14
153 METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN FALS: KAJIAN EKOLINGUISTIK (METAPHORS IN IWAN FALS’ SOCIAL CRITICS SONGS: ECOLINGUISTICS STUDY) Mutia Mawaddah Rohmah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Limau Manis, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatra Barat, Indonesia Pos-el: [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas metafora dalam lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan. Studi ini didasari atas teori ekolinguistik dengan tujuan melakukan analisis mendalam untuk melihat keterhubungan antara ekologi (lingkungan) dan bahasa. Permasalahan dalam penelitian ini dijawab dan dijelaskan dengan memanfaatkan ancangan deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metafora yang ditemukan dalam lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan terbentuk berdasarkan sifat alamiah dari masing-masing entitas (dimensi biologis). Sifat alamiah yang dijadikan sebagai ranah sumber dipetakan pada ranah target berupa manusia dengan segala aktivitasnya membentuk suatu pemahaman baru dan memperkaya perbendaharaan kosakata. Keterhubungan antara kedua ranah tersebut terekam dalam kognisi penggunanya dalam tataran dimensi ideologis yang kemudian dipahami oleh masyarakat dalam tataran dimensi sosiologis. Keseluruhan pemaknaan tersebut membentuk suatu relasi yang kuat antara bahasa dan lingkungan. Kata kunci: metafora, dimensi ideologis, dimensi sosiologis Abstract This study discusses the metaphors in Iwan Fals’ social critics songs. With ecolinguistics study, this research aims at describing the interrelationship between ecology (environment) and language. The problem in this study is answered and explained by utilizing a descriptive-qualitative approach. The results shows that metaphors found in Iwan Fals’ songs were formed based on the nature of each entity (biological dimension). The nature used as the source domain was mapped to the target domain referred to human beings with all their activities forming a new understanding and an enrichment of vocabulary. The connection between the two domains were recorded in the language users’ cognition at the ideological dimension which is then understood by the society at the sociological dimension. The whole meaning from bio-, ideo- and socio-dimensions constructs a strong relationship between language and environment. Keywords: metaphor, ideological dimension, sociological dimension

METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

153

METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN FALS: KAJIAN EKOLINGUISTIK

(METAPHORS IN IWAN FALS’ SOCIAL CRITICS SONGS: ECOLINGUISTICS STUDY)

Mutia Mawaddah RohmahFakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Limau Manis, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatra Barat, IndonesiaPos-el: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas metafora dalam lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan. Studi ini didasari atas teori ekolinguistik dengan tujuan melakukan analisis mendalam untuk melihat keterhubungan antara ekologi (lingkungan) dan bahasa. Permasalahan dalam penelitian ini dijawab dan dijelaskan dengan memanfaatkan ancangan deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metafora yang ditemukan dalam lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan terbentuk berdasarkan sifat alamiah dari masing-masing entitas (dimensi biologis). Sifat alamiah yang dijadikan sebagai ranah sumber dipetakan pada ranah target berupa manusia dengan segala aktivitasnya membentuk suatu pemahaman baru dan memperkaya perbendaharaan kosakata. Keterhubungan antara kedua ranah tersebut terekam dalam kognisi penggunanya dalam tataran dimensi ideologis yang kemudian dipahami oleh masyarakat dalam tataran dimensi sosiologis. Keseluruhan pemaknaan tersebut membentuk suatu relasi yang kuat antara bahasa dan lingkungan.

Kata kunci: metafora, dimensi ideologis, dimensi sosiologis

Abstract

This study discusses the metaphors in Iwan Fals’ social critics songs. With ecolinguistics study, this research aims at describing the interrelationship between ecology (environment) and language. The problem in this study is answered and explained by utilizing a descriptive-qualitative approach. The results shows that metaphors found in Iwan Fals’ songs were formed based on the nature of each entity (biological dimension). The nature used as the source domain was mapped to the target domain referred to human beings with all their activities forming a new understanding and an enrichment of vocabulary. The connection between the two domains were recorded in the language users’ cognition at the ideological dimension which is then understood by the society at the sociological dimension. The whole meaning from bio-, ideo- and socio-dimensions constructs a strong relationship between language and environment.

Keywords: metaphor, ideological dimension, sociological dimension

Page 2: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

154

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

1. PendahuluanFill dan Mühlhäusler (2001:45) men definisikan

ekolinguistik sebagai salah satu kajian dalam ilmu linguistik yang mencari keterhubungan antara ekosistem yang menjadi bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Kajian eko-linguistik pada awal kemunculannya dinamakan sebagai kajian ‘ekologi bahasa’ berupa sebuah paradigma baru yang mencoba melihat keter-hubungan antara ekologi dan linguistik. Paradigma ini diperkenalkan oleh Einar Haugen pada tahun 1972 dalam tulisan yang bertajuk Ecology of Language. Menurut Haugen,

“Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment” (1972, dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:57). Haugen menyatakan bahwa dalam kajian

ekologi bahasa terjadi interaksi antara bahasa dengan lingkungan bahasa tersebut. Pada hakikatnya, Haugen (1972) menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yaitu lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa tertentu sebagai salah satu kode bahasa yang mereka gunakan (lihat Fill dan Mühlhäusler, 2001:3). Dalam hal ini, Haugen melihat bahwasanya terdapat analogi antara bahasa dan lingkungan dalam pembentukan metafora berupa ‘metafora ekologi’ yang hadir di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan orientasi Haugen (1972) tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis keterhubungan yang terjadi antara bahasa dan lingkungan yang dimaknai secara metaforis. Pemilihan ini didasari pada fakta Haugen (1972 dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:3) pada awal penelitiannya terkait dengan penggunaan paradigma ekologi bahasa melihat bahwasanya adanya hubungan timbal balik antara bahasa dan lingkungan dalam penciptaan metafora. Pada hakikatnya, metafora-metafora tersebut terbentuk atas hasil perbandingan antara khazanah lingkungan dengan realitas kehidupan manusia yang diekspresikan dalam bentuk metafora. Perbandingan tersebut diambil dari khazanah ekologi yang berada dalam lingkungan masyarakat bahasa yang berasal dari kekayaan flora, fauna beserta seluruh entitas yang berada pada ling-

kungan ekologi bahasa tersebut. Selain itu, metafora juga memiliki ke-

mampuan untuk memahami sesuatu hal melalui sesuatu hal lain yang sumber inspirasinya banyak dibangun melalui rekonstruksi leksikal yang bersumber dari alam (Oktavianus dan Revita, 2013). Bahkan secara luas, metafora mampu merefleksikan apa yang dipikirkan, di­alami, dan dirasakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (Lakoff dan Johnson, 2003:3). Melalui kemampuannya tersebut dapat disimpulkan bahwa metafora mampu merepresentasikan realitas sosial dengan memanfaatkan kekayaan lingkungan yang ada di sekitarnya.

