33
LAPORAN PENDAHULUAN A. MASALAH UTAMA Resiko bunuh diri B. PERILAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI 1. Pengertian Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000). Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000).

Lp Resiko Bunuh Diri

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lp Resiko Bunuh Diri

LAPORAN PENDAHULUAN

A. MASALAH UTAMA

Resiko bunuh diri

B. PERILAKU PERCOBAAN

BUNUH DIRI

1. Pengertian

Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui”

yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman

mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang

ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai

solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu

yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan

perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-

satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit

yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup

semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan

melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000).

Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh

diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi

bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa

mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri

sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup.

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk

mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),

bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:

Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional

Bunuh diri dilakukan dengan intensi

Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

Page 2: Lp Resiko Bunuh Diri

Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung

(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan

kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara

umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian

atas suatu masalah.

Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri

yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal

tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku

tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri melakukan beberapa percobaan

bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri. Beck (dalam Salkovskis, 1998)

mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah

melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup

dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi

belum berakibat pada kematian.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya

untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian.

2. Metode Bunuh Diri

Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk.,

2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati.

Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna

khusus atau simbolisasi dari individu.

Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:

a. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)

b. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)

c. senjata api dan peledak

d. menenggelamkan diri

e. melompat

f. memotong (menyayat dan menusuk)

Page 3: Lp Resiko Bunuh Diri

Tanda dan gejala :

Sedih

Marah

Putus asa

Tidak berdaya

Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal

3. Penyebab

Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena

yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki

etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil

dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan

dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang

ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian,

ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat

(dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan

penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-

sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).

Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling

berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan

bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor

penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi

memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum,

2008):

a. Major-depressive illness, affective disorder

b. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki

level alkohol dalam darah yang positif)

c. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri

d. Sejarah percobaan bunuh diri

e. Sejarah bunuh diri dalam keluarga

f. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan

Page 4: Lp Resiko Bunuh Diri

g. Hopelessness dan cognitive rigidity

h. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan,

seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan

dengan kelompok teman yang suicidal)

i. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas

j. Rendahnya tingkat 5-HIAA

k. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global,

halusinasi perintah)

l. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh

diri)

m. Akses pada media untuk melukai diri sendiri

n. Penyakit fisik dan komplikasinya

o. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan

masalah. Terbagi menjadi:

1) Faktor Genetik

2) Faktor Biologis lain

3) Faktor Psikososial & Lingkungan

1) Faktor Genetik (berdasarkan penelitian):

1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang

menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan

mood/depresi/ yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.

2) Faktor Biologis lain:

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis

yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada

gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan

Page 5: Lp Resiko Bunuh Diri

perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku

bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai

keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun

demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan

berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.

Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:

Stroke

Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)

DiabetesPenyakit arteri koronaria

Kanker

HIV / AIDS

3) Faktor Psikososial & Lingkungan:

Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk

penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan

pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180

degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan

seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko

melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang

tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk

menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun

individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah

dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu,

perilaku destruktif diri terjadi.

Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah

masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang

sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus

pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal

person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan

penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak

Page 6: Lp Resiko Bunuh Diri

disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa

diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.

Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi

yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah

menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3

pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang

dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu

banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif

yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang

menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri.

Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.

Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar

untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya

membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu,

sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi.

Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup

lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini

individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum

mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati.

Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)

mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku

bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting

pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya

adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality

disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.

4) Faktor Sosiologis

Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang

perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,

yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan

Page 7: Lp Resiko Bunuh Diri

masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &

Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:

Egoistic Suicide

Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan

masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan

underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku

bunuh diri.

Altruistic Suicide

Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada

situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan

masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan

demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan

kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar

dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok

dapat dipandang sebagai suatu tugas.

Anomic Suicide

Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur

anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya

hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal

membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie

(tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam

situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir

cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak

mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.

Fatalistic Suicide

Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana

individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya

ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.

Page 8: Lp Resiko Bunuh Diri

C. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation)

1. Definisi Pikiran Bunuh Diri

Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan

bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan

atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi

tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris

dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak

berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan

membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri

saya sendiri dengan pistol”).

Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris

dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67%

hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan

hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan

membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul dalam pikiran

bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk

membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000)

Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus

merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000).

Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri

dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit,

percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan

lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

2. Karakteristik Pikiran Bunuh Diri

Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku

dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan

menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat

bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif

dan menyebabkan kesimpulan yang salah.

Page 9: Lp Resiko Bunuh Diri

Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri

antara lain:

a. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan

Deficient Problem-Solving

Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat

dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau

kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel

untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang

memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk

penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford,

2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang

mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.

Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or

white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk,

berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.

Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving

deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan

menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik

dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer,

dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis &

Rutherford, 2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan

masalah interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan

intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari.

Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical

memory (Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang

terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam

mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam

Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah

percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang

besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-

lethality.

Page 10: Lp Resiko Bunuh Diri

b. Hopelessness

Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian

negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai

tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck

(dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan

penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga

berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar,

& Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang

negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis

& Rutherford, 2008).

c. Alasan untuk hidup

Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan

pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk

bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk

menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons

for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu

suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa

variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, &

Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

d. Perfectionism

Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal

sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak

realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi

tiga jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis

untuk diri sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan

socially prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya

sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan

self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.

Page 11: Lp Resiko Bunuh Diri

e. Konsep diri

Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri

adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini

terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,

kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,

Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann

mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu

mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-

verification) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).

Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang

lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan

penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang

manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara

positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi,

begitu juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang

tua berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative

diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected

diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten

& Lloyd, 2006).

Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko

kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.

f. Ruminative Response Style

Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi

merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis

& Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang

secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya

berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk

aktif (reflection) (Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan

sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak

tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus

Page 12: Lp Resiko Bunuh Diri

pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom

depresi. Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi.

Sedangkan, reflection hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor

protektif untuk pikiran bunuh diri.

g. Autobiographical Memory

Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman

yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan

dengan depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan

bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical

memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan

umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini

berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory

yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap,

merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu

tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di

masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa

depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness

dan kecenderungan bunuh diri pada individu.

4. Akibat

Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :

Keputusasaan

Menyalahkan diri sendiri

Perasaan gagal dan tidak berharga

Perasaan tertekan

Insomnia yang menetap

Penurunan berat badan

Berbicara lamban, keletihan

Menarik diri dari lingkungan social

Pikiran dan rencana bunuh diri

Page 13: Lp Resiko Bunuh Diri

Percobaan atau ancaman verbal

D. POHON MASALAH

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah

E. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

1. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri

Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria

Usia: lebih tua, masalah semakin banyak

Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri merupakan

masalah.

Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan bunuh diri

/ penyalahgunaan zat.

Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang dicintai,

pengangguran, mendapat malu di lingkungan social.

Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup diri.

Lain – lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih beresiko

mengalami perilaku bunuh diri.

2. Masalah keperawatan

Resiko Perilaku bunuh diri

DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.

DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.

Koping maladaptive

DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan.

DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Page 14: Lp Resiko Bunuh Diri

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Diagnosa 1 : Resiko bunuh diri

2. Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri

3. Tujuan khusus :

b. Klien dapat membina hubungan saling percaya

Tindakan:

Perkenalkan diri dengan klien

Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.

Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.

Bersifat hangat dan bersahabat.

Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.

Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri

Tindakan :

Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau, silet,

gunting, tali, kaca, dan lain lain).

Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat.

Awasi klien secara ketat setiap saat.

Klien dapat mengekspresikan perasaannya

Tindakan:

Dengarkan keluhan yang dirasakan.

Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan dan

keputusasaan.

Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana

harapannya.

Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,

kematian, dan lain lain.

Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan

keinginan untuk hidup.

Klien dapat meningkatkan harga diri

Tindakan:

Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.

Page 15: Lp Resiko Bunuh Diri

Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.

Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan antar

sesama, keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).

Klien dapat menggunakan koping yang adaptif

Tindakan:

Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang

menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku favorit,

menulis surat dll.)

Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan

pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang

kegagalan dalam kesehatan.

Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang

mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah

mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut

dengan koping yang efektif

1. Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: harga diri rendah

2. Tujuan umum : Klien tidak melakukan kekerasan

3. Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling

percaya.

Tindakan:

1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat

dan jelaskan tujuan interaksi.

1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan

dan aspek positif yang dimiliki.

