24
PENDAHULUAN Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok o yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur pembedaha dan unitperawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada pasienyang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain yang untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular end-plate dan menurunkan a sistem saraf pusat. olongan ini sering digunakan sebagai obat tambahan selam umum untuk memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan ter menangani nyeri punggung kronis dan kondisi fibromialgia. Transmisi Saraf - Otot Neuromuscular junction (! " ) adalah region di sekitar neuron motorik dan sel o "embran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh #elah sempit (2$ nm) yaitu sinaptik. %aat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya, terjadi infl melaluivoltage-gated calcium channel ke dalam sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal dan melepaskan asetilkolin yan "olekul asetilkolin berdifusi sepanjang #elah sinaptik untuk berikatan dengan kolinergik nikotinik pada bagian khusus membran sel otot, yaitu motor end-plate. %etiap ! " memiliki sekitar & juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi oto dibutuhkan sekitar &$$.$$$ reseptor. Pada orang dewasa, reseptor !" terdiri dari & peptida' 2 peptida alfa, gamma, dan peptida delta. katan dua molekul asetilkolin pada reseptor subu -* menyebabkan pembukaan channel yang menimbulkan potensial motor end-plate. "agnitudo potensial end - plate berhubungan se#ara langsung dengan jumlah asetilk yang dilepaskan. ika potensialnya ke#il permeabilitas dan potensial end-plate kembali normal tanpa penyampaian impuls dari ujung end-plate ke seluruh membran sel se otot. ika potensial end-plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan t 1

Muscle Relaxant

Embed Size (px)

DESCRIPTION

muscle relaxant

Citation preview

PENDAHULUANObat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri punggung kronis dan kondisi fibromialgia.Transmisi Saraf - OtotNeuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20 nm) yaitu celah sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya, terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated calcium channel ke dalam sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal dan melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada bagian khusus membran sel otot, yaitu motor end-plate. Setiap NM memiliki sekitar 5 juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya dibutuhkan sekitar 500.000 reseptor. Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1 beta, 1 gamma, dan 1 peptida delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada reseptor subunit - dan - menyebabkan pembukaan channel yang menimbulkan potensial motor end-plate. Magnitudo potensial end-plate berhubungan secara langsung dengan jumlah asetilkolin yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil permeabilitas dan potensial end-plate kembali normal tanpa penyampaian impuls dari ujung end-plate ke seluruh membran sel serabut otot. Jika potensial end-plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan terpolarisasi, dan potensial aksi akan diteruskan ke seluruh serabut otot. Kontraksi otot kemudian akan diinisiasi oleh proses kopling eksitasi-kontraksi. Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh enzim substrat spesifik asetilkolinesterase. Enzim kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan dalam end-plate membran sel motorik yang berdekatan dengan reseptor asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion channel menimbulkan repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, channel natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.

Gambar 1. Struktur NMJ

FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT PELUMPUH OTOTPembagian Obat-obat Pelumpuh Otot

Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat-obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi. Mekanisme Kerja

Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot.

Depolarisase end-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena pembukaan lower gate di sekitar persimpangan channel natrium sangat singkat. Setelah eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak dapat membuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin; disebut blok fase I. Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin, inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran mengalami repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi, membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi.

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus potensial end-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila hanya satu subunit yang diblok. Oleh sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.Farmakodinamik Obat-Obat Pelumpuh Otot

Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer. Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi n.ulnaris.

Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva dosis-respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis (Gambar 2). Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED95 vecuronium adalah 0,05 mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95% blok kedutan tunggal (dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis tersebut, dan setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95% blok. ED95 rocuronium adalah 0,3 mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi rocuronium adalah seperenam dari potensi vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat dosis rocuronium untuk menghasilkan efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain, ED95 dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik volatil, ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.

Gambar 2 . Contoh hubungan dosis-respons. Angka yang tercantum adalah nilai perkiraan untuk rocuronium.

Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat (mata, digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring. Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Sebagai tambahan, obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar darah otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini.

Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat pelumpuh otot.

Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil.

Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.

OBAT PELUMPUH OTOT DEPOLARISASISatu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah suksinilkolin. Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5 1 mg/kgBB IV, memiliki onset kerja cepat (30 60 detik) dan durasi kerja singkat (3 5 menit). Ciri ini membuat suksinilkolin obat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa efek samping yang dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.

Dosis

Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Dosis tersebut setara untuk 3,5 4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis 1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke 90%.Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat. Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan hidrolisis oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu tempat katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi 1/20 1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai NMJ. Efek samping Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain: 1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5) peningkatan tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan intraokuler, 7) peningkatan tekanan intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek samping ini dapat membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian suksinilkolin.

