Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Laporan Kasus
Neurophysiologic Monitoring pada Operasi Deformity
Correction pasien dengan Adolescent Idiopathic Scoliosis
dr. Putu Kurniyanta Sp.An
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
2
Abstrak
Adolescents Idiopathic Scoliosis (AIS) adalah bentuk paling umum dari skoliosis,
kondisi ini dimulai pada awal pubertas dengan persentase 1-4% dari remaja dan
lebih banyak dialami oleh perempuan. Salah satu manajemen dari skoliosis adalah
melalui pembedahan. Tujuan utama pembedahan pada skoliosis adalah untuk
mencegah progresi dari skoliosis dengan artrodesis spinal atau fusi dari regio tulang
belakang yang mengalami skoliosis. Pembedahan dilakukan pada pasien dengan
risiko peningkatan progresivitas dari kurva selama usia dewasa, pasien dengan
sudut Cobb pada foto posteroanterior >40-450 di regio torakolumbal dan >500 di
regio torakal. Pembedahan skoliosis dilakukan dengan posisi prone memiliki
beberapa risiko, seperti postoperative visual loss (POVL), gangguan hemodinamik,
dan kerusakan saraf. Kerusakan saraf yang dapat terjadi setelah tindakan koreksi
pada tulang belakang dapat dideteksi dan dicegah dengan monitoring neurofisilogis
durante operasi dengan somatosensory evoked potensial (SSEP) dan motoric
evoked potential (MEP).
Kata kunci: skoliosis, idiopatik, neurofisiologis, monitoring
Abstract
Adolescents Idiopathic Scoliosis (AIS) is the most common type of scoliosis. This
condition is started in the early puberty with percentage 1-4% teenagers, especially
in women. One of management of scoliosis is surgery. The main aim of surgery is
to prevent progression of the diseases with spinal arthrodesis or fusion in the
specific vertebrae. Surgery is a choice for patient who has risk of worse progression
during adulthood, patient with Cobb’s angle >40-450 in thoracolumbal or > 500 in
thoracal. The surgery’s position is in prone position which has risks such as
postoperative visual loss (POVL), haemodynamic disturbance, and nerve injury.
Nerve injury that happened due to the surgery can be detected and prevented by
neurophysiologic intraoperative monitoring. The monitoris that can be used are
somatosensory evoked potensial (SSEP) and motoric evoked potential (MEP)
Keyword: scoliosis, idiopathinc, neurophysiologic, monitoring
3
BAB I
Pendahuluan
Skoliosis didefinisikan sebagai deformitas struktur dari tulang belakang dengan
dasar pengukuran kurva mayor sebagai penentu deformitas.1,2 Pengukurannya
menggunakan metode Cobb dan didapatkan sudut Cobb. Diagnosis skoliosis
ditegakkan jika didapatkan sudut Cobb >100 . Selain itu pasien juga disertai dengan
tubuh dan ekstremitas yang tidak simetris. Adolescents Idiopathic Skoliosis (AIS)
adalah bentuk paling umum dari skoliosis, kondisi ini dimulai pada awal masa
pubertas dengan persentase 1-4% dari remaja dan lebih banyak dialami oleh
perempuan. Skoliosis idiopatik tidak memiliki etiologi yang jelas, berbeda dengan
skoliosis yang dikarenakan kongenital, neuromuskular atau tipe lainnya yang sudah
memiliki mekanisme yang jelas. AIS diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria
termasuk usia saat onset dan lokasi dari kurva maksimal tulang belakang.1
Salah satu manajemen dari skoliosis adalah melalui tindakan pembedahan. Tujuan
utama pembedahan pada skoliosis adalah untuk mencegah progresi dari skoliosis
dengan artrodesis spinal atau fusi dari regio tulang belakang yang mengalami
skoliosis. Pembedahan dilakukan pada pasien yang memiliki risiko peningkatan
progresivitas dari kurva selama usia dewasa, pasien dengan sudut Cobb pada foto
posteroanterios >40-450 di regio torakolumbal dan >500 di regio torakal.1
Pembedahan pada tulang belakang dilakukan dengan posisi prone memiliki
beberapa risiko, seperti peningkatan risiko postoperative visual loss (POVL),
gangguan hemodinamik, dan kerusakan saraf. Gangguan hemodinamik dapat
terjadi saat akan dilakukan tindakan anestesi, setelah pasien diposisikan prone,
selama tindakan operasi pada tulang belakang. Hal ini dikarenakan penurunan curah
jantung dan tekanan darah arterial.3 Gangguan hemodinamik berupa hipotensi
biasanya dikarenakan terjadinya perdarahan yang masif durante operasi, namun
pada beberapa kasus, hipotensi masih dapat terjadi pada pasien tanpa perdarahan
masif.
4
Kerusakan saraf yang dapat terjadi setelah dilakukan tindakan koreksi pada tulang
belakang dapat dideteksi dan dicegah dengan monitoring terhadap fungsinya
selama tindakan operasi. Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai monitoring
saraf tulang belakang intraoperative pada pasien yang menjalani koreksi skoliosis.
5
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Skoliosis adalah kelainan deformitas structural dari tulang belakang. Diagnosis
ditegakaan berdasarkan pengukuran kurva utama dari tulang belakang dengan
metode Cobb. Seseorang dikatakan skoliosis jika didapatkan sudut Cobb >100.
Pengukuran dilakukan pada potongan korona menggunakan foto rontgen
posterior-anterior. Adolescent Idiopathic Skoliosis(AIP) adalah tipe paling
umum dari skoliosis. Kondisi ini dimulai pada masa awal pubertas pada 1-4%
remaja dan sebagian besar perempuan. Etiologi dari kondisi ini dikatakan
belum diketahui secara pasti.1
2.2. Epidemiologi
Prevalensi dari AIS berhubungan dengan letak geografis. AIS memiiliki
prevalensi lebih tinggi di bagian utara dari garis lintang. Prevalensi pasien
dengan sudut Cobb lebih dari 100 adalah1.34% dengan prevalensi dengan sudut
Cobb lebih dari 200 sebesar 0.22%. sedangkan prevalensi pasien dengan
skoliosis yang telah menjalani operasi atau menggunakan back braces sebesar
0.07%.1
2.3. Patofisiologi
AIS terdapat 6 teori mengenai terjadinya kondisi tersebut, antara lain genetil,
sistem saraf pusat, pertumbuhan skeletal dari tulang belakang, dan
metabolisme tulang, metabolic, biomekanik, dan penyebab lainnya.
