Upload
ameliarizka88
View
704
Download
18
Embed Size (px)
Citation preview
Karya Sastra Dan Perkembangan Anak
Ketika akan menumbuhkan kegiatan apresiasi sastra anak-anak, kita perlu memahami
tingkat perkembangan mereka terlebih dahulu. Pemahaman tersebut dapat dijadikan
bahan pertimbangan ketika kita memilih bahan, memilih bentuk apresiasi yang dilaku-
kan anak-anak, maupun ketika kita mengidentifikasi kegiatan tindak lanjut sejalan de-
ngan kegiatan apresiasi sastra yang mereka lakukan. Kegagalan memahami tingkat
perkembangan anak, juga berarti kegagalan dalam memahami kemampuan anak dalam
meresepsi bahan, kegagalan dalam memahami minat dan motivasi anak, serta kegagalan
dalam menentukan tingkat kesiapan anak pada umumnya. Kegagalan tersebut tentu akan
berimplikasi pada kegagalan kegiatan apresiasi sastra yang dilakukannya.
Pada Bab 1 ini akan dibahas perihal perkembangan anak ditinjau dari segi (1)
perkembangan kognitif, (2) perkembangan bahasa, (3) perkembangan moral, (4) per-
kembangan resepsi sastra anak, serta (5) manfaat apreiasi sastra bagi pekembangan ke-
hidupan anak. Berdasarkan pemahaman butir-butir tersebut, diharapkan pembaca me-
miliki dasar pemahaman dan keterampilan dalam memilih bacaan bagi anak-anak. Lebih
dari itu, berdasarkan pemahaman isi uraian dalam bab ini diharapkan pembaca lebih
terdorong menggairahkan kegiatan apresiasi sastra bagi anak-anak sesuai dengan minat
dan tingkat kesiapan anak.
Perkembangan Kognitif Anak
Anak-anak, sebagaimana manusia pada umumnya juga memiliki perbendaharaan peng-
alaman dan pengetahuan yang mengarahkan aktivitas mereka dalam menanggapi diri
sendiri dan dunia luar. Perbendaharaan pengalaman dan pengetahuan yang mengarah-
1
1
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
kan aktivitas anak-anak tersebut karakteristiknya berbeda-beda sesuai dengan tingkat
usia maupun kondisi lingkungan yang membentuknya. Ditinjau dari sudut pandang psi-
kologi kognitif, tingkat perkembangan tersebut dipilah menjadi 4 tahapan, yakni tahap
(1) sensori motor, (2) praoperasional, (3) operasional konkret, dan (4) operasi formal.
Penjelasan selengkapnya tentang tahap perkembangan tersebut dapat diringkaskan da-
lam tabel sebagai berikut.
TABEL 1:TINGKAT PERKEMBANGAN STRUKTUR KOGNITIF
Usia Tahap Perkembangan
Karakteristik
Lahir—2 tahun
2—7 tahun
7—11 tahun
11 tahun--
Sensori motor
Praoperasional
Operasional konkret
Operasi formal
Anak memiliki perbedaharaan pengetahuan yang diben-tuk berdasarkan tanggapan inderawi dan gerak tubuh.
Anak memiliki perbendaharaan pemahaman melalui pe-ngembangan kemampuan bahasanya berdasarkan tang- gapan inderawi yang bersifat konkret.
Anak telah mampu memikirkan kenyataan lewat per ben-daharaan bahasanya dengan melakukan pemilahan dan penentuan waktu yang didasarkan pada pengalaman yang bersifat konkret.
Anak telah mampu menyusun persepsi secara simbolik, melakukan proses berpikir secara logis, membuat antisi-pasi kemungkinan benar/salah secara hipotetis, serta me- nempuh kegiatan berpikir yang bersifat abstrak.
Pada tahap sensori motor, yakni sejak anak lahir sampai usia sekitar 2 tahun, anak be-
lum mampu berbicara. Meskipun demikian anak secara alamiah telah berusaha mema-
hami berbagai bentuk realitas, aktivitas, maupun bentuk-bentuk kebahasaan. Sebab
itulah meskipun tampak belum mengerti, kepada anak-anak perlu diperkenalkan gambar
dengan disertai cerita secara lisan. Aktivitas demikian akan merangsang pembentukan
persepsi dan kemampuan berbahasa anak, sekaligus juga merangsang aktivitas berpikir
anak.
Pada usia 2—7 tahun atau tahap praoperasional, anak sudah bisa memahami
cerita sebagaimana dilisankan atau dibacakan orang tuanya. Pada tahap ini anak belum
bisa membedakan khayalan dengan kenyataan. Cerita yang didengarnya tergambarkan
2
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
sebagai sesuatu yang seakan-akan sungguh-sungguh terjadi. Sementara pada usia 7—11
tahun, anak sudah mampu berbahasa dan mampu melakukan proses berpikir secara logis
dalam satu kategori hubungan saja, misalnya jika … maka ….Pada tahap perkembangan
ini anak sudah bisa membedakan fantasi atau khayalan dengan kenyataan. Meskipun
demikian anak sebenarnya belum mampu melakukan proses berpikir yang bersifat ab-
strak, misalnya memahami makna yang tersirat karena orientasi berpikir anak masih
berkaitan dengan fakta yang sifatnya konkret.
