Upload
rieskeiswardhany
View
68
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Guru harus memenuhi banyak tuntutan seperti mempersiapkan pelajaran,
menilai kinerja siswa dan menciptakan dan mengelola lingkungan kelas yang adil dan
merata. Tantangan ini mungkin mengalihkan perhatian guru dalam tahap awal karir
profesional mereka dari apa yang National Council for Accreditation of Teacher
Education (NCATE) disebut "Kerangka Konseptual", sebuah filosofi intelektual
pendidikan yang memberi makna pada pengajaran dengan menghubungkan
permintaan harian dengan komitmen profesional dan arah jangka panjang. Sebuah
kerangka konseptual memberikan kontribusi untuk suatu keterpaduan profesional
yang membantu guru menempatkan tujuan jangka pendek ke dalam hubungan dengan
tujuan jangka panjang.
Dalam mendorong guru untuk menjadi praktisi yang reflektif, Interstate New
Teacher Assessment and Support Consortium (INTASC) telah menetapkan standar
untuk meningkatkan persiapan dan pengembangan profesional guru. INTASC
menggambarkan mengajar seperti suatu proses dinamis di mana menjaga harapan
dalam praktek berarti bahwa pengetahuan tempat, disposisi, dan kinerja ke dalam
keterpaduan besar. Untuk menjadi seorang praktisi yang reflektif berarti bahwa guru
harus berpikir filosofis tentang implikasi yang luas terhadap budaya dan etika
pendidikan itu.
Guru memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Banyak tugas yang
harus dijalankannya sebagai seorang professional. Bab 6 Landasan Filosofis
pendidikan karya Orinstein, dkk mengulas bahwa INTASC telah menetapkan
beberapa standar untuk meningkatkan persiapan dan pengembangan profesional guru.
INTASC menggambarkan bahwa mengajar merupakan proses dinamis yang
memadukan antara teori dan praktik. Untuk menjadi seorang praktisi yang reflektif
1
seorang guru harus berpikir filosofis tentang implikasi yang luas terhadap budaya
dan etika pendidikan. Oleh karena itu, bagian awal bab 6 berisi tentang kerangka
konseptual dan teori filsafat yang menjelaskan tentang cara mendidik dan
membangun filosofi mengenai dunia pendidikan.
1.2 Batasan Masalah
konseptual dan teori filsafat tentang cara mendidik dan membangun filosofi
mengenai dunia pendidikan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Apa bagian-bagian filsafat, bagaimana didefinisikan, dan bagaimana
merefleksikan keyakinan dan ajaran tentang kebenaran dan nilai-nilai?
2. Apa falsafah dan teori terkemuka pendidikan?
3. Apakah falsafah dan teori-teori tertentu mempengaruhi ide-ide tentang
pendidikan, keyakinan, tentang pengetahuan, dan nilai-nilai etika?
4. Bagaimana filsafat dan teori pendidikan mempengaruhi kurikulum dan
pengajaran dan pembelajaran di sekolah, termasuk apa yang diajarkan,
bagaimana ia diajarkan, perilaku etis guru dengan siswa, dan sikap tentang
keragaman budaya dan keadilan sosial?
5. Bagaimana tren kontemporer dalam pendidikan seperti multikulturalisme,
gerakan standar, dan teknologi pendidikan mempengaruhi filosofi secara
menyeluruh terhadap pendidikan?
2
1.4 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagian-bagian filsafat dan bagaimana definisinya.
2. Untuk mengetahui falsafah dan teori-teori dalam pendidikan.
3. Untuk mengetahui pengaruh falsafah dalam pendidikan.
4. Untuk mengetahui bagai mana filsafat mempengaruhi kurikulum dan
pembelajaran disekolah.
5. Untuk mengetahui pengeruh kontemporer dalam pendidikan.
1.5 Manfaat dan Kegunaan Penelitian
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai landasan filsafat
pendidikan.
2. Menjadi acuan yang mendasar bagi seorang pendidik agar mampu berpikir
filosofis tentang implikasi yang luas terhadap budaya dan etika pendidikan.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN
2.1 Filosofi dan Teori Pendidikan
Filsafat yang komprehensif, seperti idealisme dan realisme, menyajikan sebuah
pandangan umum yang mencakup pendidikan. Teori pendidikan, sering berasal dari
filsafat atau yang diakibatkan dari praktik lebih fokus khusus pada pendidikan,
sekolah, kurikulum, dan proses belajar mengajar. Bab 6 membahas lima filosofi dan
empat teori pendidikan. (Tabel 2.1) Filsafat umum dibahas dalam bab 6 dikaitkan ke
teori pendidikan secara lebih spesifik. Misalnya, teori esensialisme berkaitan erat
dengan filsafat realisme dan Progresivisme berasal dari pragmatisme.
untuk membangun filosofi dalam pendidikan, harus berpikir seperti seorang filsuf dan
menggunakan terminologi filsafat.
Differences Between “Philosophies” and “Theories” of Education
GENERAL SPECIFIC
Philosophies Theories
Luas, sistematis, Lengkap, global Berfokus pada pendidikan, tidak lengkap
sistem filsafat yang ditawarkan
Komponen komponenya berkaitan
dengan Metafisika, epistimologi,
Aksiologi, dan logika
Komponen berkaitan dengan pendidikan,
seperti kurikulummengajar, dan belajar
Wawasan berasal dari Sistem
filsafat Umum filsafat
wawasan berasal dari filsafat umum atau
dari konteks Sekolah
Tabel 2.1 lima filosofi dan empat teori pendidikan.
Sumber: Foundations of Education, edisi ke-sebelas (2011).
4
5
Filosofi Pendidikan
Philosophy Metafisik Epistemologi Aksiologi Implikasi thd
pendidikan
Pendukung
Idealisme Realitas itu
berupa spiritual
atau mental dan
tidak dapat
dirubah
Pemahaman
adalah recall dari
ide-ide terpendam
Suatu nilai
bersifat
universal,
absolut dan
abadi.
Kurikulum Subjek-
materi menekankan
pada kehebatan
kultur dan awetnya
gagasan itu.
Emerson
Froebel
Hegel
Plato
Realisme Realitas
merupakan
tujuan dan
terpisah dari
kita tetapi kita
bisa
mengetahuinya.
Mengetahui
terdiri dari
konseptualisasi
yang berdasarkan
perasaan dan
abstraksi.
