Upload
ayu-syuhada
View
15
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
imunologi
Citation preview
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
DOSEN : Dra. Refdanita, M.Si, Apt
DISUSUN OLEH :
AGUSTINA HESTI WINARNI
11330047
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran tuhan yang maha kuasa, karena atas rahmat dan
karunia yang telah diberikan, kami dapat menyusun tugas Biokimia ini dengan baik. Tugas
Imunologi ini dibuat agar teman-teman semua mempelajari “ Reaksi Hipersensitivitas “.
Tugas Imunologi ini disusun secara baik dan sistematis dengan harapan mampu
memotivasi teman-teman sehingga mampu menerima segala informasi yang berkaitan dengan
pembelajaran tugas ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih dosen pembimbing serta teman-teman yang
telah banyak membantu dalam menyelesaikan tugas ini. Adapun kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan, guna kelancaran dan kesempurnaan kita dalam belajar.
Jakarta , 18 Oktober 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Respons imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi
tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Komponen – komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah
sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah
peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau
dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen
yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
1.2. Tujuan
Mengetahui dan memahami reaksi Hipersensitivitas.
1.3. Rumusan Masalah
Apa itu reaksi hipersensitivitas ?
Apa saja jenis jenis-jenis reaksi hipersensitivitas ?
Contoh penyakit reaksi hipersensitivitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai
kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
2.2. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Pada Waktu Timbulnya Reaksi
2.2.1. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang
antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi penglepasan mediator
vasoaktif. Manisfestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
2.2.2. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi
ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivitas
komplemen dan atau sel NK / ADCC. Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa :
i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerolunefritis, artritis reumatoid dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan
oleh sel neutrofil atau sel NK.
2.2.3. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang
terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor
makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh rekasi lambat adalah dermatitis
kontak, reaksi M.tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
2.3. Pembagian Reaksi Hipersensitivitas Menurut Gell dan Coombs
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs da Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4
bagi dalam 4 tipe reaksi (Gambar 14.1)
Pembagian Gell dan Coombs seperti terlihat diatas dibuat sebelum analisis yang
mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui. Berdasarkan penemuan – penemuan
dalam penelitian imunologi.
Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV
Reaksi IgE Reaksi sitotoksi
( IgG atau IgM )
Reaksi kompleks imun Reaksi selular
Ikatan silang antara
antigen dan IgE yang
diikat sel mast dan
basofil melepas
mediator vasoaktif.
Ab terhadap antigen
permukaan sel
menimbulkan
destruksi sel dengan
bantuan komplemen
atau ADCC.
Kompleks Ag – Ab
mengaktifkan komplemen
dan respons inflamasi
melalui infiltrasi masif
neutrofil.
Sel Th 1 yang
disensitasi melepas
sitokin (terlihat pada
gambar) yang
mengaktifkan makrofag
atau sel Tc yang
berperan dalam
kerusakan jaringan. Sel
Th 2 dan Tc
menimbulkan respons
sama.
Manifestasi khas :
anafilaksis sistemik
dan lokal seperti
rinitis, asma,
urtikaria, alaergi
makanan dan ekzem.
Manifestasi khas :
reaksi transfusi,
eritroblastosis fetalis,
anemia hemolitik
autoimun.
Manifestasi khas : reaksi
lokal seperti Arthus dan
sistemik seperti serum
sickness, vaskulitis
dengan nekrosis,
glomerulonefritis, AR,
dan LES.
Manifestasi khas :
dermatitis kontak, lesi
tuberkulosis dan
penolakan tandur.
Gambar 14.1 Reaksi hipersensitivitas Tipe I,II,II,IV menurut Gell dan Coombs
Telah dikembangkan beberapa modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs yang membagi
lagi Tipe IV dalam beberapa subtipe reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II, dan III dianggap
sebagai reaksi humoral, sebetulnya reaksi – reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T
atau peran selular. Oleh karena itu pembagian Gell dan Coombs telah dimodifikasi lebih
lanjut seperti terlihat pada Tabel 14.1
Tipe 14.1 klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi ( Tipe I – VI )
Mekanisme Gejala Contoh
Tipe I : Anafilaksis, urtikaria, angioedem, Penisilin dan β – laktam lain,
IgE mengi, hipotensi, nausea, muntah,
sakit abdomen,diare.
enzim, heparin antibodi
monoklonal, insulin metamizol,
fenotiazin.
Tipe II :
sitotoksik ( IgG dan IgM )
Agranulositosis
Anemia hemolitik
Trombositopenia
Metamizol, fenotiazin
Penisilin, sefalosporin, β-
laktam, metildopa
karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil, sulfonamid,
antikonvulsan, kinin, kinidin,
parasetol, sulfonamid, propil
tiourasil, preparat emas.
Tipe III :
Kompleks imun ( IgG dan
IgM )
Panas, urtikaria, atralgia,
limfadenopati
Serum sickness
Β-laktam, sulfonamid, fenitoin,
streptomisin.
