57
LAPORAN TUTORIAL MODUL I DEMAM DI SUSUN OLEH : KELOMPOK III 1. Akmal Mukmin Mustari 2. Alfiani Nur 3. Amalia Ferbrianti Utami 4. Maya Lia Zohra 5. Melisa Budi Selawati 6. Pangeran Baso 7. Andi Ririn Yani Sidik 8. Nurul Waasi u Pallawarukka FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

Laporan Tutorial Kelompok 3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Tutorial Kelompok 3

LAPORAN TUTORIAL

MODUL I DEMAM

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK III

1. Akmal Mukmin Mustari 2. Alfiani Nur 3. Amalia Ferbrianti Utami 4. Maya Lia Zohra 5. Melisa Budi Selawati 6. Pangeran Baso 7. Andi Ririn Yani Sidik 8. Nurul Waasi u Pallawarukka

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

Page 2: Laporan Tutorial Kelompok 3

Scenario

Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam selama seminggu,

selera makan kurang dan disertai sakit kepala. Sepuluh hari yang lalu penderita baru datang dari papua.

Kata Kunci

1. Laki-laki 22 tahun

2. Demam seminggu

3. Selera makan kurang

4. Sakit kepala

5. Baru datang dari papua 10 hari lalu

Page 3: Laporan Tutorial Kelompok 3

DEMAM

Beberapa tipe demam yang sering kita jumpai, antara lain:

a. Demam septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

b. Demam remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

c. Demam intermiten : pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tertiana dan bila terjadi dua hari bebas demam di anatra dua serangan demam disebut kuartana.

d. Demam kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

e. Demam siklik : pada tipe demam siklik terajdi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.1

Page 4: Laporan Tutorial Kelompok 3

A. DEMAM TIFOID

1. Pendahuluan

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk

penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.

Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang

banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1

2. Epidemiologi

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990

sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000

penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986

memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606

kasus.

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi

lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah

urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan

erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan

pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di

Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga Departemen

Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit

dengan mortalitas tinggi.1

3. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai

flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik

(O) yang terdiri dari oligosakarida, flager antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope

antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida

kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella

typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap

mulitipel antibiotik.2

4. Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi)

ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

Page 5: Laporan Tutorial Kelompok 3

selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang

baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke

lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel

fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar

getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama

yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam

sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian

kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah

teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular,

gangguan mental dan koagulasi

Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan

(S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia

jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi

pembuluh sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini

dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan dan gangguan

organ lainnya.1

5. Gambaran Klinis

Page 6: Laporan Tutorial Kelompok 3

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi

yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini

sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu

dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang

timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, disertai asimptomatik hingga gambaran

penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.1

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang

bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk

kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi

setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala

yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis,

seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah

kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa

atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,

kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai

pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi

dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau

makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit

putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta

menetap selama 2-3 hari.

Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah

sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif

hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan

pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila

tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4

minggu.3

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk,

dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat

Page 7: Laporan Tutorial Kelompok 3

demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia

relative (bradikardia relative adalah peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan⁰

denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung

merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa

somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang

Indonesia.1

6. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,

dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat tejadi

walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan

dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia

maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid darah meningkat.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPTtidak memerlukan penanganan khusus.

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organism. Sampai

sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostic. Selain uji

widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan

cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain uji

TUBEX, Typhidot dan dipstick.1

Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. Pada uji

Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody

yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi

Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal

adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam

tifoid yaitu :

a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella kuman) dan c).

Aglutinin Vi (simpai kuman).

Page 8: Laporan Tutorial Kelompok 3

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini.

Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan

tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase aktif mula-mula timbul agglutinin O,

kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O

masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama

antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan

penyakit.

Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji Widal yaitu : 1). Pengobatan dini

dengan antibiotic, 2). Gangguan pembentukan antibody, dan pemberian

kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemic atau non-endemik,

5). Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada

infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7).

Factor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain

Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna

diagnostic untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan

saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai

laboratorium setempat.

Uji TUBEX

Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa

menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S.typhi O9 pada

serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi

pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida. S.typhi yang terkonjugasi

pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi

Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi

oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negative.

Uji Typhidot

Page 9: Laporan Tutorial Kelompok 3

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein

membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhoid didapatkan 2-3 hari

setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan igG

terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Uji IgM Dipstick

Uji ini secara khusus mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S.typhi pada

specimen serum atau whole blood. Uji inimenggunakan strip yang mengandung

antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai control), reagen

deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna,

cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung

uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-

25 C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan⁰

inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada

suhu kamar. Stelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.

Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan

membandingkannya dengan reference strip. Garis control harus terwarna dengan

baik.

Kultur Darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil

negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa

hal sebagai berikut ; 1). Telah mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum

dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media

biakan terhambat dan hasil mungkin negative, 2). Volume darah yang kurang

(diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil

biakan bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung

dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman; 3).

Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibody dalam darah

pasien. Antibody (agglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah

dapat negative, 4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat

aglutinin semakin meningkat.1

7. Penatalaksanaan

Page 10: Laporan Tutorial Kelompok 3

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,

mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah

eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan

antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.

Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik

(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2

kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok

chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan

resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi

(NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap

fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa

komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)

merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten

terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu

penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.

Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh

S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam

kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah

satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah

levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk

levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa

komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin

diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan

dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan

ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara

bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.

Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi

dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin

diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai

Page 11: Laporan Tutorial Kelompok 3

pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga

terdapat table perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai jenis

fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin

paling cepat, yaitu 2,4 hari.

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa

pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol

untuk mencegah kekambuhan.

Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan

gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama

digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari

chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier

juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.

Azithromycin dan cefi xime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan

waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka

kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.

Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran

menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai

pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid

berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2. Walaupun di tabel ini tertera

cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak

terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian

antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain

cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.

Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan

mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.3

8. Penyulit (Komplikasi)

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan usus pada

1- 10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit, walau

pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu,

tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri

abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang menyelubung.

Page 12: Laporan Tutorial Kelompok 3

Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya

keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Beberapa kasus perforasi usus halus

mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.

Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi

gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis

mengaitkan manifestasi klinis meuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain

adalah trombosis serebral akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer maupun kranial,

meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-Barre. Dari berbagai penyulit neurologik yang

terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada

EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa

asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar

transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa diserati kenaikan kadar

transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang

terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu

empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat

sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit demam

tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat

bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan

oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.

Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trompositopenia, koagulasi intravaskular diseminata,

hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi dibeberapa lokasi sebagai akibat bakteremia

misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, oto, kelenjar ludah dan persendian.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang lebih

jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah penghentian

antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens, saat pasien

tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotik. Pada

umumnnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan lebih singkat.2

9. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketetapan terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat,

Page 13: Laporan Tutorial Kelompok 3

angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya 10%, biasanya karena

keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komlikasi, seperti perforasi

gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.Typhi >3 bulan setelah

infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan

meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.

