Upload
nur-huda
View
427
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
1
Pembagian Peran Kerja dalam Sistem Produksi
Pertanian Dusun Cuntel
Disusun oleh:
Nur Huda 0706165255
Akbar Rahmadi 0706284585
Andri Ramawan Adipura 0706284616
Duty Andhika N. 0706284673
Mahendra Valentino 0706284811
Noverdhy Rabusetyoko 0706284875
PROGRAM SARJANA REGULER SOSIOLOGI
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2009
2
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah penelitian kami yang berjudul ‖ Pembagian Peran
Kerja dalam Sistem Produksi Pertanian Dusun Cuntel‖ dari mata kuliah Sosiologi Pedesaan
sesuai dengan waktu yang telah kami rencanakan. Penulisan makalah penelitian ini bertujuan
untuk memberikan penjelasan mengenai bagaimana pembagian peran kerja dalam sistem
produksi pertanian di Dusun Cuntel sehingga kita bisa mengetahui bagaimana pembagian
peran kerja petani pada desa-desa di Jawa. Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penulisan makalah ini. Terutama untuk para dosen sosiologi pedesaan yang
telah memberikan bimbingannya, dan para mentor yang telah memberikan banyak bantuan,
serta teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam pembuatan makalah
ini, dan khususnya untuk warga Dusun Cuntel yang telah membantu dan bersedia menjadi
subjek penelitian kami sehingga makalah ini dapat selesai dan juga karena telah memberikan
pengajaran yang berharga kepada kami tentang arti sebuah kehidupan.
Makalah penelitian ini telah kami kerjakan dengan semaksimal mungkin dan dengan
berbagai upaya yang dapat membuat makalah ini menjadi yang tebaik. Namun, kami
menyadari bahwa sebagai manusia kami masih punya banyak kekurangan, begitu pula dalam
pembuatan makalah ini. Oleh karena itu kami mohon maaf bila ada kesalahan, kami juga
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, demi tercapainya
perbaikan untuk makalah-makalah kami berikutnya. Kami juga berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Depok, Desember 2008
3
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….1
DAFTAR ISI ........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................4
Latar Belakang Masalah................................................................................................4
Permasalahan..................................................................................................................9
Tujuan Penelitian............................................................................................................10
Metode Penelitian............................................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................11
Kerangka Konsep............................................................................................................11
Desa..............................................................................................................................11
Pertanian dan Sistem Pertanian................................................................................13
Peran, status, dan multiple-role Petani......................................................................14
Pembagian kerja.........................................................................................................17
Etika ekonomi dan Etika subsistensi…………………………………………….....18
BAB III TEMUAN LAPANGAN…………………………………………………………19
Sejarah Dusun Cuntel………………………………………………………………….19
Profil Dusun Cuntel…………………………………………………………………….20
Informasi dari Informan……………………………………………………………….21
Informan 1..………………………………………………………………………….22
Informan 2……………………………………………………………………………23
Informan 3…..………………………………………………………………………..25
Informan 4.....………………………………………………………………………..26
Informan 5.....………………………………………………………………………..27
4
Informan 6.....………………………………………………………………………..28
Informan 7.....………………………………………………………………………..29
Informan 8.....………………………………………………………………………..29
Informan 10.....………………………………………………………………………31
Informan 9...…………………………………………………………….……………33
Informan 11 ………………………………………………………………………..33
BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………………………...36
Sistem Produksi Pertanian di Dusun Cuntel……………………………………….....38
Pembagian peran dalam sistem pertanian Dusun Cuntel……………………………39
Pemilik Lahan Pertanian……………………………………………………………39
Penyewa Lahan Pertanian…………………………………………………………..40
Buruh Cangkul……………………………………………………………………….40
Pemborong……………………………………………………………………………41
Buruh Pupuk…………………………………………………………………………41
Hubungan antar Unit dalam Sistem Produksi Pertanian Dusun Cuntel……………43
PENUTUP ………………………………………………………………………..47
Kesimpulan ………………………………………………………………………..47
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….48
Buku……………………………………………………………………………………..48
Internet…………………………………………………………………………………..48
LAMPIRAN…………………………………………………………………………………50
Rekapitulasi Penduduk Dusun Cuntel………………………………………………...50
Denah Dusun Cuntel…………………..…………………..…………………..………..50
Data Luas Lahan Menurut SPPT…………………..…………………..……………..51
5
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah
Alam merupakan sumber kehidupan bagi makluk hidup yang hidup di sekitarnya.
Selain hewan, manusia adalah konsumen terbesar kedua yang menkonsumsi hasil dari alam.1
Manusia tidak bisa hidup tanpa alam, karena semua yang di butuhkan manusia hanya bisa
didapatkan di alam, mulai dari kebutuhan pangan, papan dan sandang. Berbeda dengan
binatang, manusia melakukan pengolahan dan pembudidayaan alam untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hubungan ini semakin berkembang dan akhirnya membentuk suatu
system pengelolaan alam didalamnya terjadi kesalingtergantungan antara manusia dengan
alam. Salah satu bentuk dari hubungan manusia dengan alam yang telah membentuk sistem
adalah hubungan dalam kegiatan pertanian. Di dalam kegiatan pertanian terjadi hubungan
timbal-balik saat petani mengelola lahan produksi (sawah, lahan, tegal, pekarangan dan lain-
lain). Disana petani memberikan pengelolaan yang terbaik untuk lahan dan tanaman (alam),
dan alam memberikan apa yang di butuhkan manusia.
Yang dimaksud dengan ―pertanian‖ (agriculture) adalah semua kegiatan
menghasilkan pangan lewat mengolah tanah, seperti padi, gandum, katun, teh, kopi, coklat,
tebu, pisang, dsb. Tetapi dalam pertanian juga termasuk kegiatan memelihara ternak, seperti
ayam, sapi, kambing, ikan, dsb. Bahkan akhir-akhir ini usaha mengembangkan bunga juga
termasuk dalam pertanian. Maka hasil pertanian mencakup makanan (sayur-mayur, beras,
gandum, jagung), serat (katun, wool, sutra), dan bunga juga merupakan bentuk pertanian.
Kendati demikian, definisi tersebut dapat disempitkan pada hasil mengolah tanah, terutama
beras, gandum dan sayur-sayuran.2 Mengolah tanah sebenarnya merupakan kegiatan kuno
setelah manusia meninggalkan fase masyarakat pastoral sebelum masuk ke fase masyarakat
industrial. Pada masa itu manusia menanam untuk mencukupi kebutuhannya. Menurut Martin
Wolf, para petani (peasants) memakai hasil buminya untuk tiga kebutuhan: makan, benih,
dan upacara. Dengan kata lain, para petani itu tidak mengadakan jual-beli hasil tanamnya.
1 http://www.kasundaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=84&Itemid=30 2 www.pertaniansehat.or.id
6
Kalau pun terjadi pertukaran (exchange), tidaklah melibatkan uang, melainkan tukar-menukar
barang (barter). Kehidupan petani pada dasarnya berciri ―subsisten,‖ sekedar mencukupi
kebutuhan hidup minimal. (James Scott)3
Keterkaitan yang sangat erat antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya tidak
hanya menyangkut lingkungan alam, melainkan juga lingkungan sosial. Lingkungan sosial ini
mengacu pada hubungan antar manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik yang
berhubungan dalam konteks sosial secara umum, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kembali pada kegiatan pengelolaan alam sebagai upaya manusia untuk memenuhi
kebutuhannya, konteks lingkungan sosial ini agaknya berperan cukup banyak. Disamping
keterbatasan kemampuan manusia, keterbatasan sumberdaya alam yang tersedia membuat
manusia tidak dapat menggunakannya dengan seenaknya untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Sebagai hasilnya, manusia melakukan pengelolaan alam secara kolektif bersama-
sama dengan manusia yang lainnya.
Jika kita melihat kepada pengertian sistem produksi sebagai sebuah kegiatan
mengolah bahan baku atau bahan belum jadi menjadi barang jadi melalui sebuah mekanisme
proses yang melibatkan sekumpulan kumpulan komponen yang saling berintegrasi untuk
menjalankan suatu aktivitas atau suatu proses yang dimulai dari input sampai output,
pengelolaan lahan pertanian secara bersama-sama ini bisa dilihat sebagai sebuah bentuk
sistem produksi.4 Dalam sistem tersebut, komponen utamanya adalah manusia dan alam yang
bekerja bersama. Lebih jauh lagi, pengelolaan alam secara kolektif kemudian juga
melahirkan pembagian tugas dan peran di antara manusia itu sendiri. Disini semakin
kompleks sebuah masyarakat berkembang, maka peran-peran yang ada di dalamnya juga
berkembang semakin banyak dan kompleks.
Sistem Produksi Pertanian ini meliputi produksi biologis yang memanfaatkan materi
dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya (petani) yang dikemas
dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem pra produksi, produksi, panen dan pasca
panen serta distribusi dan pemasaran (Badan Litbang Pertanian, 1999).5 Subsistem-subsistem
3 http://criticalglobalisation.com/2008/05/globalisasi-pertanian.html 4 Diambil dari Sudaryanto, Tahlim: Konsep Sistem Usaha Pertanian, Serta Peranan BPTP dalam Rekayasa
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. 5 Ibid,
7
tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Di dalam
subsistem-subsistem tersebut terdapat serangkaian peranan yang dijalankan oleh individu-
individu anggota masyarakat yang terlibat dalam sistem produksi tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul Moral Ekonomi Petani, James Scott menjelaskan
bahwa sistem produksi yang berkembang di kalangan masyarakat pedesaan yang pra kapitalis
tidaklah sama dengan masyarakat kapitalis pada umumnya (Scott, 1976 : 5). Kegiatan
produksi yang mereka lakukan hanyalah bersifat subsisten dan bukan ekonomi rasional,
artinya hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan minimalnya saja untuk hidup. Hal
inilah yang membuat sistem produksi pertanian di daerah pedesaan berkembang secara khas
dengan ciri stagnasinya. Seiring dengan berjalannya waktu, timbul pertanyaan apakah
masyarakat pedesaan seperti yang dicirikan oleh Scott ini masih bertahan hingga saat ini,
terutama dengan semakin berkembangnya teknologi pertanian dan masyarakat itu sendiri.
Sebagian besar penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani. Hal
ini dibuktikan dengan luas lahan untuk pertanian di Indonesia, yaitu sekitar 107 juta hektar
dari total luas daratan Indonesia (sekitar 192 juta hektar)6. Berdasarkan BPS (2002), data
tersebut belum termasuk Maluku dan Papua. Dari luasan tersebut sekitar 24,5 juta hektar
adalah lahan basah untuk lahan sawah, 25,3 juta hektar adalah lahan kering yang berpotensi
untuk tanaman semusim, dan 50,9 juta hektar untuk padang rumput dan tanaman kayu-
kayuan. Sedangkan lahan pertanian tergarap untuk usaha tanaman bahan pangan yang kini
tersedia hanya 7,8 juta hektar lahan basah dan lebih dari 80 persen bahan pangan kita masih
dihasilkan dari lahan basah yang relatif sempit tersebut.
Tabel 1. Luas lahan sawah di Indonesia7
No Wilayah Sawah
irigasi
Persentas
e
Sawah
nonirigas
i
Persentas
e
Total Persentas
e
Ha % Ha % ha %
1 Sumatera 997.060 23,74 1.332.040 36,84 2.329.224 29,80
2 Jawa & Bali 2.442.100 58,74 968.440 27,34 3.430.698 43,89
3 NT & 154.920 5,69 155.120 4,29 310.144 3,97
6 www.pertaniansehat.or.id, diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
7 http://balittanah.litbang.deptan.go.id, diakses pada tanggal 07 Maret 2009 pukul 20.35
8
Maluku
4 Kalimantan 228.850 5,45 772.890 21,38 1.001.845 12,82
5 Sulawesi 373.500 8,89 346.630 9,59 720.239 9,21
6 Irian Jaya 4.240 0,10 20.640 0,57 24.980 0,32
Indonesia 4.200.670 100,0 3.595.760 100,0 7.817.130 100,0
Sementara sejumlah 69% penduduk Republik Indonesia bermukim di pedesaan.
Mayoritas dari mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani gurem, petani
penyakap, maupun buruh tani. Dari ke 179.321.641 jiwa penduduk Indonesia8, sekitar 60% di
antaranya yaitu 107.573.749 jiwa bermukim di Pulau Jawa, yang luasnya hanya sekitar 7%
dari luas wilayah Indonesia. Dapat diduga kepadatan penduduk Pulau Jawa sangat tinggi.
Berdasarkan data sensus Pertanian 19839, diketahui 57,4% rumah tangga petani di Pulau
Jawa terdiri dari petani gurem, petani penyekap, dan buruh tani dengan luas kepemilikan
lahan sawah yang sangat minim yakni berkisar antara 0,00-0,05 Hektar.
Di pulau Jawa sendiri, salah satu wilayah yang dikenal sebagai sentral produksi
pertanian adalah Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2007 Jawa Tengah memiliki kontribusi
total terhadap produksi nasional yang mencapai 21,63%. Kontribusi di sector pertanian
tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan provinsi Jawa Barat yang memiliki kontribusi
produksi nasional sebesar 10,36%.10
Komoditas hasil pertanian yang paling banyak itu
terdapat di daerah Jawa Tengah dengan hasil komoditas pertanian yang berupa sayur-sayuran
dan buah-buahan, seperti kacang tanah, kedelai, bawang merah, lombok, kubis, kentang,
petai, pisang, mangga, durian, pepaya, dan nanas.11
Dari aspek sumberdaya manusia juga
tercatat bahwa jumlah penduduk Jawa Tengah yang bekerja di sektor pertanian pada tahun
1998 mencapai 43,38 %.12
Peranan sektor pertanian di Jawa Tengah yang meliputi pertanian pangan dan
hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan, dalam pembangunan perekonomian
Jawa Tengah salama ini masih dominan dan cukup strategis. Kontribusi sektor pertanian
terhadap PDRB dari tahun 1994 sampai tahun 1997 menduduki proporsi terbesar dibanding
8 Data Sensus Penduduk 1990
9 http:// digilib.upi.edu, Jumlah Petani di Pulau Jawa, diakses pada tanggal 07 Maret 2009 pukul 19.57
10 http://makassarterkini.com 11 www.ri.go.id 12 www.jawatengah.go.id
9
sektor-sektor lainnya. Kontribusi PDRB dalam sektor pertanian di Semarang sebagai ibukota
Provinsi saja hingga kini mencapai 14,42%13
Hal ini dapat kita lihat dari data Situs Resmi
Pemerintah Kabupaten Semarang sebagai berikut: 14
Saat Panen : sepanjang tahun
Sentra produksi : Kec.Ambarawa, Bawen,
Sumowono, dan Getasan
Pemasaran : hampir seluruh kota di Jawa
Tengah dan DIY.
Sumber : www.semarangkab.go.id
Di Kabupaten Semarang sendiri, salah satu daerah yang menjadi sentral penghasil
sayur-sayuran adalah Kecamatan Getasan yang terletak di bagian bawah Gunung Merbabu.
Di Kecamatan Getasan sendiri terdapat sebuah kawasan yang lokasinya paling tinggi dan
sangat terpencil di kaki Gunung Merbabu bernama Cuntel. Sesuai dengan namanya yang
berarti ―terakhir‖, Dusun Cuntel ini merupakan Dusun terakhir (paling dekat dengan gunung)
dan terletak di salah satu jalur pendakian Gunung Merbabu. Jalur yang menghubungkan
Dusun Cuntel dengan Dusun-dusun di bawahnya masih berupa jalanan batu yang masih sulit
dialalui. Sebagian besar penduduk disana menggantungkan kehidupannya melalui pertanian
(hampir 90 %) Tanaman pertanian yang dikembangkan sebagian besar merupakan tanaman
hortikultura. Tanaman yang dikembangkan antara lain : bawang daun, brokoli, kentang,
kubis, wortel, tomat, dll. Kondisi yag demikian membuat Dusun Cuntel cukup sering
didatangi oleh para pengunjung baik dari dalam maupun luar negeri.