Pada usia 11—tahun ke atas, anak sudah mampu melakukan proses berpikir se-
cara logis. Pada tahap ini pun anak juga sudah mampu melakukan proses berpkir secara
abstrak sehingga anak sudah bisa diminta melakukan penafsiran berkenaan dengan mak-
na yang sifatnya tersirat. Pada sisi lain anak juga sudah bisa diminta melakukan per-
bandingan antara isi yang termuat dalam karya sastra dengan kenyataan dalam kehi-
dupan, antara wawasan salah satu pelaku dalam karya sastra dengan perilaku manusia
dengan kenyataan kehidupan. Berdasarkan perbandingan itu pun anak sudah bisa dimin-
ta memberikan pendapatnya dengan disertai alasan secara logis.
Anak yang usianya berbeda mengapresiasi karya sastra dengan bentuk tanggapan yang berbeda pula.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa tingkat perkembangan anak
menentukan tingkat kesiapan mereka dalam meresepsi karya sastra. Dalam penjelasan
Cullinan, The developmental level of the reader, thus, is a major factor when a selecting
3
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
a good book (Cullinan, 1989:9). Sebagaimana penikmatan karya seni lain, misalnya seni
musik, seni tari, dan drama, penikmatan seni sastra juga sangat ditentukan oleh tingkat
perkembangan kemampuan berpikir dan tingkat perkembangan pengalaman hidup pe-
nikmatnya. Sebuah karya seni yang baik belum tentu bisa dinikmati semua orang. Begi-
tu juga sebuah karya sastra yang baik belum tentu bisa dinikmati anak-anak.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa harus ada pengkhususan penyediaan
bahan bacaan secara ketat karena karya sastra pada dasarnya dapat direalisasikan pem-
baca dalam bentuk dan cara yang berbeda-beda. Ketika dua orang yang tingkat usianya
berbeda membaca buku cerita bergambar misalnya, anak yang usia nya lebih tinggi dan
telah mampu membaca akan menikmati cerita sebagaimana tertuang dalam tulisan se-
kaligus menikmati gambarnya. Sementara anak yang tingkat usianya lebih rendah akan
menikmati gambar dan sajian warna-warni pada gambar yang tampak atraktif. Hal itu
menunjukkan bahwa karya sastra bukan sekedar teks yang terpapar melalui kata-kata
dan kalimat, akan tetapi merupakan sebuah dunia yang dapat direalisasikan kembali
oleh pembacanya sesuai dengan modal pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.
Dalam konsepsi Piaget, modal pengalaman dan pengetahuan merupakan bentuk
prior of knowledge dan prior of experience yang secara potensial dapat dimanfaatkan
untuk memahami sesuatu. Pemanfaatannya sangat ditentukan oleh schema, yakni ke-
rangka konsep yang terbentuk sewaktu akan meresepsi dan memahami sesuatu. Kerang-
ka konsep itu terbentuk bukan dari dalam pikiran pembaca, tetapi terbentuk berdasarkan
representasi atau penggambaran ulang dunia pengalaman dan pemahaman secara aku-
mulatif. Ketika membaca cerita yang disertai gambar buaya, kancil, dan kerbau, misal-
nya, dalam diri pembaca muncul berbagai pengalaman dan pemahaman berkenaan de-
ngan buaya, kancil, dan harimau sekaligus pemahaman yang berkaitan dengan kata-kata
dan kalimat. Akumulasi schema yang dirajut kembali untuk memahami sesuatu tersebut
diistilahkan schemata.
Ada dua kemungkinan bentuk penghubungan schemata. Kemungkinan pertama
adalah penghubungan secara asimilatif, kedua adalah penghubungan secara akomodatif.
Penghubungan secara asimilatif terjadi apabila dalam proses memahami sesuatu tersebut
schemata pembaca terbentuk sebagai modal yang siap dimanfaatkan untuk mendapatkan
4
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
informasi atau pemahaman baru. Proses pemahaman berlangsung secara akomodatif
apabila schemata yang ada tersebut ternyata masih harus dimodifikasi agar dapat
digunakan untuk menemukan informasi atau pemahaman baru. Dalam proses modifikasi
dan penghubungan tersebut biasanya terjadi gejala ketidakseimbangan yang terwujud
dalam gejala, anak merasa bingung, anak bertanya kepada orang yang dianggap tahu,
ataupun memanfaatkan sejumlah sumber informasi lain yang terjangkau. Apabila gagal,
tentu saja informasi baru tersebut juga tidak akan mampu diperoleh.
Konsepsi di atas memberikan gambaran bahwa apabila kita ingin mendorong
perkembangan kognitif dan memperkaya schema anak, kita sebagai pembaca dewasa
harus selalu siap mendampingi kegiatan membaca sastra yang dilakukan anak-anak.
Dalam pendampingan, kita selain dapat berperan sebagai nara sumber bagi anak, juga
berkewajiban mendorong minat anak untuk membaca berbagai ragam bacaan sejalan
dengan potensi yang dimiliki anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Melalui
cara demikian anak selain merasa mendapat teman dan sumber pembantu memecahkan
masalah, anak juga merasa mendapatkan perhatian.
