24
Penyebab, Gejala, dan Terapi Dalam Penanganan pada Penyakit Lepra Andani Delabene (102013270) Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Selatan No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Pendahuluan Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Kusta adalah penyakit tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta sendiri berasal dari bahasa India, kustha” . Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah Myobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit Kusta bukan hanya memperburuk estetika seseorang tetapi juga dapat menyebabkan seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di Indonesia sendiri kasus Kusta masih cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti di Maluku, Papua, dan juga di Pulau Jawa. 1 Dalam PBL kali ini, terdapat kasus mengenai seorang laki- laki berusia 40 tahun yang datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak satu bulan, namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. 1 1

Makalah Blok 15

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Blok 15

Penyebab, Gejala, dan Terapi Dalam Penanganan pada Penyakit LepraAndani Delabene (102013270)

Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Selatan No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Pendahuluan

Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Kusta adalah penyakit

tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta sendiri berasal dari bahasa India,

“kustha”. Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya

adalah Myobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ

lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit Kusta bukan hanya memperburuk estetika

seseorang tetapi juga dapat menyebabkan seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di

Indonesia sendiri kasus Kusta masih cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa

wilayah seperti di Maluku, Papua, dan juga di Pulau Jawa.1

Dalam PBL kali ini, terdapat kasus mengenai seorang laki-laki berusia 40 tahun yang

datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak satu bulan,

namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali ini akan dijelaskan

lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. 1

Anamnesis2,3

Pada anamnesis yang perlu ditanyakan yaitu; identitas, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga.

Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan pekerjaan. Identitas perlu

ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data penelitian.

Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter.

Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan adanya bercak putih

pada lengan kiri, sejak satu bulan yang lalu, dan tidak ada rasa gatal.

Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas

mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang

berobat. Berdasarkan scenario kasus dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan data

sebagai berikut :

1

Page 2: Makalah Blok 15

- Waktu dan lamanya keluhan berlangsung. Pada kasus ini keluhan berupa bercak putih

dan berlangsuk sejak satu bulan yang lalu.

- Sifat dan berat serangan, warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi

- Lokalisasi dan penyebarannya, menetap atau menjalar, atau berpindah-pindah.

- Aktivitas sehari-hari

- Factor resiko dan pencetus serangan, termasuk factor yang memperberat atau

meringankan keluhan.

- Upaya yang dilakukan dan bagaimana hasilnya

- Jenis obat-obatan yang telah dikonsumsi pasien.

Pada riwayat keluarga, perlu ditanyakan apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat

yang mengalami keluhan yang sama, riwayar perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit

tertentu. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,

familial, atau penyakit infeksi.

Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya

hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang, perlu ditanyakan

seperti; “Pernahkah Anda mengalami keluhan serupa?”, “Apakah ada riwayat alergi” dan

“Apakah Anda menderita Diabetes Melitus?”.

Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat pribadi pasien, seperti menanyakan kepada

pasien yang sering bepergian tujuan perjalanan yang ia lakukan untuk mencari kemungkinan

tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Kemudian juga menanyakan

tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum,

ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi,

pemeriksaan sensibilitas, pemeriksaan saraf tepi, dan pemeriksaan fungsi saraf otonom.

Untuk melakukan inspeksi, alat bantu yang dapat dipergunakan adalah kaca pembesar.

Pemeriksaan ini mutlak dilakukan dalam ruangan yang terang. Pada inspeksi diperhatikan

lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas, dan efloresensi yang khusus.1 Pada

penderita lepra akan didapatkan gambaran makula hipopigmentasi yang juga mengalami

achromia (tidak ada pigmen), anestesia (tanpa rasa gatal), atrofi (kulit agak mencekung),

alopesia (tanpa rambut), dan anhidrosis (tidak berkeringat).