Serum xenogenik, penisilin,
globulin anti – timosit.
Tipe IV :
Hipersensitivitas selular
Eksim (juga sistemik)
Eritema, lepuh, pruritus
Fotoalergi
Fixed drug eruption
Lesi makulopapular
Penisilin, anestetik lokal,
antihistamin topikal, neomisin,
pengawet, eksipien
(lanolin,paraben), desinfektan
Salisilanilid (halogeneted), asam
nalidik
Barbiturat, kinin
Penisilin, emas, barbiturat, β-
blocker.
Tipe V :
Rekasi granuloma
Granuloma. Ekstrak alergen, kolagen larut.
Tipe VI :
Hipersensitivitas stimulasi
(LE yang diinduksi obat ?)
Resistensi insulin.
Hidralazin, prokainamid
Antibodi terhadap insulin (IgG ).
2.3.1. Reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau Reaksi Alergi
Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi,
timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali
digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang berasal dari alol (Yunani) yang berarti
perubahan dari asanya yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan reaktivitas organisma.
Pada reaksi Tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi.
Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut :
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast / basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajaman ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast / basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator – mediator yang dilepas sel mast / basofil dengan aktivitas farmakologi.
1. Sel mast dan mediator pada Reaksi Tipe I
Sel mast mengandung banyak mediator primer atau preformed antara lain histamin
yang disimpan dalam granul. Sel mast interaksi ikatan silang antara (Fcε-R) dan IgE
pada permukaan sel mast memacu aktivitas Syk. Sinyal dari Syk dengan cepat
ditransduksi yang menimbulkan degranulasi, produksi LT dan transkripsi gen sitokin /
kemokin. Penglepasan mediator inflamasi tersebut berperan dalam gejala akut dan
kronis penyakit alergi. Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th 2 yang merangsang
sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang
dilepas diikat oleh Fcε-R1 pada sel mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan
berbagai spesifisitas dapat diikat Fcε-R1). Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan
ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu penglepasan
mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator –
mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatan permeabilitas
vaskukar dan vasoodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis. Juga yang diaktifkan
dapat memproduksi mediator bam atau sekunder atau newly generated seperti LT dan
PG.
a. Histamin
Puncak reaksi Tipe I terjadi 10 – 15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan
dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca+
yang menimbulkan aktivitas fosfolipase. Dalam fase ini energi dilepas akibat
glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul – granul ke
permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap
degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedangkan peningkatan cGMP
memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak menilbulkan
lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh
anafilatoksin, C3a dan C5a.
Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10 % dari
berat granul. Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat
oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamin (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi yang
berbedakan jaringan dan bila berikatan dengan histamin, menunjukkan berbagai
efek. Mediator utama terlihat pada tabel 14.2
Tabel 14.2 Mediator primer utama pada hipersensitivitas Tipe I
Mediator Efek
Histamin H1 : permeabilitas vaskular meningkat, vasodilatasi,
kontraksi otot polos
H2 : Sekresi mukosa gaster Aritmia jantung
H3 : SSP (regulator)
H4 : Eosinofil
ECF-A Kemotaksis eosinofil
NCF-A Kemotaksis neutrofil
Protease (triptase, kimase) Sekresi mukus bronkial, degradasi membran basal pembuluh
darah, pembentukan produk pemecahan komplemen
Eosinophil Chemotactic
Factor
Kemotaktik untuk eosinofil
Neutrophil Chemotactic
Factor
Kemotaktik untuk neutrofil
Hidrolase asam Degradasi matriks ekstrakselular
PAF Agregasi dan degranulasi trombosit, kontraksi otot polos paru
NCA Kemotaksis neutrofil
BK-A Kalikrein : kininogenase
Proteoglikan Heparin, kondrotin sulfat, sulfat dermatan : mencegah
komplemen yang menimbulkan koagulasi
Enzim Kimase, triptase, proteolisis
b. PG dan LT
Disamping histamin, mediator lain seperti PG dan LT (dulu SRS-A) yang
dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada
fase lambat reaksi Tipe I. Fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu
antara 6 – 8 jam. PG dan LT merupakan mediator sekunder yang kemudian
dibentuk dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Efek
biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama
dibanding dengan histamin. LT berperan pada bronkokonstriksi, peningkatan
permeabilitas vaskular dan produksi mukus. PGE2 menimbulkan bronkokonstriksi.
Mediator sekunder utama terlihat pada tabel 14.3
Tabel 14.3 Mediator sekunder utama pada hipersensitivitas Tipe I
Mediator Efek
LTR (SRS-A) Peningkatan permeabilitas vaskular, vasodilatasi, sekresi mukus,
kontraksi otot polos paru, kemotaktik neutrofil.
PG Vasodilatasi, kontraksi otot polos paru, agregasi trombosit,
kemotaktik neurotrofil, potensiasi mediator lainnya.
