97
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDIR (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Oleh Muchsin Abdurrahman (11140110000046) JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH NABI MUSA DAN

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

(Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
JAKARTA
N a m a : Muchsin Abdurrahman
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 16 Mei 1996
NIM : 11140110000046
Judul Skripsi : Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa AS
dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-
82)
Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Ghofur, M.A
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan
saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, 11 Maret 2019
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Muchsin Abdurrahman (1114011000046) Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
dalam Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi
ayat 60-82) “Skripsi” untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2019.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam
kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir pada kajian tafsur surat Al-Kahfi ayat 60-82,
serta untuk mengetahui konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
tersirat dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS dalam surat ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian
melalui studi kepustakaan (library research).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS
yang dijelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 dan ayat lain yang berkaitan,
mengandung berbagai macam nilai-nilai pendidikan akhlak. Adapun nilai-nilai
pendidikan akhlak yang tergambarkan dalam kisah tersebut ada 5 point, yaitu
sabar, tawakal, tawadhu, disiplin, dan bersungguh-sungguh.
Kata Kunci : Nilai-nilai Pendidikan Akhlak, dalam Kisah Nabi Musa AS dan
Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi ayat 60-82)
ii
ABSTRACT
Muchsin Abdurrahman (1114011000046) values education of Morals in the story
of Prophet Moses and Khidir Nabi (the study of the interpretation of Surat Al-
verse 60-82 Cave) "Thesis" to the Department of Islamic studies, Faculty of
Tarbiyah and teacher training, the Islamic University Country (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2019.
The purpose of this research is to find the remembrance of the home values
education in the story of him in a letter on the study khidir tafsur pavilion 60-82
verse , and to know the concept of the application of the remembrance of the home
values education that is implied and in musa moses the united states and prophet
khidir whatever is in the us .
In this research , the use writers approach qualitative research was conducted by
using the method descriptive analysis who used a technique of the analysis of the
study through study literature available ( library research )
The results of this study concluded that the story of Prophet Moses and Khidir Nabi
described in surat Al-verse 60-82 Cave and other texts related, contain a wide
variety of moral education values. As for the moral education values that the
breakfast buffet in the story there are 5 point, wait, tawwakul, tawadhu, disciplined,
and conscientious.
Key words: Moral Education values, in the story of Prophet Moses and Khidir(the
study of the interpretation of Surat Al-verse 60-82 Cave)
iii
Bismillahirrahmaanirrahiim,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
tiada henti memberikan segala nikmat, karunia, dan pertolongan-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan ini (skripsi).
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa ajaran agama yang benar, dan penuh kemulian dengan budi
pekertinya, sehingga kita terhindar dari kejahilan-kejahilan yang dapat
menyesatkan kita.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua terkasih yang
tidak pilih kasih, yaitu ayahanda Adih dan ibunda Norma Sumarnis Wijaya, yang
mana berkat kekuatan do’a serta motivasi dari ayah dan ibu, penulis dapat
menyelesaikan studi ini.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari hambatan dan
kesulitan, namun berkat adanya bimbingan, bantuan, nasihat dan saran serta
kerjasama dari berbagai pihak, khususnya dari dosen pembimbing, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Menyadari bahwa keberhasilan penulis menyelesaikan
skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas
dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis memberikan ucapan dan
penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi
ini, antara lain:
1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Dr. Abdul Ghofur, MA, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah
memberikan bimbingan, masukan, dan arahan serta telah meluangkan waktunya
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Akhmad Shodiq, MA, selaku dosen pembimbing akademik Pendidikan
Agama Islam kelas B angkatan 2014
iv
5. Seluruh dosen beserta staf Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan
ilmu serta membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.
6. Teruntuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Adih dan Ibunda Norma Sumarnis
Wijaya yang telah merawat dengan kasih sayang, yang berjuang untuk
memberikan pendidikan yang tinggi kepada putranya, mendidik dengan sabar,
tulus dan ikhlas, selalu mendoakan anaknya dan memberikan yang terbaik
untuk anaknya.
7. Ustadz Sanwani Soehali, SS, selaku guru di majelis taklim yang setiap hari
memberikan ilmu dan motivasi agar penulis dapat menerapkan ilmu yang telah
beliau berikan kepada penulis.
8. Teruntuk kawan-kawan majelis taklim tercinta Fitrah Khairunnas, Miftahul
Ilmy Zururi, Taufiqur Rahman, Muhammad Rizky dan Muhammad Ikhsan
Fadhilah yang tidak pernah lelah memberikan motivasi dan jadi inspirasi dalam
meraih mimpi.
9. Seluruh sahabat-sahabat UKM HIQMA UIN Jakarta, yang selalu memberikan
semangat dan motivasi kepada penulis agar semangat dalam mengerjakan
penulisan ini.
sahabatku, Ahmad Syaifulloh yang telah menemani perjalanan penulis selama
menulis skripsi ini dan dalam mencari ilmu selama di perkuliahan.
Terakhir semoga segala bantuan yang telah diberikan, sebagai amal saleh yang
senantiasa mendapat rida Allah SWT sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kemajuan Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 8 Maret 2019
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 7
D. Perumusan Masalah ............................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8
1. Pengertian Nilai Pendidikan Akhlak ............................................... 9
2. Ruang Lingkup Nilai Pendidikan Akhlak ..................................... 12
B. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an ............................................................. 20
1. Pengertian Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an .................................... 20
2. Macam-Macam Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an ............................ 21
3. Tujuan Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an .......................................... 22
4. Unsur-Unsur dalam Kisah ............................................................ 24
5. Kisah Al-Qur’an dalam Pendidikan .............................................. 27
C. Penelitian yang Relevan ...................................................................... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 30
A. Objek dan Waktu Penelitian ................................................................ 30
B. Metode Penelitian ................................................................................ 30
1. Pendekatan Penelitian ................................................................... 30
2. Sumber Peneletian ......................................................................... 31
C. Fokus Penelitian .................................................................................. 31
D. Prosedur Penelitian .............................................................................. 31
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 34
A. Teks Ayat dan Terjemah ............................................................................ 34
B. Tafsir Mufradat .......................................................................................... 36
C. Tafsir Ayat ................................................................................................. 37
D. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Kahfi ayat 60-82 serta
Implementasinya dalam Pendidikan .......................................................... 61
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 70
pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan itu tersendiri. Bagaimana
pendidikan dan mau dibawa ke mana arah pendidikan di Indonesia itu tergantung
pada perumusan yang dibuat. Dengan mengetahui apa itu pendidikan dan tujuan
pendidikan tersebut maka suatu bangsa tertentu akan dapat menentukan
pendidikan seperti apa yang diinginkan.
Di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 adalah bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1
Ada penggalan kalimat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab
II Pasal 3 yang dapat ditarik benang merah yaitu “berkembangnya potensi
peserta didik” adalah tujuan inti dari proses pembelajaran. Setelah mengetahui
hal tersebut barulah mencari formulasi yang tepat untuk mencapai tujuan itu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan. Karena pendidikanlah yang akan mengembangkan
potensi manusia. Berkaitan dengan hal ini, pendapat Muhammad Amin yang
dikutip oleh Abudin Nata menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha
untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan individual sehingga
potensi-potensi tersebut dapat diaktualisasikan secara sempurna. Potensi-potensi
itu sesungguhnya merupakan kekayaan manusia yang amat berharga. Oleh
karena pentingnya peranan pendidikan, maka sebagai umat Islam dalam
menjalankan sebuah pendidikan hendaknya pendidikan tersebut dilandasi
dengan nilai-nilai keislaman.
1 UU Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003), (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), Cet 2, h. 7
2
Jika definisi pendidikan menurut Abudin Nata yang telah disebutkan di atas
dikaitkan dengan pengertian pendidikan Islam, maka akan diketahui bahwa
pendidikan Islam lebih menekankan pada keseimbangan dan keserasian
perkembangan hidup manusia. Pendidikan akhlak Islam dalam gambaran yang
sangat praktis tetapi terarah, berpengaruh dan relevan dengan kehidupan
seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dalam bermasyarakat.