Disini menarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimanakah sistem pertanian
yang telah berkembang hingga saat ini di Dusun Cuntel. Mengkaji mengenai bagaimanakah
pertanian sekunder (bermacam-macam sayur-sayuran) yang menjadi sumber matapen-
caharian utama mereka diorganisasikan dalam keterbatasan kondisi geografisnya yang kurang
strategis dan cukup tandus. Selain itu, dengan banyaknya pendatang yang telah masuk ke
13 www.bpk.go.id 14 www.semarangkab.go.id
10
wilayah mereka, menarik pula untuk mengkaji lebih jauh mengenai bagaimanakah relasi
sosial yang terjadi dalam kegiatan pertaniaanya. Mengkaji apakah sistem pertanian disana
telah berkembang secara berbeda ataukah sama saja dengan wilayah pedesaan lainnya yang
mengembangkan pertanian primer (makanan pokok) dan memiliki ciri subsiten.
I. 2. Permasalahan
Cuntel adalah salah satu contoh nyata dari kawasan pedesaan di Indonesia yang
wilayahnya cukup sempit dan terpencil. Sebagai sebuah kawasan pedesaan, Cuntel juga
dicirikan dengan corak masyarakatnya yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani. Pertanian yang berkembang di sana adalah pertanian sekunder (pertanian
sayuran/hortikultura) yang sangat beragam, seperti bawang daun, brokoli, kentang, kubis,
wortel, tomat, dll. Dusun Cuntel ini merupakan Dusun terakhir (paling dekat dengan gunung)
yang cukup terpencil dengan kualitas jalur transportasi (jalan) yang masih susah diakses,
Selain itu, Sisi khas dari Cuntel adalah interaksi mereka yang cukup sering dengan para
pendatang dari luar, baik para pendaki, peneliti, missionaris maupun para wisatawan yang
ingin menikmati keindahan alam dan suasana pedesaan baik dari dalam maupun luar negeri.
Keadaan alam dan lingkungan sosial yang demikian melahirkan rasa keingintahuan
mengenai bagaimanakah sistem pertanian yang telah berkembang disana dalam konteks saat
ini. Selain masalah lokasi yang terpencil dan beragamnya jenis sayuran yang dibudidayakan,
masalah lainnya adalah fakta bahwa di dusun Cuntel jenis pertanian dimana sebagian besar
penduduknya menggantungkan hidupnya adalah jenis pertanian sekunder (sayuran) yang
tentunya bukan merupakan makanan pokok. Fakta ini membuat para petani tersebut mau
tidak mau hanya menggunakan pertanian sebagai sumber pendapatan dan bukan sumber
penghidupan seperti halnya para petani padi. Selain itu, menarik juga untuk mengkaji lebih
dalam mengenai bagaimanakah relasi sosial yang terjadi dalam sistem produksi pertanian
tersebut.
Dari rumusan permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Bagaimanakah peta sistem pertanian yang ada di Dusun Cuntel?
Bagaimanakah deskripsi peran-peran dalam peta sistem produksi tersebut?
Bagaimanakah relasi sosial yang terjadi antarunit di dalam sistem produksi tersebut?
11
I. 3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
Membuat ―role mapping‖ sistem pertanian yang ada di Dusun Cuntel
Mendeskripsikan pola-pola sistem pertanian petani Dusun Cuntel
Menjelaskan berbagai relasi sosial yang terjadi antarunit di dalam sistem produksi
pertanian yang ada di Dusun Cuntel
I. 3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretive guna menjelaskan secara
deskriptif mengenai sistem pertanian Dusun Cuntel beserta relasi antar unit di dalam sistem
tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan
metode wawancara mendalam terhadap 12 informan yang dirasa relevan dan ―tahu‖
mengenai sistem produksi pertanain di Dusun Cuntel. Pengambilan informan sendiri
menggunakan teknik snowball dimana dalam hal ini, informan yang diambil adalah mereka
yang memiliki hubungan dengan informan sebelumnya. Sebagai informan awalnya, kami
mengambil seorang tokoh masyarakat di Dusun Cuntel. Informan berikutnya kami ambil
berdasarkan luas tanah yang dimiki, yaitu 3 orang yang memiliki tanah paling luas dan tiga
orang dengan luas lahan tersempit. Langkah pemilihan ini kami ambil karena tanah
merupakan faktor yang menjadi sumber daya utama dalam melakukan kegiatan bertani
(Moore dalam Scott, 1981: 10)15. Berikutnya wawancara dilanjutkan dengan para Informan
yang juga terlibat dalam sistem produksi berdasarkan informasi dari informan sebelumnya.
15 Sumber daya merupakan suatu substansi yang berperan dalam suatu proses atau operasi karena adanya fungsi yang operasional untuk mencapai tujuan tertentu di dalamnya, seperti memenuhi kepuasan (Zimmermann, 1964 dalam Zen, 1982: 4), dalam skripsi Petani Buah: Suatu Kajian Tantang Pola Penghasilan dan Pembelanjaan Petani Buah di Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, oleh: Didik Wedyo Susatyo.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Kerangka Konsep
II. 1. 1. Desa
Pengertian desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian (Rahardjo,
1999: 15). Akan tetapi, sebenarnya faktor pertanian bukanlah ciri yang harus selalu melekat
pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal
(menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Artinya, suatu desa ditandai
oleh keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini
disamping terutama untuk tempat tinggal, juga untuk menyangga kehidupan mereka. Dalam
sosiologi, jenis kelompok seperti ini–yakni yang memiliki ikatan kebersamaan dan ikatan
terhadap wilayah tertentu—pengertiannya tercakup dalam konsep komunitas. Oleh karena itu
, desa dilihat dari karakteristik yang dimilikinya adalah suatu komunitas. Koentjaraningrat
(1977) membagi komunitas menjadi dua yaitu komunitas besar dan kecil. Desa merupakan
termasuk kedalam komunitas kecil. Koentjaraningrat mendefinisikannya sebagai :‖komunitas
kecil yang menetap tetap di suatu tempat ―(1977:162).
Definisi lain, Menurut Egon E.Bergel (1955:121-123), pengertian desa dibagi menjadi
dua. Pertama, desa diartikan sebagai ―setiap pemukiman para petani (peasant), terlepas dari
ukuran besar kecilnya. Yang kedua, terdapat juga desa-desa perdagangan. Yang dimaksud
dengan desa perdagangan tidaklah berarti bahwa seluruh penduduk desa terlibat dalam
kegiatan perdagangan, melainkan hanya sejumlah orang saja dari desa itu yang memiliki
mata pencaharian dalam bidang perdagangan. Jenis pekerjaan non-pertanian ini dikelola
secara tradisional, baik dalam hal pemasaran produksi maupun transformasi keahliannya.
Selain itu, definisi desa menurut Paul H. Landis (1948:12-13), seorang sarjana
Sosiologi Pedesaan dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa definisi desa dapat dipilah
menjadi tiga, tergantung pada tujuan analisa. Untuk tujuan analisa statistik, desa didefinisikan
sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisa
sosial-psikologis, desa didefinisikan sebgai suatu lingkungan yang pendudukanya memiliki
13
hubungan yang akrab dan serba informal antara sesame warganya. Sedangkan untuk tujuan
analisa ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung
pada pertanian.
II. 1. 2. Pertanian dan Sistem Pertanian
Pertanian dalam arti luas diartikan sebagai usaha budidaya tanaman, ternak, ikan,
hutan agar memberikan suatu hasil, sedangkan dalam arti sempit adalah budidaya tanaman
pangan, perkebunan, hortikultura, dan tanaman pakan ternak16
. Perkembangan pertanian
berhubungan erat dengan perkembangan dari setiap kondisi masyarakatnya.
Contoh:
1. Primitif masih dengan sistem berburu dengan mengumpulkan hasil hutan.
2. Masyarakat yang sudah lebih maju misalnya didapatkannya api berpengaruh terhadap
perkembangan pertanian.
3. Setelah mengenal manajemen sederhana, juga berpengaruh dalam usaha peningkatan
kualitas tanaman dan hewan, dimulai dari penjinakan, seleksi dan sampai ke adaptasi.
Sistem pertanian di Indonesia berdasarkan pada tingkat efisiensi teknologi yang
diterapkan, terbagi menjadi17
Sistem ladang, Sistem tegal pekarangan, Sistem Sawah, dan
Sistem perkebunan.
Sistem ladang merupakan sistem pertanian yang pertama dan paling primitif. Suatu
sistem peralihan dari tahap budaya pengumpul ke tahap budaya penanam. Pengolahan
tanahnya sangat minimum, produktivitas bergantung kepada ketersediaan lapisan humus yang
ada, yang terjadi karena sistem hutan. Sistem ini pada umumnya terdapat di daerah yang
berpenduduk sedikit dengan ketersediaan lahan tak terbatas. Tanaman yang diusahakan
umumnya tanaman pangan, seperti padi darat, jagung, atau umbi-umbian.
Kedua adalah sistem tegal pekarangan berkembang di lahan-lahan kering, yang jauh
dari sumber-sumber air yang cukup. Sistem ini diusahakan orang setelah mereka menetap
16 http://fp.elcom.umy.ac.id/course/view.php?id=11
17 http://fp.uns.ac.id/~hamasains/BAB%20IIdasgro.htm
14
lama di wilayah itu, walupun demikian tingkatan pengusahaannya rendah. Pengelolaan tegal
pada umumnya jarang menggunakan tenaga yang intensif, jarang ada yang menggunakan
tenaga hewan. Tanaman-tanaman yang diusahakan terutama tanaman tanaman yang tahan
kekeringan dan pohon-pohonan.
Ketiga, Sistem sawah merupakan teknik budidaya yang tinggi, terutama dalam
pengolahan tanah dan pengelolaan air, sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi,
sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan sistem pengairan yang
sinambung dan drainase yang baik. Sistem sawah merupakan potensi besar untuk produksi
pangan, baik padi maupun palawija. Di beberapa daerah, pertanian tebu dan tembakau
menggunakan sistem sawah.
Sistem partanian yang terakhir adalah sistem perkebunan. Sistem ini termasuk
perkebunan rakyat maupun perkebunan besar (estate) yang dulu milik swasta asing dan
sekarang kebanyakan perusahaan negara, berkembang karena kebutuhan tanaman ekspor.
Dimulai dengan bahan-bahan ekspor seperti karet, kopi, teh dan coklat yang merupakan hasil
utama, sampai sekarang sistem perkebunan berkembang dengan manajemen yang industri
pertanian.
Dari sistem-sistem yang diutarakan di atas, sistem pertanian yang dipakai di daerah
Dusun Cuntel dapat dikategorikan sebagai sistem tegal karang. Hal ini karena pertanian di
Dusun Cuntel termasuk dalam kriteria sistem tegal pekarangan, seperti lahan yang dipakai
adalah lahan kering serta pangelolaan yang dilakukan terhadap lahan di Dusun Cuntel pun
masih tebilang rendah karena mereka masih menggunakan alat-alat yang sederhana dan juga
teknik penanaman mereka yang masih melakukan sistem tanam campur, sistem menanam
tanaman dengan mengabungkan beberapa tanaman dalam satu lahan tertentu, seperti
menanam wortel dengan bawang daun.
II. 1. 3. Petani
Eric Wolf mendefinisikan petani sebagai orang yang menanam tanaman pangan dan
memelihara hewan ternak. Produksi yang berlebih didistribusikan ke kota. Sementara
Raymond Firth mendefinisikan petani sebagai sebuah sistem produksi skala kecil dengan
teknologi sederhana untuk pemenuhan kebutuhan pangan sendiri. Kategori ini juga termasuk
nelayan.
15
Daniel Thorner mendefinisikan petani dengan menitikberatkan kepada sistem
ekonominya, yaitu ekonomi pertanian. Mereka adalah unit yang mampu memberi makan diri
mereka sendiri, dan juga memberi makan kepada orang kota. Mereka bisa meproduksi dan
melakukan pertukaran. Unit produksinya adalah keluarga, tetapi bisa juga unit yang lebih
besar seperti perkebunan. Mereka hidup tidak hanya dari pertanian, tetapi juga dari
pertukangan atau kerajinan.
Robert Redfield mendefinisikan petani dengan menekankan kepada sistem nilai.
Mereka dijuluki masyarakat dengan nilai setengah desa setengah kota. Ada proses
reinterpretasi dan reintegrasi dengan elemen-elemen yang dipandang lebih tinggi dari mereka
(kota). (Sasongko, 2006: 26-27).
II. 1. 4. Peran, status, dan multiple-role18
Dalam sistem lapisan masyarakat kedudukan (status) dan peranan (role) merupakan
unsure-unsur yang baku, dan mempunyai arti yang penting bagi system sosial. Yang diartikan
system sosial ini adalah pola-pola yang mengatur hubungan timbal-balik antara individu
dengan msayarakat, dan tingkah laku individu-individu tersebut.19
1. Kedudukan
Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya
sehubungan dengan orang lain, dala arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak
serta kewajiban-kewajibannnya.
Secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.20
Dengan
demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa kedudukan, oleh karena seseorang
bisanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan.
Apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, kedudkan hanya merupakan
kumpulan hak-hak dan kewajiban, karena hak dan kewajiban termasuk hanya dapat
terlakasana melalui perantara individu, maka agka sukar untuk memisahkannya secara tegas
dan kaku. Di dalam masyarakat sendiri terdapat dua macam kedudukan, yaitu:
18 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet ke-28, 1999 hlm 246.
19 Ralph Linton, The Study of man, an introduction, Appleton Century. Crofts. New York, 1956, hal. 105. 20 Ibid, hal. 113.
16
a. Ascribed-Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarkat tanpa memperhatikan
perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena
kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula. Pada
umumnya ascribed-status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan system lapisan yang
tertutup, misalnya masyarakat feudal, atau masyarkat dimana system lapisan tergantung pada
perbedaan rasial. Namun, pada masyarakt-masyarakat dengan system lapisan yang terbuka
mungkin saja ada, misalnya kedudukan laki-laki dalam satu kelarga, kedudukannya berbeda
dengan kedudukan istri dan anak-anaknya.
b. Achived-Status adalah kedudukan yang diacapai oleh seseorang dengan usaha-usaha
yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat
terbuka bagi siap saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta
mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi
persyaratan tertentu.
Namun ada lagi satu macam kedudukan, yaitu assigned-status,21
yang merupakan
kedudkan yang diberikan. Kedudukan ini sering mempunyai hbungan yang erat dengan
achived-status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih
tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang kedudukan tersebut
diberikan, karena seseorang telah lama menduduki suatu kepangkatan tertentu.
Kedudukan-kedudukan yang ada pada seseorang sering kali menimbulkan suatu konflik
atau pertentangan antara kedudukan itu. Hal itu biasa dinamakan status-conflict. Hal ini
karena setiap orang umunya memiliki beberapa status, yang stiap statusnya ada pada setiap
kondisi atau sistem yang berbeda-beda.
Kedudukan seseorang atau kedududukan yang melekat kepadanya dapat terlihat pada
kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu yang dalam sosiologi dinamakan prestise-
simbol (status-symbol, misalnya cara berpakaian, pergaulan, cara mengisi waktu senggang,
memilih tempat tinggal, cara dan corak menghiasi rumah kediaman dan seterusnya.
21 JBAF Mayor Polak, Sosiologi, Suatu Pengantar Ringkasan, cetakan kelima, Penerbit dan Balai Buku “Ikhtiar”, Jaakarta 1966, hal. 198.
17
2. Peranan (role)
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maa dia menjalankan suatu peranan.
Kedudukan dan peranna tak dapat dipisahkan karena yang saling ketergantungan. Peranan
mempunyai dua arti, yang pertama adalah bahwa setiap orang mempunyai macam-macam
peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya.hal itu sekaligus berarti bahwa
peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan
apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam
masyarakat, merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat.
Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku.
Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukan tempat
individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi,
penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Peranan mencakup tiga buah hal, yaitu:22
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Sejalan dengan adanya status-conflict, juga ada conflict of roles, konflik yang terjadi
karena bentroknya beberapa peranan seseorang. Hal ini karena umumnya orang memiliki
beberapa peran atau sering disebut multiple-role. Bahkan kadang-kadang suatu pemisahan
antara individu dengan peranannya yang sesungguhnya harus dilaksanakannya. Hal ini
dinamakan role-distance. Gejala tadi timbul apabila individu merasa dirinya tertekan,
sehingga dia tidak melaksanakan peranannya dengan sempurna atau tidak terpenuhi oleh
orang itu.
22 Levinson, Role, Personality and Social structure, dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg, Sociological theory, a book of redings, edisi ke-2, The Macmillan Company, New York, 1964, hal.204 dan seterusnya.
18
II. 1. 5. Pembagian kerja23
Pembagian kerja merupakan konsep dari Emile Durkheim, yaitu Division of Labor,
suatu bentuk sistem pembagian kerja berdasarkan spesialisasi dan pemisahan okupasi.
Durkheim mengemukakan bahwa dibidang perekonomian seperti bidang idustri modern
terjadi penggunaa mesin serta konsentrasi modal dan tenaga kerja yang mengakibatkan
pembagian kerja dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan okupasi yang semakin rinci. Gejala
pembagian tersebut ditemukan juga dibidang pertanian dan perniagaan. Tujuan kajian
Durkheim ialah untuk memahami fungsi pembagian kerja tersebut, serta untuk mengetahui
faktor penyebabnya (lihat Durkheim, 1968: 39-46).
Menurut Durkheim, pembagian kerja ini erat hubungannya dengan solidaritas dalam
masyarakat. Dia membedakan dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Solidaritas mekanik merupakan suatu tipe solidaritas yang didasarkan atas
persamaan. Menurut Durkheim solidaritas mekanik dijumpai pada masyarakat yang masih
sederhana, yaitu masyarakat yang dinamakannya ‖segemental‖. Pada masyarakat seperti ini
belum terdapat pembagian kerja yang berarti. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang
anggota masyarakat biasanya dapat pula dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian tidak
terdapat saling ketergantungan antara kelompok yang berbeda, karena masing-masing
kelompok dapat memnuhi kebutuhannya sendiri dan masing-masing kelompok pun terpisah
satu sama lain. Tipe solidaritas yang didasarkan atas kepercayaan dan kesetiakawanan ini
diikat oleh apa yang disebut Durkheim dengan conscience collective, suatu sistem
kepercayaan dan perasaan yang menyebar merata pada semua anggota masyarakat.
Dengan adanya diferensiasi maka solidaritas masyarakat mengalami perubahan, yang
semula solidaritas mekanik berubah menjadi solidaritas organik. Pada masyarakat dengan
solidaritas organik masing-masing anggota masyarakat tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhannya sendiri malinkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan
kelompok lain. Seperti dengan organisme biologi dimana masing-masing anggota memiliki
fungsi yang berbeda. Berbeda dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada hati nurani
kolektif, maka solidaritas organik didasarkan pada hukum dan akal. Pemabagian kerja ini
memiliki fungsi meningkatkan solidaritas. Karena dengan adanya pembagian kerja maka
ketergantungan antara kelompok dalam masyarakat menjadi lebih tinggi.
23 Soenarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Depok: LPFEUI. Hal.5-6
19
II. 1. 6. Etika ekonomi dan Etika subsistensi24
Ke khawatiran akan kekurangan pangan di kalangan petani Indonesia yang pra-
kapitalis telah menimbulkan sebuah etika yang dinamakan dengan ―etika subistensi‖. Etika
subsitensi petani berisi tentang nilai-nilai normatif dan moral petani dengan prinsip
―dahulukan selamat‖ (safety first) terutama dalam hal pembuatan keputusan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa etika ini secara fundamental telah masuk ke dalam jiwa petani agar mereka
sebisa mungkin dapat menjamin subsitensinya tanpa memikirkan hal lainnya. Etika subsitensi
disini selalu saja merujuk pada penghasilan minimum petani yang pada nantinya akan
digunakan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari bersama dengan keluarganya. Dalam hal ini
etika subsitensi juga dapat dijadikan sebuah acuan terhadap ―garis batas kehidupan‖
(maksudnya lebih kepada garis minimal dalam pemenuhan kebutuhan) sehingga sebisa
mungkin petani kebanyakan di Indonesia pada umumnya dan di Jawa tengah pada khususnya
selalu berusaha sebiasa mungkin agar mereka tidak berada di bawah garis subsitensi tersebut.
Etika subsitensi ini pada umumnya berakar dalam, kebiasaan kebiasaan ekonomi dan
pertukaran pertukaran sosial dalam masyarakat petani, dimana etika tersebut secara
fundamental telah mempengaruhi tindakan tindakan yang dilakukan oleh petani dalam bertani
guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal tersebut pada akhirnya juga
mempengaruhi moral ekonomi petani dimana selalu mengarah kepada bentuk engan risiko
(risk-averse) atau selalu meminimumkan kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum
dan sebisa mungkin menghindari kegagalan. Hal tersebut juga mempengaruhi prinsip petani
yang mengarah pada bentuk prinsip ―safety first‖ atau mendahului selamat yang secara
langsung juga melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan moral dalam satu
tatanan agraria. Etika subsitensi juga tidak hanya merupakan satu fakta (given) dalam ilmu
ekonomi petani, tapi ia juga mempunyai dimensi normatif atau moral. Hal ini bisa dilihat
pada struktur resiprositas desa, pilihan-pilihan sosial, sistim-sistim sewa yang disukai, dan
sika-sikap terhadap pajak.
24 Scott. C James. ( 1976). Moral Ekonomi Petani. Diterjemahkan oleh Hasan Basari. London: Yale University Press.
20
BAB III
TEMUAN LAPANGAN
III. 1. Sejarah Dusun Cuntel
Kata ‖Cuntel‖ berasal dari Bahasa Jawa yang berarti ‖buntu‖. Sejarah terbentuknya
dusun Cuntel diawali ketika ada seorang Bekel prajurit yang tidak menyetujui adanya
perjanjian Gianti yang dirasa sangat merugikan rakyat kecil.berhubung prajurit terrsebut
hanya pemimpin tingkat rendah, maka dia tidak dapat berbuat banyak. Akhirnya bersama
dengan beberapa pengawal dia memilih untuk meninggalkan kekuasaannya tanpa tujuan yang
pasti. Dalam pelarian tersebut mereka memilih jalan membelah hutan dengan alasan agar
tidak ketahuan. Akhirnya mereka menemukan tempat yang dirasa aman, namun dengan
berbagai dalaih para pengawal selalu bertengkar dengan tidak menggunakan akal pikiran
yang sehat dan semuanya putus asa (dalam bahasa Jawa ―getas‖). Akhirnya tempat tersebut
dinamakan Getas yang sekarang terkenal dengan kebun karetnya didaerah Bringin kabupaten
Semarang.
Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan ke utara denan mengambil jalan yang
jauh dari keramaian. Sesampai disebuah tempat Bekel Kusno memerintahan para pengawal
beristirahat dan membuat sebuah tempat peristirahatan. Mereka harus meratakan tempat
peristirahatan tersebut terlebih dahulu sebelum didirikan rumah karena tempat itu tidak rata.
Dalam bahasa Jawa, meratakan tanah untuk didirikan rumah disebut dengan Bebatur, belum
selesai bebatur mereka mendengar ada prajurit yang mengejarnya, mereka lari ke daerah
gunung dan sebelum mereka pergi sempat member nama tempat itu Batur.
Dalam perjalanan mereka mendapat tempat yang begitu sulit dilalui sehingga mereka
member nama Tekelan. Akhirnya mereka berbelok kearah barat karena menemui jalan buntu.
Karena sudah tua, Bekel Kusno seringkali beristirahat dan menyuruh para pengawal untuk
mencari jalan dan melanjutkan perjalanan. Namun pengawal selalu menemukan jalan buntu
dan akhirnya mereka memutuskan untuk tetap tinggal di tempat tersebut.
Di Tempat tersebut bekel Kusno member nama Cuntel yang artinya selesai (berakhir)
melakukan perjalanan. Mereka mulai hidup di Cuntel dan mulai mengerjakan tanah yang ada
di sekitarnya untuk ditanami sesuatu yang bias dimakan. Hal ini dilakukan karena letak
pemukiman mereka yang jauh dar pasar. Selang beberapa tahun tersebut Bekel Kusno
21
meninggal dunia dan diusung ke Surakarta. Ada satu keluarga yang diserahi tugas untuk
menjaga dusun Cuntel. Akhirnya dari satu keluarga inilah berkembang menjadi dusun Cuntel
seperti yang sekarang ini.
III. 2. Profil Dusun Cuntel
Dusun Cuntel termasuk daerah sekitar wisata Kopeng, kecamatan Getasan, kabupaten
Semarang. Tepatnya dilereng gunung Merbabu ujung paling selatan wilayah kabupaten
Semarang, dengan ketinggian ± 1.700 m dari permukaan laut. Dusun Cuntel merupakan
daerah perbatasan antara kabupaten Semarang dan kabupaten Magelang yang bertetangga
dengan batas batas daerah:
Sebelah barat: Dusun Daman (Genikan), Kecamatan Ngablak, Magelang
Sebelah Timur: Dusun Tekelan, Desa Batur
Sebelah Utara: Dusun Deles, Desa Jogonayan, Ngablak dan Dusun Tayeman, Desa
Kopeng, Semarang.
Sebelah Selatan: Gunung Merbabu
Lokasi Dusun Cuntel cukup terpencil dibandingkan Dusun-dusun di Desa Kopeng yang
lainnya karena berbatasan langsung dengan Gunung Merbabu. Dusun yang terdekat dengan
Cuntel adalah Dusun Deles dan Tayeman yang masing-masing berjarak sekitar 2 Km.
Keadaan geografis yang seperti ini membuat Cuntel dikaruniai pemandangan alam yang
indah dengan udara khas pegunungan yang segar. Selain itu, ikatan kekeluargaan dan
keramahan masyarakatnya juga cukup tinggi.
Cuntel juga terletak di salah satu dari tiga jalur pendakian ke Gunung Merbabu. Setiap
akhir pekan biasanya banyak pendaki yang kebetulan singgah (dan terkadang juga mencari
guide pendakian) di Dusun Cuntel. Selain itu, Dusun Cuntel juga cukup sering mendapat
kunjungan dari para pendatang, baik sebagai missionaries, peneliti, maupun sekedar
wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam dan suasana kahidupan pedesaan. Para
pendatang ini biasanya masuk melalui ―gereja‖ dan berasal dari beragam wilayah di
Indonesia, bahkan luar negeri. Frekuensi kedatangan mereka juga cukup sering, bahkan pihak
gereja yang menjadi ―pintu masuk‖ mereka pun mengaku cukup kesulitan mengatur jadwal
waktu kedatangan mereka.
22
Keadaan jalan yang menjadi jalur penghubung antara Cubtel dengan Dusun yang
lainnya masih cukup kurang secara kualitas (masih berupa jalan batu) sehingga masih sulit
untuk dilalui kendaraan bermotor. Luas tanah dusun Cuntel hanya seluas 53,7 Ha yang terdiri
dari 47,3 Ha tanah pertanian dan 9,4 Ha tanah pekarangan. Wilayah Dusun Cuntel ini terbagi
menajdi 5 RT dan dalam 1 RW. Pada Desember 2005, kepadatan penduduk Dusun Cuntel
mencapai 1000 m2 tiap penduduk. Jumlah penduduk dusun Cuntel per Desember 2008 ada
477 jiwa yang terdiri dari 244 jiwa perempuan dan 233 jiwa laki-laki. Sedangkan jumlah
kepala keluarganya ada 141 KK. Luas lahan yang dimiliki penduduk bervariasi dari yang
paling kecil (112 m2) sampai yang paling luas (26.874 m2).
Mata pencaharian utama adalah bertani, dari keseluruhan penduduk Dusun Cuntel,
sebanyak 268 jiwa (82,46 %) bekerja sebagai petani. Sementara sisanya 6 orang bekerja
sebagai Pegawai Negeri (1,85%) dan 51 orang bekerja di sektor Swasta (15,69%). Sampai
dengan buku ini ditulis, dari jumlah 127 KK, penganut agama Kristen berjumlah 81 KK atau
63% sedangkan sisanya yang berjumlah 46 KK atau 36,2% penganut agama Islam. Jenis
pertanian yang berkembang disana adalah pertanian sayur-sayuran seperti Kubis, Kentang,
Wortel, Sawi, Brokoli, Daun Bawang, Tomat dan Seledri.
III. 3. Informasi dari Informan
Informan 1
Informan yang ke 1 adalah seorang buruh cangkul
dengan inisial TRM. Ia saat ini sudah berumur 37 tahun dan
telah dikaruniai dua orang anak yang masing-masing berumur 6
tahun dan 3 tahun. Ia merupakan seorang warga Dusun Cuntel
dengan kepercayaan islam dan saat ini ia tinggal di rumah
pribadi yang merupakan hasil dari warisan orang tuanya yang
juga telah meninggalkan beberapa petak luas lahan pertanian.
sebagai seorang yang berprofesi sebagai buruh cangkul selama
kurang lebih 10 tahun, ia merasa bahwa pekerjaan ini sangat
diperlukannya mengingat lahan pertanian miliknya sangatlah sempit sehingga ia memiliki
waktu yang cukup luang untuk mengolah lahan milik orang lain. Kegiatan yang ia lakukan
sebagai buruh adalah mencangkul, meananam benih, mendangir, menyemprot hama, hingga
memupuk. Namun dalam hal ini kegiatannya tidak sampai pada tahap memanen. Upah yang
23
ia peroleh dari hasil pekerjaan mengolah lahan orang lain adalah sebesar 15.000 rupiah/ hari
dengan THR pada saat lebaran tiba. Tarmin sebagai seorang buruh cangkul, mengaku bahwa
pekerjaan ini merupakan warisan dari ayahnya sehingga ia meneruskan pekerjaan ayahnya ini
sebagai buruh cangkul karena dalam hal ini ayahnya pun telah dipercaya oleh pemilik lahan
(KD) yang mempekerjakannya di ladang. Walaupun dalam hal ini pekerjaan sebagai buruh
cangkul merupakan sampingannya. Karena dalam hal ini yang tetap menjadi fokus utamanya
adalah lahan pertanian milik sendiri yang diolah sendiri.
Informan 2
Informan yang ke 2 adalah seorang pemborong
dengan inisial SKR. Saat ini ia sudah berumur 40 tahun dan
telah dikaruniai dua orang anak yang masing-masing
berumur 25 tahun dan 20 tahun. Ia merupakan seorang
warga Dusun Cuntel dengan kepercayaan islam dan saat ini
tengah tinggal di rumah pribadi yang juga merupakan hasil
dari warisan orang tuanya dengan beberapa petak lahan
pertanian yang tergolong sempit.
Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pemborong selama kurang lebih 15 tahun, ia
merasa bahwa pekerjaan sebagai pemborong cukup menunjang jika dibandingkan dengan
pekerjaan sebagai buruh cangkul. Sebagai seorang pemborong, ia juga memperkerjakan
anaknya untuk mengambil hasil panen di ladang milik orang yang sedang panen dan berniat
untuk menjual kepadanya. Hasil panen tersebut kemudian siap dibawa dengan mobil sewaan
milik seorang warga Dusun Cuntel (SKM). Dengan mobil bak sewaan tersebutlah hasil panen
dibawa ke pasar dan siap dijual kepada pemborong lagi di Pasar Kopeng. Dalam hal ini ia
tidak berharap pada untung yang besar, melainkan hanya cukup terjual habis. Karena cukup
sulit membuat barang borongannya habis terjual. Dalam hal ini sebagai seorang pedagang ia
juga diharuskan untuk bersaing dengan pemborong lainnya.