Patomekanisme dari AIS dapat terjadi secara primer ataupun sekunder yang
menyebabkan pembentukan dari kurva spinal. Konsep klasik yang
menyebabkan skoliosis seperti ketidakstabilan rotasi aksial, biomekanikal, dan
faktor neuromuskular, pertumbuhan yang relative berlebihan dari spinal
anterior, dan asinkronisasi dari pertumbuhan neuro-osseus spinal (
pertumbuhan medula spinalis gagal menyamai kecepatan pertumbuhan dari
kolumna vertebralis menyebabkan tulang belakang menjadi melengkung,
modulasi pertumbuhan biomekanikal sebagai hasil dari kompresi mekanikal
6
yang tidak simetis dan pengurangan muatan, yang dikenal dengan nama efek
Hueter-Volkmann.1
Tabel 1. Klasifikasi Idiopathic Scoliosis1
7
Gambar 1. Skoliosis berdasarkan lokasi kurvatura. A. torakal, B.
torakolumbar, C. lumbar1
2.4. Manajemen
Sebagian besar pasien dengan AIS jarang yang memiliki gejala dan biasanya
mencari pengobatan setelah ditemukan AIS saat dilakukan screening.
Keputusan pengobatan didasarkan pada tujuan untuk mencegah perburukan
kondisi seperti disabled karena nyeri punggung, meninggal di usia muda
karena masalah paru. Mayoritas keputusan terapi dari AIS ditentukan
berdasarkan derajat dari kuravatura tulang belakang dan progresivitasnya.
Progresivitas dari kurvatura lebih mungkin terjadi pada pasien dengan tulang
imatur dan ukuran kurvatura yang besar walaupun sudah mengalami maturitas.
Kurvatura dengan apeks torakalis dan sudut Cobb >500 memiliki prevalensi
tertinggi mengalami progresivitas.1
Fungsi paru menjadi satu-satunya gejala yang konsisten dengan ukuran dari
kurvatura AIS. Faktor lain yang mempengaruhi fungsi paru antara lain derajat
dari lordosis torakalis, derajat rotasi vertebra, dan penurunan kekuatan otot
pernafasan. Hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan jarang terjadi. Pasien
8
dengan sudut Cobb >500 berhubungan dengan penurun kapasitas vital paru dan
nafas yang pendek namun cepat.1 Fungsi paru dikatakan mengalami perubahan
yang signifikan pada skoliosis torakal karena perubahan dari otot aksesorius.
Deformitas ini dapat merubah posisi tulang kosta sehingga mengurangi
diameter anteroposterior dari dinding dada, mengurangi mobilitas dari dinding
dada dan hilangnya kemampuan mekanis dari respirasi untuk beradaptasi
terhadap perubahan respirasi yang cepat. Perubahan mekanik ini menyebabkan
kondisi restriksi. Penurunan fungsi respirasi terjadi secara progresif.2
Pada pasien dengan tulang imatur dan memiliki risiko progresivitas besar
dengan sudut Cobb <200 disarankan untuk dilakukan observasi, namun jika
sudut Cobb > 200 penggunaan penyangga (bracing) menjadi pilihan untuk
mencegah dilakukannya tindakan operasi dan menunggu maturitas tulang
belakang.1
Tindakan operasi menjadi pilihan jika sudut Cobb pada rontgen posteroanterior
>40-450 di regio torakolumbal atau >500 di regio torakal. Tujuan utama
dilakukan tindakan operasi adalah untuk mencegah progresivitas dengan
dilakukan arthrodesis atau fusi dari regio tulang belakang yang
berkaitan.Tujuan dari spinal arthrodesis atau fusi adalah untuk mencegah
konsekuensi jangka panjang seperti, nyeri, penurunan kapasitas paru,
mengurangi deformitas, dan mengembalikan sudut tulang belakang.1
Tindakan operasi dapat dilakukan dengan pendekatan anterior atau posterior.1,4
Pendekatan anterior melalui dada atau abdomen di mana dapat dilakukan
disektomi (diangkatnya diskus) untuk meningkatkan mobilitas dari tulang
belakang dan menghilangkan potensi pertumbuhan dari vertebra. Pendekatan
posterior langsung pada punggung pasien merupakan pendekatan yang paling
sering dilakukan.1
2.5.Konsiderasi Anestesi
2.5.1. Pra anestesi
Tindakan pembedahan tulang belakang termasuk tindakan pembedahan
mayor yang membutuhkan persiapan yang lengkap. Pada persiapan pra
9
operasi dilakuka pemeriksaan tes fungsi paru dengan spirometry, analisa gas
darah, dan peniliaian dari dokter jantung jika ditemukan adanya kelainan
jantung.2,5
Tabel 2. Konsiderasi pre operatif 5
Tindakan pembedahan pada skoliosis dengan pendekatan posterior, pasien
akan diletakkan dalam posisi prone atau posisi knee-elbow. Oleh karena itu
disarankan untuk menggunakan pipa endotrakeal yang memiliki pelindung
sehingga tidak mudah kinking atau berubah posisi saat pasien diletakkan
dalam posisi prone.2
10
Tabel 3. Konsiderasi posisi prone5
2.5.2. Durante pembedahan
Pemeliharaan anestesi dapat menggunakan regimen yang dapat mengontrol
tekanan darah, menyeimbangkan kebutuhan untuk perfusi medula spinalis
dengan kebutuhan untuk memberikan lapangan operasi yang bersih.