Penelitian tentang keterkaitan bahasa, khususnya metafora dengan lingkungan pernah dilakukan oleh Mahnaz (2015). Penelitian ini menitikberatkan kajiannya pada analisis ekometafor yang ditemukan dalam berbagai ekspresi kemarahan dari berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda. Tema ini diangkat atas kepercayaan para linguis bahwasanya bahasa-bahasa yang ada di dunia dan lingkungannya saling berhubungan dalam membentuk suatu ciri kebahasaan yang dalam hal ini berbentuk ekspresi kemarahan. Berbagai ekspresi tersebut diambil dari bahasa Inggris Amerika, Spanyol, Mandarin, Jepang, Hungaria, Akan, Persia, Tunisia, dan bahasa Arab.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan Ardiel (2017). Ia menganalisis penggunaan leksikon dalam tradisi Maambiak Ari Bercocok Tanam Padi di Nagari Joho, Kabupaten Tanah Datar. Hasil penelitian ditemukan bahwasanya prosesi Maambiak Ari Bercocok Tanam Padi dimaknai sebagai bentuk pengharapan untuk mendapatkan berkah dan kelancaran bercocok tanam padi (dimensi ideologis). Selanjutnya, padi yang dianggap sebagai simbol utama perekonomian keluarga merupakan pemaknaan leksikon-leksikon dalam tradisi Maambiak Ari Bercocok Tanam Padi dari dimensi sosiologis. Melalui dimensi biologis, bentuk penamaan leksikon dalam tradisi Maambiak Ari Bercocok Tanam didasari pada sifat tumbuh-tumbuhan.

Berbeda dengan kedua penelitian sebelumnya, penelitian ini mengambil objek penelitain berupa metafora ekologi yang berasal dari 20 lagu Iwan Fals bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan. Pemilihan lagu Iwan Fals sebagai objek penelitian karena Iwan Fals dalam menciptakan lagunya

Page 3: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

155

banyak menggunakan metafora yang berkaitan dengan kata-kata yang berasal dari lingkungan alam Indonesia. Selanjutnya, metafora tersebut juga merefleksikan kitik sosial dan kemanusiaan yang terjadi di negeri ini tidak seperti lagu-lagu sekarang yang lebih banyak bercerita tentang masalah perasaan dan cinta. Metafora sebagai data dalam penelitian ini berasal dari laman YouTube Indo Music Platinum yang telah ditonton sebanyak 9.164.777 kali.

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menjelaskan makna yang terkandung pada tiap-tiap metafora dan (2) mendeskripsikan keterhubungan metafora terkait dengan kehidupan sosial politik dan kemanusiaan bangsa Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat ber-manfaat untuk pengembangan kajian linguistik, khususnya ekolinguistik. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tambahan tentang kekayaan ungkapan metaforis dalam bahasa Indonesia yang dapat dihubungkan dengan kekayaan alam bangsa Indonesia. Di samping itu, penelitian ini diharapkan mampu untuk mendorong masyarakat Indonesia, khu-susnya generasi muda untuk mempelajari dan memaknai ungkapan penuh makna yang sarat akan pembelajaran mengenai realitas kehidupan dalam penggunaan metafora, baik yang terdapat dalam bahasa nasional maupun pada berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia. Akhirnya, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan manfaat yang berarti untuk menambah pengetahuan peneliti, pembaca, dan sebagai inventaris bagi khazanah bahasa, budaya, dan lingkungan.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti terkait metafora dalam lirik lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan, penelitian ini digolongkan kepada jenis penelitian deskriptif. Menurut Sudaryanto (1992:62), istilah deskriptif merujuk kepada penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pa-da fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga dihasilkan perian bahasa berbentuk potret; paparan seperti apa adanya. Penggunaan analisis deskriptif dalam penelitian ini memanfaatkan pendekatan kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah deskriptif kualitatif. Pemilihan ini didasari pada kecenderungan penelitian kualitatif yang mengarah pada penelitian dalam konteks sosial yang dalam hal ini berhubungan dengan bahasa

manusia. Pada tahap pengumpulan data, metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Metode tersebut merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 2018:203). Metode simak ini digunakan karena dalam pengumpulan data, peneliti melakukan penyimakan terhadap penggunaan bahasa yang terdapat dalam lirik lagu Iwan Fals yang mengandung metafora ekologi. Di dalam pengumpulan data terdapat teknik dasar dan teknik lanjutan.

Teknik dasar pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah teknik sadap dengan teknik simak bebas libat cakap (SBLC) sebagai teknik lanjutan. Dalam melaksanakan teknik SBLC, penulis menyimak terhadap pemakaian bahasa guna mendapatkan data-data lingual dengan tidak terlibat dalam data. Selain penggunaan teknik lanjut SBLC, peneliti juga menggunakan teknik lanjutan kedua berupa teknik catat. Pencatatan dilakukan terkait metafora ekologi yang diperoleh dari ‘20 Lagu Terbaik Kritik Sosial dan Kemanusiaan Iwan Fals’.

Pada tahap analisis data, peneliti meng-gunakan metode padan. Menurut Sudaryanto (2018:15), metode padan merupakan metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Metode padan memiliki teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu (PUP). Teknik ini mengandalkan daya pilih mental yang dimiliki peneliti yang keseluruhannya diperoleh dari aspek ekstralingual (Sudaryanto, 2018:25). Pemaknaan atas metafora tersebut didasari atas intuisi peneliti terkait fakta-fakta yang ada di lapangan sehingga hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik hubung banding menyamakan (HBS). Secara detail, teknik lanjut HBS digunakan peneliti untuk melakukan perbandingan antara ranah sumber dan ranah target untuk mengeksplorasi kesamaan makna di balik penggunaan metafora tersebut jika dikaitkan dengan realitas sosial. Pada tahap akhir, peneliti menggunakan teknik lanjut pilah referensial. Alat penentu teknik lanjut ini adalah segala sesuatu yang ditunjuk oleh bahasa. Fenomena-

Page 4: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

156

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

fenomena tersebut didominasi oleh faktor-faktor yang berada di luar bahasa itu sendiri. Dalam penelitian ini, fenomena-fenomena yang datang dari luar bahasa berhubungan dengan lingkungan di mana bahasa itu digunakan.

Hasil analisis penelitian ini akan disajikan dengan menggunakan metode informal (Sudaryanto, 2018:241). Metode informal memanfaatkan pe-rumusan kata-kata dalam memaparkan hasil analisis data. Meskipun demikian, pemaparan tersebut menggunakan terminologi yang bersifat teknis. Dalam penyajian hasil analisis data, penulis juga menggunakan tabel untuk memaparkan hasil penelitian secara komprehensif.

2. Kerangka TeoriKata ‘ekologi’ berasal dari bahasa Yunani

yaitu oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal (Fill dan Mühlaüsler, 2001:94). Oleh karena itu, secara harfiah ekologi merupakan kajian terkait segala macam bentuk serta ciri dari makhluk hidup maupun makhluk tak hidup yang ada di muka bumi ini tanpa terkecuali. Menurut KBBI (2014:354), ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan alam sekitarnya. Definisi tersebut disederhanakan oleh Mackey (1980 dalam Fill dan Mühlhaüsler, 2001:67) dalam bukunya yang berjudul The Ecology of Language Shift, yaitu ekologi didefinisikan sebagai kajian mengenai saling ketergantungan entitas-entitas dalam suatu sistem. Oleh sebab itu, dalam kajian ekologi bahasa konsep ekologi digunakan untuk memadupadankan lingkungan, interaksi, dan sistem dalam suatu bahasa. Keterhubungan antara ekologi dan bahasa dilihat dari interaksi antara ekosistem yang menjadi bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik).

Selang beberapa dekade, ragam penelitian terkait aplikasi dari konsep ekologi dalam linguistik meluas secara dramatis. Kajian pragmatik, analisis wacana, antropolinguistik, pengajaran bahasa, dan berbagai kajian lainnya menemukan kegunaan dari parameter ekologi, seperti ‘keterhubungan’, ‘keberagaman’, dan ‘lingkungan’ dalam kajian linguistik secara

luas. Pada awal tahun 1990-an, para ahli bahasa mengupayakan penyatuan kajian bahasa dengan ekologi secara bersamaan dalam satu kajian yang disebut ‘ekolinguistik’. Pada saat itulah penggunaan istilah ‘ekolinguistik’ dan berbagai penelitian ragam ekolinguistik berkembang dalam dunia linguistik.