Masalah harga merupakan masalah yang amat sulit baginya karena penghasilannya
dirasakan tidak menentu karena harganya pun tidak pernah menentu dan hanya tergantung
hasil tawar menawar denga pedagang di pasar. Karena hasil panen di Dusun Cuntel itu tidak
serentak dalam satu atau dua hari, maka dalam setiap hari ia dapat membawa hasil panen
warga ke pasar dan penghasilan perhari pun dapat ia peroleh.
24
Usaha berdagang yang ia jalankan bersama keluarganya hingga kini merupakan milik
keluarga yang juga warisan usaha kedua orang tuanya yang diturunkan secara turun temurun.
Lahan pertanian kecil miliknya pun diolah bersama keluarganya. Namun dalam hal ini fokus
perhatian utamanya adalah profesi pemborong yang sedang ia jalankan.
Informan 3
Informan kami ini berinisil STT. STT ini adalah pemilik tanah terlus ke tiga di dusun
Cuntel. Lahan yang dimiliki STT saat ini adalah tanah warisan dari orang tuanya seluas
21.899 m2 Saat ini STT masih berusia 22 tahun, sudah menikah dan memiliki satu anak yang
baru berusia satu bulan. STT bergama islam, pendidikan terakhirnya adalah sampai pada
tingkat SMA. Semenjak lulus SMA, STT bekerja membantu orang tuanya mengerjakan lahan
kelurga dan tidak memiliki pengalaman pekerjaan yang lain. STT adalah anak tunggal dari
mendiang Bapak KS yang baru meninggal sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Semasa
bapak KS masih hidup, keluarga STT mengerjakan keseluruhan lahan yang dimilikinya
dengan bantuan buruh. Buruh yang diperkerjakan disini hanyalah untuk membantu
mencangkul lahan dan melakukan perabukan (pemupukan). Sementara keluarga STT hanya
melakukan penanaman benih, pembersihan gulma, dan pemanenan.
Bagi STT, tanah yang ia dapatkan dari orang tua adalah warisan yang harus dijaga
dan oleh karenanya tidak boleh dijual. Oleh karena itulah sepeninggal Bapak KS, STT yang
merasa tidak mampu mengerjakan keseluruhan lahannya lebih memilih untuk menyewakan
lahannya daripada menjualnya. Dengan bantuan sang Isteri (TM), STT sekarang bekerja
menanam beragam jenis sayur-sayuran di ladangnya secara bergantian, mulai dari kubis,
kentang, seledri, sawi hingga bawang daun. Pemilihan jenis ini bergantung pada cuaca dan
harga jual di pasar. Dalam kegiatan pengolahan lahannya, selain jumlah lahannya yang
berkurang, praktis tidak ada perubahan yang signifikan sejak kematian mendiang KS. Bapak
STT tetap menggunakan bantuan buruh dan hanya melakukan penanaman benih,
pembersihan gulma dan pemanenan.
Saat ini beberapa lahannya disewakan kepada tiga orang penyewa dari Desa sebelah
(Deles dan Tayeman), masing-masing Bapak IM, SN dan WTN. Sebelumnya STT sama
sekali tidak mengenal ataupun memiliki hubungan kekerabatan apapun ketiga orang tersebut.
Ketiga orang ini adalah orang-orang yang dipromosikan oleh paman (pakde KR) dari STT
yang tinggal di Desa Deles. Menurut keterangan STT, KR mengenalkan mereka sebagai
sebagai orang yang sudah sering menyewa dan sedang membutuhkan tanah. Harga sewa
25
tanah STT ditentukan dengan melakukan tawar-menawar dengan ketiga orang tersebut.
Setelah melewati proses tawar-menawar, harga yang disepakati adalah Rp.1.250.000 per
tahun untuk setiap orangnya.
Bagian yang dikerjakan sendiri oleh Bapak STT diburuhkan kepada Bapak YMN,
seorang dari desa Tayeman. Bapak YMN ini adalah seorang yang memang telah bekerja
kepada keluarga STT semenjak mendiang Bapak KS masih hidup. Berbeda dengan umumnya
warga Cuntel yang biasa dibayar Rp. 15.000 setiap hari kerja, Bapak YMN dibayar setiap
kali mencangkul per keseluruhan luas lahan yang dimintakan kepadanya untuk dikerjakan.
Menurut STT, hal inilah yang membuat ia lebih senang memperkerjakan orang dari desa lain
karena biayanya menjadi lebih murah. Untuk luas lahan yang ia kerjakan saat ini, Bapak
YMN mendapatkan upah sebesar 600 ribu rupiah setiap kali mencangkul. Pada satu kali masa
tanam, YMN melakukan dua kali pencangkulan, yaitu sebelum penanaman dan pada saat
pendangiran.
Selain Bapak YMN, orang lain yang juga diperkerjakan oleh Bapak STT adalah
Bapak ST. Bapak ST ini adalah orang yang memang sehari-harinya dikenal sebagai buruh
pupuk yang bekerja melakukan pemupukan (perabukan). Rabuk yang digunakan adalah
kotoran ternak dari rumah Bapak STT sendiri yang dingkut menggunakan keranjang dari
bambu. Bapak ST ini dibayar per keranjang yang ia angkut, rata-rata 700 sampai 1.000 rupiah
tergantung dari jauh dekatnya lahan dari kandang. Pada satu kali masa tanam, perabukan ini
hanya dilakukan satu kali saya, yaitu sebelum penanaman.
Pada saat panen tiba, jika hasil pertaniannya sedang banyak, Bapak STT biasanya
meminta bantuan kepada tetangga dan sanak kerabatnya untuk melakukan pemanenan. Disini
Bapak STT tidak mengeluarkan uang untuk membayar mereka, melainkan hanya perlu
menyiapkan konsumsi (makanan dan minuman) pada saat panen berlangsung. Tradisi seperti
ini memang terlah ada di sana sejak masa lalu termasuk saat mendiang Bapak KS masih
hidup. STT mengaku bahwa ia cukup jarang membantu tatangga dan sanak saudaranya ketika
mereka melakukan pemanenan. Alasannya keluarga STT terlalu sibuk mengerjakan lahannya
sendiri.
Pada masa Bapak KS masih hidup, keluarga Bapak STT biasa menjual hasil
pertaniannya kepada seorang pemborong berinisial PP. PP ini adalah seorang pemborong
yang berasal dari Pasar di Getasan. Akses yang lebih baik dengan pasar ini membuat PP
mampu membeli hasil panen dengan harga yang lebih tinggi daripada pemborong-pemborong
lainnya dari Dusun Cuntel sendiri. Hal ini juga sejalan dengan hasil pertanian keluarga KS
26
yang cukup banyak setiap kali panen karena saat itu mereka mengerjakan keseluruhan lahan
yang mereka miliki. Sepeninggal Bapak KS, hasil pertanian keluarga Bapak STT pun
semakin menurun karena sebagian besar lahan yang ia miliki sekarang telah disewakan.
Menurut STT, hal inilah yang membuat PP tidak lagi datang untuk membeli hasil pertanian
dari keluarga Bapak STT karena merasa terlalu berat di ongkos transportasinya. Saat ini
Bapak STT biasa mejual hasil pertaniaannya kepada pemborong setempat (Dusun Cuntel
sendiri) yang berani menawar dengan harga lebih tinggi, pemborong yang cukup sering
membeli hasil panennya adalah W dan T. Biasanya saat panen tiba, W dan T ini datang ke
rumah STT untuk menawar hasil pertanian STT.
Informan 4
Informan kami ini berinisial ST. ST adalah seorang yang
sehari-harinya mempunyai pekerjaan utama sebagai seorang buruh
pupuk (rabuk). Saat ini ST sudah berusia 39 tahun, mempunyai
seorang isteri (MN), dan telah dikaruniai seorang anak perempuan
(MR) yang sedang duduk di kelas dua SD. Pria asli Cuntel ini adalah
seorang jamaah yang cukup taat dari Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara (GKJTU). ST adalah anak pertama dari mendiang STM.
Pendidikan terakhir ST adalah SMP dan dia memiliki seorang adik (SRN) yang saat ini
bekerja sebagai buruh cangkul. STM bukanlah seorang yang kaya di Cuntel, akhibatnya ia
hanya mewariskan tanah yang sangat terbatas jumlahnya kepada kedua anaknya. Selain lahan
dimana rumah ST saat ini berdiri sejak dua tahun lalu, ST hanya memiliki satu petak tanah
untuk lahan pertanian.
Sebelumnya ST sempat merusaha memperbaiki nasibnya dengan bekerja keluar
dusun. ST sempat bekerja di Semarang dan Solo sebagai tukang bangunan, namun karena
merasa tidak cocok dengan pekerjaannya dan rindu dengan kampung halamannya, ST pun
akhirnya kembali ke Cuntel dan membentuk rumah tangga pada awal tahun 1990-an. Lahan
yang kecil warisan dari orang tuanya ini tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari
keluarga ST sehingga membuatnya harus mencari penghasilan tambahan disamping
menanam sayur-sayuran. Karena tidak memiliki modal, ST membuang keinginannya untuk
menyewa lahan dari petani lain. ST pun kemudian memutuskan untuk bekerja sebagai buruh
angkut pupuk (rabuk) hingga saat ini.
27
Dalam pekerjaannya sebagai buruh pupuk, ST dibayar per keranjang yang ia angkut
antara 700 sampai 1.500 rupiah, tergantung jarak yang ditempuh antara lahan dan kandang
orang yang memperkerjakannya. Penghasilan yang ia dapatkan dari pekerjaan ini ditambah
hasil pertaniannya masih sangat minim sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari. Setiap hari (kecuali hari minggu) ia berangkat bekerja mulai dari jam 6
atau 7 (setelah sarapan) dan pulang pada jam makan siang untuk makan. Selesai makan,
biasanya ia melanjutkan bekerja sampai sore, baik itu mengangkut pupuk maupun
mengerjakan ladangnya. Meskipun terkadang juga bekerja sebagai buruh cangkul, ST
mengaku lebih senang bekerja sebagai buruh pupuk daripada buruh cangkul karena selain
saingannya yang sedikit, jumlah yang ia dapatkan per harinya bisa lebih besar dari pada
buruh cangkul yang setiap harinya hanya dibayar 15.000 rupiah sesuai standar harga di
Cuntel.
Bapak ST mengaku tidak pilih-pilih dalam menentukan kepada siapa dia akan
bekerja. Yang penting adalah jika ia diminta pada saat yang tepat dimana ia sedang tidak ada
pekerjaan, maka ia akan melaksanakannya, baik sebagai buruh pupuk maupun buruh cangkul.
Saat ini ST sudah bekerja selama sekitar 16 tahun sebagai pengangkut pupuk namun tidak
berani menaikkan tarif karena takut tidak ada yang mau memperkerjakannya kelak.
Informan 5
Informan ini berinisial SKNH. SKNH adalah seorang ibu berumur 47 tahun yang
mempunyai empat orang anak. Ketika kita temui, ibu ini terlihat sedang bersantai dengan ibu-
ibu tetangga di depan rumah. Ibu SKNH merupakan salah satu pemilik lahan terkecil di
cuntel, lahan ibu ini luasnya sekitar 168 m2 pendidikan terakhir informan kami ini adalah SD.
Berdasarkan pengakuan SKNH, lahan yang dia miliki merupakan lahan warisan dari
orang tuanya yang juga merupakan petani di desa Cuntel. Berhubung tanah miliknya tidak
terlalu luas maka ibu ini tidak menghabiskan waktu yang lama di lahan. Dia sering
menghabiskan waktu di lahan orang dikarenakan banyaknya yang meminta bantuan tenaga
mereka (SKNH & suami) sebagai buruh tani dengan upah 15ribu per sehari kerja. Tenaga
suami dirasa sudah cukup untuk mengerjakan lahan mereka yang kecil ini. Dari lahan yang
kecil ini menghasilkan hasil panen yang sedikit juga. Untuk benih biasanya ibu SKNH
mencari di gunung karena gratis.
28
Hasil panen dari lahan SKNH biasanya di jual kepada salah satu tengkulak yaitu pak
RHMT atau pak SKM. Namun seringkali ibu SKNH membawa sendiri hasil panen ke pasar.
Menurutnya hal ini digunakan untuk menghemat karena untuk menggunakan jasa angkutan
mobil dibutuhkan biaya yang menurutnya terlalu berat.
Seperti yang sudah diceritakan di atas, SKNH memiliki lahan yang Menurut SKNH,
pak Wagimin atau ibu jemi seringkali menawari dia untuk menjadi buruh di lahan mereka.
Tidak hanya ibu SKNH yang ditawari untuk menjadi buruh namun juga beberapa ibu-ibu
yang menganggur juga mendapat tawaran untuk bekerja mencabut gulma. Dengan bekerja
sebagai buruh gulma, bu SKNH mendapat upah 10.000-15.000 per hari.
Informan 6
Informan selanjutnya adalah RHMT. Pak RHMT yang berumur 51 yang kita temui
sehabis mencabut rumput dan wortel di lahan. Pak RHMT memiliki istri (YN) berumur 52
tahun dan 3 anak serta 2 cucu.anak pertama bekerja di kuala lumpur, Anak keduanya sering
membantunya untuk menjual keliling hasil panen ke pasar, sedangkan anak ketiga masih
duduk di bangku SMA. Bapak yang mengaku sudah menikah sejak kelas 6 SD ini beragama
Islam. Beliau memiliki lahan seluas 3.527 m2 yang didapatkan dari warisan dan sebagian
beliau dapatkan melalui proses jual beli.
Pak RHMT merupakan salah satu tengkulak yang ada di Cuntel. Beberapa pemilik
lahan merupakan penyuplai sayuran kepada pak RHMT, mereka adalah pak BYN. Pak JL, bu
SRMI, pak ISK, bu STTI, pak MGGH, pak YNTO dll. Berdasarkan pengakuan pak RHMT,
orang-orang ini menjadi pensuplai kepada pak RHMT bukan karena mereka menjual harga
dengan lebih murah. Namun karena mereka sudah dekat satu sama lain. Jadi sifatnya lebih
kekeluargaan dalam hal jual beli. Biasanya jika sudah memasuki waktu panen, maka para
pemilik lahan akan mendatangi pak RHMT untuk menawarkan hasil panennya. Biasanya
beliau membeli tanaman kentang dari warga dengan harga antara 4.200-4.500 dan akan dijual
sekitar 4.600- 4.700. Menurutnya antara tengkulak juga
tidak terjadi perebutan pensuplai, karena masing-masing
tengkulak memiliki pelanggan masing-masing.
Pak RHMT biasa berdagang di pasar Kopeng,
Getasan, dan pasar-pasar terdekat lainnya. Jika sudah
29
sampai pasar menurut pak RHMT sudah tidak ada lagi rasa kekeluargaan, dia akan menjual
kepada penawar dengan harga tertinggi, bukan karena ada hubungan kekerabatan yang dekat.
Jadi menurut dia kekeluargaan hanya berlaku di Desa tidak di pasar. Berhubung pak RHMT
tidak memiliki mobil sendiri, maka dia menitipkan hasil panen yang sudah dia beli kepada
tengkulak lain yaitu pak SKM. Pak SKM merupakan satu-satunya pemilik mobil di desa
Cuntel. Pak RHMT membayar biasanya membayar sekitar 7500 untuk barang yang dititipkan
kepada pak SKM.
Jika dilihat secara garis keturunan, maka ayah dan ibu pak RHMT juga merupakan
seorang pedagang. Selain itu kakek dari pak RHMT juga merupakan seorang pedagang. Bisa
jadi kemampuan pak RHMT berdagang didapat dari keluarganya yang sudah turun temurun.
Informan 7
Informan kami ini berinisial SF. SF adalah anak ketiga dari pasangan WW yang
merupakan salah satu pemilik lahan luas di Cuntel (26.874 m2). Pendidikan terakhir beliau
adalah SMP. Perempuan berumur 30 tahun ini belum memiliki suami. Ketika kami temui
beliau sedang bekerja di ladang, namun beliau bersedia untuk berhenti bekerja untuk kami
wawancarai.
