Upload
alemania-febriyantahutasuhut
View
12
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Salah satu
sarana untuk mencapai derajat kesehatan tersebut adalah dengan adanya layanan Rumah
Sakit. Rumah sakit adalah sebuah organisasi yang dituntut agar mampu mengelola
kegiatannya dengan mengutamakan tanggungjawab tenaga profesional bidang yang
dimiliknya, baik itu tenaga profesional kesehatan maupun non kesehatan. Dalam
menjalankan aktifitas pelayanannya, rumah sakit memiliki tenaga medis dan tenaga
keperawatan yang mempunyai uraian tugas dan kewenangan klinis yang jelas, demi
tercapainya layanan kesehatan yang bermutu dan profesional.
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan
kepadamasyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan
pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter
untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adlah ilmu pengetahuan,
teknologi dan kompetensi yang dimiliki melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang
dimilikinya harus terus menerus di pertahakan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan
ilmu pengaetahuan dan teknologi. Dokter dalam keilmuannya mempunyai karakteristik yang
khas. Kekhasannya terlihat dari pembenaran yang dibenarkan oleh hokum yaitu
diperkenakannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan manusia.
Maraknya tuntutan hokum yang diajukan masyarakat dewasa ini, menunjukkan
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu sejak berlakunya Undang-
undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar
menuntut, ataupun sebab lain yang seringkali diidentikkan dengan kegagalan dalam upaya
penyembuhan yang dilakukan dokter.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecanggihan system penyampaian
informasi, membuat masyarakat semakin mudah dan cepat mengakses informasi yang
1
mereka inginkan melalui internet. Pada zaman sekarang pasien dan keluarga pasien bisa saja
berdiskusi dengan Dokter tentang penyakitnya, hal ini dikarenakan biasanya sebelum
berkonsultasi ke dokter mereka sudah terlebih dahulu mencari informasi melalui internet
mengenai penyakit atau keluhan yang dirasanya. Dengan munculnya budaya seperti ini,
maka secara tidak langsung dokter harus selalu meningkatkan keilmuannya, karena pasien
akan semakin kritis dan gampang menuntut jika mereka tidak puas atau merasa tertipu.
Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya
kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang
kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu. Upaya meminimalkan tuntutan
hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah
terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti
seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien
Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) UU No. 23/1992 tentang
Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari penjelasan
pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif,
misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan. Akhir-akhir ini, perbincangan masalah yang
menyangkut profesi kedokteran dan bidang hukum semakin ramai dan menarik banyak minat
berbagai kalangan, khususnya orang-orang yang mempunyai kaitan dengan profesi hukum
dan kedokteran. Hal tersebut merupakan hal yang positif, dan sekaligus menunjukkan tingkat
kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat. Cara berpikir masyarakat menjadi
semakin kritis terhadap berbagai aspek kehidupan.
Banyak hal yang tadinya tidak menjadi pusat perhatian kini mencuat ke permukaan
dan menjadi sorotan masyarakat. Misalnya saja mengenai masalah malpraktik, yang
merupakan masalah hukum yang dihadapi dalam praktik kedokteran. Dalam pembicaraan
mengenai masalah malpraktik kita tidak hanya membicarakan masalah hukum dan praktik
kedokteran belaka, tetapi kitapun harus pula menyoroti hubungan timbal balik antara profesi
kedokteran dan masyarakat. Antara dokter dan pasien ada saling ketergantungan yang sangat
erat antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak masyarakat memerlukan kehadiran dokter
2
untuk menyembuhkan penyakitnya, sedang di pihak lain dokter dalam menjalankan
profesinya membutuhkan masyarakat. Bidang medis telah mengalami perkembangan yang
amat pesat. Melalui pengetahuan dan teknologi medis yang serba modern, diagnosis suatu
penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna sehingga pengobatan penyakit pun dapat
berlangsung secara lebih efektif dan efisien. Dengan peralatan dan obat-obatan kedokteran
yang modern, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan; bahkan hidup seorang pasien
pun dapat “diperpanjang” untuk waktu tertentu dengan bantuan alat-alat dan obat-obatan
tersebut. Demikian pula cepat atau lambatnya proses kematian seorang penderita, seolah-olah
dapat diatur oleh teknologi modern tersebut.
