8
Jerat (Strangulation) Strangulasi adalah salah satu bentuk asfiksia yang diakibatkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah atau saluran pernafasan dikarenakan penekanan pada daerah leher. Pada penekanan daerah leher, ada beberapa mekanisme yang menyebabkan terganggunya aliran darah ke otak, yaitu: 1. Kompresi arteri karotis atau vena jugularis menyebabkan iskemia otak 2. Kompresi laringofaring, laring, atau trakea menyebabkan asfiksia 3. Rangsangan pada reflex sinus karotis menyebabkan bradikardia, hipotensi, atau keduanya. 1,2,3 Terdapat 2 jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar atau diperkecil) dan simpul mati (lingkar jerat tidak dapat diubah). 2 Jejas jerat pada leher umumnya mendatar dan terdapat di bawah rawan gondok dengan intensitas penekanan yang sama, sedangkan jejas gantung diri biasanya diatas rawan gondok dengan intensitas yang berbeda. Pada penggantungan jika kasusnya bunuh diri, maka alat penjerat yang terdapat pada leher berjalan dengan letak simpul pada sebelah atas, jumlah lilitan sekali atau berulang kali, simpulnya simpul hidup, jejas jerat sebenarnya merupakan luka lecet tekan berwarna merah coklat dengan perbaan seperti kertas perkamen dan disekitar jejas jerat terdapat gelembung- gelembung dan pelebaran pembuluh darah yang merupakan

jeraa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jeraa

Citation preview

Jerat (Strangulation)Strangulasi adalah salah satu bentuk asfiksia yang diakibatkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah atau saluran pernafasan dikarenakan penekanan pada daerah leher. Pada penekanan daerah leher, ada beberapa mekanisme yang menyebabkan terganggunya aliran darah ke otak, yaitu:

1. Kompresi arteri karotis atau vena jugularis menyebabkan iskemia otak

2. Kompresi laringofaring, laring, atau trakea menyebabkan asfiksia

3. Rangsangan pada reflex sinus karotis menyebabkan bradikardia, hipotensi, atau keduanya.1,2,3Terdapat 2 jenis simpul jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar atau diperkecil) dan simpul mati (lingkar jerat tidak dapat diubah).2Jejas jerat pada leher umumnya mendatar dan terdapat di bawah rawan gondok dengan intensitas penekanan yang sama, sedangkan jejas gantung diri biasanya diatas rawan gondok dengan intensitas yang berbeda. Pada penggantungan jika kasusnya bunuh diri, maka alat penjerat yang terdapat pada leher berjalan dengan letak simpul pada sebelah atas, jumlah lilitan sekali atau berulang kali, simpulnya simpul hidup, jejas jerat sebenarnya merupakan luka lecet tekan berwarna merah coklat dengan perbaan seperti kertas perkamen dan disekitar jejas jerat terdapat gelembung-gelembung dan pelebaran pembuluh darah yang merupakan tanda tanda intravital. Pada pembunuhan dengan alat penjerat jejas tampak mendatar, biasanya satu lilitan dengan simpul mati dan alat penjerat umumnya lebih kebawah, menjauhi rahang bawah dan kelenjar gondok.

Kematian pada kasus penjeratan biasanya karena mati lemas, dengan demikian tanda-tanda mati lemas merupakan tanda yang dominan ditemukan. Akan tetapi bila tanda-tanda mati lemas tidak ditemukan jangan terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa korban mati bukan karena penjeratan, alat penjerat hanya untuk menyulitkan penyidik atau memberi kesan seolah-olah bunuh diri. Selain karena mati lemas/asfiksia, kematian pada kasus penjeratan dapat oleh karena hal lain/mekanisme kematian lain, seperti reflex vagal yang menyebabkan terhentinya denyut jantung, otak tidak mendapatkan oksigen cukup karena jeratan yang sangat kuat menghambat semua pembuluh darah ke otak atau terjadinya patah atau dislokasi ruas tulang leher yang berakibatnya putusnya sum-sum tulang belakang. Keluar air mani, air seni, atau tinja juga bukan merupakan tanda khas dari penjeratan. Perlu diketahui bahwa semakin dekat tubuh korban ke lantai pada kasus penggantungan, semakin besar dugaan bunuh diri. Semakin jauh jarak antara simpul didaerah leher dengan simpul pada tumpuan dimana alat penjerat itu diikat, maka dugaan bunuh diri harus dipikirkan terlebih dahulu. Sebalikanya semakin jauh jarak antara tungkai dengan lantai dan semakin dekat simpul didaerah leher dengan simpul pada tumpuan, maka kemungkinan pembunuhan harus dipikirkan terlebih dahulu.Penjeratan pada umumnya merupakan kasus pembunuhan sehingga sering dijumpai rambut, krah baju, atau kalung yang ikut terikat diantara tali dan leher. Umumnya simpul mati, dan simpul sering terletak dibelakang atau disamping. Perhatikan pula adanya tanda tanda perlawanan. Semua kasus jerat sebaiknya dianggap pembunuhan sampai terbukti bukan. Namun bunuh diri dengan penjeratan juga mungkin terjadi apabila seseoran mampu mempertahankan jeratan pada lehernya agar tetap pada tempatnya dan erat. Karena ketika sesorang tidak sadar, jeratan menjadi longgar dan reperfusi jaringan otak dapat terjadi lagi.4

Pada pemeriksaan jenazah ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Jejas jerat