2

Page 3: Makalah Blok 15

Selain itu, pasien juga diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul dan

tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah, dikarena penyakit kusta dapat menyebabkan

kerusakan saraf. Pemeriksaan berikutnya adalah melakukan pemeriksaan sensibilitas pada lesi

kulit dengan kapas atau bulu untuk mengetes rasa raba, jarum pentul jarum pentul yang tajam

dan tumpul untuk mengetes rasa nyeri, serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi unuk

mengetes rasa suhu.4

Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada N. Aurukularis magnus, N. Ulnaris, dan N. Peroneus lateralis. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran,

konsistensi, penebalan dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia

kesakitan atau tidak saat saraf diraba. Terakhir, perlu dilakukan pemeriksaan fungsi saraf

otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya

kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).4

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl

Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut

tidak mengandung M. leprae.

Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling

padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.

Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping

telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di

kulit dan infiltratif.

Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut

Ridley. Seperti tertera di bawah ini:

a. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

b. 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

c. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

d. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP

e. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

3

Page 4: Makalah Blok 15

f. 5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP

g. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

2.      Pemeriksaan Histopatologi

Saat ada kuman M. leprae yang masuk, akan bergantung pada system imunitas

seluler orang tersebut. Jika system imunnya bagus, makan akan banyak ditemukan sel datia

langhans tetapi jika ada massa epiteloid berlebihan berkeliling oleh limfosit disebut tuberkel

akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya, jiak system

imunitas seluler orang tersebut rendah, maka M. leprae akan berkembang biak dalam sel

tubuh manusia lalu menjadi sel Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan

3.      Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik

terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan antibodi

antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta yang dapat

dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium Leprae

Particle Aglutination).

4.      Pemeriksaan Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi

tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap

M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian

disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi

fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi Fernandez

positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita bereaksi

terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat. Sementara itu, Reaksi

Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:

a. 0 : Papul berdiameter 3mm atau kurang

b. +1  : Papul berdiameter 4-6mm

c. +2  : Papul berdiameter 7-10mm

d. +3  : Papul berdiameter lebih dari 10mm

4

Page 5: Makalah Blok 15

Diagnosis banding

1. Leucoderma (Vitiligo)5

Leucoderma atau yang dalam dunia medis dikenal sebagai Vitiligo adalah

kelainan kulit kronis yang menyebabkan depigmentasi kulit. Hal ini menyebabkan

perubahan warna pada bagian kulit yang disebabkan penurunan bertahap melanin dari

lapiran dermal atau dikarenakan kerusakan fungsi dari sel-sel melanosit. Awalnya

penderita mungkin tidak menyadari atau mengabaikan perubahan warna karena hanya

bercak putih sedikit saja, tapi seiring denan berjalannya waktu, perubahan warna mulai

membesar dan bahkan bertambah banyak. Depigmentasi kulit biasanya terjadi di dekat

mulut, mata, hidung, jari, kuku, alat keelamin dan umbilikus. Michael Jackson adalah

salah satu penderita Leucorma (Vitiligo).

Tanda-tanda klinis yang dapat dilihat adalah timbulnya bercak putih pada kulit

yang makin lama makin membesar, rambut beruban lebih awal, kehilangan rambut,

rambut di bagian yang terdapat becak berubah menjadi putih, peka terhadap dingin, dan

pasien mungkin sering menderita perubahan suasana hati atau depresi. Penyebab umum

leucoderma bisa disebabkan penyakit lambung kronis atau akut, kekurangan kalsium,

kondisi kulit inflamasi, luka bakar, stres yang berlebihan, penurunan fungsi hati,

mengenakan pakaian ketat, mengenakan sarung tangan ketat, atau menggunakan tato pada

kulit.

2. Pitiriasis Versikolor1

Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor disebabkan Malassezia furfur adalah

penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif,

berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama

meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai

atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. Orang awam biasa menyebutnya

dengan panu.

Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di

badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur

sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat

dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan

biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia

berpenyakit tersebut.

5

Page 6: Makalah Blok 15

Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan

berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh

toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Penyakit ini

sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari

infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor mempengaruhi infeksi, yaitu faktor

herediter, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan

malnutrisi.

4.      Pitiriasis Alba1

Pitirasis Alba adalah bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui

penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan

menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Pitiriasis alba sering dijumpai

pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak.

Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau

sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai

hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat

terutama pada orang dengan kulit berwarna.

Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada anak-

anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi, serta

dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha

atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat

sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.

Diagnosis kerja

Working Diagnosis yang diambil adalah lepra atau kusta atau morbus Hansen.  Diagnosis

ini dapat diambil atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta

adanya gejala klinis yang sesuai, yaitu: didapati lesi makula hipopigmentasi yang tidak gatal,

namun pada bagiaan lesi terasa baal.

 Epidemiologi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama di

negara berkembang. Kusta merupakan penyakit yang bersifat endemik diseluruh dunia

kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah ditemukan

6

Page 7: Makalah Blok 15

endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta.

Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India

merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta.

Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20

tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus

pada tahun 2006. Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal

bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama

besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta.

Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi

anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1

tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi

tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun. Data penelitian semakin rendah

sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan

sosial ekonomi masyarakat maka akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari

penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di

berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda.

Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen

pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat di biakkan dalam

media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan

alkohol serta positif-Gram.1

Patofisologi1

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya

reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh

karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada

kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat

system imunitas seluler (cellular mediated immune)pasien. Kalau sistem imunitas seluler

7

Page 8: Makalah Blok 15

tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah

lepromatosa.

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral

dengan vasularisasi yang sedikit.Sumber penularan adalah melalui kontak langsung yang

berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dapat juga menular melalui mukosa hidung,

tempat tidur, pakaian, dan ada kemungkinan dikarenakan gigitan serangga.

Seperti yang telah disinggung diatas bahwa kondisi imun seseorang dapat menentukan

bentuk gejala yang nantinya akan diderita. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah

spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbaai tipe atau bentuk, yaitu:

TT (tuberkuloid polar, bentuk yang stabil), Ti (Tuberkuoid indefnite), BT (borderline

tuberculoid), BB (mid borderline), BL (broderline lepromatous), Li (lepromatosa idefinite),

dan LL (lepromatosa polar, bentuk yang stabil). Selain bentuk-bentuk determinate, terdapat

juga bentuk indeterminate (I). Tiap-tiap bentuk tersebut diklasifikasikan berdasarkan pada

perbedaan manifestasi klinis yang dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya.

Gejala Klinis

Seperti yang telah disinggung diatas, terdapat bentuk-bentuk penyakit lepra yang

didasarkan pada gejela klinisnya. Satu persatu bentuk-bentuk tersebut akan dibahas di bawah

ini.

a.  Lepra tipe Indeterminate (I)

Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian

menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20

sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan

hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau

negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar

25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate.6

8

Page 9: Makalah Blok 15

b.  Lepra tipe Determinate

- Lepra tipe Tuberkuloid (TT)

Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan

kulit tersebutdapatberupabercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar,

kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan

penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi

seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan

asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini

menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.6

- Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)

Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun

biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas.

Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih,

sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit

untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes

lepromin positif.1

- Lepra tipe Mid Boderline (BB)

Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan

kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah

hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan

yang curam (punchedout). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam

positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif.

Lepra tipe BB sangat tidak stabil.1

- Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)

Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau

bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan

ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta

plakat Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan

asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin

negatif.6

9

Page 10: Makalah Blok 15

- Lepra tipe Lepromatosa (LL)

Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang

berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal,

permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya

tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati

perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan

hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan

sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif,

sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.

Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera.

Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari Langan dan kaki

membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung

perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring

terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis

mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil

pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks

bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.7

Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi

dalam deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh

granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan

merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,

tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya

deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara

lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.

Kerusakan saraf juga terjadi pada penderita lepra. Gejala yang ditunjukan

dari kerusakan N.ulnaris adalah anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan

jari manis, clawing kelingking dan jadi manis, atrofi hipotenar dan otot

interosesus serta kedua otot lumbrikalis medial. Gejala pada kerusakan

N.medianus, meliputi anastesia pada ujung jari pada bagian anterior ibu jari;

telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari;telunjuk

dan jari tengah, ibu jari kontraktur, serta atrofi otot tenar dan kedua otot

lumbrikalis lateral.