1.2 Rumusan masalah
Makalah ini akan membahas pertanggungjawaban hukum (medical liability) yang
dibebankan kepada seorang dokter terkait pelayanan praktik kedokteran
1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui hubungan hukum antara dokter, pasien dan penyedia
sarana kesehatan
b. Untu mengetahui bagaimana pertanggung jawaban hukum (Medical Liability)
yang diterima pasien akibat pelayanan kesehatan yang diberikan
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Aspek Hukum Medical Liability
Perlindungan hukum bagi pasien erat kaitannya dengan perlindungan konsumen yaitu
pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi
pasien dimaksudkan sebagai tindakan untuk melindungi pasien jika ada kelalaian maupun
kesalahan dokter ataupun tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik. Disebut
kelalaian medik karena kelalaian ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan
tindakan medik. Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan
tindakan medik, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan
karena akibat kesalahan ataupun kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat
merugikan.
Selain mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga
menimbulkan kerugian pada pasien. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya
untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik
maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat
pentingkarena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau
menimbulkan cacat yang permanen.
Sebagai bagian dari perlindungan hukum bagi pasien baik yang bersifat preventif
maupun represif dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pada Pasal 4 dinyatakan bahwa :
(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk
Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Presiden.
4
Berdasarkan penjelasan pasal di atas mengenai Konsil Kedokteran Indonesia bahwa
Konsil Kedokteran Indonesia terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi
yang memiliki fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter
gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
medis. Hal in penting untuk diketahui pasien terkait perlindungan hukumnya terutama dalam
fungsi pembinaan dari Konsil Kedokteran Indonesia karena erat kaitannya dengan
penyelenggaran praktik kedokteran baik oleh dokter maupun dokter gigi. Selain itu, pasien
merasa aman karena penyelenggaraan praktik kedokteran telah diawasioleh Konsil
Kedokteran Indonesia sehingga dokter maupun dokter gigi dalam menyelenggarakan
praktiknya lebih berhati-hati dan teliti.
Di Indonesia penyelesaian kasus kelalaian medik berdasarkan mediasi dapat
diselesaikan melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran bahwa :
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
atau dokter gigi.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga yang
berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan otonom
dari Konsil Kedokteran Indonesia yang menjalankan tugasnya bersifat independen.
Selanjutnya diperjelas lagi pada pasal 66 Undang-undang Nomor 29 tentang Praktek
Kedokteran yang berbunyi:
1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesi kedokterannya dapat
5
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia
2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Identitas Pengaduan
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan; dan
c. Alasan pengaduan
3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepeda pihak yang berenang dan atau menggugat kerugian perdata ke
pengadilan
Sesuai Pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan
akibat praktek kedokteran yang meraka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya
melalaui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang merupakan jalur non-
litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien atau keluarga pasien yang menduga telah
terjadinya kelalaian atas diri pasien tidak menutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh
jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana.
Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menangani
pengaduan masyarakat, sesuai dengan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Praktek Kedokteran: “ Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan dokter
dan dokter gigi”
Kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan,
kurangnya pengalaman dan pengertian serta mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya
tidak dilakukan. Apabila hal itu dilakukan oleh doker, baik dengan sengaja maupun karena
kelalaiannya dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kepada pasien, maka
pasien atau keluarganya dapat meminta tanggung jawab hukum (responsibility) pada dokter
yang bersangkutan.
6
Bentuk tanggung jawab hukum yang dimaksud disini meliputi tanggung jawab
hukum perdata, tanggung jawab hukum pidana, dan tanggung jawab hukum administrasi.
Jika pertanggungjawaban ini dibatasi pada hubungan hukum antara pasien dengan dokter
yang didasarkan pada suatu transaksi atau perjanjian terapeutik, keduanya dimata hukum
sama sederajat.
Untuk melihat lebih jelas dan terang tentang kesalahan (kesengajaan ataukelalaian),
adalah hal hal yang menyangkut tentang atau yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi terapeutik, yaitu pasien dan dokter.
Hak dan kewajiban tersebut meliputi :
1. Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia memberikan
persetujuan untuk menerima perawatan
2. Masalah persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan
3. Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang melaksanakan
perawatan. Hal ini banyak sekali hubungannya dengan masalah kealpaan dan
standar pelayanan medis
Di dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum
(liability) :
1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji
sebagaimana diatur dalam pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur
dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam bidang pidana, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi dapat dimintai tanggung
jawab pidana. Ketentuan yang dapat diterapkan adalah ketentuan yang terdapat dalam pasal
359, 360 dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pelanggaran dalam ketiga
ketentuan itu adalah tindakannya yang menyebabkan matinya orang atau luka karena
kehilafan.
