30
PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK SAWIT Oleh : FATMAYATI, ST NUR ASMA DELI, ST PROGRAM STUDI TEKNIK PENGOLAHAN SAWIT POLITEKNIK KAMPAR BANGKINANG 2008

Makalah Biodiesel

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah biodiesel

Citation preview

Page 1: Makalah Biodiesel

PRODUKSI BIODIESEL DARI MINYAK SAWIT

Oleh :

FATMAYATI, ST

NUR ASMA DELI, ST

PROGRAM STUDI TEKNIK PENGOLAHAN SAWIT

POLITEKNIK KAMPAR

BANGKINANG

2008

Page 2: Makalah Biodiesel

2

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini kebutuhan bahan bakar bagi penduduk seluruh dunia semakin

meningkat, sementara cadangan bahan bakar fosil semakin menipis. Oleh karena

itu di banyak negara sudah mulai dilakukan uji coba dan pencarian bahan bakar

alternatif yang terbaharukan sebagai pengganti atau substitusi bahan bakar fosil.

Indonesia, khususnya, telah mengimpor bahan bakar minyak (terutama

bahan bakar diesel/solar) untuk kebutuhan negara dengan jumlah yang cukup

besar. Data konsumsi minyak solar di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Porsi Komsumsi Minyak Solar Sektor Transportasi

Tahun 1995 2000 2005 2010

Transportasi Milyar liter 6,91 9,69 13,12 18,14

Total Milyar liter 15,84 21,39 27,05 34,71

Porsi % 43,62 45,29 48,50 52,27 Sumber : Penulisan Laporan dan Seminar Loli Anggarini dan Andini Noprianti, 2004

Jumlah minyak solar yang diimpor adalah :

• 1999 : 5 milyar liter atau 25% kebutuhan nasional

• 2001 : 8 milyar liter atau 34% kebutuhan nasional

• 2006 : 15 milyar liter atau 50% kebutuhan nasional (jika tak ada

pembangunan kilang baru)

Salah satu alternatif pengganti bahan bakar fosil adalah menggunakan

minyak/lemak tumbuhan. Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar telah

dicobakan dalam berbagai bentuk, mulai dari minyak nabati murni tanpa

modifikasi (biofuel) hingga dalam bentuk methyl atau etyl esternya (biodiesel)

yang lebih mendekati karakteristik bahan bakar diesel pada umumnya.

Page 3: Makalah Biodiesel

3

Biodiesel merupakan nama yang diberikan untuk bahan bakar yang terdiri

dari mono-alkyl ester yang dapat terbakar dengan bersih, berasal dari berbagai

minyak tumbuhan atau lemak hewan, biasanya berupa metil ester atau etil ester

dari asam lemak. Nama biodiesel telah disetujui oleh Departemen of Energy

(DOE), the Environmental Protection Agency (EPA) dan American Society of

Testing Material (ASTM) sebagai industri energi alternatif. Berasal dari asam

lemak yang sumbernya renewable limit, dikenal sebagai bahan bakar yang ramah

lingkungan dan menghasilkan emisi gas buang yang relatif lebih bersih

dibandingkan bahan bakar konvensional. Biodiesel tidak beracun, bebas dari

belerang, aplikasinya sederhana dan berbau harum.

Biodiesel dapat ditulis sebagai B100. B100 menunjukkan bahwa biodiesel

tersebut murni 100% terdiri atas mono-alkyl ester. Biodiesel campuran ditandai

seperti " BXX", dimana " XX" menyatakan prosentase komposisi biodiesel yang

terdapat di campuran tersebut, dengan kata lain B20 adalah 20% biodiesel, 80%

minyak solar (Zuhdi dkk, 2003).

Keuntungan Pemakaian Biodiesel

Dihasilkan dari sumber daya energi terbarukan dan ketersediaan bahan

bakunya terjamin

Cetane number tinggi (bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya

kualitas solar berdasar sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin)

Viskositas tinggi sehingga mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik

daripada solar sehingga memperpanjang umur pakai mesin

Dapat diproduksi secara lokal

Mempunyai kandungan sulfur yang rendah

Menurunkan tingkat opasiti asap

Menurunkan emisi gas buang

Pencampuran biodiesel dengan petroleum diesel dapat meningkatkan

biodegradibility petroleum diesel sampai 500 %

Page 4: Makalah Biodiesel

4

BAB II

BAHAN BAKU DAN PRODUK BIODIESEL

Minyak nabati sebagai sumber utama biodiesel dapat dipenuhi oleh berbagai

macam jenis tumbuhan tergantung pada sumberdaya utama yang banyak terdapat

di suatu tempat/negara. Indonesia mempunyai banyak sumber daya untuk bahan

baku biodiesel.

Tabel 2.1 Beberapa sumber minyak nabati yang potensial sebagai bahan

baku Biodiesel.

Nama Lokal Nama Latin Sumber

Minyak

Isi

% Berat

Kering

P /

NP

Jarak Pagar Jatropha Curcas Inti biji 40-60 NP

Jarak Kaliki Riccinus Communis Biji 45-50 NP

Kacang Suuk Arachis Hypogea Biji 35-55 P

Kapok / Randu Ceiba Pantandra Biji 24-40 NP

Karet Hevea Brasiliensis Biji 40-50 P

Kecipir Psophocarpus Tetrag Biji 15-20 P

Kelapa Cocos Nucifera Inti biji 60-70 P

Kelor Moringa Oleifera Biji 30-49 P

Kemiri Aleurites Moluccana Inti biji 57-69 NP

Kusambi Sleichera Trijuga Sabut 55-70 NP

Nimba Azadiruchta Indica Inti biji 40-50 NP

Saga Utan Adenanthera

Pavonina

Inti biji 14-28 P

Sawit Elais Suincencis Sabut dan

biji

45-70 + 46-

54

P

Nyamplung Callophyllum

Lanceatum

Inti biji 40-73 P

Randu Alas Bombax

Malabaricum

Biji 18-26 NP

Sirsak Annona Muricata Inti biji 20-30 NP

Srikaya Annona Squosa Biji 15-20 NP (http://nuklir17.blogspot.com/2008/07/bio-diesel.html)

Page 5: Makalah Biodiesel

5

Dari beberapa bahan baku tersebut yang ada di Indonesia, yang mempunyai

prospek untuk diolah menjadi biodiesel adalah jarak pagar, kelapa dan sawit.

Sawit mempunyai prospek yang lebih besar untuk pengolahan biodiesel dalam

skala cukup besar karena industri sawit telah tersebar hampir diseluruh Indonesia

dengan teknologi pengolahannya yang sudah mapan.