Nilai berada
mutlak dan
abadi,
didasarkan
pada hukum
alam
universal.
Sebuah subjek-
persoalan kurikulum
menekankan pada
nilai kemanusiaan
dan keilmiahan
Aquinas
Aristotle
Broudy
Maritain
pestalozzi
Pragmatisme
(Kaum
eksperimental)
Menolak
metafisika,
menegaskan
bahwa
keyakinan
tentang realitas
didasarkan pada
pengalaman,
interaksi
dengan
lingkungan, dan
bersifat tetap
Mengetahui hasil
dari mengalami,
menguji ide-ide
dengan
menggunakan
metode ilmiah.
Nilai
merupakan
hal yang
situasional
atau relatif
Pengajaran
berdasarkan
pemecahan masalah
sesuai dengan
metode ilmiah.
Childs
Dewey
James
Peirce
Ekistensialisme mengesamping
kan metafisika,
dengan alasan
bahwa realitas
itu subjektif,
bersama
keberadaan
esensi
terdahulu.
Pengetahuan kita
bersumber dari
pilihan
profesional.
Suatu nilai
dapat dipilih
secara bebas
oleh
seseorang.
Dialog Kelas
menstimulus
kesadaran bahwa
setiap orang
menciptakan konsep
sendiri melalui
pilihan penting.
Kierkegaard
Sartre
Marcel
Morris
Posmoderen-isme Menolak
metafisika
sebagai
bangunan
bersejarah yang
meruntuhkan
aturan untuk
menemukan asal-
usulnya dan
berguna bagi
Menekankan
nilai-nilai
orang dan
kelompok
terpinggirkan
Sekolah adalah situs
critism demokratis
dan perubahan sosial
untuk
memberdayakan
Derrida
Foucault
Tabel 2.2 Teori filsafat pendidikan
Sumber: Foundations of Education, edisi ke-sebelas (2011).
Tabel 2.2 menjelasan teori filsafat pendidikan dengan dengan penjelasan sebagai
berikut:
1. Idealisme
Teori idealism merupakan teori tertua dengan konsep kunci metafisika idealis,
percaya bahwa spiritual, dunia non materi pada hakikatnya nyata. Mereka melihat
dunia sebagai penciptaan pikiran universal yang besar, pikiran Mutlak atau Tuhan.
Implikasi bagi pengajaran saat ini : Perkembangan intelektual, bukan pelatihan
keterampilan kerja.
Menolak konsumerisme dan ketenaga kerjaan yang sering membentuk nilai-
nilai dalam masyarakat kontemporer dan pendidikan, idealisme berusaha untuk
menciptakan sekolah sebagai pusat intelektual pengajaran dan pembelajaran dalam
menggunakan teknologi atau inovasi apapun, Idealis ingin pendidik dituntun oleh
tujuan penting dari pendidikan yakni untuk menemukan kebenaran.
2. Realisme
Realisme ilmiah membawa realisme ke abad kedua puluh satu. Realis ilmiah
menegaskan realitas yang ada adalah independen dari pengetahuan kita dan metode
ilmiah adalah cara terbaik untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang dunia ini
apa dan bagaimana cara kerjanya (Okasha: 2002). Untuk menjelaskan dan
menggunakan temuan ilmiah kita, kita harus membangun teori-teori. Sebagai
perbaikan penyelidikan ilmiah, kita dapat merevisi dan menyempurnakan teori kita
sehingga memenuhi sebagian akurasi realitas.
Implikasi bagi pengajaran saat ini : Kelas untuk belajar, bukan terapi.
Dalam kelas realis, tanggung jawab utama guru adalah untuk membawa ide-
ide siswa tentang dunia ke dalam korespondensi dengan kenyataan dengan
6
ketrampilan mengajar (seperti membaca, menulis, perhitungan) dan bidang pelajaran
(seperti sejarah, matematika, atau Sains) hal tersebut didasarkan pada kharisma dan
keahlian guru akan pengetahuan.
3. Pragmatisme
Pragmatisme menekankan bahwa perlu menguji validitas atau daya kerja ide-
ide kita dengan memberikan perlakuan pada mereka. Di antara pendiri Pragmatisme
itu adalah Charles S. Pierce(1839-1914), William James(1842-1910), George Herbert
Mead(1863-1931), dan John Dewey(1859-1952). Pierce menekankan menggunakan
metode ilmiah untuk memvalidasi ide-ide secara empiris, ia memasukkan
probabilitas, atau apa yang mungkin terjadi, untuk kepastian. Berdasarkan statistik,
kita dapat merumuskan.
Implikasi bagi pengajaran saat ini : Implikasi untuk hari ini Kelas Guru
Guru pragmatis lebih peduli dengan mengajar siswa melalui proses
pemecahan masalah. Guru pragmatis bekerja untuk mengubah ruang kelas menjadi
pembelajaran kolaboratif dengan mendorong siswa untuk berbagi minat dan masalah
mereka.
4. Eksistensialisme
Eksistensialisme lebih merupakan proses berfilsafat dari pada filsafat
sistematis (seperti idealisme dan realisme). Mewakili perasaan putus asa dan harapan,
itu panggilan untuk memeriksa kehidupan pribadi sendiri. Sebuah pendidikan
eksistensialis mendorong refleksi pribadi yang mendalam pada identitas, komitmen,
dan pilihan seseorang.
Implikasi untuk proses pembelajaran saat ini : Guru mendorong kesadaran
Standar & Assessment.
5. Postmodernisme
Postmodernisme berpendapat bahwa periode sejarah modern telah berakhir
dan bahwa kita sekarang hidup di era postmodern. Filsafat ini berasal dari filsuf
7
Jerman Friedrich Nietzsche (1844-1900) dan Martin Heidegger (1899-1976).
Postmodernisme memiliki implikasi untuk konstruktivisme, psikologi dan metode
pendidikan. Postmodernis dan konstruktivis setuju bahwa kita membuat, atau
membangun, keyakinan kita tentang pengetahuan dari pengalaman kita berinteraksi
dengan lingkungan.
Implikasi pada Proses Pembelajaran Saat ini : Pemberdayaan Guru
Untuk memberdayakan siswa mereka, postmodernis berpendapat bahwa guru
harus terlebih dahulu memberdayakan diri mereka sebagai pendidik professional.
Postmodernis mengajak guru untuk menciptakan filsafat pendidikan yang berbasis
situs.
