46
LAB/SMF Ilmu Kesehatan THT Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman ABSES SUBMANDIBULA SINISTRA DAN ABSES PARAFARING SINISTRA Oleh : Rina Rahayu 04.45380.000170.09 Pembimbing: dr. Selvianti, Sp.THT Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

LapSus Abses Submandibula Et Parafaring Sinistra

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan kasus

Citation preview

LAB/SMF Ilmu Kesehatan THT Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

ABSES SUBMANDIBULA SINISTRA DAN

ABSES PARAFARING SINISTRA

Oleh :

Rina Rahayu

04.45380.000170.09

Pembimbing:

dr. Selvianti, Sp.THT

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan THT

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

2012

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih ruang

potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai

sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga tengah dan leher.

Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam

yang terlibat.1 Abses leher dalam meliputi abses peritonsil, abses parafaring, abses

submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).2

Dari penelitian didapatkan bahwa angka kejadian abses submandibula berada di

bawah abses peritonsil dan retrofaring. Namun dewasa ini, angka kejadiannya

menduduki urutan tertinggi dari seluruh abses leher dalam, 70 – 85% dari kasus

disebabkan oleh infeksi dari gigi, selebihnya karena sialadenitis, limfadenitis, laserasi

dinding mulut atau fraktur mandibula. Selain itu, angka kejadian juga ditemukan lebih

tinggi pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap. Komplikasi juga

lebih sering pada daerah yang tidak mudah mendapatkan pengobatan. Di RSUP Dr. M.

Djamil Padang dari Januari 2001- Juni 2006 terdapat 11 kasus abses submandibula.3

Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan drainase.

Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun

anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang timbul. Drainase abses

dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu insisi eksterna dan intra oral.1

I.2. Tujuan

2

1. Memenuhi salah satu syarat kepanitraan klinik di Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher fakultas Kedokteran Universitas

Mulawarman RSUD Abdul Wahab Sjahrani

2. Memperkaya ilmu pengetahuan tentang abses submandibula dan abses parafaring,

sehingga dapat melakukan diagnosis dini pada tingkat pelayanan dasar

3. Melatih keterampilan dalam melaporkan dan menganalisa kasus dengan baik.

BAB II

3

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam

sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.3 Abses leher dalam meliputi abses

peritonsil, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).2

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus

pada daerah submandibula. Pada umumnya abses submandibula berasal dari proses

infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula dan kelanjutan dari

ruang leher dalam lain.4 Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di

dalam ruang parafaring.2

II.2 ANATOMI

1. Ruang Submandibula

Ruang submandibula memiliki batas inferior yaitu lapisan superficial fascia

leher dalam memanjang dari hyoid ke mandibula, batas lateral dibentuk oleh

mandibula itu sendiri dan batas superior yaitu mukosa dari dasar mulut.

Gambar 2.1. Ruang Submandibula dan Sublingual.

Ruang submandibula terbagi atas ruang sublingual dan submaksila yang

dipisahkan oleh Muskulus mylohyoid. Ruang submaksila terdiri dari kelenjar

4

sublingual, Nervus Hipoglosus, dan Duktus Wharton yang berhubungan dengan

ruang submaksila melalui batas posterior dari Muskulus Miohyoid, disekitar inilah

pus dapat dengan mudah terkumpul. Ruang submaksila dibagi oleh anterior belly

Muskulus digastrikus menjadi kompartemen sentral submental dan ruang

submaksila lateral.3

2. Ruang Parafaring

Ruang parafaring (fosa faringo-maksila), berbentuk kerucut dengan dasarnya

yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada

kornu mayus os. Hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. Konstriktor

faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat

dengan m. Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi

menjadi dua bagian yang sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat

padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat

mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk

mastoiditis atau pteroisitis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di

bagian posterior (post stiloid) berisi a. Karotis interna, v. Jugularis interna, n.

Vagus, yang dibungkus dalam satu sarung yang disebut selubung karotis (carotid

sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang

tipis.2

Gambar 2.2 Potongan koronal melalui ruang parafaring.2

5

Gambar 2.3 Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.