Menurut Muzayyin Arifin dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Pendidikan Islam menjelaskan bahwa Pendidikan Islam menurut Omar
Muhammad Al-Touny Al-Syaebani, diartikan sebagai usaha mengubah
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
pendidikan dan perubahan tersebut dilandasi dengan nilai-nilai Islami. Oleh
karena itu, pendidikan Islam seharusnya diterapkan dalam semua lini kehidupan
manusia, baik dalam bersosialisasi di masyarakat, beragama sesuai tuntunan
Islam, dan lain sebagainya.2
ditentukan oleh adanya dasar ajaran Islam tersebut. Jika pendidikan lainnya
didasarkan pada pemikiran rasional yang mampu ditelaah dan dikaji oleh akal
saja, maka pendidikan Islam selain menggunakan pertimbangan tersebut dan
data pengalaman seseorang juga berdasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah,
pendapat para ulama dan sejarah tersebut.
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam dan merupakan pedoman
hidup bagi setiap muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang
hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya (hablum min Allah wa hablum min an-nas), bahkan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Untuk memahami ajaran Islam
secara sempurna (kaffah), maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah
memahami kandungan isi Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.
2 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 15
3
Proses pendidikan dalam Islam bertumpu pada Al-Quran dan sunnah nabi.
Menurut perspektif Islam, pendidikan merupakan transfer nilai-nilai Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ke dalam hidup manusia, sehingga
terbentuk khalifah yang paripurna, yaitu makhluk Allah yang bertauhid,
berakhlakul karimah, beramal saleh dan berilmu. Al-Qur’an adalah sumber
utama dan pertama ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai rahmat bagi alam semesta. Di dalamnya terkumpul wahyu Illahi yang
menjadi petunjuk, pedoman dan pegangan hidup bagi manusia dalam berbagai
aspek hidup. 3
pembinan akhlak manusia. Dalam hubungan ini Abudin Nata dalam bukunya
Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an mengutip perkataan Fazlur Rahman
bahwa secara ekplisit kami telah menyatakan bahwa dasar ajaran Al-Qur’an
ialah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan
sosial. Hukum moral tidak dapat diubah; ia merupakan perintah Tuhan. Manusia
tidak dapat membuat hukum tersebut, manusia itu sendiri harus tunduk dalam
kepadanya. Ketundukan itu disebut Islam dan perwujudannya dalam kehidupan
disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah.4
Perhatian Al-Qur’an terhadap pembinaan akhlak itu juga dibuktikan dengan
adanya beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama, secara eksplisit Al-
Qur’an menyebutkan tentang berbagai macam perbuatan yang baik dan
perbuatan yang buruk. Kedua, untuk membimbing manusia agar berakhlak yang
baik dan menjauhi akhlak yang buruk. Al-Qur’an telah memberikan cara-cara
melaksanakannya melalui sosok para Nabi dan Rasul serta orang-orang teladan
yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Mulai dari cerita Nabi Adam hingga Nabi
Muhammad, serta kisah Lukman Al-Hakim dan Ashabul Kahfi adalah contoh
konkret tentang pembinaan akhlak. Ketiga, Al-Qur’an memberikan dorongan
3 Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), h. 3. 4 Abudin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
cet.1 h. 83
4
berupa pahala bagi orang yang berakhlak mulia dan siksa bagi orang yang
berakhlak buruk.5
Namun ketika mengetahui bahwa Al-Qur’an merupakan unsur primer
dalam pembetukan akhlak, rasanya sangat miris sekali jikalau dihubungkan
dengan akhlak yang sekarang dimiliki oleh pelajar Islam di Indonesia. Pelajar
Islam di Indoensia yang memiliki akhlak yang baik bisa dikatakan sedikit yaitu
mereka yang mendapatkan pendidikan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pendidikan
agama yang baik, dan pendidikan budi pekerti di sekolah atau madrasahnya.
Selain itu, tidak bisa dikatakan bahwa menurunnya akhlak pelajar Islam di
Indonesia disebabkan oleh dirinya sendiri. Namun banyak faktor yang
menyebabkan menurunnya akhlak pelajar tersebut, salah satunya yakni
seseorang yang bisa dijadikan model atau contoh dalam membimbing atau
membina akhlak pelajar Islam. Model atau contoh ini yang nantinya akan
mampu menaikkan presentasi baiknya akhlak pelajar Islam di Indonesia yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam hal ini banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang
lingkup pendidikan. Pada tanggal 20 September 2018 terjadi pelecehan seksual
yang dialami oleh seorang siswi kelas 9 SMP Negeri di Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar. Pelecehan seksual terjadi ketika siswi ini mengantarkan
temannya berganti baju olahraga di kamar mandi sekolah. Ketika sedang
berjalan menuju kamar mandi, dua orang siswi ini bertemu dengan guru olahraga
dan guru bahasa Inggris. Namun ketika sampai di kamar mandi, guru ini
meminta satu orang siswi dilarang masuk ke dalam kamar mandi yang sama dan
guru tersebut masuk ke dalam kamar mandi yang lainnya bersama dengan satu
orang siswi yang hendak berganti baju. Di dalam kamar mandi itulah terjadi
pelecehan seksual yang dilakukan oleh dua orang guru tersebut. Bahkan setelah
teman korban keluar dari kamar mandi yang lain, dua guru ini menciumi dan
memeluknya tanpa ada rasa malu. 6
5 Abudin Nata , Ibid, h. 83-84 6 Rahma Lillahi Sativa, Pilu Siswi SMP di Blitar yang Jadi Korban Kebiadaban Oknum Guru
(https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4304233/pilu-siswi-smp-di-blitar-yang-jadi-korban-
5
Kasus lain yang terjadi pada 20 Agustus 2018 di SMK Tujuh Lima 2
Purwokerto. Seorang guru memukul siswa di kelas karena tidak menuruti ajakan
baik sang guru untuk mengikuti shalat. Ketika murid ini diajak shalat oleh guru,
murid ini membangkan untuk mengikutinya. Disebabkan penolakan tersebut,
akhirnya sang guru memukul siswa yang menolak ajakannya dengan tertawa
mengejek guru tersebut. Pada akhirnya murid itu tetap tidak mengikuti shalat
dan guru pun mendapat peringatan dari sekolah.7
Tidak jarang pula peristiwa-peristiwa sebaliknya terjadi perlakuan murid
kepada guru yang diakibatkan dekadensi akhlak pelajar. Pada tanggal 08
November 2018 di SMK NU 03 Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah terjadi
peristiwa yang sangat menyayat hati. Seorang guru gambar teknik otomatif yang
bernama Joko Susilo, mendapat sikap kurang ajar dari para siswanya di dalam
kelas. Segerombolan siswa mendorong dorong dan mengeroyok sang guru di
depan kelas. Ketika diselidiki dan akhirnya Bapak Joko angkat bicara mengenai
persoalan ini. Guru gambar teknik otomatif itu mengatakan bahwa aksi tak
terpuji para siswanya merupakan candaan yang kelewat batas.8
Kelakuan murid yang sempat menggemparkan dunia pendidikan juga
terjadi pada tanggal 12 Oktober 2016. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia
SMA Yayasan Ilham yang bertempat di Makassar mendapat perlakuan kurang
ajar dari salah satu muridnya. Pasalnya murid ini hanya berniat untuk bercanda
dengan gurunya. Murid ini awalnya meminta foto bersama dengan guru dan
dengan sengaja murid ini menaikkan kakinya ke atas meja. Setelah guru ini
melihat tindakan tersebut, ia langsung memberitahu murid untuk menurunkan
kakinya. Akan tetapi setelah diturunkan kakinya, murid ini menaikkan kakinya
kebiadaban-oknum-guru?_ga=2.217327441.650310434.1543433450-886771536.1543433448: 29
November 2018) 7 Muhammad Ridlo, Fakta di Balik Video Viral Guru Pukuli Siswa SMK di Purwokerto
(https://www.liputan6.com/regional/read/3624548/fakta-di-balik-video-viral-guru-pukuli-siswa-
smk-di-purwokerto : 8 Desember 2018) 8 Reza Gustav, Muridnya: Itu Hanya Candaan, Namun Kelewat Batas
(http://wow.tribunnews.com/2018/11/12/pengakuan-guru-joko-susilo-yang-dikeroyok-muridnya-
untuk mematikan rokoknya.9
Peristiwa lain yang sama juga terjadi di Kabupaten Sampang, Jawa Timur.
