22
JOURNAL READING New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis Pembimbing : dr. Imammatul Ibaroh,Sp.M,Msi,.Med Disususn oleh : Adelita Yuli Hapsari 030.10.003 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH PERIODE 29 JUNI 2015 s/d 08 AGUSTUS 2015 0

Journal Reading- Uveitis Posterior Sedikit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

i

Citation preview

JOURNAL READINGNew Infectious Etiologies for Posterior Uveitis

Pembimbing :dr. Imammatul Ibaroh,Sp.M,Msi,.MedDisususn oleh :Adelita Yuli Hapsari030.10.003

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATARUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAHPERIODE 29 JUNI 2015 s/d 08 AGUSTUS 2015FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Journal reading dengan judul New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Imamatul Ibaroh, Sp.Msebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Matadi RSUD Kardinah periode 29 Juni 2015 08 Agustus 2015

Tegal, Juli 2015

(dr. Imammatul Ibaroh,Sp.M,Msi,.Med)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas journal reading New Infectious Etiology for Posterior Uveitis ini. Adapun penulisan jurnal ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah periode 29 Juni 2015 08 Agustus 2015Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dr. Imammatul Ibaroh, Sp.M,Msi,.Med, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan journal reading ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyusunan journal reading ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam penulisan ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif bagi perbaikan penulisan ini. Terima kasih.

Tegal, Juli 2015

(Penulis)

DAFTAR ISILembar pengesahan........................................................................................................1Kata Pengantar................................................................................................................2Daftar isi..........................................................................................................................3Bab I Pendahuluan.........................................................................................................4JOURNAL READING...................................................................................................6Abstrak...............................................................................................................7Pendahuluan.......................................................................................................7Infeksi WNV......................................................................................................8Demam Berdarah...............................................................................................10Infeksi virus cikungunya...................................................................................11Rift Valley Fever................................................................................................12Riketsia..............................................................................................................13Uveitis H1N1.....................................................................................................14Journal : New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis.................................15

BAB IPENDAHULUAN

Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang berperan besar dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan koroid. Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea.1Istilah uveitis merupakan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), corpus siliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Namun, dalam praktiknya, isitilah ini turut mencakup peradangan pada retina (vaskulitis retinal), dan nervus optikus intraretinal (papilitis). Uveitis bisa terjadi secara sekunder oleh karena peradangan pada kornea (keratitis), sklera (skleritis) atau keduanya (sklerokeratitis). Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Toxoplasma dianggap sebagai penyebab 30-50% uveitis posterior. Syamsoe pada penelitiannya dalam periode Januari 1981 Maret 1982 terhadap 144 penderita uveitis menemukan 8 (5,56%) kasus disebabkan oleh toksoplasmosis. Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia.2,4,6Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari uvea, yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis. Penyebab uveitis posterior terbagi atas penyebab infeksi dan noninfeksi. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan morfologi lesi, cara onset dan perjalanan penyakit atau hubungannya dengan penyakit sistemik. Pertimbangan lain adalah umur pasien dan apakah timbulnya unilateral atau bilateral. Klasifikasi etiologi uveitis posterior dapat dibagi menjadi uveitis eksogen yang disebabkan oleh trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar dan uveitis endogen yang disebabkan oleh mikroorganisme atau agen dari dalam tubuh yang berhubungan dengan penyakit sistemik serta idiopatik. Pada uveitis posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal sebagai koriorenitis. Pada uveitis posterior umumnya lebih sering terjadi uveitis jenis granulomatosa, yakni koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses granulomatosa kronis2Dua gejala utama uveitis posterior adalah floater dan gangguan penglihatan. Keluhan floater terjadi jika terdapat lesi inflamasi perifer. Sedangkan koroiditis aktif pada makula atau papillomacular bundle menyebabkan kehilangan penglihatan sentral.7 Tanda-tanda adanya uveitis posterior adalah perubahan pada vitreus (seperti sel, flare, opasitas, dan seringkali posterior vitreus detachment), koroditis, retinitis, dan vaskulitis. 7Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat4,5

