29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan era informasi yang akhir-akhir ini mulai masuk ke Indonesia telah membuat tuntutan-tuntutan baru di segala sektor dalam Negara kita. Tidak terkecuali dalam sektor pelayanan kesehatan, era globalisasi dan informasi seakan telah membuat standar baru yang harus dipenuhi oleh seluruh pemain di sektor ini. Hal tersebut telah membuat dunia keperawatan di Indonesia menjadi tertantang untuk terus mengembangkan kualitas pelayanan keperawatan yang berbasis teknologi informasi. Namun memang kita tidak bisa menutup mata akan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh keperawatan di Indonesia, diantaranya adalah keterbatasan SDM yang menguasai bidang keperawatan dan teknologi informasi secara terpadu, masih minimnya infrastruktur untuk menerapkan sistem informasi di dunia pelayanan, dan masih rendahnya minat para perawat di bidang teknologi informasi keperawatan. Kualitas atau mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit bergantung kepada kecepatan, kemudahan, dan ketepatan dalam melakukan tindakan keperawatan yang berarti juga pelayanan keperawatan bergantung kepada efisiensi dan efektifitas struktural yang ada dalam keseluruhan sistem suatu rumah sakit. Pelayanan rumah sakit setidaknya terbagi menjadi dua bagian besar yaitu pelayanan medis dan pelayanan yang bersifat non- medis, sebagai contoh pelayanan medis dapat terdiri dari pemberian obat, pemberian makanan, asuhan keperawatan, diagnosa medis, dan lain-lain. Namun ada hal yang perlu kembali dipahami oleh semua tenaga kesehatan yang menggunakan teknologi informasi yaitu semua teknologi yang berkembang dengan pesat ini hanyalah sebuah alat bantu yang tidak ada gunanya tanpa intelektualitas dari penggunanya dalam hal ini adalah perawat dengan segala pengetahuannya tentang ilmu keperawatan.Contoh nyata yang dapat kita lihat di dunia keperawatan Indonesia yang telah menerapkan sistem informasi yang berbasis komputer adalah terobosan yang diciptakan oleh kawan-kawan perawat di RSUD Banyumas. Sebelum menerapkan sistem ini hal pertama yang dilakukan adalah membakukan klasifikasi diagnosis keperawatan yang selama ini dirasa masih rancu, hal ini dilakukan untuk menghilangkan ambiguitas dokumentasi serta memberikan manfaat lebih lanjut terhadap sistem kompensasi,

Makalah Ect & Ctg

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Ect & Ctg

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi dan era informasi yang akhir-akhir ini mulai masuk ke Indonesia telah

membuat tuntutan-tuntutan baru di segala sektor dalam Negara kita. Tidak terkecuali

dalam sektor pelayanan kesehatan, era globalisasi dan informasi seakan telah membuat

standar baru yang harus dipenuhi oleh seluruh pemain di sektor ini. Hal tersebut telah

membuat dunia keperawatan di Indonesia menjadi tertantang untuk terus

mengembangkan kualitas pelayanan keperawatan yang berbasis teknologi informasi.

Namun memang kita tidak bisa menutup mata akan hambatan-hambatan yang dihadapi

oleh keperawatan di Indonesia, diantaranya adalah keterbatasan SDM yang menguasai

bidang keperawatan dan teknologi informasi secara terpadu, masih minimnya

infrastruktur untuk menerapkan sistem informasi di dunia pelayanan, dan masih

rendahnya minat para perawat di bidang teknologi informasi keperawatan.

Kualitas atau mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit bergantung kepada

kecepatan, kemudahan, dan ketepatan dalam melakukan tindakan keperawatan yang

berarti juga pelayanan keperawatan bergantung kepada efisiensi dan efektifitas struktural

yang ada dalam keseluruhan sistem suatu rumah sakit. Pelayanan rumah sakit setidaknya

terbagi menjadi dua bagian besar yaitu pelayanan medis dan pelayanan yang bersifat non-

medis, sebagai contoh pelayanan medis dapat terdiri dari pemberian obat, pemberian

makanan, asuhan keperawatan, diagnosa medis, dan lain-lain.

Namun ada hal yang perlu kembali dipahami oleh semua tenaga kesehatan yang

menggunakan teknologi informasi yaitu semua teknologi yang berkembang dengan pesat

ini hanyalah sebuah alat bantu yang tidak ada gunanya tanpa intelektualitas dari

penggunanya dalam hal ini adalah perawat dengan segala pengetahuannya tentang ilmu

keperawatan.Contoh nyata yang dapat kita lihat di dunia keperawatan Indonesia yang

telah menerapkan sistem informasi yang berbasis komputer adalah terobosan yang

diciptakan oleh kawan-kawan perawat di RSUD Banyumas. Sebelum menerapkan sistem

ini hal pertama yang dilakukan adalah membakukan klasifikasi diagnosis keperawatan

yang selama ini dirasa masih rancu, hal ini dilakukan untuk menghilangkan ambiguitas

dokumentasi serta memberikan manfaat lebih lanjut terhadap sistem kompensasi,

Page 2: Makalah Ect & Ctg

2

penjadwalan, evaluasi efektifitas intervensi sampai kepada upaya identifikasi error dalam

manajemen keperawatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah

dalam makalah ini seperti :

1. Apa pengertian tentang teknologi secara umum?

2. Apa pengertian teknologi keperawatan tentang ELECTROCONVULSI

THERAPY (ECT) dan CARDIOTOCOGRAPHY (CTG)?

3. Bagaimana sejarah ECT ?

4. Bagaimana perkembangan teknik ECT ?

5. Bagaimana prinsip terapi ECT & CTG?

6. Apa saja indikasi dari ECT & CTG?

7. Apa saja kontra indikasi dalam pemberian ECT & CTG?

8. Apa saja efek samping dari ECT & CTG ?

9. Bagaimana prosedur dalam terapi ECT & CTG?

10. Bagaimana anastesi dalam pemeberian terapi ECT?

11. Apa saja peran perawat dalam pemberian terapi ECT?

12. Apa saja alat yang di gunakan dalam pemberian terapi ECT & CTG?

13. Apa saja persiapan yang dilakukan kepada klien sebelum melakukan terapi ECT

& CTG?

14. Bagaimana penatalaksanaan dalam pemberian terapi ECT & CTG?

15. Apa yang dilakukan setelah selesai ECT & CTG?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan pengertian tentang teknologi secara umum.

2. Menjelaskan pengertian teknologi keperawatan tentang ELECTROCONVULSI

THERAPY (ECT) dan CARDIOTOCOGRAPHY (CTG).