Perdarahan biasanya minimal kecuali dilakukan laminektomi yang luas dan
dilakukan fusi, persiapan darah harus dilakukan. Jika tindakan akan
membutuhkan waktu yang panjang dengan risiko terjadinya hipotensi
11
dibutuhkan pengawasan yang invasif seperti pemasangan artery line, kateter
urine, dan kateter vena sentral.5
2.5.2.1.Monitoring saraf tulang belakang
2.5.2.1.1. Wake up test
Untuk monitoring saraf tulang belakang, durante operasi dapat
dilakukan wake up test. Tes ini dikerjakan dengan mengurangi anestesi
hingga titik tertentu selama tindakan dan menilai kemampuan pasien
dalam mengikuti perintah. Teknik ini hanya dapat menilai kondisi pada
saat itu sehingga kemungkinan terjadinya cedera tulang belakang masih
dapat terjadi.2,5,6,7
2.5.2.1.2. Neurophysiologic monitoring
Neurophysiologic monitoring diperlukan untuk mendeteksi secara cepat
kelainan neurologiss yang terjadi saat dilakukan intervensi pembedahan
sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan dan menghindarkan
timbulnya sequele.7
2.5.2.1.2.1. Somatosensory evoked potential
Teknik monitoring lain yang dapat dikerjakan adalah menggunakan
Somatosensory evoked potentials (SEP’s) yang dapat memberikan
gambaran secara terus menerus selama operasi. Stimulus listrik
diberikan pada ekstremitas bawah dan elektroda dapat mencatat evoked
potentials pada cortical (SCEP) atau spinal (SSEP).5
SSEP paling sering digunakan sebagai modalitas untuk memonitoring
integritas dari medula spinalis selama operasi skoliosis. SSEP
dilakukan dengan meletakkan elektroda di pergelangan tangan untuk
nervus medianus dan ulnaris dan di pergelangan kaki untuk nervus
tibialis posterior.8,9 SSEP hanya menilai integritas dari jalur sensoris
ascending pada kolumna dorsalis dengan menstimulasi saraf perifer
secara elektrik dan merekam potensial yang muncul pada korteks dan
subkorteks.6,9 SSEP tidak dapat menunjukkan jalur motorik yang
mungkin mengalami kerusakan selama operasi. Hal ini dikarenakan
12
jalur motorik terletak di anterior descending dan jalur kortikospinalis
lateral. SSEP menunjukan aktivitas listrik yang menunjukkan aktivasi
dari struktur kortikal dan subkortikal setelah stimulasi elektrikal pada
saraf perifer. Impuls listrik kemudian dikomputerisasi untuk
menghasilkan gelombang yang menunjukkan waktu (milliseconds) dan
voltase (microvolts).6 Gelombang SSEP diukur dalam amplitude dan
latensi.6,9 Amplitude menunjukan gelombang evoked potential dari
perbedaan peak to peak voltage. Latency menunjukkan wakti dari
stimulus ke puncak respon. Selama operasi, impuls listrik dihantarkan
ke nervus median atau posterior tibialis melalui elektroda di
permukaan. Impuls kemudian diarahkan ke sentral melalui saraf perifer
ke kolumna dorsalis dari medula spinalis, yang nantinya akan naik ke
kolumna dorsalis ke medulla spinalis. Di medula, impuls akan melewati
titik tengah ke talamus kontralateral dan menuju ke korteks
somatosensoris primer. Ketika fungsi medula spinalis mengalami
kerusakan, akan terjadi peningkatan latency dan penurunan amplitudo.
Peningkatan latency lebih dari 10% atau penurunan amplitudo lebih
dari 50% dikatakan signifikan. Perubahan ini menunjukkan hilangnya
integritas dari jalur neural.6 SSEP memiliki spesifisitas tinggi untuk
mendeteksi cedera pada medula spinalis yang akan terjadi.
SCEP dipengaruhi oleh obat induksi anestesi dan obat anestesi inhalasi,
opioid dan obat anestesi lokal dan interpretasinya membutuhkan
keahlian dan pengalaman. Penurunan amplitude yang bukan
dikarenakan obat-obatan sekitar 30-50% dikatakan cukup signifikan
untuk menilai kemungkinan kerusakan saraf tulang belakang. Namun
tetap membutuhkan keahlian khusus untuk interpretasinya dan wake up
test mungkin tetap dibutuhkan. SSEPs dapat dicatat dengan meletakkan
elektroda di ruang epidural dan tidak terlalu dipengaruhi oleh agen
inhalasi, namun sensitive terhadap perubahan suhu, tekanan darah dan
obat anestesi lokal.5,9 SSEP lebih efektif jika digunakan secara
multimodal bersama dengan motor evoked potensial (MEP), dan
elektromiografi.9
13
2.5.2.1.2.2. Motor evoked potential (MEP)
MEP memonitor descending motor system yang terletak di traktus
kortikospinalis anterior dan lateral, dan dapat diperoleh dengan
stimulasi elektrikal atau magnetik transcranial. (tce-MEP).6,9 MEP
didasarkan pada area yang dapat tereksitasi di korteks yang
menimbulkan kontraksi otot segmental dari stimulasi elektrikal.6
Elektroda diletakkan di kepala (SCALP) untuk menstimulasi korteks
motorik dengan pulsasi dengan voltase tinggi dan sinyal berdurasi
pendek. tceMEP dapat mengevaluasi secara langsung traktus
piramidalis medula spinalis untuk mendapatkan informasi motorik.
Pengukuran dapat juga dilakukan pada celah epidural atau sebagai aksi
potensial otot pada effector muscle.9
Satu kriteria bahaya untuk MEP harus ditentukan di awal. Saat ini
terdapat 3 cara untuk menentukan kriteria bahaya yang
mengindikasikan perubahan signifikan dari fungsi motorik pasien.
Kriteria pertama dikenal dengan nama Threshold technique. Teknik ini
menggunakan 100 volt yang ditingkatkan sebagai stimulus tanpa
recovery dari amplitudo dianggap sebagai perubahan yang signifikan.
Stimulus meningkat ketika amplitudo dari respon miogenik turun
dibawah 65% dari baseline. Teknik kedua adalah teknik amplitudo di
mana stimulus ditingkatkan hingga maksimal selama amplitudo dari
respons yang tercatat dapat dijaga di batas yang dapat diterima. Teknik
terakhir adalah dengan All or None technique yang memungkinkan
peningkatan stimulus hingga maksimal dan penurunan amplitudo yang
signifikan selama respon yang direproduksi tetap dapat dicatat.9
Penelitian Lang et.al menunjukkan bahwa hilangnya amplitudo MEP
sementara tidak akan menimbulkan deficit motorik pasca operasi.