JOURNAL READINGNew Infectious Etiologies for Posterior Uveitis

Pembimbing :dr. Imammatul Ibaroh,Sp.M,Msi,.Med

Diterjemahkan oleh :Adelita yuli hapsari030.10.003

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATARUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAHPERIODE 29 JUNI 2015 s/d 08 AGUSTUS 2015FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIJAKARTAEtiologi Infeksi Terbaru pada Uveitis PosteriorMoncef Khairallah Rim Kahloun Salim Ben Yahia Bechir JellitiRiadh Messaoud

Department of Ophthalmology, Fattouma Bourguiba University Hospital, Faculty of Medicine, University of Monastir, Monastir , Tunisia

Kata kunci Uveitis posteriorretinitiskorioretinitisvaskulitis

AbstrakMunculnya dan kembalinya wabah penyakit infeksi artropoda merupakan kelainan sistemik terbesar yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Diantaranya, virus dan bakteri seperti west nile virus, virus demam berdarah, chikungunya, Rift valey fever, dan riketsia yang berperan dalam menimbulkan gejala pada mata. Termasuk uveitis anterior, retinitis, korioretinitis, vaskulitis retina dan keterlibatan saraf optikus. Diagnosis klinis yang tepat pada penyakit infeksi ini berdasarkan data epidemiologi, riwayat penyakit, gejala dan tanda sistemik serta pola perkembangan pada mata. Diagnosis tersebut biasanya dikonfirmasi oleh terdeteksinya serum antibodi spesifik. Perkembangan pada mata dihubungkan dengam munculnya infeksi yang biasanya dapat sembuh tanpa pengobatan, tetapi hal tersebut dapat menyebabkan kelainan mata yang terus menerus. Tidak adanya bukti spesifik terhadap pengobatan penyakit arboviral dan sebagian besar terapi berupa terapi suportif. Vaksinasi untuk melawan virus ini masih dalam penelitian. Doksisiklin adalah terapi pilihan untuk penyakit riketsia. Pencegahan dalam menurunkan jumlah nyamuk dan perlindungan personal merupakan langkah utama dalam mengkontrol penyakit menular akibat artropoda. Virus influenza A (H1N1) bertanggungjawab terhadap pandemik pada tahun 2009, dan akhir-akhir ini dihubungkan dengan variasi perubahan segmen anterior mata.

PendahuluanPenyakit menular artropoda merupakan infeksi berulang yang penting diketahui. Penyebab penyakit ini termasuk kedalam variasi besar dari penyakit virus, bakteri, dan parasit yang di transmisikan ke manusia oleh gigitan serangga (artropoda) seperti nyamuk. Sebagian besar terdapat pada daerah subtropis dan tropis, tetapi serangga tersebut cenderung tersebar ke daerah yang baru terutama di daerah yang mengalami perubahan iklim atau globalisasi. Tingkat penyakit sistemik tersebut mulai dari demam ringan sampai berat dan berpotensial menyebabkan kematian. Infeksi virus dan bakteri spesifik oleh serangga akhir-akhir ini telah dikaitkan dengan uveitis posterior dan gejala gangguan mata lainnya [1-3]. Penyakit virus tersebut dapat disebut sebagai infeksi West Nile virus (WNV), virus dengue (DF), cikungunya dan riketsia. Tidak adanya bukti spesifik terhadap pengobatan penyakit arboviral dan sebagian besar terapi berupa terapi suportif. Pencegahan dalam menurunkan jumlah nyamuk dan perlindungan personal merupakan langkah utama dalam mengkontrol penyakit menular akibat artropoda ini. Dalam artikel ini, kami mengkaji epidemiologi, sistemik dan menampilkan kelainan mata yang berkaitan dengan infeksi virus oleh artropoda. Virus influenza A (H1N1) yang berhubungan dengan kelainan mata masih didiskusikan lebih dalam.

