp
Ringan Setiap 4-7
hari
Ya Ya Ya Jika pada
visit awal
belum
terdiagnosa
Tatalaksana
seperti di Table 7
Sedang Setiap 2-
4hari
Ya Ya Ya Jika pada
visit awal
belum
terdiagnosa
Tatalaksana
seperti di Table 7
Berat Setiap 1-
2hari
Ya Ya Ya Jika pada
visit awal
belum
terdiagnosa
Tatalaksana
seperti di Table 7
Table 7. Penanganan pada uveitis anterior dan follow up
A. Mild uveitis (Optional depending
on symptoms)
1. Cyclopentolate, 1% (t.i.d.) atau
homatropine, 5% (b.i.d.-t.i.d.)
2. Prednisolone, 1% (b.i.d.-q.i.d.)
3. Aspirin atau ibuprofen, 2 tablet
(q.4h)b secara oral
4. Penggunaan β bloker jka TIO
meningkat
5. Reevaluasi 4-7 hari (atau jika
berambah parah)
B. Refer to primary care physician
for systemic evaluation (when
indicated)
C. Moderate uveitis 1. Homatropine, 5% (q.i.d.) atau
35
scopolamine, 0.25% (b.i.d.)
2. Prednisolone, 1% (q.i.d.)a
3. Aspirin atau ibuprofen, 2 tablets
(q.4h)b secara oral
4. Penggunaan β bloker jka TIO
meningkat
5. Kaca mata gelap
6. Anjuran kepada pasien agar
berhati-hati
7. Re-evaluasi 2-4 hari (atau bila
perlu)
D. Severe uveitis 1. Atropine, 1% (b.i.d.-t.i.d.) atau
homatropine, 5% (q.4h)
2. Prednisolone, 1% (q.2-4h)a
3. Aspirin atau ibuprofen, 2 tablets
(q.3-4h) secara oral
4. Penggunaan β bloker jka TIO
meningkat
5. Paca mata gelap
6. Anjuran kepada pasien agar
berhati-hati
7. Reevaluasi 1-2 hari
*Adapted from Catania LJ. Primary care of the anterior segment, 2nd ed.Norwalk,
CT: Appleton & Lange, 1995:372.
Terapi Spesifik 10,16
Terapi spesifik dapat diberikan bila ada indikasi jelas dan penyebab
pasti uveitis anterior telah diketahui. Penyebab yang tersering adalah
bakteri, maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik. Jika
penyebabnya bakteri dapat diberikan Chloramphenicol tetes mata 3% atau
36
gentamycin tetes atau salep mata 0,3%. Chloramphenicol per oral 3 kali
sehari 2 kapsul untuk dewasa, sedangkan untuk anak-anak dapat diberikan
Chloramphenicol 25 mg/kgBB, 3-4 kali sehari. Jika penyebabnya virus
dapat diberikan Acyclovir 5 kali 200 mg/hari selama 2-3 minggu yang
kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. 14
Toxoplasmosis
Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi
kombinasi.16
Lesi yang mengalami reaktivasi akan menghilang namun
dibutuhkan terapi bila makula atau saraf optik terancam atau teradapat
respons inflamasi yang sangat berat. Steroid sistemik diberikan bersama
obat antiprotozoa seperti klindamisin. Hati-hati dalam menggunakan
sulfadiazin atau klindamisin karena dapat terjadi kolitis
pseudomembranosa akibat terapi klindamisin. Pasien harus diberitahu
bahwa jika timbul diare maka harus segera berobat.10
Sulfadiazin atau trisulfa :
Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu.16
Pirimetamin :
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25
mg/hari selama 3–6 minggu.16
Trimethoprim-sulfamethoxazol (Cotrimoxazole):
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu. Preparat sulfa
mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folat. Preparat
pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat
dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada
pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol
darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi.
Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam
folinat 5 mg tiap 2 hari.16
Klindamisin :
37
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan
preparat sulfa. Secara invivo pada percobaan, obat ini dapat
menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150–
300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg
dilaporkan memberi hasil baik.16
Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping
yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.16
Minosiklin :
Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.16
Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.16
Infeksi virus: 16
Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus
seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh
maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga
asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian
diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute Retinal
Necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali
yang dapat diberikan 3 kali per hari.
Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14
hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah
terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan
sikloplegik topikal.
Cytomegalovirus :
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.
