Occupational Asthma

Embed Size (px)

Citation preview

PAPER EPIDEMIOLOGI LINGKUNGANOCCUPATIONAL ASTHMA / ASMA AKIBAT KERJA AKIBAT PAPARAN FORMALDEHIDA

Gunawan Andriansyah 25311303

PROGRAM MAGISTER TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012

Asma Akibat Kerja/ Occupational Asthma

Gambar 1. Gambaran saluran pernafasan normal dan penderita asma Asma didefinisikan secara deskripsi sebagai penyakit imflamasi kronik saluran nafas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak nafas, mengi dan rasa berat di dada teruatma pada malam dan atau dini hari,yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Rengganis, 2008). Dengan kata lain, asma merupakan respon berlebih tubuh terhadap polutan di udara. Dalam dunia kerja, ada yang dikenal sebagai occupational asthma (asma akibat kerja) yaitu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi saluran nafas yang reversible / saluran nafas yang hiperresponsif terhadap berbagai sebab / kondisi yang berhubungan dengan lingkungan kerja tertentu dan tidak terhadap rangsangan yang berasal dari luar tempat kerja (Alimudiarnis, 2008).Occupational Asthma

Immunologic asthma

Irritan-induce Asthma Gambar 2. Pembagian Asma Akibat Kerja

Asma ditempat kerja terbagi dua, yaitu immunologic dan irritan-induce. Asma akibat kerja dengan masa laten yaitu asma yang terjadi melalui mekanisme imunologis. Pada kelompok ini terdapat masa laten yaitu masa sejak awal pajanan sampai timbul gejala. Biasanya terdapat pada orang yang sudah tersensitisasi yang bila terkena lagi dengan bahan tersebut maka akan menimbulkan asma (Alimudiarnis, 2008). Asma akibat kerja tanpa masa laten yaitu asma yang timbul setelah pajanan dengan bahan ditempat kerja dengan kadar tinggi dan tidak terlalu dihubungkan dengan mekanisme imunologis. Gejala seperti ini dikenal dengan istilah Irritant induced asthma atau Reactive Airways dysfunction Syndrome(RADS). RADS didefinisikan asma yang timbul dalam 24 jam setelah satu kali pajanan dengan bahan iritan konsentrasi tinggi seperti gas, asap yang menetap sedikitnya dalam 3 bulan (Alimudiarnis, 2008).

1

Tabel 1. Tipe Asma Akibat Kerja

Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma (Rengganis, 2008). Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulakn bahwa asma pada seorang pekerja dapat bersifat kronis maupun akut. Untuk pembahasan selanjutnya, akan lebih difokuskan pada asma akibat kerja yang bersifat akut (irritan-induce asthma). Epidemiologi Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. Prevalensi asma akibat kerja berbeda antara satu negara dengan yang lain tergantung pada lingkungan pekerjaannya, secara umum terjadi sekitar 5-10 % penduduk. Dari hasil observasi

