16
Bab I PENDAHULUAN Adanya krisis ekonomi dan urbanisasi berlebihan (over urbanization) yang terjadi di kota-kota besar menyebabkan munculnya berbagai macam masalah sosial. Salah satu masalah sosial tersebut adalah perkembangan jumlah anak jalanan yang terus meningkat belakangan ini. Di berbagai kota besar, di sepanjang jalan raya atau sekitar rambu-rambu lalu lintas banyak ditemui anak-anak jalanan. Profesi yang mereka jalani bervariasi. Ada yang mencoba untuk menjajakan dagangan berupa minuman dan makanan, penjual koran, pengamen, bahkan pengemis. Sudah cukup banyak upaya yang dilakukan pemerintah daerah seperti pembuatan regulasi kebijakan untuk perlindungan anak ataupun aksi konkret LSM dalam menangani para anak jalanan tersebut agar jumlah mereka tidak berkembang, tetapi apa daya jumlah anak jalanan bahkan terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut penjelasan resmi pemerintah, jumlah anak jalanan diberbagai kota besar di Tanah Air diperkirakan mencapai sekitar 50.000 jiwa lebih (Kompas, 26 Februari 1999). Berdasarkan prediksi Depsos, pada tahun 1997 diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 50.000 anak yang menghabiskan waktu produktifnya di jalan (Irwanto, 1

Kebijakan Publik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kebijakan Publik

Citation preview

Page 1: Kebijakan Publik

Bab I

PENDAHULUAN

Adanya krisis ekonomi dan urbanisasi berlebihan (over urbanization) yang

terjadi di kota-kota besar menyebabkan munculnya berbagai macam masalah

sosial. Salah satu masalah sosial tersebut adalah perkembangan jumlah anak

jalanan yang terus meningkat belakangan ini. Di berbagai kota besar, di sepanjang

jalan raya atau sekitar rambu-rambu lalu lintas banyak ditemui anak-anak jalanan.

Profesi yang mereka jalani bervariasi. Ada yang mencoba untuk menjajakan

dagangan berupa minuman dan makanan, penjual koran, pengamen, bahkan

pengemis. Sudah cukup banyak upaya yang dilakukan pemerintah daerah seperti

pembuatan regulasi kebijakan untuk perlindungan anak ataupun aksi konkret LSM

dalam menangani para anak jalanan tersebut agar jumlah mereka tidak

berkembang, tetapi apa daya jumlah anak jalanan bahkan terus menerus

meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut penjelasan resmi pemerintah, jumlah anak jalanan diberbagai

kota besar di Tanah Air diperkirakan mencapai sekitar 50.000 jiwa lebih

(Kompas, 26 Februari 1999). Berdasarkan prediksi Depsos, pada tahun 1997

diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 50.000 anak yang menghabiskan waktu

produktifnya di jalan (Irwanto, 1998). Di Jawa Timur, jumlah anak jalanan

belakangan ini diperkirakan sekitar 6000 jiwa, di mana sekitar 3000-4000 di

antaranya berada di kota Surabaya, dan sisanya tersebar di kota lain seperti,

Malang, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jember.

Hasil pemetaan dan survei anak jalanan tahun 1999 yang dilakukan

Depsos dan Unika Atmajaya Jakarta menyebutkan jumlah anak jalanan yang ada

di Surabaya sebanyak 1.451 jiwa yang terdiri dari 1.188 anak laki-laki dan 263

anak perempuan. Menurut prediksi Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan

kota Surabaya telah meningkat sekitar 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika

pada tahun 2000, jumlah anak jalanan tercatat hanya 1.297 orang, maka pada

1

Page 2: Kebijakan Publik

tahun 2001 jumlah tersebut sudah melonjak dua kali lipat lebih menjadi 2.926

orang (Kompas, 5 Maret 2003).

Di kota besar seperti Surabaya, keberadaan anak jalanan umumnya

tersebar di berbagai kantong atau zone tertentu, yakni tempat atau lokasi dimana

anak jalanan melakukan kegiatan atau aktivitasnya termasuk bekerja. Aktivitas

yang dilakukan anak-anak tersebut, biasanya mencakup kegiatan ekonomi, yaitu:

mengamen, mengasong, mengemis, buruh pasar atau kuli, menyemir sepatu,

parkir mobil, kernet, pekerja seks, ojek payung, dan lain sejenisnya.