Tingginya biaya produksi biofuel/biodiesel dari minyak nabati lainnya justru

menjadi keunggulan bagi pengembangan crude palm oil (CPO) sebagai bahan

bakar alternatif. Karena jika dibandingkan minyak nabati lain sebagai penghasil

bahan bakar alternatif, penggunaan CPO sebagai raw material akan jauh lebih

murah.

Produksi minyak sawit (crude palm oil, CPO) Indonesia cukup besar dan

meningkat tiap tahunnya (lihat Gambar 2.1).

Sumber : Ditjenbun, GAPKI, diolah

Gambar 2.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Minyak Sawit Periode 1999-2003

Menurut catatan BPPT, produksi CPO Indonesia pada 2003 mencapai

tidak kurang dari 9 juta ton, dan setiap tahunnya mengalami kenaikan hingga

15%.

Page 6: Makalah Biodiesel

6

2.1 Bahan Baku

Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari komponen mayor yaitu

trigliserida, asam lemak bebas (free fatty acid, FFA) dan air serta komponen

minor yaitu phospatida, aldehid dan karoten. Komposisi dari komponen-

komponen tersebut disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Komponen Penyusun Minyak Sawit

Komponen Komposisi (%)

Trigliserida

Asam lemak bebas

Air

Phospatida

Karoten

Aldehid

95,62

4

0,2

0,0702

0,0351

0,0747

(Ketaren S., 2005)

Komponen penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan asam

lemak tidak jenuh. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida pada minyak

sawit ditampilkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit

Jenis Asam Lemak Komposisi (%)

Laurat

Miristat

Palmitat

Stearat

Oleat

Linoleat

0,3

1,1

44,3

4,6

39,2

10,5

(Ketaren S., 2005)

Page 7: Makalah Biodiesel

7

Komposisi trigliserida yang diantaranya terdiri dari asam lemak jenuh (r=0)

dan asam lemak tidak jenuh (r>0) dari tiap jenis minyak nabati dapat digunakan

untuk memperkirakan besarnya bilangan setana yang diperoleh. Minyak sawit

(CPO) mempunyai komposisi asam lemak jenuh yang lebih tinggi dari pada

minyak tumbuhan lainnya sehingga dapat diperkirakan bahwa biodiesel dari

bahan baku CPO memiliki bilangan setana yang lebih tinggi. Nilai bilangan

cetana yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.5.

Spesifikasi Bahan Baku

a. Minyak Sawit (CPO)

- Berat jenis (suhu kamar) : 0,952 gr/ml

- Kapasitas panas : 0,47 + 0.0073 T kal/gr oC

- Bilangan Iodin : 13,5

- Bilangan Penyabunan : 247

- Specific gravity : 0,8980 – 0,9010

- Titik didih : 707,215 oC

- Titik leleh : 36 – 40oC

b. Metanol

- Rumus Molekul : CH3OH

- Berat Molekul : 32 gr/gmol

- Titik Beku (1 atm) : -97,65 oC

- Titik Didih (1 atm) : 64,7 oC

- Densitas (25 oC) : 0,7866 gr/ml

- Viskositas (25 oC) : 0,541 cP

Terdapat beberapa masalah teknis yang harus dipecahkan sebelum CPO

digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Masalah ini disebabkan oleh

perbedaan dasar pada sifat-sifat fisika dan kimia antara CPO dan bahan bakar

solar. Sifat-sifat fisika dan kimia tersebut menyebabkan atomisasi minyak nabati

pada sistem injeksi akan lebih jelek dari pada bahan bakar fosil.

Page 8: Makalah Biodiesel

8

Untuk mendapatkan kinerja yang optimum pada sistem injeksi motor diesel

ada tiga pilihan yang dapat dilakukan, yaitu:

Modifikasi sifat-sifat kimia dan fisika minyak nabati melalui reaksi

transesterifikasi, sehingga sesuai dengan sifat fisika dan kimia bahan bakar

diesel

Modifikasi peralatan injeksi pada motor diesel.

Kombinasi dua modifikasi diatas.

Bahan baku harus dilakukan pretreatmen terlebih dahulu untuk memastikan

biodiesel yang dihasilkan sesuai standar. Parameter bahan baku yaitu :

FFA content max 1%

Water content max 0.1 %

Unsaponifiables max 0.8%

Kandungan Pospor max 10ppm

2.2 Produk Biodiesel

Biodiesel merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang mempunyai

karakteristik menyerupai minyak diesel atau solar dari petrodiesel (lihat Tabel

2.5). Dengan melihat perbandingan karakteristik antara biodiesel dan solar dapat

dipastikan bahwa biodiesel berpotensi sebagai bahan bakar pengganti solar.

Page 9: Makalah Biodiesel

9

Tabel 2.4 Perbandingan bilangan cetana yang diperoleh dari beberapa minyak

nabati Minyak

Nabati

(MN)

Viskositas

(cSt)

Bilangan

Setana

Titik tuang

(oC)

Densitas

(kg/liter)

LHV

(MJ/kg)

MN Ester MN Ester MN Ester MN Ester MN Ester

Kanola 37,0 4,2 37,6 60 -31,7 <-20 0,911 0,882 39,7 37,2

Kedelai 32,6 4,5 37,9 45 -12,2 -7 0,914 0,885 39,5 37,1

Kelapa - 2,7 - 63 ≈ 25 - 0,93 0,872 37,3 35,3

Sawit 24,3 4,4 37 62 15 18 0,899 0,870 39,6 40,1

Jarak Pagar 52 4,8 - 51 - - 0,92 0,87 ≈ 39,5 ≈ 37

Solar 1,6 – 5,8 ≥ 45 ≤ 18 0,82-0,87 45,3

LHV = Latent Heat Vapour

Sumber: CRE-ITB,Nov.2001

Tabel 2.5. Perbandingan Karakteristik Biodiesel dan Solar (Petrodiesel) Fisika Kimia Biodiesel Solar (Petrodiesel)

Kelembaban % 0,1 0,3

Engine power Energi yang dihasilkan 128.000

BTU

Energi yang dihasilkan

130.000 BTU

Viskositas 4,8 cSt 4,6 cSt

Densitas 0,8624 g/mL 0,8750 g/mL

Bilangan Setana 62,4 53

Engine torque Sama Sama

Modifikasi engine Tidak diperlukan -

Konsumsi bahan bakar Sama Sama

Lubrikasi Lebih tinggi Lebih rendah_

Emisi CO rendah, total hidrokarbon,

sulfur dioksida, dan nitroksida

CO tingi, total

hidrokarbon, sulfur

dioksida dan nitroksida

Penanganan Flamable lebih rendah Flamable lebih tinggi

Lingkungan Toxisitas rendah Toxisitas 10 kali lebih

tinggi

Keberadaan Terbarukan (renewable) Tak terbarukan

Sumber: CRE-ITB,Nov.2001

Page 10: Makalah Biodiesel

10

Tabel 2.6. Standardisasi Biodiesel Nasional

No Parameter Unit Value Method

1 Density (40oC) kg/m3 850 - 890 ASTM D 1298

2 Viskositas (40oC) mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0 ASTM D 445

3 Cetane Number min. 51 ASTM D 613

4 Flash point (close up) oC min. 100 ASTM D 93

5 Cloud point oC max. 18 ASTM D 2500

6 Copper Strip Corrosion max. no 3 ASTM D 130

7 Carbon residu - sample - 10% dist. residu

% - mass max. 0,05 (max. 0,3)