2

American Thoracis society (ATS) dinegara maju, para pekerja 15 % menderita asma akibat kerja dan merupakan penyakit tersering akibat kerja. Dari penelitian The Surveillance of Work Occupational Respiratory Disease (SWORD) penderita asma akaibat kerja sekitar 26 % di Inggris dan diperkirakan 52 % terdapat di Columbia. Di Amerika Serikat diperkirakan 15 % penderita asma akibat kerja. Di Jepang 15 % dari kasus asma adalah asma akibat kerja, makin lama penderita asma akibat kerja semakin meningkat, terlihat dari laporan di Kanada, dimana tahun 1977 asma kerja peringkatnya dibawah penderita asbetosis dan silikosis, namun tahun 1986 berada diurutan teratas (Alimudiarnis, 2008). Di Indonesia belum ada data pasti tentang penyakit asma akibat kerja namun diperkirakan 210 % penduduk dan 2 % dari seluruh penderita asma tersebut adalah asma akibat kerja, sedangkan Karnen melaporkan bisinosis pada 30 % karyawan pemintalan dan 19,25 % karyawan pertenunan (Alimudiarnis, 2008). 1. Agen Penyakit Telah diketahui lebih dari 250 bahan atau zat yang dapat menimbulkan asma akibat kerja. Paparan partikel yang terhirup ditempat kerja merupakan salah satu sebab timbulnya asma akibat kerja. Berat ringannya gangguan tergantung intensitas dan durasi paparan bahan hirupan. Disamping itu ukuran partikel dan konsentrasi debu diudara juga ikut menentukan progresi gangguan napas. Asma akibat kerja yang melalui mekanisme iritasi jumlahnya lebih sedikit, < 10% kasus. Asma kerja melalui mekanisme nonimunologis biasanya terjadi tanpa masa laten setelah pajanan dengan bahan yang tidak menginduksi sensitisasi. Bahan yang dapat menimbulkan asma seperti ini antara lain formaldehid, sulfur dioksida, asam hidrofluorida, hidrokarbon, asam fumigasi, ammonia, asam asetat, cadmium dan merkuri (Alimudiarnis, 2008). a. Sifat Kimia Fisika Formaldehid tidak berwarna, gas yang daat terbakar pada suhu ruang, berbau tajam dan dapat memberikan sensai terbakar pada mata, saluran pernafasan, dan paru-paru pada konsentrasi tinggi. Formaldehid juga dikenal dengan nama metanal, metilen oksida, dan oksometan. Formaldehid dapat bereaksi dengan banyak senyawa kimia, dan membentuk alkohol dan karbon momoksida pada suhu yang tinggi (ATSDR, 1999). Formaldehid pada konsentrasi tinggi merupakan bahan iritan tetapi pada konsentrasi rendah merupakan bahan sensitisasi yang banyak digunakan di rumah sakit dan industri perabot. Suatu penelitian pada 230 pekerja yang terpajan oleh formaldehid, 12 orang menderita asma akibat kerja (Alumudiarnis,2008). Formaldehid sangat beracun dan menyebabkan iritasi selaput lendir, pada pernafasan atas, mata dan kulit. Ia juga dapat mengakibatkan reaksi alergi, kerusakan ginjal, kerusakan gen, dan mutasi yang diturunkan. Sifat merusak ini terletak pada gugus CO atau aldehid yang reaktif dan mudah berekasi dengan amina. Reaktifitas formaldehid paling tinggi dibanding aldehid yang lain. Secara alami, formaldehid diproduksi dalam jumlah yang sangat kecil pada tubuh sebagai bagian dari proses metabolisme. Formaldehid banyak ditemukan diudara, khususnya pada asap di lapisan atmosfer rendah. Hasil pembakaran kendaraan bermotor yang tidak menggunakan konvereter katalitik atau penggunaan bahan bakar teroksigenasi dapat mengandung formaldehid. Di rumah, formaldehid dapat berasal dari rokok dan produk tembakau lainnya. Terkadang digunakan sebagai bahan pengawet untuk produk makanan. Formaldehid banyak ditemukan disekitar kita, mulai dari antiseptik, obat-obatan, kosmetik, cairan pembersih piring, pelembut pakaian, semir

3

sepatu, pembersih karpet, lem, kertas, plastik, dan bebrapa olahan kayu. Beberapa orang terpapar formaldehid dalam jumlah yang sangat besar ketika mereka mengendarai mobil baru (ATSDR, 1999). Formaldehid banyak digunakan pada berbagai industri. Formaldehid digunakan pada industri kertas, pengolahan besi dan baja, kosmetik dan obat-obatan, pertanian, industri karet, pengolahan kayu, dan fotografi. Kombinasi dengan metanol dan bafer digunakan sebagai cairan pembalsem untuk mengawetkan mayat. Tabel 2. Sifat Fisika Kimia Formaldehid (ATSDRUSEPA)