Jejas jerat pada leher pada umumnya mendatar atau horizontal, melingkari leher, lebih rendah dan tidak sejelas jejas jerat pada kasus gantung. Kedalaman sama (regular) tetapi jika simpul tali menyilang maka jejas pada tempat tersebut lebih dalam dan lebih nyata. Tinggi kedua ujung jejas jerat tidak sama, biasanya jejas terletak setinggi atau dibawah rawan gondok.1,2,9

2. Bahan tali jerat

Pola jejas jerat ditentukan juga oleh bahan tali. Pada bahan tali lunak seperti handuk atau selendang sutera maka jejas mungkin tidak ditemukan dan pada otot-otot leher sebelah dalam dapat atau tidak ditemukan resapan darah. Tali yang tipis seperti kaos kaki nylon akan meninggalkan jejas dengan lebar tidak lebih dari 2-3 mm.1,2

Didalam dunia criminal, yang sering dihadapi oleh penyidik atau dokter adalah kasus asfiksia mekanik, seperti obstruksi saluran pernafasan, kompresi pembuluh-pembuluh darah leher, perangsangan langsung pada sinus karotis. Pemeriksaan Post Mortal pada kasus-kasus yang meninggal karena mengalami penekanan pada daerah leher adalah sebagai berikut:1. Sianosis

Mudah dilihat pada pembuluh darah kapiler, seperti pada ujung-ujung jari dan bibir dimana penilaiannya harus hati-hati oleh karena variabelnya cukup besar. Setelah 24 jam post mortem sianosis yang ada biasanya merupkan perubahan post mortal, tidak adanya sianosis tidak berarti bahwa korban tidak mengalami sianosis2. Kongesti

Kongesti sistemik dan kongesti paru-paru serta dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian karena asfiksia.

3. Edema paru

Untuk mengetahui hal tersebut paru-paru perlu ditimbang untuk mengetahui beratnya, walaupun hanya mempunyai arti sedikit didalam hal penentuan kematian karena obstruksi saluran pernafasan dan sering dijumpai pada kasus-kasus yang lain.4. Perdarahan berbintik

Yang mudah dilihat pada kulit dan alat-alat dalam, seperti jantung, permukaan paru-paru, daerah katup pangkal tenggorok (epiglottis), biji mata, dan kelopak mata. Pendarahan ini terjadi sebagai akibat langsung dari hipoksia dank arena peningkatan tekanan intrakapiler. 5. Patah tulang lidah dan tulang rawan gondok

Tulang lidah dapat patah karena mengalami tekanan atau kompresi langsung dari samping (lateral), ataupun karena tekanan yang tidak langsung. Tekanan langsung seperti pada kasus pencekikan, sedangkan tekanan yang tidak langsung dimungkinkan oleh adanya tekanan kebawah kesamping dari tulang rawan gondok atau tekanan pada daerah tulang lidah dan tulang rawan gondok. Pembekapan adalah bentuk mati lemas di mana saluran eksternal (hidung dan mulut) yang dikompresi atau diblokir, sehingga mencegah inspirasi. Pembekapan terdiri dari berbagai bentuk, mungkin melibatkan seseorang secara fisik menempatkan tangan atau objek lain ke hidung dan mulut, pembungkus atau bahan lain di wajah, atau mengompresi saluran napas eksternal dengan hampir semua cara lain. Air mata dan memar pada labial, buccal, dan/atau mukosa mulut mungkin mencerminkan perlawanan selama proses pembekapan. Selain itu mungkin ada perdarahan dari hidung, lecet pada hidung atau wajah serta patah hidung. Karena mungkin ada kekurangan temuan autopsi, olah tempat kejadian perkara mungkin memberikan bukti penting. Kita harus sadar akan hal-hal seperti cairan menyerupai darah lipstik pada sarung bantal terdekat, atau bahan lainnya. (david dolinak)

Pembekapan adalah oklusi fisik pada hidung dan mulut dapat tidak meninggalkan tanda asfiksia pada korba. Jika korban tidak melakukan perlawanan, seperti pada usia ekstrim atau keracunan, misalnya, mereka mungkin tidak memiliki bukti cedera, termasuk di sekitar mulut atau hidung. Kadang-kadang, pemeriksaan akan mengungkapkan cedera intraoral (termasuk memar atau luka dari bagian dalam bibir atau memar pada gusi) dan pembedahan jaringan lunak wajah dapat mengungkapkan memar subkutan di sekitar mulut dan hidung. Penyimpanan barang/benda yang diduga telah digunakan untuk membekap seseorang, mungkin memiliki nilai bukti. Air liur, misalnya, dapat diidentifikasi di bantal yang digunakan dalam serangan dan pencocokan DNA mungkin menguatkan bukti yang diberikan. (simpson)Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa :

1. Bunuh diri (suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan dengan dengan menggunakan gulungan kasur, bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan mulut.

2. Kecelakaan (accidental smothering). Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi premature bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut. Orang dewasa yang terjatuh sewaktu bekerja atau pada penderita epilepsy yang mendapat serangan dan terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.

3. Pembunuhan (homicidal smothering). Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi wpada orang yang tidak berdaya seperti pada orang tua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman keras.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensic, pedoman bagi dokter dan penegak hukum. Cetakan VI. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008; 107-1232. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, et al. Kematian akibat asfiksia mekanik dalam Ilmu kedokteran Forensik. Edisi ke-1. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997; 55-70.

3. Amy R. Suicidal Liaguter Strangulation: Case Report and Review of the Literature. 2000. Available from: http//www.forensikkasus.fkui.com