ASTM D 4530

8 Water & Sediment % - vol Max. 0,05* ASTM D 2709 or ASTM D 1796

9 Distillation temperature, 90% recovered

oC max. 360 ASTM D 1160

10 Sulfated Ash % - mass max. 0,02 ASTM D 874

11 Sulfur ppm (mg/kg) max. 100 ASTM D 5453 or ASTM D 1266

12 Phosphorous Content ppm (mg/kg) max.10 AOCS Ca 12-55

13 Acid Number (NA) mg-KOH/gr max. 0,8 AOCS Cd 3-63 or ASTM D 664

14 Free Glycerin % - mass max. 0,02 AOCS Ca 14-56 or ASTM D 6584

15 Total Glycerin (Gttl) % - mass max. 0,24 AOCS Ca 14-56 or ASTM D 6584

16 Ester Content % - mass min. 96,5 Calculated**

17 Iodine Number % - mass (g – I2/100gr)

max. 115 AOCS Cd 1-25

18 Halphen test negative AOCS Cb 1-25

* = can be separately, sediment content max. 0,01 % - vol

** = ester content (% - mass) = S

ttlAS

N

GNN )57,4(100

Ns = Saponification Number, mg KOH/gr biodiesel, method AOCS Cd 3-25 (Sumber : BRDST BPPT)

Lisensi Teknologi Proses yang saat ini tersedia untuk Pembuatan Biodiesel

adalah sebagi berikut :

1. Indonesia

a. ITB – pengalaman 300 tpy & max 5.000 ton per year

b . BPPT – pengalaman sampai 600 ton per year

2. Eropa & Canada

a. Lurgi – mampu sampai 250.000 ton per year

b. Energea – sedang membangun 250.000 ton per year

c. BDI – pengalaman sampai 150.000 ton per year

d. Agrartehnik – pengalaman sampai 150.000 ton per year

Page 11: Makalah Biodiesel

11

e. Conneman – pengalaman sampai 100.000 ton per year

f. Biox – pengalaman sampai 50.000 ton per year

3. Malaysia(MPOB)–50.000 ton per year

Spesifikasi Produk

a. Produk Utama (Metil Ester/Biodiesel)

- Densitas (15oC) : 0,868 gr/ml

- Viskositas Kinematik (40o) : 5,3 cSt

- Titik awan : 16 oC

- Flash point : 174 oC

- Kandungan Sulfur : < 50 ppm

- Angka Setana : 62

- Bilangan Penyabunan : 209,7 mg NaOH/g

- Angka Iodin : 45-62

b. Produk Samping (Gliserol)

- Rumus Molekul : C3H8O3

- Berat Molekul : 92 gr/gmol

- Titik leleh : 18.07 oC

- Titik didih (1 atm) : 290 oC

- Densitas : 1,578 gr/ml

- Viskositas : 34 cP

Spesifikasi Bahan Pembantu

a. Natrium Hidroksida (Sodium Hidroksida)

- Rumus Molekul : NaOH

- Berat Molekul : 40 gr/gmol

- Densitas : 1885 kg/m3

- Viskositas : 11cP

- Titik leleh : 323 oC

- Titik didih : 1390 oC

- Cp : 0,521

Page 12: Makalah Biodiesel

12

b. Asam Phospat

- Rumus Molekul : H3PO4

- Berat Molekul : 98 gr/gmol

- Densitas : 1688 kg/m3

- Viskositas : 11,73 cP

- Titik leleh : 42,35 oC

- Titik didih : 407 oC

- Cp : 0,354 kkal/kg K

2.2.1 Parameter Kualitas Biodiesel

Beberapa parameter yang dijadikan sebagai acuan penentu kualitas

biodiesel adalah : angka cetane, viskositas, sifat bahan bakar pada temperatur

rendah (cloud point, pour point), angka iodine, penyimpanan dan stabilitas, serta

efek pelumasan (lubricant).

Angka Cetane Angka cetane menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang

diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan (setelah bercampur

dengan udara). Angka cetane pada bahan bakar mesin diesel memiliki pengertian

yang berkebalikan dengan angka oktan pada bahan bakar mesin bensin, karena

angka oktan menunjukkan kemampuan campuran bensin-udara menunggu

rambatan api dari busi (spark ignition). Semakin cepat suatu bahan bakar mesin

diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar, semakin baik (tinggi)

angka cetane bahan bakar tersebut.

Cara pengukuran angka cetane yang umum digunakan, seperti standard dari

ASTM D613 atau ISO 5165, adalah menggunakan hexadecane (C16H34, yang

memiliki nama lain cetane) sebagai patokan tertinggi (angka cetane, CN=100),

dan 2,2,4,4,6,8,8 heptamethylnonane (HMN yang juga memiliki komposisi

C16H34) sebagai patokan terendah (CN=15) (Knothe, 2005). Dari standard tersebut

bisa dillihat bahwa hidrokarbon dengan rantai lurus (straight chain) lebih mudah

Page 13: Makalah Biodiesel

13

terbakar dibandingkan dengan hidrokarbon yang memiliki banyak cabang

(branch). Angka cetane berkorelasi dengan tingkat kemudahan penyalaan pada

temperatur rendah (cold start) dan rendahnya kebisingan pada kondisi idle

s(Environment Canada, 2006). Angka cetane yang tinggi juga diketahui

berhubungan dengan rendahnya polutan NOx (Knothe, 2005).

Secara umum, biodiesel memiliki angka cetane yang lebih tinggi

dibandingkan dengan solar. Biodiesel pada umumnya memiliki rentang angka

cetane dari 46 - 70, sedangkan (bahan bakar) Diesel No. 2 memiliki angka cetane

47 - 55 (Bozbas, 2005). Panjangnya rantai hidrokarbon yang terdapat pada ester

(fatty acid alkyl ester, misalnya) menyebabkan tingginya angka cetane biodiesel

dibandingkan dengan solar (Knothe, 2005). Azam dkk. (2005)

Viskositas Viskositas merupakan sifat intrinsik fluida yang menunjukkan resistensi

fluida terhadap aliran. Perbedaan viskositas antara minyak mentah/refined fatty oil

dengan biodiesel juga bisa digunakan sebagai salah satu indikator dalam proses

produksi biodiesel (Knothe, 2005). Kecepatan alir bahan bakar melalui injektor

akan mempengaruhi derajad atomisasi bahan bakar di dalam ruang bakar. Selain

itu, viskositas bahan bakar juga berpengaruh secara langsung terhadap

kemampuan bahan bakar tersebut bercampur dengan udara. Dengan demikian,

viskositas bahan bakar yang tinggi, seperti yang terdapat pada SVO, tidak

diharapkan pada bahan bakar mesin diesel. Oleh karena itulah penggunaan SVO

secara langsung pada mesin diesel menuntut digunakannya mekanisme pemanas

bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi bahan bakar (Bernardo,

2003).