Perkembangan Bahasa
Kemampuan anak memahami karya sastra juga sangat ditentukan oleh tingkat perkem-
bangan kemampuan berbahasanya. Ditinjau dari tingkat perkembangan bahasanya,
akhirnya terdapat anak yang (i) hanya dapat menikmati gambar, (ii) memahami cerita
berdasarkan gambar, (iii) memahami cerita berdasarkan gambar dan tulisan, (iv) me-
mahami isi ataupun cerita berdasarkan tulisan saja tetapi belum mampu menafsirkan
makna tersirat ataupun gagasan yang bersifat abstrak, dan (v) memahami isi ataupun
cerita berdasarkan tulisan saja sekaligus sudah mampu memahami makna tersirat mau-
pun gagasan yang bersifat abstrak.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa studi tentang perkembangan ba-
hasa anak memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan ke-
mampuan apresiasi sastra anak maupun pengalaman bersastra pada anak. Tiga hal po-
kok yang perlu diperhatikan dalam perkembangan bahasa anak ini adalah kenyataan
bahwa perkembangan bahasa anak pada dasarnya berlangsung secara natural seba-
5
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
gaimana ciri interaksinya dalam kegiatan berbahasa dengan penutur lainnya. Dalam hal
ini pembacaan cerita memberi kesempatan kepada anak untuk memahami bunyi-bunyi
kebahasaan, memahami kata-kata, maupun kalimat. Masalah yang segera muncul dalam
hal ini adalah apabila bahasa dalam cerita yang dibacakan tidak sama dengan bahasa
yang biasa digunakan anak ketika berinteraksi dengan orang lain. Apabila hal itu terjadi,
kemungkinan pertama yang dipilih adalah bukan membacakan tetapi menceritakan kem-
bali dengan menggunakan bahasa yang dipahami anak. Kemungkinan kedua, kepada
anak tetap dibacakan ceritanya dengan disertai penjelasan sehingga penguasaan bahasa
anak pada bahasa yang berbeda juga bertambah.
Konsepsi kedua yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa memahami
bahasa bukan sekedar memahami kata-kata dan kalimat. Lebih dari itu memahami
bahasa juga merupakan proses memahami realitas sesuai dengan konteksnya. Dalam hal
inilah penggunaan gambar dalam bacaan memiliki peranan yang sangat penting karena
kalimat, Kerbau itu makan rumput di tengah sawah, misalnya, bagi anak yang belum
pernah melihat kerbau dan sawah tentunya sangat sulit memahami kalimat tersebut apa-
bila tidak disajikan gambar kerbau yang lagi makan rumput di sawah. Kosepsi ketiga
adalah kenyataan bahwa bahasa anak akan terus berkembang sejalan dengan aktivitas
dan kekayaan bentuk-bentuk interaksi yang dilakukan anak. Perkembangan bahasa anak
tersebut bukan hanya merujuk pada perkembangan kosakata dan penguasaan kalimat,
tetapi juga dalam menentukan sudut pandang, penguasaan gaya bahasa, maupun dalam
memahami dan menggunakan kiat berbahasanya.
Sebagaimana pada perkembangan kognitif, perkembangan bahasa anak juga
ditentukan oleh tingkat usianya. Berdasarkan tingkat usia tersebut, berorientasi pada
wawasan Smith dan Goodman, Rubin mengemukakan terdapatnya sejumlah fase
perkembangan bahasa anak yang meliputi tahap (1) random, (2) unitari, (3) perluasan,
(4) struktural, (5) otomatik, dan (6) kreatif (Rubin, 1995:27). Sebagaimana dapat
diperiksa pada tabel di atas, masing-masing jenis tahapan tersebut memiliki ka-
rakteristik yang berbeda-beda. Terdapatnya sejumlah karakteristik yang berbeda-beda
itu pada sisi lain juga berimplikasi pada kegiatan apresiasi sastra pada anak-anak. Pada
sisi lain perlu kepada anak-anak perlu juga dilakukan kegiatan apresiasi sastra yang
6
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
mendorong terjadinya akomodasi guna meningkatkan kemampuan berbahasa dan daya
kognitif anak.
TABEL 2:TAHAP PERKEMBANGAN BAHASA
Usia Tahap Karakteristik
Lahir—12 bulan
12—24 bulan
24—48 bulan
48—60 bulan
60—72 bulan
72 bulan--
Random
Unitari
Perluasan
Struktural
Otomatik
Kreatif
Anak hanya mampu mengeluarkan bunyi sampai pada kemampuan me-lakukan babling, misalnya bunyi ma-ma-ma.
Menggunakan kata tertentu sebagai representasi kalimat, misalnya, makan sebagai representasi kalimat, Saya minta makan.
Kata-kata Pivot, yakni sebuah kata yang digunakan dalam berbagai relasi kalimat, misalnya Makan roti, Makan apel, Makan sup, dan sebagainya.
Anak mampu menggunakan bahasa dalam bentuk kalimat sederhana berpola Subyek-Predikat-Obyek (SPO), misalnya Saya minta roti.
Anak mampu menggunakan dan mengurutkan kalimat secara sitematis sekaligus sudah mampu mengoreksi kesalahan berbahasanya. Anak juga sudah mulai melakukan internalisasi sistem dan kaidah kebahasaan.
Anak mampu memahami dan menggunakan kata-kata dengan acuan pe-gertian yang bersifat abstrak. Anak juga telah mampu membuat ungkapan dan melakukan pemilihan kata dan kalimat secara kreatif.
Terdapatnya hubungan yang erat antara perkembangan bahasa dengan kemam-
puan mengapresiasi sastra bukan berarti bahwa apresiasi sastra anak hanya berhubungan
dengan bahasa. Dalam kenyataannya apresiasi sastra anak juga juga dikondisi oleh gam-
bar, warna, ukuran buku, tulisan, bahkan sampai ke jenis kertas yang digunakan. Pada
tahap usia prasekolah sampai sekitar kelas 3 sekolah dasar misalnya, buku yang
disediakan untuk mereka adalah buku berukuran besar dengan disertai gambar yang
menarik. Buku demikian lazim disebut big-books ataupun buku bergambar. Dalam hal
demikian penggunaan gambar tersebut idealnya justru lebih bisa menggambarkan
sesuatu secara lebih konkret dan menarik dibandingkan dengan pemaparan secara ver-
bal. Penyampaian gambar itu pun seringkali tidak persis sama dengan kenyataan seba-
gaimana lazim ditemui anak. Gambar yang menarik perhatian itu misalnya gambar
anjing bertopi dan bercelana, gambar orang bertanduk, gambar kuda bersayap, dan se-
bagainya.