Guru SMA Negeri 1 Torjun, Ahmad Budi Cahyono menegur siswanya yang
tertidur saat pelajaran sedang berlangsung. Budi mendatangi meja murid
tersebut dan mencoret pipinya dengan tinta agar ia bangun. Bukannya merasa
bersalah, murid tersebut malah memukul Budi di bagian pelipis. Tak hanya
sampai situ, murid laki-laki ini bahkan mencegat Budi pada saat perjalanan
pulang dan kembali menganiayanya hingga meninggal.10
Berdasarkan dari berbagai persoalan di atas, maka peneliti meneliti dengan
mengkaji surat al-Kahfi ayat 60-82. Pertimbangan penulis mengkaji surat al-
Kahfi ayat 60-82 Banyak kisah teladan dan kisah-kisah yang berhubungan
dengan pendidikan salah satunya adalah kisah Nabi Musa yang diperintahkan
oleh Allah secara langsung untuk belajar kepada sang guru pilihan Allah, yaitu
Nabi Khidhir. Dalam kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir tersebut tidak
hanya ilmu pengetahuan karena lebih dari pada itu kisah tersebut lebih
menyinggung masalah sikap dan nilai pendidik akhlak seorang murid kepada
guru.
Dari pemaparan di atas, penulis sangat tertarik untuk menggali makna-
makna tersirat yang terkandung di dalam ayat Al-Qur’an dengan sebuah
penulisan berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa
AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82).”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diteliti pada penelitian “Nilai-
nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS
9 Fauzan, Siswa Urakan Merokok Dekat Guru Jadi Viral di Medsos
(https://www.liputan6.com/regional/read/2624788/siswa-urakan-merokok-dekat-guru-jadi-viral-di-
medsos : 10 Desember 2018) 10 Muhammad Agil Aliansyah, Muka dicoret karena tidur saat belajar, siswa SMA di
Sampang aniaya guru hingga tewas (https://www.merdeka.com/peristiwa/muka-dicoret-karena-
tidur-saat-belajar-siswa-sma-di-sampang-aniaya-guru-hingga-tewas.html : 13 Desember 2018)
masalah sebagai berikut:
1. Kurang etika komunikasi yang baik antara pendidik dan peserta didik
yang mengakibatkan peserta didik tidak mempunyai etika kepada
pendidik.
2. Minim model atau contoh yang menjadi panutan siswa di sekolah
dalam berakhlak dan bertingkah laku.
3. Pergaulan siswa yang sangat bebas dalam ruang lingkup sosial di
masyarakatnya yang berimbas menjadikan siswa kurang berakhlak di
sekolah.
Pada dasarnya, isi kandungan surat al-Kahfi ayat 60-82 mencakup berbagai
macam nilai-nilai pendidikan, di antaranya pendidikan akhlak, pendidikan
spiritual dan pendidikan emosional. Untuk itu, agar pembahasan penelitian
terfokuskan, maka penulis mengambil pembahasan yang berkaitan dengan
berbagai macam permasalahan di atas yaitu:
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak sebagaimana terkandung dalam kisah
Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-
82).
2. Konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak sebagaimana
terkandung dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian
tafsir surat Al-Kahfi ayat 60-82).
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identitas dan pembatasan masalah di atas maka masalah dalam
penelitian dapat dirumuskan:
1. Apa saja nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Nabi Musa AS dan
Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82)?
2. Bagaimana konsep penerapan nilai-nilai pendidikan akhlak
sebagaimana terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS
(kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-82)?
8
F. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitan ini adalah:
1. Untuk meneliti nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam
Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat al-Kahfi ayat 60-
82).
2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir
surat al-Kahfi ayat 60-82).
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini di antaranya sebagai berikut:
1. Bagi penulis adalah menjadi modal awal dalam mempelajari dan mengkaji
segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan akhlak dalam perspektif
Al-Qur’an dan menjadi acuan penulis dalam melaksanakan pendidikan yang
ideal.
2. Bagi jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah untuk
dijadikan salah satu bahan pertimbangan dan rujukan dalam mengetahui
perspektif Al-Qur’an tentang pendidikan akhlak dan diharapkan dapat
memperkaya khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan Islam.
3. Bagi sekolah, sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan pendidikan
akhlak yang tepat.
4. Bagi guru dan orang tua, sebagai pedoman dalam menerapkan nilai-nilai
pendidikan akhlak dan sebagai contoh pedoman untuk membina akhlak
siswa/anak.
5. Bagi pembaca, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan dalam
pembenahan pendidikan akhlak yang semestinya.
9
Nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “harga (dalam
arti taksiran harga), harga uang (dibandingkan dengan harga uang yang
lain), angka kepandaian; biji; ponten; banyak sedikitnya isi; kadar; mutu;
sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu
yang menyempurnakan manusia sesuai hakikatnya”.1
Istilah nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti hal-
hal atau sifat-sifat yang bermanfaat atau penting untuk kemanusiaan.2
Nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan sifat-sifat
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang penting atau
berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai
dengan hakikatnya.3
Dari penjelasan di atas maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa
nilai merupakan sesuatu yang baik dan berharga yang melekat di dalam diri
seseorang yang harus dijunjung tinggi dan diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pendidikan” berasal dari
kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan “pen” dan akhiran “an”, maka kata ini
mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara etimologi
definisi “pendidikan” diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), Ed. 3, Cet. II, h. 783. 2 Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 2005), h. 103 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Cet. II, h. 783 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op. cit., h. 263
10
Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.5
Hasbullah mengutip perkataan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Dasar-Dasar
Ilmu Pendidikian tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, maksudnya adalah pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.6
Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses
pengembangan kepada peserta didik kepada perubahan akhlak, fisik dan kepribadian
sehingga mereka dapat mengembangkan potensi dan dapat memberikan kontribusi
yang baik bagi masyarakat dan bangsa serta negara.
Istilah akhlak memang dikenal sejak awal kelahiran Islam, seperti yang disabdakan
Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits shahih, riwayat Bukhori, Hakim dan
Baihaqi, diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut,
“Bahwasanya saya diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan kebaikan
akhlak.”7
Pengertian akhlak secara bahasa adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk
jamak dari kata khuluqun yang berarti tabiat, budi pekerti, al-‘adat (kebiasaan), al-
muru’ah (peradaban yang baik), al-din (agama).8 Dalam hal ini Ibn al-Jauzi (w. 597
H) sebagaimana dikutip oleh Rosihon Anwar, menjelaskan bahwa al-Khuluq adalah
etika yang dipilih seseorang. Dinamakan khuluq karena etika bagaikan khalqah
(karakter) pada dirinya. Dengan demikian, khuluq adalah etika yang menjadi pilihan
5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra
Umbara, 2010), Cet. 1, h. 2-3 6 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), cet. 5, h. 4 7 M. Hasyim Syamhudi, Akhlak-Tasawuf dalam Konstruksi Piramida Ilmu Islam, (Malang: Madani Media,
2015), h. 1. 8 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 364.
dan diusahakan seseorang. Adapun etika yang sudah menjadi tabiat bawaannya
dinamakan al-Khaym.9
adalah sifat yang tertanam kuat dalam jiwa dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, sehingga
hal ini sudah menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sesungguhnya, bukan karena sandiwara.10
Menurut al-Ghazali yang dikutip oleh Sayyid Kamal al-Haidari akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang
dan mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pemikiran. Jika suatu bentuk
memunculkan perbuatan-perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat,
maka bentuk itu dinamakan akhlak yang baik. Namun jika darinya muncul perbuatan
buruk, maka bentuk itu dinamakan akhlak buruk.11
Ahmad Amin dalam buku Etika sebagaimana dikutip oleh Hamzah Ya’kub
merumuskan pengertian akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.12
Jika diperhatikan dengan saksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak
sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi
pengertian akhlak tersebut dan dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah suatu sikap
yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan
dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
Jadi nilai pendidikan akhlak adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi
kemanusiaan yang melekat pada pendidikan Islam, diperoleh melalui proses usaha
mendidik, membimbing, membina, dan membentuk pribadi manusia menjadi
berintelektual dan berbudi pekerti yang luhur sehingga perbuatan-perbuatan tertanam
kuat dalam jiwanya yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan
9 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawwuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 11. 10 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), cet. 1, h. 4 11 Sayyid Kamal al-Haidari, Jihad Akbar: Menempa Jiwa, Membina Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyyah ar-
Ruhaniyyah: Buhuts Fi Jihad an-Nafs oleh Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustakan Hidayah, 2003), h. 59 12 Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, (Bandung: CV Diponegoro, 1983), h. 12
12
2. Ruang Lingkup Nilai Pendidikan Akhlak
Akhlak dalam agama tidak dapat disamakan dengan etika. Etika dibatasi oleh
sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan hal ini belum tentu terjadi pada
lingkungan masyarakat yang lain. Etika juga hanya menyangkut perilaku hubungan
lahiriah. Misalnya, etika berbicara antara orang pesisir, orang pegunungan dan orang
keraton akan berbeda, dan sebagainya. Akhlak mempunyai makna yang lebih luas
karena akhlak tidak hanya bersangkutan dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan
dengan sikap batin maupun pikiran.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intiya adalah
perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik
atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut, bahwa
objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut ditentukan baik atau buruk.13
Akhlak menyangkut berbagai aspek di antaranya adalah hubungan manusia
terhadap Allah dan hubungan manusia sesama mahluk (manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa) serta hubungan manusia
terhadap lingkungan.