4

Formaldehid sangat mudah larut dalam air, tetapi tidak lama karena akan segera menguap sehingga jarang ditemukan pada air konsumsi. Kebayakan formaldehid akan terurai secara alami dalam beberapa hari. Hasil penguraian tersebut meliputi asam formik dan karbon dioksida. b. Sistem Transmisi Formaldehid dapat masuk kedalam tubuh melalui inhalasi, ingesti, maupun kontak dermal. Formaldehid sangat mudah terabsorpsi melalui hidung dan mengendap di paru-paru. Sekali terabsorbsi, formaldehid akan langsung terurai. Beberapa sel dalam tubuh memiliki mekanisme untuk menguraikannya. Biasanya diurai menjadi senyawa yang lebih ramah, dan dibuang melalui urin. Dapat pula diubah menjadi karbon dioksida dan di buang melalui pernafasan. Dapat pula diubah menjadi senyawa lebih kecil untuk pembentukan protein dalam tubuh. Formaldehid tidak terlarut dalam lemak.

Gambar 3. Proses metabolisme formaldehid dalam tubuh

5

Secara normal paparan dari formaldehid di pedesaan sekitar 0,2 ppb, Daerah perkotaan sekitar 2-6 ppb dan daerah industri sekitar 10-20 ppb. Jumlah ini dapat meningkat secara drastis bila jumlah polutan sangat banyak (ATSDR, 1999). Pemaparan ini dapat terjadi baik di dalam ruangan maupun luar ruangan. Besaran pemaparan bervariasi, di Jepang antara 91,25 290 g/m3; di Inggris 24 876 g/m3; di amerika mulai dari 0 575 g/m3. c. Patogenesis Pada kasus asma, agen iritan dapat masuk melalui pernafasan langsung (inhalasi), dan dapat pula masuk melalui mulut (oral). Pada kasus oral umumnya terjadi karena alergi terhadap kandungan zat yang ada pada bahan yang tertelan. Proses masuk melalui oral ini jarang terjadi pada kasus asma akibat kerja melalui mekanisme iritan. Proses inhalasi menjadi jalan masuk tercepat karena partikel iritan banyak mengapung di udara sehingga lebih mudah terhisap oleh saluran pernafasan.

Gambar 3. Patofisiologi Asma Akibat Kerja Melalui Mekanisme Iritasi Inhalasi dengan iritan konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan epitel jalan napas. Pada pekerja yang menderita irritant induced asthma, kerusakan sel epitel mengaktifkan sel imunokompeten. Kerusakan epitel bronkus akan menghilangkan faktor relaksasi dari bronkus, paparan ujung syaraf menyebabkan inflamasi neurogenik, dan penglepasan mediator inflamasi dan sitokin diikuti dengan aktivasi nonspesifik sel mast. Sekresi dari faktor pertumbuhan sel-sel epitel, otot polos dan fibroblast, dapat menginduksi regenerasi jaringan dan remodeling. d. Faktor Penentu Agen Ukuran partikel low-weight material (BM kecil). Ukuran partikel menentukan seberapa jauh penetrasi partikel ke dalam pernafasan. Debu-debu yang berukuran 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Alergi berperan penting pada sebagian besar asma bronkial akibat kerja. Patofisiologinya sama dengan asma bronkial 6