Berikut ini adalah tabel jumlah anak jalanan di beberapa kecamatan di kota

Surabaya yang dilansir dari situs Dinas Sosial Surabaya:

No Lokasi Jumlah Anak Jalanan1 Kecamatan Asemrowo 10 anak2 Kecamatan Genteng 4 anak3 Kecamatan Gubeng 2 anak4 Kecamatan Kenjeran 1 anak5 Kecamatan Krembangan 17 anak6 Kecamatan Pabean Cantikan 1 anak7 Kecamatan Rungkut 2 anak8 Kecamatan Sawahan 11 anak9 Kecamatan Semampir 1 anak10 Kecamatan Sukolilo 5 anak11 Kecamatan Tambaksari 6 anak12 Kecamatan Tenggilis Mejoyo 6 anak13 Kecamatan Wonokromo 9 anak

Total Keseluruhan: 75 anakSumber:dinsossby.surabaya.go.id (data telah diolah)

Bisa dilihat pada tabel diatas bahwa masih ada 75 anak jalanan berada di

beberapa kecamatan di kota Surabaya. 75 anak tersebut masih dalam perhitungan

pada beberapa kecamatan saja dan belum mencakup seluruh wilayah kota

Surabaya. Pemerintah harusnya memperhatikan lebih dalam tentang kebijakan-

kebijakan yang dibutuhkan untuk menangani anak-anak jalanan tersebut,

mengingat jumlah anak jalanan di Surabaya masih terlampau tinggi.

Agar perkembangan anak jalanan bisa diminimalisir dan adanya

kebijakan-kebijakan pemerintah Kota Surabaya yang dirasa belum efektif dan

2

Page 3: Kebijakan Publik

kurang berjalan sebagaimana mestinya, maka perlu dirancang dan dilaksanakan

kebijakan-kebijakan yang cocok untuk mengatasi perkembangan jumlah mereka,

sehingga problem dalam paper ini adalah: 1) Apakah alternatif kebijakan-

kebijakan yang cocok untuk diterapkan pemerintah pada anak jalanan di kota

Surabaya?

3

Page 4: Kebijakan Publik

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan, tekyan, arek kere, anak gelandangan, atau kadang

disebut juga secara eufemistis sebagai anak mandiri—usulan Rano Karno

tatkala ia menjabat sebagai duta besar UNICEF—, sesungguhnya mereka

adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih

sayang, karena sejak dari kecil, mereka sudah harus berhadapan dengan

lingkungan kota yang keras dan kerap tidak bersahabat.

Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan sendiri

sebenarnya sebenarnya bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup

beragam, dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan

orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan,

serta jenis kelaminnya (Farid, 1998). Berdasarkan hasil kajian di lapangan,

secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.

(eds.) 1997).

Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai

kegiatan ekonomi—sebagai pekerja anak—di jalan, namun masih mempunyai

hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka

di jalan diberikan kepada orang tuanya (Soedijar, 1984; Sanusi, 1995). Fungsi

anak jalanan pada kategori adalah untuk membantu memperkuat penyangga

ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti

ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi

penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara

mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi

pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak

karena suatu yang sebab—biasanya kekerasan—lari atau pergi dari rumah.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat

4

Page 5: Kebijakan Publik

rawan terhadap perlakuan, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual

(Irwanto dkk. 1995).

Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang

berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini

mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka

terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala

resikonya (Blanc & Associates. 1990; Irwanto dkk. 1995; Taylor & Veale.

1996). Salah satu ciri penting dari kategori ini pemampangan kehidupan

jalanan sejak anak—bahkan sejak masih dalam kandungan.

2.2 Kebijakan Perlindungan Anak (Anak Jalanan)

Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 adalah Undang Undang

Republik Indonesia yang mengatur tentang perlindungan anak-anak. Tujuan

dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak tertera

dalam pasal 3, dalam pasal tersebut menjelaskan tentang tujuan diadakannya

perlindungan anak agar seluruh anak-anak mendapatkan haknya dan

melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga dengan adanya

perlindungan anak tersebut, dapat mewujudkan harapan dalam meningkatkan

kualitas anak Indonesia.

