Upload
herfina-tedjoo-w
View
1
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kebijakan Publik
Citation preview
Bab I
PENDAHULUAN
Adanya krisis ekonomi dan urbanisasi berlebihan (over urbanization) yang
terjadi di kota-kota besar menyebabkan munculnya berbagai macam masalah
sosial. Salah satu masalah sosial tersebut adalah perkembangan jumlah anak
jalanan yang terus meningkat belakangan ini. Di berbagai kota besar, di sepanjang
jalan raya atau sekitar rambu-rambu lalu lintas banyak ditemui anak-anak jalanan.
Profesi yang mereka jalani bervariasi. Ada yang mencoba untuk menjajakan
dagangan berupa minuman dan makanan, penjual koran, pengamen, bahkan
pengemis. Sudah cukup banyak upaya yang dilakukan pemerintah daerah seperti
pembuatan regulasi kebijakan untuk perlindungan anak ataupun aksi konkret LSM
dalam menangani para anak jalanan tersebut agar jumlah mereka tidak
berkembang, tetapi apa daya jumlah anak jalanan bahkan terus menerus
meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut penjelasan resmi pemerintah, jumlah anak jalanan diberbagai
kota besar di Tanah Air diperkirakan mencapai sekitar 50.000 jiwa lebih
(Kompas, 26 Februari 1999). Berdasarkan prediksi Depsos, pada tahun 1997
diperkirakan sudah terdapat kurang lebih 50.000 anak yang menghabiskan waktu
produktifnya di jalan (Irwanto, 1998). Di Jawa Timur, jumlah anak jalanan
belakangan ini diperkirakan sekitar 6000 jiwa, di mana sekitar 3000-4000 di
antaranya berada di kota Surabaya, dan sisanya tersebar di kota lain seperti,
Malang, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jember.
Hasil pemetaan dan survei anak jalanan tahun 1999 yang dilakukan
Depsos dan Unika Atmajaya Jakarta menyebutkan jumlah anak jalanan yang ada
di Surabaya sebanyak 1.451 jiwa yang terdiri dari 1.188 anak laki-laki dan 263
anak perempuan. Menurut prediksi Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan
kota Surabaya telah meningkat sekitar 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika
pada tahun 2000, jumlah anak jalanan tercatat hanya 1.297 orang, maka pada
1
tahun 2001 jumlah tersebut sudah melonjak dua kali lipat lebih menjadi 2.926
orang (Kompas, 5 Maret 2003).
Di kota besar seperti Surabaya, keberadaan anak jalanan umumnya
tersebar di berbagai kantong atau zone tertentu, yakni tempat atau lokasi dimana
anak jalanan melakukan kegiatan atau aktivitasnya termasuk bekerja. Aktivitas
yang dilakukan anak-anak tersebut, biasanya mencakup kegiatan ekonomi, yaitu:
mengamen, mengasong, mengemis, buruh pasar atau kuli, menyemir sepatu,
parkir mobil, kernet, pekerja seks, ojek payung, dan lain sejenisnya.
Berikut ini adalah tabel jumlah anak jalanan di beberapa kecamatan di kota
Surabaya yang dilansir dari situs Dinas Sosial Surabaya:
No Lokasi Jumlah Anak Jalanan1 Kecamatan Asemrowo 10 anak2 Kecamatan Genteng 4 anak3 Kecamatan Gubeng 2 anak4 Kecamatan Kenjeran 1 anak5 Kecamatan Krembangan 17 anak6 Kecamatan Pabean Cantikan 1 anak7 Kecamatan Rungkut 2 anak8 Kecamatan Sawahan 11 anak9 Kecamatan Semampir 1 anak10 Kecamatan Sukolilo 5 anak11 Kecamatan Tambaksari 6 anak12 Kecamatan Tenggilis Mejoyo 6 anak13 Kecamatan Wonokromo 9 anak
Total Keseluruhan: 75 anakSumber:dinsossby.surabaya.go.id (data telah diolah)
Bisa dilihat pada tabel diatas bahwa masih ada 75 anak jalanan berada di
beberapa kecamatan di kota Surabaya. 75 anak tersebut masih dalam perhitungan
pada beberapa kecamatan saja dan belum mencakup seluruh wilayah kota
Surabaya. Pemerintah harusnya memperhatikan lebih dalam tentang kebijakan-
kebijakan yang dibutuhkan untuk menangani anak-anak jalanan tersebut,
mengingat jumlah anak jalanan di Surabaya masih terlampau tinggi.
Agar perkembangan anak jalanan bisa diminimalisir dan adanya
kebijakan-kebijakan pemerintah Kota Surabaya yang dirasa belum efektif dan
2
kurang berjalan sebagaimana mestinya, maka perlu dirancang dan dilaksanakan
kebijakan-kebijakan yang cocok untuk mengatasi perkembangan jumlah mereka,
sehingga problem dalam paper ini adalah: 1) Apakah alternatif kebijakan-
kebijakan yang cocok untuk diterapkan pemerintah pada anak jalanan di kota
Surabaya?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Jalanan
Anak jalanan, tekyan, arek kere, anak gelandangan, atau kadang
disebut juga secara eufemistis sebagai anak mandiri—usulan Rano Karno
tatkala ia menjabat sebagai duta besar UNICEF—, sesungguhnya mereka
adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih
sayang, karena sejak dari kecil, mereka sudah harus berhadapan dengan
lingkungan kota yang keras dan kerap tidak bersahabat.
Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan sendiri
sebenarnya sebenarnya bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup
beragam, dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan
orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan,
serta jenis kelaminnya (Farid, 1998). Berdasarkan hasil kajian di lapangan,
secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.
(eds.) 1997).
Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi—sebagai pekerja anak—di jalan, namun masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka
di jalan diberikan kepada orang tuanya (Soedijar, 1984; Sanusi, 1995). Fungsi
anak jalanan pada kategori adalah untuk membantu memperkuat penyangga
ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti
ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi
penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara
mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi
pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak
karena suatu yang sebab—biasanya kekerasan—lari atau pergi dari rumah.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat
4
rawan terhadap perlakuan, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual
(Irwanto dkk. 1995).
Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang
berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini
mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka
terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala
resikonya (Blanc & Associates. 1990; Irwanto dkk. 1995; Taylor & Veale.
1996). Salah satu ciri penting dari kategori ini pemampangan kehidupan
jalanan sejak anak—bahkan sejak masih dalam kandungan.
2.2 Kebijakan Perlindungan Anak (Anak Jalanan)
Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 adalah Undang Undang
Republik Indonesia yang mengatur tentang perlindungan anak-anak. Tujuan
dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak tertera
dalam pasal 3, dalam pasal tersebut menjelaskan tentang tujuan diadakannya
perlindungan anak agar seluruh anak-anak mendapatkan haknya dan
melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga dengan adanya
perlindungan anak tersebut, dapat mewujudkan harapan dalam meningkatkan
kualitas anak Indonesia.
Selain UU secara lingkup nasional, pemerintah kota Surabaya juga
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Menurut Perda Nomor 6 Tahun
2011, pasal 1, nomor 5, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi hak anak-anaknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Anak yang dimaksud, beberapa diantaranya, adalah anak
terlantar, anak jalanan, anak penyandang cacat.
Dalam Perda tersebut, telah disebutkan bahwa pemerintah daerah
wajib menyelenggarkan kesejahteraan sosial bagi anak-anak yang telah
disebut diatas, dalam bentuk berbagai macam pelayanan, seperti, kesehatan,
pendidikan, bimbingan sosial, mental, dan spiritual, rehabilitasi sosial,
5
pendampingan, pemberdayaan, bantuan sosial, bantuan hukum, dan reintegrasi
anak dalam keluarga. Pemerintah daerah juga wajib menyediakan rumah aman
sebagai tempat tinggal sementara bagi anak yang tidak mempunyai tempat
tinggal dan terancam jiwanya. Kemudian adanya sarana prasarana yang harus
disediakan bagi anak-anak oleh pemerintah daerah seperti tempat bermain,
tempar menyusui anak, tempat berekreasi dan berkreasi, dan tempat
pemberdayaan perempuan dan anak.
Selain hal itu, pemerintah daerah juga wajib membentuk forum
partisipasi anak. Forum partisipasi anak sebagaimana dimaksud, merupakan
representasi anak di kota Surabaya, baik representasi domisili geografis anak,
komponen kelompok sosial budaya anak dan latar belakang pendidikan anak.
Dalam setiap penyusunan kebijakan yang terkait dengan anak, pemerintah
daerah harus memperhatikan dan mengakomodasi pendapat anak yang
disampaikan melalui forum partisipasi anak.
Di Surabaya sendiri, pihak yang secara langsung menangani masalah
anak jalanan adalah Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya. Dinsos Surabaya sendiri
dalam menangani masalah anak jalanan telah menerapkan “Operasi Simpatik”.
Operasi Simpatik terdiri atas beberapa tahap yang harus dilaksanakan, antara
lain yaitu, 1) Penertiban 2) Seleksi 3) Stimulus 4) Pembinaan dan 5)
Rehabilitasi Sosial. Masing-masing tahap melibatkan berbagai macam instansi
terkait, misal seperti penertiban, Dinsos harus melibatkan Badan Kesatuan dan
Perlindungan Masyarakat (Bakesbanglinmas), Polwiltabes, dan Dinas Satuan
Polisi Pamong Praja untuk terjun ke lapangan guna menjaring anak-anak
jalanan. Selain itu, untuk tahap pembinaan, para anak jalanan akan dititipkan
di rumah singgah ataupun pondok sosial untuk mendapatkan pembinaan
keterampilan berupa kursus memasak, menjahit, dan sejenisnya.
Tetapi Operasi Simpatik masih memiliki beberapa kekurangan, seperti
tenaga ahli yang masih belum memadai dalam program pembinaan anak
jalanan oleh Dinsos, fasilitas, sarana dan prasarana yang masih terbilang
kurang. Serta karakteristik anak jalanan yang cenderung bebas dan “liar”
kadangkala membuat pemerintah masih kewalahan dalam menangani mereka.