Cloud point dan Pour point

Cloud point adalah temperatur pada saat bahan bakar mulai tampak

"berawan" (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal (padatan) di

dalam bahan bakar. Meski bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini,

keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran

bahan bakar di dalam filter, pompa, dan injektor. Sedangkan pour point adalah

Page 14: Makalah Biodiesel

14

temperatur terendah yang masih memungkinkan terjadinya aliran bahan bakar; di

bawah pour point bahan bakar tidak lagi bisa mengalir karena terbentuknya

kristal/gel yang menyumbat aliran bahan bakar. Dilihat dari definisinya, cloud

point terjadi pada temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pour point.

Pada umumnya permasalahan pada aliran bahan bakar terjadi pada

temperatur diantara cloud dan pour point; pada saat keberadaan kristal mulai

mengganggu proses filtrasi bahan bakar. Oleh karena itu, digunakan metode

pengukuran yang lain untuk mengukur performansi bahan bakar pada temperatur

rendah, yakni Cold Filter Plugging Point (CFPP) di negara-negara Eropa

(standard EN 116) dan Low-Temperature Flow Test (LTFT) di Amerika Utara

(standard ASTM D4539) (Knothe, 2005).

Pada umumnya, cloud dan pour point biodiesel lebih tinggi dibandingkan

dengan solar. Hal ini bisa menimbulkan masalah pada penggunaan biodiesel,

terutama, di negara-negara yang mengalami musim dingin. Untuk mengatasi hal

ini, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah

aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada temperatur rendah.

Selain menggunakan aditif, bisa juga dilakukan pencampuran antara biodiesel dan

solar. Pencampuran (blending) antara biodiesel dan solar terbukti dapat

menurunkan cloud dan pour point bahan bakar (Environment Canada, 2006).

Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan cloud dan pour point

bahan bakar adalah dengan melakukan "winterization" (Knothe, 2005). Pada

metode ini, dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-

kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses

kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tak jenuh memiliki titik beku

yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Maka proses

winterization sejatinya merupakan proses pengurangan asam lemak jenuh pada

biodiesel. Di sisi lain, asam lemak jenuh berkaitan dengan angka cetane. Maka

proses winterization bisa menurunkan angka cetane bahan bakar.

Namun demikian, karakteristik biodiesel pada temperatur rendah ini tidak

terlalu menjadi masalah untuk negara dengan temperatur tinggi sepanjang tahun,

seperti India (Azzam dkk., 2005).

Page 15: Makalah Biodiesel

15

Penyimpanan dan stabilitas Biodiesel bisa mengalami degradasi bila disimpan dalam waktu yang lama

disertai dengan kondisi tertentu. Degradasi biodiesel pada umumnya disebabkan

oleh proses oksidasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi biodiesel

antara lain keberadaan asam lemak tak jenuh, kondisi penyimpanan

(tertutup/terbuka, temperatur, dsb.), unsur logam, dan peroksida. Leung dkk.

(2006) menemukan bahwa temperatur tinggi (40oC) yang disertai dengan

keberadaan udara terbuka menyebabkan degradasi yang sangat signifikan pada

penyimpanan biodiesel hingga 50 minggu. Konsentrasi asam meningkat pada

biodiesel yang telah terdegradasi; hal ini disebabkan oleh putusnya rantai asam

lemak metil ester menjadi asam-asam lemak. Mereka menemukan bahwa faktor

keberadaan air tidak terlalu signifikan mempengaruhi proses degradasi. Namun

demikian, keberadaan air (yang terpisah dari biodiesel) bisa membantu

pertumbuhan mikroorganisme (Environment Canada, 2006). Temperatur tinggi

(40oC) yang tidak disertai dengan keberadaan udara terbuka; dan sebaliknya udara

terbuka tanpa keberadaan temperatur tinggi, tidak menyebabkan degradasi yang

signifikan pada biodiesel yang disimpan dalam waktu lama (hingga 50 minggu).

Dalam penelitiannya, Leung dkk. (2006) menggunakan rapeseed oil sebagai

bahan baku biodiesel.

Kontak antara biodiesel dengan logam dan elastomer selama proses

penyimpanan juga bisa mempengaruhi stabilitas biodiesel (Environment Canada,

2006). Ditemukan bahwa logam tembaga (copper) memiliki efek katalis oksidasi

yang paling kuat untuk biodiesel (Knothe, 2005). Oksidasi pada biodiesel bisa

menyebabkan terbentuknya hidroperoksida yang selanjutnya terpolimerisasi dan

membentuk gum; hal ini bisa menyebabkan penyumbatan pada filter atau saluran

bahan bakar mesin diesel (Environment Canada, 2006). Standard Eropa, EN

14214, mengatur uji stabilitas biodiesel terhadap oksidasi, yakni dengan cara

memanaskan biodiesel pada 110oC selama tak kurang dari 6 jam (menggunakan

metode Rancimat) (Knothe, 2005).

Page 16: Makalah Biodiesel

16

Harga viskositas biodiesel juga bisa dijadikan sebagai ukuran terjadi-

tidaknya proses degradasi pada biodiesel. Conceicao (2005) menemukan bahwa

biodiesel minyak Castor yang digunakannya bisa mengalami degradasi, dicirikan

dengan kenaikan viskositas yang sangat tinggi, bila dikenai temperatur yang

sangat tinggi (210oC) dalam jangka waktu lebih dari 10 jam. Degradasi ini terjadi

diduga karena terjadinya proses oksidasi dan polimerisasi pada biodiesel.

Angka Iodine Angka iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa

penyusun biodiesel. Di satu sisi, keberadaan senyawa lemak tak jenuh

meningkatkan performansi biodiesel pada temperatur rendah, karena senyawa ini

memiliki titik leleh (melting point) yang lebih rendah (Knothe, 2005) sehingga

berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah. Namun di sisi lain,

banyaknya senyawa lemak tak jenuh di dalam biodiesel memudahkan senyawa

tersebut bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan bisa terpolimerisasi membentuk

material serupa plastik (Azam dkk., 2005). Oleh karena itu, terdapat batasan

maksimal harga angka iodine yang diperbolehkan untuk biodiesel, yakni 115

berdasar standard Eropa (EN 14214). Di samping itu, konsentrasi asam linolenic

dan asam yang memiliki 4 ikatan ganda masing-masing tidak boleh melebihi 12

dan 1% (Azzam dkk., 2005).