kepada-Nya atau dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya
dilakukan oleh manusia sebagai mahluk kepada Allah sebagai Khalik. Sebagai
mahluk yang dianugerahi akal sehat, kita wajib menempatkan diri kita pada posisi
yang tepat, yakni sebagai penghamba dan menempatkan-Nya sebagai satu-satunya
zat yang kita pertuhankan.
1) Allah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari
air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang
rusuk, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat ath-Thariq ayat 5-7

13 Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyah), Cet. III, h. 2.
13
diciptakan?, Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari
antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”
Dalam ayat ini Allah berfirman manusia diciptakan dari tanah yang
kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang
kokoh (rahim), setelah ia menjadi segumpal darah, segumpal daging,
dijadikan tulang dan dibalut dengan daging dan selanjutnya diberi ruh,
sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Mukminun ayat 12-13.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”
2) Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa
pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap, dan peraba, di samping
anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia
sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78.



“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
3) Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan
sebagainya. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 12-13:



“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal
dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat
mencari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia
telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
kaum yang berfikir.”
Qur’an surat al-Isra’ ayat 70:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji
demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak
akan mampu menjangkau hakikat-Nya.14
Akhlak terhadap sesama manusia dapat dirinci lagi sebagai berikut:
1) Akhlak terhadap Rasulullah SAW
Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir dan kewajiban bagi
setiap manusia untuk beriman kepadanya. Iman tidak cukup dengan hanya
sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal
yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang bagaimana
bersikap terhadap Rasulullah SAW itulah yang dinamakan akhlak terhadap
Rasulullah SAW. Beberapa akhlak yang perlu kita tunjukkan kepada
Rasulullah SAW dalam buku Akhlak Hubungan Horisontal oleh M. Alaika
Salamulloh adalah sebagai berikut:
Sebagai umat Islam, tentu kita wajib beriman kepada Rasulullah
SAW berserta risalah yang dibawanya. Makna mengimani ajaran
Rasulullah SAW adalah menjalankan ajarannya, mentaati perintahnya,
dan berhukum dengan ketepatannya.
14 Moh. Ardani, Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001), cet, 1,
h. 43.
15




“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Dengan demikian, maka semua perintah Rasulullah SAW wajib kita
taati dan semua larangannya wajib kita jauhi.
b) Mencintai Rasulullah SAW
mahluk. Bukti cinta kepada Rasulullah SAW tidak cukup dengan hanya
membaca shalawat, tetapi juga harus diwujudkan dengan tindakan
konkret, di antaranya adalah menjalankan ajaran Rasulullah SAW, rindu
untuk bertemu dengan Rasulullah SAW serta memperbanyak shalawat
dan pujian kepada Rasulullah SAW.
c) Meneladani Akhlak Rasulullah SAW
Karena sikap dan ketaatan beliau pada ajaran yang terkandung dalam
Al-Qur’an menjadi bagian yang tak terpisahkan pada setiap suasana
kehidupannya, sehingga patutlah jika seharusnya kita sebagai umatnya
meneladani akhlak beliau.
ketaatan kita sebagai umatnya kepada sang pemimpin yaitu Rasulullah
SAW dengan mentaati, menjalankan perintahnya serta mengikuti jejak
beliau, manusia akan dijamin kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.
2) Akhlak terhadap Orang Tua
Allah memerintahkan kepada kita supaya senantiasa berbuat baik kepada
orang tua. Mereka berdua telah banyak berjasa kepada kita. Mulai sebelum
16
lahir hingga kita dewasa, tak pernah sedetik pun kasih sayang mereka
terlewatkan dari kita Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra’ 17 ayat 23:




“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dalam buku Akhlak Horisontal karya M. Alaika Salamulloh terdapat
beberapa tuntunan akhlak yang perlu dipahami oleh setiap anak dalam
berinteraksi dengan orang tuanya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Mencukupi Kebutuhan Orang Tua
Dengan tegas Allah memerintahkan kepada kita bahwa setiap harta
yang kita peroleh wajib dinafkahkan kepada orang-orang yang berada di
bawah tanggungan kita, termasuk kepada orang tua. Bahkan orang tua
menduduki peringkat pertama dalam penerimaan nafkah ini. Allah SWT
berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 215:


Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada orang tua,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat,
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Akhlak ini berlaku pada anak yang sudah mandiri dan memiliki
penghasilan sendiri. Bahkan kalau sang anak sudah menikah dan
memiliki anak cucu, kewajiban tersebut tidaklah putus. Hendaklah ia
tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mencukupi kebutuhan
sang orang tua.
Sebagaimana firman Allah SWT QS Luqman ayat 15
17




Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
wajib hukumnya bagi sang anak mematuhinya. Akan tetapi, bila perintah
tersebut menjurus kepada kemaksiataan, maka anak tidak wajib taat.
c) Mendoakan Orang Tua
Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 24:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Ayat di atas menjadi dalil yang kuat mengenai kewajiban anak untuk
mendoakan orang tuanya. Di antara doa yang dipanjatkan adalah semoga
Allah menyayangi kepada keduanya sebagaimana mereka
menyayanginya pada waktu kecil. Mendoakan orang tua adalah
kewajiban seorang anak, baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal
dunia. Rasulullah SAW bersabda:
”Apabila anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal)
dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang
dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan dia.” (HR Muslim)
Sesungguhnya kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua tidak
akan pernah putus meski keduanya telah meninggal dunia, seorang anak
tetap wajib berbakti kepada mereka salah satunya dengan cara
mendoakan keduanya.
18
Setiap muslim meyakini bahwa nasib hidupnya di akhirat ditentukan oleh
perilakunya selama di dunia. Dengan mengerjakan kebaikan, berarti ia telah
menanam benih yang baik. Jika ia lebih senang menceburkan dirinya ke
dalam kubangan maksiat maka ia telah menanam benih yang buruk dan akan
menanggung akibatnya. Akhlak terhadap diri sendiri di antaranya adalah
memelihara diri baik lahir (jasmani) maupun batin (rohani).15
a) Dari sisi batin
jiwanya adalah iman dan amal saleh, sedangkan yang dapat mengotori
dan merusaknya adalah kemaksiatan dan kekafiran. Karena itulah orang
muslim dianjurkan untuk terus-menerus menjaga dan membersihkan
dirinya, menghiasinya dengan akhlak yang baik dan menyapunya dari
segala kotoran dan dosa.16
b) Dari sisi lahir
kesehatan adalah karunia dari Allah SWT dengan menjaga kesehatan
ragawi, berarti kita telah berakhlak mulia kepada diri sendiri. Salah satu
bentuk berakhlak baik terhadap jasmani adalah tidak mengonsumsi
makanan dan minuman yang dilarang Allah SWT karena setiap yang
dilarang oleh Allah SWT pasti di dalamnya terkandung keburukan.