2.2 Teori pendidikan
Teori pendidikan bisa dikatagorikan menjadi empat teori : esensialisme,
perennialism, progresivisme, dan teori kritis (Tabel 2.3). Sementara filosofi
menyajikan pandangan yang sangat umum dari realitas, teori menjelaskan fenomena
dan proses yang lebih khusus. Teori pendidikan memeriksa peran dan fungsi sekolah,
kurikulum, pengajaran, dan pembelajaran. Beberapa teori berasal dari filsafat, dan
lain-lain muncul dari praktek. Pada bagian berikut, di mulai dengan teori-teori yang
lebih tradisional esensialisme dan perennialism, yang berakar pada idealisme dan
realisme, dan mengambil pendekatan subjek-materi untuk mengajar dan belajar.
Kemudian pindah ke progresivisme, dipengaruhi oleh pragmatisme, dan teori kritis,
dipengaruhi oleh eksistensialisme dan postmodernisme, yang berkaitan proses
pembelajaran perubahan sosial.
TEORI TUJUAN KURIKULUM IMPLIKASI AHLI
8
PENDIDIKAN
Perennialisme
(Berakar dari
Realisme)
Menyebarkan nilai-nilai
universal.
Keterampilan dasar,
ilmu dan seni liberal,
teori-teori peradaban
barat.
Pengajaran yang
mengutamakan
diskusi, dan
refleksi tentang
nilai-nilai
universal.
Hutchins
Adler
Maritain
Essensialisme
(berakar dari
Idealisme dan
Realisme)
Mengembangkan
keterampilan dasar
membaca dan
berhitung, dan
pengetahuan.
Keterampilan dasar,
dan mata pelajaran
pokok : sejarah,
matematik, bahasa,
ilme pengetahuan,
dan komputer.
Mempersiapkan
kompetensi dan
keterampian
individu agar
mampu
berkompetisi
dalam ekonomi
global.
Bagley
Bestor
Progressivisme
(berakar dari
Pragmatisme)
Mendidik individu
sesuai dengan minat
dan kebutuhannya.
Aktivitas dan projek. Pengajaran yang
menekankan
kepada pemecahan
masalah dan
aktivitas
kelompok. Guru
berperan sebagai
fasilitator.
Dewey
Kilpatrick
Parker
Johnson
Teori Kritis
(berakar dari
neo-Marxisme
dan
Posmodernisme)
Mengembangkan
kesadaran tentang isu-
isu marginalisasi dan
pemberdayaan.
Autobiografi orang-
orang tertindas.
Fokus kepada
konflik sosial.
McLaren
Giroux
Tabel 2.3 Esensialisme, Perennialism, Progresivisme, dan Teori kritis
9
Sumber: Foundations of Education, edisi ke-sebelas (2011).
1. Esensialisme
Esensialisme menetapkan fungsi primer atau esensial sekolah seperti
menjaga prestasi peradaban manusia dengan menyampaikannya ke mahasiswa
sebagai keterampilan dan subjek dalam kurikulum yang diselenggarakan dengan hati-
hati. Essentialists berpendapat bahwa sekolah dan guru harus berkomitmen untuk
misi utama akademik mereka dan tidak dialihkan ke daerah non akademis. Peran
Sekolah-sekolah yang tepat adalah untuk mengajar siswa keterampilan dasar dan
mata pelajaran yang mempersiapkan mereka untuk berfungsi secara efektif dan
efisien dalam suatu masyarakat demokratis. Essentialists mendukung kurikulum
pembelajaran yang membedakan dan mengatur pelajaran sesuai dengan prinsip-
prinsip logis atau kronologis internalnya. Keterampilan kurikulum dan mata pelajaran
harus didefinisikan dengan baik untuk lingkup tertentu dan memiliki urutan yang
kumulatif dan mempersiapkan siswa untuk belajar di masa depan.
Essentialists curiga terhadap yang disebut inovatif atau proses pendekatan
pembelajaran, seperti konstruktivisme, di mana siswa membangun pengetahuan
mereka sendiri secara kolaboratif, dan penilaian otentik di mana siswa mengevaluasi
kemajuan mereka sendiri. Untuk essentialists, orang yang beradab belajar secara
efektif dan efisien ketika mereka memperoleh basis pengetahuan bahwa para
ilmuwan, cendekiawan, dan ahli lainnya telah mengembangkan dan terorganisir.
Implikasi untuk pembelajaran saat ini : Mentransmisikan keterampilan
penting.
Bagi essentialists, tujuan pendidikan adalah untuk mengirimkan dan
mempertahankan dasar-dasar yang diperlukan dari budaya manusia. Sekolah memiliki
misi transmisi keterampilan khusus yang penting bagi manusia dan pelajaran untuk
kaum muda untuk melestarikan dan meneruskannya kepada generasi mendatang
(Diane Revitch: 2000). Sebagai pendidik profesional yang efektif, guru harus (1)
mematuhi kurikulum terstruktur dengan hati-hati dari keterampilan dasar dan mata
10
pelajaran, (2) menanamkan nilai-nilai tradisional Barat dan nilai-nilai patriotisme
Amerika, kerja keras, usaha, ketepatan waktu, menghormati otoritas, dan kesopanan,
(3 ) mengelola kelas secara efisien, efektif, dan cukup sebagai ruang disiplin dan
ketertiban; (4) mempromosikan siswa atas dasar prestasi akademik, bukan
pertimbangan sosial.
2. Perennialism
Kebenaran dalam klasik. Perennialism menegaskan bahwa pendidikan,
seperti kebenaran yang disampaikan, bersifat universal dan otentik selama tiap
periode sejarah dan di setiap tempat dan budaya. Baik kebenaran, maupun pendidikan,
relatif terhadap waktu, tempat, atau keadaan. Tujuan utama pendidikan adalah untuk
membawa setiap generasi baru bersentuhan dengan kebenaran dengan melatih dan
mengembangkan rasionalitas yang dimiliki setiap orang sebagai manusia biasa.
Implikasi bagi pembelajaran saat ini
Bagi perennialists, peran utama sekolah adalah untuk mengembangkan
kekuatan penalaran siswa. Untuk memenuhi misi akademik ini, pengajar dalam
mempersiapkan calon guru membutuhkan pendidikan dalam seni liberal dan ilmu
pengetahuan dan perlu membaca dan mendiskusikan buku besar. Sebagai praktisi
profesional, guru perlu latar belakang akademis yang solid dalam rangka untuk
bertindak sebagai mentor intelektual dan model bagi siswanya.