Dari hasil wawancara kita dapatkan bahwa lahan milik kelaurga WW ini merupakan
tanah warisan dari orang tua dan juga sebagian mereka beli. Tanah mereka ada yang berada
di dusun Cuntel dan sebagian lainnya berada di dusun Tayeman. Tanah mereka yang berada
di Cuntel diolah oleh mereka sendiri dan dibantu oleh buruh dari dusun tetangga. Sedangkan
lahan mereka yang berada di dusun Tayeman di kerjakan sepenuhnya oleh buruh upahan.
Tidak ada lahan yang disewakan sebagaimana biasanya pemilik lahan luas di Dusun Cuntel.
Hasil panen mereka biasanya dijual kepada pak SKM dan pak RHMT. Namun
berdasarkan penutuan SF, mereka lebih sering mejual hasil panen kepada pak Sukemi.
Menurutnya hasil panen lahan mereka tidak memuaskan karena tanah disana kurang bagus.
Seringkali mereka mengalami gagal panen. Oleh karena itu mereka tidak terlalu
menggantungkan penghasilan dari bertani, beliau juga menggemukkan sapi untuk menambah
penghasilan. Berbeda dengan kebanyakan warga Cuntel yang biasanya menyewa sapi,
keluarga WW ini memiliki sapi sendiri. Menurutnya penggemukan sapi ini dapat
memberikan masukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
30
Informan 8
Informan kami ini berinisial SRS. SRS ini termasuk 3 besar pemilik lahan besar di
desa Cuntel . Luas lahannya 26.326 m2. Lahan yang dia punya merupakan tanah warisan
turun-temurun dari keluarganya. Usianya sekitar 70 tahunan. Pendidikan terakhirnya adalah
SD. Beliau mengurus lahannya sendiri, dan hanya menyewa orang untuk memotong rumput
yang ada di lahan bila rumput itu cukup banyak. Beliau juga menyewa orang untuk memanen
lahan yang beliau garap. Orang yang beliau minta tolong untuk memotong rumput dan
memanen hasil lahannya selalu orang yang sama, Pak MHM, seorang petani Cuntel.
Alasannya karena beliau tahu bahwa orang yang ia minta tolong itu ahli dan sudah lama
bekerja sama dengan dia, namun beliau tidak mengharuskan hanya pak MHM saja yang dapat
memabantu beliau, itu tergantung kondisi.
Lahan yang ia gunakan kebanyakan digunakan untuk ditanami dengan sayur-sayuran,
seperti wortel, bawang, kol, dan lain-lain. Namun sebagian lagi, sekitar 1000 m2, ia biarkan
sebagi hutan, ditanami oleh pohon-pohon besar dan rumput, yang batang-batang keringnya
digunakan untuk bahan bakar kompor kayu, dan rumputnya digunakan untuk makanan
ternak.
Selain memiliki pertanian, Pak SRS juga memilliki pekerjaan yang lain, yaitu sebagai
peternak sapi perah, dengan hasil tiap harinya sekitar 10-12 liter. Dia baru melakukan
pekerjaan ini sekitar 3 bulan. Untuk membeli sapi tersebut, beliau menggunakan biaya
sendiri. Susu hasil perahan itu dijual ke agen susu yang tiap hari diambil pada jam 7 pagi, dan
jam 3 sore.
Pak SRS memiliki tiga anak, 2 anak perempuan dan satu laki-laki. Semua anaknya
lulus SMA. Anaknya yang perempuan sudah menikah dan bekerja sebagai petani dan anak
perempuan yang satu lagi bekerja sebagai peternak. Mereka berdua tinggal di daerah Cuntel.
Anak yang laki-laki bekerja sebagai perwira TNI. Mereka semua dibebaskan untuk memilih
pekerjaannya.
Informan 9
Informan berikutnya berinisial RSM. Luas lahan yang ia miliki menurut SPPT adalah
sebesar 112 m2, jadi kami mewawancarai beliau sebagai pemilik lahan yang termasuk tiga
terkecil. Namun setelah kami mewawancarai beliau, ia mengaku memiliki lahan seluas
31
4000m2. Lahannya itu dipanen sendiri oleh dirinya, namun kadang-kadang dibantu oleh
orang lain baik dari Dusun Cuntel maupun dari dusun luar, Dusun Tayeman, dengan diberi
upah Rp.15.000,00/hari. Namun umumnya orang yang membantu beliau itu masih memiliki
hubungan saudara, tapi untuk kegiatan penggarapannya kadang dilakukan oleh keluarga
anak-anaknya, dan tetangga. Lahan yang ia miliki itu merupakan warisan dari orang tuanya.
Bu RSM memiliki empat orang anak, yaitu dua anak laki-laki dan dua anak
perempuan. Kedua anak laki-lakinya mengenyam pendidikan hingga SMA dan saat ini
bekerja sebagai buruh dan sedangkan kkedua anak perempuannya mengenyam pendidikan
hingga SMP dan saat ini bekerja sebagai petani yang menggarap lahan orang tuanya,
sementara lahannya sendiri digarap oleh tetangganya. Mereka telah berkeluarga, sedangkan
untuk Bu RSM hanya lulusan SD. Bu RSM ini mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi
petani, namun bila mereka tidak menginginkannya Bu RSM ini tetap menyetujui keinginan
anaknya itu.
Informan 10
Informan yang berinisial WKM. Pak WKM ini memiliki lahan seluas 4000 m2,
merupakan warisan dari keluarga. Ia berusia 54 tahun. Dalam menggarap lahannya, Pak
WKM dibantu oleh orang lain yang dipekerjakan sebagai buruh. Buruh ini bisa berasal dari
warga Cuntel maupun dari desa luar Cuntel, karena merasa tidak mampu menggarapnya
sendiri.
Selain menggarap lahan pertanian, Pak WKM menternak sapi perah yang baru
dimilikinya selama satu tahun. Sapi tersebut dibeli dari hasil pinjaman bank sebesar
Rp.15.000.000,00 yang dicicil Rp.4520.000,00/bulan selama 5 tahun. Sapi perahnya dapat
menghasilkan 15 – 18 liter/hari, karena sedang hamil 6 bulan, hanya diambil 6 – 7 liter/hari.
Dari sapi itu dia berharap bisa mempunyai sapi sendiri, karena Pak WKM berencana bila
anaknya itu betina maka ia akan merawatnya lagi hingga dewasa dan meneruskan usaha susu
perahnya, begitu selanjutnya, namun bila anaknya adalah jantan maka akan dijual sebagai
sapi potong setelah dewasa sehingga bias mendapatkan hasil yang lebih besar.
Ia memiliki 2 orang istri dan 3 orang anak, 1 anak laki-laki & 2 lagi anak perempuan.
Ketiganya mengenyam pendidikan hingga SMA dan telah memiliki keluarga. Anak laki-laki
bekerja di toko, perempuan bekerja di toko & sebagai buruh, semua di semarang. Anak
32
mereka diarahkan untuk tidak menjadi petani karena menurut Pak WKM, kondisi petani
sangat sulit. Pa WKM tidak akan menjual tanahnya walaupun anak-anaknya telah
mempunyai pekerjaan semua, karena beliau anggap bahwa lahan tani itu akan digunakan oleh
anak-anak mereka bila mereka semua telah tua dan sudah pensiun dari pekerjaannya. Selain
itu jumlah lahan tersebut yang Pa WKM anggap sedikit sekali membuat beliau berusaha
sehingga anaknya memiliki pekerjaan lainnya. Meskipun mereka telah bekerja di Ungaran
saat ini, namun mereka membangun rumah sendiri di Cuntel dengan alasan harga tanah di
Cuntel lebih murah dibandingkan di Semarang.
Istri yang pertama merupakan salah satu pemborong, orang yang membeli hasil panen
dari para petani untuk dikirim ke pasar, di desa itu. Bayaran yang didapat dari borongan itu
adalah sekitar 2500/keranjang untuk jenis sayuran, sedangkan untuk kentang sebesar
2500/bakul.
Beliau pernah menjadi pengantar barang dari magelang ke semarang selama 3 tahun
yang penghasilannya lebih baik dari petani. Ketika menjadi pengantar barang, itu dilakukan
saat belia baru mempunyai anak. Saat ini, Pak WKM menanam tembakau karena saat ini
musim kering karena tembakau dapat bertahan terhadap cuaca tersebut.
Informan 11
Berinisial PT, beliau adalah seorang petani dan juga merupakan salah satu penjaga
basecamp untuk pos pendakian desa Kopeng, dusun Cuntel sehingga menjadi induk semang
dan menampung tamu di rumahnya sudah bukan barang baru baginya. Beliau memiliki 2
orang anak, si sulung sudah keluar dari dusun Cuntel dan sedang menjadi siswi kelas 3 SMK
di bekasi setelah sebelumnya bekerja karena kesulitan ekonomi untuk melanjutkan biaya
sekolahnya yang kemudian oleh pakdenya dibantu untuk melanjutkan sekolah. Sedangkan si
bungsu masih duduk di bangku kelas 4 SD. Bersama istri, ia menggantungkan hidup dari
bertani dan menggemukkan ternak. Untuk saat tertentu dia juga mengupah orang untuk
bekerja di lahannya, untuk mencabuti gulma yang diupah 10.000 per hari kerja. Harga
tersebut merupakan harga yang sudah ditentukan sebelumnya, karena memang upah yang
disetujui adalah kisaran 10-15ribu. Walaupun begitu, tidak jarang dia juga menjadi buruh di
lahan orang dengan bayaran yang serupa pula.
33
Penghasilannya bertani terkadang tidak mencukupi, oleh karena itu dia menerima
permintaan untuk menggemukkan ternaknya, yang ternyata masih merupakan sanak
saudaranya sendiri. Ternak tersebut diternakkan hingga mencapai usia tertentu dan sudah
dianggap cukup gemuk lalu kemudian dijual di pasar. Pemiliknya (owner) memberikan
kewenangan pada yang memelihara (breeder) untuk melepas ternaknya pada harga berapapun
(tapi diusahakan tidak terlalu lama ditahan karena makin lama maka akan semakin mahal
biaya perawatannya) karena dianggap dia (breeder) yang lebih mengerti dan sudah ada
perjanjian sebelumnya untuk pembagian keuntungan, semisal 50% keuntungan untuk yang
menggemukkan dan 50% juga bagi pemiliknya, suatu perjanjian yang cukup adil mengingat
pemilik hanya tinggal terima untung saja. Pt tidak menyebutkan langsung jumlah
keuntungannya, tapi biasanya si pemilik mendapatkan keuntungan 2 juta sejak pembelian
ternak tersebut.
Sebagai seorang petani tentunya dia harus menjual hasil panennya untuk mendapatkan
uang sebagai gantinya. Seperti kebanyakan petani di dusun Cuntel, Pt menggunakan jasa
tengkulak atau pengepul untuk menjadi perantara dirinya dan konsumen di pasar,
dikarenakan sangat repot apabila harus membawa sendiri hasilnya. Beliau biasa
mempercayakan penjualan pada Bu Sukemi karena memang sudah sejak lama mereka kenal
dan menjalin hubungan bisnis yang sehat. Walaupun begitu ternyata petani tidak selalu
mengandalkan hubungan yang sudah lama terjalin, tapi juga masih memungkinkan adanya
kompetisi antara pengepul, karena sebagian petani masih mencari siapa yang berani
membayar lebih tinggi. Jadi tidak hanya berlandaskan kepercayaan dari hubungan sejak lama,
tapi juga dari keuntungan yang didapat.
Bekerja sebagai petani yang tidak bisa dibilang berpenghasilan besar -dan terkadang
malah tidak mencukupi- memaksa Pt dan beberapa orang di dusun Cuntel untuk lebih kreatif
dalam mengakali biaya produksi pertaniannya. Salah satunya adalah swadaya berramai-ramai
mencari sumber air untuk perairan lahan mereka. Mereka yang terdiri dari 9 KK tergabung
dalam kelompok pengumpul air yang kemudian dibayar 200 rupiah per kg air yang mereka
gunakan per meternya. Jadi mereka mendapatkan 200ribu rupiah untuk tiap hektar yang
disiram.
34
BAB IV
PEMBAHASAN
IV. 1. Sistem Produksi Pertanian di Dusun Cuntel
Dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan proses
produksi. Salah satu bentuk dari proses produksi ini adalah kegiatan bertani yang bersifat
ekstraktif, artinya memanfaatkan secara langsung sumber daya yang disediakan oleh alam. Di
dalam kegiatan produksi pertanian ini sendiri terjalin sebuah relasi hubungan yang
memebentuk sistem, baik antara manusia dengan alam maupun manusia dengan sesamanya.
Sistem produksi pertanian ini merupakan rangkaian subsistem-subsistem yang berupa paket
peranan dalam jalannya system produksi yang saling berjalan secara fungsional dan kinerja
dari relasi antar peran peran tersebut sangat berpengaruh pada hasil akhir dari system
produksi itu sendiri.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sistem pertanian di Dusun Cuntel, terdapat
dua poin yang harus menjadi pijakan kita dalam melihat pertanian di Cuntel. Pertama adalah
kondisi geografis. Dusun Cuntel terletak di kaki Gunung merbabu, selain terpencil seperti
disebutkan pada Bab sebelumnya, lahan pertanian yang ada disana tidak subur dan bahkan
tergolong kering. Tidak ada sungai yang melalui Dusun ataupun lahan pertanian. Pengairan
lahan hanya dilakukan menggunakan air hujan pertanian yang saat ini semakin tidak pasti
waktu kedatangaannya. Kepemilikan lahan di Cuntel juga bisa dikatakan cukup moderat
karena masing-masing warga disana mempunyai lahan pertanian meskipun luasnya berbeda-
beda antara satu dengan yang lainnya.
Kedua adalah pertaniannya. Pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat Dusun
Cuntel adalah sayur-sayuran seperti Kubis, Kentang, Wortel, Sawi, Brokoli, Daun Bawang,
Tomat dan Seledri. Jenis pertanian ini adalah pertanian sekunder dan menghasilkan makanan
pokok seperti padi ataupun jagung, artinya mereka harus menjual terlebih dahulu hasil
pertaniannya untuk bisa makan. Meskipun hasilnya tidak begitu baik namun pertanian sayur
ini tidak bergantung pada faktor cuaca sehingga tidak dilakukan secara serentak seperti
halnya pertanian padi. Akhibatnya disana tidak dikenal adanya masa awal tamam ataupun
masa penen, melainkan hanya masa tanam yang mengacu pada waktu berapa lama sebuah
35
tanaman dari mulai ditanam hingga siap dipanen. Masa tanam ini berbeda-beda antara satu
jenis tanaman dengan jenis yang lainnya. Selain itu, setiap lahan juga memiliki masa
tanamnya masing-masing meskipun dimungkinkan juga adanya persamaan waktu mulai
antara satu lahan dengan lahan yang lainnya.
Beranjak dari dua poin ini, kita masuk pada masalah ‖tanah‖ yang disebut Moore
sebagai sumberdaya utama dalam kegiatan pertanian. Dengan kata lain tanah ini merupakan
‖modal‖ yang utama di dalam kegiatan produksi masyarakat pedesaan. Oleh karena itulah
dalam melihat sistem pertanian di Dusun Cuntel sebagai sebuah sistem produksi, kita harus
berangkat dari pembahasan mengenai kepemilikan tanah dan pola penggunaan tanah yang
mereka lakukan. Berdasarkan hasil temuan kami di lapangan, kepemilikan lahan di Cuntel
bisa dikatakan cukup moderat karena masing-masing warga disana mempunyai lahan
pertanian meskipun luasnya berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Seluruh KK di
dusun Cuntel memiliki lahan pertanian, sebagian besar lahan ini merupakan warisan dari
orang tua sementara hanya sebagian kecil yang merupakan hasil jual beli.