Bradikinin Peningkatan permeabilitas kapiler, vasodilatasi, kontraksi otot polos,
stimulasi ujung saraf nyeri.
Sitokin Bervariasi
IL-1 dan TNF-α Anafilaksis, peningkatan ekspresi CAM pada sel endotel venul
IL-4 dan IL-3 Peningkatan produksi IgE
IL-3, IL-5, IL-6, IL-
10, TGF-β dan GM-
CSF
Berbagai efek (dapat dilihat pada sitokin)
IL-4, PMN, demam
TNF- α
Aktivasi monosit, eosinofil, demam
FGF Fibrosis
Inhibitor protease Mencegah kimase
Lipoksin Bronkokontriksi
Leukotrin (LTC4
LTD4 LTE4)
Kontraksi otot polos (jangka lama). Meningkatkan permeabilitas,
kemotaksis
Leukotrin B4, 15-
HETE
Sekresi mukus
PAF Kemotaksis, (terutama eosinofil), bronkospasme
c. Sitoksin
Berbagai sitoksin dilepas sel mast dan basofil seperti IL-3,IL-4,IL-5,IL-6,IL-
10,IL13,GM-CSF dan TNF-α. Beberapa diantaranya berperan dalam manifestasi
klinis reaksi Tipe I. Sitokin – sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan
dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil. IL-4 dan IL-3
meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan dan
aktivasi eosinofil. Kadar TNF-α yang tinggi dan dilepas sel mast berperan dalam
renjatan anafilaksis.
2. Manifestasi Reaksi Tipe I
Manifestasi reaksi Tipe I dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan
keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat (Tabel 14.4)
Tabel 14.4 Reaksi alergi
Jenis alergi Alergen umum Gambaran
Anafilaksis Obat, serum, bisa, kacang -
kacangan
Edema dengan peningkatan permeabilitas
vaskular, berkemvang menjadi oklusi
trakea, kolaps sirkulasi dan kemungkinan
meninggal
Urtikaria akut Sengatan serangga Bentol dan merah didaerah sengatan –
sengatan serangga dapat pula menimbulkan
Tipe IV
Rinitis alergi Polen (hay fever), tungau debu
rumah (rinitis perenial)
Edema dan iritasi mukosa nasal
Asma Polen, tungau debu rumah Kontriksi brokial, peningkatan produksi
mukus, inflamasi saluran napas
Makanan Kerang, susu, telur, ikan,
bahan asal gandum
Urtikaria yang gatal dan potensial menjadi
anafilaksis
Ekszem atopi Polen, tungau debu rumah,
beberapa makanan
Inflamasi pada kulit yang terasa gatal,
biasanya merah dan ada kalanya vesikular
a. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ
spesifiik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan rekasi Tipe I adalah diturunkan dan disebut
atopi. Sedikitnya 20 % populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE
seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
Sekitar 50 % - 70 % dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang
masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva,
tetapi hanya 10 % - 20 % masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3
% - 10 % yang menderita asma bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam
jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast / basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi secara pasif bila serum (darah) kulit / sirkulasi orang normal. Reaksi alergi
yang mengenai kulit, mata, hidung, dan saluran napas.
b. Reaksi sistemik – anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa
menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I
atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel
mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi
dapat dipacu berbagai alergen seperti makanan (asala laut, kacang – kacangan),
obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan
anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilakstoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE
mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun (tabel
14.5). secara klinis reaksi ini menyerupai rekasi Tipe I seperti syok, urtikaria,
bronkospasme, anafiklasis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun.
Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga sulit dibedakan satu dari lainnya.
Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi.
Rekasi anafilatoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan
yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin dan pelemas otot.
Tabel 14.5 Pemicu reaksi anafilaksis / anafilaktoidObat Antibiotik, aspirin dan AINS lain, vaksin, obat perioperasi,
antisera, opiatHormon Insulin, progesteronDarah / produk darah Imunoglobulin IVEnzim StreptokinaseMakanan Susu, telur, terigu, soya, kacang tanah, tree nuts, shelfishVenom (bisa) Lebah, semut apiLain Lateks, kontras, membran dialisa, ekstrak emunoterapi,
protamin, cairan kental manusia
Berbagai mekanisme yang dapat berperan pada reaksi pseudoalergi terlihat pada
tabel 14.6.