7
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
Gambar yang atraktif dan di luar kebiasaan akan tampak lebih menarik dan membangkitkan perhatian anak.
Ketika mencermati gambar di atas misalnya, tersaji gambar seseorang yang tam-
pak gagah berani. Sosok tersebut menjadi tampak lebih perkasa karena menunggang se-
skor kuda yang tampak kuat, liar, dan demikian beringas. Gambar itu juga menjadi se-
makin menarik perhatian karena sosok orang itu berbeda dari manusia pada umumnya,
di kepalanya terdapat tanduk yang dalam pemahaman pembaca orang dewasa tanduk itu
sebenanrnya hanya bagian dari topi yang dikenakannya. Kudanya pun tampak berkaki
delapan sehingga lebih memberi kesan keperkasaan dan kemampuan kuda itu dalam
berlari. Gambar yang tampak menarik sehingga lebih mampu membangkitkan perha-
tian anak, dalam konteks yang lebih luas juga akan lebih membangkitkan imajinasi anak
dalam membayangkan suatu realitas.
Perkembangan Moral
8
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
Membaca karya sastra ataupun mendengarkan cerita, bagi anak-anak merupakan suatu
hiburan. Sementara dalam sudut pandang orang dewasa, melalui kegiatan tersebut anak
diharapkan juga dapat menemukan berbagai ajaran dan nilai kehidupan yang bermanfaat
dalam memperkaya wawasan moralitas anak. Untuk mencapai hajat tersebut kita perlu
menyadari bahwa sebagaimana perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa, wa-
wasan yang terkait dengan aspek moralitas itu juga memiliki fase-fase perkembangan
yang antara anak yang satu dan yang lain bisa saja berbeda-beda. Secara keseluruhan,
fase moralitas dalam kehidupan manusia idealnya memuat fase sebagai berikut.
TABEL 3:FASE PERKEMBANGAN MORAL
Tahap Karakteristik
Hukuman dan pujian
Visi instrumental
Penemuan identitas diri
Eksistensi diridan kekuasaan
Ketaatan pada kaidahdan hubungan sosial
Orientasi nilai universal
Anak belum memahami niali baik/buruk karena anak hanya berpusat pada kepenting- annya sendiri. Nilai yang perlu ditanamkan adalah nilai yang sifatnya konkret, misalnya cara makan dan duduk. Hukuman dan pujian pada anak akan mendorong tumbuhnya kesadaran tentang nilai baik dan buruk.
Kesadaran akan kepentingannya sendiri juga memberikan kesadaran terhadap ke- pentingan orang lain. Meskipun demikian anak lebih berfokus pada kepentingan sendiri sehingga perhatian terhadap kepentingan orang lain hanya menjadi alat bagi kepen- tingannya sendiri.
Anak ingin tampil sebagai sosok yang menyenangkan, berpikir tentang nilai baik dan buruk, memiliki orientasi hubungan interpersonal dan pembentukan rasa kebersamaan.
Tampil sebagai sosok dewasa yang ingin mendapatkan arti kehidupan, berorientasi pada pemahaman dan penghayatan prinsip kehidupan, pemenuhan kaidah sosial, dan pemi-likan peran di dalam lingkungan kehidupan.
Orientasi pada upaya memahami kaidah sosial yang berlaku dalam lingkungan kehidupan masyarakat agar bisa diterima kelompok masyarakat dan membentuk hubungan kerja sama secara sehat.
Orientasi pada pembentukan dan penghayatan nilai metafisis sebagai upaya peng-hayatan hidup yang ideal, kesetiaan pada prinsip, dan penyeimbangan diri dalam kehidupan.
Bertolak dari paparan dalam tabel di atas bisa dijelaskan bahwa pema-
haman nilai moral bagi anak-anak melalui kegiatan sastra pada dasarnya lebih
banyak merujuk pada penggambaran model yang tersajikan secara hidup, bukan
9
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
melalui penjelasan secara langsung. Pemahaman nilai moral dalam hal ini bukan
berlangsung melalui pemikiran secara analitis melainkan melalui upaya imitsi
dan elaborasi. Pada imitasi anak membayangkan perilaku tokoh yang disukai
sehingga anak-anak bisa saja membayangkan dirinya sebagai tokoh Panji Laras,
misalnya, dengan berbagai pandangan dan perilakunya. Sementara pada elab-
orasi anak melakukan perbandingan antara realitas imitatif dengan kehidup-
annya sendiri maupun konteks kehidupan yang lebih luas. Gambaran demikian
menunjukkan bahwa penyediaan bacaan ataupun penyampaian cerita bagi anak-
anak perlu memperhatikan karakteristik tokoh dan antisipasi hadirnya bentuk-
bentuk imitasi dan elaborasi pada anak.
Perkembangan Resepsi Sastra Anak-Anak
Sewaktu mendengarkan atau membaca cerita, selama anak telah memahami ba-
hasa yang digunakan, anak akan berusaha menggambarkan realitas yang dide-
ngar atau dibacanya sesuai dengan schemata yang ada. Dalam hal demikian,
Schemata are not stored in isolation but are connected by intricate networks of
association (Mackenna, dan Robinson, 1997:24). Dengan kata lain pengaktifan
skemata pada diri pendengar atau pembaca senantiasa bersifat jamak karena
dalam proses memahami sesuatu yang didengar atau dibaca itu pendengar atau
pembaca akan menghubungkannya kembali dengan perbendaharaan pengalaman
dan pengetahuan secara asosiatif. Dalam hal demikian pemahaman terbentuk
melalui penghubungan antara sesuatu yang diketahui dengan sesuatu yang baru
sejalan dengan rekonstruksi yang dila-kukan oleh pendengar arau pembaca.