Insidens penyakit traktus biliarislebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi

umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada

individu dengan skistosomiasis.2

10. Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus

memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di

dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57o C beberapa menit dan secara merata juga dapat

mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung baik

buruknya pengadaan saran air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran

individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian

demam tifoid.2

11. Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi

kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi

kuman Salmonella typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah

puluhan tahaun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya

memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan

yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a)

diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan

6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan

didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin

yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intarmuskular

memberikan perlindungan 60 – 70% selama 3 tahun.2

Page 14: Laporan Tutorial Kelompok 3

B. DEMAM BERDARAH DENGUE

1. Pendahuluan

Adalah penyakit demam akut yang dapat menyebabkan kematian dan disebabkan oleh

empat serotype virus dari genus Flavivirus, virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Infeksi

oleh satu serotype virus dengue menyebabkan terjadinya kekebalan yang lama terhadap

serotype virus tersebut, dan kekebalan sementara dalam waktu pendek terhadap serotype

virus dengue lainnya.

Dengue ditularkan oleh genus Aedes, nyamuk yang tersebar luas di daerah tropis dan

subtropics diseluruh dunia. Demam dengue juga disebut breakbone fever dan merupakan

penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang terpenting pada manusia.4

2. Epidemiologi

Sekitar 2,5 miliar manusia yang merupakan duaperlima dari penduduk dunia

mempunyai resiko tinggi tertular demam dengue. Setiap tahunnya sekitar 50-100 juta

penderita dengue dan 500.000 penderita DBD dilaporkan oleh WHO di seluruh dunia,

dengan jumlah kematian sekitar 22.000 jiwa, terutama anak-anak. Sekitar 2,5-3 miliyar

manusia yang hidup di 112 negara tropis dan subtropics berada dalam keadaan terancam

infeksi dengue. Hanya benua Eropa dan Antartika yang secara alami bebas dari infeksi

dengue.

Daerah sebaran demam dengue meliputi :

Argentina, Australia

Bangladesh, Barbados, Bolivia, Belize, Brazil

Cambodia,l Cina, Casta Rica

Dominika

El Salvador

Guatemala, Guyana

Honduras

India, Indonesia

Jamaika

Laos

Malaysia, Mexico, Micronesia

Panama, Paraguay, Philipina, Puerto Rico

Page 15: Laporan Tutorial Kelompok 3

Samoa, Singapura, Suriname

Taiwan, Thailand

Venezuela, Vietnam.4

3. Virus Penyebab Dengue

Demam dengue disebabkan oleh virus dengue (DEN), yang termasuk genus

flavivirus. Virus yang ditularkan oleh nyamuk ini tergolong ss RNA positive-strand virus

dari keluarga Flaviviridae.

Terdapat 4 serotipe virus DEN yang sifat antigeniknya berbeda, yaitu virus dengue-1

(DEN1), virus dengue-2 (DEN2), virus dengue-3 (DEN3), dan virus dengue-4 (DEN4).

Spesifikasi virus dengue yang dilakukan oleh Albert Sabin pada tahun 1944

menunjukkan bahwa masing-masing serotype virus dengue memiliki genotype yang

berbeda antara serotype-serotype tersebut.4

Virus penyebab demam Dengue termasuk arbovirus (arthropod – borne viruses) yang

merupakan virus kedua yang dikenal menimbulkan penyakit pada manusia. Virus ini

merupakan anggota keluarga dari Flaviviridae ( flavi = kuning ) bersama-sama dengan

virus demam kuning. Morfologi virion Dengue berupa partikel sferis dengan diameter

nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm. Genomnya berupa RNA (ribonucleic

acid). Protein virus Dengue terdiri dari protein C untuk kapsid dan core, protein M untuk

membran, protein E untuk selubung dan protein NS untuk protein non struktural.

Saat ini telah diketahui ada 4 tipe virus Dengue10,18 Tipe-tipe virus ini baru

diketahui setelah Perang Dunia II oleh Sabin yang berhasil mengisolasinya dari darah

pasien pada epidemi di Hawai, yang disebut sebagai tipe 1 (1952 ). Tipe 2 juga diisolasi

oleh Sabin ( 1956 ) dari pasien di New Guinea. Tipe 3 dan 4 diperoleh tahun 1960 dari

pasien yang mengalami DHF di Filipina pada tahun 1953

Virus Dengue memiliki tiga jenis antigen yang menunjukkan reaksi spesifik terhadap

antibodi yang sesuai yaitu (i) antigen yang dijumpai pada semua virus dalam genus

Flavivirus dan terdapat di dalam kapsid, (ii) antigen yang khas untuk virus Dengue saja

dan terdapat pada semua tipe, 1 sampai 4, di dalamselubung, (iii) antigen yang spesifik

untuk virus Dengue tipe tertentu saja, terdapat di dalam selubung.5

Page 16: Laporan Tutorial Kelompok 3

4. Penularan Dengue

Dengue ditularkan pada manusia terutama oleh nyamuk Aedes aegypty dan nyamuk

Aedes albopictus, dan juga kadaang-kadang ditularkan oleh Aedes polynesiensis dan

beberapa spesies nyamuk lainnya yang juga aktif mengisap darah pada waktu siang hari.

Sesudah darah yang infektif terhisap nyamuk, virus memasuki kelenjar liur nyamuk lalu

berkembang biak menjadi infektif dalam Waktu 8-10 hari, yang disebut masa inkubasi

ekstrinsik. Sesekali virus memasuki tubuh nyamuk dan berkembang biak, nyamuk akan tetap

infektif seumur hidup.

Virus dengue ditularkan dari seorang penderita ke orang lain melalui gigitan nyamuk

Aedes. Dalam tubuh manusia virus dengue akan berkembang biak, dan memerlukan

waktu inkubasi sekitar 45 hari sebelum dapat menimbulkan penyakit dengue. Penularan

virus dengue terjadi memlalui 2 pola umum, yaitu dengue epidemic dan dengue

hiperendemik. Penularan dengue epidemic jika virus dengue memasuki suatu daerah

terisolasi, meskiun hanya melibatkan satu serotype virus dengue. Jika jumlah hospes

yang peka (anak-anak maupun orang dewasa) mencukupi jumlahnya, juga jika vector

besar populasinya, ledakan penularan dapat terjadi dengan insiden mencapai 25%-50%.