Sebuah penelitian yang dilakukan di Mercedez-Benz (Environment Canada,

2006) menunjukkan bahwa biodiesel dengan angka iodine lebih dari 115 tidak

bisa digunakan pada kendaraan diesel karena menyebabkan deposit karbon yang

berlebihan. Meski demikian, terdapat studi lain yang menghasilkan kesimpulan

bahwa angka iodine tidak berkorelasi secara signifikan terhadap kebersihan dan

pembentukan deposit di dalam ruang bakar (Environment Canada, 2006).

Efek Pelumasan Mesin Sifat pelumasan yang inheren pada solar menjadi berkurang manakala

dilakukan desulfurisasi (pengurangan kandungan sulfur) akibat tuntutan standard

solar di berbagai negara. Berkurangnya sifat pelumasan bahan bakar bisa

Page 17: Makalah Biodiesel

17

menimbulkan permasalahan pada sistem penyaluran bahan bakar, seperti pompa

bahan bakar dan injektor (Knothe, 2005). Meski berkurangnya sifat pelumasan

tersebut muncul akibat proses desulfurisasi, terdapat hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa berkurangnya sifat pelumasan tersebut bukan akibat

berkurangnya konsentrasi sulfur itu sendiri, namun karena berkurangnya

komponen-komponen non-polar yang terikut dalam proses desulfurisasi (Knothe,

2005).

Hu dkk. (2005) meneliti sifat pelumasan biodiesel menggunakan beberapa

macam bahan baku minyak tumbuhan, yakni minyak bunga matahari (sun flower),

minyak jagung, minyak kedelai, dan minyak canola. Mereka melakukan

pengukuran ketahanan aus (wear performance) menggunakan metode HFRR

(High Frequency Reciprocating Rig) pada solar yang dicampurkan dengan

beberapa jenis biodiesel, baik unrefined biodiesel ataupun refined biodiesel

(FAME murni). Hu dkk. (2005) menemukan bahwa unrefined biodiesel memiliki

sifat pelumasan yang lebih baik dibandingkan dengan refined biodiesel. Dari

analisis efek senyawa penyusun biodiesel terhadap sifat pelumasan bahan bakar,

Hu dkk. (2005) menyimpulkan bahwa ester metil dan monodigliserida adalah dua

komponen yang paling berpengaruh terhadap sifat pelumasan biodiesel secara

signifikan.

Karena memiliki sifat pelumasan yang baik, biodiesel dapat digunakan

sebagai aditif untuk meningkatkan sifat pelumasan solar berkadar sulfur rendah

(low-sulfur petrodiesel fuel). Penambahan 1 - 2% biodiesel bisa mengembalikan

sifat pelumasan solar berkadar sulfur rendah ke tingkat semula (yakni setara

dengan solar berkadar sulfur normal) (Knothe, 2005). Penggunaan biodiesel

sebagai aditif pelumasan pada solar berkadar sulfur rendah memiliki keuntungan

dibandingkan dengan aditif lain, karena biodiesel sekaligus merupakan bahan

bakar mesin diesel.

Page 18: Makalah Biodiesel

18

2.2.2 Penggunaan Biodiesel

Biodiesel dapat dimanfaatkan secara murni (neat) ataupun dalam bentuk

campuran (blend) dengan minyak solar yang berasal dari minyak bumi, tanpa

mengharuskan adanya modifikasi signifikan pada mesin kendaraan. Bentuknya

yang cair dan kemampuannya dicampurkan dengan solar pada segala

perbandingan, merupakan salah satu keunggulan penting biodiesel:

pemanfaatannya secara komersial tidak memerlukan infrastruktur penyediaan

yang baru, karena dapat langsung menggunakan infrastruktur yang sudah ada

untuk penyediaan minyak solar semacam stasiun pengisian, truk tangki, dispenser,

dan lain-lain

Harus diperhatikan bahwa biodiesel merupakan ester yang dapat melunakan

polimer karet, sehingga bahan tersebut harus diganti dengan jenis yang tahan

terhadap ester. Untuk itu sebagai alternative lain adalah mencampur biodiesel

sebanyak 20% dalam minyak solar yang selanjutnya dikenal dengan B20.

Campuran ini dapat dipergunakan langsung tanpa memerlukan penggantian

peralatan dari jenis karet. Sebagaimana diketahui pada otomotif banyak

mempergunakan bahan karet sebagai pipa saluran bahan baker, „seal, packing‟

atau penyekat kebocoran. Penggunaan B100 atau lebih besar dari 20% biodiesel

akan memerlukan bahan polimer yang tahan solar dan ester.

Bio diesel dapat dipergunakan untuk keperluan lain seperti; pelindung kayu

termasuk interior rumah yang terbuat dari kayu. Sebagai pelumas dan pelindung

korosi pada peralatan rumah tangga, pertanian yang terbuat dari logam. Biodiesel

dapat pula dicampur dengan bensin untuk mesin 2 langkah sebagai bahan bakar

dan pelumasan. Biodiesel tidak dapat menggantikan minyak tanah untuk

keperluan kompor dan lampu minyak karena sifat tidak bisa merambat keatas.

Untuk keperluan lampu petromax dengan terang yang sama, biodiesel dapat

dipergunakan hingga 8 jam dan kurang memerlukan pemompaan. Biodiesel juga

dipergunakan untuk membersihkan noda „crayon‟ pada baju dengan lebih baik

dibanding deterjen.

Page 19: Makalah Biodiesel

19

BAB III

DESKRIPSI PROSES

Proses kontinu berkatalis basa merupakan proses produksi biodiesel yang

paling banyak digunakan pada pabrik biodiesel di Uni Eropa dan Amerika.

Tapasvi dkk. (2004) melaporkan proses pembuatan biodiesel dibagi kedalam 4

tahapan utama, yaitu:

1. Persiapan bahan baku

2. Reaksi transesterifikasi

3. Pencucian dan pemurnian biodiesel

4. Recovery metanol dan pemurnian gliserol

3.1 Persiapan Bahan Baku

Kualitas produk yang baik dengan kemurnian tinggi diperoleh dengan

melakukan penyiapan bahan baku yaitu CPO dengan cara degumming dan

netralisasi. Degumming dilakukan untuk memisahkan pospatida (gum) yang

terdapat dalam CPO, sedangkan netralisasi dilakukan untuk mengurangi kadar

asam lemak bebas (FFA) yang terdapat dalam CPO menjadi < 2% (Indartono,

2006).