Namun hilangnya amplitudo tce-MEP secara lengkap tanpa perbaikan
selama pembedahan selalu menunjukkan adanya deficit motorik pasca
pembedahan. 6 tceMEP sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis jejas
medula spinalis dan perfusi medula spinalis yang buruk intraoperatif.9
14
Ketika digunakan bersamaan, SSEP dan tce-MEP dapat digunakan
untuk penilaian sekuensial dari sensoris kolumna dorsalis dan motorik
koluma ventralis. Berdasarkan DiCindio et.al, tce-MEP dan SSEP pada
saraf tibia posterior dapat memonitor pasien dengan skoliosis
neuromuskular. Pelosi et.al menyatakan pengawasan motorik dan
sensorik lebih aman, sensitif, dan dapat dipercaya jika dibandingkan
dengan penggunaan satu modalitas. 6
Namun penggunaan tce-MEP intraoperatif memiliki masalah utama
yaitu, dapat menimbulkan depresi dari sistem motorik yang terinduksi
oleh agen anestesi. Berdasarkan penelitian dari Ubags et al, isoflurane
dapat menekan miogenik tce-MEP secara signifikan, walaupun peneliti
menunjukkan applikasi stimulus multiple dapat mengatasi masalah ini
secara parsial. Paradigma stimulus multiple dapat digunakan dan
konsentrasi end tidal dari isoflurane tidak melebih 1 minimum alveolar
concentration (MAC). Blok neuromuskular total tidak kompatibel
dengan monitoring dengan miogenik motor EP. 6
Gambar 2. Jalur Neuroanatomi dari SSEP dan MEP9
2.5.3. Pasca pembedahan
Pasca tindakan, pasien akan mengalami nyeri hebat sehingga dibutuhkan
analgetik yang baik. Anestesi lokal dan opioid dapat diberikan di ruang
epidural sebelum dilakukan penutupan lapangan operasi. Pilihan lain
adalah dengan menggunakan Patient Controlled Analgesia (PCA)
dikombinasi dengan analgesia oral atau rektal. Komplikasi yang dapat
terjadi pasca tindakan antara lain hipotensi yang persisten, perdarahan,
15
retensio urine, kerusakan saraf, dan sindrom kauda equina (inkontinensia
urin atau alvi, perineal sensory loss, dan kelemahan anggota gerak
bawah. Kerusakan saraf yang terjadi dapat juga diakibatkan dari posisi
pasien yang kurang tepat selama tindakan pembedahan.5
2.6.Masalah Potensial
2.6.1. Hipotensi pada posisi prone
Posisi prone diketahui memiliki efek negatif terhadap fungsi jantung.
Posisi prone dapat menimbulkan penurunan cardiac output dan tekanan
darah arterial.3 Berdasarkan penelitian dari Schaefer et al, didapatkan
penurunan end diastolic volume (EDV) sebesar 5.6% dan penurunan
stroke volume (SV) sebesar 7.5% dan peningkatan laju nadi sebesar 2.6
kali per menit pada posisi prone. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Pump et.al didapatkan penurunan 16% dari SV, peningkatan kadar
norepinefrin sebesar 27% dan peningkatan resistensi vaskular di perifer
sebesar 23% namun tidak ditemukan peningkatan cardiac output. Kedua
penelitan ini menyimpulkan bahwa efek posisi prone pada SV merupakan
pengaruh dari penurunan pengisian arteri dan hambatan dari baroreseptor
arteri dengan peningkatan aktivitas simpatis.10 Kondisi hipotensi yang
timbul pada posisi prone dapat dinilai dengan menggunakan
transesofageal echocardiografi. Dari pemeriksaan didapatkan penurunan
komplians dari ventrikel kiri karena peningkatan tekanan intratorakal,
yang mengakibatkan penurunan stroke volume dan indeks cardiak dan
mempertahankan ejection fraction. Mekanisme yang mungkin terjadi
adalah syok obstruktif yang berasal dari kompresi mediastinum yang
memperberat resistensi pada pengisian ventrikel.3
2.6.2. Post operative visual loss (POVL)
POVL paling sering terjadi pada pasien yang telah menjalani operasi
bypass jantung, posisi prone dan prosedur pada kepala dan leher. Penyebab
dari POVL masih belum dapat dijelaskan, namun dicurigai karena
kompresi bola mata, emboli, anemia, hipotensi, kongesti vena dalam
waktu lama/ posisi prone, volume dan tipe cairan yang diberikan, dan
16
adanya penyakit penyerta. Namun hanya penekanan bola mata yang dapat
menunjukkan pada beberapa kasus didapatkan oklusi pada arteri sentral
dari retina. (CRAO). Sebagian besar kasus POVL yang terjadi setelah
operasi tulang belakang disebabkan karena CRAO, ischemic optic
neuropathy anterior dan posterior (AION, PION) dan kebutaan kortikal.
Evaluasi dari POVL harus segera dilakukan saat timbul keluhan, walaupun
POVL yang terjadi setelah operasi tulang belakang jarang mengalami
perbaikan setelah terapi.11 Untuk mencegah hal ini terjadi disarankan
untuk melakukan monitoring posisi mata setiao 20 menit.12
2.6.3. Emboli
Emboli karena operasi tulang belakang dapat terjadi karena udara, lemak,
sumsum tulang belakang, atau semen. Sumber emboli berasal dari
instrumentasi, insersi semen, dan terjebaknya udara pada lokasi udara, dan
jarang dikarenakan jalur intravena.Takahashi et. Al melaporkan 80% kasus
emboli grade moderate-berat terjadi pada 40 operasi tulang belakang dengan
instrument. Insersi dari pedicle screw sebagai penyebab terbesar terjadinya
emboli. Emboli udara pada vena dapat dicegah dengan memastikan kondisi
euvolemia pada saat tindakan.11
2.6.4. Perdarahan masif
Perdarahan pada operasi spine sulit diperkirakan karena adanya pooling
pada doek, Perdarahan masif biasanya terjadi pada operasi fusi tulang
belakang yang kompleks. Hipovolemia yang tidak tertangani dapat
menyebabkan komplikasi ke kardiovaskular dan ginjal.11
17
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Data Pasien
Tanggal Kasus : 16 Januari 2017
Identitas : NKB /P/17 Tahun (21/08/1999)/16040486/BPJS/Angsoka
308.3
MRS : 12/01/2017 pk 16.01 WITA
Address : Denpasar
DPJP Bedah : dr. I Gst L.N.A Artha Wiguna, Sp.OT
DPJP Anestesi : dr. IB Krisna Jaya Sutawan Sp.An, M.Kes
Diagnosis : Adolescent Idiopathic Skoliosis
Tindakan : Deformity Correction
3.2. Anamnesis
Pasien datang sadar untuk rencana operasi koreksi skoliosis. Awalnya pasien
merasa jalan tidak seimbang karena kaki dirasakan lebih panjang di satu sisi
dan terasa seperti ada benjolan pada punggung saat SMP. Nyeri punggung
dirasakan saat berjalan. Pasien kemudian berobat ke dokter orthopedi dan
dinyatakan skoliosis, saat itu pasien sudah disarankan untuk operasi, namun
pasien belum mau. Pasien kemudian kembali berobat ke dokter orthopedi dan
menjalani fisioterapi sejak bulan september 2016 di RSUP Sanglah. Saat ini
keluhan nyeri punggung dirasakan berkurang. Nyeri terutama dirasakan saat
berjalan jauh dan membaik setelah pasien berbaring. Pasien juga merasakan
kesemutan pada kedua ekstremitas jika duduk dengan kedua kaki dilipat.
