4
Kisah Rempah Sebelum Tidur “Alkisah pada suatu masa, terdapatlah gugusan pulau tropis yang tak tergambar peta dunia.” Begitu ibuku memulai cerita tentang sejarah tua yang lusuh. Aku mendekatkan kepala pada lengannya dan bertanya penasaran “Apakah itu pulau hantu, ibu?” “Bukan anakku, hanya saja waktu itu pengetahuan manusia akan semesta masih tak seberapa. Dunia masih dianggap sebagai labirin yang membentang dari Eropa sampai Cina di timur Asia, penjelajahan pun masih dilakukan melintas darat. Zaman dimana para nabi pemimpin agama belum bernama dan raja Alexander masih berkuda melintas batas pegunungan Himalaya.” “Lalu, dimana letaknya pulau tersebut?” Aku antusias. “Hikayat Dinasti Tang menyebutnya Miliki*, pedagang Arab mengenalnya sebagai jazirah al-mamluk* yaitu kepulauan raja-diraja, sedang kita mengenalnya dengan nama Maluku. Kepulauan permai ini terserak di timur Nusantara, dijepit genangan samudera Hindia dan Pasifik. Ditumbuhi gemuruh lebat hutan tropis, kaya dengan harta yang menggelegak tak saja dilantai bumi namun juga di latar samudera.” “Lanjutkan bu” dongeng pengantar tidur kali ini berhasil menarik minatku. Sumber: asiawelcome.com “Dahulu kawasan ini masih berupa Terra Incognita bagi raja Eropa, namun kita orang pulau telah melabuhi semenanjung dan jazirah dengan perahu bertiang megah. Kita berdagang rempah mulai dari Barus Sumatera, Merica, Cengkeh hingga Pala, mengirimnya ke pusat perdagangan di Malaka. Seiring waktu, bau rempah ini ternyata sangat menyengat dan tercium sampai Persia*. Mahakarya Indonesia ini dijadikan komoditi, dikirim lewat laut melewati bandar di Malabar, terus menyebrang laut merah hingga Alexandria dan bermuara di Venesia.

Kisah Rempah Sebelum Tidur

  • Upload
    fufu2

  • View
    10

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Kisah Rempah Sebelum Tidur Alkisah pada suatu masa, terdapatlah gugusan pulau tropis yang tak tergambar peta dunia. Begitu ibuku memulai cerita tentang sejarah tua yang lusuh. Aku mendekatkan kepala pada lengannya dan bertanya penasaran Apakah itu pulau hantu, ibu?

Bukan anakku, hanya saja waktu itu pengetahuan manusia akan semesta masih tak seberapa. Dunia masih dianggap sebagai labirin yang membentang dari Eropa sampai Cina di timur Asia, penjelajahan pun masih dilakukan melintas darat. Zaman dimana para nabi pemimpin agama belum bernama dan raja Alexander masih berkuda melintas batas pegunungan Himalaya.

Lalu, dimana letaknya pulau tersebut? Aku antusias.

Hikayat Dinasti Tang menyebutnya Miliki*, pedagang Arab mengenalnya sebagai jazirah al-mamluk* yaitu kepulauan raja-diraja, sedang kita mengenalnya dengan nama Maluku. Kepulauan permai ini terserak di timur Nusantara, dijepit genangan samudera Hindia dan Pasifik. Ditumbuhi gemuruh lebat hutan tropis, kaya dengan harta yang menggelegak tak saja dilantai bumi namun juga di latar samudera.

Lanjutkan bu dongeng pengantar tidur kali ini berhasil menarik minatku.

Sumber: asiawelcome.com

Dahulu kawasan ini masih berupa Terra Incognita bagi raja Eropa, namun kita orang pulau telah melabuhi semenanjung dan jazirah dengan perahu bertiang megah. Kita berdagang rempah mulai dari Barus Sumatera, Merica, Cengkeh hingga Pala, mengirimnya ke pusat perdagangan di Malaka. Seiring waktu, bau rempah ini ternyata sangat menyengat dan tercium sampai Persia*. Mahakarya Indonesia ini dijadikan komoditi, dikirim lewat laut melewati bandar di Malabar, terus menyebrang laut merah hingga Alexandria dan bermuara di Venesia. Sebagian lagi digiring lewat darat melewati jalur sutera, mulai dari Cina menembus India utara, berakhir di Konstantinopel.*

Rempah ini segera memenuhi pasar Arab hingga Gujarat. Dijual dengan harga tinggi setara emas. Rempah menjadi nona berpinggul padat mempesona. Para kadet kapal layar Spanyol, Portugis hingga Belanda mulai menabuh genderang pesta samudera yang tak usai. Sebut saja Columbus yang tersesat di Amerika, pencarian rute selatan Afrika oleh Vasco da Gama, penakhlukan Goa dan Malaka di tangan besi Albuquerque, Magellan yang melintas Pasifik namun terdampar dan terbunuh di Filipina, hingga Cornelis de Houtman sang kompeni. Mereka semua berlomba menguasai sumber rempah demi kemakmuran raja-raja Eropa yang berbudak dan berselir banyak.