Proses degumming dilakukan dengan menambahkan asam posfat 85%

sebanyak 0.1% dari berat CPO (Hui, 1996). Proses dilangsungkan pada tekanan 1

atm dan temperatur 70oC selama 30 menit (Tapasvi, dkk., 2004). Gum yang

terbentuk dipisahkan menggunakan centrifuge. Sedangkan pengurangan kadar

asam lemak bebas dalam CPO dilakukan dengan cara menambahkan NaOH 8%

sebanyak 150% dari berat asam lemak bebas (O‟Brien, 1998), sehingga akan

terbentuk sabun diikuti penambahan air pencuci untuk melarutkan sabun yang

terbentuk yang kemudian dipisahkan dari bahan baku menggunakan centrifuge.

Selanjutnya bahan baku dialirkan ke tahap reaksi transesterifikasi.

Page 20: Makalah Biodiesel

20

3.2 Reaksi Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol disebut dengan

metanolisis. Minyak murni dari tangki penampungan dialirkan menuju reaktor alir

tangki berpengaduk (continuous strirred tank reaktor, cstr) pada suhu 65oC,

tekanan 1 atm, selama 1 jam (Hui, 1996). Perbandingan molar antara metanol dan

trigliserida umpan CSTR I adalah 6:1 (Hanna, 2003). Metanol yang diumpankan

pada CSTR I memiliki kemurnian 98%.

Katalis sodium hidroksida (NaOH, sebanyak 0,35% berat minyak murni,

(Hock‟s, dkk, 1993)) ditambahkan ke dalam reaktor. Reaksi akan menghasilkan

metil ester dan gliserol. Umumnya untuk memperoleh hasil yang optimal maka

dilakukan transesterifikasi dua tahap dan NaOH yang digunakan sebelumnya

dilarutkan dalam umpan metanol (Hock‟s, dkk., 1993).

Reaksi antara trigliserida dan metanol adalah reaksi dapat balik (reversible)

sehingga methanol harus diberikan berlebih untuk mendorong reaksi ke kanan dan

mendapatkan konversi reaksi yang sempurna.

Gambar 3.1. Reaksi Transesterifikasi Trigliserida

O O

CH2 – O - C – R1 CH3 – O – C – R1 CH2 - OH

O O

CH – O - C – R2 + 3 CH3OH CH3 – O - C – R2 + CH - OH

O O

CH2 – O – C – R3 CH3 – O – C – R3 CH2 – OH

Trigliserida Methanol Campuran Ester Lemak Gliserol

katalis

Page 21: Makalah Biodiesel

21

Pada reaksi transesterifikasi dimana R1, R2, R3, merupakan rantai panjang

dari atom karbon dan hidrogen, yang disebut sebagai asam lemak. Ada beberapa

tipe rantai dari minyak nabati yaitu :

Palmitik R = - (CH2)14 – CH3 (16 karbon termasuk R (16 :0)

Stearik R = - (CH2)16 – CH3 (18 karbon , 0 double bond, (18 : 0)

Oleat R = - (CH2)7 CH = CH (CH2)7CH3 (18 karbon , 1 double bond, (18 : 1)

Linoleat R= -(CH2)7CH=CH-CH2–CH=CH(CH2)4CH3

(18 karbon , 2 double bond, (18 : 2)

Linolenik R=-(CH2)7CH=CH-CH2–CH=CH-CH2-CH=CHCH2-CH3

(18 karbon , 3 double bond, (18 : 3)

Apabila triolein dalam minyak nabati beraksi dengan methanol akan

menghasilkan 3 molekul methil oleat (inilah yang disebut sebagai biodiesel) dan 1

molekul gliserol.

Gambar 3.2. Reaksi Transesterifikasi Triolein

Sejumlah kecil asam lemak bebas (free fatty acid, FFA) yang masih tersisa

dalam minyak murni akan bereaksi dengan NaOH menghasilkan sabun dan air.

FFA + 3 NaOH Sabun + 3 H2O

Reaksi umum safonifikasi (penyabunan) sebagai berikut :

Asam lemak bebas Natrium hidroksida Sabun Air

Gambar 3.3 Reaksi Safonifikasi

O

CH2 – O – C – (CH2)7CH = CH(CH2)7CH3 CH2 - OH

O

CH – O – C – (CH2)7CH = CH(CH2)7CH3 + 3 CH3OH 3 CH2 – O – C – (CH2)7CH = CH(CH2)7CH3 + CH2 - OH

O

CH2 – O – C – (CH2)7CH = CH(CH2)7CH3 CH2 - OH

NaOH

RCOOH + 3 NaOH RCOONa + 3 H2O

Page 22: Makalah Biodiesel

22

Hasil reaksi dipisahkan dengan menggunakan dekanter menjadi fasa gliserol

dan fasa ester. Fasa ester masuk ke reaktor transesterifikasi II (CSTR II)

sedangkan fasa gliserol dibawa ke tangki penampungan sementara. Proses yang

sama terjadi pada reaktor transesterifikasi II dan dekanter II. Fasa ester dari

dekanter 2 dibawa ke unit pencucian ester sedangkan fasa gliserolnya masuk ke

tangki penampungan sementara.

3.3 Pencucian Ester

Impuritis-impuritis dalam fasa ester seperti metanol, sabun, dan sisa gliserol

harus dipisahkan dari ester metil yang dilakukan dengan cara mencuci fasa ester

tersebut dengan air hangat. Aliran limbah yang dihasilkan dikirim ke tangki

penyimpanan sementara sedangkan ester yang telah dicuci dikirim ke tangki

pengendap untuk memisahkan ester metil dengan fasa air yang masih tersisa.

Kemudian dibawa menuju pengering vakum untuk mencapai kelembaban tertentu.

Selanjutnya dikirim ketempat penyimpanan biodiesel.

3.4 Recovery Metanol dan Pemurnian Gliserol

Semua fasa gliserol kotor dan air limbah yang diperoleh ditampung dalam

satu tangki penampungan sementara. Dari tangki ini campuran dipanaskan hingga

suhunya mencapai titik didih metanol, yaitu 65oC. Kemudian metanol yang

terdapat dalam campuran dipisahkan menggunakan steam panas pada kolom

stripper alkohol-gliserol. Uap metanol jenuh beserta steam dialirkan ke kolom

distilasi untuk mendapatkan uap metanol murni sebagai distilat. Uap metanol

yang terbentuk dikondensasikan dan direcycle kembali ke reaktor

transesterifikasi. Gliserol kotor dari kolom stripper dicampur dengan larutan HCL

murni dalam reaktor asidulasi. Katalis NaOH yang terdapat dalam gliserol kotor

akan bereaksi dengan HCl membentuk air dan NaCl sedangkan sabun yang ada

akan bereaksi dengan HCl membentuk FFA dan NaCl pada reaktor ini.