Kelemahan pada ekstremitas dan sesak nafas disangkal.
Pasien seorang pelajar yang mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan sesak nafas dan nyeri dada. Riwayat alergi obat dan makanan tidak
ada. Riwayat diabetes mellitus, penyakit jantung ataupun asma tidak ada.
Riwayat operasi benjolan di leher kiri belakang, 1 tahun yang lalu di RSAD
Denpasar dengan GA tanpa komplikasi. Kebiasaan merokok dan minum
alkohol disangkal
18
3.3. Pemeriksaan Fisik
Berat 52 kg; Tinggi 160 cm; BMI 20.3 kg/m2; Suhu axilla 36,5 oC; VAS
diam 0 dari 100 milimeter, VAS bergerak 10 dari 100 milimeter
Susunan saraf pusat : Compos mentis
Respirasi : frekuensi nafas 16 kali pemenit, Vesikular pada kedua lapang
paru, Rhonki dan Wheezing tidak ada, saturasi oksigen perifer 99% room air,
sabrazes test >20 detik
Kardiovaskular : Tekanan darah 110/80 mmHg; Nadi 82 kali permenit, Bunyi
jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, murmur tidak ada.
Abdomen : Bising usus positif normal, distensi tidak ada
Urogenital : Buang air kecil spontan
Muskuloskeletal : fleksi defleksi leher baik, Mallampati II, gigi utuh
motorik 5555/5555, Sensorik normal /normal
5555/5555
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen Standard Skoliosis (09/12/2016) : Skoliosis torakolumbal (Sudut
Cobb torakalis 800 dan sudut Cobb lumbalis 900
CT Scan Thoracolumbal(07/01/2017) : Skoliosis thoracalis dengan
konveksitas ke kanan serta skoliosis lumbalis compensator degnan konveksitas
ke kiri
Darah lengkap (13/01/2017) : WBC 6,88x103/µL (4,1-11); HGB 13.14 g/dL
(13.5-17.5); HCT 41.98 % (41-53); PLT 310.7 x103µL (150-440)
Kimia Klinik (13/01/2017) : SGOT 15.4 U/L (11-33); SGPT 12.2 U/L (11-50);
albumin 4,4 g/dL (3,4-4,8); BUN 7.5 mg/dL (8-23) ; SC 0,76 mg/dL (0,7-1,2)
; Na 140 mmol/L (136-145); K 4,4 mmol/L (3,5-5,1) ; BS acak 77 mg/dL (70-
140)
19
Faal Hemostasis (13/01/2017) : PT 13.8 (10,8-14,4) detik ; aPTT 32.1 (24-36)
detik ; INR 1,13
AGD pada suhu 36.50C, RR 16 kali/menit, SpO2 99% room air (14/01/2017):
pH 7.38 (7.35-7.45); pCO2 37.8 mmHg (35-45); pO2 98.7 mmHg (80-100);
BE -3.5 mmol/L (-2-2); HCO3- 21.7 mmol/L (22-26); SO2c 97.4% (95-100);
TCO2 22.8 mmol/L (24-30); Na 142 mmol/L (136-145); K 3.51 mmol/L (3.5-
5.1); Cl 108 mmol/L (96-108)
3.5. Permasalahan dan Kesimpulan
Permasalahan actual : tidak ada
Permasalahan Potensial:
• Gangguan ventilasi, desaturasi
• Instabilitas Hemodinamik durante operasi
• Perioperative vision loss
• Massive bleeding
• Paraparese atau paraplegia pasca operasi
Pembedahan:
• Posisi : prone
• Durasi : 4-5 jam
• Lokasi : Thoracolumbal
• Manipulasi : resiko perdarahan
Kesimpulan : Status Fisik ASA I
3.6. Persiapan Pra Anestesi:
Informed consent, SIO, puasa, STATICS, obat anestesi dan emergency, infus
warmer, blood warmer, komponen darah (PRC dan FFP), 2 IV line bore besar,
artery line, amprah RTI dan ventilator
Teknik Anestesi : GA-OTT Non Kinking
20
Premedikasi : Midazolam 2 mg IV, dexametason 10 mg IV,
diphenhidramin 10 mg IV
Induksi : Propofol TCI mode schneider hingga pasien terhipnosis
Analgetik : Fentanyl 50 mcg
Fasilitas Intubasi: Atracurium 25 mg (Lidocaine intratracheal 100 mg)
Pemeliharaan : O2 ; Compressed air ; Propofol TCI mode schneider target
effect 1-3 mcg/ml; Fentanyl drip 0.03-0.1 mcg/kgBB/menit, atracurium
intermiten 0.1 mg/kgBB tiap 45 menit
Medikasi lain : asam tranexamat 1000 mg IV
3.7. Durante Operasi:
Lama operasi : 7 jam 25 menit
Hemodinamik : TD 100-133/65-82 mmHg, N 78-102 kali/menit, RR 12-16
kali/menit, SpO2 99-100%
Cairan masuk:
• Kristaloid : 3700 ml
• Kolloid : 1000 ml
• Darah : PRC 750 mg
Cairan Keluar:
• Urine : 500 ml
• Perdarahan :3000 ml
Monitoring neurofisilogis dilakukan dengan SSEP dan MEP dengan meletakkan
elektroda SSEP lower pada nervus tibialis kanan dan kiri. SSEP upper diletakkan
pada nervus medianus kanan dan kiri. Sedangkan elektroda MEP diletakkan pada
otot abductor policis brevis, tibialis anterior, abductor halucis. Monitoring dimulai
sebelum dilakukan rotasi dari tulang belakang sebagai dasar dari amplitudo dan
latency hingga proses rotasi dari tulang belakang selesai dilakukan. Dari
pemeriksaan didapatkan tidak adanya perubahan yang signifikan dari amplitudo
21
dan latency sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan pada sarah dapat
dikatakan tidak ada.