Infeksi WNVInfeksi WNV adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh rantai tunggal RNA flavivirus dan ditransmisikan kepada manusia melalui nyamuk (jenis culex) pada tempat pakan burung liar sebagai reservoar atau sumbernya [1-3]. Virus tersebut terdistribusi secara luas di afrika, Eropa, Australia, dan Asia dan sejak tahun 1999 telah menyebar secara cepat ke bagian belahan barat termasuk United states, kanada, meksiko dan karibia serta ke negara bagian tengah dan selatan Amerika [1-3]. Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat subklinis (80%) atau bermanifestasi sebagai demam (20%) [1-3]. Kelainan saraf yang berat telah dilaporkan terdapat kurang dari 1% pasien dan sering dihubungkan dengan bertambahnya usia dan diabetes [3]. Diagnosis dikonfirmasi dengan mendeteksi antibodi IgM dalam serum cairan serebrospinal atau PCR [4].Bilateral tipikal atau korioretinitis unilateral multifokal merupakan gejala pada mata yang biasa terjadi pada infeksi WNV, kejadiannya hamipr 80% pasien dengan infeksi WNV akut dihubungkan dengan gangguan saraf [5,6]. Kebanyakan pasien tidak menimbulkan gejala pada mata atau hanya mengalami penurunan visus yang ringan atau buram. Lesi korioretinitis aktif muncul dalam bentuk sirkular, dalam, lesi yellowish dalam oftalmoskopi (fig.1), dengan hipofloresen dini dan angiografi dalam pewarnaan floresen (FA) [5]. Lesi inaktif korioretina tampak melingkar, lesi atrofi dengan atau tanpa pigmentasi sentral (fig.2a), dan biasanya memperlihatkan target-like-appearance pada FA (fig.2b) dengan hipofloresen sentral dan hiperfloresen perifer [5]. Lesi korioretinal bervariasi dalam jumlah maupun bentuk, disertai midperifer dengan atau tanpa dihubungkan dengan bagian posterior [5]. Semua ini terorientasi secara tipikal di bagian nasal dan fundus perifer atau tersusun secara kurvalinear di temporal fundus posterior [5]. Pola linear pada korioretinitis tampak berkaitan dengan serabut saraf retina utama[7]. Angiografi indosianin hijau (Indocyanine green angipgraphy) memperlihatkan gambaran spot hipofloresen koroid yang lebih baik dibandingkan secara klinis atau pada FA [8].

Fig. 1. Fotografi warna fundus pada mata kanan pasien muda dengan infeksi WNV yang tampak pada supratemporal, kelompok garis linear yang dalam, creamy, lesi aktif korioretinal (tanda panah)

Kebanyakan pasien dengan korioretinitis berusia diatas 50 tahun dan memiliki riwayat diabetes melitus yang diperkuat dengan adanya hubungan retiopati diabetes [9]. Meskipun multifokal korioretinitis adalah manifestasi tersering pada infeksi WNV, manifestasi lain telah diseskripsikan, ter,asuk perdarahan retina, perselubungan vaskular retinal fokal atau difus, kebocoran vaskular (vascular leakage), vaskulitis oklusif, zona atrofi dan bercak pigmentasi epitel retina (RPE), edema makula, dan neuritis optik [1-3,5,6]. Penyakit mata yang berkaitan dengan infeksi WNV biasanya dapat sembuh sendiri dan ketajaman penglihatan dapat kembali pada sebagian besar pasien [5]. Bagaimanapun juga, kehilangan daya visual dapat diakibatkan oleh jaringan parut fovea korioretinal, neovaskularisasi koroid, perdarahan vitreus, pelepasan traksi retina, makulopati iskemik berat, atrofi optik, dan kerusakan retrogenikulata [1-3, 5, 6, 10, 11]. Baru-baru ini, telah dilaporkan adanya satu kasus mengenai reaktivasi infeksi WNV berkaitan dengan korioretinitis [12].Saat ini, tidak ada terapi terbaik dalam menangani infeksi WNV. Dalam kasus penyakit sistemik berat, perlu diindikasikan terapi suportif yang intensif [1-3, 13, 14]. Agen antivirus seperti ribavirin dan interferon telah ditemukan aktif secara in vitro [3]. Beberapa percobaan klinis mengenai IFN- -2b, IFN-, dan imunoglobulin titer tinggi intrevena akan diikuti sebagai terapi pendekatan dikemudian hari [13,14] ba

Fig. 2. Fotografi warna fundus (a) dan angiogram floresen (b) pada mata kiri pasien diabetes dengan infeksi WNV yang memperlihatkan lesi multifokal korioretinitis inaktif dengan kelompok garis linear tipikal dan target appearance pada lesi korioretina.