3. Progresivisme
Progresivisme berasal dari gerakan reformasi umum dalam masyarakat
Amerika dan kehidupan politik di akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua
puluh. Meskipun mereka menentang pendidikan tradisional dan ingin mereformasi
sekolah, progresif tidak sependapat tentang bagaimana mendatangkan perubahan
yang dikehendaki mereka.
11
Implikasi bagi pengajaran saat ini : Contoh dari strategi progresif
Proyek The West HolocaustTennessee, yang dirancang oleh guru dan siswa di
Sekolah Menengah Whitwell di Whitwell, Tennessee, menawarkan gambaran yang
sangat baik dari metode proyek (Dita Smith: 2002). Tujuan proyek ini adalah untuk
mengajarkan rasa hormat terhadap budaya yang berbeda dan untuk memahami
konsekuensi dari intoleransi. Linda Hooper, kepala sekolah, melihat proyek ini
sebagai upaya memberikan kesempatan "untuk memberikan anak-anak kita
pandangan yang lebih luas dari dunia. . . yang akan memecahkan cangkang
kepompong putih mereka (Dita Smith: 2002).
4. Teori Kritis
Teori kritis, teori kontemporer yang sangat berpengaruh pada pendidikan,
kritik yang mendesak ketat sekolah dan masyarakat untuk mengungkap hubungan
kekuasaan eksploitatif dan membuat pemerataan, keadilan, dan keadilan sosial
(Douglas Kellner dalam Randall Curen: 2006). Banyak asumsi yang berasal dari
postmodernis dan eksistensialis filsafat, neo-Marxisme, teori-teori feminis dan
multikultural, dan pedagogi pembebasan Paulo Freire. (Freire dibahas dalam bab
Pelopor Belajar Mengajar.) Henry Giroux dan Peter McLaren memimpin filsuf teori
kritis ini (Henry Giroux: 2001); Henry Giroux: 2005).
Implikasi bagi pengajaran saat ini :Guru harus memberdayakan dirinya
sendiri.
Teori kritis ingin guru baik persiapan calon guru dan kelas praktek untuk
fokus pada isu-isu kekuasaan dan kontrol di sekolah dan masyarakat. Mereka
mendesak guru untuk (1) mengetahui siapa teman sejati mereka dalam perjuangan
untuk mengendalikan sekolah, (2) mengetahui siapa siswa mereka dengan membantu
mereka mengeksplorasi identitas diri mereka sendiri, (3) berkolaborasi dengan orang-
orang lokal untuk perbaikan sekolah dan masyarakat, (4) bergabung dengan para guru
yang berpikiran seperti di organisasi guru profesional terkontrol yang bekerja untuk
12
reformasi pendidikan yang sejati; (5) berpartisipasi dalam dialog kritis tentang isu-isu
politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan yang dihadapi masyarakat Amerika.
BAB III
PEMBAHASAN
LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN
3.1 Filosofi
Dalam mempersiapkan generasi pendidik, suatu lembaga pendidikan guru
seringkali kurang memberikan informasi memadai mengenai kedudukan filosofi
pendidikan bagi seorang guru. Pada hakikatnya unsur filosofis dalam dunia
pendidikan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan
keterampilan seorang guru. Dengan memahami unsur-unsur filosofis, guru akan
mampu berfikir reflektif mengenai implikasi luas suatu budaya dalam pengajaran
mereka sehari-hari.
13
Filsafat dapat diartikan sebagai cara berfikir umum tentang kehidupan kita di
dunia dan merefleksikan tentang baik atau buruk, benar atau salah, cantik atau jelek.
(David Carr:2003); (Sheila G. Dunn:2005); (Robin Barrow & Ronald Woods: 2006);
David T. Hansen: 2007). John Dewey (1964) berpendapat bahwa filsafat merupakan
teori umum tentang pendidikan. Dengan demikian, jika landasan filosofis ini telah
mengakar dalam diri guru, tentu seorang guru akan berfikir tentang apa yang mereka
ajarkan, bagaimana mereka mengajarkan, dan mengapa sesuatu hal itu di ajarkan?
Pertanyaan seperti itu akan membantu seorang guru mengarahkan sebuah
pembelajaran di kelas.
Bahasan mengenai filosofi pendidikan ini, akan diarahkan pada lima aliran
filsafat dan empat aliran teori pendidikan. Di samping itu, juga akan memberikan
keterkaitan dan kontradiksi antar aliran-aliran tersebut. Untuk itu, sepanjang
pembahasan ini, anda diminta berfikir “bak” seorang filsuf yakni dengan memahami
dan menggunakan terminology filsafat dalam objek pendidikan.
1. Terminologi Khusus
Sebagaimana sebuah kajian filsafat, kajian filosofi pendidikan juga
menggunakan istilah metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika (Gutek: 2009).
Metafisika sebuah cabang dari filsafat yang mempertanyakan hakikat kebenaran
secara dalam, yang berasal dari aspek ontologis (ningsih: 2012).Diibaratkan pikiran
adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika, adalah landasan peluncurannya (Nadiroh: 2011).
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang
filsafat metafisika (Ali Mudhofir: 1997: 16). metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan,
sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan (Nadiroh: 2011).
Dalam hal ini kita mempertanyakan apakah yang sangat berharga itu, lalu kita
14
menjawab “pengetahuan”. Kemudian, kita pertanyakan lagi: “bagaimana membuat
sesuatu yang berharga itu menjadi diketahui kebenarannya? Kita jawab lagi:
“barangkali kurikulum”. Apakah ini sudah cukup untuk menjelaskannya? Tentu tidak.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan pengetahuan
dan bagaimana memperoleh pengetahuan mengenai suatu materi (maupun non
materi) tersebut. Menurut Nadiroh (2011) Epistemologi merupakan cabang filsafat
yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia. Dalam hal
pendidikan kita dapat mengajukan pertanyaan berupa: dari mana materi (objek)
berasal? Apakah dari pembelajaran? Bagaimana caranya agar objek (pengetahuan)
tersebut didapat oleh seseorang? Apakah metode pembelajaran dapat memecahkan
masalah tersebut?