Ket: SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal space;

CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland; GGM:

genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle; MPM: medial

pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal muscle.5

II.3 EPIDEMIOLOGI

Penelitian Huang pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher

dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak

kedua setelah abses parafaring (38,4%), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis

(7%) dan retrofaring (5,9%).6 Penelitian Yang pada 100 kasus abses leher dalam yang

diteliti April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan

perempuan 3:2. Abses submandibula merupakan kasus terbanyak (35%), diikuti oleh

abses parafaring (20%), mastikator (13%), peritonsil (9%), sublingual (7%), parotis

(3%), infra hyoid (26%), retrofaring (13%), ruang karotis (11%).7

Di bagian THT Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama periode Oktober

2009 sampai September 2010 didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang. Abses

submandibula (26%) merupakan kasus kedua terbanyak setelah abses peritonsil (32%),

diikuti abses parafaring (18%), abses retrofaring (12%), abses mastikator (9%), dan

abses pretrakeal (3%).8

II.4 ETIOLOGI

6

Infeksi leher dalam potensial terjadi pada ruang faring. Sumber infeksi dapat

berasal dari gigi-geligi (dentogenic infection) faring, atau akibat trauma pada saluran

nafas dan organ cerna atas (upper aerodigetive trauma), dimana terjadi perforasi pada

membrana mukosa pelindung mulut atau ruang faring. Selain itu, infeksi kelenjar liur,

infeksi saluran napas atas, benda asing dan intervensi alat-alat medis (iatrogenic) dapat

menjadi faktor penyebab abses leher dalam. Namun masih terdapat sekitar 20% dari

kasus yang terjadi, penyebabnya belum dapat diketahui. Kemudian penyalahgunaan

pemakaian obat-obatan intravena dapat juga menyebabkan terjadinya kasus penyakit

ini.9

Pada abses submandibula, infeksi terjadi akibat perjalanan dari infeksi gigi dan

jaringan sekitarnya yaitu pada P1, P2, M1, M2 namun jarang terjadi pada M3. Beberapa

jenis bakteri yang menjadi penyebab abses submandibula ini dibagi menjadi golongan

bakteri Aerob dan Anaerob.10

Untuk golongan aerob terdiri dari :10

1. Alfa Streptokokus hemolitikus

2. Stafilokokus

3. Bakteroides

Sedangkan yang termasuk kedalam golongan bakteri anaerob yaitu:10

1. Peptostreptokokus

2. Peptokoki

3. Fusobakterium nukleatum

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan

analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman

(aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior)

yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris.

2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus

paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk

terjadinya abses ruang parafaring.

3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.1

7

II.5 PATOFISIOLOGI

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang

sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohiod. Ruang submaksila

selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot

digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk diruang submandibula atau salah satu

komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari dareah kepala dan leher.2

Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui

beberapa proses, diantaranya:3

1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut ,wajah atau infeksi

leher superficial ke ruang leher dalam melalui sistem limfatik.

2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi abses

fokal.

3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang leher dalam.

4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.

Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah

sekeliling batas posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-akar gigi molar

dibawah mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi dapat timbul

di trigonum submandibularis.3

Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan

membentuk abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring.

Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang

sublingual dan submental. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu

adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah

garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas

garis perlekatan tersebut.10

8

Gambar 2.4 Jalur infeksi odontogenik.10

II.6 DIAGNOSIS

II.6.1 Abses Submandibula

Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,

dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos jaringan lunak leher atau tomografi

komputer.9

Tanda dan gejala dari suatu abses leher dalam timbul oleh karena :9

1. Efek massa atau inflamasi jaringan atau cavitas abses pada sekitar struktur abses.

2. Keterlibatan daerah sekitar abses dalam proses infeksi.

A. Anamnesis

Beberapa gejala berikut dapat ditemukan pada pasien dengan abses submandibula

adalah :2

1. Asimetris leher karena adanya massa atau limfadenopati pada sekitar 70%.

2. Trismus karena proses inflamasi pada m.pterigoides

3. Torticolis dan penyempitan ruang gerak leher karena proses inflamasi pada leher.

Riwayat penyakit dahulu sangat bermanfaat untuk melokalisasi etiologi dan

perjalanan abses pasien harus ditanya :2

1. Tentang riwayat tonsillitis dan peritonsil abses.

2. Riwayat trauma retrofaring contoh intubasi

9

3. Dental caries dan abses.

B. Pemeriksaan Klinik

Diagnosis untuk suatu abses leher dalam kadang-kadang sulit ditegakkan bila

hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Ditemukan pembengkakan

dibawah rahang baik unilateral maupun bilateral dan berfluktuasi. Karena itu diperlukan