Ketika menghubungkan sesuatu yang telah diketahui dengan sesuatu
yang baru terjadi tanggapan yang bersifat eksploratif. Ketika anak mendengar
cerita Joko Kendil yang disampaikan ibunya, misalnya, pikiran anak tentu kem-
bali membayangkan sesuatu yang disebut kendil. Seandainya dalam skema anak
tidak terdapat pemahaman tentang kendil, maka sebutan Joko Kendil tidak akan
bermakna apa-apa. Tetapi bagi anak yang memiliki pemahaman tentang kendil,
10
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
dalam kesadaran batinnya tumbuh eksplorasi berkenaan dengan kendil yang di-
hubungkannya dengan sosok manusia yang disebut sebagai Joko Kendil. Apabila
semula belum pernah muncul bayangan tentang manusia yang kecil, bulat, pen-
dek sebagaimana wujud kendil, setelah mendengar atau membaca cerita Joko
Kendil muncul gambaran baru yang semula tidak ada dalam perbendaharaan pe-
mahamannya.
Sejalan dengan pemaparan lakuan dan peristiwa yang didengar atau diba-
canya, anak juga berusaha menentukan siapa pelaku dalam cerita yang didengan
atau dibacanya. Sejalan dengan eksplorasi yang dilakukannya, anak juga akan
berusaha menggambarkan ciri sosok setiap pelaku dalam cerita yang dibacanya.
Apabila cerita tersebut disajikan denga disertai gambar, eksplorasi yang dilaku-
kan anak tidak terlalu rumit. Namun apabila cerita tersebut hanya didengar seca-
ra lisan, anak akan mengalami kesulitan. Sebab itulah dalam penyampaian cerita
secara lisan dituntut keterampilan pencerita memaparkan ceritanya secara hidup
dan kaya. Dengan cara demikian, asosiasi anak akan terbawa ke sebuah kenya-
taan yang seakan-akan sungguh ada dan terjadi. Secara emosional akhirnya anak
merasa sungguh-sungguh terlibat sehingga cerita yang didengar juga terasa lebih
menarik.
Bertolak dari penjelasan Rumelhart, Vacca dan Vacca (1997) mengemu-
kakan terdapatnya schema activation, yakni … the mechanism by which people
access what they know and match it to the information in a text. Pengaktifan
skema untuk membentuk pemahaman, sebagaimana telah disinggung di depan
bersifat asosiatif sekaligus bersifat jamak. Meskipun demikian, ketika muncul
berbagai gambaran dan berbagai ragam skema, tidak semuanya dibentuk dan di-
hubungkan dengan realitas baru yang akan dipahami. Dalam hal ini terjadi
proses yang disebut “the building blocks of cognition”. Dalam proses tersebut,
terjadi pemilihan satuan-satuan skema yang dianggap relevan dengan realitas,
peristiwa, maupun situasi baru yang akan dipahami sehingga membuahkan
makna dan pemahaman yang baru pula.
11
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
Dalam proses pemahaman tersebut terdapat tiga kemungkinan cara
pemanfaatan schema. Pertama, pendengar atau pembaca memanfaatkan schema
yang ada itu untuk menemukan dan memilih berbagai gambaran yang relevan
dengan realitas yang mesti dipahami. Dalam proses tersebut pendengar ataupun
pembaca melakukan proses penggambaran dan pengambilan kesimpulan yang
disusun berdasarkan prediksi dan antisipasi. Proses tersebut idealnya dapat
mengisi teks yang didengar atau dibacanya yang semula hanya tampil sebagai
sebuah “bidang kosong” menjadi sebuah “dunia” yang menggambarkan kenya-
taan dan makna-makna tertentu. Dalam proses tersebut, anak-anak tentunya
sangat memerlukan bantuan, baik saat menyusun penggambaran, melakukan
identifikasi, maupun sewaktu membuat antisipasi.
Kedua, schema berperanan dalam proses pengorganisasian maupun re-
konstruksi pemahaman sehingga dapat membentuk pengertian-pengertian baru.
Dalam hal ini proses yang perlu dilakukan adalah membangkitkan dan meng-
ingat-ingat kembali pemahaman makna kata, hubungan makna kata, dan bentuk
persepsi yang mesti dibuahkan berdasarkan konteks penggunaannya. Sesuai de-
ngan terdapatnya proses tersebut, mendengarkan ataupun membaca mesti disi-
kapi sebagai kegiatan yang tidak bersifat linear, tetapi merupakan kegiatan yang
bersifat sirkular. Sebab itulah ketika menyampaikan atau membacakan cerita se-
cara lisan, kata, kalimat, ataupun gambaran peristiwa yang disampaikan selain
perlu diulang juga perlu ditanyakan kepada anak-anak, apakah mereka sudah
memahaminya? Melalui cara demikian, anak selain terbantu dalam memebentuk
satuan pemahaman, juga terbantu dalam memperkaya perbendaharaan ksoakata-
nya. Bentuk bantuannya tidak harus dalam bentuk penjelasan, tetapi bisa juga
melalui tanya jawab.