Sebagai contoh, khamar. Dengan tegas Allah SWT melarang setiap
muslim meminum khamar. Sebab, meminum khamar dapat memberikan
dampak yang sangat buruk kepada kesehatan manusia, baik terhadap
pikiran maupun fisiknya. Dengan meminum khamar jaringan dan
metabolisme tubuh menjadi terusik sehingga kekebalan tubuh akan
menurun. Karenanya orang yang minum khamar sangat mudah terserang
penyakit.
Kerabat adalah orang-orang yang mempunyai pertalian keluarga dengan
kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun perkawinan. Kita harus
15 M. Alaika Salamulloh, Akhlak Hubungan Horizontal, (Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani, 2009),
h.121-122 16 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam (LPPI), 2001),
cet. 4, h.54
menjaga hubungan kekerabatan tersebut supaya tetap terjalin kuat dan tidak
terputus. Sebab, apabila tali kekerabatan kita terputus, maka tatanan keluarga
kita akan berantakan.
Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita
adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan
bantuan jika kita membutuhkannya.
1) Menjaga hubungan baik dengan tetangga. Minimal hubungan baik
dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau
menyusahkan mereka.
4) Menghindari permusuhan.
6) Akhlak terhadap Guru
Kata guru biasa dipahami dengan arti digugu dan ditiru yang berarti
dipercaya dan dijadikan suri tauladan. Akan tetapi guru pada hakikatnya
adalah pendidik atau yang mendidik murid. Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan.17
Ada sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang lebih besar kecuali
haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas
bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu
dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu
huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam
agama.”18
Termasuk menghormati guru ialah hendaknya seorang murid tidak
berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan tidak memulai bicara
17 Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pemerintahan RI
Tahun 2010Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Serta Wajib Belajar, (Bandung : Citra Umbara, 2010),
Cet. I, h. 2 18 Syekh Az-Zarnuji, Terjemahan Ta’lim Muta’alim Sebuah Panduan Bagi Para Penuntut Ilmu, (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2009), h. 28
20
padanya kecuali dengan ijinnya. Hendaknya tidak banyak bicara di hadapan
guru. Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang capek atau bosan. Harus
menjaga waktu. Jangan mengetuk pintunya tapi sebaliknya menunggu sampai
beliau keluar.19
c. Akhlak terhadap Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di
sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak
bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan
bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Dalam pandangan Islam,
seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga
sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada mahluk
untuk mencapai tujuan penciptanya.20
Dengan tidak menyakiti, merusak dan mengganggu lingkungan sekitar berarti
kita telah menjaga amanah dari Allah SWT dan juga merupakan wujud syukur kita
kepada pencipta alam semesta terhadap apa yang telah dimiliki seseorang harus
diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan, sehingga terwujud pribadi
yang berkarakter dengan kepribadian yang utuh dan mulia di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
1. Pengertian Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an
Secara bahasa, kata qashash berasal dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar yang
dipetik dari kata qashasha yaqushu qishashan yang secara etimologi berarti mencari
jejak.21 Sementara ulama mendefinisikan qishash sebagai menelusuri peristiwa/
kejadian dengan jalan menyampaikan/menceritakannya tahap demi tahap sesuai
dengan kronologi kejadiannya. Dapat ditambahkan bahwa penyampaian itu dapat
terjadi dengan menguraikannya dari awal hingga akhir, bisa juga dalam bentuk
bagian/episode-episode tertentu.22
Namun secara terminologi, menurut Manna al-Khalil al-Qathan mendefinisikan
qishashul Qur’an sebagai pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat-umat dahulu
19 Syekh Az-Zarnuji, ibid, h. 29 20 Abudin Nata, Op.cit, hal. 15 21 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah, 2007),
h. 354 22 M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsiri, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 319
21
dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris. Ayat yang
menjelaskan tentang kisah-kisah inilah yang paling banyak mendominasi ayat-ayat Al-
Qur’an dengan menunjukkan keadaan negeri-negeri yang ditempatinya dan
peninggalan jejak mereka.23 Hal ini diungkapkan oleh Al-Qur’an dengan
menggunakan cara dan gaya bahasa yang menarik dan atau dengan cara shuratan
nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang
menyaksikan peristiwa itu).24
Dari pengertian yang dikemukakan di atas dipahami bahwa kisah-kisah yang
ditampilkan Al-Qur’an agar dapat dijadikan pelajaran dan sekaligus sebagai petunjuk
yang berguna bagi setiap orang beriman dan bertaqwa dalam rangka memenuhi tujuan
diciptakannya yaitu sebagai hamba dan khalifah bumi dan isinya. Serta memberikan
pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya agar dijadikan pelajaran
untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan
benar.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi beberapa macam, di antaranya
sebagai berikut:
a. Dari Segi Waktu
Ditinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam Al-Qur’an ada tiga bagian, yaitu:
1) Kisah hal gaib yang terjadi pada masa lalu, seperti kisah tentang dialog
malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi (QS. Al-
Baqarah: 30-34), kisah tentang penciptaan alam semesta (QS. Al-Furqan:
59, QS. Qaf: 38), dan kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan
kehidupannya ketika di surga (QS. Al-A‘raf: 11-25).
2) Kisah hal gaib yang terjadi masa kini, seperti kisah tentang turunnya
malaikat pada malam Lailatul Qadr (QS. Al-Qadar: 1-5) dan kisah
tentang kehidupan mahluk-mahluk gaib seperti setan, jin, atau iblis (QS.
A’araf: 13-14).
3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti
kisah tentang akan datangnya hari kiamat (surat al-Qari’ah, surat az-
Zalzalah, dan lain sebagainya), kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat
23 Usman, Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 139 24 Ibid, h. 140
22
(surat al-Lahab), dan kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan
orang-orang yang hidup di neraka (surat al-Ghasyiah, dan lain
sebagainya).
b. Dari Segi Materi
Ditinjau dari segi materi kisah-kisah dalam Al-Qur’an dibagi menjadi 3
bagian yaitu:
2) Kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi masa lampau yang
tidak dapat dipastikan kenabiannya.
3) Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
Rasulullah.25
3. Tujuan-tujuan Kisah dalam Al-Qur’an
Salah satu elemen penting dari gaya Al-Qur’an adalah menerangkan berbagai
bahasan melalui contoh-contoh atau perbandingan-perbandingan. Semua ini kerap
diungkap dari kehidupan para Nabi atau Rasul terdahulu atau peristiwa-peristiwa yang
terjadi sebelum Al-Qur’an diturunkan. Karena itu, tipe-tipe kisah Al-Qur’an ini
mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda-tanda, dan pesan bagi umat
manusia.26 Orang-orang kafir menganggap kisah-kisah ini sebagai mitos dan legenda,
meskipun semua itu mengandung informasi pencerahan yang berharga dan berbagai
contoh bagi yang benar-benar beriman. Allah menerangkan setiap peristiwa yang
mungkin dan hukum-hukum yang berlaku di sepanjang masa dengan memberikan
contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi dari kehidupan para nabi dan bangsa-bangsa
terdahulu.27
Adapun tujuan-tujuan dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an, merenungkan dan memperhatikannya
akan menggiring kita untuk berpikir. Berpikir merupakan kerja akal di mana
manusia mengaktifkan daya pikirnya dan mendayagunakan akalnya, lalu
merenungkan episode-episode kisah yang memuat nasihat dan pelajaran. Al-
Qur’an menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil
pelajaran, dan ia mengajak kita dalam banyak ayat untuk berpikir dan
25 Ahmad Syadali dkk, Ulumul Qur’an II Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MkDK, (Bandung: Pustaka
Setia, 2000), hal. 27-30 26 Harun Yahya, Misinterpretasi terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-
Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h.71-72 27 Ibid, h.72-73
23
mengambil pelajaran, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:


“Katakanlah, sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu
hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua
atau sendiri, kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad)...” (QS. Saba’:
46)
Berpikir, menalar, dan mengambil pelajaran merupakan buah dari
membaca kisah orang-orang terdahulu yang ada dalam Al-Qur’an, hasil dari
mendengarkan kisah-kisah Al-Qur’an dan merupakan salah satu tujuan mulia
yang harus dituju oleh setiap orang yang membaca Al-Qur’an, mendengarkan
atau mengisahkannya kepada para pendengar.
b. Dengan kisah-kisah dalam Al-Qur’an dapat meneguhkan hati, sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman:

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu ialah kisah-
kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman.” (QS. Hud: 120)
Umat Islam pada masa kini lebih membutuhkan realisasi tujuan Al-
Qur’an ini dari kisah-kisahnya. Kita lebih membutuhkan peneguhan hati kita
melalui kisah-kisah Al-Qur’an, yaitu mewujudkan ketenteraman hati,
memantapkan posisi kita pada jalan kebenaran, dan meneguhkan pendirian
kita. Ayat ini memberikan kepada kita bahwa telah hadir kepada kita melalui
kisah-kisah Al-Qur’an: al-haq (kebenaran), pelajaran, dan peringatan bagi
orang-orang mukmin.28
c. Mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh para nabi dan
tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran. Serta
memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang akhir
yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta memotivasi
28 Shalah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an Pelajaran Dari Orang-orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani,
1999), hal. 28-30
orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan bernasib sama
seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan lainnya.