studi radiografi untuk membantu menegakkan diagnosis, menyingkirkan kemungkinan

penyakit lainnya dan perluasan penyakit.3

Pemeriksaan tomografi komputer dapat ditemukan daerah dengan densitas

rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan oedem jaringan sekitar

abses. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas test dilakukan untuk mengetahui jenis kuman

dan antibiotik yang sesuai.3

Gambar 2.5 Abses submandibula3

C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan anjuran yang digunakan di antaranya:2

1. Roentgen leher posisi lateral

Terdapat gambaran tissue swelling, tampak sebagai bayangan radioopak.

2. CT-scan

Dengan menggunakan kontras, merupakan gold standar untuk mengevaluasi

infeksi pada daerah leher dalam. Abses akan tampak sebagai bangunan atau lesi, air

fluid level, dan lokulasi. Pemerksaan fisik yang ditunjang CT-scan memiliki sensitivitas

95%.

10

Gambar 2.6 CT-scan pasien dengan keluhan trismus, pembengkakan submandibula

yang nyeri dan berwarna kemerahan selama 12 hari. CT-scan axial menunjukkan

pembesaran musculus pterygoid medial (tanda panah), peningkatan intensitas ruang

submandibular.11

Gambar 2.7 Axial CT-scan menunjukkan infeksi pada ruang submandibula. Tampak

abses multifokal.11

II.6.2 Abses Parafaring

Diagnosis abses parafaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berupa demam, nyeri pembengkakan di

sekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke

arah medial.12

Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi

komputer. Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur

11

diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi

tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di

dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.12

Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan

antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk

mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau

pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu

menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas

rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak

disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis

kuman dan pemberian anitbiotika yang sesuai.12

II.7 PENATALAKSANAAN

II.7.1 Abses Submandibula

Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah antibiotik (parenteral).

Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan

perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan

secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup tehadap

kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram negatif) adalah pilihan terbaik

mengingat kuman penyebabnya adalah campuran. Antibiotik diberikan selama kurang

lebih 10 hari.1

Jika abses telah terbentuk, maka dilakukan evakuasi abses. Evakuasi abses dapat

dilakukan dengan anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau

eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat

yang paling brfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses.1

II.7.2 Abses Parafaring

Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.

Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan

lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan

dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang diambil.

Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring. Dilakukan

anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Insisi ekstranasal

dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan yang jelas.

12

Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi atau

diatas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu cunam melengkung

dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut, kemudian secara hati-hati diperluas dengan

merenggangkan cunam. Suatu insisi lain boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain

dipasang dan dijahit. Jika ditemukan suatu kavitas yang besar, sekitar drain boleh

dimasukan tampon longgar dengan kassa iodoform. Kassa dikeluarkan setelah 1-2 hari,

sedangkan drain didiamkan selama kira-kira 1 minggu.

Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah

kartilago krikoid, ujung kornu mayor os hyoid, prosesus stiloid, tepi dalam M.

Sternokleidomastoideus, dan bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior M.

Digastrikus.13

II.8 KOMPLIKASI

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung

(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering

meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan

ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid

medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial

lainnya.11

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah

menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses

juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis

mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehingga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi

periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.11

II.9 PROGNOSIS

Pada awalnya, kematian yang terjadi akibat kasus abses submandibula ini lebih

dari 50% kasus. Namun seiring dengan penggunaaan antibiotik yang semakin luas,

angka mortalitas tersebut turun hingga mencapai di bawah 5%. Penggunaan antibiotik

intravena memberikan prognosis yang baik jika digunakan pada masa-masa awal kasus

penyakit. Kemudian tindakan operasi dilakukan jika terjadi obstruksi jalan napas, abses