Tabel 14.6 Mekanisme yang diduga berperan pada reaksi pseudoalergi/anafilaktoid dan
penyebabnya
Aktivitas komplemen direk penyebab
Klasik Gamaglobulin (standar) (agregasi IgG)
Larutan plasmaprotein (agregasi IgG)
Aktivasi bypass RCM
Anestesi IV
Penglepasan mediator direk sel mast
tanpa melalui IgE
Anafilaktoid oleh opiat, kontras, desferoksamin,
taksol, substitut koloid volum, gama globulin,
antibiotik vankomisin, (polimiksin), anestetik
IV, pelemas otot, anestesi lokal, asam
asetilsalisilat, inhibitor siklooksigenase, NSAID,
obat yang meningkatkan arus mikrosikulatori,
telaksan, gelatin
Akumulasi bradikinin Batuk dan angioedem oleh ACE inhibitor
Produksi leukotrin berlebihan Aspirin yang mengnduksi asma dan urtikaria
Kerusakan enzim
Inaktivator C1 Edema angioneurotik herediter
G-6PD Anemia hemolitik
(kolinesterase) (inkompatibilitas suksinilkolin)
Refleks neuropsikogenik Anestetik lokal
Refleks emboli – toksik Penisilin depot (intravaskular)
Refleks jarish – herxheimer Pengrusakan sel (misalnya terapi sifilis dengan penisilin)
Peningkatan aliran darah Ester dan nikotinik
Bronkospasme Sulfit yang diinhalasi atau dimakan dan β blocker
Defek enzim
Inaktivator c1 Angioedem herediter
G6pd (kolinesterase) Anemia hemolitik
Refleks neuropsikogenik Anestetik lokal
Refleks emboli – toksik Depot penisilin (IV)
Refleks jarish – herxheimer Destruksi sel (pada pengobatan sifilis dengan penisilin)
Peningkatan arus darah Asam ester nikotin
d. Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid
Kriteria serta mekanisme untuk membedakan reaksi anafilaksis dan reaksi
anafilaktoid terlihat pada tabel 14.7
Tabel 14.7 kriteria kasar untuk membedakan alergi dan pseudoalergi
Alergi Pseudoalergi (anafilaktoid)
Perlu sensitisasi Tidak perlu sensitisasi
Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertama
Jarang (<5%) Sering (>5%)
Gejala klinis khas Gejala tidak khas
Dosis pemicu kecil Tergantung dosis (tergantung kecepatan
pemberian pada infus)
Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak pada riwayat keluarga (kecuali defek
enzim)
Pengaruh fisiologis sedang pengaruh fisiologis kuat
2.3.2.Reaksi Tipe II atau sitotoksik atau sitolitik
Reaksi hipersentivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian
dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel
dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan
efek toksik.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor FcУ-R dan juga sel
NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
1. Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh
berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan
B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel
darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif
intravaskuler. Rekasi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat
ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan
hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar
tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan
dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi transfusi darah yang paling lambat terjadi pada mereka yang pernah
mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun
inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 haari
setelah transfusi. Darah yang ditransfusi memacu pembentukan IgG terhadap
berbagai antigen memban golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus,
Kidd, Kell, dan Duffy.
2. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh
dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin
dengan Rhesus positif.
3. Anemia hemolitik
Antibiotik tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa
kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks
membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan
bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
2.3.3.Reaksi Tipe III atau kompleks imun
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan paru – paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar
dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam
sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa
kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi
untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila
kompleks imun tersebut mengendap dijaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Endapan dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria),
nahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik)
atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai antigen dalam
jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun
sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang
dapat merusak jaringan .
Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3
(dapat juga IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal
yang menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivitas sel mast, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan
bahan kemotaktik serta influks neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat
menimbulkan kerusakan jaringan setempat.
2. Kompleks imun mengendap di jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan
ialah ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang
meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.
3. Bentuk reaksi
Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, lokal dan sistemik.
a. Reaksi lokal atau fenomen Arthus
Arthus yang menyuntikkan serum kuda ke dalam kelinci intradermal
berulang kali ditempat yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat
di tempat suntikan. Mula – mula hanya terjadi eritem ringan dan edem dalam 2
-4 jam sesudah suntikan rekasi tersebu menghilang keesokan harinya. Suntikan
kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan suntikan yang 5 – 6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut
fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun.
Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin.
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel
vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi
yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi
cairan (edem) dan SDM (eritema) sampai nekrosis. Reaksi Tipe Arthus dapat
terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal
kering yang dapat mennimbulkan peumonitis atau alveolitis atau Farmer’s
drug.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pad aktivasi komplemen ,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem.
C3a dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit
mulai dikerahkan ditempat reaksi dan menimbulkan statis dan obstruksi total
aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot
polos dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi
sel mast, peningkatan permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan
trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease,
kolagenase dan bahan vasoaktif. Aktifnya terjadi perdarahan yang disertai
nekrosis jaringan setempat.
Dengan pemeriksaan imunofluoresen, antigen, antibodi dan berbagai
komponen komplemen dapat ditemukan ditempat kerusakan pada dinding
pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun (pada
hewan, kadar komplemen dapat diturunkan dengan bisa kobra), maka
kerusakan khas dari Arthus tidak terjadi. Reaksi Arthus didalam klinik dapat
berupa vaskulitis.
b. Reaksi Tipe III sistemik – serum sickness
Antigen dalam jumlah besar yang masuk kedalam sirkulasi darah dapat
membentuk kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan dibanding antibodi,
kompleks yang dibentuuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk
dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan Tipe III di
berbagai tempat. Dahulu reaksi Tipe III sistemik demikian sering terlihat pada
pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau
antidifteri asal kuda.
Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil
melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7)
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein
polikationik. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat –
tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus,
misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid
dan korpus silier mata. Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks
imun. Pada artritis reumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti –
IgG (FR berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di sendi.
Beberapa penyakit kompleks imun terlihat pada tabel 14.8
Tabel 14.8 Beberapa penyakit kompleks imunPenyakit Antigen terlibat Patologi klinis
Lupus eritermatosus sistemik
DNA, nukleoprotein, lain – lain
Nefritis, artritis, Vaskulitis
Poliartritis nodosa Antigen permukaan virus hepatitis B
Vaskulitis
Penyakit serum Berbagai protein Artritis, Vaskulitis, nefritis
Artritis reumatoid Faktor reumatoid (IgM berupa anti IgG) yang mengikat Fcg
Kompleks diendapkan di sendi menimbulkan inflamasi
Farmer’s lung : lain – lain: pigeon breeder’s disease, Cheese waher’s disease, Bagassosis, Maple bark stripper’s disease, Paprika worker’s disease, dan Thatched roof worker’s diseasein
Aktinomiset termolitik yang membentuk IgG
Paru
Infeksi : malaria, virus, lepra, tripanosoma
Antigen mikroba berikatan dengan antigen
Endapan kompleks imun diberbagai tempat
Glomerolunefritis pasca streptokok
Antigen dinding sel streptokok
Nefritis
Lainnya : alergi obat penisilin dan sulfonamid, sindrom goodpasture, artritis reumatoid, meningitis, hepatitis, mononukleosis.
Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel
mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vaskular dan inflmasi.
Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang
terkepung dijaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks, tetapi
akan melepas granulnya (angry cell). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak
kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas
berbagai mediator antara lain enzim – enzim yang dapat merusak jaringan.
Dalam beberapa hari –minggi setelah pemberian serum asing, mulai terlihat
manifestasi panas dan gatal, bengkak – bengkak, kemerahan dan rasa sakit
dibeberapa bagian tubuh, sendi dan KGB yang dapat berupa vakulitis sistemik
(arteritis), glomerulonefritis, dan artritis. Reaksi itu disebut reaksi Pirquet dan
Schick.
Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (Tipe III) yang terjadi sesudah
pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanosomiasis
dan bruselosis). Bila mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar juga
melepas sejumlah antigen yang cemderung bereaksi dengan antibodi yaang
sudah ada dalam sirkulasi.
2.3.4.Reaksi hipersensitivitas Tipe IV
Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi Tipe IV. Sel T melepas sitokin,
bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang
terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang
diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid
topikal.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas Tipe IV dibagi dalam DTH yang terjadi melalui
CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.
1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi Tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi
terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talkum
dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase
pada respons Tipe IV yang dimulai dengan fase sensitasi membutuhkan 1 – 2
minggu setelah kontak primer dengan antigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh
APC melalui MHC-II. Reaksi khas DTH seperti respons imunlainnya mempunyai 2
fase yang dapat dibedakan yaitu fase yang dapat sensitasi dan fase efektor.
Berbagai APC seperti sel Langerhans (SD dikulit) dan makrofag yang
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk
dipresentasikan ke sel T. Sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+
terutama Th1, tetapi pada beberapa hal sel CD8+ dapat juga diaktifkan. Pajanan
ulang dengan antigen menginduksikan sel efektor. Pada fase efektor, sel Th1
melepas berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel
inflamasi nonspesifik lain. Gejala biasanya baru nampak 24 jam sesudah kontak
kedua dengan antigen. Makrofag merupakan efektor utama respons DTH terhadap
parasit dan bakteri intraselular yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi. Enzimlitik
yang dilepaskan makrofag menimbulkan destruksi nonspesifik patogen intraselular
yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan.
Pada beberapa hal, antigen tidak mudah dibersihkan sehingga respons DTH
memanjang dan dapat merusak jaringan pejamu dan menimbulkan reaksi
granuloma. Granuloma terbentuk bila makrofag terus menerus diaktifkan dan
menempel satu dengan lainnya yang kadang berfungsi membentuk sel datia
multinuklea yang disebut sel datia. Sel datia tersebut mendorong jaringan normal
dari tempatnya, membentuk nodul yang dapat diraba dan melepas sejumlah beasr
enzimlitik yang merusak jaringan sekitar. Pembuluh darah dapat dirusak dan
menimbulkan nekrosis jaringan.
Respons terhadap M.tuberkulosis merupakan respons DTH yang bermata dua.