7
Aspek hukum administrasi tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi disini dilihat dari
sudut kewenangannya, yaitu: Apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak
melakukan perawatan? Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan berbagai persyaratan, salah satu
persyaratan yang paling penting adalah izin dari Menteri Kesehatan RI. Dengan adanya izin
tersebut, barulah dokter yang bersangkut an berwenang melakukan tugas sebagai pelayan
kesehatan, baik pada instansi pemerintah maupun pada instansi swasta atau melakukan
praktek secara perorangan
2.2. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Tenaga Kesehatan
dalam Melaksanakan Tindakan Medik
Dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana salah satu
klausulanya menentukan bahwa yang merupakan salah satu prinsip pertangggungjawaban
karena kesalahan dalam perbuatan melawan hukum adalah termasuk perbuatan orang-orang
yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini didasarkan pada suatu teori yang dikenal
dengan nama “teori hubungan majikan dengan buruh” atau juga yang dikenal dengan istilah
doktrin respondeat superior.
Ditentukannya pertanggungjawaban majikan dalam pasal 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh bawahan untuk menjamin
kepastian berhasilnya ganti rugi. Penerapan doktrin respondeat superior ini mempunyai dua
tujuan pokok yaitu:
1. Adanya jaminan bahwa ganti rugi yang dibayar pada pasien yang menderita
kerugian akibat tindakan medik dokter
2. Hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter
Untuk mengajukan gugatan terhadap Rumah Sakit, dokter atau tenaga kesehatan
lainnya dengan alasan berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur
sebagai berikut:
8
1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodic kepada dokter
atau tenaga kesehatan yang bersangkutan
2. Majikan atau rumah sakit mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi yang
harus ditaati bawahannya
3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan
4. Adanya kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien
Berkaitan dengan tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan terutama
tanggung jawab hukum Rumah Sakit, dalam hal ini sebagai suatu badan hukum yang
memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa melalui dua cara:
1. Langsung sebagai pihak pihak pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi
2. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan
perundang-undangan melakukan perbuatan melawan hukum.
Hukum Perdata membedakan kategori Rumah Sakit selaku pihak tergugat (korporasi)
yaitu Rumah Sakit pemerintah dan Rumah Sakit swasta. Berkaitandengan Rumah Sakit
pemerintah, maka manajemen Rumah Sakit pemerintah, Dinas Kesehatan/ Menteri
Kesehatan dapat dituntut.
Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena pegawai yang
bekerja pada Rumah Sakit Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu
badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang
dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan untuk manajemen Rumah
Sakit swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam
hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia. Jika diamati dengan seksama maka
layanan yang diberikan oleh Rumah Sakit kepada pasien yang dirawat dapat dirinci menjadi:
a. Medical care (Pengobatan Kesehatan)
b. Nursing care (Keperawatan; hal-hal yang dilakukan perawat)
c. Supportive care (Penggunaan alat-alat penunjang medik dan nonmedik)
9
Untuk kesalahan yang menyangkut management error maka tanggung jawabnya
dibebankan kepada Rumah Sakit. Oleh sebab itu, Rumah Sakit dituntut untuk menerapkan
manajemen yang baik; seperti selalu melakukan control terhadap semua peralatan medik dan
nonmedik serta dengan teratur melaksanakan kalibrasi terhadap semua peralatan medik yang
menurut peraturannya wajib dikalibrasi. Untuk kerugian yang disebabkan oleh medical error,
sangat tergantung pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai
attending physician (mitra) maka Rumah Sakit berdasarkan prinsip umum tidak bertanggung
jawab atas kesalahan dokter, tetapi kedua belah pihak (Rumah Sakit dan dokter) dapat
membuat kesepakatan tersendiri yang di dalamnya meliputi pula pembagian presentase
tanggung gugat apabila pada suatu waktu harusmembayar ganti rugi.
Bila status dokter sebagai employee (agent/pekerja) maka berdasarkan doktrin
respondeat superior, tanggung gugatnya dapat dialihkan kepada Rumah Sakit sebagai
employer (bos/penyedia pekerjaan).
2.3. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi
pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar
dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan tanggungjawab
tidak seimbang itu, menyebabkan pasien yang karena keawamannya tidak mengetahui apa
yang terjadi pada waktu tindakan medik dilakukan, hal ini dimungkinkan karena informasi
dari dokter tidak selalu dimengerti oleh pasien.