Ketiga, schema berfungsi dalam proses perluasan pemahaman, baik da-
lam bentuk perbandingan, penilaian, maupun penghubungan yang diperoleh de-
ngan bentuk-bentuk pemahaman sebelumnya. Pembangkitan schema itu bisa
tumbuh berdasarkan mekanisme berpikir anak, bisa juga distimulasi melalui per-
12
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
nyaan, penyampaian perbandingan, pemberian kesempatan memberikan penda-
pat, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa intensitas proses yang
ditempuh anak maupun karaktristik dan tingkat keterlibatan kita dalam memban-
tu proses apresiasi sastra anak-anak berbeda-beda. Salah satu faktor pembeda
yang sangat menentukan adalah usia dan tingkat perkembangan siswa. Bertolak
dari uraian Cullinan (1989), pembedaan itu mesti diorientasikan pada perbedaan
tingkat resepsi esteteis anak-anak yang secara umum dapat diklasifikasikan seba-
gai berikut.
Usia 0--2 tahun:
Pada usia tersebut anak dapat diibaratkan sebagai lembar kertas putih yang ter-
buka. Pada usia tersebut anak belum mampu berbahasa. Peranan orang tua
apabila dihubungkan dengan kegiatan apresiasi sastra adalah pada upaya me-
numbuhkan kemampuan menanggapi realitas, menggunakan bunyi-bunyi keba-
hasaan, dan menggerakkan keterampilan motorik anak. Pada usia tersebut, orang
tua selain dapat memberikan mainan yang memiliki warna atraktif maupun bu-
nyi-bunyian, orang tua seyogyanya juga sering menyampaikan kata-kata ataupun
nyanyian yang memiliki ritme bunyi tertentu, misalnya puk-ami-ami belalang
kupu, adik makan nasi kalau malam minum susu.
Usia 2—4 tahun
Pada usia tersebut orang tua sudah bisa memulai menyampaikan cerita secara
lisan ataupun membacakan cerita. Apabila cerita tersebut dibacakan, sangat baik
apabila cerita yang dibacakan itu dilengkapi dengan gambar sehingga selain
membacakan orang tua juga dapat menghubungkan kata ataupun peristiwa yang
dibacakan dengan gambar yang tersaji dalam cerita. Cerita yang disampaikan
baru cerita yang berfokus pada seorang pelaku utama dan pada satu peristiwa.
Melalui kegiatan ini anak selain diajari berkenalan dengan realitas juga diajar
memahami kosakata. Sambil bercerita orang tua juga dapat mengemukakan pe-
13
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
tunjuk tertentu yang secara konkret berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
anak, misalnya cara minum, cara makan, kegiatan mandi, dan sebagainya.
Usia 5—7 tahun
Pada tahap ini anak sudah mampu membaca. Meskipun demikian dampingan
orang tua masih sangat diperlukan. Bentuk pedampingan itu sangat diperlukan
dalam konteks elaborasi, misalnya dalam bentuk pertanyaan, siapa, mengapa,
dan bagaimana seandainya. Pada sisi lain, orang tua juga dapat memancing pen-
dapat dan penilaian anak terhadap tokoh, peristiwa, maupun bentuk perilaku pa-
ra tokoh. Buku yang dibaca anak seyogyanya jenis big-book jenis buku ber-
gambar dalam ukuran besar dengan warna-warni yang menyolok. Dari proses
elaborasi tersebut diharapkan tumbuh dialog antara anak dengan orang tua mau-
pun antara anak dengan jalan pikirannya sendiri.
Usia 7—9 tahun
Anak sudah mulai bisa memahami cerita secara episodik karena anak sudah bisa
membuat akumulasi satuan cerita, menyusun rangkaian cerita, menentukan ciri
hubungan pelaku yang satu dan yang lain, serta memahami hubungan pelaku de-
ngan latar belakang cerita yang berupa empat maupun waktu. Pada tahap ini
anak juga sudah mulai bisa menikmati ungkapan dan paduan bunyi dalam puisi.
Sewaktu membaca cerita maupun puisi orang tua diharapkan bisa menjadi pen-
damping dalam bentuk menanyakan tokoh yang disukai dan tidak disukai, me-
nanyakan alasannya, membandingkan peristiwa dalam cerita apabila dibanding-
kan dengan kehidupan sehari-hari, serta meminta pendapat dan tanggapan anak
dengan dengan disertai alasan secara logis.
Usia 9—12 tahun
Pada tahap ini anak sudah mampu memahami makna tersirat maupun jalinan
hubungan secara logis. Anak juga sudah terampil membedakan antara fantasi de-
ngan kenyataan. Sebab itulah apabila pada tahap usia sebelumnya anak lebih
banyak memperhatikan cerita binatang maupun fantasi dalam bentuk dongeng,
14
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
pada tahap ini anak sudah mulai memiliki perhatian pada cerita fiksi realistik,
cerita petualangan, maupun cerita misteri.
Usia 12—14 tahun
Pada tahap ini anak secara ktif sudah mampu menghubungkan gambaran pelaku
dengan keberadaan dirinya sendiri dihubungkan dengan posisinya dalam kehoi-
dupan. Anak juga sudah mampu menghubungkan isu-isu dalam kehidupan de-
ngan peristiwa yang tergambarkan dalam karya sastra. Pusat perhatian terhadap
cerita juga sudah bersifat ganda sehingga anak sudah mampu memahami cerita
dalam bentuk novel dengan plot ganda. Kegandaan perhatian juga ditunjukkan
oleh kemampuan anak dalam membaca karya sastra sekaligus sambil menggam-
barkan apa yang dibaca apabila dihubungkan dengan kehidupan secara konkret.