Imunitas terhadap M.tuberkulosis menimbulkan respons DTH yang mengaktifkan
makrofag untuk memasang batasan kuman dari paru, kuman diisolasi dalam lesi
granuloma yang disebut tuberkel. Enzimlitik yang sering dilepas makrofag yang
diaktifkan dalam tuberkel merusak jaringan paru sehingga terjadi kerusakan
keuntungan yang diperoleh dari DTH. Granuloma terbentuk pada tuberkulosis,
lepra, skistosomiasis, lesmaniasis dan sarkoidosis.
2. Sitokin yang berperan pada DTH
Diantara sitokin yang diproduksi, sel Thl berperan dalam menarik dan
mengaktifkan makrofag ketempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi
hematopoiesis lokal dari sel garis granulosit – monosit IFN-У dan TNF-β beserta
sitokin asal makrofag (TNF-α dan IL-1) memacu sel endotel untuk menginduksi
sejumlah perubahan yang memudahkan ekstravasasi sel seperti monofit dan sel
nonspesifik lain. Neutrofil dan monofit dalam sirkulasi menempel pada molekul
adhesi sel endotel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga jaringan.
Neutrofil nampak dini pada reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit terjadi
antara 24 – 28 jam setelah pajanan dengan antigen. Monofit yang masuk jaringan
menjadi makrofag yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti MCP-1/CCL2.
MIF mencegah makrofag untuk bermigrasi keluar dari lokasi reaksi DTH.
IFN-У dan TNF-β yang diproduksi sel CD4+ Th1 mengaktifkan makrofag
lebih aktif berperan sel efektor dan sebagai APC yang melepas IL-12. Yang akhir
menginduksi Th1 dan lebih efektif memproduksi IFN-У yang menekan aktivitas sel
Th2 dan mengaktifkan inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan disebabkan oleh
produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif
intermediet, oksida nitrat dan sitokin proinflamasi. IL-18 adalah sitoki lain yang
diproduksi makrofag yang bersama IL-12 memacu Th1 untuk lebih banyak
memproduksi IFN-У . respons yang sifatnya bermata dua antara respons proteksi
yang menguntungkan dan respons yang merusak yang ditandai oleh kerusakan
jaringan.
3. Manifestasi klinis reaksi Tipe IV
a. Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak
dengan bahan tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan
bahan seperti formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat
rambut yang menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1.
b. Hipersensitivitas tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap
produk filtrat biakan M.tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan
menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat Tipe IV. Yang berperan dalam
reaksi ini adalah sel limfosit CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak
tubekulin atau derivat protein yang dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan
indurasi timbul ditempat suntikan dalam 12 – 24 jam. Pada individu yang
pernah kontak dengan M.tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada hari ke 7 – 10
pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui sel T.
c. Reaksi Jones Mote
Reaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivitas Tipe IV terhadap antigen
protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok dikulit dibawah
dermis. Reaksi juga disebut hipersentivitas basofil kutan. Dibanding dengan
hipersensitivitas Tipe IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa
hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis
dan reaksi dapat diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin
dengan adjuvan Freund.
d. T Cell Mediated Cytolysis (penyakit CD8+)
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+ /
CTL / Tc yang lansung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan
hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan
biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak
sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit
yang terinfeksi.
Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologis dapat membunuh
sel dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui
mekanisme selular CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self – antigen dan kedua
jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan. (pada tabel 14.9)
Tabel 14.9 Contoh – contoh penyakit yang diinduksi sel TPenyakit Spesifikasi
sel T patogenikPenyakit pada manusia
Model hewan
Diabetes insulinDependen (Tipe I)
Antigen pulau Lagngerhans (insulin,asam glutamat dekarboksilase dll)
Ya, spesifitas sel T tidak terbukti
Model pada tikus transgenik
Artritis reunatoid Antigen dalam sinovium sendi tidak jelas
Ya, spesifitas sel T dan peran antibodi tidak jelas
Artritis diinduksi kolagen, dan lainnya
Sklerosis multipel, EME
MBP, protein proteolipid
Ya, sel T mengenal antigen mielin
EME diinduksi oleh imunisasi dengan antigen SSP; model TCR transgenik
Neuritis perifer Protein P2 asal mielin saraf perifer
Sindrom Gullain-Barre
Diinduksi oleh imunisasi dengan antigen mielin saraf perifer
Miokarditis EksperimentalAutoimun
Miosin ? Diinduksi oleh imunisasi dengan miosin
Infeksi Antigen mikrobakteri atau lainnya menginduksi respons sel T dan makrofag
Granuloma dan fibrosis, inflamasi menimbulkan kerusakan jaringan
Bahan kimia Reaksi DTH Dermatitis kontak
BAB III
PEMBAHASAN
SINDROM HIPERSENSITIVITAS OBAT
Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) atau Drug Rash Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS) adalah suatu kondisi mengancam nyawa yang ditandai oleh ruam kulit,
demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
3.1. Patofisiologi
Pasien yang mengalami SHO memiliki sel limfosit T yang teraktivasi dalam
sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan konsep p-i (pharmacological
interaction with immune receptors) menghasilkan interleukin 5 (IL- 5) dan interferon gamma
(IFN-g). Interleukin 5 merupakan faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi,
dan aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major
histocompatibility complex (MHC) kelas II pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut
selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+.
Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaian terhadap protein atau enzim
tertentu sehingga mempengaruhi kerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan
dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan selT akan mengaktifkan respon
imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon imun yang
ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpa memerlukan proses sensitisasi
sebelumnya.
3.2. Pendekatan Diagnosis
Evaluasi awal dengan kecurigaan alergi obat adalah mengenali reaksi simpang obat
ringan dan berat. Kecepatan dan ketepatan dalam mengenali reaksi simpang obat berat
penting dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien. Pertama-tama kita akan bahas
dahulu gambaran klinis reaksi simpang obat yang seringkali kita temukan.
Gambaran lesi erupsi obat yang seringkali ditemukan adalah jenis eksantema
morbiliformis (sekitar 95%) yang umumnya tidak menimbulkan kematian atau kesakitan
yang bermakna. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penting bagi dokter untuk dapat
mengenali reaksi simpang obat yang berat seperti SHO, SSJ, serta NET. Terdapat beberapa
parameter klinis serta laboratorium yang mengarahkan kecurigaan kita terhadap reaksi
simpang obat yang berat.5 Berbagai parameter tesebut terdapat dalam TABEL 1
3.3. Manifestasi Klinis
Sindrom hipersensitivitas obat terjadi sekitar 3 minggu hingga 3 bulan setelah
pemberian obat, yang ditandai oleh demam dan munculnya lesi kulit. Gambaran klinis yang
penting adalah awitan yang lambat setelah obat penyebab diberikan. Hal tersebut yang
membedakan SHO dengan erupsi obat lainnya. Erupsi kulit yang timbul biasanya dimulai
dengan bercak makula eritematosa, sedikit gatal, dan kemudian akan meluas dan menyatu
(konfluensi). Kelainan kulit generalisata ditemukan pada sekitar 85% kasus.18 Demam
muncul sesaat mendahului ruam kulit, dengan kisaran suhu 38-40oC. Demam umumnya akan
tetap berlanjut meskipun obat penyebab telah dihentikan. Lesi kulit awalnya muncul pada
daerah wajah, tubuh bagian atas, serta ekstremitas atas yang kemudian konjungtivitis, edema
periorbita, dan pustul. Telapak tangan biasanya tidak terkena, meski pada beberapa kasus
dapat dijumpai lesi dalam jumlah sedikit.6,9 Limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan pada
sekitar 70% kasus. Umumnya kelenjar getah bening yang terlibat adalah kelenjar getah
bening servikal. Mukosa umumnya tidak terlibat pada SHO, namun dapat ditemukan sedikit
lesi di mukosa mulut dan bibir. Rongga mulut akan terasa kering akibat xerostomia berat. Hal
tersebut akan menyulitkan asupan makanan pasien. Gejala dan tanda tersebut dapat
mengalami perburukan 3-4 hari setelah obat pencetus dihentikan. Fenomena paradoksikal
tersebut juga menjadi salah satu karakteristik SHO. Pada pemeriksaan fisik abdomen
ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
Organ dalam yang seringkali terlibat pada SHO adalah hati (80%), ginjal (40%), serta
paru (33%). Keterlibatan susunan saraf pusat (ensefalitis, meningitis aseptik) jarang
ditemukan. Sebagian kecil pasien dapat mengalami hipotiroid akibat tiroiditis autoimun
dalam waktu dua bulan setelah gejala muncul. Kolitis yang ditandai oleh diare berdarah dan
nyeri abdomen juga dilaporkan meskipun jarang.\
Setiap obat yang mencetuskan SHO juga memiliki gambaran yang spesifik.
Lamotrigin menimbulkan SHO dengan kadar eosinofilia yang lebih rendah. Sementara itu
alupurinol lebih sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal dan minoksiklin menimbulkan
limfadenopati masif dan trombositopenia.6
3.4. Diagnosa Sindrom Hipersensitivitas Obat
Terdapat beberapa kriteria diagnosis yang digunakan untuk SHO. Bocquet et al.20
menyatakan kriteria diagnosis SHO adalah sebagai berikut: (1) kelainan kulit akibat erupsi
obat; (2) kelainan hematologi, yaitu eosinophilia >1500/Μl atau adanya limfositosis atipik;
(3) keterlibatan sistemik yang ditandai oleh adenopati (diameter lebih dari 2 cm), hepatitis
(nilai enzim transaminase >2x normal), nefritis interstisial, pneumonia interstisial, atau
karditis.