Demikian juga para da’i yang melanjutkan tugas nabi dan pengikutnya,
diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami penolakan dan
perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para nabi-Nya di
penghujung peristiwa mengalahkan pendusta.
d. Kisah adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk
membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh bersifat mendidik,
karena sejak dulu para pendidik menggunakannya sebagai sarana untuk
mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara yang ringan dan
menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan hikmah, nasihat,
pelajaran, serta keteladanan.29
Unsur-unsur pembangun sebuah kisah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering digunakan para
kritikus dalam mengkaji dan membicarakan sebuah kisah atau karya sastra pada
umumnya.30
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai oleh
pembaca saat karya sastra. Kepaduan antar unsur intrinsik inilah yang
membuat sebuah kisah menjadi nyata.31
Unsur intrisik di antaranya terdiri dari: tema, alur, penokohan, latar, dan sudut
pandang.
mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur
semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-
29 Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qur’ani: dari Motif hingga Ilmu Laduni, (Bandung: Penerbit
Marja, 2010), h. 155 30 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), Cet.
VIII, h. 9 31 Ibid, h. 43
25
sentral yang menjadi dasar tolak penyusunan karangan dan yang sekaligus
menjadi sasaran/tujuan karangan itu.32
ditemukan kejelasan tentang tokoh dan penokohannya/perwatakannya,
situasi dan alur ceritanya. Dapat pula dilakukan dengan bertanya: Apakah
motivasi tokoh? Apakah problemnya? Bagaimana perwatakannya?
Bagaimana sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu? Dengan
kata lain, tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya
bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan
situasi tertentu.33
2) Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.
Atau lebih jelasnya, alur merupakan peristiwa-peristiwa yang disusun satu
per satu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal
sampai akhir cerita.34
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa tiap peristiwa tidak berdiri sendiri.
Peristiwa yang satu akan mengakibatkan timbulnya peristiwa yang lain,
peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa
berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir.
3) Penokohan
perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan
menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut sebenarnya
tidak menyarankan pada pengertian yang sama, atau paling tidak serupa.
Istilah penokohan lebih luas cakupannya daripada tokoh. Sebab ia
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh dalam cerita, bagaimana
perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam
32 Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 45 33 Ibid, h. 45 34 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al
Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26.
26
pembaca. Masalah penokohan sekaligus menyarankan pada teknik
perwujudan dan pembangunan tokoh dalam sebuah cerita utuh.35
4) Latar
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. 36
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk
memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demian,
pembaca merasa dipermudah mengoperasikan daya imajinasinya, di
samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan
dengan pengetahuannya tentang latar. 37
5) Sudut Pandang
pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara
atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk karya kepada pembaca.38
Sudut pandang dapat dibedakan secara garis besarnya ke dalam dua
macam, yaitu persona pertama, first person, gaya “aku”, dan persona
ketiga, third person, gaya “dia”. Atau, menurut Brook dan Warren, sudut
pandang dibedakan dengan sebutan:
i. Narator bertindak sebagai tokoh dalam cerita yang meliputi: sebagai
tokoh utama yang menceritakan ceritanya; dan sebagai tokoh minor
yang menceritakan kisah tokoh utama.
ii. Narator bertndak bukan sebagai tokoh dalam cerita, yang meliputi:
pengarang sebagai orang ketiga yang mengisahkan cerita dan
menyusupi pikiran serta perasaan tokoh utama, dan pengarang dalam
menceritakan cerita itu hanya sebagai peninjau saja.39
35 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 166 36 Robert Staton, Op.cit, h. 35 37 Ni Nyoman Karmini, Op.cit, h. 68 38 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 248 39 Ni Nyoman Karmini, Op.cit, h. 70
27
5. Kisah Al-Qur’an dalam Pendidikan
Al-Qur’an tidak diragukan bahwa di dalamnya terdapat cerita muhamakamat yang
selalu menepati janji. Cerita itu mampu mengetuk imajinasi pembaca maupun
pendengarnya sampai akhir cerita itu dan bersifat mudah dicerna oleh akal manusia.
Cerita itu mampu menguraikan kepada hubungan perasaan tanpa ada rasa bosan dan
jenuh. Cerita itu pun mampu memberikan jawaban yang masuk pada elemen-elemen
akal. Maka dari itu, cerita itu mengumpulkan dari berbagai bidang cerita, baik yang
bersifat bunga dan buah.
memberikan pengajaran yang bosan. Peserta didik akan merasa bosan untuk mengikuti
pelajaran-pelajaran yang menggunakan metode-metode tersebut dan merasa sulit
mengambil pelajaran. Metode-metode di atas juga membutuhkan waktu yang cukup
lama. Oleh karena itu, pendidik dalam bercerita harus menggunakan metode-metode
yang menarik minat peseta didik dalam belajar, memberikan manfaat kepadanya dan
juga memberikan faidah-faidah yang banyak.
Pada umumnya, ketika peserta didik diceritakan beberapa hikayat atau kisah-kisah
dalam belajar, mereka akan menundukkan kepalanya untuk mendengarkan kisah
tersebut. Bahkan merasa malu ketika mendengar kisah orang terdahulu. Sehingga
peserta didik akan memahami sesuatu yang diceritakan kepadanya dan mereka akan
menceritakan kembali kisah-kisah tersebut kepada teman sepermainannya.
Inilah hal yang terlihat ketika peserta didik diceritakan menggunakan metode-
metode yang menarik, maka seorang pendidik seharusnya menceritakan hal-hal yang
memberikan faidah kepada peserta didik di dalam menyampaikan materi-materi
pelajaran. Hal yang paling diutamakan oleh seorang pendidik dalam bercerita adalah
pelajaran agama dan akhlak, yaitu materi inti dalam pendidikan dan pendidik mampu
membimbing agama dan akhlak mereka yang menjadi bekal untuk kehidupannya.
Di dalam kisah-kisah Al-Qur’an terdapat kandungan menumbuhkan potensi-
potensi yang memberikan kesenangan pendidik dalam menceritakan kisah-kisah
tersebut, sehingga pendidik merasa berhasil dalam mendidik peserta didiknya. Kisah-
kisah tersebut juga memberikan efek jangka panjang dalam ingatan peserta didik untuk
menumbuhkan akhlak dan agamanya. Kisah-kisah tersebut berupa perjalanan para nabi,
kabar-kabar orang terdahulu dan sunnatullah untuk seluruh kehidupan di muka bumi
ini, ada juga keadaan-keadaan para imam terdahulu. Maka dari itu, seorang pendidik
dalam mencertikan kisah-kisah Al-Qur’an harus jujur dan benar.