1. Aritmia Jantung

Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin dengan dosis 6 g/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung sebagai respons terhadap dosis kedua suksinilkolin.Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.2. Hiperkalemia

Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada pasien dengan (a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis, (b) luka bakar tingkat tiga yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal akibat denervasi, (d) trauma otot skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas. Infeksi abdomen berat telah dikaitkan dengan pelepasan kalium yang diinduksi suksinilkolin. Potensi pelepasan kalium yang eksesif setelah denervasi dapat berkembang dalam 96 jam dan bertahan sampai batas waktu tak tentu sekitar 6 bulan atau lebih lama. Premedikasi dengan dosis subparalisis obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak mempengaruhi magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada seperti pada gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat dihubungkan dengan peningkatan risiko pelepasan kalium akut setelah pemberian dosis intubasi suksinilkolin.Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang belum terdiagnosis dapat mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan cardiac arrest. Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot Duchenne baru dapat dilakukan pada usia 2 6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala klinisnya lebih ringan sehingga menunda waktu diagnosis. Oleh karena itu, klinisi lebih suka menghindari pemakaian suksinilkolin pada pasien pediatrik bila respons yang hampir sama dapat dicapai dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi.3. Mialgia

Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher, punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin, khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor. Mialgia yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian suksinilkolin.4. Mioglobinuria

Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria, khususnya pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi.

5. Peningkatan Tekanan Intragastrik

Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan intensitas fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi dosis nonparalisis.6. Peningkatan Tekanan Intraokuler

Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2 4 menit setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat transien hanya berlangsung selama 5 10 menit. Mekanisme terjadi peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata telah lama dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan tekanan intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan peningkatan tekanan vena sentral.7. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin pada pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati secara konsisten.

8. Kontraksi Otot Terus Menerus

Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter setelah pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai respons normal. Kesulitan yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons normal tidak mudah dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan.Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang terus-menerus dapat mempengaruhi ventilasi paru dan membahayakan hidup.OBAT PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASIObat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih, metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.

Metabolisme di Hati

Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara signifikan oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada pipecuronium. Atracurium, cisatracurium, dan mivacurium adalah agen yang dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada mekanisme ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium ataupun cisatracurium, namun penurunan kadar pseudokolinesterase mungkin dapat memperlambat metabolisme mivacurium.Ekskresi Renal

Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal. Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak bergantung pada fungsi ginjal.

Karakteristik Farmakologis Umum

Beberapa variabel mempengaruhi obat pelumpuh otot nondepolarisasi.

1. Suhu

Hipotermia memperpanjang blokade karena penurunan metabolisme (misal mivacurium, atracurium, dan cisatracurium) dan menunda ekskresi (misal pancuronium dan vecuronium)2. Keseimbangan Asam-Basa

Asidosis respiratorik mempotensiasi blokade sebagian besar agen nondepolarisasi dan mengantagonisasi pembalikannya. Hal ini dapat mencegah pemulihan saraf-otot pada pasien post-operatif yang mengalami hipoventilasi. Penemuan berkaitan dengan efek saraf-otot sehubungan dengan perubahan asam-basa mungkin didasari oleh perubahan dalam pH ekstraseluler, pH intraseluler, konsentrasi elektrolit, atau perubahan struktural antara obat-obat (misal monokuartener versus bikuartener, steroid versus isoquinolinium).3. Abnormalitas Elektrolit

Hipokalemia dan hipokalsemia mengaugmentasi blok nondepolarisasi. Respons pasien dengan hiperkalsemia tidak dapat diprediksi. Hipermagnesia seperti yang dijumpai pada pasien dengan preeklampsia yang diterapi dengan magnesium sulfat, mempotensiasi blokade dengan berkompetisi dengan kalsium pada motor end-plate.4. Usia

Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat pelumpuh otot nondepolarisasi karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini tidak harus diikuti dengan penurunan kebutuhan dosis karena neonatus memiliki ruang ekstraseluler yang lebih besar menyediakan volume distribusi yang lebih besar.5. Interaksi Obat

Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi: struktur prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan membran otot.6. Penyakit yang DideritaPenyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons individual terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik berakibat pada peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi plasma pada obat-obat yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang bergantung pada ekskresi melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh karena itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang lebih tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar.

7. Kelompok Otot

Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif terhadap sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh otot. Secara umum, diafragma, rahang, laring, dan otot-otot wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten terhadap blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring hampir dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang hilang.

Dengan pertimbangan banyak faktor yang mempengaruhi durasi dan magnitudo relaksasi otot, maka respons individu terhadap obat pelumpuh otot harus dimonitor. Dosis rekomendasi harus dipertimbangkan sebagai acuan yang membutuhkan modifikasi sesuai dengan kebutuhan pasien. Sensitivitas yang bervariasi sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.MACAM MACAM OBAT PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASI1. Atracurium

Metabolisme dan EkskresiAtracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua proses terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase nonspesifik, bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan suhu fisiologis.Dosis

Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 60 detik untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB, kemudian dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10 20 menit. Infus 5 10 g/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara efektif. Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium dapat bekerja lebih singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.

Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya disimpan pada suhu 28C karena potensinya akan berkurang 5 10% tiap bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu 14 hari untuk menjaga potensi.

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang bergantung pada dosis terutama pada dosis di atas 0,5 mg/kgBB.