Aksiologi Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang
berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah
“teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, dalam Nadiroh: 2011). Aksiologi diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh
(Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Dalam hubungannya terhadap filosofi
pendidikan, kita dapat mempertanyakan: untuk apa pembelajaran itu? Apakah
sekedar transfer pengetahuan? Apakah ada “rahasia” dibalik pengetahuan yang
tertransfer itu? Kemana akan digunakan, untuk apa? Membunuh? Mencuri? Berbuat
gaduh? Bagaimana kita berbuat agar tercapai maksud?
Logika merupakan simpul antara filsafat dan kebenaran. Logika juga erat
kaitannya dengan proses penalaran, baik induktif maupun deduktif. Misalkan untuk
memperoleh uang harus bekerja, semakin banyak bekerja akan semakin banyak uang
yang kita hasilkan. Atau lebih aplikatif kita dapat membuat beberapa pernyataan:
pengetahuan merupakan objek transmisi budaya, yang bermanfaat untuk membangun
values dalam masyarakat budaya, mengajarkannya dengan sungguh-sungguh secara
sistamatis akan benar-benar berdampak pada tatanan masyarakat budaya. Lalu kita
15
munculkan pertanyaan, bagaimana bentuk kesungguhan dalam mentransfer
pengetahuan? Bagaimana membentuk sistematika dalam transfer pengetahuan?
Apakah kita ajarkan sekaligus? Atau perlu kita rinci menjadi unit-unit yang lebih
kecil? Apakah usaha semacam ini cukup?
2. Idealisme
Kaum idealis menganggap bahwa realitas itu berupa spiritual atau mental
(tidak berbentuk dan terdapat dalam jiwa manusia) dan tidak dapat di rubah. Hal itu
dikarenakan, kaum idealis menganggap realitas itu merupakan anugrah Tuhan. Dan
apapun itu jika di anugrahkan oleh Tuhan mustahil untuk diubah, karena pasti sudah
baku. Misalnya aturan atau tata krama antar manusia dalam kehidupan sehari-hari
(orang tua dengan anak; laki-laki dengan perempuan dan sebagainya), Tidak etis jika
kita berusaha untuk mengubahnya. Aturan seperti itu merupakan hasil dari
perenungan dan kemudian memunculkannya dari dalam jiwa manusia sehingga
menjadi nilai yang berlaku secara universal.
Diibaratkan, tuhan telah menanamkan “chip-chip” dalam jiwa dan pikiran
manusia. Manusia bertugas untuk mengaktifkan “chip-chip” tersebut dan
menjadikannya praktek dalam kehidupan manusia. Dalam pendidikan, kaum idealis
berpendapat bahwa yang dilakukan semestinya adalah membawa gagasan unversal
kedalam kesadaran peserta didik.
3. Realisme
Perbedaan antara Realis dan idealis terletak pada sumber realitas, jika idealis
berpendapat realitas ada dalam jiwa manusia, realis justru berpendapat bahwa realitas
berada diluar (terpisah) dari jiwa manusia. bukan merupakan “chip-chip” yang
disediakan dan ditanam Tuhan dalam jiwa. Tapi lebih berbentuk buah apel yang
tergantung lebat di dahan-dahannya dalam kebun di belakang rumah.
16
Dalam pendidikan para realis berpendapat bahwa kita perlu memberikan
acuan berpikir agar peserta didik dapat menikmati buah apel tersebut. Setelah
memanjat, memetik, mengamati, menggigit dan merasakan apel tersebut barulah
mereka harus memberikan kesimpulan Tentang rasa apel yang manis; ada apel merah
hijau dan sebagainya; serta hal-hal lain mengenai apel tersebut. Semua yang telah
mereka simpulkan pastilah abadi. Karena dimanapun tidak akan ada apel yang pahit.
4. Pragmatisme
Bertolak belakang dengan paham idealis dan realis, Pragmatisme menolak
asal muasal realitas (tidak dari dalam jiwa dan tidak pula dari luar jiwa) namun
berasal dari pengalaman hidup manusia. Pengalaman tersebut merupakan hasil dari
interaksi manusia dengan lingkungannya.
Tentang bagaimana pengalaman itu menjadi aturan atau menjadi nilai yang
berlaku perlu penyelidikan dan pengujian. Dan jika berdasarkan hasil pengujian
ternyata bernilai benar maka akan dijadikan acuan, namun apakah itu berlaku
selamanya dan untuk semua? Kaum pragmatis menjawab tidak. Lingkungan baik
sosial, budaya, dan alam merupakan suatu yang terus berubah, tumbuh dan
berkembang. Hal tersebut tentu dapat mengubah persepsi lama, karena mungkin saja
orang atau pengalaman yang berubah, tentu memerlukan hal baru untuk orang dan
lingkungan baru. Bagi kaum pragmatis tidak ada satupun yang abadi/mutlak
semuanya bersifat tentatif dan situasional. Menurut kaum pragmatis, perolehan ilmu
berasal dari transaksi antara peserta didik dan lingkungan.
5. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia
sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, seorang
eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar (wikipedia). Inti ajaran
17
ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi
mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita
masing-masing.
Para filosof eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu: pertama ,
kesedihan dan penderitaan adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika
seseorang berpura- pura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan
penderitaan, orang tersebut sebenarnya tidak memilih sama sekali. Kedua,
pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan dengan hal yang tak dapat
dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan, sikap apatis atau
rasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari penderitaan
yang melemahkan manusia. Ketiga, nilai eksistensialis menitikberatkan pada
kesadaran, membangkitkan hasrat, dan tekad seseorang untuk melibatkan segenap
kemampuannya (Robert: 1962).
Eksistensialisme lebih merupakan proses berfilsafat. Mewakili perasaan putus
asa dan harapan, panggilan untuk merenungkan tentang eksistensi serta esensi diri
dalam kehidupan dunia yang sementara. Pendidikan yang didasari aliran
eksistensialis lebih menekankan kebebasan kepada peserta didik untuk merenungkan
jati dirinya kemudian memilih suatu pilihan cerdas yang akan menjadi acuan jalan
hidupnya. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan akal budi yang berasal dari
dalam diri manusia itu sendiri untuk menentukan apayang akan dilakukan dalam
hidupnya (Christy: 2012).