28
metode-metode yang sesuai dengan pelajaran yang sedang diajarkan kepada peserta
didik. Tidak hanya dalam bercerita, namun dalam semua pelajaran harus menggunakan
metode yang sesuai dengan materi yang diajarkannya. Inilah yang menjadi tolak ukur
keberhasilan seorang pendidik dalam menceritakan kisah-kisah Al-Qur’an yaitu
bertambahnya hal-hal yang bermanfaat dalam ingatan peserta didik baik ketika ia masih
muda ataupun sudah dewasa yang menjadi kebutuhannya nanti. Seperti kisah-kisah Al-
Qur’an yang diceritakan menggunakan metode-metode dalam memperbaiki adab
sehingga menjadi baik. Serta membutuhkan banyak analisa yang mendalam dan
mendukung proses pendidikan dalam membentuk kepribadian peserta didik.40
C. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan skripsi “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam
Kisah Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (Kajian Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 60-82”
adalah sebagai berikut:
1. Skripsi Siti Damayanti yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam
Perspektif Al-Qur’an Surat al-An’am Ayat 151-153” pada tahun 2017 di FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian ini, Siti Damayanti
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode library research (kajian
studi kepustakaan). Dalam pembahasan tafsirnya, penulis menggunakan metode
tafsir tahlili dengan sumber Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Azhar, dan Tafsir Al-
Misbah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diperoleh bahwa dalam ayat
tersebut terdapat beberapa nilai pendidikan akhlak, di antaranya: nilai ketauhidan,
birrul walidain, perlindungan terhadap anak dan keturunan, menjaga kehormatan
diri, perlindungan terhadap jiwa, memelihara (menyayangi) anak yatim, jujur dan
adil dalam perniagaan dan dalam kesaksian, menepati janji, serta taat dan patuh
pada peraturan.
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi di atas adalah terletak pada objek
kajian penelitian, yaitu dalam skripsi tersebut yang dikaji adalah QS. Al-An’am
ayat 151-153, sedangkan dalam penelitian yang akan penulis teliti membahas
tentang QS. Al-Kahfi ayat 60-82. Persamaan penelitian ini dengan skripsi di atas
adalah keduanya membahas ayat Al-Qur’an dengan fokus penelitian nilai-nilai
40
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulumul Quran, (Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1073), h. 310-311
29
2. Achmad Syarief, dalam skripsinya yang berjudul “Aspek-Aspek Pendidikan
Akhlak yang terdapat pada QS. Ali Imran ayat 133-136”, yang ditulis pada tahun
2012 di FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa ciri orang yang bertakwa yang meliputi sikap dermawan,
sikap sabar (baik dalam menahan amarah dalam memaafkan kesalahan orang lain
yang dilakukan atas dirinya) serta ajakan kepada orang-orang beriman untuk
bersegera bertaubat serta bersegera meminta ampun dari Allah SWT yang mana
di dalamnya Allah menjanjikan kepada orang-orang yang bertakwa tersebut akan
diberi imbalan yang berupa surga.
Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada adalah
objek penelitiannya, dan dalam skripsi ini surat, ayat, serta pemahaman dalam
nilai-nilai pendidikan akhlak surat al-Hujarat ayat 9-13. Di sini dapat terlihat di
mana letak persamaan dan perbedaan dalam pengkajiannya sehingga penulisan
skripsi yang akan disusun ini dapat relevan dan menjadi sumber bacaan yang dapat
dijadikan dasar pengetahuan atau referensi.
3. Rizal Faiz Muhammad, dalam skripsinya yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan
Islam dalam Al-Qur’an (Studi Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa AS), yang ditulis
pada tahun 2007 di FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa proses pembelajaran antara Nabi Khidir AS dan Nabi Musa
AS merupakan contoh pembelajaran bagi kehidupan manusia sekarang, di mana
pola keseimbangan dalam kehidupan agar selalu dijaga, antara materi dengan non-
materi, rasionalitas dengan spiritual dan teknologi dengan agama, karena dalam
kisah ini termuat kontribusi positif bagi dunia pendidikan yang dapat diambil
nilai-nilai pendidikan Islamnya.
Adapun yang membedakan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada adalah
objek penelitiannya, dan dalam skripsi ini surat, ayat, serta pemahaman dalam
nilai-nilai pendidikan Islam. Di sini dapat terlihat di mana letak persamaan dan
perbedaan dalam pengkajiannya sehingga penulisan skripsi yang akan disusun ini
dapat relevan dan menjadi sumber bacaan yang dapat dijadikan dasar pengetahuan
atau referensi.
Objek penelitian yang penulis kaji yaitu tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah
Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS (kajian tafsir surat Al-Kahfi ayat 60-82). Adapun waktu
yang dilaksanakan pada penelitian ini dimulai pada bulan November 2018 dengan perkiraan
perencanaan penelitian sebagai berikut: pada bulan November dan Desember 2018 mencari dan
mengumpulkan data-data beserta referensi-referensi dari berbagai sumber, baik sumber primer
maupun sumber skunder. Selanjutnya, pada bulan Januari dan Februari 2019 proses
penganalisaan dari data-data yang telah dikumpulkan.
B. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian melalui
studi kepustakaan (library research).
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian
ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman
dalam buku Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek bahwa sumber data penelitian
kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah.
Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah,
jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”.1
Sedangkan metode tafsir yang penulis gunakan adalah metode tafsir tahlili, tafsir
tahlili ialah mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat
dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam Mushaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian
metode ini mengurangi kosa kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran
yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
1 U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada
Press, 2006), h. 80.
sesudahnya. Untuk itu semua merujuk pada sebab-sebab turun ayat, hadis-hadis Rasulullah
dan riwayat para sahabat dan tabi’in.2
Menurut Said Agil Husin al-Munawar dalam buku yang berjudul Ulumul Qur’an
Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan karya Anshori, terdapat empat aspek-aspek yang
perlu diperhatikan dalam menafsirkan ayat dengan menggunakan metode tahlili ini, di
antaranya:
a. Menjelaskan arti kata-kata (mufradat) yang terkandung di dalam suatu ayat yang
ditafsirkan.
b. Menjelaskan asbab an-nuzul, baik secara asbabi atau ibtida’i.
c. Menyebutkan kaitan ayat yang satu dengan ayat yang lain (munasabah al-Ayat) dan
hubungan antara surat dengan surat yang lain baik sebelum atau sesudahnya
(munasabah al-Surat).
d. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat tersebut, baik yang berkaitan
dengan hukum, tauhid, akhlak, atau yang lainnya. 3
2. Sumber Penelitian
Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang berkaitan
dengan tema yang diambil dalam penelitian ini, dengan mengambil sumber-sumber yang
bersifat primer, yakni dari kitab al-Qur’an dan tafsirnya. Seperti tafsir al-Misbah, tafsir
al-Maraghi, tafsir Fi Zilail Quran, dan tafsir al-Azhar. Adapun data yang bersifat sekunder
yaitu dari buku-buku yang membahas berkaitan dengan pendidikan akhlak, kisah-kisah
nabi dan buku-buku yang masih berkaitan dengan tema yang diambil oleh penulis.
C. Fokus Penelitian
Pada penelitian ini penulis memfokuskan penelitian mengenai isi kandungan surat Al-
Kahfi ayat 60-82, bagaimana kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terkandung dalam ayat
tersebut, serta nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.
D. Prosedur Penelitian
2Said Agil Husin Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
cet.1, h. 69 3Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), cet.
I, h. 208
Dalam analisis data, penulis menggunakan dengan teknik pengumpulan data berupa
dokumen-dokumen, artikel-artikel, buku-buku yang terkait, beserta kitab-kitab tafsir,
yang kemudian penulis analisis untuk memperoleh data informasi yang berhubungan
dengan tujuan penelitian, maka sumber datanya meliputi:
a. Data Primer
Yaitu data yang berasal dari sumbernya, dalam hal ini adalah buku-buku yang
berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas. Jadi pendekatan yang
digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan tafsir tahlili. Melalui pendekatan ini
diupayakan untuk memahami makna yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-
82.
b. Data Skunder
Yaitu data yang tidak langsung yang berupa catatan-catatan atau buku-buku yang
berisikan pengetahun tentang Al-Qur’an, buku-buku tentang pendidikan, serta
sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan pembahasan.
2. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah cara peneliti untuk mendapatkan data yang akurat dari data-
data yang sudah dikumpulkan selama proses penelitian dengan cara menganalisis,
mengamati dan menyimpulkan data-data yang diperoleh atau bisa disebut sebagai reduksi
data. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, baik data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan dilokasi penelitian, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar foto dan
sebagainya. 4
Dalam menganalisis suatu data, penulis menggunakan metode tafsir tahlili dengan
beberapa langkah, di antaranya:
a. Penulis memulai dengan menjelaskan kosa kata yang terdapat dalam surat Al-Kahfi
ayat 60-82, yang mana dengan menjelaskan kosa kata terdapat dari masing-masing
ayat mengacu pada kitab-kitab tafsir.