Usia 14 tahun—ke atas
Pada tahap ini anak sudah mulai berusaha menemukan identitas diri di tengah
kelompok kehidupannya. Anak juga berusaha memahami bentuk-bentuk hu-
bungan personal yang dianggap tepat dan memberikan rasa aman dalam perga-
ulan. Bacaan yang menggambarkan hubungan interpersonal, kesetiaan, kebera-
nian, dan berbagai sosok ideal lain merupakan bacaan yang menarik perhatian
anak. Anak-anak juga mulai berusaha menemukan sendiri nilai-nilai kehidupan
yang dianggap relevan dengan konteks kehidupannya secara kritis.
Manfaat Apresiasi Sastra bagi Anak
Bertolak dari uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa terbentuknya minat dan
kemampuan apresiasi sastra anak idealnya terbentuk dan terkembangkan sejak dini.
Pembentukan dan pengembangan sejak dini tersebut nilai manfaatnya bukan sekedar
berkaitan dengan pengembangan minat dan apresiasi sastra anak. Dalam konteks yang
lebih luas, pembentukan dan pengembangan apresiasi sastra pada anak itu juga ber-
manfaat dalam pengenalan realitas, pengembangan kemampuan berbahasa, pengem-
15
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
bangan memahami bentuk-bentuk hubungan so-sial, maupun pengembangan kemam-
puan memahami diri sendiri dan orang lain. Secara psiko-logis aktivitas mengapresiasi
sastra tersebut juga akan mengasah kepekaan emosi, mengem-bangkan daya imajinasi,
dan memperkaya schema anak.
Stewig (1980) sevara lebih detil mengemukakan jawaban pertanyaan, Why liter-
ature for children? Sebagaimana pembaca sastra pada umumnya, anak-anak mengapre-
siasi karya sastra juga untuk mendapatkan kesenangan. Kesenangan tersebut dalam
dunia anak-anak bisa diperoleh lewat pengamatan gambarnya, permainan paduan bunyi,
gambaran tokoh, peristiwa, ataupun isi dalam karya sastranya. Terdapatnya perbedaan
tingkat usia dan tingkat perkembangan sebagaimana dikemukakan di atas, sangat me-
nentukan bentuk-bentuk kesenangan yang diperoleh anak. Anak usia 2 tahun misalnya,
mendapatkan kesenangan lewat gambar, sementara anak usia 12 tahun akan mendapat-
kan kesenangan, selain lewat gambar juga lewat sesuatu yang dicitrakan, lewat peris-
tiwa, maupun rangkaian ceritanya.
Pada anak-anak yang telah mampu menguasai bahasa sebagaimana digunakan
dalam penceritaan, kegiatan mengapresiasi sastra akan membawa anak keluar dari ru-
tinitas kesehariannya. Bagi Stewig, A second reason why children read is to escape
from present situations (Stewig, 1980:18). Dalam kondisi demikian, anak akan bertin-
dak sebagai pengamat kehidupan sebagaimana tertuang dalam teks yang didengar atau
dibacanya. Anak akan mendapatkan gambaran berbagai kemungkinan pemecahan masa-
lah berkenaan dengan sejumlah pertanyaan yang bisa jadi diam-diam sering mengung-
kungnya tetapi tidak pernah terungkapkan kepada orang tua maupun orang lain pada
umumnya.
Alasan lain mengapa anak mengapresiasi sastra bisa juga karena keinginan men-
dapatkan pemahaman tentang orang lain maupun kehidupan pada umumnya. Dorongan
demikian terjadi karena anak-anak umumnya berusaha untuk menempatkan dirinya
secara tepat dalam relasi dengan orang lain maupun berbagai kenyataan yang diha-
dapinya secara tepat. Dalam kesadaran batin anak juga tumbuh rasa ingin tahu tentang
bagiamana ciri orang dewasa, bagaimana ciri anak-anak yang berada di luar lingkung-
annya, bagaimana gambaran Bali, gambaran kota Jakarta, dan sebagainya. Sebab itulah
16
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
penyediaan atapun penyampaian teks sastra bagi anak seyogyanya juga memper-hatikan
kualitas informasi isi sekaligus kemudahan informasi tersebut untuk dipahami anak.
Melalui karya sastra yang diapresiaisinya, anak-anak juga ingin memahami
kosakata, ungkapan, kalimat maupun berbagai bentuk penggunaan bahasa dalam kon-
teks maupun ciri hubungan yang berbeda-beda. Pada anak-anak usia 12 tahun ke atas,
melalui bacaan sastra mereka belajar mengenal berbagai bentuk “bahasa gaul” maupun
bahasa Indonesia dialek Jakarta. Dalam hal demikian tidak mengherankan apabila anak-
anak tersebut memiliki sejumlah penulis favorit yang dalam pandangan orang dewasa
bisa jadi masih luput dari perhatian. Selain itu, melalui kegiatan puisi anak-anak akan
mendapatkan contoh berbagai bentuk ungkapan yang dianggap ringkas, indah, dan tidak
memberi kesan murahan. Dalam hal demikian tidak mengherankan apabila mereka akan
memanfaatkan ungkapan dalam puisi itu saat mereka menulis buku harian, menulis su-
rat untuk teman, maupun ketika melakukan pembicaraan dengan teman.