Menurut Fill (1993, dalam Lindø dan Simonsen, 2000:40) menyatakan bahwa:

“Ecolinguistics is an umbrella term for [...] all approaches in which the study of languages is in any way combine with ecology”.Melalui definisi tersebut secara umum,

ekolinguistik didefinisikan sebagai sebuah teori yang memayungi semua penelitian kebahasaan dalam hubungannya dengan ekologi atau ling-kungan. Terkait dengan lingkungan bahasa tersebut, berikut gagasan para ahli terkait lingkungan tersebut.

Tokoh Lingkungan Bahasa

Sapir (1912)Fisik Sosial

Haugen (1972)PsikologisSosiologis

Bang dan Døør (1996)

Ideologis

SosiologisBiologis

Tabel 1 Lingkungan Bahasa

Dari tabel tersebut, peneliti menganggap bahwa lingkungan bahasa yang digagas oleh Bang dan Døør (1996) mampu membaca keseluruhan hubungan antara bahasa dan lingkungan dari fenomena-fenomena kebahasaan, baik dari dimensi biologis, dimensi ideologis, maupun dimensi sosiologis.

Ketiga dimensi tersebut dalam kajian ekolinguistik disebut sebagai teori dialektikal sosial praksis yang juga dikenal dengan istilah The three dimensionality of social praxis (Bang & Døør, 1995 dalam Bundsgaaard dan Sune 2000:10). Perwujudan dari teori sosial praksis yang terdiri atas dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis terlihat melalui gambar berikut.

Page 5: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

157

Gambar 1 Teori Dialektikal Sosial Praksis

(Sumber: Bang & Door, 1995 dalam Lindø & Jeppe, 2000: 10 )

Menurut Bang & Døør (1995), teori sosial praksis yang kemudian dikembangkan oleh Bundsgard dan Sune (2000:11) diasosiasikan dalam bentuk, yaitu 1) dimensi ideologis yang dipahami sebagai bentuk pemikiran dalam suatu masyarakat sebagai hasil dari mental individu, mental kolektif, kognitif, sistem ideologi, dan sistem psikis seseorang yang terefleksikan melalui bahasanya, 2) dimensi sosiologis menggambarkan bahasa sebagai wujud praktik sosial masyarakat dalam membangun, menjalin, dan memelihara hubungan antarsesama manusia, dan 3) dimensi biologis dikaitkan dengan keterhubungan manusia dengan keanekaragaman flora, fauna, dan entitas lain yang ditemukan pada lingkungan guyub tutur tertentu.

3. Hasil dan PembahasanMetafora yang ditemukan pada 20 lagu

Iwan Fals terdiri atas beberapa kategori, yaitu (1) keadaan (being), (2) kosmos (cosmos), (3) kekuatan (energy), (4) substansi (substance), (5) terestrial (terrestrial), (6) objek (object), (7) kehidupan (living) dan (8) bernyawa (animate). Keseluruhan metafora yang mewakili setiap kategori dijadikan sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada manusia dengan segala aktivitasnya sebagai ranah target. Proses pemetaan silang antara ranah sumber dan ranah target terekam dalam kognitif masyarakat tutur berdasarkan dimensi biologis, ideologis, dan sosiologis.

Pada pembahasan ini tidak semua metafora yang dijadikan ranah sumber akan dijabarkan

secara detail. Satu dari setiap kategori metafora akan mewakili pembahasan sehingga akan ada sembilan metafora yang akan mewakili masing-masing kategori medan makna (Wahab, 1991:78--82). Alasan pemilihan wakil dari setiap kategori tersebut dalam pembahasan ini karena metafora-metafora tersebut adalah metafora yang sering digunakan dalam pertuturan, baik dalam karya sastra seperti lagu, interaksi sosial maupun komunikasi sehari-hari.

Data 1

Robohkan setan yang berdiri mengangkang (Bongkar, 1989)Pada penggalan lirik lagu tersebut terdapat

metafora berupa setan. Dalam pemahaman ajaran Islam, setan merupakan makhluk pertama yang membangkang terhadap aturan dan perintah Allah. Setan berasal dari kata َنُطُشْی (syaṭana) yang artinya ‘merenggang, menjauh, dan yang amat jauh’ (Hermawan, 2018:4). Dikatakan demikian karena setan jauh dari kebenaran dan jauh dari rahmat Allah. Hal tersebut melekat kepada setan karena mahkluk ini memiliki sifat jahat serta mampu mempengaruhi manusia untuk melakukan perkara yang buruk dan mungkar. Berdasarkan definisi tersebut, kehadiran setan sendiri begitu dekat dengan kehidupan manusia. Setan adalah roh jahat yang selalu menggoda manusia untuk berlaku jahat.

Sifat setan yang dimiliki oleh manusia menyebabkan kata setan dijadikan sumber inspirasi dalam berbahasa (dimensi biologis). Berdasarkan hasil pengamatan manusia terhadap sifat tersebut, hadirlah penggunaan metafora dari kata setan tersebut. Penggunaan ini dihasilkan atas dasar pengamatan indrawi manusia yang melihat kenyataan bahwa setan menjadi makhluk yang selalu menggoda manusia agar berlaku jahat. Melalui pengamatan tersebut, metafora setan diartikan sebagai orang yang memiliki perilaku buruk dalam artian tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Namun, berdasarkan konteks tersebut merujuk kepada pemimpin Indonesia. Pemaknaan tersebut terlihat pada penggalan lirik lagu berikut:

Sabar sabar sabar dan tunggu

Itu jawaban yang kami terima

Ternyata kita harus ke jalan

Page 6: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

158

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

Robohkan setan yang berdiri mengangkang (Bongkar, 1989)Penggalan lirik lagu tersebut

mengggambarkan pengalaman penyair tentang penguasa bangsa Indonesia yang tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Pemaparan tersebut membentuk metafora setan dapat diartikan sebagai pemimpin yang jahat dan zalim karena tidak pernah menaruh belas kasihan dan tidak berlaku adil terhadap rakyatnya. Pemaknaan tersebut muncul atas dasar persamaan sifat yang dimiliki antara setan sebagai ranah sumber terhadap ranah target manusia. Berdasarkan persamaan tersebut, berikut titik kemiripan antara kedua entitas tersebut.

SETAN PEMIMPINMakhluk yang menggoda manusia untuk berbuat jahat

Sosok pemimpin yang berlaku jahat, zalim dan tidak adil kepada rakyatnya

Pemahaman karakter biologis setan yang memiliki sifat jahat dan suka menggoda manusia (dimensi biologis) terekam dalam kognitif masyarakat pada tataran dimensi ideologis. Dari pemahaman tersebut, terbentuklah metafora setan yang dipahami sebagai suatu bentuk penjelmaan dari sifat manusia yang berperilaku layaknya setan. Perumpamaan tersebut lahir atas dasar persamaan sifat yang dimiliki setan dan manusia. Dalam kehidupan sosial masyarakat, penjelmaan pemimpin yang memiliki sifat layaknya setan sangat tidak disukai oleh rakyat Indonesia. Kehadiran pemimpin seperti itu sangat tidak diharapkan untuk memimpin bangsa Indonesia (dimensi sosiologis).