13

yang terlokalisir dan kegagalan penggunanaan antibiotik untuk meningkatkan

kemungkinan kesembuhan.10

BAB III

LAPORAN KASUS

III.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Abdul Holik

Jenis Kelamin : Laki laki

Umur : 44 tahun

Alamat : Jalan dr. Soetomo No. 55 Samarinda

Pendidikan : S1

Pekerjaan Orang tua : Dosen

Masuk Rumah Sakit tanggal 24 Januari 2012

III.2 Anamnesa

Anamnesa (autoanamnesis) dan pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 23 Februari

2012

Keluhan Utama :

Bengkak pada rahang bawah kiri

14

Riwayat Penyakit Sekarang

Bengkak pada rahang bawah kiri dirasakan pasien sejak 4 hari sebelum MRS,

bengkak semakin lama semakin besar. Bengkak disertai adanya nyeri dan panas

pada rahang bawah terutama di sebelah kiri. Pasien susah membuka mulut sejak

3 hari sebelum MRS, pasien sulit makan, minum dan berbicara. Pasien juga

mengeluhkan adanya demam sejak 3 hari sebelum MRS. Awalnya pasien

mengeluhkan gusi yang bengkak dan nyeri pada gigi geraham terakhir di rahang

kiri bawah sejak 2 minggu sebelum MRS, yang kemudian diikuti dengan

pembengkakan pada rahang bawah kiri pasien. Pasien memeriksakan dirinya ke

puskesmas 1 minggu sebelum MRS dan mendapatkan terapi Amoxicilin,

dexametason dan ibuprofen, namun keluhan tidak berkurang dan rahang bawah

kiri menjadi bengkak.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengeluhkan gusi pada gigi geraham terakhir di rahang kiri

bawah sering mengalami bengkak dan nyeri dalam satu tahun terakhir

ini. Keluhan biasanya mereda dengan minum obat ponstan yang dibeli

pasien di apotek.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita pembengkakan atau sakit di

leher.

III.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Berat Badan : 75 kg

Tanda Vital

Nadi : 92 x/menit

RR : 20 x/menit

15

TD : 120/80 mmHg

Temperature : 37,8 0C

Status Generalisata

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokhor, reflek

cahaya langsung (+/+), exoftalmus (-/-)

Hidung :

Hidung Dextra Sinistra

Kulit Luar Massa (-)

Deformitas (-)

Massa (-)

Deformatis (-)

Vestibulum Rambut (+), sekret (-),

furunkel (-)

Rambut (+), sekret (-),

furunkel (-)

Septum Deviasi (-) (-)

Rongga Hidung Mukosa hiperemi (-),

massa (-)

Mukosa hiperemi (-),

massa (-)

Dasar Hidung Sekret (-), krusta (-) Sekret (-), krusta (-)

Concha Inferior Tidak terlihat Tidak terlihat

Nyeri Tekan

a. Pipi

b. Pangkal hidung

c. Dahi

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

(-)

Mulut : trismus 2 cm, fetor (+), gigi geligi : sulit dievaluasi

Tenggorok : sulit dievaluasi

Telinga :

Telinga Dextra Sinistra

Daun Telinga Normotia Normotia

Liang Telinga Hiperemis (-), sekret (-),

serumen (+)

Hiperemis (-), sekret (-),

serumen (+)

Nyeri tarik (-) (-)

Membran Timpani Hiperemi (-), posisi Hiperemi (-), posisi

16

normal, perforasi (-),

pulsasi (-)

normal, perforasi (-),

pulsasi (-)

Nyeri tekan Tragus (-) (-)

Retroaurikular Nyeri tekan (-), sikatrik (-),

fistel (-)

Nyeri tekan (-), sikatrik (-),

fistel (-)

Leher : asimetris pada regio submandibula sinistra oedem (+), eritem (+),

kalor (+), nyeri tekan (+), fluktuasi (+), tidak ada pembesaran KGB,

tidak ada pembesaran Tiroid

Thoraks

Paru : Inspeksi : kedua hemithoraks simetris

Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri, massa (-)

Perkusi : sonor dikedua lapangan paru

Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictuscordis teraba pada apeks

Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Flat, benjolan (-), bekas operasi (-)

Palpasi : soefl, massa (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstrimitas : akral hangat, oedema (-), sianosis (-)

