15
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang selama operasi. Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia berat atau trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang menderita hemofilia atau penyakit sel sabit mungkin memerlukan transfusi darah sering. Awal transfusi darah secara keseluruhan digunakan, tapi praktek medis modern umumnya hanya menggunakan komponen darah. Donor unit darah harus disimpan dalam lemari es untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan memperlambat metabolisme sel. Transfusi harus dimulai dalam 30 menit setelah unit telah diambil keluar dari penyimpanan dikendalikan. Darah hanya dapat diberikan secara intravena. Karena itu membutuhkan insersi kanula sekaliber cocok.

Makalah Kelompok 3 Td

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Kelompok 3 Td

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis produk

dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi darah dapat

menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah besar karena

trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang selama operasi.

Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia berat atau

trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang menderita

hemofilia atau penyakit sel sabit mungkin memerlukan transfusi darah sering. Awal

transfusi darah secara keseluruhan digunakan, tapi praktek medis modern umumnya

hanya menggunakan komponen darah. Donor unit darah harus disimpan dalam lemari

es untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan memperlambat metabolisme sel.

Transfusi harus dimulai dalam 30 menit setelah unit telah diambil keluar dari

penyimpanan dikendalikan. Darah hanya dapat diberikan secara intravena. Karena itu

membutuhkan insersi kanula sekaliber cocok.

Sebelum darah diberikan, rincian pribadi pasien dicocokkan dengan darah

untuk ditransfusikan, untuk meminimalkan risiko reaksi transfusi. Kesalahan

administrasi merupakan sumber signifikan dari reaksi transfusi dan upaya telah

dilakukan untuk membangun redundansi ke dalam proses pencocokan yang terjadi di

samping tempat tidur.

Ada risiko yang terkait dengan menerima transfusi darah, dan ini harus

seimbang terhadap manfaat yang diharapkan. Reaksi samping yang paling umum

untuk transfusi darah adalah ''non-hemolitik demam reaksi transfusi'', yang terdiri dari

demam yang menyelesaikan sendiri dan tidak menyebabkan masalah abadi atau efek

samping. Reaksi hemolitik termasuk menggigil, sakit kepala, sakit punggung,

Page 2: Makalah Kelompok 3 Td

dispnea, sianosis, nyeri dada, takikardi dan hipotensi.

I.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil suatu permasalahan yang dihadapi

yakni mengenai reaksi transfusi darah.

I.3 Tujuan

Untuk mengetahui apa saja reaksi yang didapat saat transfusi darah.

Page 3: Makalah Kelompok 3 Td

BAB II

REAKSI TRANSFUSI

II. 1 REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK

Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius

dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi .

1. Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien. Hal ini bisa terjadi dengan cara :

a. Reaksi transfusi hemolitik segera

Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan masalah

yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang

dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi

sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor

(crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau

packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh frozen plasma (FFP),

trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperki-

rakan 1 : 250.000- 600.0002-4 .

Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular),

yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit

merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada

resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang antirhe-

sus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789

(membrane attack complex).

Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi

dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat terjadi in-

teraksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen

(inter-donor incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti

Page 4: Makalah Kelompok 3 Td

ini jarang sekali. AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan

komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-anti-

bodi akan mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes)

yang menghasilkan perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan

mengakibatkan lisis dari eritrosit. Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik,

dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas,

hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobin-

uria). Pada AHTR yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat

berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan

syok. Pada pasien yang masih mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC

merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya AHTR.

Tata laksana

Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus di-

lakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang

harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan

darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikos-

teroid (prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis.

Kejadian AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa

harus dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serolo-

gis. Selain dilakukan hidrasi, untuk mencegah terjadinya GGA dapat diberikan

dopamin dosis rendah (1 sampai 5 mcg/ kg/menit) dan diuretik osmotik berupa mani-

tol (100 ml/m2/bolus dan selanjutnya 30 ml/m2/hari yang diberikan tiap 12 jam) atau

furosemid (1 sampai 2 mg/kgBB). Jika dijumpai tanda DIC maka transfusi FFP, krio-

presipitat, dan/atau trombosit dapat dipertimbangkan.

Pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan adalah melakukan

crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch ini adalah mencocokkan jenis darah antara

resipien dan donor dengan melihat reaksi kompatabilitas yang ditimbulkannya. Pe-

meriksaan laboratorium yang lain adalah Direct Antiglobulin Test (DAT), investigasi

Page 5: Makalah Kelompok 3 Td

serologis (Rhesus, Kidd, Kell, Duffy), hemoglobinemia pada plasma, dan

hemoglobinuria pada analisis urin. Untuk mengetahui adanya komplikasi dari reaksi

hemolitik akibat transfusi sangat perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status

koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfir-

masi laboratorium bahwa telah terjadi reaksi hemolitik akut akibat transfusi dapat di-

lakukan dengan pemeriksaan Lactate Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan hap-

toglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin penting dilakukan jika dicurigai sepsis

b. Reaksi transfusi hemolitik lambat

Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang

respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah

terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat di-

lakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan

respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya

diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000.2-4,11 DHTR diawali dengan reaksi antigen-

antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ek-

stravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major in-

compatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien.

Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh

makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa

melibatkan komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut akan dibawa oleh

sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa. Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3

sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan

hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan di-

jumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memper-

lihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif.

Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi

jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang men-

galami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.

Page 6: Makalah Kelompok 3 Td

Tata Laksana

Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang spe-

sifik, dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian

transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain. Konfirmasi

pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan reaksi hemolitik akut

2. Lisis sel resipien oleh antibodi darah transfusi secara masif. Reaksi ini sering

terjadi akibat kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang label

atau membaca label pada botol darah. Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah

menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri

dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi, hemoglobinuri,

oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan ikterus.

Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan memerlukan

perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain. Tanda-tanda yang dapat

dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba

meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri. Diagnosis dapat ditegakkan dengan

adanya hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine menjadi coklat kehitaman sampai

hitam dan mungkin berisi hemoglobin dan butir darah merah.

Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika.

Cairan digunakan untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang

digunakan ialah :

a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti

pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.

b. Furosemid.

Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan

darah yang cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi

vasopressor. Selain itu penderita perlu diberi oksigen.

Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialisis.

Page 7: Makalah Kelompok 3 Td

Cara menghindari reaksi transfusi :

Untuk mengerjakan ini perlu dilakukan :

a. Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya darah donor dan resipien.

b. Memilih tips dan saringan yang tepat.

c. Pada transfusi darurat :

Banyak situasi terjadi dimana kebutuhan darah sangat mendesak sebelum

dilakukan pemeriksaan cocok tidaknya darah secara lengkap. Dalam situasi demikian

tidak perlu dilakukan pemeriksaan secara lengkap, dan jalan singkat untuk melakukan

tes bisa dikerjakan sebagai berikut :

1. Type-Specific, Partially Crossmatched Blood

Bila kita menggunakan darah “un-crossmatched”, maka paling sedikit harus

diperoleh tipe ABO-Rh dan sebagian “crossmatched”.

2. Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood.

Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka tipe ABO-Rh harus sudah

ditentukan selama penderita dalam perjalanan ke rumah sakit. O Rh-Negatif

(Universal donor) Uncrossmatched Blood Golongan darah O kekurangan antigen A

dan B, akibatnya tidak dapat dihemolisis baik oleh anti A ataupun anti B yang ada

pada resipien. Oleh sebab itu golongan darah O kita sebut sebagai donor universal

dan dapat digunakan pada situasi yang gawat bila tidak memungkinkan untuk

melakukan penggolongan darah atau “crossmatched”. Tetapi bagaimanapun juga

pemberian darah golongan inipun bukan tanpa resiko.

II. 2 REAKSI TRANSFUSI NON HEMOLITIK

1. Reaksi transfusi “febrile”. Tanda-tandanya adalah sebagai berikut :

Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual, batuk yang tidak produktif.

2. Reaksi alergi

a. “Anaphylactoid”. Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah

transfusi.

Page 8: Makalah Kelompok 3 Td

b. Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka

penderita sembab.

Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus disetop.

Alergi yang berat jarang terjadi dan ini kita sebut reaksi anafilaksis, dengan tanda-

tanda sebagai berikut : sesak nafas, hipotensi, edema larings, nyeri dada, dan shok.

Reaksi anafilaksis ini disebabkan karena transfusi IgA kepada penderita yang

kekurangan IgA dan telah terbentuk anti IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe

kerusakan sel darah merah, kejadiannya sangat cepat dan biasanya terjadi sesudah

mendapat transfusi darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita yang

menunjukkan tanda-tanda reaksi anafilaksis bila perlu mendapat darah, harus diberi

sel darah merah yang telah dibersihkan dari semua sisa donor IgA, atau dengan darah

yang sedikit mengandung protein IgA.

II. 3 REAKASI NON IMUNOLOGI

A. Reaksi transfusi “Pseudohemolytic”. Termasuk disini ialah lisis terhadap sel

darah merah tanpa reaksi antigen-antibodi. Hemolisis ini dapat terjadi akibat

obat, macam-macam keadaan penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan

dextrosa hipotonis, panas yang berlebihan dan kontaminasi bakteri.

B. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan.

C. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi

D.Virus hepatitis. Risiko terkena hepatitis sesudah transfusi merupakan keadaan

klinik yang penting. Tes untuk HBV (Hepatitis B Virus), penyaringan untuk

Non-A dan Non-B juga bisa mengurangi risiko terkena transmisi penyakit

tersebut (5,8,9).

E. Lain-lain penyakit yang terlibat pada terapi transfusi misalnya malaria,

sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta bakteri.

F. AIDS.

Page 9: Makalah Kelompok 3 Td

BAB III

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang

disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang disebabkan proses

imun terdiri dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi hemolitik lain yang bukan

merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian trans-

fusi pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada AHTR

transfusi harus dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi dapat dihentikan

atau diganti dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi pseudohemolitik,

tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab. Reaksi pseudo-hemolitik ini harus

dibedakan dengan reaksi hemolitik akibat transfusi. Pada saat terjadi reaksi transfusi,

juga harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan dengan

proses hemolitik atau nonhemolitik

DAFTAR PUSTAKA

WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL:

Page 10: Makalah Kelompok 3 Td

http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Handbook_EN.pdf

HTA. Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. Jakarta, 2003.