Dalam pengendalian epidemi dengue, pemberantasan vector, factor iklim dan imunitas

penduduk turut serta mempengaruhinya. Penularan virus dengue yang dimulai dari

daerah urban kemudian menyebar kedaerah lain, merupakan pola penularan dengue

dibeberapa Negara afrika, amerika selatan dan Negara-negara asia yang mengalami

epidemic yang berulang, serta dinegara atau pulau yang kecil. Penyebaran dengue

hiperendemik memiliki ciri khas berupa sirkulasi beberapa serotype virus dengue disuatu

daerah dimana jumlah besar hospes yang peka dan vector penularannnya terus-menerus

dijumpai didaerah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh musim. Pola penularan ini

merupakan pola utama Dalam penyebaran global infeksi dengue. Didaerah dengue

hiperendemik, prevalensi antibody meningkat sesxuai dengan pertambahan umur, dan

sebagian besar orang dewasa telah imun terhadap virus ini. Penularan hiperendemik

merupakan pemicu utama terjadinya demam berdarah dengue.4

Page 17: Laporan Tutorial Kelompok 3

5. Gejala Klinis

Infeksi Dengue selama hampir dua abad digolongkan sebagai “flu” dengan gejala

demam atau pilek atau mencret biasa, yaitu sebagai kelainan yang timbul karena

penyesuaian diri seseorang terhadap iklim tropis. Akan tetapi sejak timbulnya wabah

demam di Filipina tahun 1953 yang disertai dengan perdarahan dan renjatan serta banyak

yang berakhir dengan kematian, pandangan itu berubah. Saat itulah istilah hemorrhagic

fever mulai digunakan. Kasus DHF yang pertama kali di Indonesia ditemukan di

Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi serologisnya baru diperoleh tahun

1970. Di Jakarta laporan pertama diberikan oleh Kho dkk tahun 1969 sebagaimana

dikutip oleh Socanof. Penyakit ini biasanya menyebar dari suatu pusat sumber penularan

- umumnya kota besar – dan mengikuti lalu lintas penduduk. Semakin ramai lalu lintas

itu, semakin besar kemungkinan penyebaran.

Spektrum manifestasi klinis infeksi virus Dengue begitu bervariasi mulai dari infeksi

subklinis atau asimtomatik yang hanya dapat diketahui dari adanya antibodi dalam darah;

demam Dengue klasik; dan demam Dengue berdarah tanpa atau dengan renjatan10,15,18.

Infeksi Dengue dapat menyerang segala usia. Bayi dan anak yang terkena akan

mengalami demam disertai timbulnya bercak makulo papular. Pada anak besar dan orang

dewasa terdapat sindrom trias berupa demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan

timbulnya bercak makulo papular. Demam berdarah Dengue merupakan demam akut

yang ditandai oleh 4 manifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan, hepatomegali,

dan kegagalan sirkulasi.

Kriteria diagnosis DHF menurut WHO (1975) adalah :

Demam tinggi yang mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.

Manifestasi perdarahan, baik dengan uji tourniquet positif ata dalam bentuk lain

seperti petekia, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena.

Hepatomegali.

Renjatan.

Secara laboratoris didapatkan trombositopeni kurang dari 100.000 / μl dan

hemokonsentrasi di mana hematokrit meningkat lebih dari 20%. Sumarmo (1983)

menambahkan dua gejala klinis lain yang perlu diingat untuk memikirkan DHF yaitu

gejala-gejala ke arah ensefalopati, dan nyeri perut.5

Page 18: Laporan Tutorial Kelompok 3

Pada infeksi terutama oleh virus dengue, sebagian besar penderita tidak menunjukkan

gejala (asimptomatik), atau hanya menimbulkan demam yang tidak khas. Dapat juga

terjadi kumpulan gejala demam dengue (DD) yang klasik antara lain berupa demam

tinggi yang terjadi mendadak, sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata (retro-orbital),

rasa sakit pada otot dan tulang, lemah badan, muntah, sakit tenggorokan, ruang kulit

makulopapuler. Beratnya nyeri otot dan tulang yang dialami penderita menyebabkan

demam dengue dikenal sebagai demam patah tulang (breakbone fever). Sebagian kecil

penderita yang sebelumnya telah pernah terinfeksi salah satu serotype virus dengue jika

mengalami infeksi yang kedua oleh serotype lainnya dapat mengalami terjadinya

hemokonsentrasi dan efusi cairan yang dapat menimbulkan kolaps sirkulasi. Keadaan ini

dapat memicu terjadinya sindrom syok dengue (dengue syok syndrome : DSS), penyebab

kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perdarahan itu sendiri.

Karena gejala klinis demam dengue tidak spesifik, diperlukan pemeriksaan

laboratorium untuk memastikan terjadinya imfeksi dengue. Diagnosis serologi dilakukan

berdasar pada meningkatnya titer antibody IgG dan IgM. Hasil dipengaruhi apakah

infeksi dengue terjadi Secara Primer Atau Sekunder.4

6. Penatalaksanaan

Pengobatan DBD dengan terapi suportif ditujukan untuk mengatasi syok akibat

hemokonsentrasi dan perdarahan. Pengawasan intensif atas tanda vital dilakukan pada

masa krisis, yaitu antara hari kedua sampai hari ketujuh. Untuk rehidrasi penderita harus

minum banyak cairan dan jika tidak dapat minum diberikan cairan intravenous dan

elektrolit untuk mengatasi dehidrasi dan mengoreksi gangguan keseimbangan elekktrolit.

Transfuse darah atau trombosit jika angka trombosit kurang 20.000 atau jika terjadi

perdarahan berat. Jika terjadi melena, yang menunjukkan adanya perdarahan

gastrointestinal, doberikan transfusi trombosit atau sel darah merah. Terapi oksigen

diberikan untuk meningkatkan oksigen darah yang rendah. Perawatan suportif diberikan

diruang ICU (intesice care unit). Aspirin dan obat anti radang non steroid tidak boleh

diberikan, dapat diganti dengan paracetamol atau asetaminofen.

Page 19: Laporan Tutorial Kelompok 3

Pengobatan penderita sebagai kasus darurat diberikan jika pada fase kritis penderita

menunjukkan :

Terjadinya perembesan plasma yang berat yang menjurus terjadinya syok dan atsu

penimbunan cairan yang menyebabkan gangguan pernafasan (respiratory distress)

Adanya perdarahan hebat

Gangguan berat fungsi organ (kerusakan hati, gangguan ginjal, kardiomiopati,

ensefalopati, atau ensefalitis).4

7. Pencegahan

Kunci pencegahan penyakit DBD adalah pengawasan yang ketat untuk pelaporan dini

hasil pemantauan kepadatan vektor sehingga pengambilan tindakan tidak terlambat saat

menerima laporan kasus dari lokasi wabah. Keberadaan jumantik memiliki peran vital

dalam pemberantasan DBD karena bertugas memantau populasi nyamuk penular DBD

dan jentiknya. Pemeriksaan jentik berkala dilakukan oleh jumantik yang bertugas

melakukan kunjungan rumah setiap 3 bulan. Hasil yang didapat jumantik dilaporkan

dalam bentuk Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu rasio antara jumlah rumah/bangunan yang

tidak ditemukan jentik dengan jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa dikali 100%. ABJ

merupakan indikator penyebaran Aedes aegypti. ABJ yang ditargetkan secara nasional

mencapai lebih dari 95%. ABJ sesungguhnya bukan jaminan akan adanya penurunan

jumlah kasus karena bisa saja daerah berpotensi sarang nyamuk yang tersembunyi atau

tidak terpantauseperti kaleng bekas di jalan, rumah kosong, lubang bambu/pohon, dan

sebagainya. Oleh karena itu, pada saat survei jentik memerlukan ketelitian dalam

memeriksatempat-tempat perkembangbiakan nyamuk.