umumnya melalui hiperreaktifitas tipe I (IgE). Bahan polutan dengan berat molekul besar (> 5000 dalton) biasanya melalui mekanisme ini yaitu terbentuknya IgE spesifik terhadap bahan tersebut dan pada pemeriksaan tes kulit (prick test) hasilnya positif. IgE spesifik yang terbentuk bila berikatan dengan antigen (polutan) akan menyebabkan sel mast dan sel inflamasi lain mengeluarkan mediator seperti histamin, eosinophilic chemotactic factor (ECF-A), neutrophil chemotactic factor (NCF-A) dll sehingga terjadi proses inflamasi. Mediator tersebut ditemukan pada cairan BAL (broncho alveolar lavage) pasien sma yang diprovokasi oleh alergen tempat kerja. Pada agent/polutan dengan berat molekul rendah (< 5000 dalton) tidak selalu ditemukan Ig E spesifik, karena diperkirakan alergen tersebut hanya berupa hapten dan harus berkonjugasi dengan protein lain untuk menjadi alergen; tetapi pada pemeriksaan BAL pasien-pasien tersebut menunjukkan mediator yang sama seperti asma yang disebabkan oleh berat molekul besar. Oleh sebab itu meskipun tak ditemukan IgE, tetap terbukti terjadi reaksi imunologis (inflamasi) pada pasien tersebut (Karjadi, 2003). Sifat partikel. Partikel yang bersifat reaktif (oksidator) yang paling sering menyebabkan iritasi karena sifatnya yang sangat mudah bereaksi dengan tubuh. Konsentrasi partikel. Semakin besar konsentrasi, maka semakin besar potensi terjadi iritasi, dan perlu diingat bahwa beberapa polutan dapat bersinergi satu sama lain yang bisa saja menghasilkan polutan lebih berbahaya.

2. Host (Inang) Seperti diketahui timbulnya asma adalah hasil interaksi antara faktor host (genetik) dan faktor lingkungan. Faktor predisposisi asma akibat kerja adalah atopi dan merokok. Atopi merupakan faktor predisposisi pada asma akibat bahan berberat molekul besar dan tidak pada yang disebabkan oleh bahan berberat molekul kecil. Sedangkan faktor merokok pada beberapa penelitian menunjukan bahwa orang atopi dan merokok lebih mudah tersensitisasi alergen dalam lingkungan kerja daripada orang atopi dan tak merokok. Orang yang bekerja dengan bahan kimia mengandung formaldehid, sangat rentan terkena asma ini. Dokter umum, perawat, dokter gigi, dokter hewan, ahli patologi, pekerja industri tekstil dan furnitur, dan pengajar/murid yang bekerja di laboratorium dengan konsentrasi formaldehid tinggi. Orang yang sebelumnya sudah memiliki riwayat asma, maka kemungkinan untuk mengalami asma akibat kerja dengan mekanisme iritasi semakin besar. Berikut adalah beberapa faktor penentu dari host. a. Atopi/alergi. Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus. Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin. Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat

7

badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 3. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri inang, baik benda mati, benda hidup, nyata ataupun abstrak, termasuk inang yang lain. Lingkungan dikelompokkan menjadi lingkungan fisik dan non-fisik. Lingkungan fisik seperti faktor geografis yang menyangkut iklim, suhu, kelembaban, kemudian faktor geologis, faktor biosfir, sedangkan lingkungan non fisik yang menyangkut sosiosfir seperti jumlah dan distribusi penduduk, struktur sosial politik, pendidikan, kondisi ekonomi. Berikut beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi asma akibat kerja dengan mekanisme iritan. a. Lingkungan Fisik Polusi udara dari luar dan dalam ruangan Perubahan cuaca. Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga(serbuk sari beterbangan). b. Lingkungan Non Fisik Status ekonomi Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain. Exercise-induced asthma. Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. Ekspresi emosi berlebih. Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif. Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. 4. Pengukuran Paparan Uap formaldehid digunakan dalam studi inhalasi paparan terkontrol dengan memanaskan formalin. Larutan mengandung 30-50% formaldehid ditambahkan metanol untuk menghambat polimerisasi instrinsik kemudian dipanaskan, atau dengan memanaskan padatan paraformaldehid yang merupakan polimer formaldehid. Pengukuran paparan dilakukan dengan cara mengukur langsung kandungan formaldehid di udara. Paparan formaldehid pada sistem pernafasan dapat bersifat:

8

a. Paparan akut terkontrol. Lebih dari 15 jurnal yang telah meneliti hal ini dan didapatkan konsentrasi kontrol yaitu 3 ppm. Lebih dari itu maka dapat menyebabkan efek pada pernafasan. b. Paparan akut selama kerja. c. Paparan berulang.