Data 2

Cepatlah besar matahariku (Galang Rambu Anarki, 1982)Pada penggalan lirik lagu tersebut terdapat

metafora berupa matahari. Benda angkasa tersebut merupakan titik pusat dari tata surya. Dilihat dari bentuk, matahari berbentuk nyaris bulat dengan diameter sekitar 1.392.684 km atau kira-kira 109 kali diameter bumi dan massanya sekitar 2 x 1030 kg, atau 330.000 kali massa bumi. Massa tersebut bahkan mewakili kurang lebih 99.86% massa total tata surya. Cahaya terang matahari setara dengan 85%

cahaya bintang di galaksi Bima Sakti serta massa matahari yang mendominasi total massa tata surya menyebabkan kehadirannya begitu terasa penting dan menjadi sesuatu hal yang besar, khususnya bagi manusia (Than, 2006). Selain itu, jarak yang terbentang jauh antara matahari dan bumi dengan jarak rata-rata 149.6 juta kilometer meyebabkan benda langit tersebut dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat jauh untuk dijangkau.

Keseluruhan ciri fisik yang dimiliki ma­tahari tersebut memiliki kesamaan dari ciri fisik dari ‘sebuah pengharapan’ yang biasanya didefinisikan sebagai sesuatu yang ingin diraih (merujuk kepada jarak matahari), sesuatu keinginan yang lebih besar dari apa yang telah ada sebelumnya (merujuk kepada massa matahari), dan sesuatu hal yang dianggap dapat mengubah kehidupan menjadi lebih baik (merujuk kepada manfaat cahaya matahari yang diperoleh bumi untuk kelangsungan hidup umat manusia). Oleh sebab itulah, muncul metafora yang memanfaatkan matahari sebagai ranah sumber yang merujuk kepada ‘pengharapan manusia akan sesuatu hal’.

Pemaknaan metafora matahari sebagai pengharapan juga lahir atas dasar kepercayaan manusia yang menjadikan matahari sebagai dewa. Sepanjang peradaban manusia, matahari telah menjadi simbol penting di berbagai ke-budayaan dan kepercayaan umat manusia, seperti dalam kebudayaan Mesir Kuno, Ra atau Re dikenal sebagai dewa matahari yang tinggal di langit untuk mengawasi dunia (Nesta, 2011). Dalam mitologi India, matahari disebut sebagai dewa surya. Dewa tersebut dianggap memegang keseimbangan di muka bumi. Negara Jepang dikenal sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Shintoisme yang para penganutnya menyembah dewi matahari bernama Amaterasu. Sebagai penyembah matahari, Jepang memiliki julukan sebagai Negara Matahari Terbit. Sebagai bentuk yang disembah, tentunya eksistensi matahari bagi beberapa kepercayaan mampu memberikan nilai-nilai pengharapan bagi ke-hidupan manusia itu sendiri. Melalui deskripsi tersebut pulalah, matahari dimaknai sebagai ‘pengharapan’ manusia. Pemaknaan tersebut lahir atas dasar pengamatan manusia terhadap ciri fisik dan perlakuan manusia terhadap matahari

Page 7: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

159

sendiri (dimensi biologis). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, hadirlah penggunaan metafora matahari.

Iwan Fals juga menggambarkan matahari sebagai sebuah pengharapan yang ia tujukan kepada pemuda pemudi bangsa Indonesia. Kehadiran mereka sebagai penerus bangsa menjadi peng-harapan besar agar bangsa Indonesia kelak dapat berubah menjadi bangsa yang lebih baik, yaitu keadilan dan kemakmuran dapat dicapai. Pengharapan tersebut Iwan Fals wujudkan dalam lagu yang ia buat khusus untuk anak pertamanya, Galang Rambu Anarki, sebagai berikut:

Galang Rambu Anarki anakku

Cepatlah besar matahariku

Menangis yang keras jangan ragu

Tinjulah dunia buah hatiku

Doa kami di nadimu (Galang Rambu Anarki:1982)Dari deskripsi tersebut, berikut titik kemiripan

antara matahari sebagai ranah sumber dari bentuk ‘pengharapan’ manusia.

MATAHARI PENGHARAPANMerujuk kepada benda langit yang sulit diraih, merujuk kepada sesuatu hal yang besar, menyinari bumi dengan cahayanya, serta menjadi salah satu entitas yang disembah oleh manusia

Merujuk kepada sesuatu hal yang sulit dicapai, membutuhkan usaha yang besar untuk diraih, menjadi semangat untuk kehidupan serta pengharapan menjadi ‘jiwa’ manusia sepanjang hidupnya

Berdasarkan pengamatan manusia terdapat kesamaan ciri dan karakter yang ada pada matahari yang dianggap sebagai ‘benda angkasa yang jauh, besar, memancarkan sinar dan dapat dipercaya (dimensi biologis) matahari dimetaforakan layaknya ‘pengharapan manusia’. Perumpamaan tersebut lahir atas dasar persamaan ciri dan karakter yang dimiliki matahari dan ‘harapan manusia’. Kesamaan tersebut terekam dalam kognitif masyarakat Indonesia pada tataran dimensi ideologis. Dalam kehidupan sosial masyarakat, harapan merupakan suatu bentuk jiwa dan semangat hidup yang dimiliki manusia (dimensi sosiologis). Dalam konteks itu, jiwa dan semangat tersebut Iwan Fals

ciptakan dalam perwujudan sang anak Galang Rambu Anarki yang secara umum ditujukan untuk para generasi muda bangsa Indonesia sebagai penyambung estafet kehidupan bangsa yang lebih baik.

Data 3

Hujan air mata dari pelosok negeri (Bung Hatta, 1981)Penggalan lirik lagu pada data (3) terdapat

metafora berupa hujan air mata. Metafora tersebut terdiri unsur pusat hujan dan frasa nomina penjelas air mata. Secara leksikal, hujan adalah sebuah peristiwa presipitasi (jatuhnya cairan dari atmosfer ke permukaan bumi) berwujud cairan dalam bentuk tetes-tetes air karena proses pendinginan. Sebelum hujan turun, awan akan berubah menjadi mendung berwarna abu-abu atau kehitaman. Hal ini terjadi karena kondisi langit saat akan turun hujan tertutup awan dari kondensasi uap air dan partikel debu.

Langit yang mendung tersebut menurut beberapa studi menyebabkan perasaan manusia menjadi galau, sendu, bahkan sedih. Penelitian terkait hubungan hujan dengan perasaan manusia yang dilakukan di Amerika dan Eropa menyatakan bahwa ketika awan mendung dan mulai turun hujan, intensitas cahaya yang diterima oleh tubuh jauh lebih sedikit dibandingkan ketika cuaca cerah. Sedikitnya cahaya yang masuk ke mata diterima sebagai sinyal oleh otak dan melewati bagian otak yang disebut hipotalamus yang mengontrol beberapa proses dalam tubuh manusia, seperti tidur dan suasana hati (mood). Dari hipotalamus, sinyal dikirim ke glandula pineal yang dalam kondisi kurang cahaya akan memproduksi banyak hormon melatonin. Hormon inilah yang mendorong seseorang menjadi lebih mudah mengantuk dan melamun (Vina, 2016). Keterhubungan hujan dengan kesedihan lahir ketika kondisi manusia cenderung melamun sehingga pikiran cenderung melayang memikirkan hal-hal yang menimbulkan keresahan di dalam hati.