38
Uveitis anterior berkaitan dengan penyakit sistemik
tertentu: 10
Uveitis dengan spondilitis ankilosa
Terapi mata sama seperti terapi uveitis biasa, dan pasien
memerlukan konsultasi dengan ahli reumatologi dan mungkin memerlukan
terapi antiinflamasi dan fisioterapi intermitten
Uveitis dengan Juvenile Rheumatoid Artritis kronis
Terapi okular seperti terapi yang telah dipaparkan. Pasien dapat
diberikan terapi sistemik untuk penyakit sendi. Perlu dilakukan screening
pada anak-anak dengan Juvenile Rheumatoid Artritis secara teratur karena
uveitis asimptomatik kecuali terjadi komplikasi kebutaan yang potensial.
Glaukoma sangat sulit diterapi dan jika terapi medis gagal mengontrol
tekanan, perlu dilakukan pembedahan
Uveitis dengan Fuchs' Heterochromic Iridocyclitis
Terapi steroid tidak efektif untuk mengontrol inflamasi sehingga
tidak diberikan pada penderita ini. Pasien biasanya memberi respon yang
baik pada pembedahan katarak bila diperlukan. Glaukoma dapat diterapi
secara konvensional.
Uveitis dengan AIDS dan retinitis CMV
Terapi kronis dengan Gansiklovir dan atau Foskarnet yang
diberikan secara parenteral merupakan terapi utama; obat-obatan ini juga
dapat diberikan ke dalam ruang vitreous. Sidofivir tersedia untuk
pemberian intravena. Gansiklovir dan bentuk pronya Vangansiklovir
tersedia dalam sediaan oral. Sistem penghantaran depo ke vitrous sedang
diteliti untuk retinitis okular CMV lokal dan tersedia implan Gansiklovir.
Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh
serta adanya virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya
pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak disertai
pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki
daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak
boleh membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi),
39
memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam.
Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti:
gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus,
kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab
dan juga mengobati penyebab tersebut.16
II.3.1.10 PROGNOSIS 3
Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat
didiagnosis secara awal dan diberi pengobatan. Dengan pengobatan,
serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung beberapa hari
sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis anterior mungkin berulang,
terutama jika ada penyebab sistemiknya. Uveitis granulomatosa
berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan
remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen
dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal
perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan
yang berarti. Prognosis visual pada iritis kebanyakakan pulih dengan baik,
tanpa adanya katarak, glaucoma atau posterior uveitis.
II.3.2 UVEITIS POSTERIOR
II.3.2.1 DEFINISI
Uveitis posterior merupakan salah satu klasifikasi uveitis
berdasarkan anatomis. Uveitis posterior adalah radang uvea bagian
posterior yang biasanya disertai dengan keradangan jaringan disekitarnya.
Inflamasi ini terletak dibagian uvea di belakang dengan batas basis vitreus.
Jika mengenai retina disebut retinitis dan jika mengenai vitreous disebut
vitritis.18
40
Gambar 10. Uveitis posterior
II.3.2.2 ETIOLOGI
Penyebab uveitis posterior dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)14
2. Virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella,
rubeola, HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie.
3. Bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik dan
endemik, Nocardia, Neisseria meningitides, Mycobacterium avium-
intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.
4. Fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.
5. Parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.
6. Penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)
7. Autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada,
poliarteritis nodosa, ofthalmia simpatis, vaskulitis retina.
8. Keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi
metastatik.
9. Etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati
pigmen plakoid multifokal akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati
pigmen retina.
Untuk mempermudah diagnosis, uveitis posterior dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
41
Uveitis posterior pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan oleh
infeksi virus sitomegalo, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan
infeksi rubella.
Uveitis posterior pada kelompok usia 4-15 tahun dapat disebabkan
oleh toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediet, infeksi
sitomegalovirus, panensefalitis sklerosis subakut, dan jarang infeksi
bakteri atau fungus.
Pada kelompok umur 16-40 tahun, disebabkan oleh toksoplasmosis,
penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmia
kandida, dan jarang infeksi bakteri endogen seperti meningitis
meningokokus.
Kelompok usia lebih dari 40 tahun mungkin menderita sindroma
nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo, retinitis,
sarkoma sel retikulum, atau kriptokokosis.
Apabila terjadi uveitis posterior unilateral, biasanya lebih condong
akibat toksoplasmosis, kandidiasis, toksokariasis, sindroma nekrosis
retina akut, atau infeksi bakteri endogen.