5. Pengukuran Efek Pada pengukuran efek ini, perlu dilakukan diagnosa menyeluruh terhadap host. Diagnosis asma akibat kerja pada prinsipnya adalah menghubungkan gejala klinis asma dengan lingkungan kerja; oleh karenanya dibutuhkan suatu anamnesis yang baik dan pemeriksaan penunjang yang tepat. a. Anamnesis teliti mengenai apa yang terjadi di lingkungan kerjanya merupakan hal penting; seperti : kapan mulai bekerja di tempat saat ini, apa pekerjaan sebelum di tempat kerja saat ini, apa yang dikerjakan setiap hari, proses apa yang terjadi di tempat kerja, bahan-bahan yang dipakai dalam proses produksi serta data bahan tersebut. Dan yang tak kalah penting adalah peninjauan lapangan oleh pemeriksa (dokter) untuk lebih memahami situasi lapangan. Selain anamnesis mengenai tempat kerja, yang perlu juga diketahui adalah mengenai klinis yang terjadi. Kapan mulai timbulnya keluhan, sejak mulai masuk tempat tersebut atau yang dikenal sebagai masa laten. Masa laten dapat beberapa minggu sampai beberapa tahun, umumnya 1-2 tahun. Klinis sesak, batuk, mengi dapat timbul sewaktu kerja, setelah kerja (sore maupun malam) atau keduanya. Bila frekuensi serangan lebih sering/memburuk sewaktu hari kerja dibandingkan hari libur atau akhir minggu maka dapat diduga asma yang timbul berhubungan dengan tempat kerja. b. Pemeriksaan penunjang. Spirometri (pemeriksaan FEV1) sebelum dan sesudah shift. Dikatakan positif bila terjadi penurunan FEV1 sebesar lebih dari 5% antara sebelum dan sesudah kerja; pada orang normal variabel tersebut kurang dari 3%. Pemeriksaan ini oleh banyak ahli diragukan sensitivitasnya karena pada suatu penelitian hanya 20% penderita asma disebabkan colophony yang turun FEV1nya selama workshift; sedangkan penurunan FEV1 juga dijumpai pada 10% kelompok orang yang tidak asma (kontrol). Cara lain adalah pengukuran FEV1 dan FVC pada pekerja (tersangka asma akibat kerja) yang dikeluarkan dari lingkungan kerjanya dan kemudian diukur ulang sewaktu bekerja kembali. Apabila hasilnya memperlihatkan perbaikan selama meninggalkan tempat kerja dan didukung oleh perbaikan keluhan maka dapat disimpulkan adanya hubungan keluhan klinis dan tempat kerja PEFR : Pemeriksaan serial PEFR (peak expiratory flow rate) selama hari-hari kerja dan beberapa hari libur di rumah, merupakan pemeriksaan asma akibat kerja yang terbaik. Dikatakan positif respons bila kurva pengukuran selama hari libur di rumah lebih baik dari sewaktu hari kerja. c. Tes provokasi. Ada dua macam pemeriksaan: Non spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan histamin atau metakolin. Pemeriksaan ini hanya membuktikan adanya bronkus hiperreaktif . Spesifik yaitu provokasi bronkus menggunakan alergen yang diduga penyebab. Pemeriksaan ini bila dapat dilaksanakan merupakan cara pembuktian terbaik bahwa alergen tempat kerja merupakan penyebab. Kesulitannya terletak pada penentuan alergen penyebab dan reproduksinya bila telah diketahui. d. Tes kulit dan tes serologi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan apabila agen penyebabnya bahan dengan berat molekul besar karena akan merangsang terjadinya reaksi imunologi (IgE).