Ketika hujan turun dan langit berubah mendung, manusia secara otomatis juga kekurangan vitamin D. Ketika seseorang kekurangan vitamin D, level serotonin dalam otak mengalami pe-nurunan. Serotonin sendiri merupakan protein pembawa sinyal yang bertugas meneruskan

Page 8: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

160

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

sinya dari sel saraf ke sel target. Peran serotonin dalam tubuh sangat mempengaruhi suasana hati (mood) seseorang bahkan kehadirannya memegang peranan penting dalam proses mengingat. Ketika level seretonin mengalami penurunan, seseorang akan cendrung melamun. Layaknya manusia yang kekurangan hormon melatonin, manusia juga cendrung merasa sedih ketika level serotonin menurun (Vina, 2016).

Kecendrungan manusia melamuun dan mengalami perubahan suasana hati (mood) ketika hujan turun (dimensi biologis), menyebabkan kata hujan dimetaforakan dalam berbagai situasi pertuturan. Hasil pengamatan manusia terhadap perubahan suasana hati (mood) yang cenderung galau, sendu, dan sedih ketika hujan datang menghadirkan penggunaan meta fora hujan yang diumpamakan layaknya ‘kesedihan’. Perumpamaan tersebut hadir atas dasar pengamatan manusia yang merasakan terjadinya perubahan suasana hati (mood) ketika hujan turun. Pemaknaan hujan sebagai kesedihan juga terlihat pada penggalan lirik lagu berikut:

Tuhan terlalu cepat semua

Kau panggil satu-satunya yang tersisa

Proklamator tercinta

Jujur, lugu, dan bijaksana

(Bung Hatta:1981)Lagu balada yang berjudul ‘Bung Hatta’

bercerita tentang figur seorang tokoh proklamator yang sangat berjasa bagi Indonesia. Di dalam lagu ini tergambar kesedihan yang begitu mendalam atas wafatnya Bung Hatta, bahkan seluruh negeri begitu bersedih saat kehilangan tokoh proklamator yang jujur, penuh bakti, dan rela berkorban demi bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan dari para penjajah. Oleh sebab itulah, hujan air mata dimaknai sebagai ‘air mata yang keluar akibat kesedihan’. Berikut titik kemiripan antara metafora hujan dan kesedihan:

HUJAN KESEDIHANMenyebabkan perubahan suasana hati (mood) pada manusia yang cenderung merasa galau, sendu dan sedih

Perasaan sedih; dukacita; kesusahan hati

Pengamatan manusia terhadap perubahan

suasana hati suasana hati (mood) yang cendrung menyebabkan rasa galau, sendu dan sedih ketika hujan turun (dimensi biologis) menjadi alasan kenapa hujan diumpamakan kesedihan. Berdasarkan pengalaman tersebut hujan sebagai ranah sumber dari kesedihan dibangun atas dasar persamaan atas perubahan mood, baik ketika hujan turun maupun ketika hati merasa sedih. Kesamaan atas perubahan perasaan yang dirasakan ketika turunnya hujan dan ketika kita bersedih terekam dalam kognitif masyarakat tutur Indonesia (dimensi ideologis). Dari pemahaman tersebut, terbentuklah metafora hujan air mata yang dipahami sebagai suatu bentuk penjelmaan dari wujud ‘kesedihan manusia layaknya tetesan hujan yang turun ke bumi’. Dalam kehidupan sosial masyarakat, rasa sedih lahir atas kesusahan hati manusia dalam menjalani kehidupan layaknya rasa sedih yang dirasakan rakyat Indonesia ketika mereka kehilangan sosok Bung Hatta yang telah banyak berjasa untuk negeri ini (dimensi sosiologis).

Data 4

Pucat letih dan sedihnya berkarat (Untukmu Negeri, 2002)Penggalan lirik lagu pada data (4) terdapat

metafora berkarat. Verba itu sendiri terdiri atas imbuhan ber- dan kata dasar karat berupa ‘lapisan merah (kekuning-kuningan) yang melekat pada besi dan sebagainya sebagai hasil proses kimia’ (KBBI, 2014:625). Secara khusus, karat merupakan hasil korosi yang menyebabkan kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan senyawa lain yang terdapat di lingkungan seperti air dan udara yang menghasilkan suatu senyawa yang tidak dikehendaki (Hari dan Hendriyana, 2014:124). Biasanya logam yang paling banyak mengalami korosi adalah besi, namun juga dapat ditemukan pada jenis logam lainnya seperti aluminium dan baja.

Kerusakan logam akibat korosi dianggap suatu ‘penyakit’ dalam dunia teknik. Istilah penyakit tersebut hadir karena jika besi mengalami korosi, akan menimbulkan banyak kerugian karena barang-barang atau bangunan yang menggunakan besi akan menjadi tidak awet. Situasi tersebut terjadi karena logam, khususnya besi terkontaminasi oleh air dan

Page 9: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

161

udara menyebabkan material tersebut menjadi ‘rusak’. Kerusakan tersebut menyebabkan ma-terial be si menjadi besi tua rongsokan yang tidak terpakai dan harus didaur ulang. Perubahan besi menjadi besi tua tersebutlah yang menjadi sumber inspirasi penggunaan kata ‘berkarat’ yang dimaknai sebagai suatu kondisi yang ‘tua; usang; melemah’. Proses korosi yang menyebabkan suatu material menjadi usang dan melemah menyebabkan kerusakan logam atau ‘berkarat’ diumpamakan seperti perwujudan dari wajah pucat dan sedih rakyat Indonesia yang mulai usang dan melemah. Perumpamaan ini hadir karena kehidupan rakyat tidak menjadi prioritas utama bagi pemerintahan pada saat itu. Kesedihan tersebut hidup begitu lama sehingga rasa tersebut sulit untuk disembuhkan.

Keusangan (terkait rasa: telah kering dan hampa) dan pelemahan fungsi material logam tertentu akibat proses korosi, perkaratan (dimensi biologis), menyebabkan kata ‘karat atau berkarat’ dimetaforakan dalam berbagai situasi pertuturan. Berdasarkan hasil pengamatan manusia terhadap karakteristik karat meng-hadirkan penggunaan metafora berkarat yang diumpamakan layaknya ‘sesuatu yang usang dan melemah’. Perumpamaan tersebut hadir atas dasar pengamatan indrawi manusia yang melihat bahwa material logam yang mengalami korosi menjadi material usang layaknya besi tua. Selain itu, kondisi besi yang berkarat cendrung lebih lemah dibandingkan besi yang tidak mengalami korosi dimanfaatkan sebagai ranah sumber dari ‘sifat sesuatu’ yang cendrung menjadi usang dan melemah. Pemaknaan tersebut juga terlihat pada penggalan lirik lagu berikut:

Lihatlah wajah ibu pertiwi

Pucat letih dan sedihnya berkarat

Berdoa terus berdoa

Hingga mulutnya berbusa-busa (Untukmu Negeri, 2002)Kesedihan yang kering dan mulai menjadi

hampa dimetaforakan oleh Iwan Fals dalam perwujudan besi berkarat. Pemaknaan berkarat sebagai ranah sumber dari ranah target berupa ‘sesuatu yang usang dan melemah’ hadir atas dasar persamaan sifat yang dimiliki besi berkarat dengan perasaan manusia yang mulai usang. Berikut titik kemiripan antara kedua entitas

tersebut.