Terapi spesifik terhadap gangguan mata mungkin diperpukan seperti kortikosteroid topikal pada uveitis anterior, fotokoagulasi retina perifer untuk neovaskularisasi yang disebabkan oleh vaskulitis oklusi, vitrektomi pars plana untuk perdarahan vitreus atau kerusakan retina dan injeksi intravitreus sebagai agen faktor pertumbuhan antivaskularisasi endotel untuk neovaskularisasi koroid atau edema makula [11,15].

Demam BerdarahDF disebabkan oleh virus Dengue, flavivirus ditransmisikan melalui nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dianggap sebagai salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh artropoda terpenting di daerah subtropis dan tropis [1-3]. Sebagai tambahan terhadap adanya demam, DF dapat menyebabkan sakit kepala, mialgia, trombositopeni dan dengue shock syndrome [1-3]. Diagnosis DF berdasarkan klinis yang muncul secara khas serta serologi IgM dengue positif [1-3]. Perkembangan pada mata, yang sering pada pasien DF biasanya terjadi secara bilateral [1-3]. Pada pasien yang merupakan pelajar biasanya mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, skotoma sentral atau terdapat bayangan. Perdarahan subkonjungtiva, gambaran peteki yang khas dan sering berkaitan dengan jumlah platelet yang kurang dari 50.000/l [3]. Perubahan segmen posterior berhubungan dengan DF, termasuk perdarahan retina, perselubungan vaskularisasi retina, bintik kuning pada retina, bercak RPE, foveolitis (tampak secara klinis sebagai lesi kuning yang melingkar pada fovea; fig. 3a), perubahan koroid, pembengkakan diskus optikus, neuritis optikus, dan neuroretinitis [1-3, 16-23]. Terdapat juga sel di bilik mata depan atau vitreus humor. Penemuan tersering pada FA yakni kebocoran dan hambatan vaskularisasi retina. Angipgrafi indosianin hijau memperlihatkan bintik hipofloresein yang dicocokkan pada lesi subretina yang tampak secara klinis dan adanya bintik tambahan pada area yang tidak terbukti secara klinis [17]. Sering didapatkan adanya vaskulopati koroid besar dengan hiperfloresen dan kebocoran. Optical Coherence Tomography (OCT) berguna dalam mendeteksi dan memonitoring progresifitas foveolitis [24], memperlihatkan penebalan focal outerneurosensory RPE yang sesuai dengan lesi bulat kekuningan pada fovea secara klinis (fig. 3b). OCT juga dapat berguba untuk mendeteksi dan mengevaluasi kerusakan serosa retina (SRD) dan edema makula. Meskipun prgnosis ketajaman penglihatan baik pada sebagian besar pasien, Dengu berkaitan dengan makulopati dan neuropati bisa menyebabkan kerusakan visual permanen [24]. Kelainan mata pada DF dapat sembuh sendiri [1-3] dan tidak dilakukan terapi percobaan sampai saat ini. Pengobatan topikal, periokular, oral, dan steroid intravena serta imunoglobulin telah berhasil dilakukan [16,18].ba

Fig 3. (a) warna fundus pada fotografi mata kiri pasien DF menunjukkan lingkaran subretina, lesi kekuningan pada fovea. (b). OCT menunjukkan penebalan focal outer neurosensory RPE (diambil oleh Soon-Phaik Chee)