Sebagai sebuah ‖modal produksi‖, luas sempitnya lahan ini berpengaruh terhadap
penghasilan panen dan tentunya tingkatan ekonomi pemiliknya. Semakin luas lahan maka
semakin besar pula penghasilan warga tersebut, sebaliknya semakin sempit maka penghasilan
warga menjadi semakin sedikit. Disamping itu, semakin luas lahan juga berarti sebuah
tuntutan untuk meningkatkan faktor produksi yang lainnya guna meningkatkan produktifitas
dari proses produksi. Sementara semakin sempit lahan juga berarti kebutuhan akan sumber
penghasilan yang baru sebagai tambahan dari penghasilan utama dari hasil panen. Dari data
SPPT yang kami dapatkan mengenai kepemilikan lahan di Dusun Cuntel, terdapat hanya 11
KK yang memiliki lahan lebih dati 1ha, sementara sisanya sebanyak 108 KK hanya memiliki
lahan dengan luas kurang dari 1ha.
Perbedaan luas tanah yang dimiliki ini akhirnya berdampak pada mekanisme
penggunaan lahan yang mereka gunakan. Secara umum lahan yang dimiliki warga cuntel–
selain yang mereka gunakan untuk tempat tinggal–digunakan sebagai lahan untuk pertanian
atau sarana bercocok tanam. Di dalam kegiatan pertanian ini ternyata berkembang beberapa
mekanisme penggunaan lahan. Mekanisme pertama adalah pemilik lahan yang mengerjakan
keseluruhan proses pertanian di lahannya, mulai dari penanaman hingga pemenenan.
Mekanisme yang kedua adalah pemilik lahan yang menggunakan bentuan buruh dalam
36
mengerjakan lahannya. Mekanisme yang terakhir adalah menyewakan lahan yang mereka
miliki kepada pihak lain. Dari data yang berhasil kami himpun, lahan yang disewakan ini pun
hanya digunakan sebagai lahan pertanian oleh pihak yang menyewanya.
Mekanisme-mekanisme ini merupakan bagian dari wujud sistem produksi pertanian
yang berkembang disana. Terlepas dari jenis komoditas yang ditanam, secara umum sistem
produksi pertanian di Cuntel meliputi serangkaian kegiatan dari awal pencangkulan hingga
penjualan hasil panen. Secara berurutan rangkaian kegiatan ini meliputi: 1) Pencangkulan
sebelum mulai menanam, disini lahan yang akan digunakan untuk kegiatan pertanian di
gemburkan dengan menggunakan cangkul. 2) Kegiatan perabukan atau pemberian pupuk
kandang terhadap lahan yang akan di tanami, disini lahan yang sudah selesai dicangkul
kemudian ditaburi dengan menggunakan pupuk kandang 3) Kegiatan penanaman benih,
disini pada lahan yang sudah dicangkul dan diberi pupuk kandang kemudian di ‖gejik‖ atau
diberi lubang dengan menggunakan batang kayu berdiameter sekitar 5 cm dan kedalaman
sekitar 10-15 cm, kemudian benih yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalamnya dan
lubangnya ditutup kembali dengan menggunakan tanah. 4) Pembersihan rumput dan gulma,
pada pertengahan masa tanam biasanya akan banyak gulma dan rumput yang muncul, gulma
dan rumput ini merupakan tanaman pengganggu yang harus dibersihkan agar tanaman bisa
tumbuh dengan maksimal 5) Penyemprotan (pestisida), penyemprotan pestisida ini biasanya
dilakukan untuk membasmi hama namun pengunaan pestisida ini cukup berbahaya bagi
kesehatan jangka panjang 6) Pendangiran atau mencangkulan pada pertengahan masa tanam,
biasanya kegiatan ini dilakukan dengan mencangkul ulang tanah guna memperoleh tanah
yang gembur. 7) Pemanenan, kegiatan pemanenan ini dilakukan setelah tanaman pertanian
dirasa sudah saatnya untuk di panen. Hasil panen tersebut diambil dari ladang kemudian
dibawa kerumah atau langsung dijual kepada para pemborong. 8) Penjualan hasil panen, ini
merupakan tahap akhir dari sistem produksi pertanian setalah hasil panen tersebut diambil
dari lahan pertanian, dimana hasil panen tersebut pada nantinya akan dijual kepada para
pemborong yang kemudian hasil panen tersebut siap dipasarkan kepada para konsumen di
pasar-pasar di dekat Cuntel.
Di dalam sistem produksi tersebut, terdapat selang waktu yang cukup panjang antara
satu kegiatan dengan kegiatan yang lainnya karena masa tanam sebuah komoditas berkisar
antara tiga sampai empat bulan. Hal ini menyebabkan para petani disana mempunyai sebuah
selang waktu untuk melakukan hal lain diluar mengolah lahannya sendiri. Disisi lain, seperti
37
telah disebutkan di atas, di Cuntel terdapat beberapa orang yang memiliki lahan yang cukup
luas sehingga membutuhkan tenaga dan faktor produksi yang lebih dalam melakukan
kegiatan pertaniannya. Selain lahan yang luas, beberapa petani yang memiliki pekerjaan lain
diluar mengolah lahan biasanya juga mengalami kesulitan untuk mengolah lahan yang
mereka miliki dengan menggunakan tenaga sendiri. Beberapa hal ini kemudian bertemu
dengan dua hal lainnya yaitu adanya perbedaan masa tanam antara lahan yang satu dengan
yang lainnya dan kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga sehingga
melahirkan sebuah sistem produksi pertanian yang di dalamnya terdapat kerjasama antar
petani dalam bentuk hubungan kerja.
Berbagai jenis kegiatan dalam sistem produksi pertanian ini pun akhirnya melahirkan
adanya pembagian peran di dalam masyarakat pertanian Cuntel. Poin penting yang perlu
dicatat disini adalah bahwa peran-peran yang ada disini bukanlah sebuah spesialisasi secara
organis karena seorang petani di Cuntel menjalankan lebih dari sebuah peran. Oleh karena
itulah istilah pembagian peran kerja digunakan disini dan bukan pembagian kerja. Selain itu,
tidak semua peran tersebut akhirnya melahirkan hubungan dan lapangan kerja baru bagi
warga Cuntel. Hal ini dikarenakan tidak semua peran dan kegiatan tersebut terlalu ‖berat‖
untuk dilaksanakan sendiri oleh pemilik lahan sehingga memerlukan bantuan orang lain.
Secara umum pembagian peran kerja di Dusun Cuntel meliputi peran sebagai pemilik lahan,
penyewa, buruh cangkul, penanam benih, buruh pupuk, buruh cabut gulma, penyemprot,
pemanen, dan pemborong. Ragam peran kerja yang digunakan disini adalah ‖peran‖ yang
terkait dengan sebuah identitas dan ‖jenis‖ kegiatan (bukan per kegiatan) di dalam sistem
produksi pertanian tersebut. Misalnya untuk kegiatan pendangiran, pada pelaksanannya yang
dilakukan adalah kegiatan mencangkul, oleh karena itu kegiatan ini tidak melahirkan peran
kerja baru dalam sistem produksi pertanian Cuntel.
IV. 2. Pembagian peran dalam sistem pertanian Dusun Cuntel
Dari hasil pengamatan dan data-data yang kami dapatkan mengenai Dususn Cuntel, kami
menemukan terdapat tujuh bentuk peran dalam sistem produksi pertanian disana, yaitu:
Pemilik Lahan Pertanian
Sesuai dengan hasil pengamatan, dapat dideskripsikan bahwa Pemilik lahan pertanian
merupakan seorang individu yang memiliki lahan pertanian. Lahan pertanian disini
38
merupakan sebuah lahan yang memiliki luas tertentu dan dapat ditanami berbagai macam
jenis sayuran yang pada nantinya hasilnya akan dijual. Lahan pertanian di dalam cakupan
Dusun Cuntel ini memiliki berbagai macam manfaat, terutama dalam segi ekonomi,
dimana lahan pertanian inilah yang pada nantinya dijadikan sebuah modal bagi para
penduduk Dusun Cuntel untuk menunjang mata pencahariannya yaitu bertani. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pada akhirnya dari lahan ini para penduduk dapat memperoleh
penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Berdasarkan hasil
temuan lapangan, dapat dilihat bahwa seluruh KK di Dusun Cuntel ini memiliki lahan
pertanian dan perlu diketahui juga bahwa sebagian besar lahan pertanian di Dusun Cuntel
merupakan warisan dari keluarganya masing-masing yang diturunkan secara turun
temurun dan kebanyakan dari para penduduk berpendapat bahwa tanah warisan dari orang
tua mereka itu tidak boleh dijual dengan alasan harus diturunkan lagi kepada generasi
selanjutnya guna menopang kehidupannya. Sebagian lahan lainnya didapatkan melalui
pembelian. Lahan pertanian disini juga dapat dikelompokan berdasarkan luasnya, yaitu
luas (lebih dari 20.000m2), sedang (10.000m2 sampai dengan 20.000m2), dan sempit
(kurang dari 10.000m2). Luas sempitnya lahan ini berpengaruh terhadap beban
pengelolaan dan tingkat penghasilan panen pemiliknya.
Kegiatan yang dilakukan oleh para pemilik lahan pertanian ini pun sungguh beragam, bagi
yang memiliki lahan luas seperti SRS (26.326m2), STT (21.899m2), dan WW (26.874m2).
Mereka disini bekerja sebagai pengolah lahan hingga masa panen tiba, namun lahan yang
cukup luas ini membuatnya berpikir untuk mempekerjakan buruh seperti buruh cangkul,
buruh cabut gulma, buruh pupuk, dsb. Ada pula yang menyewakan lahannya kepada
penyewa lahan guna mendapatkan keuntungan yang cukup besar seperti pada informan
STT, salah satu informan dengan luas lahan yang cukup luas ini lebih berorientasi pada
motif-motif ekonomi dengan mencari keuntungan dari lahan yang ia miliki, hal ini dapat
dilihat dari caranya menyewakan lahan. Ia lebih baik menyewakan lahan kepada dusun
diluar cuntel (seperti dusun delles) dibandingkan dengan dusun cuntel dengan alasan
tawaran uang sewa dari dusun delles lebih besar daripada dusun cuntel itu sendiri. Lain
halnya dengan informan SRS dan WW, mereka lebih memilih untuk memperkerjakan
buruh buruh tani yang berasal dari Dusun Cuntel sendiri dengan alasan sudah biasa turun
temurun dari orang tuanya. Sebagai pembandingnya, dapat dilihat pada para pemilik luas
lahan sempit sepert informan TRM, SKNH, RSM. Dimana para pemilik lahan yang sempit
39
ini pada umumnya memiliki waktu lebih luang karena lahan mereka hanya sedikit. Oleh
karena itu untuk mengisi kekosongan waktunya itu, mereka biasanya menjadi buruh yang
mengolah lahan orang lain yang cukup luas dan membutuhkan bantuan tenaga untuk
mengolahnya. Para pemilik lahan luas ini biasanya sudah memiliki buruh-buruh tetap yaitu
orang-orang yang sering membantu mereka dalam mengerjakan lahan. Para pemilik lahan
sempit ini memerlukan pekerjaan ini untuk menambah penghasilan mereka dengan alasan
hasil panen dari lahan mereka yang sempit itu biasanya masih kurang untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga dapat dilihat disini bahwa tekanan ekonomi telah
membuatnya mencari alternatif lain dengan mencari penghasilan dalam kekosongan
waktunya.
Penyewa Lahan Pertanian
Sesuai dengan hasil pengamatan, dapat dideskripsikan bahwa Penyewa lahan pertanian
merupakan seorang individu yang menyewa lahan dari orang lain untuk diolah lebih lanjut
guna menghasilkan suatu komoditas untuk dijual ke pasar. Yang berperan sebagai
penyewa lahan disini berasal dari para penduduk Dusun Cuntel itu sendiri dan para
penduduk yang singgah disekitar Dusun Cuntel seperti Dusun Deles dan Tayeman. Bagi
para penyewa lahan seperti informan IM, SN, dan WTN memilih untuk menyewa lahan
pertanian dengan alasan ingin mendapatkan penghasilan dan keuntungan yang lebih besar.
Terdapat perbedaan sistem penyewaan antara warga Cuntel dan warga luar Cuntel ini.
Dalam masyarakat Cuntel, sistem yang berkembang adalah sistem ―lobang‖. Lobang yang
dimaksud disini adalah lubang tanam, lubang tanam ini mewakili 1 meter persegi, biaya
untuk setiap meter persegi lahan per tahun adalah Rp. 250, 00,-. Sementara bagi warga
dari luar cuntel, sistem yang digunakan adalah sistem tawar-menawar, jadi biaya yang
dibayarkan adalah per keseluruhan luas lahan yang di sewa per tahun. Besarannya
bergantung dari hasil tawar menawar yang dilakukan. Untuk IM, SN, dan WTN yang
merupakan penyewa dari Deles dan Tayeman tadi, setiap tahunnya masing-masing
membayar biaya sewa lahan sebesar Rp.1.250.000,00.- kepada STT. Sewa lahan ini
dilakukan oleh mereka yang memiliki lahan luas, menurut mereka hal ini menguntungkan
daripada harus mengurus lahan tersebut menggunakan jasa buruh. Sehingga dapat dilihat
disini bahwa sebagian besar mereka yang berperan sebagai orang yang menyewakan lahan
40
memiliki motif ekonomi dimana mereka masih lebih memilih pilihan yang lebih rasional
dengan mencari mana yang lebih menguntungkan.
Buruh Cangkul
Sesuai dengan hasil pengamatan, dapat dideskripsikan bahwa Buruh dapat diartikan
sebagai seorang individu atau kelompok yang bekerja kepada orang lain dengan cara
menyumbangkan tenaganya dengan motif memperoleh penghasilan yang pada nantinya
akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, yang dikerjakan oleh
buruh ini adalah mencangkul lahan milik orang lain yang mempekerjakannya hingga masa
panen tiba dan pekerjaannya pun berakhir. Pencangkulan ini dilakukan dua kali yaitu
waktu sebelum penanaman dan pada waktu ―pendangiran‖ di tengah masa tanam.
Buruh yang berasal dari Cuntel digaji 15ribu per hari seperti pada informan TRM,
sementara buruh dari dusun lain biasa digaji per luas lahan yang dikerjakan seperti YMN
dari Tayeman. Pekerjaan untuk menjadi buruh cangkul cukup diminati karena dibutuhkan
banyak buruh cangkul di Desa Cuntel terutama oleh mereka yang memiliki lahan luas,
tidak jarang para pemilik lahan sedang pun membutuhkan tenaga buruh cangkul. Jenis
pekerjaan buruh cangkul ini biasa diisi oleh mereka yang memiliki lahan sempit atau
sedang. Pekerjaan ini seringkali dibutuhkan oleh orang-orang tersebut untuk mendapatkan
penghasilan tambahan. Mereka membutuhkan ini karena penghasilan dari hasil panen saja
dirasa kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sehingga tekanan ekonomi
sepeti ini yang medorong mereka yang memiliki lahan sempit untuk bekerja. Namun perlu
diketahui juga bahwa pekerjaan ini juga hanya menjadi sampingan bagi mereka, fokus
utama tetap mengolah lahan sendiri.
Buruh Pupuk
Warga desa yang bekerja sebagai buruh pupuk berperan mengangkut dan menyebarkan
pupuk kandang di ladang. Menurut hasil deskripsi dari informan ST, dapat dilihat bahwa
penghasilan yang diperoleh Buruh pupuk ini berkisar antara 700 rupiah hingga 1500
rupiah/ keranjang yang diangkut. Upah ini bisa berubah sesuai dengan jarak angkut antara
kandang dengan lahan milik warga yang ingin diberi pupuk. Di dalam Dusun Cuntel itu
sendiri hanya terdapat sedikit warga desa yang menjadi buruh pupuk. Menurut pengakuan
informan ST, menjadi buruh pupuk itu cukup menguntungkan karena hanya memiliki
41
sedikit saingan. Sehingga ia bisa mendapatkan penghasilan lebih daripada menjadi buruh
cangkul yang dibayar 15.000 per hari. Dengan demikian dapat dilihat juga bahwa
motivasi informan ST dalam perannya sebagai buruh pupuk ini lebih mengarah pada
kepentingan ekonomi karena lahan yang sempit itu masih dirasa kurang mampu
memenhui kebutuhan sehari-hari. Dan ia lebih memilih menjadi buruh pupuk
dibandingkan menjadi buruh cangkul karena memang pekerjaan menjadi buruh puuk ini
cukup menguntungkan. Oleh karenanya dapat dilihat secara langsung bahwa jenis
pekerjaan buruh pupuk ini diisi oleh mereka yang memiliki lahan sempit, Walaupun
demikian, buruh pupuk ini tidak memilih-milih dalam bekerjasama dengan warga, siapa
saja yang membutuhkan tenaga mereka maka akan dibantu. Buruh pupuk bisa melakukan
ini karena tenaga buruh pupuk masih sedikit, sehingga kemungkinan terjadinya konflik
antara buruh pupuk itu sendiri sangat kecil atau bisa dikatakan tidak ada.