3.8. Post Operasi:
IVFD : Ringerfundin balance
Analgetik : Fentanyl 300 mcg/24 jam via syringe pump, Paracetamol 1000 mg
tiap 8 jam IV
Antibiotik : Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam
Medikasi lain : Mecobalamin 500 mg tiap 8 jam IV, Methylprednisolon
125 mg tiap 8 jam IV, Vitamin C 200 mg tiap 24 jam IV, Vitamin K 2 mg tiap
8 jam IV, Omeprazole 40 mg tiap 12 jam IV, Albumin 20% 100 cc
Transfusi PRC hingga Hb > 10 g/dL, transfusi FFP 100 cc
Perawatan : RTI + Ventilator (Spontan CPAP, PS 10, PEEP 5, FiO2 50%)
Perawatan di RTI TIMUR
3.9. Follow Up
17 Januari 2017 Pk 21.20 WITA
Suhu axilla 36,5 oC; VAS diam 0 dari 100 milimeter, VAS bergerak 30 dari
100 milimeter
Susunan saraf pusat : Compos mentis
Respirasi : frekuensi nafas 16 kali pemenit, Vesikular pada kedua lapang paru,
Rhonki dan Wheezing tidak ada, saturasi oksigen perifer 99% room air
Kardiovaskular : Tekanan darah 128/80 mmHg; Nadi 105 kali permenit, Bunyi
jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, murmur tidak ada.
Abdomen : Bising usus positif normal, distensi tidak ada
Urogenital : Buang air kecil spontan
Muskuloskeletal : luka operasi regio thoracolumbal terawat, akral hangat
22
motorik 5555/5555, Sensorik normal /normal
5555/5555
Ekstubasi tanggal 17 Januari 2017 pk 14.00 WITA
Pasien BPD dari ICU tanggal 19 Januari 2017
Pasien BPL dari Angsoka 3 Tanggal 25 Januari 2017
Obat oral : paracetamol 500 mg tiap 8 jam, cefixime 200 mg tiap 12 jam,
methylcobalamin 500 mg tiap 8 jam
Mobilisasi dengan eksternal support (Fisioterapi)
Pemeriksaan Penunjang (selama perawatan)
AGD durante op pk 11.30 pada suhu 36.50C, RR 12 kali/menit, SpO2 99% on
bagging (16/01/2017): pH 7.31 (7.35-7.45); pCO2 48.8 mmHg (35-45); pO2
286.7 mmHg (80-100); BE -2.3 mmol/L (-2-2); HCO3- 24 mmol/L (22-26);
SO2c 99.6% (95-100); TCO2 25.5 mmol/L (24-30); Na 136 mmol/L (136-
145); K 2.91 mmol/L (3.5-5.1); Cl 99 mmol/L (96-108)
Darah lengkap post operasi pk 18.21 (16/01/2017) : WBC 23.96 x103/µL (4,1-
11); HGB 9.82g/dL (13.5-17.5); HCT 30.30 % (41-53); PLT 180.40 x103µL
(150-440)
Faal Hemostasis (17/01/2017) : PT 19.5 (10,8-14,4) detik ; aPTT 36 (24-36)
detik ; INR 1.75
AGD pada suhu 36.50C, RR 14 kali/menit, SpO2 99% on ventilator Spontan
CPAP, PS 10, PEEP 5, FiO2 50% (17/01/2017): pH 7.39 (7.35-7.45); pCO2
30.3 mmHg (35-45); pO2 210.4 mmHg (80-100); BE -7 mmol/L (-2-2); HCO3-
18 mmol/L (22-26); SO2c 99.4% (95-100); TCO2 18.9 mmol/L (24-30); Na
136 mmol/L (136-145); K 4.37 mmol/L (3.5-5.1); Cl 112 mmol/L (96-108)
Albumin (17/1/2017): 2.5 g/dL
Darah lengkap (17/01/2017) : WBC 18.77 x103/µL (4,1-11); HGB 8.06 g/dL
(13.5-17.5); HCT 23.34 % (41-53); PLT 161.6 x103µL (150-440)
23
Darah lengkap (18/01/2017) : WBC 20.58 x103/µL (4,1-11); HGB 6.04 g/dL
(13.5-17.5); HCT 19.22 % (41-53); PLT 143.6 x103µL (150-440)
Darah lengkap (19/01/2017) : WBC 10.61 x103/µL (4,1-11); HGB 8.40 g/dL
(13.5-17.5); HCT 26.96 % (41-53); PLT 159.90 x103µL (150-440)
Darah lengkap (22/01/2017) : WBC 9.21 x103/µL (4,1-11); HGB 12.96 g/dL
(13.5-17.5); HCT 41.76 % (41-53); PLT 287.9 x103µL (150-440)
3.10. Dokumentasi
Gambar 3. Foto klinis pre operasi
Gambar 4. Foto torakolumbal pre operasi
24
Gambar 5. Foto CT Scan Torakolumbal pre operasi
Gambar 6. Durante operasi
Gambar 7 SSEP baseline
25
Gambar 8 SSEP post traksi
Gambar 9. MEP
Gambar 10. Foto klinis dan radiologi post operasi
26
BAB IV
DISKUSI
Adolescent Idiopathic Skoliosis(AIP) adalah tipe paling umum dari skoliosis.