BERKARAT PERASAAN MANUSIA

Merupakan proses perusakan material logam menjadi rongsokan dan menyebabkan sifat material tersebut melemah dari sifat awalnya sebelum terjadinya korosi

Merujuk kepada perasaan yang cendrung kering dan hampa serta melemah karena penantian yang begitu lama

Pemahaman manusia terkait proses korosi yang terjadi pada besi menyebabkan materi tersebut menjadi bentuk yang usang dan kekuatannya melemah akibat berkarat (dimensi biologis) menjadi alasan kenapa kata karat atau berkarat diumpamakan layaknya ‘sesuatu yang usang dan melemah’. Berdasarkan pemahaman tersebut karat sebagai ranah sumber dari ‘perasaan usang’ dan ‘melemah’ dibangun atas karakteristik yang dimiliki kedua entitas tersebut, baik karat (berkarat) maupun perasaan manusia dapat berubah menjadi usang dan melemah dari wujud permulaannya. Keterhubungan antara wujud usang dan melemahnya kekuatan material logam oleh korosi serta perasaan yang kering dan hampa terekam dalam kognitif masyarakat tutur dalam bentuk metafora berkarat (dimensi ideologis). Dari pemahaman tersebut, terbentuklah metafora karat atau berkara’ yang dipahami sebagai suatu bentuk penjelmaan dari wujud perasaan manusia yang ‘dipenuhi rasa usang (kering dan hampa) dan kelemahan’. Dalam kehidupan sosial masyarakat, perasaan tersebut terbentuk atas rasa kekecewaan dari rakyat Indonesia yang mengharapkan memiliki pemimpin yang adil dan bijaksana serta mampu memberikan perubahan terhadap negara kita. Penantian perubahan tersebut bahkan dimetaforakan dalam bentuk penggambaran ibu pertiwi yang pucat, letih dan sedihnya berkarat layaknya besi yang berkarat menjadi besi tua, begitu usang dan rapuh (dimensi sosiologis).

Data 5

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

(Surat Buat Wakil Rakyat, 1987)Penggalan lirik lagu pada data (5) terdapat

metafora karang. Secara leksikal, karang di-

Page 10: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

162

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

definisikan sebagai ‘batuan kapur di laut yang terbentuk dari zat yang dikeluarkan oleh binatang kecil’. Secara umum istilah karang tersebut lebih dikenal dengan terumbu karang. Istilah terumbu dan karang memiliki makna yang berbeda satu sama lain. Istilah karang merujuk kepada sekumpulan binatang, sedangkan terumbu merupakan struktur kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang (Risnandar, 2019). Sebagai penghasil CaCO3, karang juga merujuk kepada ‘batuan kapur’ sesuai dengan pengertiannya secara leksikal.

Terdapat dua jenis terumbu karang yang selanjutnya kita sebut sebagai karang, yaitu karang hidup dan karang mati. Secara visual, kita dapat membedakan antara kedua karang tersebut. Karang hidup biasanya memiliki warna yang beraneka ragam, sedangkan karang mati biasanya berwarna putih pudar dan kadang-kadang ditumbuhi alga, lumut, atau sedimen. Ketika diraba, karang hidup terasa licin dan berlendir, sedangkan karang mati terasa lebih kasar dan tajam. Secara umum walaupun karang hidup terasa licin dan berlendir strukturnya tetap keras dan tajam karena rangka kapur karang secara ekologis memang keras dan tajam (Wibowo, 2015).

Karakteristik karang yang keras, kasar, dan tajam (dimensi biologis), menyebabkan kata karang dimetaforakan dalam berbagai situasi pertuturan. Berdasarkan hasil pengamatan manusia terhadap karakteristik karang meng hadirkan penggunaan metafora karang yang diumpamakan layaknya ‘rintangan dan hambatan’. Perumpamaan tersebut hadir atas dasar pengamatan inderawi manusia yang melihat permukaan karang yang keras, kasar, dan tajam sebagai ranah sumber dari ‘rintangan dan hambatan’. Pemaknaan karang sebagai rintangan dan hambatan juga terlihat pada penggalan lirik lagu berikut:

Di hati dan lidahmu kami berharap

Suara kami tolong dengar lalu sampaikan

Jangan ragu jangan takut karang menghadang

Bicaralah yang lantang jangan hanya diam

(Surat Buat Wakil Rakyat, 1987)Banyaknya rintangan dan hambatan yang

dihadapi wakil rakyat dimetaforakan oleh Iwan

Fals dalam perwujudan karang. Pemaknaan karang sebagai ranah sumber dari ranah target berupa ‘rintangan dan hambatan’ muncul atas dasar persamaan sifat keras, kasar, dan tajam yang dimiliki kedua entitas tersebut. Berikut titik kemiripan antara ranah sumber dan ranah target terebut:

KARANG RINTANGAN DAN HAMBATAN

Berstruktur keras, kasar, dan tajam.

Merujuk kepada sesuatu yang menghalangi; seperti adanya jurang terjal atau batu tajam sehingga manusia harus berusaha keras untuk melaluinya.

Pemahaman karakter biologis karang yang tersusun atas rangka kapur yang keras, kasar, dan tajam (dimensi biologis) menjadi alasan kenapa karang diumpamakan layaknya ‘rintangan dan hambatan’ yang dihadapi manusia. Berdasarkan pengalaman tersebut, karang sebagai ranah sumber dari rintangan dan hambatan dibangun atas karakteristik yang dimiliki kedua entitas tersebut sama-sama bersifat keras secara wujud (karang) maupun bersifat keras secara usaha yang dihadapi untuk melalui rintangan dan hambatan. Kerasnya wujud karang dan kerasnya usaha yang harus dilalui menghadapi rintangan dan hambatan terekam dalam kognitif masyarakat tutur Indonesia pada tataran dimensi ideologis. Dalam kehidupan sosial masyarakat, rintangan dan hambatan hadir agar manusia selalu mau berusaha keras untuk memperjuangkan kehidupannya.

Data 6

Tuntutan mereka membentur baja (Robot Bernyawa, 1991)Pada data (6) ditemukan metafora baja.

Secara leksikal, baja merupakan logam yang keras (KBBI, 2014:119). Sebagai logam yang keras, baja memiliki kekuatan di atas material lain, seperti besi. Material dari baja sendiri terbentuk atas logam paduan yang terdiri atas besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,2% hingga 2,1% dari berat keseluruhan baja tersebut sesuai kualitas yang dimiliki masing-masing produk baja. Sebagai unsur paduan utama, karbon

Page 11: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

163

berfungsi sebagai unsur pengeras dan mampu mencegah diskolasi bergeser pada kisi kristal (crystal lattice) atom besi (Tardoko et al., 2012 dalam Arifin et al., 2017:27). Selain karbon, terdapat juga unsur paduan lainnya berupa mangan, fosfor, sulfur, silikon, krom, vanadium, dan tungsten. Meskipun baja terbuat dari unsur dasar besi berupa Fe (ferrum), namun besi dan baja tidaklah sama. Unsur paduan berupa karbon dalam baja mempengaruhi tingkat kekerasan dan kekuatan dari baja sampai 1.000 kali lipat dibandingkan dengan besi dalam bentuk aslinya (Ratna, 2016). Oleh sebab itulah, kekuatan material baja lebih besar dibandingkan besi, begitu pula dengan tingkat keuletannya. Sifat baja yang keras dan kuat menyebabkan material tersebut diumpamakan layaknya ‘perwujudan dari sesuatu yang bersifat keras dan kuat’.