6. Posmodernisme
Penganut aliran ini berpendapat, bahwa periode sejarah modern telah berakhir,
dan kita sekarang hidup di era posmodern. Mereka menilai bahwa tidak ada
kebenaran yang universal. Bahkan para Posmodernis memandang klaim seperti itu
mengandung unsur kepentingan tertentu. “Apa yang anda fikirkan mendengar
‘saudagar obat’ di pasar tradisional yang mengklaim bahwa obatnya pasti
18
menyembuhkan”? mungkin anda yang “berilmu” menjawab: Ah. Ini barangkali
tipuan. Apa pula reaksi anda ketika mendengar orasi politik dari seorang calon kepala
daerah tentang “perubahan”? anda juga mungkin berfikir: “jangan-jangan..??.
Reaksi yang sama ditunjukkan oleh pencetus posmodernis, mereka menuduh
ada agenda tertentu dibalik sebagian hasil riset maupun pemikiran ilmuan, ilmuan
sosial, dan pendidik yang di “sponsori” oleh kaum-kaum elit yang memegang
kekuasaan. Kondisi ini membuat mereka muak, karena situasi ini merugikan bagi
lapisan masyarakat tertentu. Yang dirugikan bisa saja golongan ekonomi lemah,
golongan suku, ras, profesi, peradaban, kepercayaan dan sebagainya. Situasi seperti
ini banyak terjadi dalam praktek pendidikan baik di Amerika maupun di Indonesia.
Kita tentu ingat bagaimana “sejarah baku” dari pakar sejarah yang telah
“mengecilkan” dan “membesarkan” perjuangan suku tertentu dalam proses
kemerdekaan Republik Indonesia. “Sejarah baku” tersebut dimuat dalam kurikulum
pembelajaran di sekolah, sehingga peserta didik menganggap bahwa itu adalah
kebenaran mutlak. Padahal belum tentu itu benar, barangkali ada muatan tertentu
yang memberikan keuntungan bagi satu pihak. Sehingga pendidikan menjadi ajang
perebutan pengaruh secara ekonomi, suku, kepercayaan, gender dan sebagainya.
Akibatnya pendidikan yang awalnya diperuntukkan bagi kemajuan semua, justru
berubah menjadi marjinalisasi. Ujungnya, kelompok masyarakat marginal tersebut
tetap saja terpinggirkan meski telah mengikuti program pendidikan (Paulo Freire:
2000).
Menurut kaum posmodernis, pendidikan haruslah memfasilitasi semua
golongan. Hal itu dilakukan dengan memberikan pengetahuan utuh (tidak dipotong-
potong) kepada peserta didik. Misalnya, guru-guru di sekolah dasar harus memberi
tahu bahwa huruf dan angka yang mereka gunakan tidak berasal dari peradaban yang
sama. Baru akhir-akhir ini kita melihat tulisan-tulisan mengenai angka, bahwa angka
19
yang digunakan diseluruh dunia ternyata berasal dari arab (Purnomo.W. Yoppy:
2013).
Bagi mahasiswa kedokteran misalnya, mereka harus diberikan informasi utuh
mengenai tokoh-tokoh kedokteran. Berapa lama anggapan bahwa Avicena bukan
ilmuan kedokteran yang beragama islam? Sehingga mahasiswa muslim merasa
pendahulunya tidak memberikan sumbangan apa-apa dalam bidangnya. Berapa
banyak pula filsuf, pakar matematika, astronomi, yang berasal dari peradaban islam
tidak disebutkan dalam buku-buku barat? Hal ini merupakan contoh praktek
marginalisasi yang dilakukan oleh barat selama berabad-abad. Sehingga mereka
menyulap ras mereka menjadi ras tertinggi di planet ini.
3.2 Teori Pendidikan
Filsafat menyajikan pandangan umum tentang realitas, tidaklah mudah untuk
langsung mengadopsi hal tersebut pada tahap praktek. Namun filsafat merupakan cara
berfikir umum menyeluruh dan mendalam untuk dijadikan landasan pembentukan
teori. Teori-teori inilah yang kemudian digunakan untuk menjelaskan banyak
fenomena secara khusus. Teori pendidikan membahas peran serta fungsi sekolah,
kurikulum, pengajaran, dan pembelajaran. Ada beberapa teori pendidikan yang
diturunkan dari paham filsafat tertentu yang selanjutnya dijadikan acuan guru dalam
melaksanakan proses di sekolah.
1. Esensialisme
Teori ini memberi tekanan bahwa sekolah sebagai institusi yang mentransfer
budaya, haruslah menjaga esensi dari peradaban manusia yang telah berlangsung
lama. Tidak perlu mengubahnya, karena nilai-nilai dari peradaban tersebut sudah
menjadi bagian proses pembentukan manusia, terlalu naif harus mempertaruhkan
nilai-nilai yang telah teruji tersebut dengan sesuatu yang baru. Teori esensialisme
20
berakar pada idealisme dan realisme, yang mengklaim bahwa kebenaran itu kekal dan
universal.
Penggunaan atau penerapan metode baru yang mengurangi nilai pendidikan,
dianggap sebagai sesuatu yang “merusak” tatanan nilai yang telah ada. Bagi para
esensialis, kita tidak perlu mengahabiskan banyak waktu dan energi untuk terus
menerus mencari dan menemukan metode baru dalam pembelajaran.
Kebijakan yang memberikan toleransi atas suatu yang baku juga ditolak oleh
orang-orang esensialis. Kita masih ingat sewaktu di sekolah dasar maupun disekolah
menengah ada beberapa kebijakan mengenai pakaian, rambut, aksesoris dan
sebagainya. Hal itu merupakan sebagian wujud pengaruh esensialisme pada sekolah-
sekolah di Indonesia. Begitu juga dengan standar nilai, kaum esensialis menganggap
perlu di buat pembagian materi-materi pembelajaran sekaligus membuat ambang
batas nilai dari suatu materi pelajaran.
Membuat patokan nilai, bermaksud untuk mengetahui sejauh mana kemajuan
pendidikan di suatu sekolah maupun wilayah tertentu. Di indonesia hal ini tentu juga
telah di adopsi oleh pemerintah, dimana sejak tahun 2003 dilakukan ujian nasional
yang distandarisasi secara nasional. Namun, kebijakan tersebut hingga sekaranng
masih meninggalkan pekerjaan rumah bagi institusi yang terkait.