17

III.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah

Tanggal 22 Februari 2012

Leukosit : 23.900/mm3

Hemoglobin : 13,5 gr/dl

Hematokrit : 39,1 %

Trombosit : 264.000/mm3

GDS : 104 mg/dl

HBSAg : (-)

Pemeriksaan Radiologi

CT-Scan: Tampak gambaran hipodens pada ruang submandibula sinistra dan

ruang parafaring sinistra

Kesan : Abses submandibula sinistra et abses parafaring sinistra

18

III.5 Diagnosis Banding

1. Abses Submandibula et Parafaring Sinistra

2. Parotitis

3. Angina Ludovici

III.6 Diagnosis Kerja

Abses Submandibula et Parafaring Sinistra

III.7 Penatalaksanaan

A. Pembedahan

Dilakukan insisi drainase pada tanggal 23 Februari 2012.

B. Medikamentosa

- IVFD RL/D5 10 tpm: 15 tpm

- Injeksi Ceftriaxone 2x2 gr IV (skin test)

- Injeksi Metronidazole 3x500 mg IV

- Injeksi Ranitidin 2x1 ampul

- Injeksi Tramadol 2x1 ampul

Terapi post operasi

- Inj. Ceftriaxone 2x2 gr IV

- Drip Metronidazole 3x500 mg IV

- Drip Tradosik (tramadol) 3x1 ampul IV

- Inj. Transamin (as. Traneksamat) 2x500 mg IV

III.8 Follow Up

Date Subjective(S), Objective (O),

Assesment (A)

Planning therapy

22-02-2012

L: 23.900/mm3

Hb: 13,5 gr/dl

Ht: 39,1 %

T: 264.000/mm3

S : Nyeri dan bengkak rahang kiri (+),

trismus (+), sulit menelan (+), sulit

bicara (+)

O : composmentis, sakit sedang

TD 140/90 mmHg

Rencana insisi drainase

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Injeksi Ceftriaxone

2x2 gr IV (skin test)

Injeksi Metronidazole

19

GDS: 104 mg/dl N 96x /menit

RR 20x / menit

T= 37,6 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (+), kalor (+)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra

3x500 mg IV

Injeksi Ranitidin 2x1

ampul

Injeksi Tramadol 2x1

ampul

23-02-2012 S : Nyeri dan bengkak rahang kiri (+),

trismus (+), sulit menelan (+), sulit

bicara (+), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 140/90 mmHg

N 96x /menit

RR 20x / menit

T= 37,6 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (+), kalor (+)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra

Terapi post opx:

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x2 gr

IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Transamin (as.

Traneksamat) 2x500

mg IV

24-02-2012 S : Nyeri dan bengkak rahang kiri (+),

trismus (+), sulit menelan (+), sulit

bicara (+), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 120/80 mmHg

N 92x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (+), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari I

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x2 gr

IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

20

25-02-2012 S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+),

trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 140/90 mmHg

N 96x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (+), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari II

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x2 gr

IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

26-02-2012

DL:

Hb: 9,9

L: 17.400

Ht: 28%

T: 152.000

GDS: 120

S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+)

<, trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 130/80 mmHg

N 96x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (+), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari

III

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x2 gr

IV stop

Drip Ciprofloxacin

2x200 mg IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

SF 1x1 tab

Konsul gigi dan mulut

27-02-2012 S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+)

<, trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Drip Ciprofloxacin

2x200 mg IV

21

TD 130/80 mmHg

N 96x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (+), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari

IV

Gigi & mulut: Impaksi Molar 3, Pro

odontektomy

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

SF 1x1 tab

Pro CT scan ulang

Pro foto panoramic

28-02-2012 S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+)

<, trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 120/80 mmHg

N 92x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (-), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari

V

Gigi & mulut: Impaksi Molar 3, Pro

odontektomy

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Drip Ciprofloxacin

2x200 mg IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

SF 1x1 tab

Pro CT scan ulang

22

Hasil Uji Kepekaan Antibiotik

23

Perawatan hari ke V

CT-Scan ulang tanggal 28 Februari 2012

24

Date Subjective(S), Objective (O),

Assesment (A)

Planning therapy

29-02-2012 S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+)

<, trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 120/80 mmHg

N 92x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (-), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari

VI

Gigi & mulut: Impaksi Molar 3, Pro

odontektomy

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Drip Ciprofloxacin

2x200 mg IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

SF 1x1 tab

01-03-2012 S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+)

<, trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 120/80 mmHg

N 92x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (-), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari

VII

Gigi & mulut: Impaksi Molar 3, Pro

odontektomy

IVFD RL/D5 10 tpm:

15 tpm

Drip Ciprofloxacin

2x200 mg IV

Drip Metronidazole

3x500 mg IV

Drip Tradosik

(tramadol) 3x1 ampul

IV

Inj. Ranitidin 2x1 IV

Nonflamin oral 3x1 tab

Betadine kumur

SF 1x1 tab

25

2-03-2012 S : Nyeri (-), bengkak rahang kiri (+)

<, trismus (+) <, sulit menelan (-),

sulit bicara (-), demam (-)

O : composmentis, sakit sedang

TD 120/80 mmHg

N 84x /menit

RR 20x / menit

T= 36,8 C

Regio submandibula sinistra oedem

(+), hiperemis (-), kalor (-)

A : Abses submandibula sinistra et

parafaring sinistra post insisi hari

VIII

Gigi & mulut: Impaksi Molar 3, Pro

odontektomy

KRS atas permintaan

sendiri

Obat pulang:

Ciprofloxacin 2x500

mg tab

Metronidazole 3x500

mg tab

Nonflamin 3x1 tab

Ranitidin 2x1 tab

Eflagen 2x50 mg

Kontrol poli THT dan

poli Gigi dan Mulut

26

BAB IV

PEMBAHASAN

Dilaporkan kasus pasien laki-laki dengan usia 44 tahun dengan diagnosis abses

submandibula sinistra et parafaring sinistra pada. Penegakan Diagnosis Abses

submandibula sinistra et parafaring sinistra pada pasien ini berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.

Pasien datang dengan keluhan Bengkak pada rahang bawah kiri sejak 4 hari

sebelum MRS, bengkak disertai adanya nyeri dan panas pada rahang bawah terutama di

sebelah kiri. Pasien susah membuka mulut sejak 3 hari sebelum MRS, pasien sulit

makan, minum dan berbicara. Pasien juga mengeluhkan adanya demam sejak 3 hari

sebelum MRS. Awalnya pasien mengeluhkan gusi yang bengkak dan nyeri pada gigi

geraham terakhir di rahang kiri bawah sejak 2 minggu sebelum MRS, yang kemudian

diikuti dengan pembengkakan pada rahang bawah kiri pasien.

Berdasarkan literatur gejala utama yang ditimbulkan oleh abses submandibula

dan parafaring yaitu asimetris leher karena adanya massa atau limfadenopati, trismus

karena proses inflamasi pada m.pterigoides, torticolis dan penyempitan ruang gerak

leher karena proses inflamasi pada leher. Selain itu juga adanya demam, nyeri

pembengkakan di sekitar angulus mandibula, dan pembengkakan dinding lateral

faring.9,12

Pada pemeriksaan fisik pada regio submandibula sinistra didapatkan oedem (+),

eritem (+), kalor (+), nyeri tekan (+), fluktuasi (+), tidak ada pembesaran KGB.

Menurut kepustakaan pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan dibawah

rahang baik unilateral maupun bilateral dan berfluktuasi. Adanya pembengkakan

dinding lateral faring hingga menonjol ke arah medial pada abses parafaring. Pada kasus

ini pembengkakan dinding lateral faring tidak dapat dilihat karena pasien mengalami

trismus sehingga pemeriksaan intraoral sulit dilakukan. Karena itu diperlukan

pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis.