10

Page 11: Makalah Blok 15

Gejala kerusakan dari N.radialis antara lain anastesia dorsum

manus dan ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tak

mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. Gejala kerusakan N.popitea

lateralis antaralain anastesia tungkai bawah; bagian lateral dan dorsum pedis, kaki

gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus. Gejala kerusakan pada

N.tibialis posterior meliputi anastesia telapak kaki, claws toes, paralisis otot

intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.

Jika terjadi kerusakan pada N.fasialis, gejala yang akan tampak antara

lain lagoftalmus, kehilangan ekpresi wajah dan kegagalan mengatupkan

bibir. Terakhir, jika terjadi kerusakan pada N.trigeminus, pasien akan mengalami

anastesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, selain itu juga akan terjadi

atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS

(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai

sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak

1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO

menambahkan 3 obat alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin.

a. DDS (Dapson)

DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat

berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat

bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis:

dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang

terjadi, berupa anemia hemolitik.

Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi

terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan

apakah obat harus distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau

makan, mual, muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala

vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan.

11

Page 12: Makalah Blok 15

b. Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS

dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin

tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan

terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh

diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.

Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh

Kacobson dan Hastings. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,

nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.

c. Klofazimin (leprene)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan

Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang

sehari, atau 3 antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan

dosis lebih yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu.

Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.

Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan

pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan

masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin

adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit.

Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat

dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri

abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan

berat badan.

d. Obat Alternatif: Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif

terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis

tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae

hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran

cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri

kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.

e. Obat Alternatif: Minosiklin

12

Page 13: Makalah Blok 15

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi

daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standart harian

100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang

menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran

cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan unsteadiness. Oleh sebab itu

tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

f. Obat Alternatif Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas

bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita

kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek

sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila

obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

2. Non-medikamentosa

Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya

memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan

bila bekerja dengan benda tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi

matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai

dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki

direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.Cara lain ialah secara

kekaryaan, yaitu member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga

dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan

terapi psikologik (kejiwaan).

Prognosis

Pada lepra yang tidak di terapi, pasien-pasien yang dapat sembuh total hanyalah pasien dengan lepra tipe TT atau pasien BT yang membaik tipenya menjadi TT. Selain itu, penyakit akan menjadi progresif dan kerusakan saraf serta bagian lain dari tubuh tidak terhindarkan. Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, tetapi tidak menghentikan kerusakan saraf. Pengobatan dengan kortikosteroid dapat membantu mengurangi perluasan kerusakan saraf. Yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan

13

Page 14: Makalah Blok 15

dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

KesimpulanLepra atau morbus Hanses merupakan penyakit yang disebabkan

oleh Mycobacterium leprae. Bakteri tersebut terutama menyerang sistim saraf perifer sehingga dapat mengakibatkan paralisis saraf yang diserangnya. Penderita Lepra biasanya mengalami lesi yang mirip dengan penyakit kulit yang lazim. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan memperhatikan ciri-ciri penyakit lepra, yaitu Achromia, Anesthesia, Alopecia, Athropia, dan Anhidrosis. Selain upaya terapi obat yang penting, upaya rehabilitasi sosial juga sangat dibutuhkan untuk membantu mengembalikan kepercayaan diri dan meningkatkan kualitas hidup dari penderita, di tengah masyarakat. Pemeriksaan dini dapat mencegah adanya kecacatan

14

Page 15: Makalah Blok 15

Daftar Pustaka

1. Kosasih A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan

kelamin. Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010

2. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.

Jakarta: Interna Publishing;2009.h.25-76, 2871-80.

3. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlain’s Gejala dan Tnada dalam Kedokteran

Klinis. Ed ke-13. Jakarta: PT, Indeks;2010.h.2-45,362-86

4. Prof. Dr. R.S. Siregar, SpKK (K). Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed. II.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

5. Sharma S.K. Miracles of urin therapy. New Delhi: Diamond Pocket

Books; 2005.h.104.

6. Amirudin  D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-68.

7. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. British

Association of Dermtologis – Cinical and Experimental Dermatology [serial

online]. Available from URL:http:/www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-

2230.2011.04088.x/pdf

15