Infeksi virus cikungunyaVirus cikungunya merupakan virus RNA rantai tunggal dari genus Alphavirus dalam famili Togaviridae yang ditransmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti [1-3]. Virus tersebut telah dihubungkan dengan dengan banyaknya epidemik pada daerah tropis seperti Afrika, India, Asia Tenggara dan Amerika Selatan [1-3]. Demam ckungunya dapat bermanifestasi sebagai demam akut dengan nyeri kepala, kelelahan, mialgia, ruam makulopapular difus, perdarahan dari hidung atau gusi, edema perifer, nyeri sendi, kegagalan hepar akut, kegagalan multiorgan, transmisi ibu-ke-anak, dan komplikasi pengobatan penglihatan [1-3].Gejala pada mata biasanya terjadi setelah periode laten dalam hitungan bulan sampai tahun, meskipun, telah dilaporkan gejala dapat terjadi secara bersamaan. Perkembangan mata pada cikungunya dapat terjadi secara uniletaral maupun bilateral, keduanya dapat terjadi pada semua jenis kelamin disemua usia, dengan manifestasi tersering uveitis anterior dan retinitis [1-3, 25].Retinitis cikungunya atau korioretinitis biasanya berdampingan dengan vitritis ringan dan dalam bentuk area keputihan pada retina bagian posterior yang melingkari retina serta edema makula (fig. 4). Hubungan vaskulitis oklusif secara akurat dapat dideteksi oleh FA [1-3, 25-27]. Perkembangan segmen posterior termasuk neuritis optikus, neuroretinitism oklusi sentral arteri retina, kerusakan eksudatif retina [25-29]. Meskipun manifestasi pada mata secara klinis khas, neuritis optikus bisa menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen. Beberapa pemeriksa mengobati retina dengan asiklovir oral/intravena dan prednisolon oral, meskipun tidak ada bukti dalam kepustakaan yang mendukung kemanjuran asiklovir atau agen untuk melawan cikungunya [1-3].Rift Valley Fever RVF adalah penyakit virus yang ditularkan oleh artropoda yang disebabkan oleh Bunyaviridae. Ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk atau kontak langsung pada hewan yang terinfeksi. Beberapa perjangkitan yang telah dilaporkan terdapat di sub-Sahara dan Afrika Utara dan akhir-akhir ini terdapat di Arabian peninsula [1-3]. Gejala utamanya adalah demam dengan kurva suhu bifasik, sakit kepala, nyeri sendi, mialgia dan gangguan pencernaan [1-3]. Klinis lain termasuk demam berdarah dengan gangguan hati, trombositopenia, ikterus, dan perdarahan, serta gangguan neurologis dengan ensefalitis setelah episode demam disertai gejala kebingungan dan koma [1-3]. Gangguan mata telah dilaporkan terjadi sebanyak 1-20% pada infeksi RVF [1-3, 30]. Jarak antara onset RVF dan gejala gangguan visual sebanyak 4-15 hari.Retinitis makula dan paramakula sering ditemukan (fig. 50). Fokus retinitis memperlihatkan hipofloresein dini dengan pewarnaan lesi retina dan kebocoran vaskular retina pada FA. Lesi segmen posterior lain termasuk perdarahan retina, vitritis, edema diskus optikus, dan vaskulitis retina [1-3, 30]. Gejala muncul secara spontan antara 2-3 minggu dari onset gejala sistemik, tetapi kehilangan penglihatan permanen sering terjadi oleh karena paut makula dan paramakula, sumbatan vaskular atau atrofi optikus [1-3, 30].Seluruh pengobatan berupa terapi suportf. Mulai dari kasus RVF ringan sampe sedang, anti nyeri sederhana dan cairan dapat diberikan [1-3]. Pada penyakit pasien yang memburuk mungkin bisa diberikan ventilasi dan transfusi darah [1-3].

3

Fig. 4 fotografi fundus pada mata kiri pasien dengan cikungunya menunjukkan diskus optik yang hiperemi, lesi putih retina yang banyak, perdarahan superfisial dan incomplete macular star (diambil dari Padamamalini Mahendradar)Fig. 5 fotografi fundus pada mata kiri pasien RVF menunjukkan retinitis makula kaitannya dengan perselubungan vaskularisasi retina dan perdarahan retina (diambil dari Emad Abboud)