II.3.2.3 PATOLOGI
Pada stadium awal terjadi kongestif dan inviltrasi dari sel-sel
radang seperti PMN, limfosit, dan fibrin pada koroid dan retina yang
terkena. PMN lebih banyak berperan pada uveitis jenis granulomatosa
sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya pada uveitis non granulomatosa
limfosit lebih dominan. Apabila inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan
robek sehingga lekosit pada retina akan menginvasi rongga vitreum yang
menyebabkan timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada uveitis
granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell
sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian exudat menghilang
dengan disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan retina yang
terkena. Eksudat dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula pigmen
akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan
difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.14
42
Gambar 12. cell depocits pada uveitis
II.3.2.4 KLASIFIKASI
Berdasar patologinya, uveitis posterior juga dapat dibedakan
menjadi uveitis granulomatosa dan uveitis non granulomatosa. Pada jenis
non granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen
dan berespon baik dengan terapi kortikosteriod sehingga sering dianggap
semacam fenomena hipersensitivitas. Pada jenis granulomatosa umumnya
mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab. Pada
uveitis posterior umumnya lebih sering terjadi uveitis jenis
granulomatosa.2 Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau
lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses
granulomatosa kronis.
Uveitis posterior dapat ditemui dalam bentuk-bentuk berikut ini :
1. Koroiditis anterior, radang koroid purifier
2. Koroiditis areolar, koroiditis bermula di daerah makula lutea dan
menyebar ke perifer
3. Koroiditis difusa atau diseminata, bercak peradangan koroid tersebar
di seluruh fundus okuli
4. Koroiditis eksudatif, koroiditis disertai bercak-bercak eksudatif
5. Koroiditis juksta papil
II.3.2.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala Uveitis Posterior:
1. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis
uveitis posterior.
43
2. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen
posterior yang terkena, jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan
tidak ada pada histoplasmosis.
3. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis
retina akut, sifilis, infeksi bakteri endogen, skleritis posterior, dan pada
kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus. Pasien toksoplasmosis,
toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak disertai
glaukoma umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit segmen
posterior noninfeksi lain yang khas tidak sakit adalah epiteliopati
pigmen plakoid multifokal akut, koroiditis geografik, dan Sindroma
Vogt-Koyanagi-Harada.10
Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :10
1. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada
leukemia, penyakit Behcet, sifilis, toksokariasis, dan infeksi bakteri
endogen.
2. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada uveitis
granulomatosa anterior yang juga mengenai retina posterior dan
koroid, sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma
Vogt-Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non
granulomatosa dapat menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen
plakoid multifokal akut, bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan
sindrom nekrosis retina akut.
3. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis
retina akut, toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.
4. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior.
Peradangan dalam vitreum berasal dari fokus-fokus radang di segmen
posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik atau
histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel
retikulum, infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus
toksoplasmosis dengan fokus-fokus infeksi kecil pada retina.
44
Sebaliknya, peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat terdapat
pada tuberkulosis, toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis,
toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis bakteri atau kandida
endogen.
5. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas yang
menimbulkan retinitis dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi
virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla umumnya mengenai
retina secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada
koroiditis. Pada pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama
proses granulomatosa, yang juga mengenai retina. Koroiditis geografik
terutama mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa merusak retina
dan pasien tidak menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat
secara primer pada oftalmia simpatis dan penyakit Lyme. Ciri
morfologiknya dapat berupa lesi geografik, lesi punctata, nodul Dalen-
Fuchs.
6. Vaskulitis.
7. Hemoragik retina.
8. Parut lama.
II.3.2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi10
1. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus
humour, badan siliar, iris, nervus optikus, dan sklera.
2. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.
II.3.2.7 PENATALAKSANAAN
Terapi uveitis posterior tergantung dari penyebabnya. Pada
prinsipnya pengobatan ditujukan untuk mempertahankan penglihatan
sentral, mempertahankan lapang pandang, mencegah atau mengobati
perubahan-perubahan struktur mata yang terjadi seperti katarak, glaukoma
45
sekunder, sinekia posterior, kekeruhan badan kaca, ablasi retina dan
sebagainya.1
Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis,
yaitu midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis
akibat infeksi harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai.
Midriatikum berfungsi untuk memudahkan follow up keberhasilan
pengobatan. Atropin tidak diberikan lebih dari 1-2 minggu.1
Indikasi operasi pada pasien dengan uveitis mencakup rehabilitasi
visual, biopsi diagnostik (hasil penemuan dari biopsi menyebabkan adanya
perubahan pada rencana pengobatan), dan pengeluaran Opacities media
untuk memonitor segmen posterior. Apabila timbul perubahan struktur
pada mata (katarak, glukoma sekunder) maka terapi terbaik adalah dengan
operasi.10
Vitrektomi berfungsi untuk menentukan diagnosis dan
pengobatan. Indikasi vitrektomi adalah peradangan intraokular yang tidak
sembuh pada pengobatan, dugaan adanya keganasan dan infeksi pada
mata. Uveitis posterior berkaitan dengan kekeruhan vitreus yang tidak
dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Dengan adanya vaskulitis dan
oklusi vaskular pada pars planitis, penyakit Behcet dan sarkoidosis
neovaskularisasi retina atau pada diskus optikus (pada pasien uveitis)
menyebabkan timbulnya perdarahan pada vitreus. Vitrektomi merupakan
salah satu pilihan untuk situasi tersebut.14
II.3.2.7 PROGNOSIS
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan
atrofi daerah lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea
akan berpengaruh pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas
sepanjang fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai
area makula.1
46
BAB III
KESIMPULAN
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus
siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola
mata, kornea dan sklera. Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi
47
beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain.