Selain UU secara lingkup nasional, pemerintah kota Surabaya juga

mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2011

tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Menurut Perda Nomor 6 Tahun

2011, pasal 1, nomor 5, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi hak anak-anaknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Anak yang dimaksud, beberapa diantaranya, adalah anak

terlantar, anak jalanan, anak penyandang cacat.

Dalam Perda tersebut, telah disebutkan bahwa pemerintah daerah

wajib menyelenggarkan kesejahteraan sosial bagi anak-anak yang telah

disebut diatas, dalam bentuk berbagai macam pelayanan, seperti, kesehatan,

pendidikan, bimbingan sosial, mental, dan spiritual, rehabilitasi sosial,

5

Page 6: Kebijakan Publik

pendampingan, pemberdayaan, bantuan sosial, bantuan hukum, dan reintegrasi

anak dalam keluarga. Pemerintah daerah juga wajib menyediakan rumah aman

sebagai tempat tinggal sementara bagi anak yang tidak mempunyai tempat

tinggal dan terancam jiwanya. Kemudian adanya sarana prasarana yang harus

disediakan bagi anak-anak oleh pemerintah daerah seperti tempat bermain,

tempar menyusui anak, tempat berekreasi dan berkreasi, dan tempat

pemberdayaan perempuan dan anak.

Selain hal itu, pemerintah daerah juga wajib membentuk forum

partisipasi anak. Forum partisipasi anak sebagaimana dimaksud, merupakan

representasi anak di kota Surabaya, baik representasi domisili geografis anak,

komponen kelompok sosial budaya anak dan latar belakang pendidikan anak.

Dalam setiap penyusunan kebijakan yang terkait dengan anak, pemerintah

daerah harus memperhatikan dan mengakomodasi pendapat anak yang

disampaikan melalui forum partisipasi anak.

Di Surabaya sendiri, pihak yang secara langsung menangani masalah

anak jalanan adalah Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya. Dinsos Surabaya sendiri

dalam menangani masalah anak jalanan telah menerapkan “Operasi Simpatik”.

Operasi Simpatik terdiri atas beberapa tahap yang harus dilaksanakan, antara

lain yaitu, 1) Penertiban 2) Seleksi 3) Stimulus 4) Pembinaan dan 5)

Rehabilitasi Sosial. Masing-masing tahap melibatkan berbagai macam instansi

terkait, misal seperti penertiban, Dinsos harus melibatkan Badan Kesatuan dan

Perlindungan Masyarakat (Bakesbanglinmas), Polwiltabes, dan Dinas Satuan

Polisi Pamong Praja untuk terjun ke lapangan guna menjaring anak-anak

jalanan. Selain itu, untuk tahap pembinaan, para anak jalanan akan dititipkan

di rumah singgah ataupun pondok sosial untuk mendapatkan pembinaan

keterampilan berupa kursus memasak, menjahit, dan sejenisnya.

Tetapi Operasi Simpatik masih memiliki beberapa kekurangan, seperti

tenaga ahli yang masih belum memadai dalam program pembinaan anak

jalanan oleh Dinsos, fasilitas, sarana dan prasarana yang masih terbilang

kurang. Serta karakteristik anak jalanan yang cenderung bebas dan “liar”

kadangkala membuat pemerintah masih kewalahan dalam menangani mereka.

6

Page 7: Kebijakan Publik

Dengan adanya berbagai macam problem penanganan anak jalanan

tersebut, maka sangatlah perlu untuk menerapkan alternatif kebijakan lain

yang lebih tepat dalam menangani masalah anak jalanan untuk diterapkan

Pemerintah kota Surabaya, agar kebijakan yang ada tetap berjalan dengan

efektif.

7

Page 8: Kebijakan Publik

BAB III

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Untuk menangani berbagai macam problem anak jalanan di Kota

Surabaya, maka perlu direkomendasikan alternatif-alternatif kebijakan agar

kebijakan perlindungan anak tetap bisa berjalan dengan efektif.