3. Menjelaskan sejarah ECT.

4. Menjelaskan perkembangan teknik ECT.

5. Menjelaskan prinsip terapi ECT & CTG.

6. Menjelaskan indikasi dari ECT & CTG.

7. Menjelaskan kontra indikasi dalam pemberian ECT & CTG.

8. Menjelaskan efek samping dari ECT & CTG.

Page 3: Makalah Ect & Ctg

3

9. Menjelaskan prosedur dalam terapi ECT & CTG.

10. Menjelaskan anastesi dalam pemberian terapi ECT.

11. Menjelaskan peran perawat dalam pemberian terapi ECT.

12. Menjelaskan alat yang di gunakan dalam pemberian terapi ECT & CTG.

13. Menejelaskan persiapan yang dilakukan kepada klien sebelum melakukan terapi

ECT & CTG.

14. Menjelaskan penatalaksanaan dalam pemberian terapi ECT & CTG.

15. Menjelaskan yang dilakukan setelah selesai ECT & CTG.

D. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah

metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan, mengumpulkan teori – teori dari

berbagai sumber seperti buku tentang Teknologi secara umum & Teknologi

Keperawatan seperti ECT dan CTG, serta internet yang berhubungan dengan

Teknologi secara umum & Teknologi Keperawatan seperti ECT dan CTG.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari 3 bab, yaitu :

BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,

metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Pembahasan, terdiri dari pengertian teknologi keperawatan tentang

ELECTROCONVULSI THERAPY (ECT) dan CARDIOTOCOGRAPHY (CTG),

sejarah ECT, perkembangan teknik ECT, prinsip terapi ECT & CTG, indikasi dari

ECT & CTG, kontra indikasi dalam pemberian ECT & CTG, efek samping dari ECT

& CTG, prosedur dalam terapi ECT & CTG, anastesi dalam pemeberian terapi ECT,

peran perawat dalam pemberian terapi ECT, alat yang di gunakan dalam pemberian

terapi ECT & CTG, persiapan yang dilakukan kepada klien sebelum melakukan terapi

ECT & CTG, penatalaksanaan dalam pemberian terapi ECT & CTG, dan dilakukan

setelah selesai ECT & CTG.

BAB III Penutup, yang terdiri dari kesimpulan.

Page 4: Makalah Ect & Ctg

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. TEKNOLOGI

Teknologi diartikan sebagai ilmu terapan dari rekayasa yang diwujudkan dalam

bentuk karya cipta manusia yang didasarkan pada prinsip ilmu pengetahuan. Menurut

Prayitno dalam Ilyas (2001), teknologi adalah seluruh perangkat ide, metode, teknik benda-

benda material yang digunakan dalam waktu dan tempat tertentu maupun untuk memenuhi

kebutuhan manusia. Sedangkan menurut Mardikanto (1993), teknologi adalah suatu perilaku

produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan

digunakan atau diterapkan oleh sebagian warga masyarakat dalam suatu lokasi tertentu dalam

rangka mendorong terjadinya perubahan individu dan atau seluruh warga masyarakat yang

bersangkutan.

Soeharjo dan Patong (1984) dalam Wasono (2008) menguraikan makna teknologi dalam tiga

wujud yaitu cara lebih baik, pemakai peralatan baru dan penambahan input pada usahatani.

Lebih lanjut dikatakan bahwa teknologi hendaknya memiliki syarat-syarat sebagai

berikut :

1. teknologi baru hendaknya lebih unggul dari sebelumnya;

2. mudah digunakan; dan

3. tidak memberikan resiko yang besar jika diterapkan.

Mosher (1985), teknologi merupakan salah satu syarat mutlak pembangunan pertanian. Dari

beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa teknologi adalah hal-hal yang

baru yang belum diketahui, diterima dan digunakan banyak orang dalam suatu lokasi

tertentu baik berupa ide maupun berupa benda atau barang.

B. TEKNOLOGI KEPERAWATAN

1. ELECTROCONVULSI THERAPY (ECT)

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik

dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh

Page 5: Makalah Ect & Ctg

5

anestesi dengan menggunakan alat khusus.

Pasien berada di bawah anestesi umum. Terdapat

kejang yang telah dimodifikasi oleh muscle

relaxant.

ECT bertujuan untuk menginduksi suatu

kejang klonik yang dapat memberi efek terapi

(therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15

detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya

dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum

dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau ECT

dapat meningkatkan kadar serum brain-derived neurotrophic factor (BDNF) pada pasien

depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.

Terapi ini menghasilkan kejang-kejang karena pengaruh aliran listrik yang diberikan

pada pasien melalui elektroda-elektroda pada lobus frontalis. Dalam electroconvulsive terapi,

arus listrik dikirim melalui kulit kepala ke otak. Elektroda ditempatkan pada kepala pasien

dan dikendalikan, menyebabkan kejang-kejang singkat di otak.

Pada saat terapi ini dijalankan, pasien akan kejang-kejang dan kehilangan kesadaran,

kemudian kejang-kejang lambat laun hilang. Sebelum ECT, pasien diberi relaksan otot

setelah anestesi umum. Bila ECT dilakukan dengan benar, akan menyebabkan pasien kejang,

dan relaksasi otot diberikan untuk membatasi respon otot selama episode. Karena otot rileks,

penyitaan biasanya akan terbatas pada gerakan kecil tangan dan kaki. Pasien dimonitor secara

hati-hati selama perawatan. Pasien terbangun beberapa menit kemudian, tidak ingat kejadian

seputar perlakuan atau perawatan, dan sering bingung.

a. Pengertian ECT

Terapi ECT adalah suatu pengobatan untuk menimbulkan kejang grand mal secara

artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada satu atau dua

temples. (Stuart Sundeen, 1998).

Electro Convulsive Therapy/ ECT merupakan suatu pengobatan untuk penyakit psikiatri berat

dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala digunakan untuk kejang tonik klonik

umum. (Szuba and Doupe, 1997).

Page 6: Makalah Ect & Ctg

6

b. Sejarah ECT

Terapi dengan konvulsi sebenarnya telah dikenal sejak abad 16. Paraselsus (140-

1541) menggunakan camphor atau kamper atau kini disebut kapur barus. Kamper ini

diberikan secara oral untuk menginduksi kejang sebagai terapi pada pasien gangguan mental.

Penggunaan kamper ini bertahan sampai abad ke-18. Pada sekitar tahun 1917, Julius Wagner-

Jaugregg, seorang psikiater dari Wina, mulai menggunakan malaria sebagi penginduksi

demam untuk mengobati pasien dengan paresis umum pada pasien gangguan mental (sipilis

terminal). Pada tahun 1093, mulai dikenal pula penggunaan insulin dan psychosurgery.

Manfred Sakel dari Wina mengumumkan kesuksesan pengobatan skizofrenia dengan insulin.

Insulin ini digunakan untuk menginduksi koma yang pada beberapa pasien menyebabkan

kejang. Kejang ini yang diperkirakan menyebabkan perbaikan pada pasien.

Pada tahun 1934, Ladislaus von Meduna dari Budapest meninjeksi kamper dalam

minyak untuk menginduksi kejang pada pasien dengan skizofrenia katatonik. Ini merupakan

terapi konvulsi modern pertama. Terapi dinyatakan berhasil, demikian juga dengan sejumlah

pasien psikotik lainnya. Von Medunna mengobservasi bahwa pada otak pasien epilepsi

ditemukan jumlah sel glia yang lebih banyak dari orang nomal, sementara pada pasien

skizofrenia jumlah sel glia lebih sedikit. Dengan hal ini dikemukakan hipotesa bahwa ada

antagonisme biologis antara kejang dan skizofrenia. Karena sifatnya yang long acting,

kamper kemudian digantikan oleh pentylenetrazol, namun zat ini sering menimbulkan

keluhan sensasi keracunan pada kondisi pasien sadar, disebabkan aktivitas antagonis

GABAnya.

Pada tahun 1938, di Roma, Ugo Cerleti dengan asistennya Lucio Bini melakukan

ECT pertama pada pasien skizofrenia. ECT dilakukan sebanyak 11 kali dan pasien

memberikan respons yang bagus. Pengunaan ECT kemudian menyebar luas di seluruh dunia.

Kini ECT digunakan terutama pada depresi mayor dan skizofrenia.

Ugo Cerletti (1877-1963)

Page 7: Makalah Ect & Ctg

7

c. Perkembangan Teknik ECT

ECT telah digunakan secara berkelanjutan selama lebih dari 70 tahun. Bagaimanapun, telah

dilakukan beberapa perkembangan teknis:

a. Pengenalan anestesi pada pelaksanaan ECT yang mengurangi distress pada pasien

dalam proses ECT

b. Anestesi juga diizinkan untuk digunakannya muscle relaxant yang mengurangi

ketegangan pada sistem muskuloskeletal, mengurangi cedera

c. Pre-oksigenasi dan ventilasi terpimpin selama pemulihan yang mengurangi efek

samping

d. Stimulus listrik terutama didisain untuk menghasilkan kejang yang bersifat terapeutik

tanpa memberikan energi listrik yang tidak perlu pada otak.

e. Penempatan elektroda yang beragam yang dapat dipilih berdasarkan kebutuhan klinis

kasus.

f. Metode monitoring aktivitas otak dan tubuh sebelum, selama, dan setelah kejang.

d. Prinsip Terapi

Secara umum, diperlukan 2 atau 3 kali perawatan sebelum efek terlihat, dan 4-5 kali

pengobatan untuk perbaikan nyata. Kini, jumlah tindakan yang dilakukan merupakan

rangkaian yang bervariasi pada tiap pasien tergantung pada masalah pasien dan respons

terapeutik sesuai hasil pengkajian selama tindakan.

1. Biasanya diberikan satu terapi per hari berselang-seling.

2. Rentang jumlah yang paling umum dilakukan pada pasien dengan gangguan afektif atau

depresi antara 6 sampai 12 kali, mania dan katatonik membutuhkan 10-20 terapi,

sedangkan pada pasien skizofrenia biasanya diberikan sampai 30 kali.

3. ECT biasanya diberikan sampai tiga kali seminggu atau setiap beberapa hari, selama

dua hingga empat minggu. Jika efektif, perubahan perilaku sudah mulai terlihat setelah

2-6 terapi.

4. Antidepresan rumatan, antipsikotik dan lithium dilanjutkan sesudah ECT berhasil

karena dapat mencegah kekambuhan. Tanpa medikasi, angka kekambuhan tinggi.

5. ECT harus segera dihentikan setelah pasien pulih atau jika mereka mengatakan mereka

tidak ingin menjalaninya lagi.

Page 8: Makalah Ect & Ctg

8

e. Indikasi ECT

1) Episode Depresi mayor.

Depresi mayor merupakan kondisi yang paling sering diberlakukan ECT. Hal ini

terutama diindikasikan jika pengobatan secara medikamentosa telah gagal atau

terdapat resiko yang besar akan bunuh diri. ECT aktif telah dikatakan superior

daripada placebo pada banyak penelitian. ECT juga dikatakan superior daripada obat

antidepresan pada lusinan penelitian. Bentuk penelitian umumnya subyek dibagi

menjadi dua grup dimana satu grup menerima ECT dan obat placebo, grup yang lain

menerima ECT placebo dan obat.

2) Mania

Mania merupakan keadaan kenaikan mood atau iritabilitas dan aktivitas fisik berlebih.

Pengobatan diperlukan untuk memastikan asupan obat dan cairan dan menghindari

kelelahan dan cedera fisik. Populasi ini sulit diteliti karena beberapa alasan.

Pengalaman klinis secara luas menunjukkan bahwa ECT merupakan pengobatan yang

efektif dan dapat menjadi tindakan penyelamatan. ECT telah ditunjukkan superior

daripada litium karbonat pada mania akut.

3) Schizophrenia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Medunna menggunakan kamper untuk

meninduksi kejang pada skizofrenia, dan orang pertama yang menerima ECT

merupakan penderita gangguan psikotik. ECT saat ini digunakan pada skizofrenia

ketika ditemukan gambaran katatonik dengan asupan makanan dan cairan yang

terbatas dan jika gejala psikotik tidak resonsif terhadap medikamentosa.

4) Gangguan Postpartum

Beberapa gangguan psikiatrik dapat muncul mengikuti proses kelahiran. Sebagian

besar dapat ditangani dengan dukungan dan penggunaan medikasi. Gangguan yang

kuat, berat dapat berkembang, dan ibu dapat menghadirkan bahaya kepada dirinya

sendiri mauun bayinya. Sebagai generalisasi, mayoritas kondisi postpartum berat

menyerupai episode depresi mayor, dan lainnya adalah episode psikotik, dengan

delusi atau halusinasi. ECT sangat berguna pada kasus-kasus berat tersebut. ECT

menginduksi remisi secara cepat sehingga resiko pada ibu maupun bayi menurun

Page 9: Makalah Ect & Ctg

9

dengan cepat, sehingga kegiatan menyusui dan pengikatan ibu-anak dapat dilakukan

tanpa penundaan. Juga, ECT dapat menghindari penggunaan obat dosis tinggi,

sehingga meminimalisir pengobatan yang mencapai bayi yang sdang menyusui.

5) ECT rumatan

Saat pengobatan telah gagal dan ECT dibutuhkan untuk mengiduksi remisi pada

depresi mayor dan pengobatan gagal mencegah relapse, ECT rumatan

dipertimbangkan. Hal ini dilakukan pada pasien rawat jalan. Frekuensi ECT

ditentukan menurut respon klinis. Seringkali, untuk melengkapi rangkaian ECT,

ketika remisi telah dicapai, ECT terus diberikan dengan interval seminggu. Kemudian

jarak terapi ini diperpanjang hingga empat sampai enam minggu. National Institute

for Clinical Evidence (NICE) tidak merekomendasikan CT rumatan, namun American

Psychiatric Association (APA) merekomendasikan metode ini.

f. Kontra Indikasi Pemberian ECT

Pasien dengan gangguan mental disertai adanya gangguan system kardiovaskuler dan adanya

tumor pada otak.

1. Resiko sangat tinggi

a. Pasien dengan masalah pernapasan berat yang tidak mampu mentolerir efek

anestesi umum.

b. Peningkatan tekanan intracranial (karena tumor otak, hematoma, stroke yang

berkembang, aneurisma yang besar, infeksi SSP), ECT dengan cepat meningkatkan

tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium. Selalu periksa adanya papiledema

sebelum melakukan ECT.

c. Infark Miokard baru atau penyakit miokard berat : ECT sering menyebabkan

aritmia (aritmia menimbulkan CVP pasca kejang atau kapan saja saat melakukan

prosedur ECT) berakibat fatal jika terdapat kerusakan otot jantung. Tunggu hingga

enzim dan EKG stabil.

2. Resiko sedang

a. Osteoartritis berat, osteoporosis atau fraktur yang baru : siapkan selama terapi

(pelemas otot)

b. Penyakit kardiovaskuler (misal hipertensi, angina aneurisma/ Angina tidak

terkontrol, aritmia, Gagal jantung kongestif), berikan premedikasi dengan hati-hati,

dokter spesialis jantung hendaknya berada di sana. ECT untuk sementara

Page 10: Makalah Ect & Ctg

10

meningkatkan tekanan darah, sehingga hipertensi primer berat harus terkontrol,

paling tidak sebelum setiap pengobatan.

c. Infeksi berat, cedera serebrovaskular (Cerebrovascular accident/ CVA) baru,

kesulitan bernafas yang kronis, ulkus peptic yang akut, Osteoporosis berat, fraktur

tulang besar, glaukoma, retinal detachment.

g. Efek Samping dari Pemberian ECT

Efek samping ECT secara fisik hampir mirip dengan efek samping dari anesthesia

umum. Secara psikis efek samping yang paling sering muncul adalah kebingungan dan

memory loss (75% kasus) setelah beberapa jam kemudian (biasanya hilang satu minggu

sampai beberapa bulan setelah perawatan). Biasanya ECT akan menimbulkan amnesia

retrograde terhadap peristiwa tepat sebelum masing-masing pengobatan dan anterograde,

gangguan kemampuan untuk mempertahankan informasi baru. Beberapa ahli juga

menyebutkan bahwa ECT dapat merusak struktur otak. Namun hal ini masih diperdebatkan

karena masih belum terbukti secara pasti.

Efek samping khusus yang perlu diperhatikan :

Cardiovaskuler :

a) Segera : stimulasi parasimpatis (bradikardi, hipotensi)

b) Setelah 1 menit : Stimulasi simpatis (tachycardia, hipertensi, peningkatan

konsumsi oksigen otot jantung, dysrhythmia)

c) ECT dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau kematian (kasus yang

sangat jarang). Orang dengan masalah jantung tertentu biasanya tidak

diindikasikan untuk ECT.

Efek Cerebral :

a) Peningkatan konsumsi oksigen.

b) Peningkatan cerebral blood flow

c) Peningkatan tekanan intra cranial

d) Amnesia (retrograde dan anterograde) – bervariasi, dimulai setelah 3-4 terapi,

berakhir 2-3 bulan atau lebih. Lebih berat pada terapi dengan metode bilateral,

jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan

adanya organisitas sebelumnya.

Page 11: Makalah Ect & Ctg

11

Efek lain :

a) Peningkatan tekanan intra okuler

b) Peningkatan tekanan intragastric

c) Kebingungan (biasanya hanya berlangsung selama jangka waktu yang

singkat), pusing.

d) Mual, Headache/ sakit kepala, nyeri otot.

e) Fraktur vertebral dan ekstremitas dan Rahang sakit. Efek ini dapat

berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Jarang terjadi bila

relaksasi otot baik.

f) Resiko anestesi pada ECT

g) Kematian dengan angka mortalitas 0,002%

h. Prosedur ECT

Persiapan termasuk didalamnya diagnosis yang akurat, komunikasi dengan keluarga

dan pasien, pemeriksaan anestesi, dan menentukan penempatan elektroda yang sesuai. Secara

umum, stimulus diberikan menggunakan satu atau dua susunan elektroda. Pada stimulasi

bilateral, satu elektroda diletakkan pada kedua sisi pelipis dan listrik melintas melalui kedua

sisi otak. Pada stimulasi unilateral, satu elektroda menempel pada satu sisi pelipis dan satu

lagi pada bagian atas kepala pada sisi yang sama. Dengan stimulasi unilateral, aliran listrik

umumnya hanya satu sisi kepala, meskipun jika terjadi kejang, meluas pada kedua belah otak.

Dua set elektroda ditempelkan pada pasien untuk memonitor aktivitas otak sebelum, selama,

dan setelah pemberian ECT. Satu set diletakkan pada kepala (EEG) dan satu set lagi pada

ekstrimitas.

Pasien berbaring di troli. Seorang dokter anestesi, psikiater, dan paling sedikit dua

perawat dibutuhkan. Dokter anestesi memasukkan kanula, perawat anestesi memasang

elektroda EKG, dan psikiater serta perawat psikiater memasang ECT, EEG, dan elektroda

otot perifer. Anestesi dimasukkan. Saat muscle relaxant mulai bekerja, stimulus ECT mulai

dilakukan. Ini merupakan square wave dengan lebar pulse 1,0 milidetik. Menggunakan

sebuah alat populer (Thymatron), stimulus diberikan pada frekuensi maksimum 70 pulse per

detik. Karenanya, dalam satu detik stimulus berjalan selama 0,14 detik. Stimulus terpanjang

yang bisa diteruskan oleh alat ini adalah delapan detik. Maka, dengan setting maksimal,

stimulus dapat berjalan untuk waktu total sedikit lebih dari satu detik (1,12 detik). Konvulsi

kini telah banyak termodifikasi. Biasanya ada penekukan siku dan penunjukkan ibu jari kaki.