Kekuatan material baja yang begitu besar (dimensi biologis), menyebabkan kata baja dimetaforakan dalam berbagai situasi pertuturan. Perumpamaan tersebut hadir atas dasar pengamatan inderawi manusia yang melihat sifat keras dan kuat yang dimiliki baja sehingga menjadikan material tersebut sebagai ranah sumber dari sesuatu yang keras dan kuat. Pada data (6), lambang kias baja dihayati Iwan Fals sebagai ‘peraturan keras’. Pemaknaan baja sebagai kerasnya suatu peraturan juga terlihat pada penggalan lirik lagu berikut:

Di depan pabrik minta keadilan

Hanyalah janji yang membumbung tinggi

Tuntutan mereka membentur baja

Terus bekerja atau di PHK

(Robot Bernyawa, 1991)Melalui penggalan lirik lagu tersebut, Iwan

Fals ingin menyampaikan realitas sosial terkait nasib buruh di negara kita. Lagu yang berjudul ‘Robot Bernyawa’ berisi tentang ketidakadilan yang diperoleh pekerja kelas rendahan atau buruh pabrik. Hak-hak mereka sebagai pekerja diabaikan atas penerapan peraturan yang tidak adil dan bijaksana. Mereka hanya diberi dua pilihan untuk tetap bekerja dengan gaji kecil atau malah di PHK. Bahkan sampai saat ini, pemerintah masih belum mampu untuk memberikan solusi atas permasalahan ini.

Lahirnya pemaknaan baja sebagai ranah

sumber dari ranah target berupa ‘peraturan yang keras’ muncul atas dasar persamaan sifat yang dimiliki baja dengan sifat peraturan ketenagakerjaan, khususnya pekerja buruh di Indonesia. Berikut titik kemiripan antara kedua entitas tersebut.

BAJA PERATURAN KERASMerupakan jenis logam yang keras dan kuat dibandingkan material besi.

Merujuk kepada tatanan, petunjuk, kaidah, ketentuan yang dibuat untuk mengekang para buruh.

Pemahaman karakter biologis atas sifat keras dan kuat yang dimiliki baja (dimensi biologis) menjadi alasan kenapa baja diumpamakan layaknya peraturan yang keras mengekang rakyat kecil, seperti pekerja buruh. Berdasarkan pemahaman tersebut, baja sebagai ranah sumber dari peraturan yang keras dibangun atas karakteristik atau sifat keras yang dimiliki kedua entitas tersebut. Sifat keras dari baja maupun peraturan terekam dalam kognitif masyarakat tutur pada tataran dimensi ideologis.

Dari pemahaman tersebut, terbentuklah metafora baja yang dipahami sebagai suatu bentuk penjelmaan dari ‘sesuatu yang keras dan kuat’ yang pada konteks ini merujuk pada peraturan yang keras. Dalam kehidupan sosial masyarakat, adanya peraturan yang keras yang bersifat mengikat menyebabkan lapisan masyarakat tertentu akan merasa terkekang dan diperlakukan secara tidak adil (dimensi sosiologis). Hal inilah yang dirasakan para pekeja buruh yang harus bekerja keras namun digaji tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikarenakan mereka tidak memilki kualifikasi pendidikan yang memadai dan tidak memilki softskill sebagai nilai tambah bagi seorang pekerja. Mereka hanya dapat memeras tenaga untuk memperoleh uang.

Data 7

Singkirkan benalu di tiangmu

(Bangunlah Putra Putri Pertiwi, 1981)Penggalan lirik lagu pada data (7) terdapat

metafora berupa benalu. Tumbuhan benalu merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang tergolong sebagai parasit, masuk dalam ordo

Page 12: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

164

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

Santalales, suku Loranthaceae (Tjitrosoepomo, 2010 dalam Huda, 2015:2). Sebagai tumbuhan parasit obligat, benalu hidup dan tumbuh pada batang (dahan) pohon tumbuhan lain. Benalu selain dapat merusak tanaman inangnya, pada jumlah populasi yang banyak dapat menyebabkan kematian inangnya. Hal ini terjadi karena benalu menyerap makanan dari pohon inangnya sehingga menyebabkan kerugian pada inangnya.

Sifat tumbuhan benalu yang hidup sebagai parasit (dimensi biologis) sering dijadikan ranah sumber dalam metafora untuk menyatakan “orang yang senang menumpang pada orang lain tanpa mau berusaha sendiri”. Penggunaan ini dihasilkan atas dasar pengamatan indrawi manusia yang melihat kenyataan bahwa kehadiran benalu pada inangnya persis sama dengan sifat manusia yang senang hidup menumpang dengan orang lain. Pemaknaan benalu sebagai orang yang suka menyusahkan orang lain juga terlihat pada penggalan lirik lagu berikut:

Terbanglah garudaku

Singkirkan kutu-kutu di sayapmu oh...

Berkibarlah benderaku

Singkirkan benalu di tiangmu

(Bangunlah Putra Putri Pertiwi, 1981)Berdasarkan lirik lagu di atas, titk kemiripan

benalu dengan manusia adalah pada sifat gemar menumpang atau menyusahkan orang lain.

BENALU MANUSIAHidup sebagai parasit pada inangnya.

Orang yang senang menumpang atau menyusahkan orang lain.

Pemahaman tentang karakter benalu pada tataran dimensi biologis berhubungan dengan sifat benalu yang dianggap sebagai tumbuhan parasit terekam dalam kognitif masyarakat tutur pada dimensi ideologis. Dari sifatnya yang hidup sebagai parasit terbentuklah metafora benalu yang dipahami sebagai manusia yang memiliki sifat layaknya benalu, yaitu manusia yang suka menyusahkan orang lain. Dalam kehidupan sosial masyarakat, orang yang suka menyusahkan orang lain dianggap sebagai penganggu (dimensi sosiologis). Dalam konteks lagu ini, orang ter-

sebut merujuk kepada para petinggi negara yang menjadi benalu bagi negaranya, seperti para pejabat yang melakukan tindakan kolusi, korupsi, nepotisme, dan sebagainya.

Data 8

Tikus-tikus tak kenal kenyang

(Tikus-tikus Kantor, 1986)Pada data (8) terdapat metafora tikus-

tikus sebagai bentuk reduplikasi dari kata tikus. Di Indonesia sendiri setidaknya ada tiga jenis tikus yang hidup di sekitar lingkungan manusia, yaitu tikus got (rattus norvegicus), tikus rumah atau tikus atap (rattus rattus), dan mencit rumah (musmusculus) (Andriana, 2015). Secara ekologis, tikus tergolong hewan yang menjijikkan. Salah satunya tikus got. Binatang ini berwarna hitam legam, berukuran besar dengan bobot 400--600 gram, hidup di saluran air, tempat sampah, dan tempat-tempat kotor lainnya. Tikus besar ini menjadi hama di sekitar lingkungan manusia karena habitatnya yang mendiami tempat-tempat kotor di luar rumah. Kehidupan tikus yang sangat dekat dengan kehidupan manusia menyebabkan beberapa perilaku manusia sering diumpamakan layaknya perilaku tikus.

Perilaku tikus yang suka hidup di lingkungan kotor diumpamakan layaknya perilaku koruptor yang suka melakukan pekerjaan kotor atau tercela. Tindakan tersebut berbentuk korupsi yang merujuk kepada penyelewengan atau penya-lahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi. Pemaknaan perilaku tikus yang senang hidup di lingkungan kotor didukung oleh penggalan lirik lagu berikut.

Kisah usang tikus-tikus kantor

Yang suka berenang di sungai yang kotor

Kisah usang tikus-tikus berdasi

Yang suka ingkar janji lalu sembunyi

(Tikus-tikus Kantor , 1986)Melalui penggalan lirik lagu tersebut,

Iwan Fals ingin menyampaikan gambaran nyata terkait kasus korupsi yang merajalela dan mendarah daging di Indonesia. Praktik korupsi ini dapat terjadi di mana saja mulai dari para pejabat tinggi sampai pejabat rendahan (tikus berdasi) beserta para pegawainya (tikus kantor).