Penanam Benih
Kegiatan menanam benih dilakukan setelah pemupukan. Jadi setelah tanah dicangkul dan
dipupuk maka tanah sudah siap untuk di tanami benih. Kegiatan ini juga tidak
memerlukan tenaga yang besar, tergantung luas lahan. Namun seluruh petani di Cuntel
tidak pernah menggunakan tenaga orang lain untuk mengerjakan proses penanaman benih
ini. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari informan, kita memperoleh informasi
bahwa tidak ada buruh penanam benih di dusun Cuntel. Kegiatan menanam benih ini
dilakukan sendiri karena tidak membutuhkan tenaga yang terlalu besar dan hanya
dilakukan sekali dalam masa penanaman. Selain itu mereka merasa rugi jika harus
membayar orang untuk sekedar menanam benih sekali saja. Berdasarkan informan TRM,
kegiatan ini cukup dilakukan sendiri karena memang tidak berat jika dilakukan sendiri.
Penyemprot Hama
Kegiatan menyemprot hama merupakan bagian dari sistem produksi pertanian, dimana
fungsi dari penyemprotan hama adalah untuk mengusir hama perusak tanaman.
Penyemprotan ini dilakukan sekali sepanjang umur tanaman. Kegiatan menyemprot
hama ini biasa dilakukan sendiri oleh pemilik lahan karena kegiatan ini tidak memakan
waktu dan tenaga, sehingga tidak ada buruh penyemprot hama di dusun Cuntel.
Berdasarkan wawancara dengan informan TRM, dia tidak menggunakan tenaga orang
lain untuk menyemprot hama hal ini dikarenakan tidak membutuhkan banyak tenaga dan
42
rugi jika harus membayar orang lain hanya untuk menyemprot hama. Informan SKNH
juga memiliki argumen yang sama, selain karena memang lahannya sempit. Kegiatan
menyemprot hama ini tidak terlalu memakan tenaga dan waktu sehingga tidak
memerlukan tenaga orang lain untuk menyemprot hama.
Pemanen
Pemanen adalah mereka yang mengumpulkan hasil panen dari ladang. Ketika panen tiba
biasanya warga membutuhkan tenaga pemanen yang cukup banyak tergantung dari luas
lahan mereka. Menurut penuturan salah satu informan, bisa sampai 40 orang untuk
mengumpulkan hasil panen. Tidak semua tenaga pemanen ini mendapatkan upah berupa
uang. Beberapa pemanen hanya mendapatkan makan siang atas tenaga yang mereka
berikan untuk membantu memanen. Biasanya mereka yang hanya mendapatkan makanan
ini merupakan kerabat dekat dari pemilik lahan dan mereka membantu dengan sukarela
tanpa meminta bayaran. Pemanen jenis ini biasanya akan datang dengan sendirinya ketika
salah satu warga sedang panen.
Jenis pemanen yang lain adalah pemanen dengan upah tertentu. Tenaga pemanen jenis ini
bisa didapatkan dari Dusun Cuntel sendiri atau dari dusun lain. Biasanya ketika panen
tiba mereka akan mendapatkan ajakan dari pemilik lahan untuk memanen. Namun warga
lebih cenderung untuk memilih jenis pemanen sukarela yaitu mereka yang tidak meminta
bayaran untuk memanen dan cukup diberi makan siang saja. Informan STT mengaku
lebih memilih pemanen jenis ini karena bisa menghemat biaya. Namun terkadang mereka
harus membayar jasa pemanen jika tidak ada yang membantu mereka ketika masa panen
telah tiba. Jumlah pemanen sukarela ini sangat bervariasi antara satu lahan dengan lahan
lainnya. Di lahan tertentu biasanya mendapatkan bantuan lebih banyak dari lahan lainnya,
mungkin di lahan lain mendapatkan bantuan tenaga lebih sedikit dari lahan lainnya,
bergantung pada posisi dan jaringan pemilik lahan di dalam masyarakat.
Pemborong
Warga desa yang bekerja sebagai pemborong berperan sebagai seseorang yang membeli
hasil panen sekaligus berperan sebagai pengangkut hasil panen dari pemilik lahan pada
masa panen tiba. Kemudian hasil panen yang telah dibeli oleh pemborong ini siap
dipasarkan ke pasar. Seperti pada informan SKR, RHMT, SKM yang selalu menjual
43
hasil borongannya ke sebuah pasar berada di sekitar dusun Cuntel, seperti Pasar Kopeng
dan Getasan. Tenaga pemborong ini sangat diperlukan oleh Dusun Cuntel karena untuk
membawa sendiri hasil panen diperlukan tenaga dan waktu yang banyak. Dengan adanya
pemborong ini mereka tidak perlu lagi membawa langsung hasil panen mereka ke pasar.
Selain itu mereka juga tidak perlu khawatir apakah hasil panen mereka akan terjual atau
tidak karena para pemborong ini membeli hasil panen mereka secara keseluruhan. Para
pemborong ini biasanya sudah memiliki pembeli tetap dipasar yaitu para penjual sayur di
pasar. Menurut informasi yang kita dapatkan, ada satu orang yang sering membawa hasil
panen lahan sendiri ke pasar tanpa menggunakan jasa pemborong. Dia adalah bu Seneng.
Biasanya para pemborong ini akan menjual hasil borongannya dengan harga yang tidak
tentu dan disesuaikan dengan keadaan pasar. Dimana banyaknya panen akan membuat
harga barang borongannya tersebut turun, iklim yang tidak mendukung juga akan
berpengaruh pada harga barang borongannya, dimana hujan akan membuat barangnya
menjadi tidak laku sehingga harga pun turun. Oleh karenanya kebanyakan pemborong
yang berada di Dusun Cuntel ini lebih memilih menjualnya dengan harga murah asalkan
barang borongan terjual semua. Motif yang mendasari seseorang menjadi pemborong
adalah motif ekonomi, karena dianggap lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
bekerja sebagai buruh tani. Walaupun dalam hal ini lahan pertanian 4 informan yang
berperan sebagai pemborong itu termasuk sempit. Namun ia terus menggunakan modal
yang berasal dari warisan orang tuanya sebagai modal menjadi seorang pemborong.
Menurut pengakuan informan kami yang berperan sebagai pemborong, dalam kegiatan ini
tidak pernah terjadi perebutan hasil panen antara para pemborong di Dusun Cuntel.
Perebutan ini tidak terjadi karena masing-masing pemborong sudah memiliki penyuplai
tetap yang biasa membeli hasil borongannya di pasar. Jadi setiap satu pemilik lahan
biasanya cenderung untuk menjual pada satu pemborong yang biasa membeli hasil
borongannya. Menurut pengakuan salah satu pemborong hal ini bisa terjadi karena
didasarkan pada faktor kedekatan mereka dengan pemilik lahan, bukan karena faktor
ekonomi. Jadi mereka sudah biasa bekerja sama dengan orang-orang tertentu yang
mereka percaya.
Salah satu pemborong yang memiliki peran penting di Dusun Cuntel adalah informan
SKM. Beliau adalah satu-satunya pemborong yang memiliki mobil di Dusun Cuntel.
Mobil ini memiliki fungsi penting untuk membawa hasil panen dalam jumlah yang besar.
44
Beberapa pemborong juga menggunakan jasa dari informan SKM untuk membawa
barang dagangan mereka ke pasar dan dijual kembali kepada pemborong yang berada di
pasar.
IV. 3. Hubungan antar Unit dalam Sistem Produksi Pertanian Dusun Cuntel
Beragamnya peran kerja tersebut membuat seluruh petani Cuntel mempunyai peran
ganda dalam kegiatan pertaniannya. Seorang pemilik lahan misalnya, bisa saja dia adalah
juga seorang penyewa, buruh cangkul, penanam benih, buruh pupuk, buruh cabut gulma,
penyemprot, pemanen, atau bahkan pemborong. Peran ganda yang dimiliki petani ini sangat
terkait dengan mekanisme pengunaan lahan yang mereka gunakan, entah itu digunakan
dengan tenaga sendiri, disewakan, atau menggunakan buruh. Disini pembagian dan kepemili-
kan peran ini sendiri sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yang saling terkait yaitu
kepemilikan tanah sebagai sumberdaya produksi utama dalam pertanian dan tingkat
kemampuan ekonomi warga.
Dalam mekanisme penggunaan lahan yang menggunakan tenaga sendiri, semua
rangkaian kegiatan pertanian dilakukan sendiri oleh si pemilik lahan. Pemilik lahan
mengerjakan sendiri keseluruhan kegiatan pertanian mulai dari pencangkulan sampai dengan
pemanenan. Bahkan ada juga salah satu dari Informan kami yaitu SKNH yang melanjutkan
sendiri hingga sampai pada kegiatan penjualan hasil pertanian tanpa melalui para pemborong
dengan tujuan meningkatkan pendapatan. Mekanisme ini banyak digunakan oleh para petani
yang memiliki lahan dengan luas cukup sempit sehingga masih sanggup untuk dikerjakan
sendiri dan tidak cukup untuk disewakan. Selain itu mereka juga mempunyai tingkat ekonomi
yang cukup rendah sehingga tidak mampu untuk membayar buruh. Disini kita bisa melihat
bahwa relasi kerja yang utama terjadi hanya pada saat penjualan hasil panen sebagian pada
saat pemanenan. Pada saat pemanenan, relasi terjadi antara mereka dengan para pemanen
yang merupakan tetangga dan sanak saudara mereka sendiri atas dasar kekeluargaan.
Sementara pada saat penjualan hasil panen—kecuali mereka yang menjual sendiri hasil
pertaniaannya di pasar seperti Ibu SKNH—relasi kerja terjadi antara mereka dengan para
pemborong. Dalam relasi dengan para pemborong ini, sebagian masih menggunakan asas
kekeluargaan dan menjual hasil pertaniannya kepada pemborong yang memang sudah
menjadi langganannya.
45
Lain lagi dengan dalam mekanisme pengunaan lahan dengan cara disewakan. Meka-
isme ini cukup jarang ditemukan di Cuntel karena seperti telah disebutkan di bagian
sebelumnya bahwa hanya ada beberapa saja warga Cuntel yang memiliki lahan ‖luas‖
sehingga bisa disewakan. Selain itu, jumlah orang yang mempunyai modal yang cukup untuk
menyewa lahan pun juga terbatas jumlahnya. Pada mekanisme ini, relasi kerja yang terjadi
adalah antara pemilik lahan dengan penyewa lahan dan antara penyewa lahan dengan
pemborong. Relasi yang terjadi antara pemilik lahan dan penyewa terjadi dalam bentuk relasi
bisnis pembayaran biaya sewa lahan setiap tahunnya. Motif ekonomi agaknya cukup berperan
disini karena besarnya biaya sewa ini merupakan hasil kesepakatan antara kedua belah pihak
atau harga sewa yang berlaku umum disana. Dalam relasi antara penyewa dengan
pemborong, hubungan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan pada mekanisme sebelumnya,
karena selain faktor sewa lahan yang dia lakukan, kegiatan yang mereka lakukan dalam
mengelola lahan tidaklah berbeda dengan seorang pemilik lahan yang menolah sendiri lahan
pertaniannya.
Sementara dalam mekanisme penggunaan lahan yang menggunakan bantuan buruh di
dalamnya, hubungan kerja yang terjadi jauh lebih kompleks daripada dua mekanisme
sebelumnya. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang paling banyak digunakan dan
melibatkan hubungan kerja dengan jumlah yang paling banyak di Dusun Cuntel. Faktor
kepercayaan dan pertimbangan berat tidaknya sebuah kegiatan sangat berpengaruh disini,
oleh karena itulah hanya beberapa kegiatan saja yang melahirkan peran yang diisi oleh orang
selain pemilik lahan. Dari informasi yang kami dapatkan, kegiatan-kegiatan seperti
penanaman benih dan penyemprotan masih dilakukan sendiri oleh para pemilik lahan.
Alasannya adalah pekerjaan ini dianggap krusial dan masih cukup ringan untuk dilakukan
sendiri. Hal ini berbeda dengan kegiatan pencangkulan, perabukan (pemupukan mengguna-
kan pupuk kandang), pencabutan gulma, pendangiran, pemanenan dan penjualan hasil panen
yang biasanya tidak dapat dikerjakan sendiri oleh pemilik lahan karena berbagai alasan.
Kegiatan-kegiatan inilah yang akhirnya berkembang menjadi lapangan kerja baru bagi warga.
Dalam mekanisme ini kita bisa melihat bahwa terdapat relasi antar peran yang terjadi,
yaitu antara si pemilik lahan dengan buruh (baik buruh cangkul, buruh pupuk, maupun buruh
cabut gulma), dengan para pemanen, dan dengan para pemborong. Dalam hubungan antara
pemilik dengan buruh ini, si pemilik lahan mendapatkan bantuan dalam mengerjakan
lahannya, sementara si buruh mendapatkan gaji dari bantuan yang dia berikan. Kendati
46
demikian, motif ekonomi tidaklah selalu berada di balik relasi mereka, melainkan juga
kekeluargaan. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam kasus TRM yang bekerja kepada KD
karena melanjutkan pekerjaan mendiang ayahnya yang dulu bekerja kepada KD dan
mendiang Ayah KD. Dalam relasi antara pemilik lahan dengan para pemanen, secara umum
masih berdasarkan pada asas kekeluargaan dimana para pemanen adalah tetangga dan sanak
saudara yang tidak digaji meskipun ada juga pemilik lahan yang menggunakan bantuan buruh
panen. Sedangkan dalam relasi antara pemilik lahan dengan pemborong, baik motif ekonomi
maupun kekeluargaan dapat kita temukan disini. Motif ekonomi dapat kita temukan misalnya
dalam kasus STT yang memilih untuk menjual hasil pertaniannya pada pemborong yang
membeli dengan harga paling mahal. Sedangkan motif kekeluargaan misalnya dapat kita
temukan pada kasus SF yang menjual hasil panennya pada SKM karena memang sudah
terbiasa menjual kesana.
Kembali pada poin bahwa pembagian peran ini tidaklah bersifat organis dan sangat
dipengaruhi oleh faktor kepemilikan lahan serta tingkat ekonomi warga, pembahasan yang
mengenai relasi peran-peran yang ada ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
mengenai relasi unit yang menjalankan peran tersebut. Unit yang menjalankan peran-peran
tersebut merupakan para warga Dusun Cuntel. Meskipun dikatakan bahwa pembagian peran
ini tidaklah bersifat organis, namun tetap saja tidak semua orang dapat menjalankan
keseluruhan peran yang ada disana. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
kepemilikan lahan sebagai sumberdaya produksi dan tingkat ekonomi dari warga
bersangkutan. Seseorang dengan lahan yang sempit dan tingkat ekonomi yang rendah
misalnya tidak akan bisa menjadi pemilik lahan, penyewa lahan ataupun pemborong. Dari
sini pembahasan akan dilanjutkan dengan lebih memfokuskan pada unit yang menjadi aktor
dalam menjalankan peran-peran tersebut.
Secara umum kami membagi para aktor ini menjadi mereka yang berada pada
kelompok petani kaya dengan lahan yang luas, kelompok petani menengah dengan luas lahan
yang juga menengah, dan kelompok petani miskin dengan kepemilikan lahan yang sempit.