Para esensialis berpendapat bahwa sekolah adalah tempat penanaman
pengetahuan-pengetahuan mendasar yang dibutuhkan peserta didik dalam menjalani
hidup di tengah-tengah masyarakat. Misalnya: apa yang dibutuhkan seseorang untuk
jadi kepala desa? Apakah ilmu nuklir? Tentu tidak! Apa yang dibutuhkan seseorang
untuk menjadi Fisikawan nuklir? Apakah ilmu politik? Juga tidak! Tapi kita sepakat
bahwa, untuk apapun itu, kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang secara
sederhana adalah: bahasa, berhitung, ilmu tentang alam, ilmu tenatang nilai, ilmu
tentang sosial.
21
2. Perenialisme
Seperti dikutip Muhammad Noor Syam (1984), Brameld menyatakan ”kaum
perenialisme mereaksi dan melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam
abad moderen ini dengan kembali pada kepercayaan-kepercayaan yang telah teruji
tangguh, baik mengenahi hakikat realitas, pengetahuan maupun nilai, yang telah
menjadi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya”.
Pada prinsipnya ada banyak kesamaan antara perenialisme dan esensialisme,
seperti menggunakan materi pelajaran sebagai alat untuk mentransferkan warisan
budaya lintas generasi. Namun perenialisme yang didasarkan pada filsafat realis
aristoteles dan Aquinas, lebih menekankan pada nilai-nilai yang telah berlangsung
lama dan terbukti kehandalannya dalam membangun sistem peradaban. Sehingga
nilai yang ditransferkan tersebut, memberikan dampak pengadopsian ulang bagi
peserta didik.
Di samping mendapatkan pengetahuan dasar, sejarah, bahasa, matematika,
logika, dan sosial, kaum perenialis juga menginginkan anak didik memiliki etika atau
moral atau budi pekerti yang mulia yang sesuai dengan agama atau kepercayaan
masing-masing. Dimana setiap agama akan memerintahkan hidup mulia, hidup
dengan berprilaku baik terhadap sesama, masyarakat, guru maupun orang tua. Akan
tetapi dewasa ini telah terjadi krisis moral yang luar biasa yang menyebabkan anak
didik berjalan semaunya sendiri tanpa melihat dasar-dasar atau prinsip-prinsip moral
yang berlandaskan ajaran agama masing-masing.
Dengan melihat kondisi ini maka kita perlu belajar ke masa lalu dimana para
anak didik dengan hormatnya dan penuh rasa tanggung jawab terhadap tugasnya
masing-masing. Prinsip inilah yang diinginkan oleh perenialisme (Mulyono: 2013).
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang kepada masa lampau. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan
22
pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Misalnya, dengan
memberikan buku besar dalam sastra dan sejarah kepada siswa, sehingga mereka
mengenal kembali esensi peradaban bangsanya. Pada awal tahun 60-an, karya
sastrawan besar seperti Prof. Hamka dan sebagainya “berhasil” menanamkan cita rasa
Indonesia di setiap karya beliau. Namun, “Bombardir” Film-film, bacaan, telenovela
barat telah menggerus nilai-nilai yang telah terbangun. Krisis moral tersebut, semakin
hari semakin kental terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan anak didik
ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan (Mulyono: 2013).
Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Perenialis juga menolak menggunakan institusi
sekolah sebagai lahan untuk memberikan pelatihan kerja yang berkaitan dengan
ekonomi dan bisnis. Proses pendidikan juga tidak untuk diaraahkan pada kebutuhan
mendesak. Mereka menggarisbawahi bahwa sekolah merupakan institusi penanaman
pengetahuan dasar serta nilai-nilai abadi yang diperlukan siswa untuk mengelola
hidupnya di masa depan.
Di bidang pendidikan, Perenialisme sangat dipengaruhi oleh: Plato,
Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal. Maka
tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktekan
asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.” Menurut Plato, manusia secara
kodrati memiliki tiga potensi, yaitu : nafsu, kemauan, dan pikiran (Mulyono: 2013).
Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai
tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus dikembangkan
secara seimbang. Adapun aplikasi pendidikan kaum Perenialisme memandang
education as cultural regression pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses
23
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau
yang dianggap sebagai kebudayaan ideal.
3. Progresivisme
Progresifisme berasal dari gerakan reformasi dalam masyarakat Amerika dan
kehidupan politik di akhir abad ke ke-19. Sebagian dari kaum progresifis adalah ingin
membebaskan anak dari sekolah otoriter dan sebagiannya lagi ingin menggunakan
sekolah untuk mereformasi masyarakat. Mereka menolak sistem sekolah tradisional
yang menggunakan metode menghafal, dan manajemen sekolah yang otoriter.
sebaliknya, justru bagi progresifis memberikan waktu bermain lebih bagi pesert didik
lebih baih baik ketimbang memaksakan anak menjadi orang dewasa.
Menutur Mudyaharjo (2006: 142), Progresivisme adalah gerakan pendidikan
yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak
(child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada
guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Tujuan pendidikan
hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, agar
peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan
penyesuaian dan pennyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan
(Rosid N, Muhammad: 2011).
Dalam misi utama kaum Progresivisme, Mereka ingin membangun sekolah
besar yang efektif dan efisien sehingga dapat menampung lebih banyak, dan
menawarkan kurikulum yang beragam. Kurikulum tersebut barbasiskan aktivitas,
sehingga peserta didik berkesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan dan
membangun konsepsi mereka sendiri tentang realitas. Dalam hal guru, mereka
berpendapat bahwa guru perlu dipersiapkan lebih awal terutama dengan memberikan
bekal kepekaan sosial, kasih sayang, psikologi perkembangan anak, bagi calon-calon
guru tersebut. Karena sebagai praktisi, guru harus menciptakan kenyamanan, dan
tahapan perkembangan yang ramah serta mengasosiasi lingkungan untuk belajar,
24
yang menjadi ciri khas progresifisme. Dengan demikian, menurut Kilpatrick guru
bisa mengubah kelas menjadi kolaboratif dan demokratis.
Praktek yang di tantang: (1) Guru otoriter; (2) Pembelajaran berbasis pada
buku paket; (3) Menghafal pasif informasi faktual. Selanjutnya para progresifis secara
positif menegaskan: (1) Anak harus bebas untuk berkembang; (2) Minat, yang
didorong oleh pengalaman langsung, adalah stimulus yang terbaik untuk belajar; (3)
Guru harus memfasilitasi pembelajaran; (4) Kerjasama yang erat perlu di dorong
antara sekolah dan keluarga; (5) Sekolah progresif harus menjadi laboratorium untuk
eksperimen.