Pada kasus, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yaitu

pemeriksaan Darah Lengkap, foto panoramic dan CT-Scan. Pada pemeriksaan darah

lengkap didapatkan leukosit 23.900/mm3, hal ini menunjukkan bahwa terdapat tanda

infeksi (leukositosis) pada pasien. Pada CT-Scan tampak gambaran lokulasi hipodens

27

pada ruang submandibula sinistra dan parafaring sinistra, dimana gambaran hipodens

pada ruang submandibula tampak menonjol ke lateral, dan gambaran hipodens pada

ruang parafaring tampak menonjol ke medial. CT-Scan merupakan gold standar untuk

mengevaluasi infeksi pada daerah leher dalam. Abses akan tampak sebagai bangunan

atau lesi, air fluid level, dan lokulasi. Pemerksaan fisik yang ditunjang CT-scan

memiliki sensitivitas 95%.2 pada hasil CT-Scan kedua didapatkan gambaran yang sama

tetapi tampak abses berkurang. Hasil konsul dari bagian gigi dan mulut setelah

dilakukan foto panoramic didapatkan bahwa pasien mengalami impaksi pada gigi Molar

3 kiri bawah dan disarankan untuk dilakukan odontectomy oleh drg. Sp. BM.

Pada abses submandibula, infeksi terjadi akibat perjalanan dari infeksi gigi dan

jaringan sekitarnya yaitu pada P1,P2,M1,M2 namun jarang terjadi pada M3.9 Pada abses

parafaring dapat terjadi karena proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,

tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan

sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring serta penjalaran infeksi dari

ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.1 Pada pasien ini penyebab abses adalah

dentogenik, karena adanya infeksi yang berasal dari gigi dan jaringan sekitarnya yaitu

impaksi pada gigi Molar 3 kiri bawah pasien. Untuk mengatasi etiologi dentogenik

maka disarankan dilakukannya odontektomi. Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang

yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3

berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula.10 Pada pasien ini dengan

etiologi odontogenic pada gigi Molar 3 kiri bawah pasien, dapat menyebabkan abses

submandibula sinistra dan abses parafaring sinistra secara bersamaan atau abses

submandibula sinistra yang mengalami kompilkasi ke ruang parafaring sinistra.

Diagnosis banding pasien ini adalah parotitis yang merupakan infeksi yang

disebabkan oleh virus mumps, bersifat self limitting disease. Gejala klinis meliputi

pembengkakan dan rasa nyeri pada kelenjar saliva terutama kelenjar parotid, disertai

adanya demam, sakit kepala, malaise dan anoreksia. Parotitis merupakan penyakit

menular dari sekret pernafasan atau saliva pasien, serta secara droplet. Periode inkubasi

adalah 16-18 hari, periode penularan adalah 6 hari sebelum gejala muncul dan 9 hari

setelah gejala muncul.14 Pada kasus ini tidak didapatkan pembengkakan pada kelenjar

parotis dan tidak didapatkan riwayat kontak dengan pasien parotitis sebelumnya.

28

Diagnosis banding kedua adalah Angina Ludovici yang merupakan infeksi ruang

submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang

submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada pembesaran submandibula.

Sumber infeksi berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan anaerob.

Gejala klinis berupa nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan di daerah

submandibula yang hiperemis dan keras pada perabaan, dasar mulut yang membengkak

dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga menimbulkan sesak napas.1 Pada

pemeriksaan fisik kasus ini teraba fluktuasi.

Prinsip pengelolaan abses adalah pemberian antibiotik parenteral dosis tinggi

dan evakuasi abses. Antibiotik pertama yang diberikan pada pasien ini adalah kombinasi

Ceftriaxone IV 2x2 gr IV yang sensitif untuk kuman aerob dan Metronidazole drip

3x500 mg IV yang sensitif untuk kuman anaerob. Ceftriaxone merupakan antibiotik

golongan sefalosporin generasi ketiga yang efektif terhadap gram positif dan gram

negatif. Kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap ceftriaxone.

Metronidazole memiliki sensitifitas yang tinggi terutama untuk kuman anaerob gram

negatif.6 Pada perawatan hari ketiga antibiotik diganti dengan drip Ciprofloxacin 2x200

mg IV yang merupakan antibiotik golongan quinolone dengan spektrum luas terhadap

gram positif maupun gram negatif. Pemilihan antibiotik sesuai dengan uji kepekaan

antibiotik pasien.

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,

baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering

ditemukan adalah Staphylococcus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,

Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiella sp, Neisseria sp. Kuman

anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok basil gram

negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.8 Hasil pemeriksaan

mikrobiologi dari pus pada pasien ini adalah Staphylococcus aureus, dengan hasil

pewarnaan gram adalah coccus gram positif.