Kelompok petani kaya dengan lahan yang luas ini biasanya menggunakan lahannya dengan
ketiga mekanisme yang umum digunakan disana. Lahan yang luas dan perekonomian yang
baik membuat mereka bisa memilih untuk menyewakan lahannya, menggunakan buruh untuk
membantu, atau mengerjakan sendiri lahannya. Mereka juga bisa memilih untuk
menyewakan sebagian lahannya, mengerjakan sendiri sebagian lahannya, dan menggunakan
47
buruh untuk membantu mengerjakan sebagian lahannya yang lain. Dengan kapasitas
ekonominya, mereka bahkan bisa menjadi buruh cangkul untuk lahan warga lain atau
pemborong jika mereka mau. Namun demikian, kasus seperti ini tidak ada karena
pertimbangan ekonomi dan budaya. Jadi bisa dikatakan bahwa mereka ‖bisa‖ memerankan
semua peran yang ada dalam sistem pertanian.
Sementara kelompok petani sedang dengan luas lahan yang sedang, biasanya
menggunakan mekanisme pengolahan lahan dengan menggunakan tenaga sendiri dan
menggunakan bantuan buruh. Luas lahan yang masih terbatas membuat mereka tidak dapat
menyewakan lahannya. Selain itu, perekonomian yang juga berada pada level sedang
membuat mereka berusaha untuk mencari penghasilan tambahan diluar penghasilan dari hasil
lahan yang mereka miliki. Selain pekerjaan tambahan dari sektor diluar kegiatan pertanian,
mereka juga bekerja mengerjakan lahan milik petani lain disela-sela kegiatan mengolah lahan
yang mereka miliki sendiri. Seperti misalnya pada kasus bapak PT. Mereka juga dapat
berperan sebagai pemborong seperti misalnya dalam kasus bapak RHMT. Jadi bisa dikatakan
bahwa mereka memiliki kompetensi untuk menjalankan semua peran yang ada, terkecuali
peran sebagai pemilik lahan yang menyewakan lahannya.
Sedangkan pada kelompok petani miskin dengan kepemilikan lahan yang sempit,
biasanya mereka menggunakan mekanisme penggunaan lahan dengan tenaga sendiri untuk
lahan yang mereka miliki. Lahan yang sempit membuat mereka hanya perlu menghabiskan
sedikit waktu saja di ladang mereka. Keadaan ini bersama dengan keadaan ekonomi mereka
yang buruk membuat mereka tidak dapat menggantungkan hidupnya hanya pada hasil
pertanian dari lahan yang mereka miliki. Akhibatnya mereka tidak hanya mencari
penghasilan tambahan dari pekerjaan lain seperti mengerjakan lahan orang lain atau menjadi
pemborong, melainkan lebih menggantungkan diri pada pekerjaan tersebut dibanding pada
pertanian dari lahan yang mereka miliki. Dalam sistem produksi pertanian disana, kalompok
ini dapat berperan sebagai buruh dan sebagian kecil sebagai pemborong, seperti misalnya
pada kasus bapak SKR. Namun demikian, mereka tidak dapat menjalankan peranan sebagai
pemilik lahan yang menyewakan lahannya ataupun menggunakan bantuan buruh untuk
mengerjakan lahannya.
48
BAB V
PENUTUP
V. 1. Kesimpulan
Terlepas dari jenis komoditas yang ditanam, secara umum sistem produksi pertanian
di Cuntel meliputi serangkaian kegiatan mulai dari pencangkulan sebelum mulai
menanam, perabukan atau pemberian pupuk kandang terhadap lahan yang akan di
tanami, penanaman benih, pembersihan rumput dan gulma, penyemprotan (pestisida),
pendangiran atau mencangkulan pada pertengahan masa tanam, pemanenan, dan
penjualan hasil panen.
Di dalam sistem produksi pertanian Dusun Cuntel, terdapat tiga pola atau mekanisme
utama dalam penggunaan lahan yang mereka lakukan meliputi Mengolah lahan
dengan tenaga sendiri, Mengolah lahan dengan bantuan buruh, dan Menyewakan
lahan yang dimiliki. Pola yang digunakan ini tidaklah bersifat mutually exclusive
karena pola yang digunakan bisa merupakan kombinasi antara dua atau lebih
mekanisme.
Berbagai jenis kegiatan dalam sistem produksi pertanian ini kemudian melahirkan
adanya pembagian peran di dalam masyarakat pertanian Cuntel meliputi peran
sebagai Pemilik Lahan, Penyewa Lahan, Pencangkul, Penyebar Rabuk/Pupuk
Kandang, Penanam Benih, Pencabut Gulma, Penyemprot, Pemanen, dan Pemborong.
Peran-peran yang ada disini bukanlah pembagian kerja yang terspesialisasi secara
organis karena seorang petani di Cuntel menjalankan lebih dari hanya sebuah peran.
Dua faktor utama yang sangat menentukan dalam pembagian peran tersebut adalah
tingkatan ekonomi warga dan luas lahan yang dimiliki oleh warga.
Dalam relasi kerja yang terbentuk antara aktor-aktor yang melaksanakan peran
tersebut, tidak hanya motif kekeluargaan saja yang mendasarinya, melainkan juga
motif ekonomi.
49
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di
Jawa 1830 – 1980. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Levinson. 1964. Role, Personality and Social structure, dalam Lewis A. Coser dan Bernard
Rosenberg, Sociological theory, a book of redings, edisi ke-2, New York: The Macmillan
Company
Linton , Ralph, 1956. The Study of man, an introduction, New York : Appleton Century Crofts.
Polak, Mayor, 1966. Sosiologi, Suatu Pengantar Ringkasan, cetakan kelima, Jakarta: Balai Buku
Ikhtiar
Scott. C James. 1976. Moral Ekonomi Petani. Diterjemahkan oleh Hasan Basari. London: Yale
University Press.
Soenarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Depok: LPFEUI
Sudaryanto, Tahlim: Konsep Sistem Usaha Pertanian, Serta Peranan BPTP dalam Rekayasa
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Pusat analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Internet
http://balittanah.litbang.deptan.go.id diakses pada tanggal 07 Maret 2009 pukul 20.35
www.bpk.go.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
http://criticalglobalisation.com/2008/05/globalisasi-pertanian.html diakses pada tanggal 03 Maret
pukul 19.45
http:// digilib.upi.edu Jumlah Petani di Pulau Jawa, diakses pada tanggal 07 Maret 2009 pukul
19.57
http://fp.elcom.umy.ac.id/course/view.php?id=11 diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
http://fp.uns.ac.id/~hamasains/BAB%20IIdasgro.htm diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
www.jawatengah.go.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
http://www.kasundaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=84&Itemid=30 diakses
pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
50
http://www.kasundaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=84&Itemid=30 diakses
pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
http://www.lablink.or.id/Agro/agr-sis-ind.htm diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
http://makassarterkini.com diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
www.pertaniansehat.or.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
www.pertaniansehat.or.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
www.pertaniansehat.or.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
www.ri.go.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
www.semarangkab.go.id diakses pada tanggal 03 Maret pukul 19.45
51
LAMPIRAN
1. Rekapitulasi Penduduk Dusun Cuntel
2. Denah Dusun Cuntel
52
3. Data Luas Lahan Menurut SPPT
RT 1
No Nama Blok luas
lahan total
1 Heru adi pramono 20 8857 9324
22 467
2 Masri 20 788 2615
348
22 616
384
20 479
3 Subandi 20 240 3493
381
22 2728
21 144
4 sugeng 20 2479 4129
18 909
22 485
256
5 Sukarno 21 600 6661
18 606
20 679
392
21 1764
660
165
450
345
20 1000
6 Sunarto 21 914 7143
20 1425
1040
2605
403
132
22 624
7 ngatman 21 178 1212
286
20 172
22 576
8 Duty adipura 22 212 3528
53
1644
20 504
353
284
333
21 410
9 Suyono 22 2550 3484
20 934
10 Yastrobejo 18 192 2504
20 326
21 870
21 338
533
245
11 Suyadi 20 208 1991
18 412
20 210
22 791
22 370
12 Marjuki 22 4279 16368
20 1638
1715
22 1480
20 754
1152
179
102
22 2553
10 1436
20 442
638
13 Japar 18 919 2432
20 240
115
21 440
20 718
14 Mujar 20 264 4063
18 577
891
20 258
22 1073
1000
15 Samidi 20 708 812
54
104
16 Ngatiyem 20 85 823
738
17 Kamisan 20 178 2263
22 950
20 1135
18 Partono 22 545 3411
20 145
1021
22 1700
19 Darso 20 192 2682
264
480
430
604
712
20 Mislan 22 618 2126
376
20 270
117
18 745
21 Supomo 20 173 3412
20 363
231
22 378
936
21 437
22 518
376
22 Jumadi 20 209 1512
173
337
18 300
20 162
331
23 Jumar 20 540 3525
476
154
336
22 716
1140
20 163
24 Surami 18 360 1809
55
20 213
958
278
RT 2
1 Iskak Susardi 21 1271 18022
22 2496
20 690
883
1008
270
853
711
22 370
21 1480
22 7990
2 Mujadi 20 1225 19139
22 3770
21 2588
1665
2044
20 805
22 658
20 134
2318
22 2450
1482
3 Sukir 20 105 192
87
4 Trimo 20 210 920
22 506
204
5 Eko Primuryani 20 774 3109
22 2085
20 250
6 Supangat 20 1078 2669
306
21 1285
7 Kusmin 22 2086 8202
900
20 2006
22 3210
56
8 Kemi 21 2378 5516
1978
20 750
22 410
9 Taimo / Makiyem 21 848 14613
22 3317
22 856
20 2150
284
124
22 7034
10 Yatini 21 516 2232
597
20 296
231
592
11 Ramat 20 233 6863
22 1800
441
2054
20 2335
12 Ngatiyem Kasimin 22 490 4188
944
808
551
20 64
18 567
20 204
560
13 Sukinah 20 168 168
14 Muhyidin 22 336 6802
592
1613
232
841
21 2883
20 305
15 Kasrohman cs 22 1490 3385
20 152
57
21 1743
16 Ngatinem 20 204 4283
205
22 1373
1216
1285
17 Warto Warni 22 2599 26874
860
382
18 482
640
20 530
656
923
1060
1875
237
219
264
20 505
22 1652
522
3584
2766
21 2890
22 897
3331
18 Ngadiran 22 264 2265
512
154
1335
19 Rahmat 22 1014 3527
838
1326
20 349
20 Hartan 22 112 5000
495
20 182
20 1097
22 383
20 473
804
58
1454
21 Trioso 22 306 4438
388
21 735
20 264
1012
248
22 1485
22 Sundari 20 2660 6544
22 3884
23 Wasini 20 155 221
66
24 Sukidi 18 337 4164
21 704
638
590
20 398
100
198
100
1001
98
25 Hanawati 20 176 512
22 336
26 Sukirah 20 311 3836
234
1307
22 896
18 516
572
27 Mujiono 22 149 3458
20 1912
1397
28 Sarman 21 560 1176
20 308
308
RT 3
1 Suwadi 20 420 3023
477
22 2126
2 Brahim 20 1353 3009
1384
272
59
3 Sutomo 20 1214 6585
3204
22 1103
20 346
718
4 Karsad 20 838 1366
126
402
5 Suyut 20 1018 4154
263
22 1413
1460
6 Sutrisno 21 559 674
20 115
7 Kamsu 21 1208 3247
1553
20 144
22 342
8 Sudario Slamet 21 342 1220
20 68
18 621
21 189
9 Wartini 21 368 442
20 74
10 Marno 21 338 1790
20 149
18 367
198
22 388
21 350
11 Ginem 22 1446 2267
20 63
21 758
12 Mungguh 20 526 526
13 Handoko 22 2160 6963
414
18 4389
14 Yudha AP 22 434 8270
1392
624
5820
60
15 Purwaningsih 22 826 7110
20 1903
2617
1008
756
16 Suwingsih 22 653 2394
1660
20 81
17 Juleni 22 1414 9762
20 312
612
21 2600
1828
22 1040
1300
20 656
18 Istiningsih 22 1562 5891
2303
21 1970
20 56
19 Rusmi 20 112 112
20 Kusen 20 1100 2544
22 786
20 658
21 Rusito 21 885 2118
357
18 243
21 516
20 117
22 Gimin 21 1035 5628
22 648
20 461
22 509
1554
1160
20 96
165
23 Mingsih 21 300 1128
20 727
101
61
24 Karli/Surip 18 270 7933
1306
22 2228
18 2065
21 1728
20 253
22 83
25 Endang 20 5050 5355
305
26 Suradi 20 803 3189
22 930
21 462
105
22 889
27 Sulami 22 690 1851
20 116
210
22 835
RT 4
1 Hemiwati 22 215 215
2 Kartono 22 365 4660
20 163
22 2245
18 880
441
22 566
3 Kasmuri 22 216 2423
21 604
20 308
18 735
22 560
4 Ngatmo 22 980 4948
354
1480
111
20 495
603
22 925
5 Harto 22 244 244
62
6 Yoso Kasiman/
Ngatini 22 335 4752
3437
980
7 Yatiyem/ Tukiman 22 307 7961
20 1424
22 888
882
1020
365
20 1368
867
840
8 Sumarmo 22 160 2149
945
309
189
546
9 Wartoyo 22 462 5060
20 1504
22 412
380
21 1003
22 350
949
10 Sutoyo 22 403 6185
2072
1074
889
798
949
11 Painuk 21 224 1653
22 356
1073
12 Sugito 22 880 16950
361
1092
1925
182
20 3138
18 1716
63
18 598
1751
307
583
477
20 3940
13 Darmanto 20 1324 6228
22 557
892
361
20 838
22 1202
430
624
14 Trimo 21 1176 2185
20 276
18 613
120
15 Iskak/Kuat 20 648 2457
901
170
156
21 218
22 364
16 Kusmi 20 79 482
21 194
22 209
17 Sukinem 22 342 947
20 132
250
21 223
18 Sutimin Muhadi 20 409 7288
22 475
240
3681
843
20 221
21 980
18 439
19 Sutimah 20 408 10762
624
64
22 1696
760
270
20 1998
18 2642
1800
21 564
20 Dinomo/Mukiyem 18 860 5865
21 187
722
20 643
22 161
392
368
20 1320
719
22 493
21 Kusman/Sutoto 18 1815 21899
1897
1849
20 914
654
2226
584
5994
21 952
1502
22 1134
20 2378
22 Martopo 20 314 789
160
21 315
RT 5
1 Suroso 18 2085 26326
20 3446
22 4068
2550
944
156
21 1625
65
6953
20 526
605
825
2543
2 Darjo 21 3520 22027
22 3639
2160
1273
452
452
20 1320
5008
18 4203
3 Surati 21 1155 6786
2525
22 2550
495
18 61
4 Jinem 22 654 2898
363
243
21 1638
5 Yoso/Rasini 20 669 6114
22 908
652
410
446
462
451
446
545
493
287
20 345
6 Kasirah 22 222 3432
611
528
540
269
20 1010
252
7 Ngatimin 22 307 5494
66
644
1008
471
647
1705
510
20 202
8 Suyanti 21 665 1506
22 167
376
18 298
9 Sumitro 21 917 3330
22 441
159
20 483
18 713
617
10 Kasman 22 912 3654
205
1320
1217
11 Jayus/Kartomo 18 3890 8874
595
450
194
21 791
20 810
369
22 572
425
778
12 Sukiman 22 228 3356
729
21 2399
13 Hirman 20 143 1879
18 759
22 871
106
14 Marmi 22 500 740
240
15 Sumarno/Mahda 20 1035 13094
22 337
67
1358
1248
856
1495
20 531
1598
684
3952
16 Wakimin 20 232 8833
270
132
22 891
1426
20 2116
18 860
553
1670
21 683
17 Wasimin 20 1237 7530
22 1666
510
1102
20 126
361
696
1648
184
18 Karno 20 2767 7791
22 1428
961
20 286
266
21 157
228
22 225
20 1021
18 452