Kondisi ini dimulai pada masa awal pubertas pada 1-4% remaja dan sebagian
besar perempuan. Sebagian besar pasien dengan AIS jarang yang memiliki
gejala dan biasanya mencari pengobatan setelah ditemukan AIS saat dilakukan
screening. Mayoritas keputusan terapi dari AIS ditentukan berdasarkan derajat
dari kuravatura tulang belakang dan progresivitasnya. Progresivitas dari
kurvatura lebih mungkin terjadi pada pasien dengan tulang imatur dan ukuran
kurvatura yang besar walaupun sudah mengalami maturitas. Kurvatura dengan
apeks torakalis dan sudut Cobb >500 memiliki prevalensi tertinggi mengalami
progresivitas. Fungsi paru menjadi satu-satunya gejala yang konsisten dengan
ukuran dari kurvatura AIS. Pasien dengan sudut Cobb >500 berhubungan
dengan penurun kapasitas vital paru dan nafas yang pendek namun cepat.
Tindakan operasi menjadi pilihan jika sudut Cobb pada rontgen posteroanterior
>40-450 di regio torakolumbal atau >500 di regio torakal. Tujuan utama
dilakukan tindakan operasi adalah untuk mencegah progresivitas dengan
dilakukan arthrodesis atau fusi dari regio tulang belakang yang
berkaitan.Tujuan dari spinal arthrodesis atau fusi adalah untuk mencegah
konsekuensi jangka panjang seperti, nyeri, penurunan kapasitas paru,
mengurangi deformitas, dan mengembalikan sudut tulang belakang.
Pada kasus, pasien perempuan, 17 tahun, diketahui mengalami skoliosis sejak
SMP. Saat itu pasien sudah mengalami keluhan berupa nyeri di punggung
daengan jalan yang dirasakan tidak seimbang. Pada saat akan dilakukan foto
rontgen, diketahui sudut Cobb dari tulang belakang pasien 800 pada torakal
dan 900 pada lumbal. Jika dibandingkan dengan teori, pasien dengan sudut
Cobb >500 akan mengalami penurunan kapasitas paru dengan nafas yang
pendek dan cepat, namun pada pasien tidak ditemukan adanya kondisi takipneu
dan pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. Untuk
kapasitas fungsi paru tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukannya
pemeriksaan spirometry saat itu, namun dari pemeriksaan sabrazes tes
27
didapatkan hasil > 20 detik. Tindakan operasi yang dilakukan sudah sesuai
dengan teori yaitu dilakukan pada pasien dengan sudut Cobb > 40-500 untuk
mencegah progresivitas yang dapat memperberat keluhan pasien.
Tindakan pembedahan tulang belakang termasuk tindakan pembedahan mayor
yang membutuhkan persiapan yang lengkap. Pada persiapan pra operasi
dilakuka pemeriksaan tes fungsi paru dengan spirometry, analisa gas darah, dan
peniliaian dari dokter jantung jika ditemukan adanya kelainan jantung.
Tindakan pembedahan pada skoliosis dengan pendekatan posterior, pasien
akan diletakkan dalam posisi prone atau posisi knee-elbow. Oleh karena itu
disarankan untuk menggunakan pipa endotrakeal yang memiliki pelindung
sehingga tidak mudah kinking atau berubah posisi saat pasien diletakkan dalam
posisi prone. Pemeliharaan anestesi dapat menggunakan regimen yang dapat
mengontrol tekanan darah, menyeimbangkan kebutuhan untuk perfusi medula
spinalis dengan kebutuhan untuk memberikan lapangan operasi yang bersih.
Perdarahan biasanya minimal kecuali dilakukan laminektomi yang luas dan
dilakukan fusi, persiapan darah harus dilakukan. Jika tindakan akan
membutuhkan waktu yang panjang dengan risiko terjadinya hipotensi
dibutuhkan pengawasan yang invasif seperti pemasangan artery line, kateter
urine, dan kateter vena sentral. Untuk monitoring saraf tulang belakang,
durante operasi dapat dilakukan wake up test. Teknik monitoring lain yang
dapat dikerjakan adalah menggunakan Somatosensory evoked potentials
(SEP’s) yang dapat memberikan gambaran secara terus menerus selama
operasi. SSEP menunjukan aktivitas listrik yang menunjukkan aktivasi dari
struktur kortikal dan subkortikal setelah stimulasi elektrikal pada saraf perifer.
Impuls listrik kemudian dikomputerisasi untuk menghasilkan gelombang yang
menunjukkan waktu (milliseconds) dan voltase (microvolts). Gelombang SSEP
diukur dalam amplitude dan latensi. Amplitude menunjukan gelombang
evoked potential dari perbedaan peak to peak voltage. Latency menunjukkan
wakti dari stimulus ke puncak respon. Selama operasi, impuls listrik
dihantarkan ke nervus median atau posterior tibialis melalui electrode di
permukaan. Peningkatan latency lebih dari 10% atau penurunan amplitudo
lebih dari 50% dikatakan signifikan. Perubahan ini menunjukkan hilangnya
28
integritas dari jalur neural. SSEPs dapat dicatat dengan meletakkan elektroda
di ruang epidural dan tidak terlalu dipengaruhi oeh agen inhalasi, namun
sensitive terhadap perubahan suhu dan obat anestesi lokal. MEP memonitor
descending motor system yang terletak di traktus kortikospinalis anterior dan
lateral, dan dapat diperoleh dengan stimulasi elektrikal atau magnetik
transcranial. (tce-MEP). MEP didasarkan pada area yang dapat tereksitasi di
korteks yang menimbulkan kontraksi otot segmental dari stimulasi elektrikal.
hilangnya amplitudo MEP sementara tidak akan menimbulkan deficit motorik
pasca operasi. Namun hilangnya amplitudo tce-MEP secara lengkap tanpa
perbaikan selama pembedahan selalu menunjukkan adanya deficit motorik
pasca pembedahan.
Pada kasus, pasien sudah menjalani persiapan pra anestesi berupa pemeriksaan
fisik yang dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang seperti, darah lengkap,
kimia klinik, faal hemostasis, analisa gas darah, dan didapatkan hasil dalam
batas normal. Untuk pemeriksaan fungsi kapasitas paru berupa spirometry
tidak dilakukan, namun dilakukan pemeriksaan sabrazes test pre operasi dan
didapatkan hasil normal (>20 detik). Pada pelaksanaan operasi pasien
diberikan premedikasi berupa midazolam 2 mg IV, deksametason 10 mg IV
dan difenhidramin 10 mg IV. Pasien kemudian diinduksi dengan menggunakan
propofol TCI dan diberikan analgetik fentanyl 50 mcg IV. Setelah pasien
terinduksi, pasien diberikan pelumpuh otot dengan atrakurium 25 mg IV.