Riketsia Riketsia terdistribusi secara mendunia yang merupakan bakteri intraselular obligat gram negatif. Sebagian besar dari bakteri tersebut ditransmisikan ke manusia melalui gigitan serangga [1-3]. Agen riketsia diklasifikasikan kedalam 3 kategori besar: the spotted fever group, typhus group, dan the scrub typhus group [1-3]. Penyakit riketsia tetap dipikirkan, selama musim panas dan musin semi, trias gejala seperti demam tinggi, sakit kepala dan malaise serta ruam kulit pada pasien telah kembali dari derah endemik riketsiosa [1-3]. Gangguan penglihatan sering menyertai pada pasien riketsia, tetapi sering kali asimtomatik dan sembuh sendiri sehingga mudah terlewatkan [1-3, 31-33]. Inner retinitis dengan atau tanpa kaitannya dengan vitritis ringan atau sedang sering ditemukan secara klinis [1-3, 31-33]. Kelainan ini mucul dalam bentuk lesi putih yang khas pada retina yang berbatasan pada pembuluh retina (fig. 6a) dan bervariasi dalam jumlah, bentuk, dan lokasi. FA menunjukkan hiploforesein dini dan pewarnaan lambat pada lesi retina yang besar (fig. 6b) dan hiploforesen ringan atau isofloresen pada lesi retina yang kecil [31,32]. SRD, secara akurat dideteksi dengan OCT, sering kali desertai dengan fokus besar dan retinitis riketsia. Lesi vaskular retina pada pasien riketsia seperti perselubungan difus atau fokus retina, kebocaran vaskular, perdarah retina. Hambatan vaskular retina, termasuk oklusi cabang arteri dan vena retina atau sub-oklusi, menyebabkan neovaskularisasi retina dan perdarahan vitreus [1-3, 31-34]. Perkembangan subklinis mata dalam bentuk bintik gelap multipel pada FA telah diobservasi lebih dari 15% pada pasien dengan meditteranean spotted fever [31]. Indocyanine green angiography menunjukkan bintik hipofloresen kecil pada fase intermediet dan fase lambat, area hipofloresein, defek aliran pembuluh darah koroid, dan pewarnaan pemubuh darah koroid [32]. Perubahan korioretina termasuk edema makula sistoid dan endoftalmitis [1-3, 31-34]. Diskus optik dapat berkembang menjadi edema diskus optik, pewarnaan diskus optik, neuritis optik, neuroretinitis dan iskemik neuropati optikus [1-3, 35]. Perkembangan gangguan mata pada riketsia sering sembuh sendiri. Fokus pada retinitis biasanya hilang tanpa adanya bekas luka dalam 3-10 minggu. Penurunan ketajaman penglihatan terus menerus dapat terjadi pada kasus-kasus yang berubah kedalam edema makula sekunder atau SRD, sumbatan arteri atau vena retina, parut korioretina fovea atau neuropati optikus [1-3, 31-34]. Doksisiklin adalah obat pilihan untuk penyakit riketsia [1-3, 31-32]. Steroid sistemik mungkin diperlukan pada gangguan mata berat [1-3, 31,32]. ba

Fig. 6. a warna fundus pada fotografi mata kanan pasien dengan rikestia menunjukkan lesi putih pada retina yang berbatasan dengan batas arkade vaskular inferior dan dekat dengan diskus optikus yang berkaitan dengan perdarahan retina. b. Fase lambat FA menunjukkan pewarnaan pada lesi retina dengan kebocoran vaskular dan hipofloresen diskus optikus.

Uveitis H1N1Virus influenza A (H1N1) merupakan penyebab influenza tersering pada manusia pada tahun 2009. Pasien yang terinfeksi H1N1 memperlihatkan gejala flu seperti demam, batuk dan nyeri-nyei badan [36,37]. Gangguan pada mata akhir-akhir ini telah dihubungkan dengan infeksi H1N1, sebaiknya vaksinasi. Termasuk retinitis, koroiditis, perdarahan submakular, edema makula, cotton wool spots, froster branch angiitis, SRD, edema diskus optik dan efusi uvea [36-41]. Frosted branch angiitis, edema makula dan efusi uvea dapat diterapi dengan prednisolon oral [38,40].