Kemungkinan yang lain, anak-anak senang mengapresiasi karya sastra karena
merasa bahwa dengan membaca karya sastra mereka juga mendapatkan sejumlah pe-
ngetahuan. Melalui karya sastra mereka mungkin bisa mendapatkan gambaran tentang
ciri kehidupan kelompok , ras, maupun suku yang berbeda. Melalui karya sastra mereka
juga mendapatkan gambaran tentang kehidupan binatang, kehidupan satwa di hutan,
maupun kehidupan “tempoe doeloe”sebagaimana tergambarkan lewat cerita rakyat atau-
pun cerita sejarah yang dibacanya. Apabila cerita yang dibaca itu dalam bentuk biografi,
anak-anak juga akan mendapatkan gambaran kehidupan tokoh yang secara tidak lang-
sung dapat djadikan teladan dalam perjalanan hidupnya.
Ringkasan
Lima hal pokok yang perlu dipahami dari uraian di atas adalah perihal (1) perkem-
bangan kognitif, (2) perkembangan bahasa, (3) perkembangan moral, (4) perkembangan
resepsi sastra anak, dan (5) manfaat apreiasi sastra bagi pekembangan kehidupan anak.
Ditinjau dari segi perkembangan kognitif, sejak lahir sampai usia sekitar 11 tahun, anak
akan melalui sejumlah tahap perkembangan struktur kognitif meliputi tahap (i) lahir—2
17
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
tahun:sensori motor, (ii) 2—7 tahun: praoperasional, (iii) 7—11 tahun:operasional kon-
kret, dan (iv) 11 tahun—ke atas:operasi formal.
Ditinjau dari perkembangan bahasanya, perkembangan bahasa anak meliputi ta-
hap (i) random, (ii) unitari, (3) perluasan, (4) struktural, (5) otomatik, dan (6) kreatif. Pada
tahap random anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi tak bermakna. Pada tahap unitari
anak sudah mulai menguasai kata-kata tertentu. Setelah memasuki tahap perluasan, anak
mulai bisa menyusun kata-kata menjadi kalimat sederhana melalui kata-kata Pivot. Tahap
struktural ditandai oleh kemampuan anak menggunakan kalimat dalam struktur kalimat
sederhana. Sementara tahap otomatik ditandai oleh kemampuan anak menyusun kalimat
secara sistematis sekaligus mengoreksi sendiri kesalahan kalimat yang dibuatnya. Dan
terakhir adalah tahap kreatif, yang ditandai oleh kemapuan anak menggunakan kata-kata
dengan acuan makna yang bersifat abstrak maupun dalam memahami dan menggunakan
ungkapan.
Tahap perkembangan struktur kognitif maupun tahap perkembangan bahasa
sangat menentukan tingkat kesiapan, bentuk minat terhadap karya sastra, motif kegiatan
apresiasi sastra, serta bentuk-bentuk kegiatan apresiasi sastra yang dilaksanakan. Ditinjau
dari motif dan minat tersebut, kita juga bisa menghubungkannya dengan tingkat perkem-
bangan moral mereka. Ditinjau dari tingkat perkembangan moralnya, anak-anak umum-
nya berada pada tingkat (i) hukuman dan pujian, dalam arti anak belum memahami nilai
baik dan buruk sehingga kualitas suatu perbuatan hanya dihubungkan dengan ada tidak-
nya pujian dan hukuman, (ii) visi in- strumental, dalam arti perhatian anak selain masih
terpusat pada upaya memenuhi kepen-tingannya sendiri juga telah memiliki perhatian
pada kepentingan orang lain meskipun hanya dijadikan alat menemukan rasa aman, dan
(iii) penemuan identitas diri, yakni anak sudah mulai menyadari hubungan antara penam-
pilan diri dengan kualitas hubungan secara interpersonal maupun dalam hubungan sosial.
Ditinjau dari perkembangan resepsi sastra anak, perkembangan struktur kognitif
dan perkembangan bahasa anak sangat menentukan tingkat perkembangan resepsi sastra
anak. Ditentukan demikian karena kemampuan kognisi dan berbahasa anak dapat diiba-
ratkan sebagai modal anak dalam melakukan “transaksi” dengan karya sastra yang dide-
ngar ataupun dibacanya. Dalam hal ini, resepsi sastra anak pada dasarnya sangat beragam.
18
Karya Sastra dan Perkembangan Anak
Anak mungkin cukup menyenangi sajian gambar atau mimik pencerita karena memang
baru sampai di situlah tahap kemampuannya. Sementara pada tahap berikutnya anak
dengan bantuan gambar ataupun penjelasan orang dewasa sudah mulai mampu memahami
suatu obyek dan peristiwa. Kemampuan tersebut terus berkembang sampai anak bisa me-
mahami rangkaian peristiwa sebagai sebuah cerita, membedakan ciri pelaku, memahami
ungkapan, memahami nilai yang bersifat abstrak, dan seterusnya.
Latihan
1. Kemukakan kembali dan jelas tahap-tahap perkembangan struktur kognitif anak
dan relevansinya dengan kegiatan apresiasi sastra anak!
2. Kemukakan kembali dan jelas tahap-tahap perkembangan bahasa anak dan rele-
ansinya dengan kegiatan apresiasi sastra anak!
3. Ditinjau dari segi perkembangan moral, tahap perkembangan moral apa saja yang
dilalui anak-anak dan apa relevansi pemahaman tahap perkembangan moral itu de-
gan kegiatan apresiasi sastra anak?
4. Berdasarkan ciri perkembangan struktur kognitif, perkembangan bahasa, dan per-
embangan moral ada sejumlah ciri resepsi sastra yang dilakukan anak. Apa saja ciri
resepsi yang dimaksud? Jelaskan!
5. Tunjukkan contoh (a) big-book, (b) cerita bergambar, dan (c) cerita pendek untuk
anak-anak! Setelah itu berikan penjelasan mengapa buku tertentu dinyatakan sesuai
untuk anak usia tertentu dengan disertai alasan yang jelas!
19