Berdasarkan hasil penelitian di daerah Jakarta Utara disebutkan beberapa daerah

melaporkan bahwa ABJ telah mencapai 90%, bahkan ada pula yang mencapai 95%.

Namun pada kenyataannya, angka kasus penderita DBD masih tetap tinggi. Kenyataan

tersebut bermakna angka kasus penderita DBD tidak semata-mata berhubungan langsung

dengan ABJ. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat diduga angka ABJ yang tinggi

mungkin disebabkan oleh jumantik yang kinerjanya kurangbaik. Salah satu indikatornya

adalah jumantik kurang teliti dalam melakukan survei. Jumantik mungkin hanya

memeriksa tempat penampungan air yang besar seperti bak mandi, ember, dan drum,

Page 20: Laporan Tutorial Kelompok 3

sedangkan wadah yang kecil misalnya vas bunga, penampungan air di belakang kulkas,

penampungan tetesan air conditioner (AC), dan penampungan tetesan dispenser tidak

diperiksa. Tempat penampungan air di luar rumah seperti talangair, tangki air, botol

bekas, kaleng, wadah plastik, dan sebagainyaterkadang juga tidak diperiksa. Hal tersebut

mengakibatkan lepasnya jentik Aedes aegypti dari pemeriksaan.

Selain itu, sebagian pemilik rumah tidak mengijinkan rumahnya disurvei. Ada pula

rumah atau bangunan yang dikunci karena tidak dihuni atau penghuninya sedang pergi

sehingga terlewat dari pemeriksaan. Secara umum, peran jumantik dinilai cukup berhasil

dalam pencegahan DBD, namun terdapat beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi.

Pengalaman di lapangan dalam melakukan evaluasi kinerja jumantik biasanya mereka

tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat mengenai DBD dan

pencegahannya. Motivasi kepada masyarakat juga jarang diberikan padahal, ini penting

sekali untuk selalu diberikan dan diingatkan kepada masyarakat tentang pencegahan

DBD. Kalau program ini berjalan dengan baik maka masyarakat akan memiliki

pengetahuan yang cukup tentang DBD dan perilaku mereka terkontrol. Jumantik juga

perlu melakukan pengawasan pada tanah kosong seperti kebun dan kuburan yang sering

kali terlewati. Tempat-tempat seperti ini juga berpotensi menjadi tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.

Pada beberapa daerah endemis DBD, program jumantik berperan cukup efektif dalam

menurunkan kasus DBD. Salah satu daerah endemis yang memiliki kasus DBD tertinggi

pada tahun 2011 adalah Provinsi Bali. Program jumantik cukup berperan dalam

memantau kondisi lingkungan masyarakat di Kota Denpasar Bali. Ada petugas khusus

yang bergerak untuk bekerja ekstra dalam upaya pencegahan DBD. Fokus utamanya

adalah daerah perkotaan yang masyarakatnya cukup padat dan memiliki mobilitas tinggi.

Program jumantik dengan tenaga khusus tersebut dijalankan dan digaji setiap bulan.

Pemerintah Kota Denpasar memang dibebankan dana yang besar dalam pelaksanaan

program tersebut, namun bila dibandingkan anggaran untuk pengobatan DBD jika

kasusnya meledak diperkirakan akan jauh lebih besar. Contohnya, pada tahun 2010 di

Kota Denpasar kasusnya sempat meningkat drastis menjadi 4.431 kasus dengan 41

kematian. Saat ini, kasusnya sudah jauh menurun setelah program jumantik ini berjalan

lebih dari 2 tahun.4

Page 21: Laporan Tutorial Kelompok 3

C. MALARIA

1. Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yan disebabkan oleh plasmodium yang menyerang

eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria

memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Dapat berlangsung akut

ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi sistemik yang dikenal

sebagai malaria berat.1

Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala klinis penyakit malaria khas dan

mudah dikenal, karena demam yang naik turun an teratur dan disertai menggigil. Pada waktu itu

sudah dikenal febris tertiana dan febris kuartana. Selain itu ditemukan kelainan limpa, yaitu

splenomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu penyakit malaria disebut juga

sebagai demam kura.7

2. Hospes

Parasit malaria termasuk genus Plasmodium dan pada manuai ditemukan empat spesies:

Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plamodium ovale.7

3. Transmisi dan Epidemiologi

Morfologi dan Daur Hidup

Daur hidup keempat spesies Plasmodium pada manusia umunya sama. Proses tersebut terdiri

ataspase seksual eksogen (sporogoni) dalan badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual

(skizogoni) dalam badan hospes vertebrata.

Fase aseksual mempunyai dua daur, yaitu; 1) daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit)

dan 2) daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit) ataustadium jaringan dengan a)

skizogoni praeritrosit (skizogoni eksoeritrosit primer) setelah sporozoit masuk ke dalam sel hati

dan b) skizogoni eksoeritrosit sekunder yang berlangsung dalam hati. Hasil penelitian pada

malaria menunjukkan bahwa ada dua populasi sporozoit yang berbeda, yaitu sporozoit yang

secara langsung mengalami pertumbuhan dan sporozoit yang tetap “tidur” (dormant) selama

periode tertentu (disebut hipnozoit), sampai menjadi aktif kembali dan mengalami skozogoni.

Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae hanya terdaat satu generasi aseksual dalam hati sebelum

daur dalam darah dimulai; sesudah itu daur dalam hati tidak dilanjutkan lagi. Pada infeksi P.vivax

dan P.ovale daur eksoeritrosit berlangsung terus menerus sampai bertahun-tahun melengkapi

perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama (bila tidak diobati) serta banyak relaps.7

Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina mengigit manusia

dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah di mana sebagian besar dalam

Page 22: Laporan Tutorial Kelompok 3

waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel

parenkim hati mulailah perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes

schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum, dan

15 hari untuk plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk skizon hati

yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozit ke sirkulasi darah. Pada plasmodium

vivax dan plamodium ovale, sebagian skizon di dalam sel hati membentuk hionozoit yang dapat

bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada

malaria.

Setelah berada di dalam sirkulasi darah merozoit akan meynerang eritrosit dan masuk melalui

reseptor permukaan eritrosit. Pada Plasmodium vivax reseptor in berhubungan dengan antigen

Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy negatif tidak

terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk Plasmodium falciparum diduga suatu glycophorins,

sedangkan pada Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale beulum diketahui. Dalam waktu

kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring dan pada Plasmodium falciparum

menjadi stereo – headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma.

Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen

yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi

lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada plasmodium falciparum dinding eritrosit

membentuk tonjolan yng disebut knobyang nantiny penting dalam proses cytoadherence dan

rosetting. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi skizon dan bila skizon

pecah akan mengerluarkan 6-36 merozoitdan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Sikluas

aseksual ini pada Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale ialah 48

jam dan Plasmodium malariae adalah 72 jam.

Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila nyamuk

megnhisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual di dalam tubuh nyamuk. Setelah

terjadi perkawinan akan terbentuk zigot dan menjadi ookinet yang menembus dinding perut

nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi masak dan mengeluarkan

sporozoit yang akan berimigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi manusia.

Tingginya side positive rate (SPR) menetukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis

penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah di bagi menjadi:

Hipoemdemik ; bila parasit rate atau spleen rate 0 – 10%

Mesoendemik; bila parasit rate atau spleen rate 10 - 50%

Hiperendemik; bila parasit rate atau spleen rate 50 – 75%

Holoendemik; bila parasit rate atau spleen rate > 75%

Page 23: Laporan Tutorial Kelompok 3

Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemriksaan anak-anak usia 2 – 9 tahun. Pada

daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik

dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2 – 10 tahun),

sedangkan pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak dijumpai malaria serebral,

malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.1

4. Patogenesis dan Patologi

Setelah melalui jaringan hati Plasmodium falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam

sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami

fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara

aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrodit (EP) inilah yang bertanggung

jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada manusia.

Sitoadherensi. Sitoadherensi adalah perlekatan anatara EP stadium matur pada permukaan

endotel vaskular. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak di permukaan knob

EPmelekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskular.

Sekuestrasi. Sitoadherensi menyebabakan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.

Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang

mengalami sekuestrasi. Hanya Plasmodium falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada

plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada

organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh.

Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau eritrosit yang non-parasit.

Plasmodium yang dapat mengalami sitodherensi juga yang dapat melakukan rosetting. Rosetting

menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya

sitoadheren.

Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah mendapat stimulasi

dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-α, IL-1, IL-6, IL-3, LT, dan INF-g.1

5. Gejala Klinis

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi

penderita. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oelh jenis plasmodium, daerah asal infeksi (pola

resistensi terhadap pengobatan), umur, ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan

nutrisi, kemoprofilaksis, dan pengobatan sebelumya.1

Page 24: Laporan Tutorial Kelompok 3

Asimptomatik Demam (spesifik) Malaria Berat Kematian

Manifestasi umum malaria

Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Masa

inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum

terjadinya demam berupa kelesuhan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di

punggung, nyeri sendi dan tulang, anoreksia, demam ringan, perut tidak enak, diare ringan,

kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada plasmodium vivax dan

plasmodium ovale, sedangkan pada plasmodium falciparumdan malariae keluhan prodromal tidak

jelas bahkan gejala dapat mendadak.

Gejala klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin (15-60 menit);

mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung pada saat

mengigilsering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan menignkatnya

temperatur, diikuti periode panas; penderita muka merah , nadi cepat dan panas badan tetap tinggi

beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat, kemudian periode berkeringat; penderita

berkeringat banyak dan temperatur menurun, dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih

sering terjadi pada infeksi plasmodium vivax, pada Plasmodium falciparum menggigil dapat

berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P.falciparum,

36 jam pada P.vivax dan P.ovale, dan 60 jam pada P.malariae.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme

terjadinya anemia adalah: pengerusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara,

Faktor parasit:

- Resistensi obat

- Kecepatan multiplikasi

- Cara invasi

- Sitoadherensi

- Rosetting

- Polimorfisme antogenik

- Variasi antigenik

- Toksin malaria

Faktor penjamu:

- Imunisasi

- Sitokin proinflamasi

- Genetik

- Umur

- Kehamilan

faktor sosial dan geografi:

- Akses mendapat pengobatan

- Faktor-faktor budaya dan ekonomi

- Stabilitas politik

- Intensitas trasnimisi nyamuk

Manifestasi Klinis

Page 25: Laporan Tutorial Kelompok 3

hemolisis oleh karena prses complement mediated immune complex, eritrofagositosis,

penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Splenomegali sering dijumpai pada

penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limfa menjadi

bengkak, nyeri, dan hiperemis. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap

infeksi malaria

Beberapa keadaan klinis dalam perjalanan infeksi malaria ialah:

Serangan primer ; yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan

paroksismal yang terdiri dari dingin/mengigil, panas, dan berkeringat. Serangan paroksismal ini

dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita.

Periode latent; periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria.

Biasanya terjadi di antara dua serangan paroksismal.

Recrudenscense; berulangnya gejala klinis dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah

berakhirnya serangan primer. Recrudenscense dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinis

sesudah periode laten dari serangan primer

Recurrence; berulangnya gejala klinis atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan

primer.

Relaps atau Rechute; berulangnya gejala klinis atau parasitemia yang lebih lama dari waktu di

antara serangan periodic dari infeksi primer yaitu setelah periode yang lama dari masa laten

(sampai 5 tahun).1

Manifestasi Klinis Malaria Tertian

Inkubasi 12-17 hari, terkadang lebih panjang 12-20 hari. Pada hari-hari pertama panas ireguler,

kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau mengigil jarang

terjadi. Pada akhir minggu panas menjaji intermiten atau periodic tiap 48 jam dengan gejala klinis

trias malaria. Serangan paroksismal biasanya terjadi pada saat sore hari.

Manifestasi Klinis Malaria Falciparum / Malaria Tropika

Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler,

anemis, splenomegali, parasitemia, sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria

tropika mempunyai perlangsungan yang cepat dan parasitemia yang tinggi dan menyerang semua

bentuk eritrosit.

Manifestasi Klinis Malaria Quartana / M.Malariae

Page 26: Laporan Tutorial Kelompok 3

Manifestasi klinis seperti pada malaria tertian hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang

terjadi, splenomegali sering dijumpai, walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal terjadi

tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore.

Manifestasi Klinis Malaria Ovale

Merupakan bentuk paling ringan. Masai inkubasi 11-16 hari, serangan paroksismal 3-4 hari

terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi.1

6. Diagnosis Malaria

Diagnosis dapat ditegakkan dari pemeriksaan yang dilakukan dengan temuan spesifik malaria

Apusan darah tebal

(-) : SDr negative (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)

(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit / 100 LPB)

(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit / 100 LPB)

(+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit / 1 LPB)

(++++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit / 1 LPB.8

7. Terapi

ACT yaitu Artesdiaquin yang merupakan komnbinasi artesunat dengan amodiakuin. Setiap

kemasan trdiri dari 2 blister. Pertama adalah blister amodiakuin yang terdiri dari 12 tablet, tiap

tablet mengandung 153 mg amodiakuin basa setara dengan 200 mg amodiakuin. Yang kedua

adalah blister artesunat yang terdiri dari 12 tablet @ 50 mg. obat kombinasi diberikan peroral

selama 3 hari dengan dosis tunggal harian amodiakuin basa 10 mg/kgBB dan artesunat 4

mg/kgBB. Primakuin tablet berwarna jingga kecoklatan mengandung 15 mg primakuin basa yang

setara dengan 25 mg primakuin, peroral dengan dosis tunggal 0,75 basa mg/kgBB, diberikan

pada hari petama. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita

def.G6PD

No. Jenis Obat Jumlah Tablet per Hari Menurut Kelompok Usia

0-1 bl 2-11 bln 1-4 thn 5-9 thn 10-11 thn >15 thn

I Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

amodiakuin ¼ - 1 2 3 4

Primakuin - ½ ¼ ½ 2 2-3

II Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Page 27: Laporan Tutorial Kelompok 3