Page 13: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

Mutia Muwaddah R.: Metafora Bertemakan Kritik ...

165

Tikus yang suka hidup di lingkungan kotor menempatkannya sebagai ranah sumber yang dipetakan kepada manusia sebagai ranah target dalam mental kognitif masyarakat tutur pada tataran ideologis membentuk metafora tikus yang mengandung makna tentang perilaku manusia yang suka dengan pekerjaan kotor (tercela). Berdasarkan deskripsi tersebut, berikut titik kemiripan antara tikus dan pelaku koruptor.

Tikus KoruptorHidup di lingkungan kotor.

Melakukan pekerjaan yang kotor (tercela) berupa penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi.

Perilaku tikus yang suka hidup di lingkungan kotor (dimensi biologis) identik dengan perilaku koruptor yang suka melakukan pekerjaan ko tor. Dalam kehidupan sosial masyarakat Indo nesia, pelaku koruptor dikenal sebagai manusia yang suka melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara demi memuaskan hawa nafsunya (dimensi ideologis). Tikus yang suka menempati saluran air dan tempat sampah membawa penyakit bagi manusia. Begitu juga dengan tindakan koruptor yang mencuri uang rakyat dipahami secara sosial sebagai penyebab munculnya kerugian, khususnya bagi kehidupan rakyat Indonesia (dimensi sosiologis).

4. Penutup4.1 Simpulan

Pada hakikatnya, metafora yang ditemukan

pada lirik-lirik lagu Iwan Fals terbentuk dari pengalaman indra yang berurusan dengan sifat-sifat biologis lambang kias atau entitas yang dimanfaatkan dalam pembentukan metafora dengan keadaan atau kejadian yang dialami oleh masyarakat tutur Indonesia. Keterhubungan sifat-sifat biologis lambang kias (ranah sumber) dari metafora dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dan segala aktivitasnya (ranah sasaran) dibangun berdasarkan pengamatan kognitif masyarakat tutur yang melihat adanya kesamaan yang dimiliki antara ranah sumber dan ranah sasaran. Hal itu membentuk suatu pemahaman dalam tataran dimensi ideologis yang selanjutnya dijadikan parameter dalam kaitannya dengan kehidupan sosial pada tataran dimensi sosiologis.

4.2 SaranKeterhubungan antara lingkungan dan

bahasa dalam wujud metafora telah dilakukan secara maksimal dalam penelitian ini. Dengan menggunakan berbagai teori, metode, dan teknik yang relevan dengan kajian ekolinguistik. Walaupun demikian, penulis tetap menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Penelitian ini hanya menganalisis metafora-metafora pada 20 lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dan kemanusiaan. Untuk memperoleh temuan dan simpul secara utuh diharapkan penelitian selanjutnya mampu menjangkau keseluruhan lagu-lagu Iwan Fals dengan berbagai tema yang begitu beragam.

Daftar Pustaka Andriana, Deri. 2015. “Metafora Mainan Tikus sebagai Representasi Kritik Sosial dalam Karya Still

Life Photography” [Skripsi]. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta.Arifin, Jaenal, et al. 2017. “Pengaruh Jenis Elektroda terhadap Sifat Mekanik Hasil Pengelasan

SMAW Baja ASTM A36”. Momentum Vol. 13 No.1 , 27-31.Ardiel, Vonny. 2017. “Leksikon dalam Tradisi Maambiak Ari Bacocok Tanam Padi di Nagari Jaho

Kabupaten Tanah Datar: Tinjauan Ekolinguistik” [Tesis]. Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Badan Bahasa Depdiknas. (2014). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia. Døør, Jørge dan Jørgen Chr Bang. 1995. “Language, Ecology, and Truth- Dialogue and Dialectics”,

http://www.jcbang.dk/main/ecolinguistics/Six.pdf diunduh pada tanggal 4 November 2018, Pukul 9.14 WIB.

Page 14: METAFORA BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL DALAM LAGU IWAN …

166

Metalingua, Vol. 18 No. 2, Desember 2019: 153–166

Bundsgaaard, Jeppe dan Sune Steffensen. 2000. “The Dialecticacs of Ecological Morphology” in Lindø, Anna Vibeke and Jeppe Bundsgaaard. (2000). Dialectical Ecolinguistics. Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense: University of Odense.

Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment. London: Continuum.

Hari, Bambang dan Hendriyana. 2014. “Pengaruh Partikel Zeolit Terhadap Laju Korosi pada Baja Karbon dalam Lingkungan Asam”. Sains Dasar Vol. 3 No. 2, 124-131.

Hermawan, Habib. 2018. “Jin, Setan, dan Iblis dalam Tafsir Departemen Agama RI” [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Huda, Miftahul. 2015. “Keanekaragaman Jenis Benalu dan Intensitas Serangannya pada Jenis Pohon di Hutan Rakyat Dusun Turgo, Purwobinangun” [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Lakoff dan Johnson. 2003. Metaphors We Live By. Chicago: The University of Chicago Press.Lindø, Anna Vibeke dan Simon S. Simonsen. 2000. “The Dialectics and Varieties of Agencythe

Ecology of Subject, Person, and Agent” dalam: Lindø, Anna Vibeke dan Jeppe, Bundsgaaard, Dialectical Ecolinguistics. Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense: University of Odense.

Mahnaz Talebi Dastenaei. 2016. “Ecometaphor: The Effect of Ecology and Environment ob Shaping Anger Metaphors in Different Culture”. Language and Ecology. ISSN 1745-3631. http://ecolinguistics-association.org/journal diunduh pada tanggal 4 November 2018, Pukul 12.16 WIB.

Nesta. 2010. “Re”. https://www.windows2universe.org/?page=/mythology/ra_sun.html diunduh pada tanggal 4 Januari 2019, Pukul 12.16 WIB.

Oktavianus, dan Ike Revita. 2013. Kesantunan dalam Bahasa Minangkabau. Padang: Minangkabau Press.

Ratna, Dewi. 2016. “Di Balik Kekuatan Besi, Inilah Fakta-Faktanya”.https://m.merdeka.com/amp/pendidikan/di-balik-kekuatan-besi-inilah-fakta-faktanya.html diunduh pada tanggal 23 November 2018, Pukul 10.44 WIB.

Risnandar, Cecep. 2019. “Terumbu Karang”. https://jurnalbumi.com/ knol/terumbu-karang/ diunduh pada tanggal 14 November 2018, Pukul 10.00 WIB.

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 2018. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Than, Ker. 2006. “Astronomers Had it Wrong: Most Stars are Single”. https://www.space.com/1995-astronomers-had-it-wrong-most-stars-are-single.html diunduh pada tanggal 12 Desember 2018, Pukul 10.05 WIB.

Vina. 2016. “Tahukah Kamu Mengapa Hujan Identik dengan Galau? Ternyata Ini Jawabannya”. https://fokusjabar.com/m/fokus-lifestyle/tahukah-kamu-mengapa-hujan-identik-dengan-galau-ternyata-ini-jawabannya-h56930.html diunduh pada tanggal 14 November 2018, Pukul 11.16 WIB.

Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga.Wibowo, Ardy Setyo. 2015. “Terumbu Karang”. https://ardysetyo. blogspot.com/2015/01/terumbu-

karang.html?m=1 diunduh pada tanggal 14 November 2018, Pukul 12.26 WIB.