1. Yang pertama, Pemerintah kota Surabaya perlu mengetahui

karakteristik anak jalanan itu sendiri agar bisa menerapkan

kebijakan yang tepat bagi mereka

2. Pemerintah kota perlu membentuk tim khusus (bisa melibatkan

berbagai macam SKPD, misal Dinsos dengan Bakesbanglinmas

dan sejenisnya) untuk operasi anak jalanan

3. Pemerintah perlu membangun suatu tempat khusus untuk

menampung anak-anak jalanan (sehingga tidak perlu terlalu

banyak bekerjasama dengan rumah singgah) agar Dinsos tetap

bisa memantau perkembangan anak-anak jalanan tersebut secara

intens dan rutin, dan apabila memang terdapat anak jalanan yang

tidak mempunyai rumah dapat tinggal di tempat tersebut

4. Pemerintah perlu mengadakan tenaga-tenaga ahli khusus untuk

pembinaan anak-anak jalanan. Dengan adanya tenaga ahli

khusus yang didatangkan oleh pemerintah sendiri, maka

perkembangan anak jalanan tetap bisa dipantau. Adanya

bimbingan secara mental dan spiritual dapat membantu

perkembangan pola pikir (mindset) mereka. Anak jalanan harus

dilatih untuk mandiri dan diberi keterampilan-keterampilan

kerja yang berguna agar nanti bisa berdikari (berdiri di atas kaki

sendiri)

5. Setelah anak jalanan tersebut telah cukup mendapatkan

pembinaan, maka seharusnya mereka sudah bisa dilepas keluar

lagi. Tetapi disinilah letak kesulitannya. Terkadang jika mereka

dilepas kembali ke jalanan, mereka bisa kembali menjalani

8

Page 9: Kebijakan Publik

profesinya karena sudah terpaut dengan ‘zona nyaman’ mereka

sebagai anak jalanan. Sehingga sebagai modal awal, pemerintah

seharusnya bisa membukakan usaha atau menyediakan

pekerjaan yang layak dan sepantasnya bagi mereka

6. Untuk anak-anak jalanan yang masih berada pada usia sekolah,

seharusnya mereka diberikan pendidikan gratis (lihat UU nomor

23 Tahun 2002) karena pendidikan memang hak bagi seluruh

anak Indonesia. Untuk mencari pekerjaan yang layak di

Indonesia pun masih menggunakan sistem ijazah yang notabene

jika ijazah mereka terbatas lulusan SD-SMP hanya bisa bekerja

sebagai buruh saja

7. Kemudian adanya pembinaan terkait hubungan mereka dengan

orangtua dan lingkungan mereka. Terkadang seorang anak

sebenarnya ingin bersekolah, ingin berhenti bekerja, tetapi

lingkungan serta orang tua melarang dan membatasi mereka.

Sehingga pemerintah juga harus memberi pengertian pada

orangtua dan lingkungan sekitar agar mereka mengerti

dampaknya pada pola pikir atau psikis anak apabila terus

menerus ‘produktif’ di jalanan. Apabila orang tua dan

lingkungan masih keukeuh dan tidak mau menurut, pemerintah

pun juga harus melakukan tindakan yang lebih tegas dan ‘keras’

agar mereka sadar

8. Pada pihak pemerintah sendiri juga harus memiliki kemauan dan

tekad yang kuat dalam menjaring dan membina anak-anak

jalanan tersebut. Adanya teori dan omongan saja tanpa aksi yang

berarti juga fatalis. Semuanya memang membutuhkan proses

tetapi apabila proses itu benar-benar dijalani dengan aksi yang

konkret dan nyata dari pemerintah, maka semuanya juga akan

bisa berjalan dengan baik

9. Yang terakhir, adalah pola pikir atau mindset dari anak jalanan

itu sendiri. Apabila setelah mendapatkan pembinaan, mereka

9

Page 10: Kebijakan Publik

masih saja ndlewer dan tidak menurut, maka perlu diadakan

tindakan yang lebih ‘keras’ bagi mereka

10

Page 11: Kebijakan Publik

DAFTAR PUSTAKA

Setijaningrum, Erna.Analisis Kebijakan Pemkot Surabaya dalam Menangani

Anak Jalanan. Jurnal Penelitian Dinas Sosial Volume 7, Nomor 1, April

2008

Suyanto, Bagong.2010.Masalah Sosial Anak.Surabaya:Penerbit Kencana Prenada

Media Group

Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2011

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

dinsossby.surabaya.go.id diakses pada tanggal 20 Juni 2015 pukul 14.31 WIB

11