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

III Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Page 28: Laporan Tutorial Kelompok 3

D. CHIKUNGUNYA

1. Pendahuluan

Chikungunya merupakan penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oeh virus

chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes africanus. Untuk

pertama kalinya, virus chikungunya berhasil diidentifikasi di Afrika Timur pada tahun

1952. Dalam bahasa Swahili istilah chikungunya berarti kejang urat, berubah bentuk atau

bungkuk.Suku Swahili adalah suku yang bermukim di Negara Tanganyika di daerah

dataran tinggi Makonde, provinsi Newala. Istilah lain dari penyakit ini adalah dengue,

dyenga, abu rokap dan demam 3 hari. Istilah dengue pertama kali digunakan di Kuba

pada tahun 1928 karena kemiripan chikungunya dengan DBD.

Chikungunya ditandai dengan demam, myalgia atau atralgia, ruam-ruam, leukopeni,

dan limfadenopati.Meskipun wilayah serangannya luas dan penyebarannya cepat,

chikungunya jarang menimbulkan kematian, setidaknya dari berbagai laporan KLB yang

terjadi di Indonesia. Penyakit ini akan sembuh sendiri (self-limiting disease). Karena

vektornya nyamuk, chikungunya tergolong arthropoda-bornedisease, yaitu penyakit

yang disebarkan oleh arthropoda.

Sebenarnya chikungunya sudah lama kenal di Indonesia.Seorang dokter

berkebangsaan Belanda melaporkan penyakit ini pada abad ke-18. Penyakit yang

disebabkan oleh virus ini dilaporkan sebagai demam sendi (knokkel emerging koorts)

atau demam 5 hari (vijfdaagse koorts).Chikungunya tergolong “re-emerging disease”

karena setelah sekian lama mengalami penurunan, kasusnya kembali meningkat dan

penyebarannya semakin meluas di Indonesia mulai tahun 2004.7

2. Epidemiologi

Chikungunya tersebar di daerah tropis dan subtropis yang berpenduduk pada seperti

Afrika, India, dan Asia Tenggara.Di Afrika, virus ini dilaporkan menyerang di

Zimbabwe, Kongo, Angola, Kenya dan Uganda.Negara selanjutnya yang terserang

adalah Thailand pada tahun 1958; Kamboja, Vietnam, Sri Lanka, dan India pada tahun

1964.Pada tahun 1973 chikungunya dilaporkan menyerang di Philipina dan Indonesia.

Lokasi penyebaran penyakit ini tidak berbeda jauh dengan DBD karena vector

utamanya sama, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Di daerah endemis DBD sangat mungkin

terjadi juga endemis chikungunya.

Page 29: Laporan Tutorial Kelompok 3

Demam chikungunya biasanya tidak berakibat fatal. Akan tetapi, dalam kurun waktu

2005-2006 telah terjadi 200 kematian yang dihubungkan dengan chikungunya di Pulau

Reunion dan KLB yang tersebar luas di India, terutama di Tamil dan Kerala. Ribuan

kasus terdeteksi diberbagai daerah di India dan di Negara-negara yang bertetangga

dengan Sri Lanka setelah hujan lebat dan banjir pada Agustus 2006.Di selatan India

(Negara bagian Kerala), 125 kematian dihubungkan dengan chikungunya. Pada

Desembar 2006, di laporkan terjadi 3500 kasus di Maladewa dan lebih dari 60.000 kasus

di Sri Lanka dengan kematian lebih dari 80 orang.Di Pakistan telah terjadi lebih dari 12

kasus chikungunya pada Oktober 2006.Data terbaru Juni 2007 telah mencatat terjadinya

KLB yang menyerang sekitar 7000 penderita Kerala, India

Angka insidensi di Indonesia sangat terbatas.Demam chikungunya pertama kali

terjadi di Samarinda pada tahun 1973.Kasus selanjutnya terjadi di Kuala Tungkal (Jambi)

pada tahun 1980, diikuti Martapura, Ternate, dan Yogyakarta pada tahun 1983. Selama

hamper 20 tahun (1983-2000), belum ada laporan berjangkitnya penyakit ini, hingga

adanya laporan KLB demam chikungunya di Sumatera Selatan dan Aceh, di lanjutkan di

Bogor dan Bekasi, serta Purworejo dan Klaten pada tahun 2002. Pada 2004 KLB

menyerang sekitar 120 orang Semarang.7

3. Etiologi

Virus chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus alfa dari family

Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter sekitar 42 mm. Virus ini

bersama virus O;nyong-nyong dari genus virus alfa dan virus penyebab penyakit ‘Demam

nil Barat’ dari genus virus flavi menyebabkan gejala penyakit mirip dengue.

Sebelum menyerang manusia, 200-300 tahun yang lalu, virus ini telah menyerang

primate di hutan dan padang savanna di Afrika. Hewan pimata yang sering terjangkit

adalah Babon (Papio sp.) dan Cercopithecus sp. Meskipun belum ada penjelasan tentang

perubahan siklus serangan hewan primata → nyamuk → hewan primate menjadi manusia

→ nyamuk → manusia, karena tidak semua virus hewan dapat mengalami perubahan

tersebut, kemungkinan hal ini terjadi karena mutasi pada virus.7

4. Penularan

Seperti DBD,chikungunya endemic di daerah yang banyak di temukan kasus DBD.

Kasus DBD pada wanita dan anak-anak lebih tinggi dengan alas an mereka lebih banyak

Page 30: Laporan Tutorial Kelompok 3

berada di rumah pada siang hari saat nyamuk menggigit. KLB chikungunya bersifat

mendadak dengan jumlah penderita relative banyak.Selain manusia, virus chikungunya

juga dapat menyerang tikus, kelinci, monyet, babun dan simpanse.

Belum ada laporan jelas tentang penularan transovarial pada virus chikungunya.

Namun dengan adanya laporan tentang kemampuan nyamuk Aedes sp. yang bisa

menularkan penyakit secara transovarial pada kasus DBD, maka secara teoritis nyamuk

pun bisa menularkan penyakit chikungunya tanpa perlu menggigit manusia yang

terinfeksi terlebih dahulu.

Mekanisme penularan klasik terjadi apabila manusia yang sedang viremia, yaitu

biasanya terjadi 2 hari sebelumnya demam sampai 5 hari setelah demam, digigit oleh

nyamuk Aedes sp. dalam waktu8-10 hari (extrinsic incubation period). Virus dalam

kelenjar air liur nyamuk akan berkembang biak dan kemudian di tularkan ke manusia lain

yang digigt oleh nyamuk pada gigitan berikutnya. Dalam tubuh manusia,virus

memerlukan waktu 3-7 hari untuk berkembang, sebelum akhirnya menimbulkan gejala

klinis.