Evakuasi abses dilakukan pada perawatan hari kedua yaitu dilakukan insisi dan

drainase abses. Pasien juga mendapatkan terapi simptomatik berupa analgetik dan

antiseptik kumur. Analgetik yang diberikan untuk pasien yaitu tradosik (tramadol) 3x1

ampul IV (100 mg) dan Nonflamin oral 3x50 mg tab. Nonflamin (tinoridini HCl)

merupakan anti inflamasi non steroid yang bersifat analgetik dan anti inflamasi.

29

Ranitidin 2x50 mg IV merupakan antagonis histamin reseptor H2 yang menghambat

kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam

lambung, diberikan untuk mencegah terjadinya efek samping dari antibiotik dan

analgetik yang diberikan kepada pasien. Betadine kumur diberikan sebagai antiseptik

oral untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut.

Prognosa pasien pada kasus ini adalah ad bonam jika pasien mengatasi etiologi

dari abses yaitu merawat gigi geligi dan menjalani odontektomi pada gigi Molar 3 kiri

bawah yang mengalami impaksi. Serta mengikuti advice terapi yang telah diberikan.

30

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Telah dilaporkan kasus abses submandibula sinistra et parafaring sinistra pada

pasien laki-laki dengan usia 44 tahun dengan keluhan rahang bawah kiri disertai adanya

nyeri dan panas pada rahang bawah terutama di sebelah kiri, susah membuka mulut,

sulit makan, minum dan berbicara. Pasien juga mengeluhkan adanya demam. Awalnya

pasien mengeluhkan gusi yang bengkak dan nyeri pada gigi geraham terakhir di rahang

kiri bawah.

Pada pemeriksaan fisik pada regio submandibula sinistra didapatkan oedem,

eritem, kalor, nyeri tekan dan fluktuasi. Pada CT-Scan didapatkan gambaran lokulasi

hipodens pada ruang submandibula sinistra dan ruang parafaring sinistra. Berdasarkan

gejala, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, diagnosis pasien ini adalah

abses submandibula sinistra et parafaring sinistra. Dilakukan tindakan evakuasi abses

dan pemberian antibiotik parenteral. Sehingga diagnosis dan penatalaksanaan pada

pasien ini telah sesuai dengan kepustakaan yang ada.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Abses leher dalam.

Dalam: Fachruddin D, Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007. hal 226

2. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied Anatomy and Physiology Mouth

and Pharynx. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307-315

3. Marcincuk MC. Deep Neck Infection. 2005. Diakses 25 Februari 2012

(www.emedicine.com)

4. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular Space Infection: A Potentially Lethal

Infection. International Journal Of Infectious Disease 2009; 13:327-33

5. Ariji Y. Odontogenic Infection Pathway To The Submandibular Space Imaging

Assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002;31:165-9

6. Huang T, Chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep Neck Infection

Head And Neck. Ockt 2004.860-4

7. Yang S.W, Lee M.H, See L.C, Huang S.H, Chen T.M, Chen T.A. Deep Neck

Abscess. 2008;1:1-8

8. Pulungan MR. Pola Kuman Abses Leher Dalam. 2010. Diakses 25 Februari

2012 (http://www.scribd.com/doc/48074146/pola-kuman-abses-leher-dalam-

revisi)

9. Ruckenstein M.J. Comprehensive Review of Otolaryngology. Phyladelphia,

Saunders. 2004. Pp 178-180.

10. Scott BA, Stiernberg CM,Driscoll BP. Infections of the Deep Spaces of the

Neck. Texas,Lippincott Williams and Wikins Publisher:2001. Hal 68.

11. Ariji Y. Odontogenic Infection Pathway To The Submandibular Space: Imaging

Assesment. Int. J. Oral Maxillofac. Sueg. 2002; 31: 165-9

12. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakt THT. Edisi 7. Jakarta :

Penerbit buku kedokteran EGC. 2000. h. 342-5.

13. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher Jilid 1. Edisi

13. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994. h. 295-9.

14. Senanayake SN. Mumps: A Resurgent Disease With Protean Manifestations.

2008. Med J Aust 189 (8): 456-9.

32