Pasien kemudian diintubasi dengan ETT non kinking ukuran 7.0. pasien tidak
mengalami goncangan hemodinamik. Untuk pemantauan tekanan darah,
dilakukan pemasangan arteri line. Pasien kemudian diberikan perlindung mata,
dan diposisikan prone. Pasien tidak mengalami goncangan hemodinamik
seperti hipotensi ataupun desaturase saat dilakukan perubahan posisi dari
supine ke prone.
Pada kasus ini sebagai monitoring fungsi saraf tulang belakang dilakukan
pemantauan intraoperatif dengan SSEP dan MEP. SSEP lower diletakkan pada
nervus tibialis kanan dan kiri. SSEP upper diletakkan pada nervus medianus
kanan dan kiri. Sedangkan elektroda MEP diletakkan pada otot abductor policis
brevis, tibialis anterior, abductor halucis. Sebagai dasar perbandingan,
29
dilakukan pemeriksaan SSEP dan MEP sebelum dilakuka manipulasi dan
dilakukan pemeriksaan setiap dilakukan manipulasi berupa pemasangan
pedicle screw dan rotasi dari tulang belakang. Selama tindakan, tidak
didapatkan perubahan yang signifikan dari amplitudo dan latency SSEP.
Namun untuk stimulasi di korteks pada MEP hanya muncul di abductor policis
brevis. Berdasarkan hasil monitoring tersebut dapat dikatakan kemungkinan
pasien mengalami kerusakan saraf setelah tindakan menjadi tidak ada.
Risiko perdarahan untuk tindakan seperti ini sangat besar, untuk kasus ini
didapatkan perdarahan sebanyak 3000 ml dan sudah dilakukan transfusi PRC
sebanyak 750 ml. Lama tindakan operasi 7 jam 25 menit, dengan hemodinamik
yang stabil durante operasi. Pasien kemudian dibawa ke ICU untuk
pemantauan dan perawatan pasca operasi. Pemeriksaan pasca tindakan yang
dilakukan pada hari pertama pasca tindakan didapatkan fungsi motorik dan
sensorik pada keempat ekstremitas dalam batas normal sesuai dengan hasil
pemeriksaan SSEP dan MEP durante operasi, dan tidak didapatkannya
komplikasi dari tindakan seperti kondisi hipotensi, POVL, dan emboli.
Perawatan selanjutnya dilakukan fisioterapi dan penggunaan body jacket.
30
BAB V
KESIMPULAN
Tindakan pembedahan koreksi tulang belakang memiliki risiko yang cukup
besar sehingga dibutuhkan persiapan yang lengkap dan monitoring yang baik
selama tindakan. Salah satu risiko yang dapat terjadi adalah kerusakan saraf
tulang belakang akibat manipulasi yang dilakukan untuk mengkoreksi sudut
tulang belakang. Monitoring dengan menggunakan SSEP dan MEP pada
operasi koreksi deformitas tulang belakang dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya kerusakan saraf akibat cedera pada medula spinalis saat dilakukan
pemasangan pedicle screw dan rotasi untuk mengkoreksi sudut dari tulang
belakang. Monitoring dengan SSEP dapat memberikan hasil yang lebih
signifikan dibandingkan dengan wake up test karena dapat dilakukan terus
menerus sepanjang tindakan operasi dan tidak dibutuhkan perubahan dosis
pemeliharaan dari anestesi.
31
Daftar Pustaka
1. Cheng JC, Castelein RM, Chu WC, et.al. Adoloscent Idiopathic Scoliosis.
In: Disease Primer Volume 1. Macmillan Publisher. 2015
2. Miguel FRJ, Marcelino LC. Complications in Scoliosis Surgery. In : Grivas
T. Recent Advances in Scoliosis. Croatia: Intech; 2012
3. Abjeco AS, Soto JD, Castoro C, et al. Profound Obstructive Hypotensio
from Prone Positioning Documented by Transesophageal
Echocardiography in Patient with Scoliosis: A Case Report. A&A Case
Report. 2017 February 7; DOI : 10.1213/XAA.0000000000000534
4. Coe JD, Arlet V, Donaldson W, et al. Complications in Spinal Fusion for
Adolescent Idiopathic Scoliosis in the New Millennium. A Report of the
Scoliosis Research Society Morbidity and Mortality Committee. Spine
2006; 31: 345-349.
5. Crabb I. Anesthesia for Spinal Surgery. In : Anesthesia and Intensive Care
Medicine. The Medicine Publishing Company Ltd. 2003
6. Gambrall MA. Anesthetic Implications for Surgical Correction of Scoliosis.
AANA Journal. 2007 August; 75 (4): 277-285
7. Kundnami VK, Xhu L, Tak H, Wong HK. Multimodal intraoperative
neuromonitoring in corrective surgery for adolescent idiopathic scoliosis:
Evaluation of 354 consecutive cases. Indian Journal of Orthopaedics. 2010
January; 44 (1): 64-72.
8. Ibrahim T, Mrowczynski O, Zalatimo O, et al. The Impact of
Neurophysiological Intraoperative Monitoring during Spinal Cord and
Spine Surgery: A Critical Analysis of 121 Cases. Cureus. 2017 November
19; 9(11): e1861
9. Laratta JL, Ha A, Shillingford JN, et.al. Neuromonitoring in Spinal
Deformity Surgery: A Multimodality Approach. Global Spine Journal.
2018; 8(I); 68-77
10. Bafus BT, Chiravuri D, van der Velde ME. Severe Hypotension Associated
With the Prone Position in a Child With Scoliosis and Pectus Excavatum
Undergoing Posterior Spinal Fusion. J Spinal Disord Tech. 2008; 21: 451-
454.
32
11. Farag E. Anesthesia for Spine Surgery. New York: Cambridge University
Press; 2012
12. Kwee MM, Ho YH, Rozen WM. The Prone Position During Surgery and its
Complications: A Systematic Review and Evidence-Based Guidelines. Int
Surg. 2015; 100: 292-303.