Seringkali pasien tidak mengerti itu, menduga telah terjadi kesalahan/kelalaian,
sehingga dokter diminta untuk mengganti kerugian yang dideritanya. Yang seringkali
menjadi pendapat yang salah adalah bahwa setiap kesalahan/kelalaian yang diperbuat oleh
dokter harus mendapat gantirugi. Bahkan kadang-kadang kalau ada sesuatu hal yang diduga
terjadi malpraktek, maka dipakai oleh pasien sebagai kesempatan untuk memaksa dokter
membayar ganti rugi.
10
Pada penentuan bersalah tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus dibuktikan
terlebih dahulu dan ditentukan oleh hakim di Pengadilan. Masalahnya dokter sangat rentan
terhadap publikasi, sehingga seringkali dokter yang enggan menjadi sorotan di media massa,
membayar komplain pasien, tanpa melalui proses hukum. Kesalahan ini sering disalah
gunakan oleh pasien, menyebabkan dokter akan melindungi dirinya dengan berbagai cara
untuk menghindari gugatan dari pasien.
Salah satu cara yaitu dengan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yaitu
asuransi ; atau bekerja ekstra hati-hati. Pada gilirannya pasien juga yang rugi, karena biaya
pengobatan menjadi lebih besar dan pasien yang harus menanggung beban.
Sebenarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis,
merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan dan diketahui oleh para dokter pada
umumnya, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan dan kelalaian dapat menimbulkan
dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk memahami ada
tidaknya kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian
pelaksanaan profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi di samping
memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter
dengan pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik.
Kalau dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk
dalam ruang lingkup perjanjian (transaksi terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter
untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui
tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Perjanjian terapeutik memiliki sifat
dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan ciri perjanjian pada umumnya, karena
obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan “kesembuhan” pasien, melainkan mencari
“upaya” yang tepat untuk kesembuhan pasien.
Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian tentang “upaya” atau
disebut (Inspanings verbintenis ) bukan perjanjian tentang “hasil” atau disebut
11
(Resultaatverbintenis). Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara
lain karena ; pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati
sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua
belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber dari kepercayaan pasien terhadap
dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed
consent).
Di Indonesia informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 290/MENKES/PER/III/2008 Persetujuan tindakan medik
(informed consent) dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor
campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor
perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.
Sebab dalam konsep ini dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kesehatan
dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya
sesuai dengan standard profesinya. Jadi Seorang dokter dapat dikatakan melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi
kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang dimilikinya sesuai
dengan standard operasional (SOP).
2.4. Malpraktek dan kelalaian
Kamus Besar bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan
malapraktik yang diartikan dengan: “praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi
undang-undang atau kode etik”.
Malpraktek kedokteran adalah sebuah proses yang melibatkan kesalahan prosedur
penanganan seorang pasien yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang dimaksud
diantaranya adalah kesalahan pada diagnosa, kesalahan pemberian obat, kesalahan pemberian
terapi atau kesalahan penanganan pasien oleh dokter. Dalam semua kasus malpraktek
kedokteran, pasien tentu adalah pihak yang dirugikan.
12
Kerugian yang ditanggung tidak hanya secara materil, namun lebih dari itu bisa saja
berupa kerugian secara kejiwaan dan mental pasien beserta keluarga. Adami Chazawi
menyebutkan bahwa malpraktik medic terjadi kalau dokter atau orang yang ada di bawah
perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif)
dalam praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar
profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum
tanpa wewenang; dengan menimbulkan akibat (causal verband) kerugian bagi tubuh,
kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membentuk
pertanggungjawaban hukum bagi dokter.
a. Kelalaian medik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, kelalaian dari asal kata
lalai yang berarti “tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengindahkan
(kewajiban,pekerjaan,dsb.), lengah”. Dalam An Indonesian-English Dictionary 3th
Edition, Kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness.
Dalam kamus Hukum Edisi lengkap, terjemahan dari: culpa (Lat.) atau schuld
(Bld.), atau debt, guilt, fault (Ing.), yang artinya adalah “kekhilafan atau kelalaian
yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak pidana yang dapat
ditindak atau dituntut”.
Jenis kelalaian Menurut teori hukum pidana, kealpaan yang diartikan sebagai
suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja
mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Kealpaan ringan (culpa levissima)
2. Kealpaan berat (culpa lata)
Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati atau
sebaliknya, adalah dengan memperbandingkan tindakan seseorang tersebut dengan
tindakan orang lain. Terdapat dua kategori orang lain yang dimaksud, yaitu: (1).
Orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya, dan (2). Orang
yang memiliki kategori lebih. (Dr.Ari Yunanto). Unsur-unsur kelalaian. Untuk lebih
13
berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut J.guwandi, harus dipenuhi
4 (empat) unsur yang dikenal dengan nama 4-D, yaitu :
1. Duty to Use Due Care
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa
harus ada hubungan hukum antara dokter dan pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya
hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit
itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera
karenanya.
2. Deriliction (Breach of Duty)
Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/perawat rumah sakit harus bertindak
sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut
maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui
saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain.
Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan
kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa loquitur. Tolak ukur
yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat di
dalam situasi dan keadaan yang sama.
3. Damage (Injury)
Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah “cedera atau kerugian” yang
diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku
lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm)
kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah (injury) tidak saja dalam
benyuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat
(mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.
14
4. Direct Causation (proximate Cause)
Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktik medik, maka
harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat.
Perbedaan malpraktik medik dengan kelalaian medic Terminologi malpraktek medik
(malpraktic medic) dan kelalaian medic merupakan 2 hal yang berbeda. Kelalaian medic
memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik malpraktik medik tidak
hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga kerena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari
definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada
negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-
tindakan yang dilakukan dengan sengaja (international, dolus, opzettelijk) dan melanggar
undang-undang.
Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu:
(J.Guwandi : 1994)
Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara sadar,
dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak
ditimbulkan atau tidak perduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau
seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang
terjadi. Akibat yang timbul disebabkan kerena adanya kelalaian yang sebenarnya
terjadi di luar kehendaknya.
b) Tindakan medik
Tindakan medik adalah tindakan professional oleh dokter terhadap pasien dengan
tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau
mengulangi penderitaan (samsi Jacobalis : 2005 )
15
c) Risiko medik ( Untoward Result)
Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satu-
satunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. (Dr. Ari Yunanto :
2010) Kalimat di atas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan , bahwa di
dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidak sengajaan atau kesalahan
yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu,
untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang professional harus selalu
berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin
terjadi.
d) Kecelakaan Medik (medical mishap)
"Kecelakaan Medis" (medical mishap, misadventure, accident) adalah sesuatu yang
dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan, sehingga tidak dihukum. Kecelakaan
adalah lawan dari kesalahan, kecelakaan mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan
(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga
sebelumnya (voorzienbaarheid: Jonkers). (J.Guwandi : 2007) Asalkan kecelakaan ini
merupakan kecelakaan murni, dimana tidak ada unsur kelalaiannya. Hal ini disebabkan
karena didalam Hukum Medis yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana
sampai terjadinya akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting
untuk diketahui. Untuk itu dipakailah tolok ukur, yaitu Etik Kedokteran dan Standar Profesi
Medis. Sebagaimana diketahui Hukum Pidana pertama-tama melihat dahulu akibat yang
ditimbulkan, baru motif dari tindakan tersebut. (J.Guwandi : 2007)
Untuk itu kita mengambil salah satu kamus, yaitu :The Oxford Illustrated Dictionary
(1975)yang antara lain merumuskan "Kecelakaan" sebagai : Suatu peristiwa yang tak
terduga, tindakan yang tidak disengaja. Sinonim yang bisa disebutkan adalah : "accident,
misfortune, bad fortune, mischance, ill luck". Namun tentunya tidaklah semua "tindakan
yang tidak disengaja" termasuk kategori kecelakaan,
16
2.5. Malpraktek dan pertanggungjawaban hukumnya (medical liability)
Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum
menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering
berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita
jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan
hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga
masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang
seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap
pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa
salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai
pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat
bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran
hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran
didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan
hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya
bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.
Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang
diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena
kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter
akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang
pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak
memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada
yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter.
Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap dokter
dengan pasiennya.
17
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter
dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter.
Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak
pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan
pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam
pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan
ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi,
tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan
hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan
bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan
mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum
tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan
kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa
diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat
menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan
adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta
kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya
pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan
pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma
etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan
mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai
batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu
menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem
baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis.
Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni
tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan
melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu
kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus
diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.
18
Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi
yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat
terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh
pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
2.6.1. Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan
pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas
dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.
Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya
masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa
penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan
medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini
adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari
transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.
Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing
pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau
bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab
kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali
dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek.
2.6.2. Jenis Malpraktek
1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da
dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk dokter.
19
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari
kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk
mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat
sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak
diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara
lain :
Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek
etik ini antara lain :
Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan
bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan
janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter
kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan
yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa
mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi
terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi
yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.