Hipotensi dan Takikardia

Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5 mg/kg diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang tidak terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini.Bronkospasme

Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena bronkospasme berat dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.Toksisitas Laudanosine

Laudanosine, amin tersier, adalah produk penghancuran atracurium melalui eliminasi Hoffmann dan telah dihubungkan dengan eksitasi sistem saraf pusat, menyebabkan elevasi konsentrasi alveolar minimum dan bahkan mencetuskan kejang. Semua hal di atas adalah irelevan kecuali pasien mendapat dosis total yang sangat tinggi atau mengalami kegagalan hati. Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan diekskresi dalam urin dan empedu.Temperatur dan Sensitivitas pH

Atracurium memiliki metabolisme yang unik sehingga durasi kerja dapat memanjang akibat hipotermia dan pada cakupan yang lebih sempit oleh asidosis.Inkompatibilitas Kimia

Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan melalui saluran intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental.Reaksi Alergi

Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun jarang terjadi. Mekanisme yang diduga berperan adalah imunogenisitas langsung dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi antibodi yang dimediasi IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk pelumpuh otot juga telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit atracurium dan komponen struktural dari beberapa membran dialisis juga dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.2. Cisatracurium

Metabolisme dan Ekskresi

Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada pH dan suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan laudanosine) tidak memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang besar, jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan pada durasi kerja.Dosis

Dosis intubasi adalah 0,1 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0 2,0 g/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan vecuronium dan lebih poten dibanding atracurium.

Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (28C) dan harus digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan kadar histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung atau tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis setinggi 8 kali ED95.

Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas laudanosine (dengan tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang lebih besar), sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.3. Mivacurium

Metabolisme dan Ekskresi

Mivacurium, seperti suksinilkolin, dimetabolisme oleh pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase. Kenyataannya, pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade saraf-otot dapat berlangsung selama 3 4 jam. Antagonisme farmakologis dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata. Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar kolinesterase plasma yang menurun. Dosis

Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 0,2 mg/kg. Infus menetap untuk relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat diinisiasi 4 10 g/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan, namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan.Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan penyakit jantung dapat mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang meskipun jarang dapat terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15 mg/kg dengan suntikan lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit). Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium, vecuronium, atau rocuronium. Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya cepat, dalam pemberian mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium.4. Doxacurium

Metabolisme dan Ekskresi

Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis yang rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens doxacurium.Dosis

Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan dosis doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis inisial 0,02 mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan dalam dosis yang disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua, meskipun pada orang tua dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang.Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan pelepasan histamin. Karena potensinya yang lebih besar, doxacurium memiliki onset kerja yang sedikit lebih lambat dari pada pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama yang lain (4 6 menit). Durasi kerjanya sama dengan pancuronium yaitu 60 90 menit. 5. PancuroniumMetabolisme dan Ekskresi

Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas tertentu. Produk metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot. Ekskresi terutama melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari obat dibersihkan oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek blokade saraf-otot diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial yang lebih besar karena ada peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang lebih rendah karena penurunan klirens plasma.Dosis

Dosis 0,08 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat untuk intubasi dalam 2 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01 mg/kg setiap 20 40 menit.Anak anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium tersedia dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 28C tapi stabil sampai 6 bulan pada suhu ruangan.Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Hipertensi dan takikardia

Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis adalah kombinasi stimulasi ganglionik, pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, dan penurunan pengambilan kembali katekolamin. Pancuronium harus diberikan dengan hati-hati pada pasien yang dengan peningkatan denyut jantung akan menimbulkan gangguan (misal penyakit arteri koronari, stenosis hipertrofik subaortik idiopatik).

Aritmia

Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin meningkatkan disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik.Reaksi Alergi

Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi pancuronium (pancuronium bromida).6. PipecuroniumMetabolisme dan Ekskresi

Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%). Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada insufisiensi hepatik.Dosis

Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis intubasi adalah antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-anak atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara relatif pada pasien usia lanjut.Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain, pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja mirip dengan pancuronium.7. Vecuronium

Metabolisme dan Ekskresi

Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal. Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal, durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi, perubahan klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah pemakaian lama.Dosis

Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah 0,08 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 2 g/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.

Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang (ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic. Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi dengan 5 atau 10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan. Vecuronium dan tiopental dapat membentuk presipitat yang dapat mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan dapat menyebabkan emboli paru.Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Kardiovaskuler

Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek kardiovaskuler. Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa pasien.Gagal Hati

Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium biasanya tidak memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis, kecuali diberikan dengan dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.8. RocuroniumMetabolisme dan Ekskresi

Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.Dosis

Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis untuk intubasi 0,45 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25 menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2 mg/kg untuk anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi, namun belum akan terjadi 3 6 menit kemudian (injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat dibalikkan setelah 1 jam.

Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 12 g/kg/menit. Rocuronium durasi kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan meningkat pada penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi yang lebih besar.Efek Samping dan Pertimbangan Klinis

Rocuronium pada dosis 0,9 1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang mendekati suksinilkolin (60 90 detik) sehingga cocok sebagai alternatif untuk induksi urutan cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh lebih panjang. Durasi kerja sedangnya sebanding dengan vecuronium atau atracurium. Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan efektif (menurun fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi terutama pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki kecenderungan vagolitik. DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.2. White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.3. Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their antagonists. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.4. Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and physiology in anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.5. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia. In: Brunton LL, ed. Goodman & Gilmans the pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.

iii

23