Page 12: Makalah Ect & Ctg

12

Saat kejang telah berhenti (biasanya kurang dari 30 detik), pasien kemudian dimiringkan ke

satu sisi dan kemudian dibawa ke ruang pemulihan. Seluruh prosedur dari kedatangan sampai

keberangkatan dari ruang prosedur memakan waktu kurang lebih 10 menit.

Pemasangan elektroda

Seperti telah disebutkan, ada dua teknik penempatan elektroda, yaitu bilateral dan

unilateral. Efek samping yang paling menyulitkan adalah memori. Memori tidak terletak pada

lokasi tertentu pada otak. Saat ini dipercaya memori bergantung pada banyak regio pada otak

yang secara anatomis maupun fungsional terhubung. Diketahui bahwa masalah memori yang

berat terjadi ketika struktur kedua belah otak rusak. Ini merupakan bukti yang

mengindikasikan bahwa ECT bilateral memiliki efek antidepresan yang lebih kuat daripada

unilateral. Namun, ECT bilateral juga dipercaya berkaitan dengan gangguan ingatan yang

lebih besar daripada ECT unilateral. Bukti menunjukkan bahwa memberikan energi listrik

unilateral dalam jumlah besar (selama dalam bentuk square wave singkat) dari yang

dibutuhkan hanya sekedar untuk memicu kejang (seizure threshold) dapat membuat efek

antidepresan serupa dengan ECT bilateral, namun dengan gangguan memori yang lebih

ringan. Teknik "ECT unilateral dosis tinggi" ini sekarang merupakan bentuk yang paling

sering dipilih. Bagaimanapun, saat efek antidepresan maksimum dibutuhkan, ECT bilateral

mungkin tetap penting untuk dipilih.

Page 13: Makalah Ect & Ctg

13

i. Anestesi Pada ECT

Anestesi pada ECT harus diberikan oleh dokter anestesi berpengalaman, mampu

menangani kemungkinan komplikasi pada lokasi yang jauh dari rumah sakit utama, dibantu

oleh asisten yang terlatih. Dokter anestesi akan mengawasi pemeriksaan pasien, menyiapkan

pemberian anestesi yang sesuai dan monitoring.

Pemeriksaan awal dapat dilakukan oleh psikiater atau perawat klinik ECT senior atau

perawat tertentu. Adanya guideline berbentuk checklist dapat membantu staff untuk

mengidentifikasi potensi masalah dengan anestesi. Riwayat penyakit harus digaris bawah jika

terdapat kondisi yang dapat mempengaruhi anestesi seperti: angina, infark miokard baru,

cerebrovascular accident, diabetes, hipertensi, hernia, adanya alergi obat, atau telah adanya

efek samping terhadap penggunaan obat anestesi sebelumnya

Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap

b. Urea dan elektrolit (pada pasien pengguna lithium, diuretik, atau obat vaskonstriksi

lain, diabetes, atau gangguan ginjal)

c. Fungsi hati (pada pasien dengan kaheksi, sejarah penggunaan alkohol, dan adanya

riwayat penyalahgunaan obat atau overdosis

d. International normalized ratio untuk pasien yang menggunakan antikoagulan

e. Status antigen hepatitis B ada penyalahguna obat

f. Kadar gula darah (jika urinalisis positif)

g. Elektrokardiogram pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, pernafasan, dan

ginjal, denyut irregular atau murmur, hipertensi, pasien dengan diabetes di atas

40tahun, dan semua pasien di atas 50 tahun

h. X-ray dada pada pasien dengan suspek infeksi dada, kardiomegali, gagal jantung

kongestif, emboli paru

i. Tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit obstruksi jalan nafas kronis berat, atau

nafas pendek saat istirahat

j. Tes kehamilan jika diperlukan

List pemeriksaan standar ini diperlukan sebelum dilakukan ECT dan disetujui oleh dokter

anestesi.

Page 14: Makalah Ect & Ctg

14

Obat-obatan yang digunakan dalam proses anestesi

Anesthetic agents

Tujuan: agen anestesi yang diberikan bertujuan membuat pasien tidak menyadari adanya

sensasi yang mungkin menakutkan, terutama kelumpuhan otot dan perasaan tercekik dan

gambaran kilatan sinar yang mungkin mengiringi permulaan stimulus, tanpa menghambat

kejang. Prinsipnya adalah mendukung anestesi umum yang ringan dan sangat singkat. Dosis

anestesi yang berlebih dapat menyebabkan ketidaksadaran pasien dan apneu bertambah lama,

memberikan efek antikonvulsan, meningkatkan resiko komplikasi kardiovaskular, dan

meningkatkan amnesia. Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan ketidaksadaran yang

cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan,

memberikan pemulihan yang cepat, dan tidak mahal. Belum ada obat yang memenuhi semua

karakter tersebut. Namun, methohexital memenuhi banyak kriteria yang telah disebutkan di

atas, thiopental, ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil digunakan pada terapi

ECT.

Agen-agen induksi yang biasa digunakan

1. Methohexital memiliki onset yang cepat dan durasi yang cepat, toksisitas kardio

rendah, efek antikonvulsan yang minimal, dan menimbulkan rasa nyeri pada lokasi

injeksi. Efek samping lain termasuk hipotensi, menggigil, dan nekrosis jaringan lunak

pada lokasi penyuntikan. APA Task Force on ECT merekomendasikan

penggunaannya agen induksi pilihan. Dosis tipikal adalah 0,5-1mg/kg.

2. Thiopental memiliki efek entikonvulsi yang lebih besar dan durasi yang lebih lama

daripada methohexital. Pasien dengan penyakit kardiovaskulaar yang diinduksi

dengan thiopental dapat memiliki insidensi yang lebih besar untuk abnormalitas EKG

postiktal dibanding dengan methohexital. Seperti halnya methohexital, thiopental

dapat menyebabkan hipotensi dan menyebabkan nekrosis pada lokasi injeksi.

Dosisnya adalah 2-4 mg/kg.

3. Ketamine. Merupakan derivat dari phencyclidine, yang menghambat glutamate

subtipe N-methyl-D-aspartate (NMDA). Dibanding methihexital, ketamin memiliki

onset yang lebih lambat, pemulihan yang lebih lambat, dan meningkatan insidensi

nausea, hipersalivasi, 'bad trips', dan ataksia selama pemulihan. Direkomandasikan

bagi pasien dengan peningkatan ambang kejang sehingga pemunculan kejang menjadi

sulit, dan dosisnya adalah 0,5-2 mg/kg.

Page 15: Makalah Ect & Ctg

15

4. Propofol memiliki onset cepat, durasi yang singkat, dan sering dikaitkan dengan nyeri

lokasi injeksi. Efek samping lainnya termasuk hipotensi, apneu, bradikardi.