Page 23: Makalah Biodiesel

23

Natrium hidroksida Asam klorida Natrium klorida Air

Gambar 3.4 Reaksi antara natrium hidroksida dengan asam klorida

Sabun Asam klorida FFA Natrium klorida

Gambar 3.5 Reaksi antara sabun dengan asam klorida

Selanjutnya produk gliserol dipisahkan dari FFA (sebagai asam palmitat)

dan impuritis lainnya menggunakan dekanter. Pada tahap ini diperoleh kemurnian

gliserol 98%.

RCOONa + HCl RCOOH + NaCl

NaOH + HCl NaCl + H2O

Page 24: Makalah Biodiesel

24

BAB IV

NERACA MASSA

1. Tangki Degumming

Pospatida dalam CPO dipisahkan dengan cara menambahkan asam pospat

(H3PO4) dan air. Kebutuhan H3PO4 sebanyak 0.1% dari umpan CPO dengan

konsentrasi 85% dan kebutuhan air sebanyak 75% dari jumlah pospatida dalam

CPO (Hui, 1996). Untuk memudahkan perhitungan semua impuritis yang ada

dianggap berupa pospatida.

2. Centrifuge I

Di centrifuge I, gum seluruhnya dipisahkan dari CPO. Gum yang keluar

sebagai produk bawah centrifuge memiliki kadar air sebanyak 99.5% dari jumlah

air yang diumpankan pada tangki degumming (Tapasvi, dkk., 2004).

3. Tangki Refining

Penyisihan FFA dalam CPO dilakukan dengan menambahkan NaOH 8%

sebanyak 150% berat FFA (asam lemak bebas) (O‟Brien, 1998). 99% FFA

(sebagai asam palmitat) terkonversi menjadi sabun (Tapasvi, dkk., 2004).

4. Kolom Pencuci RPO

Pada kolom pencuci, minyak dicuci dengan mengalirkan air panas dengan

tujuan melarutkan sabun yang terbentuk pada tangki refining. Air pencuci yang

masuk sebanyak 15% dari aliran umpan RPO masuk tangki pencuci (Tapasvi,

dkk., 2004).

5. Centrifuge II

Pada centrifuge, semua sabun yang larut bersama air pencuci dipisahkan

dari trigliserida. Air yang terikut bersama aliran trigliserida sebanyak 0,5% dari

air terdapat dalam umpan masuk centrifuge II (Tapasvi, dkk., 2004).

Page 25: Makalah Biodiesel

25

6. Oil Dryer I

Kadar air dalam minyak dikurangi pada oil dryer. Semua air yang masih

tersisa dalam RPO 100% teruapkan (Tapasvi, dkk.,2004).

7. Reaktor Alir Tangki Berpengaduk I

Pada Reaktor Alir Tangki Berpengaduk I (continuous strirred tank reactor,

CSTR I) terjadi dua reaksi. Reaksi utama adalah reaksi antara trigliserida dan

metanol yang menghasilkan ester metil dan gliserol dengan konversi trigliserida

80%. Reaksi samping adalah reaksi antara FFA (sebagai asam palmitat) dan

NaOH yang menghasilkan sabun dan air dengan konversi FFA 100% (Tapasvi,

dkk., 2004). Katalis NaOH yang diumpankan pada CSTR I sebanyak 0.35% dari

RPO umpan CSTR tersebut (Hock‟s, dkk., 1993). Perbandingan molar antara

metanol dan trigliserida umpan CSTR I adalah 6:1 (Hanna, 2003). Metanol yang

diumpankan pada CSTR I memiliki kemurnian 98%.

8. Dekanter I

Hasil reaksi dari CSTR I berupa fasa gliserol dan fasa ester dipisahkan pada

dekanter I. Semua NaOH dan gliserol larut dalam fasa gliserol. Metanol yang larut

dalam fasa gliserol sebanyak 60% metanol keluaran CSTR I sedangkan sabun

yang larut dalam fasa gliserol sebanyak 10% sabun keluaran CSTR I (Van

Gerpen, dkk., 2003).

9. Reaktor Alir Tangki Berpengaduk II

Fraksi ringan ester metil keluaran dekanter I dicampur dengan metanol dan

katalis NaOH di dalam reaktor CSTR II. Reaksi tahap kedua ini dimaksudkan

untuk memaksimalkan perolehan ester metil. Aliran katalis yang masuk CSTR II

sebesar 20% dari aliran katalis yang masuk CSTR I (Hock‟s, dkk., 1993). Guna

mempermudah perhitungan neraca massa dianggap bahwa komposisi aliran

katalis yang masuk CSTR II sama dengan komposisi aliran katalis masuk CSTR I.

Pada proses ini 90% trigliserida terkonversi menjadi ester metil.

Page 26: Makalah Biodiesel

26

10. Dekanter II

Hasil reaksi dari CSTR II berupa fasa gliserol dan fasa ester dipisahkan

pada dekanter II. Semua NaOH dan gliserol larut dalam fasa gliserol. Metanol

yang larut dalam fasa gliserol sebanyak 60% dari metanol keluaran CSTR II,

sedangkan sabun yang larut dalam fasa gliserol sebanyak 10% sabun keluaran

CSTR I (Van Gerpen, dkk., 2003).

11. Kolom Pencuci Ester

Impuritis dalam fasa ester seperti metanol, sabun dan gliserol dipisahkan

dari ester metil. Pemisahannya dilakukan dengan pencucian ester menggunakan

air panas di dalam kolom pencuci ester. Semua metanol dan sabun umpan kolom

pencuci larut dan keluar bersama air keluaran kolom pencuci. Air pencuci yang

masuk sebanyak 20% dari umpan ester metil. Air keluaran kolom pencuci ester

sebesar 90% dari air masuk (Tapasvi, dkk., 2004).

12. Settler

Sisa air dalam ester metil dipisahkan pada settler tank. Air yang masih

tertinggal dalam fasa ester sebanyak 0,5% dari jumlah air pencuci (Tapasvi, dkk.,

2004).

13. Ester Dryer

Kadar air yang masih tersisa dalam ester metil dikurangi dengan

menguapkannya pada ester dryer. Disini 100% air teruapkan. (Tapasvi, dkk.,

2004).

14. Tangki Penampung Crude Glycerol

Seluruh fasa gliserol keluaran reaktor CSTR I dan II, dan air pencuci bekas

ditampung pada tangki penampung crude glycerol (Tapasvi, dkk., 2004).

Page 27: Makalah Biodiesel

27

15. Stripper

Semua metanol dan air umpan stripper keluar sebagai uap bersama steam.

Steam yang dipakai berupa superheated steam yang masuk pada tekanan 3 mbar

gauge dan temperatur 250 oC(Tapasvi, dkk., 2005).