6
Dengan adanya berbagai macam problem penanganan anak jalanan
tersebut, maka sangatlah perlu untuk menerapkan alternatif kebijakan lain
yang lebih tepat dalam menangani masalah anak jalanan untuk diterapkan
Pemerintah kota Surabaya, agar kebijakan yang ada tetap berjalan dengan
efektif.
7
BAB III
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Untuk menangani berbagai macam problem anak jalanan di Kota
Surabaya, maka perlu direkomendasikan alternatif-alternatif kebijakan agar
kebijakan perlindungan anak tetap bisa berjalan dengan efektif.
1. Yang pertama, Pemerintah kota Surabaya perlu mengetahui
karakteristik anak jalanan itu sendiri agar bisa menerapkan
kebijakan yang tepat bagi mereka
2. Pemerintah kota perlu membentuk tim khusus (bisa melibatkan
berbagai macam SKPD, misal Dinsos dengan Bakesbanglinmas
dan sejenisnya) untuk operasi anak jalanan
3. Pemerintah perlu membangun suatu tempat khusus untuk
menampung anak-anak jalanan (sehingga tidak perlu terlalu
banyak bekerjasama dengan rumah singgah) agar Dinsos tetap
bisa memantau perkembangan anak-anak jalanan tersebut secara
intens dan rutin, dan apabila memang terdapat anak jalanan yang
tidak mempunyai rumah dapat tinggal di tempat tersebut
4. Pemerintah perlu mengadakan tenaga-tenaga ahli khusus untuk
pembinaan anak-anak jalanan. Dengan adanya tenaga ahli
khusus yang didatangkan oleh pemerintah sendiri, maka
perkembangan anak jalanan tetap bisa dipantau. Adanya
bimbingan secara mental dan spiritual dapat membantu
perkembangan pola pikir (mindset) mereka. Anak jalanan harus
dilatih untuk mandiri dan diberi keterampilan-keterampilan
kerja yang berguna agar nanti bisa berdikari (berdiri di atas kaki
sendiri)
5. Setelah anak jalanan tersebut telah cukup mendapatkan
pembinaan, maka seharusnya mereka sudah bisa dilepas keluar
lagi. Tetapi disinilah letak kesulitannya. Terkadang jika mereka
dilepas kembali ke jalanan, mereka bisa kembali menjalani
8
profesinya karena sudah terpaut dengan ‘zona nyaman’ mereka
sebagai anak jalanan. Sehingga sebagai modal awal, pemerintah
seharusnya bisa membukakan usaha atau menyediakan
pekerjaan yang layak dan sepantasnya bagi mereka
6. Untuk anak-anak jalanan yang masih berada pada usia sekolah,
seharusnya mereka diberikan pendidikan gratis (lihat UU nomor
23 Tahun 2002) karena pendidikan memang hak bagi seluruh
anak Indonesia. Untuk mencari pekerjaan yang layak di
Indonesia pun masih menggunakan sistem ijazah yang notabene
jika ijazah mereka terbatas lulusan SD-SMP hanya bisa bekerja
sebagai buruh saja
7. Kemudian adanya pembinaan terkait hubungan mereka dengan
orangtua dan lingkungan mereka. Terkadang seorang anak
sebenarnya ingin bersekolah, ingin berhenti bekerja, tetapi
lingkungan serta orang tua melarang dan membatasi mereka.
Sehingga pemerintah juga harus memberi pengertian pada
orangtua dan lingkungan sekitar agar mereka mengerti
dampaknya pada pola pikir atau psikis anak apabila terus
menerus ‘produktif’ di jalanan. Apabila orang tua dan
lingkungan masih keukeuh dan tidak mau menurut, pemerintah
pun juga harus melakukan tindakan yang lebih tegas dan ‘keras’
agar mereka sadar
8. Pada pihak pemerintah sendiri juga harus memiliki kemauan dan
tekad yang kuat dalam menjaring dan membina anak-anak
jalanan tersebut. Adanya teori dan omongan saja tanpa aksi yang
berarti juga fatalis. Semuanya memang membutuhkan proses
tetapi apabila proses itu benar-benar dijalani dengan aksi yang
konkret dan nyata dari pemerintah, maka semuanya juga akan
bisa berjalan dengan baik
9. Yang terakhir, adalah pola pikir atau mindset dari anak jalanan
itu sendiri. Apabila setelah mendapatkan pembinaan, mereka
9
masih saja ndlewer dan tidak menurut, maka perlu diadakan
tindakan yang lebih ‘keras’ bagi mereka
10
DAFTAR PUSTAKA
Setijaningrum, Erna.Analisis Kebijakan Pemkot Surabaya dalam Menangani
Anak Jalanan. Jurnal Penelitian Dinas Sosial Volume 7, Nomor 1, April
2008
Suyanto, Bagong.2010.Masalah Sosial Anak.Surabaya:Penerbit Kencana Prenada
Media Group
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2011
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
dinsossby.surabaya.go.id diakses pada tanggal 20 Juni 2015 pukul 14.31 WIB
11