4M. Djunaidi Ghony dan Fauzan al-Manshur. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2014), h. 245
b. Setelah menjelaskan kosa kata ayat per-ayat, kemudian penulis menjelaskan
munasabah atau hubungan dengan ayat-ayat yang masih berkaitan dengan kisah Nabi
Musa dan Nabi Khidir dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82.
c. Menjelaskan makna yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 dengan
dibantu dari penjelasan ayat atau hadits atau ilmu yang berkaitan dengan ayat
tersebut. Pada tahap ini penulis menjelaskan makna yang terkandung dalam surat Al-
Kahfi ayat 60-82 dengan menggunakan literatur dari kitab tafsir, kemudian hadits-
hadits Rasulullah yang berkaitan dengan makna tersebut, serta buku-buku penunjang
seperti buku pendidikan akhlak. Selain itu pada tahap ini juga penulis menganalisis
nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82
sesuai dengan runtutan ayat.
kesimpulan dari surat Al-Kahfi ayat 60-82. Kesimpulan dari penelitian ini berkaitan
tentang apa saja isi kandungan surat Al-Kahfi ayat 60-82, bagaimana kisah Nabi
Musa dan Nabi Khidir yang terkandung dalam ayat tersebut, serta nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.
34
















































35
60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun".
61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya,
lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah
kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".
63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi,
maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke
laut dengan cara yang aneh sekali".
64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula.
65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.
66. Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.
68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir
melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan
yang besar.
72. Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama dengan aku".
73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".
74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih,
bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang
mungkar".
75. Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?"
76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka
janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku".
77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
36
hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".
78. Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera.
80. Dan adapun anak muda itu, maka orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.
81. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).
82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang
yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan
bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
B. Tafsir Mufradat
1. Al-Huqubu () : dengan mendhomahkan huruf ha’ dan qaf, atau huruf ha’ memakai
dhammah, sedangkan qaf memakai sukun. Jadi, bisa dibaca al-huqub, bisa jadi al-huqb:
masa. Ada yang mengatakan, satu huqub sama dengan 80 tahun. Sedangkan menurut Al-
Hasan 70 tahun.
mengikuti dia.
3. Al-Ihatatu bisy-syai’i ( ( : mengetahui sesuatu dengan sempurna
4. Balagta min ladunni ( ( : kamu telah mendapatkan uzur dariku.
5. Qaryatun( ) : sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ialah Antakiyah, atau
Abbillah, atau Nasirah. Kebenaran semuanya tidak bisa dipercaya.1
6. Shobron ( ) : menahan dari kesusahan. Dikatakan: aku menahan dari kesusahan
dengan hewan peliharaan, aku menahan dari kesusahan tanpa makanan hewan, dan aku
menahan dari si fulan. Sabar adalah menahan diri atas sesuatu yang memerlukan akal dan
hukum.2
1 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi 16, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1974), Edisi ke-2, h.
1-2 2 Raghib Al-Ashfahani, Tafsir Mufradat Alfazhul Qur’an, (Damasyqi: Daarul Qolam, 2008), h. 474
37
7. Ilman ( ) : mengenali sesuatu dengan sebenar-benarnya. Ilmu terbagi dua:
Mengenali zat sesuatu
Hukum atas sesuatu pada wujudnya itu maka dia berwujud bagi hukum itu atau
hilangnya sesuatu maka dia hilang padanya.3
8. Safarina ( ) : membuka penutup, dan mengkhususkan itu dengan dua hal, contoh:
membuka penutup sorban dari kepala, kerudung dari wajah.4
9. Adzkuruhaa ( ) : kadang-kadang dikatakan, dan menyelidiki pada suatu bentuk
dirinya sendiri dengan itu menguatkan untuk manusia menjaga sesuatu yang diperoleh dari
pengetahuan. Dzikir terbagi menjadi dua: dzikir hati dan dzikir lisan. Setiap dari keduanya
terbagi menjadi dua: dzikir dari rasa lupa dan dzikir bukan dari rasa lupa.5
C. Tafsir Ayat
1. Ayat 60



“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun".
Ayat ini merupakan ayat pembuka perjalanan kisah Nabi Musa AS dalam
melaksanakan perintah Allah yakni menuntut ilmu kepada seorang guru. Menurut
Hamka, awal mula perjalanan Nabi Musa AS dalam melaksanakan perintah Allah dimulai
dia berjalan meninggalkan kampung diiringkan oleh seorang anak muda yang selalu
menjadi pengawal atau pengiringnya ke mana dia pergi. Menurut satu riwayat Bukhori
daripada Sufyan bin Uyaynah pemuda itu ialah pengiring Musa yang terkenal, muridnya
yang kelak kemudian akan meneruskan tugas beliau yaitu Yusya’ bin Nun.6
Maka setelah lama berjalan belum juga sampai kepada yang dituju, tempat
pertemuan dua lautan berkatalah Musa kepada orang mudanya itu bahwa perjalanan ini
akan beliau teruskan, terus berjalan, dan baru dia akan berhenti apabila dia telah sampai
di atas pertemuan dua laut itu.
3 Ibid, Raghib Al-Ashfahani, h. 580 4 Ibid, Raghib Al-Ashfahani, h. 412 5 Ibid, Raghib Al-Ashfahani, h. 428 6 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XV, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), h. 227.
38
Sayyid Qutb menjelaskan bahwa kita dapat memahami dari arahan kisah ini bahwa
Musa memiliki target dari perjalanannya yang direncakan dengan kuat ini. Musa
bermaksud mencapai sesuatu dari perjalanan ini. Dia mempermaklumkan keinginannya
untuk mencapai pertemuan dua laut itu walaupun harus menghadapi kesulitan yang sangat
besar dan harus ditempuh dalam waktu yang sangat lama. Dia menyatakan cita-citanya
tersebut dengan apa yang diceritakan oleh Al-Qur’an sendiri dari firman Allah, “Atau aku
akan berjalan sampai waktu bertahun-tahun.”7
Firman Allah SWT,

sampai bertahun-tahun.” Abdullah bin Umar mengatakan, “Al Huqb adalah delapan
puluh tahun.” Mujahid mengatakan, “Tujuh puluh musim.” Qatadah mengatakan, “(itu
artinya) zaman.” An-Nuhas mengatakan, “Hal yang dikenal oleh ahli bahasa, bahwa al
huqb dan al hiqbah adalah suatu masa dari waktu yang tidak diketahui dan tidak
ditetapkan.8 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Nabi Musa siap untuk menjalankan
perintah Allah dengan waktu yang cukup lama.
Dalam ayat ini, Allah menceritakan tentang keteguhan dan kekerasan hati Musa
untuk mencari hamba Allah yang shalih. Keinginan Nabi Musa itu disebabkan oleh
perintah Allah untuk menuntut ilmu kepada hamba Allah yang shalih yaitu seorang
hamba yang bisa ditemui di pertemuan dua laut.. Maka setelah mendapat petunjuk dari
Allah tentang keberadaan hamba Allah yang shalih itu walaupun harus menempuh waktu
yang cukup lama. Akhirnya berangkatlah Musa bersama muridnya.
2. Ayat 61
“Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan
ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.”
Menurut suatu riwayat bahwa Nabi Musa ‘Alaihis-Salam disuruh supaya membawa
serta seekor ikan asin , lalu dikatakanlah kepadanya, kapan saja kamu kehilangan ikan
itu, maka di sanalah tempat tinggal Habibullah. Maka diambillah oleh Musa seekor ikan
dan diletakkan dalam sebuah keranjang, kemudian ia pun berangkat, ditemani oleh
7 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar El-Shorouk, 2007), jil. 5, h. 329. 8 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jil. 11, h. 32-33
39
muridnya. Sehingga di sana kedua orang itu sampai pada batu besar yang terletak di sisi
pertemuan antara kedua laut. Kedua orang itu tidur, sedang ikan itu bergerak-gerak dalam
keranjangnya, lalu keluar jatuh ke dalam laut.9
Pendapat yang paling kuat tentang dua laut itu adalah laut Rum dan laut Qalzum
atau laut Putih dan laut Merah. Tempat bertemu