Menentang kurikulum materi pelajaran konvensional, progresifis
bereksperimen dengan kurikulum alternatif, dengan kegiatan, pengalaman pemecahan
masalah, dan proyek. Meskipun demikian tidak berarti bahwa progresif tidak
mendasarkan pengetahuan pada kurikulum dasar, seperti matematika, bahasa, dan
seni. Hanya saja bagi siswa progresif mereka diberikan kebebasan dalam memilih
topik dan menyelidikinya, mereka bisa saja menggunakan lebih banyak buku
ketimbang siswa di sekolah esensialis dan perenialais. Guru progresif berusaha
membebaskan anak dari pembatasan konvensional dan tekanan. Progresif lebih
berorientasi sosial yang disebut rekonstruksi sosial.
4. Teori Kritis
Teori kritis, merupakan teori kontemporer yang sangat berpengaruh terhadap
dunia pendidikan, teori yang dilahirkan dari filsafat dari posmodern, eksistensial, neo-
marxis, teori-teori feminis dan multikultural dan pedagogi pembebasan Paulo Freire.
Teori ini di cetuskan pertama kali oleh Henry Giroux dan Peter McLeren.
Seorang filsuf abad ke-19 Karl Marx, telah memberikan pengaruh yang amat
besar pada teori kritis ini. Ia menyatakan bahwa semua lembaga telah terkonsentrasi
pada basis ekonomi semata. Hal ini berarti bahwa faktor keuntungan pihak-pihak
25
tertentu menjadi dasar sebuah sistem dari lembaga tertentu berjalan. Sementara
masyarakat minoritas terus didorong hingga benar-benar terpinggirkan.
Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi, namun
eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi tentang adanya kondisi-kondisi
yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar (seperti “false class consciousness”)
(Nurhidayat: 2013). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar
para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau hegemoni
(Horkheimer, dalam Bohman, 2005; dalam Nurhidayat: 2013).
Teori kritis menginginkan adanya pengakuan akan status sosial masyarakat
tertentu, terlepas apakah mereka penguasa atau tidak. Mereka menantang kekuatan-
kekuatan suatu ras, etnis, gender, kepercayaan mengontrol lembaga- lembaga sosial,
ekonomi, politik dan sebagainya. Mereka juga menantang kelompok-kelompok kuat
tersebut untuk terus mempertahankan superioritas mereka dan sebaliknya
memarginalisasi kelompok lemah.
Teori kritis ditujukan bagi sekelompok agents, demi penyadaran diri mereka
dalam proses emansipasi dan pencerahan (Nurhidayat: 2013). Toeri kritis ingin
memberikan kesadaran tentang “kekacauan” yang menggunakan isu-isu kekuatan dan
kontrol sosial, ekonomi, politik dan pendidikan. Para penganut teori kritis
berpendapat bahwa kekuatan ekonomi sosial dan politik telah menjadikan sekolah
sebagai tempat untuk mereproduksi dan mempertahankan status istimewa mereka.
Misalnya, anak-anak dari kelas dominan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah
bergengsi, yag mempersiapkan mereka untuk karir yanng strategis dalam ekonomi,
politik bisnis industri dan pemerintahan. Sementara dari kelompok bawah “dipaksa”
untuk menerima keadaan akan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi mereka.
Situasi ini justru melemahkan mereka dalam mencapai potensi tertinggi. Hal ini
biasanya karena tidak dibiayai secara maksimal.
26
Dalam hal kurikulum, sekolah-sekolah pinggiran tersebut, didoktrinisasi oleh
kekuatan-kekuatan yang mengontrol. Sehingga sedikit sekali ruang bagi mereka
untuk berinisiatif. Hal ini membuat para penganut teori kritis berfikir bahwa
sesungguhnya ada dua kurikulum yang sedang dijalankan, yakni kurikulum resmi dan
kurikulum tersembunyi. Kurikulum resmi merupakan kurikulum yang telah
diamanatkan oleh pemerintah. Kurikulum resmi mengharuskan guru untuk
mengajarkan keterampilan tertentu dalam berbagai mata pelajaran yang tersusun.
Sedangkan kurikulum tersembunyi merupakan muatan-muatan tertentu dalam
pembelajaran, yang “memaksakan” siswa untuk menyetujui suatu informasi baik
yang berhubungan dengan prilaku sosial maupun kecenderungan suatu peradaban.
Kurikulum tersembunyi tersebut dapat berasal dari konten-konten materi pelajaran
maupun budaya sekolah yang dibentuk melalui kebijakan-kebijakan pihak tertentu.
Penganut teori kritis tidak menganggap hal tersebut sebagi suatu yang tidak
bisa dihindari. Mereka percaya bahwa guru dapat mengubah sekolah menjadi ruang
publik yang demokratis. Teori kritis ingin siswa membangun sendiri makna
pengetahuan nilai-nilai dalam konteks lokal mereka. Guru harus memulai dengan
memberikan kesadaran kepada siswa akan ketimpangan situasi tersebut. Dalam
konsepsi teoretisi kritis, fenomena sosial harus diamati dalam konteks kesejarahannya
yang utuh ( Alvesson dan Skoldberg, 2000 12).
Penganut paham teori kritis ingin guru (baik dalam mempersiapkan guru) untuk: (1)
Mengetahui siapakah pihak yang mempunyai hasrat untuk memperbaiki sistem
sekolah; (2) membantu siswa mereka untuk mengeksplor diri, agar mereka
mengetahui siapa diri mereka sesungguhnya; (3) berkolaborasi dengan masyarakat
untuk perbaikan sekolah dan masyarakat; (4) bergabung dengan guru lain yang
mempunyai visi sama dalam mereformasi pendidikan; (5) berpartisipasi dalam dialog
kritis tentang isu-isu politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan yang dihadapi
masyarakat.
27
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
landasan filsafat pendidikan adalah asumsi filosifis yang dijadikan titik tolak
dalam rangka studi dan praktek pendidikan, ada lima filsafat yang menjadi acuan
dasar pendidikan yaitu: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Ekistensialisme,
Posmoderenisme. filosofi intelektual pendidikan yang memberi makna pada
28
pengajaran dengan menghubungkan permintaan harian dengan komitmen profesional
dan arah jangka panjang. Sebuah kerangka konseptual memberikan kontribusi untuk
suatu keterpaduan profesional yang membantu guru menempatkan tujuan jangka
pendek ke dalam hubungan dengan tujuan jangka panjang.
29