16. Distilasi

Metanol sisa reaksi dimurnikan pada menara distilasi agar dapat digunakan

kembali. Distilat metanol yang dihasilkan adalah sebesar 98% dari umpan menara

distilasi dengan kemurnian 98% (Tapasvi, dkk., 2004).

17. Reaktor Asidulasi

Pada reaktor asidulasi terjadi dua reaksi yaitu, reaksi antara NaOH dan HCl

yang membentuk NaCl dan air dengan konversi NaOH 100% dan reaksi antara

sabun dan HCl yang membentuk Asam Palmitat (FFA) dan NaCl dengan konversi

sabun 100%. HCl yang diumpankan sebesar 50% dari umpan gliserol reaktor

dengan kemurnian HCl 10% (Tapasvi, dkk., 2004).

18. Dekanter III

Pada Dekanter III, gliserol dipisahkan dari HCl, NaCl dan FFA. Seluruh

gliserol terpisah dari HCl, NaCl dan FFA (sebagai asam palmitat) (Tapasvi, dkk.,

2004).

Page 28: Makalah Biodiesel

28

TANGKI

DEGUMMINGSENTRIFUGASI I

TANGKI

REFINING

DEKANTER I OIL DRYER

WASHER

STRIPPER

GLISEROL/

ALKOHOL

REAKTOR

ASIDULASI

REAKTOR ALIR

TANGKI BERPENGADUK (I)

ESTER

DRYER

CPO

(Trigliserida 95,6%

FFA 4%

Air 0,2%

Pospatida 0,2%)

gum (asam fosfat + pospatida)

air (99,5% air umpan degumming

Asam Fosfat 85%

(0,1% CPO)

Air

(75% Pospatida)

uap air

gliserol

NaOH

methanol (60% keluaran reaktor I)

sabun (10% keluaran reaktor I)

DEKANTER II

methanol & air DISTILASI

ALKOHOL

SETTLING

TANK

DEKANTER

katalis (NaOH)

(0,35% umpan)mol methanol : mol trigliserida

(6 : 1)

limbah

(sisa HCl, NaCl, H2O

dan Asam Palmitat

uap air

(0,5% air pencuci)

limbah

(sisa methanol & air)

biodiesel

gliserol

methanol 98%

air pencuci

(20% umpan metil ester)

fasa air

gliserol

NaOH

sabun

HCl 10%

(50% dari gliserol)

sabun

air (99,5% air umpan sentrifugasi)

aliran bawah dekanter I

NaOH 8%

(150% FFA)

SENTRIFUGASI II

REAKTOR ALIR

TANGKI BERPENGADUK (II)

mol methanol : mol trigliserida

(6 : 1)

katalis (NaOH)

(20% NaOH di reaktor I)

gliserol

NaOH

methanol (60% keluaran reaktor II)

sabun (10% keluaran reaktor I)

air bekas pencuci

(90% total air umpan)

aliran bawah dekanter II

air bekas pencuci dari

washer

fasa air dari settling tank

Gambar Diagram Alir Proses dan Neraca Massa

Proses Produksi Biodiesel dari CPO

Page 29: Makalah Biodiesel

29

DAFTAR PUSTAKA

Bernardo, A., Howard-Hildige, R., O'Connel, A., Nichol, R., Ryan, J., Rice, B.,

Roche, E., Leahy, J. J., “Camelina oil as a fuel for diesel transport

engines”, Industrial Crops and Products, 17, 191 - 197 (2003)

Bozbas, K., "Biodiesel as an alternative motor fuel: Production and policies in the

European Union", Renewable & Sustainable Energy Reviews, 1 - 12

(2005)

Conceição, M. M., Candeia, R. A., Dantas, H. J., Soledade, L. E. B., Fernandes,

Jr., V. J., Souza, A. G., "Rheological Behavior of Castor Oil Biodiesel",

Energy & Fuels, 19, 2185 - 2188 (2005)

Environment Canada, "A critical review of biodiesel as transportation fuel in

Canada",

http://www.ec.gc.ca/transport/publications/biodiesel/biodiesel4.htm

Harding, J., 2007, Seven Myths of the Nuclear Renaissance, Euratom 50th

Anniversary Conference European Parliantment, Belgium.

Hock, O. S., May, C. Y., Yoo, C. K., and Nasir, A. B. S., 1993, Production of

Alkyl Ester from Oil and Fats, Malaysian Patent No. 103791.

Hu, J., Du, Z., Li, C., Min, E., "Study on the lubrication properties of biodiesel as

fuel lubricity enhancers", Fuel, 84, 1601 - 1606 (2005)

Hui, Y.H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, 5th

ed., Vol. 2, 3 & 4,

Jhon Wiley & Sons, Inc., New York.

Ketaren S., 2005, “Minyak dan Lemak Pangan”, UI Press

Knothe, G., "Dependence of biodiesel fuel properties on the structure of fatty acid

alkyl esters", Fuel Processing Technology, 86, 1059 - 1070 (2005)

Leung, DYC., Koo, BCP., Guo, Y., "Degradation of biodiesel under different

storage conditions", Bioresource Technology, 97, 250 - 256 (2006)

Mulyantana, T.L., dan Silistiadji, K., 2003, Biodiesel, Bahan Bakar Campuran

Ramah Lingkungan, Balai Besar Pengembangan Mekanisme Pertanian,

Serpong.

O‟Brien, R.D., 1998, Fats and Oils: Formulating and Processing for Application.

Technomic Publishing Company, Inc., USA.

Shintawaty, A., 2006, Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioethanol Sebagai

Bahan Bakar Alternatif di Indonesia, Economic Review, no. 203, hal 1-9

Tahar, A., 2005, Ada Jarak Pagar di Balik Solar: Meninjau Potensi

Pengembangan Biodiesel di Indonesia, Pusat Kebijakan Keenergian

Institut Teknologi Bandung,

Page 30: Makalah Biodiesel

30

Tapasvi, D., Wiesenborn, D., and Gustafson, C., 2004, Process Modeling

Approach for Evaluating the Economic Feasibility of Biodiesel

Production, American/Canadian Society of Agricultural Engineers

Conference, Manitoba.

Zuhdi, MFA [2003], “Biodiesel Sebagai Alternatif Pengganti Bahan Bakar Fosil

Pada Motor Diesel” Laporan Riset, RUT VIII Bidang Teknologi,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementrian Riset dan Teknologi

RI.

http://anekaindustri.com/industri-bio-diesel.html

http://www.ccitonline.com/mekanikal/tiki-read_article.php?articleId=49

file:///D:/My%20Documents/ilmu%20bahan/parameter%20kualitas%20biodiesel/cpome_prod.htm

http://hemat-bensin.blogspot.com/2008/09/mengenal-biodiesel-karakteristik_3121.html

http://www.sentrapolimer.com/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=50

http://nuklir17.blogspot.com/2008/07/bio-diesel.html