Sebegitu hebatkah rempah kita bu? kenapa mereka sampai bersengketa hanya demi tetumbuhan? Aku tak mengerti.

Rempah bukan sembarang tanaman nak. Para pharaoh bisa dikenal dunia saat ini salah satunya karena rempah, bahan utama pembalseman mumi adalah Barus. Untuk mengawetkan makanan, para raja Eropa merendamnya dalam air garam, mereka memerlukan rempah agar rasa asinnya hilang waktu terhidang. Saat epidemi black death menjangkit Eropa abad ke enam belas, rempah dianggap mampu menjadi penawar. Selain itu tumbuhan ini juga digunakan dalam praktik sihir penambah stamina, menjadi obat kuat pemikat wanita.*

Bahkan pakar obat-obatan bernama Thome Pires pun ketika bertemu pedagang-pedagang bangsa Melayu menyatakan bahwa Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk Pala serta Maluku untuk cengkih, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat tadi.*

Sebagai perbandingan harga, Cengkeh 1 bahar (456 lb) di pasaran lokal pada abad ke enam belas seharga 1 sampai 2 ducat. Di Malaka 1 bahar bisa berharga 10 sampai 14 ducat. Sementara di Kalkuta harganya sekitar 500 hingga 600 fanam, untuk cengkeh kualitas utama bisa mencapai 700 fanam. Pada tahun 1600, 10 pon cengkeh di Maluku jika dijual ke Eropa, akan menghasilkan keuntungan sebesar 32.000 persen*. Bisa dibayangkan berapa kayanya mereka jika berhasil menemukan sang pulau rempah, nak?

Lantas, apakah mereka menemukan rempahnya bu?

Tahun 1512, armada Portugis dibawah pimpinan Francisco Serrao sampai di perairan Banda, sultan Ternate segera mengirimkan juanga untuk menjemputnya. Sisa-sisa armada Magellan yang berbendera Spanyol mencapai Tidore sembilan tahun lebih lama*. Zaman-zaman setelahnya negeri kita dilanda banjir peperangan. Sebagian Rakyat diperadu, sebagian lain dijual di pasar budak Madagaskar. Maluku dipenuhi genangan darah tarian pedang dan belati. Tak ada satupun dari kita yang mau tunduk, karena tunduk itu berhala. Pantang Pala direbut, badik para kesatria selalu setia lantang teracung. Para pemberani ini lebih memilih mati demi sesuatu yang diyakini indah ruyup suatu kelak nanti, gemah rempah harus tetap milik pribumi.

Amboina, gugusan kepulauan kecil yang menjadi rumah bagi segala Lada dan Kapulaga akhirnya terdengar di telinga semua benua melengkapi peta dunia. Gendang sejarahnya bertalu melambungkan nama Maluku. Pencampuran budaya pun tak pelak menghiasi setiap aspek kehidupan negeri, seperti yang Denys Lombard katakan bahwa karakteristik Nusantara dengan posisi geokultural yang khas di lokus persimpangan budaya dunia, membuat budaya asing dengan mudah singgah dan berbaur dengan kecerdasan lokal*. Inilah yang terjadi dengan Rokok Kretek.

Maksudnya, bu?

Secara historis, tembakau bukan komoditas asli Indonesia. Menurut catatan orang Eropa, tembakau telah dijumpai oleh Christophorus Columbus dalam Ekspedisi Navidad saat tersesat di Amerika. Disana Columbus menjumpai Suku Lucayan yang memiliki ritual mengunyah daun tembakau. Tembakau yang mulai dikenal di daratan Eropa kemudian dibawa dan ditanam Nusantara. Saat tembakau bertemu dengan cengkeh, maka lahirlah sebuah mahakarya baru yang kita kenal dengan, rokok kretek. Hal ini membuktikan bahwa konsekuensi bauran lintas budaya yang ditambah dengan cerminan orisinal kecerdasan lokal dalam meramu, dapat menciptakan keanekaragaman dan kekayaan citarasa. Banggalah nak, Nusantara lama pernah jaya hanya dari segenggam Cengkeh dan Pala.

Jika memang rempah sebegitu berharganya zaman dahulu, lantas kenapa kita sekarang seakan melupakan kejayaan bu? Tanyaku setengah tak percaya.

Apakah kamu pernah berterima kasih pada matahari, nak? Ibuku balik bertanya.

Kenapa aku harus berterima kasih bu?

Mentari telah datang padamu dalam bentuk anak-anak cahaya setiap hari, setiap pagi, hingga kita menjadi begitu terbiasa. Coba bayangkan jika bumi tanpa matahari, segala kehidupan pun pasti akan ikut mati. Kita cenderung melupakan apa yang ada, hingga itu tiada. Begitu jugalah dengan rempah anakku. Kita dilahirkan dari perut negeri paling subur. Kelapa, cengkeh, cokelat, kopi, sagu, aren tegak bahagia. Semua ada, semua tersedia, tak habis terpakai seumur waktu. Inilah yang membuat kebanyakan dari kita lupa jika telah dititipkan sebuah mahakarya tiada dua.

Sampai suatu saat kita dijajah lagi?

Benar, sampai kita kembali dicuri, itulah saat kita mulai mengerti. Ibuku menutup ceritanya malam itu.