2. Malpraktek Yuridik
20
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan
kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melaksanakannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
dalam pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi
beberapa syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter,
maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
21
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam
hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara.
Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien
tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga
pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus
membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
3. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga
kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan
terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
4. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan dokter yang tidak benar.
5. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi
serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
6. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang
hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
7. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
22
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau
izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.
Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang
dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini
merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam
KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang
melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat
dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum
pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak
harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam
Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang
dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau
menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang
melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu
pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena
arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan
23
sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan
menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat
luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap
pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut
tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial
(infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa
menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga
bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang
menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan
jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan
keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan
dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap
obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga
kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya
berbeda gradasi saja.
2.6. Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive,
diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan
hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat
dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk
menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang
hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal
hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia
24
saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran.
Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum
Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang
digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan
hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian
dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat
di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember
1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari
kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical
Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang
menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan
Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek
merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan
dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat.
Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan
pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang
diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan
budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang
sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di
Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi
(diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter
dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang
dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan
25
masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota
masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku
bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode
pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara
pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus
yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses
melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan
Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi
merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU
No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2)
yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini
bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana
Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama,
Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan
oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari
para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak
sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa
puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan
kepentingan pasien.
26
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal dari penelitian
ini, antara lain :
1) Perlindungan hukum bagi pasien dimaksudkan sebagai tindakan preventive
sekaligus represif dalam hal jika ada kelalaian maupun kesalahan dokter ataupun tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tindakan medik. Tindakan preventive dalam hal ini dapat
berupa pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan berupa pembinaan
maupun pengawasan terhadap dokter dan Rumah Sakit sedangkan tindakan represif berupa
tindakan yang dapat ditempuh jika dikemudian hari timbul sengketa melalui jalur non-litigasi
dengan mengadukan kasusnya melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesiaataupun melalui Lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa dan menempuh
jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana tanpa menutup kemungkinan untuk
menempuh kedua jalur tersebut baik litigasi maupun non litigasi secara sekaligus.
2) Rumah Sakit, baik yang dimiliki pemerintah ataupun swasta, merupakan organisasi
yang sangat kompleks. Di sarana kesehatan tersebut banyak berkumpul pekerja professional
dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula peralatan yang
digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu Rumah Sakit akan semakin kompleks pula
permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah gampang menentukan pembagian tanggung
gugatnya. Selain pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis, penyebab
terjadinya kerugian itu sendiri juga sangat menentukan sejauh mana Rumah Sakit dan tenaga
kesehatan harus bertanggung jawab.
4.2. Saran
Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran
sebagai berikut :
27
a. Bagi Rumah Sakit hendaknya menjalankan manajemen Rumah Sakit yang baik
khususnya untuk memperjelas mengenai tanggung jawab hukumnya. Tujuannya untuk
memudahkan pasien menentukan apakah tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter
tersebut merupakan kompetensinya atau merupakan tindakan yang berada dibawah
pengawasan pihak Rumah Sakit ;
b. Hendaknya bagi pasien mengetahui dengan jelas aturan atau payung hukum yang
melindunginya dan dibutuhkan ketelitian serta kemauan oleh pasien untuk lebih aktif dalam
penyembuhan kondisi kesehatannya ;
c. Bagi dokter hendaknya menjalankan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana
mestinya untuk menghindari ataupun mengurangi terjadinya kelalaian medik.
28
Daftar pustaka
Crowley, Ryan. 2014. Medical Liability Reform: Innovative Solutions for a New Health Care
System. Philadelphia: American College of Physicians; Policy Paper. (Available
from American College of Physicians, 190 N. Independence Mall West,
Philadelphia, PA 19106.)
Kayus Koyowuan Lewloba. 2008. “Malpraktek dalam pelayanan Kesehatan (Malpraktek
Medis)”. Bina Widya. Vol 19, No.3. Jakarta
Wahyudi, Setya. 2011. Tanggung jawab Rumah Sakit terhadap Kerugian akibat Kelalaian
Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Jurnal Dinamika Hukum. Vol.11 No.3.
Semarang
Bahder Johan Nasution,(2005). Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta
Siti Kemala Rohima. 2013. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Terhadap Kelalaian Tenaga
Kesehatan ( Dokter ) Dalam Melaksanakan Tindakan Medik Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku
Pradana, Firmansyah. 2014. Perlindungan Hukum terhadap Korban Malpraktik Medik yang Dilakukan oleh Dokter di Kota Makasar. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makasar
29