Kekebalan individu akan terjadi setelah penyembuhan penyakit ini. Namun belum

ada kejelasan yang pasti tentang lamanya kekebalan ini bisa bertahan meskipun ada

laporan tentang epiddemi setiap 20 tahunan yang dikaitkan dengan perubahan

iklim.Serangan ulang chikungunya juga belum banyak dilaporkan. Belum begitu jelas

adanya kepekaan individu terhadap chikungunya, termasuk ada atau tidaknya faktor ras,

gender, atau karakteristik lain yang berpengaruh.

Penularan chikungunya yang cepat hingga terjadinya KLB dipengaruhi oleh :

Perubahan iklim dan cuaca yang mempengaruhi perkembangan populasi nyamuk.

Mobilisasi penduduk dari dan ke daerah yang terinfeksi.

Perilaku masyarakat.

Sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan tempat berkembang biaknya nyamuk.7

5. Gejala, Tanda Dan Diagnosis

Masa inkubasi chikungunya adalah 2-12 hari dengan rata-rata 3-7 hari.Gejala

penyakit di awali dengan demam (>40oC) mendadak, disertai menggigil 2-5 hari,

kemudian munculnya ruam kulit dan limfodenopati, atralgia, myalgia, atau artritis yang

Page 31: Laporan Tutorial Kelompok 3

merupakan tanda dan gejala khas chikungunya.Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau

ngilu saat berjalan kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki.Keluhan arthralgia ini

ditemukan sekitar 80% pada penderita chikungunya dan biasanya sendi yang sering

dikeluhkan adalah sendi lutut,siku, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang

belakang. Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan lutut tertekuk dan

berusaha mengurangi dan membatasi gerakan. Gejala ini dapat bertahan selama beberapa

minggu, bulan bahkan ada yang sampai bertahan beberapa tahun sehingga dapat

menyerupai Rheumatoid Artritis. Nyeri otot pula bisa terjadi pada seluruh otot terutama

pada otot penyangga berat badan seperti pada otot bagian leher, daerah bahu dan anggota

gerak (Ng, K.W., et al 2009).Dibandingkan dengan DBD, gejala chikungunya muncul

lebih dini. Perdarahan jarang terjadi.7

Infeksi CHIK merupakan penyakit infeksi yang melumpuhkan penderita ditandai

dengan gejala demam, sakit kepala, mual, muntah dan nyeri otot dan sendi. Dilaporkan

bahwa attack rate pada populasi yang rentan berkisar antara 40-85% dan rasio

simtomatik terhadap asimtomatik adalah 1,2:1. Masa inkubasi penyakit antara 2-12 hari,

tetapi umumnya 3-7 hari. Setelah masa inkubasi, suhu badan mendadak meningkat

sampai 390-400C diikuti gejala menggigil yang intermiten. Fase akut ini berlangsung 2-3

hari, selanjutnya demam menghilang untuk 1-2 hari dan kemudian timbul lagi sehingga

memberi kurve demam dengan gambaran seperti “pelana” (saddle-back fever). Demam

pada CHIK secara tipikal berlangsung beberapa hari tetapi pada beberapa kasus rasa

lemah (fatigue) yang menyertai penyakit ini dapat berlangsung lama seperti pada dengue,

O’nyong-nyong, West Nile atau infeksi arbovirus lain. Selain demam, gejala klasik CHIK

adalah myalgia, arthralgia, dan rash. Arthralgia yang terjadi sifatnya poliartikuler,

berpindah (migratory), dan terutama mengenai sendi-sendi kecil dari tangan, pergelangan

tangan, pergelangan kaki dan kaki, sedangkan sendisendi besar sedikit saja dikenai.

Pembengkakan sendi terjadi sebagai akibat pengumpulan cairan. Myalgia umum dan

nyeri otot bagian belakang dan bahu adalah gejala yang biasa dijumpai. Anak-anak jarang

sekali mengalami nyeri sendi. Penderita dengan manifestasi artikuler ringan biasanya

bebas dari gejala nyeri sendi setelah beberapa minggu, tetapi mereka yang gejala gejala

artikulernya berat memerlukan waktu beberapa bulan untuk sembuh secara menyeluruh.

Page 32: Laporan Tutorial Kelompok 3

Manifestasi kulit adalah tipikal untuk penyakit ini dan pada banyak penderita berupa

kemerahan (flush) di daerah muka dan badan. Suatu kelainan berupa ruam (rash)

makulopapuler mengikuti gejala flushing tersebut. Ruam makulopapuler terutama

terdapat pada badan dan lengan tetapi telapak tangan dan kaki dapat juga dikenai. Rasa

gatal dan iritasi dapat menyertai erupsi ini. Pada saat berlangsungnya keadaan akut dari

penyakit, kebanyakan penderita mengeluh sakit kepala.

Fotofobia dan nyeri retro-orbital dapat dijumpai. Pada bayi dan anak-anak, flushing

yang jelas dan adanya ruam makulopapuler secara dini atau urtikaria adalah petunjuk

yang bermanfaat. Namun, gejala-gejala yang ditampilkan oleh CHIK sering kali secara

klinis tidak dapat dibedakan dari demam dengue. Isolasi yang simultan dari kedua virus

tersebut dari sera penderita pernah dilaporkan sebelumnya dan merupakan petunjuk

adanya infeksi gabungan (dual infection). Oleh karena itu sangat penting untuk

membedakan infeksi virus CHIK dari demam dengue. Secara umum, manifestasi

perdarahan tidak dijumpai pada infeksi virus CHIK. Pada infeksi yang tanpa komplikasi,

gejala akut akan menghilang dalam waktu sekitar 10 hari dan mayoritas penderita akan

sembuh secara total tetapi ada laporan mengenai beberapa kasus yang masih menderita

nyeri sendi selama beberapa tahun setelah sembuh.

Komplikasi yang serius sangat jarang dan kasus-kasus yang fatal belum pernah secara

konklusif ditemukan.10

Diagnosis di tegakkan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium, yaitu adanya

antibody IgM dan IgG dalam darah.

Definisi kasus terdiri dari :

Kasus tersangka

Di tandai dengan gejala klinis seperti yang telah disebutkan diatas, mulai dari demam

mendadak hingga fotopobia.

Kasus probable

Ini merupakan gejala pada kasus tersangka, di tambah hasil laboratorium serologi

positif dari sampel darah tunggal yang di ambel pada fase akut maupun

penyembuhan.

Kasus confirm

Ini merupakan kasus probable dan salah satu dari hal berikut :

Page 33: Laporan Tutorial Kelompok 3

Peningkatan titer antibody 4 kali pada pasangan sampel serum darah.

Antibody IgM positif

Isolasi virus

Hasil pemeriksaan RT-PCR positif asam nukleat virus chikungunya.