9

Gambar 4. Algoritma diagnosis asma akibat kerja 6. Treatment dan Pencegahan Menghindari paparan terhadap alergen penyebab akan memberikan kesembuhan pada 50 % kasus. Banyak penelitian mendapatkan bahwa gejala asma serta obstruksi bronkus dan hiperreaktifitas menetap walaupun sudah tidak terpapar oleh alergen tersebut. a. Terapi Non Farmakologi Edukasi pasien. Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk : o meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri) o meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri) o membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma Bentuk pemberian edukasi dapat berupa komunikasi, ceramah, latihan/training, supervisi, diskusi, tukar menukar informasi, film/video presentasi, leaflet, brosur, buku bacaan, dll.

10

Pengukuran peak flow meter. Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada: o Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah. o Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter. o Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa. Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan seperti: o Mengetahui apa yang membuat asma memburuk o Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik o Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat o Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD Penurunan dan pengendalian faktor pencetus. Modifikasi proses untuk menurunkan sensitisasi, mengurangi debu rumah dan tempat kerja Penggunaan alat proteksi pernafasan. Dengan alat ini, dapat menurunkan kejadian asma akibat kerja 10-20 %. Pola hidup sehat. Dapat dilakukan dengan : o Penghentian merokok o Menghindari kegemukan o Kegiatan fisik misalnya senam asma b. Terapi Farmakologi Terapi farmakologi menggunakan obat obat yang dapat membantu meringankan gejala asma tersebut seperti golongan simpatomometik, xantin, antikolinergik, kromolin sodium dan nedokromil, kortikosteroid, antagonis reseptor leukotrien, dan obat-obat penunjang lainnya. Pengobatan medikamentosa pada pasien asma akibat kerja sama seperti asma bronkial pada umumnya: Teofilin, merupakan bronkodilator dan dapat menekan neutrophil chemotactic factor . Efektifitas kedua fungsi di atas tergantung dari kadar serum teofilin. Agonis beta, merupakan bronkodilator yang paling baik untuk pengobatan asma akibat kerja dibandingkan dengan antagonis kolinergik (ipratropium bromid). Kombinasi agonis beta dengan ipratropium bromid memperbaiki fungsi paru lebih baik dibanding hanya beta agonist saja. Kortikosteroid, dari berbagai penelitian diketahui dapat mencegah bronkokonstriksi yang disebabkan oleh provokasi bronkus menggunakan alergen. Selain itu juga akan memperbaiki fungsi paru, menurunkan eksaserbasi dan hiperesponsivitas saluran nafas dan pada akhirnya akan memperbaiki kualitas hidup c. Pencegahan Untuk mencegah terjadinya asma akibat kerja maka pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemakaian alat pelindung, pemantauan polutan di udara lingkungan kerja sangat dianjurkan. Bila telah terjadi asma akibat kerja, maka pemindahan ke luar lingkungan kerja merupakan hal penting. Apabila karena sesuatu hal tidak bisa dipindahkan maka harus dilakukan upaya

11

pencegahan dan pemantauan penurunan fungsi paru. Evaluasi fungsi paru secara berkala pada pekerja yang sudah menderita asma akibat kerja diperlukan untuk mencegah kecacatan. Klinis asma akan menetap sampai beberapa tahun meskipun pekerja tersebut sudah keluar dari lingkungan kerjanya.

DAFTAR PUSTAKA Alimudiarnis. 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma Akibat Kerja. http://internis.files.word press.com/2011/01/asma-akibat-kerja.pdf ATSDR-USEPA. 1999. Toxicology Profile of Formaldehyde http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/ tp111.pdf Departemen Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Karjadi, T.H. 2003. Asma Akibat Kerja. http://www.kalbe.co.id/cdk Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. http://indonesia.digitaljournals.org /index-phpidnmed/article/download/608/597

12