5. Etomidate, berkaitan dengan nyeri pada lokasi injeksi seperti halnya methohexital,

dan menyebabkan aktivitas mioklonik menonjol selama induksi. Etomidate

memberika keuntungan akan efek kontraktibilitas dan kardiak output yang minimal.

Etomidate direkomendasikan pada pasien dengan penurunan.kardiak output dan atau

peningkatan ambang kejang. Dosis adalah 0,15-0,3 mg/kg

6. Muscle relaxant

Pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem

muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas. Prinsipnya adalah

menyediakan relaksasi otot . secara umum, paralisis penuh tidak dibutuhkan ataupun

diinginkan karena dapat dikaitkan dengan apneu yang memanjang. Sebagai tambahan,

intensitas dan durasi gerakan motor kejang harus diobservasi dan dimonitor. Paralisis

otot bukan hanya memfasilitasi oksigenasi, namun juga menurunkan penggunaan

oksigen oleh otot selama kejang. Pertimbangan harus diberikan pada penggunaan

muscle relaxant dosis tinggi pada pasien dengan resiko fraktur tulang patologis.

Kecukupan pemberian muscle relaxant harus ditentukan sebelum pemberian stimulus

ECT. Proses ini dilakukan dengan tes reduksi refleks tendon dalam dan tonus otot.

Pada pasien yang diberikan succinylcholine dosis tinggi, stimulator saraf perifer

harus digunakan.

7. Antikolinergik

Tujuan antikolinergik adalah untuk melindungi terhadap bradikardi atau asistol karena

parasimpatis. Prinsipnya adalah menurunkan efek dari stimulasi vagal karena ECT.

Vagal refleks terjadi segera setelah stimulus ECT tanpa bergantung besar alira listrik,

dan dapat mengakibatkan bradikardi atau asistol transien. Jika aliran listrik mendekati

atau melebihi ambang kejang, kejang tonik-klonik dapat terjadi dengan disertai

stimulasi simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ini mengimbangi efek stimulasi

vagal. Namun jika aliran listrik gagal mencapai kejang (stimulasi subkonvulsi),

ketakutan akan terjadinya bradikardi mengikuti stimulus menjadi besar karena

proteksi yang diberikan takikardi postiktal tidak ada.

8. Agen yang memodifikasi respon kardiovaskular

Page 16: Makalah Ect & Ctg

16

Tujuannya adalah untuk menurunkan respon kardiovaskular karena ECT.

Komplikasi kardiovaskular, aritmia, infark miokardial, gagal jantung kongestif, dan

henti jantung merupakan penyebab kematian paing sering. APA Task Force on ECT

menyarankan penggunaan yang tidak berdasar harus dihindarkan. Selama kejang

karena ECT, aliran darah otak meningkat hingga 300%, penggunaan oksigen dan

metabolisme meningkat hingga 200%. Karenanya, aliran darah perifer sangat penting

untuk memenuhi kebutuhan ini, dan menyediakan sulai oksigen dan karbohidrat pada

otak. Karena hal tersebut, pertimbangan sangat dibutuhkan saat akan menggunakan

agen ini.

Rekomendasi

1. Over-treatment lebih berbahaya daripada under-treatment. Karenanya, pemberian

antihipertensi profilaksis rutin pada semua pasien tidak direkomendasikan.

2. Usaha awal harus diarahka untuk mendapatkan control tekanan darah dan denyut

jantung dengan administrasi harian agen oral sebelum memulai ECT

3. Pada pasien yang beresiko untuk komplikasi kardiovaskular, seperti aneurisma tak

stabil, pencegahan total akan perubahan hemodinamik karena ECT direkomendasikan.

4. Hipertensi yang bertahan atau aritmia yang signifikan setelah kejang diterapi secara

akut, dan profilaksis dipertimbangkan untuk penatalaksanaan berikutnya

Agen yang biasa digunakan

Beberapa antihipertensi memiliki potensi untuk membatasi efek hemodinamik ECT.

Mereka memiliki perbedaan dalam onset dan durasi, dampak terhadap tekanan darah

versus denyut jantung, efek terhadap kerja miokard, dan durasi kejang.

1. Beta blocker. Literature untuk beta blocker sangat luas. Efek samping mayornya

adalah adanya property antikonvulsa. Labetalol merupakan beta-blocker yang paling

banyak digunakan sekarang ini.

2. Nitrogliserin. Mendilatasi sistem vena dengan sedikit efek pada kontraktibilitas

miokard. Ada banyak sdiaaan, seperti spray, injeksi, dan salep. Pada prakteknya,

nitrogliserin diberikan secara spray sublingual (0,4 mg/spray) beberpa menit sebelum

ECT mulai menurunkan hipertansi.

3. Trimethaphan, merupakan agen bloking ganglionik, merupakan salah satu

entihipertensi intravena yang direkomandasikan untuk ECT. Agen ini menginhibisi

sistem saraf simpatis dan parasimpatis sekaligus dengan efek pada arteriol, dan

meningkatkan vasodilatasi tanpe menginduksi refleks takikardi. Hanya tersdia dalam

bentuk parenteral dan memiliki onset dalam beberapa menit,. Bolus trimethaphan

Page 17: Makalah Ect & Ctg

17

menurunkan tekanan darah dan denyut jantung selama ECT tanpa menimbulkan

hipertensi rebound, perpanjangan hipotensi, aritmia, atau efek pada durasi kejang.

4. Nicardipine memberikan control yag adekuat untuk MAP, namun denyut jantung

biasanya meningkat sebelum, selama, dan setelah ECT. Tidak ada efek pada durasi

kejang.

5. Nitropruside juga dapat digunakan untuk emngontrol tekanan darah namun memiliki

insiden yang lebih besar untuk hipotensi post-ECT. Agen ini merupakan vasodilator

poten yang mempengaruhi sistem arteriol dan vena, dan dapat menghasilkan reflaks

takikardi. Beberapa anestesi mempertimbangkan monitoring intra arterial sementara

menggunakan agen ini.

j. Peran Perawat Dalam Pemberian ECT

Pasien dan keluarganya biasanya takut karena sering beranggapan ECT bisa merusak

otak, kehilangan ingatan dan kematian. Perawat harus mengkaji pengetahuan dan pendapat

pasien dan keluarganya tentang ECT, memberikan penjelasan dan dukungan agar mereka

tidak cemas. Langkah-langkah yang harus diberikan adalah :

1. Memberikan dukungan emosi dn penjelasan kepada pasien dan keluarganya.

2. Mengkaji kondisi fisik pasien

3. Menyiapkan pasien

4. Mengamati respon pasien setelah ECT

5. Pastikan pasien atau keluarganya sudah memberikan inform consent.

k. Persiapan Alat

Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:

a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)

b. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain

c. Kain kasa

d. Cairan Nacl secukupnya

e. Spuit disposibel

Page 18: Makalah Ect & Ctg

18

f. Obat SA injeksi 1 ampul

g. Tensimeter

h. Stetoskop

i. Slim suiger

j. Set konvulsator

l. Persiapan Klien

a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan

dilakukan.

b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan yang

merupakan kontraindikasi ECT

c. Siapkan surat persetujuan

d. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT

e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai klien

f. Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi

g. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum ECT

h. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik, dan

antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya dihentikan beberapa

hari sebelumnya karena berisiko organik.

i. Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam sebelum ECT.

Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi

gastrointestinal.

m. Pelaksanaan

a. Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan rata dan cukup

keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan

di tutup dengan selimut, kecuali bagian kepala.

b. Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini dipakai untuk

menghasilkan koma ringan.

c. Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk menghindari

kemungkinan kejang umum.

Page 19: Makalah Ect & Ctg

19

d. Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat elektrode

menempel.

e. Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang dibasahi caira Nacl.

f. Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang dibungkus kain

dimasukkan dan klien diminta menggigit

g. Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang dengan dilapisi

kain

h. Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan mengikuti gerak

kejang

i. Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai timer berhenti

dan dilepas

j. Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan kejang

(menahan tidak boleh dengan kuat).

k. Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan diafragma

l. Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger

m. Kepala dimiringkan

n. Observasi sampai klien sadar

o. Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

n. SETELAH ECT

a. Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil

b. Jaga keamanan

c. Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya

timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

2. CTG (CARDIOTOCOGRAPHY)

CARDIOTOCOGRAPHY adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ

pada saat kontraksi maupun tidak. Jadi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada CTG

kontraksi ibu juga terekam dan kemudian dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan

diluar kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin akibat

fungsi plasenta yang sudah tidak baik.

Page 20: Makalah Ect & Ctg

20

Cara pengukuran CTG hampir sama dengan doppler hanya pada CTG yang

ditempelkan 2 alat yang satu untuk mendeteksi DJJ yang satu untuk mendeteksi kontraksi,

alat ini ditempelkan selama kurang lebih 10-15 menit

Pada saat pemeriksaan CTG, posisi pasien tidak boleh tidur terlentang, tetapi harus setengah

duduk atau tidur miring (Gambar 1).

a. Pengertian Umum Cardiotocography (CTG)

Suatu alat untuk mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim, dengan merekam

pola denyut jantung janin dan hubungannya dengan gerakan janin atau kontraksi rahim.

Dikenal dua jenis kardiotokografi, yaitu CTG konvensional dan CTG terkomputerisasi

(Computerized cardiotocography).

1. Kardiotokografi konvensional adalah

peralatan kardiotokografi yang hasil

interpretasinya dilakukan oleh dokter

pemeriksa.

2. Kardiotokografi terkomputerisasi adalah

peralatan kardiotokografi yang sebagian

hasil interpretasi pemeriksaan CTG

dilakukan oleh komputer yang ada didalam

Page 21: Makalah Ect & Ctg

21

peralatan CTG tersebut berdasarkan suatu ”data-base”.

b. Pemeriksaan CTG:

a. Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.

b. Waktu pemeriksaan selama 20 menit,

c. Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun

bayi.

d. Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan

pertolongan yang sesuai.

Pemeriksaan CTG penting dilakukan pada setiap ibu hamil untuk pemantauan kondisi janin

terutama dalam keadaan:

a. Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit infeksi

kronis, dll)

b. Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction)

c. Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)

d. Polihidramnion (air ketuban berlebih)

c. Syarat Pemeriksaan CTG

1. Usia kehamilan≥ 28 minggu.

2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).

3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.

4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer (pada CTG

terkomputerisasi) sesuai buku petunjuk dari pabrik

d. Indikasi Pemeriksaan CTG

Pemeriksaan CTG biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi,dan indikasinya

terdiri dari :

1. Pada IBU

a. Pre-eklampsia-eklampsia

Page 22: Makalah Ect & Ctg

22

b. Ketuban pecah

c. Diabetes melitus

d. Kehamilan≥ 40 minggu

e. Vitium cordis

f. Asthma bronkhiale

g. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO

h. Infeksi TORCH

i. Bekas SC

j. Induksi atau akselerasi persalinan

k. Persalinan preterm

l. Hipotensi

m. Perdarahan antepartum

n. Ibu perokok

o. Ibu berusia lanjut

p. Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit

q. paru, penyakit jantung, dan penyakit tiroid.

2. Pada Janin

a. Pertumbuhan janin terhambat (PJT)

b. Gerakan janin berkurang

c. Suspek lilitan tali pusat

d. Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin

e. Hidrops fetalis

f. Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar.

g. Mekoneum dalam cairan ketuban

h. Riwayat lahir mati

i. Kehamilan ganda dll

Page 23: Makalah Ect & Ctg

23

e. Mekanisme Pengaturan DJJ

Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu :

1. Sistem Saraf Simpatis

Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium. Stimulasi saraf

simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan meningkatkan frekuensi DJJ,

menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam

keadaan stress, system saraf simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah.

Inhibisi saraf simpatis, misalnya dengan obat propranolol, akan menurunkan frekuensi DJJ

dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.

2. Sistem saraf Parasimpatis

Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yang berasal dari

batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodus VA, dan neuron yang terletak

di antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin

akan menurunkan frekuensi DJJ; sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin,

akan meningkatkan frekuensi DJJ.

3. Baroreseptor

Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah

meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus glosofaringeus pada

batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi

DJJ dan curah jantung.

4. Kemoreseptor

Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak di daerah

karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak di batang otak. Reseptor ini

berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan

serebro-spinal. Bila kadar oksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi

refleks dari reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan

memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan kadar

karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan

Page 24: Makalah Ect & Ctg

24

menimbulkan refleks bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan

menyebabkan bradikardi dan hipotensi.

5. Susunan Saraf Pusat

Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan gerakan

janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan variabilitas DJJ-pun akan

berkurang.

6. Sistem Pengaturan Hormonal

Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan mengeluarkan

epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan takikardia, peningkatan kekuatan

kontraksi jantung dan hipertensi.

7. Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor, stretchreceptors dan

pusat pengaturan(Lauren Ferrara, Frank Manning, 2005).

Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu tiga sumber,

yaitu (1) priprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan sendi; (2) serabut saraf nyeri

yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit; dan (3) baroreseptor di aorta askendens dan

arteri karotis, dan stretch receptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan

kecardioregulatory center (CRC) kemudian kecardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya

menuju nodus sinoatrial sehingga timbullah akselerasi DJJ

f. Karakteristik Gambaran DJJ

Gambaran DJJ dalam pemeriksaan CTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian besar, yaitu:

1. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate).

Yang termasuk disini adalah frekuensi dasar dan variabilitas DJJ.

2. Perubahan periodik / episodik DJJ.

Yang dimaksud dengan perubahan periodik djj adalah perubahan djj yang terjadi

akibat kontraksi uterus; sedangkan perubahan episodik djj adalah perubahan DJJj

yang bukan disebabkan oleh kontraksi uterus (misalnya gerakan janin dan refleks tali

pusat).

Page 25: Makalah Ect & Ctg

25

Baseline Rate

Normal 120-160dpm, ada juga yang membuat 120-150 dpm. Takhikardi jika djj >

160dpm, dan bradikardi jika djj < 120dpm.

Takhikardi dapat terjadi pada keadaan : (Hipoksia janin (ringan / kronik), Kehamilan

preterm (<30 minggu), Infeksi ibu atau janin, Ibu febris atau gelisah, Ibu hipertiroid,

Takhiaritmia janin, Obat-obatan (mis. Atropin, Betamimetik.).

Variabilitas DJJ

suatu gambaran osilasi yg tdk teratur yg tampak pada rekaman djj, dan merupakan hasil

dari interaksi antara s.simpatis (kardioakselerator) dg s.para (kardiodeselerator). Pada

keadaan hipoksia variabilitas akan menurun sampai menghilang. Dibedakan atas dua :

variabilitas jangkla pendek dan jangka panjang. Jangka panjang dibedakan lagi : normal

(6-25dpm), berkurang (2-5dpm), menghilang (<2dpm) dan saltatory (>25dpm).

Perubahan periodik djj

suatu perubahan pola djj yang berhubungan dengan kontraksi & gerakan janin (akselerasi

dan deselerasi)

Indikasi CTG : Hipertensi, DMG, gerak janin kurang, riwayat obstetri jelek, PRM,

postterm, oligohidramnion, polihidramnion, gamelli, kehamilan dengan anemia.

Frekuensi dasar DJJ

Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama periode 10

menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih dari 25 dpm), tidak

terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak terdapat perubahan frekuensi dasar

yang lebih dari 25 denyut per menit (dpm).

Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160 dpm

(pendapat ini yang dianut di Indonesia). Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut

takhikardia; bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardia. Ada juga yang memakai batasan

normal 115 – 160 dpm,2 atau 110 – 160 dpm (RCOG, National Institute for Clinical

Excellence UK, 2001)

Page 26: Makalah Ect & Ctg

26

Takhikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia janin, akan tetapi gambaran tersebut

biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takhikardia diserta dengan variabilitas DJJ yang normal,

biasanya janin masih dalam keadaan baik.

Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut. Pada hipoksia

ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm dan variabilitas DJJ masih normal. Hal ini

menunjukkan bahwa janin masih mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia.

Bila hipoksia semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.

Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai dengan

berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.

Variabilitas Djj

Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler yang terlihat pada rekaman DJJ. Fisiologi

terjadinya variabilitas DJJ masih mengandung perdebatan, diduga akibat adanya

keseimbangan interaksi sistem saraf simpatis (kardioakselerator) dan parasimpatis

(kardiodeselerator). Tetapi ada bukti lain bahwa variabilitas DJJ terjadi akibat stimulus di

daerah korteks serebri yang merangsang pusat pengatur denyut jantung di batang otak dengan

perantaraan nervus vagus.

Penilaian variabilitas DJJ yang paling mudah

adalah dengan mengukur besarnya amplitudo dari

variabilitas (long term variability). Berdasarkan besarnya

amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat dikategorikan

sebagai berikut:

1. Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25

dpm.

2. Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm.

3. Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2

dpm.

4. Variabilitas berlebih(saltatory): amplitudo lebih dari

25 dpm.

Page 27: Makalah Ect & Ctg

27

g. Persiapan Pasien

a. Persetujuan tindak medik (Informed Consent) : menjelaskan indikasi, cara pemeriksaan

dan kemungkinan hasil yang akan didapat. Persetujuan tindak medik ini dilakukan oleh

dokter penanggung jawab pasien (cukup persetujuan lisan).

b. Kosongkan kandung kencing.

c. Periksa kesadaran dan tanda vital ibu.

d. bu tidur terlentang, bila ada tanda-tanda insufisiensi utero-plasenter atau gawat janin, ibu

tidur miring ke kiri dan diberi oksigen 4 liter / menit.

e. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan punktum

maksimum DJJ

f. Pemeriksaan Kardiotokografi :

1) Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera setelah

kontraksi berakhir..

2) Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah punktum

maksimum.

3) Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak, pencet bel

yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang dirasakan oleh ibu selama

perekaman CTG.

4) Hidupkan komputer dan Kardiotokograf.

5) Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang ingin

dicapai).

6) Lakukan pencetakkan hasil rekaman CTG.

7) Lakukan dokumentasi data pada disket komputer (data untuk rumah sakit).

8) Matikan komputer dan mesin kardiotokograf. Bersihkan dan rapikan kembali alat

pada tempatnya.

9) Beri tahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.

10) Berikan hasil rekaman CTG kepada dokter penanggung jawab atau paramedik

membantu membacakan hasi interpretasi komputer secara lengkap

Page 28: Makalah Ect & Ctg

28

BAB III

KESIMPULAN

Teknologi diartikan sebagai ilmu terapan dari rekayasa yang diwujudkan dalam

bentuk karya cipta manusia yang didasarkan pada prinsip ilmu pengetahuan. teknologi adalah

hal-hal yang baru yang belum diketahui, diterima dan digunakan banyak orang dalam suatu

lokasi tertentu baik berupa ide maupun berupa benda atau barang.

ECT (Electro Convulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatrik

dengan menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh

anestesi dengan menggunakan alat khusus. ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang

klonik yang dapat memberi efek terapi (therapeutic clonic seizure) setidaknya selama 15

detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya

dan mengalami rejatan.

CTG (CARDIOTOCOGRAPHY) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur

DJJ pada saat kontraksi maupun tidak. Jadi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada

CTG kontraksi ibu juga terekam dan kemudian dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan

diluar kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin akibat

fungsi plasenta yang sudah tidak baik.

Page 29: Makalah Ect & Ctg

29

DAFTAR PUSTAKA

Royal College of Psychiatrists Special Comitee on ECT. The ECT Handbook 2nd

Edition. 2004

Pridmore. Download of Psychiatry Chapter 28: Electro Convulsive Therapy.

Februari 2009

wir-nursing.blogspot.com/2011_03_01_archive.html

http://ners-blog.blogspot.com/2011/10/terapi-somatik-dan-psikofarmaka.html

http://www.fetal.freeserve.co.uk/ctg.html

http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2060372-pengertian-

teknologi-menurut-para-ahli/#ixzz27qFDcB00