Tindakan:

2.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

Page 16: Lp Resiko Bunuh Diri

2.2 Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien

2.3 Utamakan pemberian pujian yang realitas

3. Klien mampu menilai kemampuan yang

dapat digunakan untuk diri sendiri dan keluarga

Tindakan:

3.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

3.2 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah

4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang

bermanfaat sesuai kemampuan yang dimiliki

Tindakan :

4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai

kemampuan.

4.2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.

4.3. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai

kondisi dan kemampuan

Tindakan :

5.1. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan

5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien

5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung

yang ada

Tindakan :

6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien

6.2 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat

6.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

6.4 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

Page 17: Lp Resiko Bunuh Diri

1. Diagnosa : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan

lingkungan

2. Tujuan umum :

- Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

3. Tujuan khusus :

- Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya

- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya

- Pasien mampu meningkatkan harga dirinya

- Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang baik

4. Tindakan :

- Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang lain dan

lingkungan

- Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :

o Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya

o Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang positif

o Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting

o Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien

o Merencanakan yang dapat pasien lakukan

- Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :

o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya

o Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara penyelesian

masalah

o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih

baik

c. RENCANA TINDAKAN KPERAWATAN

a. Ancaman atau percobaan bunuh diri

1. Intervensi pada pasien

i. Tujuan keperawatan

Pasien tetap aman dan selamat.

Page 18: Lp Resiko Bunuh Diri

ii. Tindakan keperawatan

Melindubgi pasien dengan cara:

Temani pasien terus-menerus sampai pasein dapat dipindahkan ke

tempat yang aman

Jauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet, gelas, dan

tali pinggang)

Periksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya jika pasien

mendapatkan obatnya.

Dengan lembut, jelaskan pada pasien bahwa anda akan melindungi

pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

Page 19: Lp Resiko Bunuh Diri

Lampiran

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI

A. Kondisi Klien

Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun non verbal

B. Diagnosa Keperawatan

Resiko Bunuh Diri

C. Tujuan

1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya

2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya

3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya

4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik

D. Tindakan Keperawatan

1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta

bantuan dari keluarga atau teman.

2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:

a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.

b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.

c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting

d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien

e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan

3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:

a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan

masalahnya

b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing

cara penyelesaian masalah

Page 20: Lp Resiko Bunuh Diri

c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan

masalah yang lebih baik

E. Strategi Pelaksanaan

SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri

Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.

Orientasi:

”Selamat pagi Pak, kenalkan saya Agung Nugroho, biasa di pangil Agung, saya

mahasiswa Keperawatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang bertugas di

ruang ini, saya dinas pagi dari jam 7 pagi – 2 siang .”

”Bagaimana perasaan A hari ini? ”

” Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang A rasakan selama ini.

Dimana dan berapa lama kita bicara?”

Kerja

”Bagaimana perasaan A setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana ini A paling

merasa menderita di dunia ini? Apakah A pernah kehilangan kepercayaan diri? Apakah

A merasa tidak berharga atau bahkan lebih rendah dari pada orang lain? Apakah A

merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri? Apakah A sering mengalami

kesulitan berkonsentrasi? Apakah A berniat unutuk menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh

diri atau berharap A mati? Apakah A pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya,

bagaimana caranya? Apa yang A rasakan?”

”Baiklah, tampaknya A membutuhkan pertolongan segera karena ada keinginan untuk

mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar A ini untuk memastikan

tidak ada benda – benda yang membahayakan A)”

”Karena A tampaknya mash memilikikeinginan yang kuat untuk mengakhiri hidup A,

saya tidak akan membiarkan A sendiri”

”Apa yang A lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”

”Kalau keninginan itu muncul, maka akan mengatasinya A harus langsung minta

bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau teman yang sedang

Page 21: Lp Resiko Bunuh Diri

besuk. Jadi A jangan sendirian ya, katakan kepada teman perawat, keluarga atau teman

jika ada dorongan untuk mengakhiri kehidupan.”

”Saya percaya A dapat mengatasi masalah.”

Terminasi :

”Bagaimana perasaan A sekarang setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin

bunuh diri?”

” Coba A sebutkan lagi cara tersebut!”

”Saya akan menemani A terus sampapi keinginan bunuh diri hilang.” (jangan

meninggalkan pasien).

Page 22: Lp Resiko Bunuh Diri

Daftar Pustaka

Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.