Terjadinya uveitis anterior juga berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik,
antara lain: Sarcoidosis, Behcet's disease Hypersensitivity reactions, Juvenile
rheumatoid arthritis, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, Gejala-gejala uveitis
anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan
kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan
sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala
sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Diagnosis banding
uvetis anterior antara lain: konjungtivitis, keratitis atau keratokunjungtivitis,
glaukoma akut. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam
penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau
penyebab pradangan, mencegah terjadinya sinekia iris,mengendalikan tekanan
intraokular. Prinsip pengobatan uveitis antara lain: menekan peradangan,
mengeliminir agen penyebab, menghindari efek samping obat yang merugikan
pada mata dan organ tubuh di luar mata. Terapi uveitis anterior terdiri dari terapi
non spesifik dan terapi spesifik. Terapi non spesifik menggunakan obat-obat
midriatik-sikloplegik, kortikosteroid dan imunosupresan. Sedangkan terapi
spesifik didasarkan pada penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, H.S., dan Yulianti, S. R. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Mansjoer, A., dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
48
Aesculaplus. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Cunningham, E. T., dan Shetlar, D. J. 2010. Traktus Uvealis dan Sklera
dalam Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Diterjemahkan oleh
Pendit, B. U. Editors edisi bahasa Indonesia Diana, S. Jakarta: EGC.
4. Indraswati, E., Anie, M., dan Suhendro, G., Trans Limbal Lensectomy of
Untreatable Uveitis in Juvenile Rheumatoid Arthritis Patient. Jurnal
Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007.
5. Ardy, H. 1993. Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior dalam Cermin Dunia
Kedokteran no 87:47-54. Jakarta: Majalah Cermin Dunia Kedokteran.
6. Riordan-Eva, P. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata dalam Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Diterjemahkan oleh Pendit, B. U.
Editors edisi bahasa Indonesia Diana, S. Jakarta: EGC.
7. Eroschenko, V P. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional
edisi 11. Jakarta: EGC.
8. Guyton, A. C. dan Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Diterjemahkan oleh Irawati, dkk. Editors edisi bahasa Indonesia Luqman, Y.
R., dkk Jakarta: EGC.
9. Alexander, K.L, et al. Reviewed by Amos. J. F., et al. 2004. Optometric
Clinical Practice Guideline Care of the Patient with Anterior Uveitis.
Lindbergh Boulevard: American Optometric Association.
10. James, B., Chew, C., dan Bron, A. 2011. Lecture Notes: Oftalmologi Edisi
Kesembilan. Diterjemahkan oleh Rachmawati, A. D., Editors edisi bahasa
Indonesia Amalia, S. Jakarta: Erlangga.
11. Vorvick, L. J. 2012. Uveitis. Medlineplus.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001005.html. Diakses
tanggal 27 Juli 2015. pk. 15.30.
12. Dorland, N. W. A. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.
Diterjemahkan oleh Retna Neary Elseria., dkk. 2007. Mahode, A. A., dkk,
editors. Jakarta: EGC.
13. Suhardjo dan Gunawan, W. 1995. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta
pada HLA-B27 positif dalam Cermin Dunia Kedokteran no 101: 53-5.
49
Jakarta: Majalah Cermin Dunia Kedokteran.
14. Soewono, W., dan Eddyanto. 2006. Uveitis Anterior Akut dalam Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III. Surabaya:
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo dengan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya.
15. Sherman, M. D. 2008. Uveitis. InterMDnet.
http://www.cyberounds.com/cmecontent/art281.html?pf=yes. Diakses tanggal
27 Juli 2015. pk. 18.30.
16. Sjamsoe, S. 1993. Penatalaksanaan Uveitis dalam Cermin Dunia Kedokteran
no 87: 55-58. Jakarta: Majalah Cermin Dunia Kedokteran.
17. Civelek, M. L., Goldstein, D. A., and Tessler, H. H. 2006. Hypersensitivity
Uveitis in Duane’s Clinical Ophthalmology on CD-ROM. Lippincott
Williams and Wilkins Publication Vol. 4 Chapter 54.
http://www.eyecalcs.com/DWAN/pages/v4/v4c054.html. on 27th July 2015, at
10.00 p.m.
18. Melinda. 2009. Uveitis. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Riau.
50