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosis,dengan bahan

darah vena 5 cc pada fase akut (utama) dan fase penyembuhan. Pada pemeriksaan

hematologi rutin dapat dijumpai kadar hemoglobin yang normal, trombositopenia,

leukopenia atau leukositosis, relative limfositosis pada hitung jenis dan peningkatan

LED. Pemeriksaan kimia klinis menunjukkan fungsi hati bisa terganggu apabila terjadi

hepatomegaly yang ditandai dengan SGOT/SGPT dan bilirubin direk atau total yang

meningkat.

Pemeriksaan serologi yang lebih pasti dilakukan dengan rapid diagnostic test (RDT),

ELISA, Hemaglutinase Inhibisi (HI), Immunofluorescent assay (IFA) untuk mendeteksi

IgM dan IgG atau dengan polymerase chain reaction (PCR) untuk memeriksa materi

genetic virus.

Metode pemeriksaan RDT dapat dilakukan di hamper semua rumah sakit, meskipun

dengan akurasi hasil yang terbatas. Pemeriksaan ELISA dan HI dapat dilakukan oleh

Balitbankes Jakarta, Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) sentinel di provinsi tertentu,

dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL).7

6. Pengobatan

Karena belum ada vaksin dan obat untuk virus chikungunya, maka pengobatan yang

di berikan meliputi :

a. Pengobatan suportif

Istirahat tirah baring dilakukan untuk mempercepat penyembuhan, bersama dengan

penambahan vitamin yang meningkatkan daya tahan tubuh.penderita di beri minum

cukup.rehabilitasi dengan fisioterapi untuk nyeri sendi juga perlu di pertimbangkan.

b. Pengobatan analgetik

Page 34: Laporan Tutorial Kelompok 3

Obat antipiretik atau analgesic non-aspirin dan anti-inflamasi non steroid (OAINS)

diberikan untuk mengurangi demam dan rasa sakit pada persendian serta mencegah

kejang.

c. Infus

Diberikan apabila perlu, terutama bagi penderita malas minum, berguna untuk

menjaga keseimbangan cairan.

Indikasi rawat tergantung dari berat atau ringannya penyakit.Meskipun demam sudah

redah, keluhan pada sendi mungkin bisa berlangsung lama. Suatu penelitian

melaporkan bahwa dari 107 penderita, sekitar 88% sembuh sempurna, 4% mengalami

kekakuan sendi, 3% mengalami kekakuan sendi menetap tapi tidak merasa nyeri,

serta 5% mengalami kekakuan sendi yang menetap dan mengalami efusi persendian.7

7. Komplikasi

Komplikasi sampai kematian sangat jarang terjadi, meskipun kemungkinan

neuroinvasif dan perdarahan bisa saja terjadi.Pada anak-anak, komplikasi yang mungkin

terjadi berupa syok, miokarditis dan kolapsya pembuluh darah atau ensefalopati.7

Penyebab morbiditas yang tertinggi adalah dehidrasi berat, ketidakseimbangan

elektrolit dan hipoglikemia. Beberapa komplikasi lain yang dapat terjadi meskipun jarang

berupa gangguan perdarahan, komplikasi neurologis, pneumonia dan gagal nafas.9

8. Pencegahan

Upaya pencegahan chikungunya hamper semua dengan pencegahan untuk penyakit

DBD. Penting bagi masyarakat untuk melakukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk

secara rutin, menggunakan obat anti nyamuk pada jam-jam saat nyamuk banyak mengigit

dan mengoleskan losion anti-nyamuk pada anak sekolah.Karena penyakit ini berpotensi

menyebabkan KLB, penderita chikungunya perlu diisolasi meskipun tidak di rawat di

rumah sakit. Isolasi yang tepat akan sangat beguna untuk mencegah penularan cepat

penyakit ini.

Setiap laporan kasus harus segera ditindak lanjuti dengan penyelidikan epidemiologis

(PE) untuk memastikan diagnosis kasus dan pencegahan KLB.Setelah definisi kasus di

selesaikan, masyarakat perlu dikumpulkan untuk diberi penyuluhan tentang pencegahan,

seperti pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik secara rutin, dan tindakan dini

jika terjadi gejala dan tanda-tanda seperti chikungunya.

Page 35: Laporan Tutorial Kelompok 3

Secara umum, upaya pengendalian penyakit terdiri dari :

a. Pencegahan gigitan nyamuk

Dilakukan dengan pemasangan kelambu, penggunaan anti nyamuk, dan pemakaian

obat nyamuk oles, bakar atau semprot.Berdasarkan laporan hasil penelitian, tidur

siang berhubungan dengan gigitan nyamuk Aedes, sehingga memakaikan baju lengan

panjang dan celana panjang kepada anak yang tidur siang merupakan upaya

perlindungan yang penting.

b. Pemberantasan jentik

Istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sebenarnya kurang tepat karena nyamuk

beristirahat disemak-semak, gantungan baju bekas pakai, gorden dan tempat sejuk

dan lembap lainnya. Nyamuk Aedes sp akan bertelur dipermukaan air yang jernih,

seperti tempat penampungan air, vas atau pot bunga, air buangan dispenser,

penampungan air AC, dan tempat minum burung. Pemberantasan jentik dibagi

menjadi 3 cara, yaitu :

Fisik, dengan 3 M plus

Biologi, dengan menebar ikan pemakan jentik dipempungan air

Kimiawi, dengan pemberian larvasida berupa :

Temephos, berbentuk granul, dosis 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan)

untuk 100 liter air yang diberikan setiap 3 bulan.

Insec growth regulator (ISG), seperti methroprene dan phyriroxiphene yang

bisa menjaga jentik sampai 3-6 bulan.

c. Pemberantasan nyamuk

Dilakukan untuk memutuskan rantai penularan dengan penyemprotan (fogging)

massal menggunakan insektisida cair 2 kali dengan selang waktu 1 minggu.7

9. Prognosis

Penyakit ini bersifat self limiting diseases, tidak pernah dilaporkan adanya kematian

sedangkan keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Penelitian sebelumnya pada 107 kasus

infeksi Chikungunya menunjukkan 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan

sendi atau mild discomfort, 2,8% mempunyai persistent residual joint stiffness tapi tidak

Page 36: Laporan Tutorial Kelompok 3

nyeri dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persistent, kaku dan sering mengalami efusi

sendi.9

Page 37: Laporan Tutorial Kelompok 3

Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III, Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

3. Nelwan, RHH. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta : Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

4. Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue. Jakarta : CV Sagung Seto.5. Wiradharma, Danny. 1999. Diagnosis Cepat Dema Berdarah Dengue. Jakarta : Bagian

Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.6. Pratamawati, Diana Andriyani. 2012. Peran Juru Pantau Jentik dalam Sistem

Kewaspadaan Dini Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit.

7. Sutanto,Inge & Suhariah, Is, dkk. 2013. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi IV. Jakarta : FKUI

8. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya Edisi II. Jakarta : Penerbit Erlangga

9. Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 2012. Chikungunya.

10. Suriptiastuti. 2007. Re-emergensi Chikungunya : Epidemiologi dan Peran Vektor pada

Penyebaran Penyakit. Jakarta : Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.