Kriteria diagnosisBocquet et al. ini menekankan pada keterlibatan multi organ serta
adanya eosinophilia.Sementara itu kelompok peneliti Jepang menyatakan kriteria diagnosis
untuk SHO adalah:3
1. Ruam makulopapular yang timbul lebih dari tiga minggu pemberian obat-obat tertentu.
2. Manifestasi klinis yang memanjang, meskipun obatpenyebab telah dihentikan.
3. Demam (>38°C)
4. Gangguan hati (peningkatan SGPT >100 U/L) atauterdapat keterlibatan organ lain.
5. Abnormalitas leukosit (setidaknya ditemukan satu):
Leukositosis (>11 000/μL)
Limfositosis atipikal (>5%)
Eosinofilia (>1 500/μL)
6. Limfadenopati
7. Aktivasi HHV-6 (pada minggu kedua atau ketiga setelah gejala muncul)
Diagnosis SHO ditegakkan apabila ketujuh kriteria tersebut dijumpai (SHO tipikal).
Apabila hanya ditemukan lima kriteria saja maka disebut sebagai SHO atipikal. Apabila
ditemukan gangguan ginjal, hal tersebut dapat menggantikan gangguan fungsi hati.
3.5. Terapi
Terapi yang dilakukan yaitu antipiretik untuk menurunkan suhu, nutrisi adekuat, cairan
intravena yang cukup, serta perawatan kulit. Penghentian obat tersangka sesegera mungkin
merupakan tindakan pertama yang perlu dilakukan. Hingga saat ini kortikosteroid merupakan
terapi pilihan untuk SHO. Umumnya demam serta ruam kulit akan mengalami perbaikan
dengan pemberian kortikosteroid sistemik. Dosis yang digunakan adalah prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid sistemik harus secara perlahan diturunkan,
meskipun didapatkan gambaran klinis yang membaik dengan cepat. Hal tersebut dikarenakan
besarnya kemungkinan terjadinya flare up kembali pada SHO.6 Risiko terjadinya sepsis
akibat pemberian kortikosteroid sistemik lebih rendah apabila dibandingkan dengan kasus
SSJ atau NET. Hal tersebut diakibatkan tidak adanya perubahan barier mukosa atau kulit
yang signifikan. Antihistamin dan kortikosteroid topikal dapat pula diberikan untuk
mengurangi keluhan yang ada.
Apabila tetap terjadi perburukan gejala meskipun kortikosteroid sistemik telah diberikan,
maka terdapat beberapa obat lain yang dapat diberikan. Pemberian immunoglobulin intravena
dan plasma exchange dapat menjadi alternatif. Immunoglobulin intravena diberikan atas
dasar proses reaktivasi virus dalam terjadinya SHO. Pemberian immunoglobulin intravena
diharapkan dapat menekan reaktivasi virus yang terjadi.21 Selain itu juga terdapat laporan
kasus mengenai manfaat pemberian siklosporin pada kasus SHO persisten, yaitu steroid tidak
dapat diberikan akibat efek samping yang ditimbulkannya Pemberian N-asetilsistein pada
kasus SHO diperkirakan memberikan manfaat. Hal tersebut berdasarkan pemahaman bahwa
N-asetilsistein merupakan prekursor glutation serta memodulasi produksi berbagai sitokin pro
inflamasi. Meskipun demikian pemberian rutin N-asetilsistein belum direkomendasikan
karena belum adanya uji klinis yang mendukung. Pencegahan sekunder yang dilakukan
terhadap pasien adalah dengan menghindari obat tersangka di masa mendatang. Obat
alternatif sebaiknya digunakan apabila memang tersedia.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai
kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
Sindrom hipersensitivitas obat merupakan salah satu reaksi simpang obat yang berat.
Sindrom hipersensitivitas obat ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis dengan
eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah bening, serta gangguan pada
hati atau ginjal. Faktor yang berperan dalam terjadinya SHO adalah paparan terhadap obat
yang berpotensi kepada individu yang memiliki kerentanan. Obat-obatan yang seringkali
menyebabkan SHO adalah anti kejang, alupurinol, atau OAINS. Kerentanan individu
disebabkan oleh faktor keturunan (jenis kelamin, polimorfisme genetik) maupun faktor
didapat (infeksi HIV, LES, HHV-6).
Terapi kasus SHO meliputi tata laksana suportif serta pemberian kortikosteroid
sistemik. Sebagian besar kasus SHO akan mengalami penyembuhan dengan baik.
Antihistamin serta kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk meringankan keluhan. Pada
kasus yang persisten dapat digunakan terapi immunoglobulin intravena atau siklosporin.
4.2. Saran
Pada makalah selanjutnya harap dibahas tentang penyakit reaksi sensitivitas yang lain,
karena banyak sekali penyakit yang ditimbulkan dari reaksi sensitivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Karnen, garna. 2012. Imunologi Dasar edisi ke – 10. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Rahmat, et all. 2011. Sindrom Hipersensitivitas Obat. Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta : Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan.