Upload
william-hugo
View
152
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kepailitan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu perusahaan dalam mendirikan dan menjalankan usahanya pasti
mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan dalam kegiatan usahanya.
Kelangsungan hidup suatu perusahaan tidak akan terlepas dari resiko-resiko
yang akan dihadapi oleh perusahaan tersebut. Resiko yang timbul akan dapat
mengakibatkan kerugian-kerugian, serta suatu masalah baru bagi perusahaan,
dimana perusahaan akan dihadapkan dengan masalah hukum, sehingga
perusahaan juga tidak dapat menghindar dari proses suatu persidangan.
Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 yang melanda hampir seluruh
belahan dunia, telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia
usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis
yang melanda.1)1)
Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut,
yang akan berakibat pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang
sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam
peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi
Undang-Undang Kepailitan yang ada2)2) (yang selanjutnya disebut UUK).
Inisiatif pemerintah untuk merevisi UUK, timbul karena adanya tekanan dari
Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) yang mendesak
supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan
pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor.3)3)
IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah
kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi
tuntutan zaman, sehingga perlu ada aturan yang dapat digunakan secara cepat,
1) 1)Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan.. (Jakarta : PT. rajaGrafindo persada, 1999), hal. 1.2) 2)Ibid 3) 3)Ibid.
1
terbuka dan efektif, sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak
kreditor dan debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil.4)4)
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUK atau faillissements
verordening yang diundangkan dalam Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 Juncto
staatblad Tahun 1906 Nomor 348 tentang Peraturan Kepailitan menyebabkan
banyak pihak kurang puas dalam pelaksanaan kepailitan, dimana banyaknya
urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan,
dan tidak adanya kepastian hukum yang jelas.5)5)
Perubahan atas UUK (Faillissements Verordening yang diundangkan dalam
Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 Juncto staatblad Tahun 1906 Nomor 348)
ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada
tanggal 22 April 1998, yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas undang-undang tentang
Kepailitan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 87, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3761). Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang tersebut
kemudian selanjutnya menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998, yang disahkan pada tanggal 9 September 1998 dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3778. Namun perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan
dan kebutuhan hukum masyarakat.6)6)
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut di atas, perlu dibentuk Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan pada tanggal 18
Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya
disebut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004), yang baru dan diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
Terhitung sejak diberlakukannya UUK hingga penghujung tahun 2002, dapat
dikatakan masih banyak terdapat berbagai macam kontroversi yang muncul. Salah
4) 4)Ibid, hal. 2. 5) 5)Ibid, hal. 11. 6) 6)Ibid, hal. 3.
2
satu yang cukup hangat adalah mengenai makna utang yang disebutkan dalam
Pasal 1 Ayat (1) UUK, yang meskipun telah disepakati dengan makna yang luas
sejak akhir tahun 2001, yaitu yang berhubungan dengan makna perikatan pada
umumnya, namun ternyata masih terdapat putusan di tahun 2002 yang
memberikan pengertian utang secara sempit, yaitu hanya semata-mata bersumber
dari perjanjian pinjam meminjam uang saja.7)7)
Menurut Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pengertian
utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitor.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, apabila
pihak debitor tidak mampu atau tidak sanggup untuk membayar pinjaman yang
mencakup lebih dari satu kreditor/lebih, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai
pailit. Artinya bahwa debitor yang mempunyai dua/lebih kreditor dan tidak
mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat dinyatakan bahwa debitor tersebut pailit.
Ada pula perusahaan yang melakukan suatu bentuk kerja sama dengan
perusahaan lainnya, seperti dengan perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi
dengan melakukan suatu perjanjian yang diadakan secara timbal balik, dimana
pihak yang satu menyediakan jasa konsultasi tersebut dan pihak lainnya bersedia
membayar sejumlah uang atas terlaksananya pekerjaan dari pihak konsultasi
tersebut, dengan harapan dan maksud tujuan untuk dapat saling mengguntungkan.
Kenyataannnya tidak semua kerja-sama dalam perjanjian berjalan dengan
lancar. Pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian
dapat disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi seorang debitor dapat berupa
empat macam, yaitu :8)8)
7) 7)Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal.1. 8) 8)Subekti, Hukum Perjanjian , Cetakan ke-5, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hal. 45.
3
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Perusahaan yang sampai pada keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya
tanpa menyebutkan sebab-sebab dan alasan-alasannya dapat dikatakan bahwa
perusahaan tersebut telah melakukan tindakan wanprestasi yang mengakibatkan
perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan berdasarkan
permohonan dari para kreditornya maupun atas permohonan debitornya sendiri
yang telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004.
Penolakan permohonan pernyataan pailit seperti yang terjadi atas permohonan
pailit terhadap PT. Garuda Indonesia (termohon) yang diajukan oleh PT. Magnus
Indonesia (pemohon). PT. Magnus beralasan bahwa PT. Garuda belum
membayar biaya konsultan sebesar AS$ 4.384.357. Sesuai perjanjian Konsultan
(Consultant Agreement) kedua pihak pada tahun 2000, PT. Magnus berkewajiban
memberikan konsultasi kepada PT. Garuda. Sebaliknya, PT. Garuda diwajibkan
membayar fee. Perjanjian itu versi PT. Magnus, seharusnya berakhir pada 31
Desember 2001. Tetapi, hingga jatuh tempo PT. Garuda tidak membayar.9)9)
PT. Magnus merupakan suatu perseroan terbatas fasilitas penanaman modal
yang bergerak di bidang jasa konsultasi yang berkedudukan di Jakarta dan
didirikan dengan nama PT. Magnus Surya, berdasarkan Akta Pendirian Nomor 29
tanggal 6 Maret 1997 yang dibuat dihadapan Imam Santoso, S.H., Notaris di
Jakarta, dan kemudian berdasarkan Akta Nomor 17 tanggal 10 September 1999
yang dibuat dihadapan Abdullah Ashal, S.H., Notaris di Jakarta, nama
perusahaan telah dirubah dari PT. MAGNUS SURYA menjadi PT. MAGNUS
INDONESIA.10)10)
9) 9) Anonim, “Gugatan Perdata dan Kepailitan Mengancam Garuda”, www. Hukumonline. Com, 27 Januari 2006, hal. 1.
10) 10) Putusan Nomor : 40/PAILIT/2005/PN.NIAGA JKT.PST
4
Berdasarkan Akta Pendirian, PT. Magnus Indonesia merupakan suatu
perseroan terbatas fasilitas penanaman modal yang secara sah telah didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan
memiliki hak-hak maupun wewenang serta dapat melakukan tindakan-tindakan
hukum.11)11)
PT. Garuda Indonesia merupakan perusahaan yang telah terpisah dari
kekayaan Negara dan tidak lagi merupakan Perusahaan Negara, melainkan telah
murni berbentuk Perseroan Terbatas (persero) yang berorientasikan laba
semaksimal mungkin berdasarkan ketentuan-ketentuan, antara lain :12)12)
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1971, tanggal 30
Nopember 1971, tentang pengalihan bentuk Perusahaan Bangunan Negara
Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways” menjadi perusahaan
perseroan (persero);
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2000, tanggal 21
Agustus 2000, tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT.
Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia; dan
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2001, tanggal 17
September 2001, tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT.
Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia.
Atas dasar ketentuan-ketentuan di atas, PT. Garuda adalah perseroan terbatas
yang bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang
kepentingan publik, sehingga berdasarkan Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi :
“Dalam hal debitor adalah perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
publik, permohonan pailit dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”.
PT. Magnus secara sah dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap PT. Garuda Indonesia. PT. Garuda dinyatakan telah lalai sesuai 11) 11)Ibid. 12) 12)Ibid.
5
ketentuan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di
Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “KUHPer”) yang berbunyi :
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan”.
Berdasarkan pada perjanjian yang disepakati oleh PT. Magnus dan PT. Garuda
pada tahun 2000, dan yang semestinya perjanjian tersebut berakhir pada tanggal
31 Desember 2001, tetapi hingga jatuh tempo PT. Garuda tidak membayar.
Kemudian PT. Magnus Indonesia dengan surat permohonannya pada tanggal 7
Desember 2005 mendaftarkan permohonan pernyataan pailit untuk PT. Garuda
Indonesia di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dibawah Register
Nomor : 40/PAILIT/2005/PN.NIAGA JKT.PST. Setelah pendaftaran, dalam
waktu paling lama 2 (dua) hari, Panitera menyampaikan berkas perkara ke Ketua
Pengadilan Niaga. Selanjutnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari dilakukan
penetapan hari sidang.
Dalam persidangan dilakukan pemanggilan terhadap debitor dan kreditor,
termasuk kreditor-kreditor lain di samping PT. Magnus Indonesia yang diduga
mempunyai piutang kepada PT. Garuda Indonesia, seperti Lufthansa, KLM Royal
Dutch Airlines, PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, dan PT. Pertamina. Akan tetapi
yang hadir dalam persidangan hanya PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, dan hanya
sekali menghadiri persidangan. Setelah majelis hakim meminta dari PT. Multi
Bintang Indonesia Tbk tersebut untuk menunjukkan bukti atas dibayarnya utang
Garuda kepada PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, namun PT. Multi tidak pernah
hadir kembali dalam persidangan.
Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas penolakan permohonan
Pernyataan pailit dari PT. Magnus Indonesia kepada PT. Garuda diucapkan secara
terbuka untuk umum pada tanggal 1 Pebruari 2006. Kemudian PT. Magnus
melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 8 Pebruari
2006.
6
Berdasarkan dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk memaparkannya
kedalam bentuk penulisan skripsi dengan judul : “ANALISIS PENOLAKAN
PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT ” (Studi kasus PT. Garuda Indonesia
dengan PT. Magnus Indonesia).
Adapun yang menjadi alasan penulis memilih tema kepailitan adalah karena
penulis ingin mendalami pengetahuan dalam bidang kepailitan. Sedangkan alasan
memilih kepailitan PT. Garuda karena penulis tertarik untuk mengetahui sebab-
sebab terjadinya penolakan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT.
Magnus terhadap PT. Garuda Indonesia oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah :
1. Apakah yang menyebabkan pelaksanaan Perjanjian Konsultan antara PT.
Magnus Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia, sehingga terjadi
permohonan pailit kepada PT. Garuda Indonesia?
2. Mengapa terjadi penolakan permohonan pernyataan pailit dari PT. Magnus
Indonesia kepada PT. Garuda di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Perjanjian Konsultan antara PT. Magnus
Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia, sehingga terjadi permohonan
pailit kepada PT. Garuda Indonesia.
2. Untuk mengetahui terjadinya penolakan permohonan pernyataan pailit dari
PT. Magnus Indonesia kepada PT. Garuda di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat.
Adapun kegunaan dari penelitian yang diadakan adalah :
1. Secara teoretis untuk mengemukakan ketentuan-ketentuan hukum tertulis
tentang permasalahan dan persyaratan pengajuan permohonan kepailitan
yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam
7
permohonan pailit antara PT. Magnus Indonesia dengan PT. Garuda
Indonesia.
2. Secara praktis adalah penting bagi semua kalangan, khususnya pada
kalangan usaha dagang/bisnis untuk mengetahui syarat-syarat pengajuan
kepailitan dan hal-hal yang menjadi dasar dalam pengajuan permohonan
pailit terhadap suatu perusahaan.
8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab Pelaksanaan Perjanjian Konsultan antara PT. Magnus
Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia, sehingga terjadi Permohonan
Pailit kepada PT. Garuda Indonesia.
Awal mula terjadinya pengajuan permohonan pernyataan pailit adalah
adanya suatu perjanjian, yaitu Perjanjian Konsultasi. PT. Magnus dan PT.
Garuda menandatangani Perjanjian Konsultan (Consultant Agreement)
Nomor : DS/PERJ/DZ-3345/2000 pada tahun 2000. PT. Garuda Indonesia
adalah penerima jasa konsultasi dan diwajibkan membayar harga jasa
konsultasi kepada PT. Magnus Indonesia.
Sesuai dengan keterangan dari pihak PT. Magnus bahwa seharusnya PT.
Garuda segera melakukan pembayaran atas pekerjaan proyek yang telah
diselesaikan oleh PT. Magnus, namun pihak PT. Garuda berupaya melakukan
pengakhiran Perjanjian Konsultan dan Perjanjian Tambahan 1 yang berlaku
efektif pada tanggal 14 Nopember 2004 secara sepihak berdasarkan surat
termohon (PT. Garuda) pada tanggal 14 September 2004 dengan Nomor
Garuda/DZ-2293/04 tanpa menyelesaikan terlebih dahulu kewajiban-
kewajibannya yang terutang, jatuh waktu dan dapat ditagih atas pekerjaan
proyek yang telah diselesaikan oleh pemohon (PT. Magnus).
PT. Magnus tidak akan mempermasalahkan pengakhiran secara sepihak
atas Perjanjian Konsultan dan Perjanjian Tambahan 1 oleh PT. Garuda dalam
permohonan, namun setelah menagih kepada PT. Garuda untuk membayar utang-
utangnya yang telah jatuh tempo dan wajib dibayar kepada PT. Magnus jauh
sebelum tanggal pengakhiran, sebagaimana terbukti dari isi-isi, referensi,
pernyataan dan lampiran-lampiran dalam surat dari kuasa hukum PT. Magnus
kepada PT. Garuda dengan Nomor BTP/M14002/RB01-VSA01/803/VIII/05,
tertanggal 9 Agustus 2005.
Namun pihak PT. Garuda menjelaskan bahwa perjanjian konsultan dan
perjanjian tambahan merupakan perjanjian yang sifatnya timbal balik. Sesuai
9
putusan perkara Nomor 46/Pailit/2001/PN.Niaga, akibat perjanjian demikian
adalah pemeriksaan perkara dan pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara
mudah, sederhana dan cepat, sehingga permohonan yang diajukan oleh pemohon
tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Menurut pendapat penulis PT. Magnus dalam permohonannya tidak
menjelaskan secara keseluruhan mengenai isi perjanjian konsultan tersebut sudah
terlaksana dengan baik atau tidak, namun dari dalil berikutnya yang antara lain
menyatakan bahwa PT. Garuda pada tanggal 14 Nopember 2004 secara sepihak
melakukan pengakhiran Perjanjian Konsultan, sebaliknya pihak PT. Garuda
mengakui telah melakukan beberapa kali pembayaran atas pekerjaan yang telah
dilaksanakan oleh PT. Magnus sebagaimana terbukti dari beberapa pembayaran.
Dari fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa Perjanjian Konsultan sudah
terlaksana sebagian, namun belum selesai secara sempurna dan sudah terjadi
pengakhiran.
PT. Garuda yang mengakui adanya Perjanjian Konsultan akan tetapi
belum seluruhnya menerima dengan baik pekerjaan yang telah diselesaikan oleh
PT. Magnus dengan alasan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, oleh
karenanya tidak menandatangani penyerahan pekerjaan yang dilakukan oleh PT.
Magnus.
Dalam pelaksanaan pekerjaan, yang dinyatakan sudah terlaksana namun
baru sebagian dan mengenai pembayaran atas pekerjaan tersebut, kedua belah
pihak sebaiknya membuktikannya di persidangan perdata, supaya dapat
dilanjutnya proses permohonan pernyataan pailitnya apakah akan diterima atau
ditolak.
Pelaksanaan Perjanjian Konsultan menimbulkan hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak, hak untuk menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban untuk
membayar khususnya tagihan pembayaran hasil pekerjaan masih membutuhkan
penilaian yang lebih akurat terhadap nilai pekerjaan yang telah dilakukan oleh PT.
Magnus mengenai selesainya pekerjaan secara keseluruhan.
10
Penulis setuju dengan pendapat dari Bapak Nixon, yang menyatakan
bahwa Perjanjian Konsultan antara PT. Magnus dan PT. Garuda belum selesai
atau baru dalam tahap selesai, sehingga utang pembayaran yang dijanjikan belum
diselesaikan oleh pihak PT. Garuda. PT. Garuda dinyatakan telah menikmati
produk dari PT. Magnus, tetapi hal ini tidak terjadi karena PT. Garuda belum
menerima seluruh hasil dari pekerjaan PT. Magnus. Penyerahan akhir pekerjaan
belum ditandatangani oleh pihakPT. Garuda, maka hak untuk menagih atau hak
untuk menuntut hukum terjadinya penagihan kepada PT. Garuda belum ada.
Dalam kenyataanya PT. Garuda Indonesia merupakan perusahaan yang
telah terpisah dari kekayaan Negara dan tidak lagi merupakan Perusahaan Negara,
melainkan telah murni berbentuk Perseroan Terbatas (persero) yang
berorientasikan laba semaksimal mungkin.
Atas dasar hal tersebut, PT. Garuda adalah perseroan terbatas yang bukan
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang
kepentingan publik. Berdasarkan akta pendirian yang dibuat oleh Notaris, PT.
Magnus Indonesia merupakan suatu perseroan terbatas fasilitas penanaman modal
yang secara sah didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia dan memiliki hak-hak maupun wewenang serta dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum, sehingga PT. Magnus Indonesia secara sah
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Garuda Indonesia.
PT. Garuda dinyatakan telah lalai oleh pihak PT. Magnus sesuai ketentuan
Pasal 1238 KUHPer. Debitor dapat dianggap telah lalai apabila memenuhi unsur-
unsur :
1. Si debitor adalah si berutang,
2. apabila debitor dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis telah
dinyatakan lalai,
3. dengan perikatannya sendiri, jika menetapkan, bahwa si berutang akan harus
dianggap lalai,
4. telah lewatnya waktu yang ditentukan.
Namun dalam hal Perjanjian Konsultan yang dijadikan dasar atas
pengajuan permohonan pailit harus dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur
11
wanprestasi, sehingga dapat dibuktikan secara sederhana dan dapat menjadi
pertimbangan Majelis Hakim dalam mengambil putusan atas permohonan pailit
tersebut.
Akibat dari adanya suatu perjanjian yang demikian, dalam pemeriksaan
perkara dan pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara mudah, sederhana dan
cepat, sehingga permohonan yang diajukan oleh pemohon tidak memenuhi
ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Pasal ini
menyatakan bahwa :
“ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah terpenuhi”.
Menurut penulis, alasan-alasan tidak dapat dibuktikan secara sederhana
dalam permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Magnus terhadap PT. Garuda
adalah :
1. Tagihan yang diajukan oleh PT. Magnus kepada PT. Garuda tidak otomatis
berlaku, masih memerlukan pembuktian antara lain tentang tidak adanya
wanprestasi.
2. Antara PT. Magnus dan PT. Garuda terdapat selisih pendapat mengenai
keberlakuan tagihan-tagihan yang menurut pihak PT. Garuda sudah dibayar.
3. PT. Garuda sudah mengajukan gugatan wanprestasi terhadap PT. Magnus di
PN. Jakarta Pusat.
Tebukti dalam persidangan, berkas gugatan tersebut sudah didaftarkan dengan
register Nomor 02/pdt.G/PN.Jkt.Pst. yang mana gugatan PT. Garuda adalah
mengenai tidak terpenuhinya jadwal penyerahan pekerjaan sesuai kesepakatan
yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Perjanjian konsultan yang dibuat oleh
PT. Magnus dan PT. Garuda merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik,
dimana PT. Magnus diwajibkan melaksanakan dan menyerahkan pekerjaan
kepada PT. Garuda, kemudian PT. Garuda mempunyai kewajiban untuk
melakukan pembayaran.
Menurut pendapat penulis, cara-cara konfirmasi negatif dalam pembuktian
adanya utang atau kreditor lain tidak tepat. Seperti yang dijelaskan oleh Linna
12
Simamora yang mencontohkan PT. Multi Bintang Indonesia, yang semula disebut
sebagai kreditor lain dari PT. Garuda. Dalam persidangan pada tanggal 21
Desember 2005, PT. Multi Bintang Indonesia membantah memiliki piutang yang
dimaksud, hal ini membuktikan bahwa metode Konfirmasi Negatif yang
didalilkan oleh pemohon (PT. Magnus) pailit tidak benar, karena Konfirmasi
Negatif secara umum merupakan cara yang dilakukan dengan menghubungi
perusahaan yang dianggap memiliki piutang terhadap termohon pailit (PT.
Garuda). Jika perusahaan tidak menjawab (mengiyakan atau membantah)
konfirmasi, berarti dugaan adanya piutang tersebut benar. Sehingga menurut
penulis pembuktian dengan Konfirmasi Negatif tersebut tidak tepat dan tidak
dapat digunakan dalam pembuktian.
Menurut pendapat penulis Perusahaan PT. Garuda tidak dapat dinyatakan
wanprestasi yang berhenti membayar hutang-hutangnya tanpa menyebutkan
sebab-sebab dan alasan-alasannya yang mengakibatkan perusahaan dapat
dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan berdasarkan permohonan dari para
kreditornya maupun atas permohonan debitornya sendiri yang telah ditentukan
secara tegas dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebab PT.
Garuda tidak terbukti masih mempunyai utang kepada PT. Magnus yang
dinyatakan karena belum bayar biaya jasa konsultasi, yang mana pihak PT.
Garuda tidak mengakui bahwa pekerjaan dari PT. Magnus telah selesai, sehingga
tagihan dari PT. Magnus kepada PT. Garuda tidak dapat berlaku dan dianggap
belum ada.
Pihak yang dapat dinyatakan wanprestasi sebaiknya dibuktikan dalam sidang
perdata terlebih dahulu, sehingga dapat ditentukan apakah permohonan pailit
tersebut dapat diterima atau tidak. Seseorang dapat dinyatakan wanprestasi
apabila tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Wanprestasi
tersebut dapat berupa :
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
4. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
13
5. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dalam hal ini perlu dibuktikan siapa yang telah wanprestasi, dimana pihak PT.
Magnus menyatakan bahwa PT. Garuda telah wanprestasi karena tidak melakukan
kewajibannya membayar upah atas jasa konsultasi yang dianggap telah selesai
dikerjakan oleh PT. Magnus dengan dilakukan penagihan atas pembayaran
tersebut, akan tetapi pihak PT. Garuda tidak membayar tagihan tersebut sampai
batas waktu yang ditentukan telah jatuh waktu. Sedangkan pihak PT. Garuda
menyatakan bahwa PT. Magnus yang telah wanprestasi karena tidak melakukan
pekerjaannya secara keseluruhan dan telah menggugat pihak PT. Magnus di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut penulis pihak PT. Magnus harus
membuktikan terlebih dahulu adanya utang PT. Garuda yang dapat dibuktikan
secara sederhana dalam pengajuan permohonan kepailitan.
B. Penolakan Permohonan Pernyataan Pailit dari PT. Magnus kepada PT.
Garuda di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit harus ada utang dan
adanya dua kreditor atau lebih. Dalam hal ini, PT. Magnus belum dapat
menyelesaikan/memenuhi jasa yang akan digunakan oleh PT. Garuda
sebagaimana disepakati dalam perjanjian konsultan. Penyerahan akhir
pekerjaan konsultan belum ditandatangani oleh pihak PT. Garuda, maka hak
untuk menagih atau hak untuk menuntut hukum terjadinya penagihan kepada
PT. Garuda belum ada.
PT. Magnus tidak dapat membuktikan terpenuhinya dua syarat mutlak
yang merupakan gabungan persyaratan kumulatif yang harus dipenuhi
pemohon pailit untuk dapat dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, yaitu Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penulis
menilai masih terdapat perselisihan tentang pekerjaan, yang mana masih
dibutuhkan pembuktian yang tidak sederhana.
Utang yang didalilkan oleh pemohon (PT. Magnus) tidak dapat dibuktikan
secara sederhana. Masih perlu dibuktikan adanya wanprestasi dari perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, yang harus dibuktikan di Pengadilan Perdata, jika benar
14
terjadi wanprestasi terhadap pihak PT. Garuda, maka permohonan pailit kepada
PT. Garuda tersebut dapat dilanjutkan dan diputuskan sesuai kebenaran.
Setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit telah terpenuhi. Syarat tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu orang yang hendak dinyatakan
pailit mempunyai lebih dari dua kreditor dan memiliki utang yang tidak dibayar
dan dapat ditagih.
Perikatan bersyarat yang menjadi sebab jatuh waktunya utang debitor yang
melahirkan kewajiban untuk membayar sejumlah uang tersebut, kesemuanya itu
harus dapat diajukan dengan bukti yang jelas dan sederhana oleh debitor atau
kreditor yang mengajukan permohonan kepailitan.
Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Magnus atas PT. Garuda ditolak
karena, pemohon pailit tidak memenuhi persyaratan hukum formal dalam
mengajukan permohonan pailit, alasan-alasannya diantaranya, Surat Kuasa
Pemohon Pailit yang Cacat Hukum, karena surat kuasa pemohon pailit
menggunakan materai yang sudah tidak berlaku lagi, adanya itikad tidak baik:
1. Surat kuasa yang diajukan oleh pemohon pailit (PT. Magnus) adalah cacat
hukum dan karenanya permohonan pailit (PT. Magnus) harus dinyatakan
ditolak, karena Pemberi Kuasa Bukan Pihak yang Berwenang, dimana nama
pribadi yang dicantumkan untuk mewakili pemohon pailit (PT. Magnus) pada
bagian premis pada halaman 1 surat kuasa pemohon pailit (surat kuasa
pemohon pailit) versi Bahasa Inggris adalah “Swibertus Bernardus Terpstra”
sedangkan pada kolom yang memuat tandatangan pada halaman 3 surat kuasa
pemohon pailit versi bahasa Inggris, nama pribadi yang dicantumkan
mewakili pemberi kuasa tertulis sebagai “Swibertus Bertio Terpstra”.
Sedangkan yang tercantum dalam akta Nomor 19 tertanggal 7 Maret 2003 dari
pemohon pailit, satu-satunya direktur pemohon pailit adalah “Swibertus
Bernardus Terpstra”.
Perbedaan identitas pribadi yang dicantumkan mewakili pemohon pailit
dalam surat kuasa PT. Magnus dan identitas pribadi yang menandatangani
15
surat kuasa PT. Magnus berbeda dengan nama satu-satunya direktur PT.
Magnus, keduanya sebagaimana dimaksud, jelas membuktikan bahwa surat
kuasa dari pemohon pailit (PT. Magnus) tersebut adalah cacat hukum, PT.
Magnus harus menjelaskan mengenai hal ini dan menunjukkan surat kuasa
yang benar, supaya tidak cacat hukum dan dapat berlaku secara sah.
2. Surat kuasa pemohon pailit menggunakan materai yang sudah tidak berlaku.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1985 tentang Bea Materai, menyatakan bahwa :
“Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk : surat perjanjian dan
surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata”.
Selanjutnya penjelasan Pasal 2 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1985 tentang Bea Materai, menyatakan sebagai berikut :
“Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya
tersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Materai atas surat
perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat
lainnya pada huruf a tersebut antara lain surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan.”
Surat kuasa pemohon pailit (PT. Magnus) dinyatakan ditandatangani di
atas materai yang sudah tidak berlaku. Sehingga apabila permohonan pailit ini
dikabulkan oleh Majelis Hakim, maka hakim tersebut akan melanggar
peraturan pemerintah yaitu Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1985 tentang Bea Materai, Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera,
Jurusita, Notaris, dan Pejabat Umum lainnya, masing-masing dalam tugasnya
atau jabatannya tidak dibenarkan menerima, mempertimbangkan atau
menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.
PT. Magnus dalam hal ini kurang cermat dan teliti, karena masalah materai
menjadi syarat yang penting dalam suatu dokumen. Sehingga pantas dan
benar jika permohonan pernyataan pailitnya atas PT. Garuda harus ditolak.
16
1. Penolakan permohonan pailit juga dikarenakan adanya itikad tidak baik dari
Pemohon Pailit (PT. Magnus). Berdasarkan Akta Nomor 19 tertanggal 7
Maret 2003 hanya mencantumkan nama Swibertus Bernardus Terpstra sebagai
satu-satunya Direktur Pemohon Pailit (PT. Magnus).
Dicantumkannya versi bahasa Indonesia dari surat kuasa pemohon pailit
nama Mark A. Neporent sebagai Wakil Presiden pemohon pailit menunjukkan
adanya itikad tidak baik dari pemohon pailit dalam mengajukan susunan Direksi
dan Komisaris terakhir dari pemohon pailit (PT. Magnus). Sesuai dengan
peraturan yang berlaku, yaitu dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer dinyatakan
bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila itikat baik
tersebut tidak ada atau dilanggar dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut
telah melanggar peraturan dan perjanjian tersebut dapat dianggap tidak sah secara
hukum, sehingga permohonan pailit dibatalkan karena adanya itikad tidak baik
tersebut.
Permohonan Pailit PT. Magnus Tidak Dilampiri Akta Pendaftaran
Perusahaan PT. Garuda yang Dilegalisir oleh Kantor Perdagangan. Sebagaimana
dipersyaratkan dalam Check List Permohonan Pernyataan Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam setiap pengajuan permohonan pernyataan
kepailitan harus dilengkapi dengan Akta Pendaftaran Perusahaan yang dilegalisir
oleh Kantor Perdagangan paling lambat satu minggu sebelum permohonan
didaftarkan.
Pendaftaran perusahaan yang dimaksud sesuai dengan Pasal 21 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi :
“1. Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan :
a. akta pendirian beserta surat pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Ayat (6);
b. akta perubahan Anggaran Dasar beserta surat persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2);
c. akta perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (3).
17
2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Wajib dilakukan dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan
diberikan atau setelah tanggal penerimaan laporan.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan Pasal 1 Ayat (a), yang menyatakan : “Daftar Perusahaan adalah
daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan.
Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat
hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh
pejabat yang berwenang dari kantor penmdaftaran perusahaan.
Tanda daftar perusahaan yang diajukan oleh pemohon pailit (PT. Magnus)
tidak dilegalisir oleh kantor perdagangan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu
sebelum permohonan, sehingga permohonan pailit tersebut dianggap cacat
formal dan oleh karenanya harus ditolak. Utang yang didalilkan oleh PT.
Magnus kepada PT. Garuda tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga
atas hal tersebut harus dilakukan pembuktian dengan gugatan perdata biasa.
Adanya utang atau wanprestasi antara para pihak, harus dibuktikan melalui
pengadilan perdata dan penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan
gugatan perdata biasa terlebih dahulu. Atas dasar memerlukan pembuktian
tersebut, maka permohonan pailit ini dinyatakan ditolak oleh Hakim.
Penulis setuju dengan putusan Majelis Hakim di Pengadilan Niaga yang
telah memutus penolakan permohonan pailit PT. Garuda, karena harus dibuktikan
terlebih dahulu adanya unsur utang yang tidak dibayarkan sesuai dengan yang
disanggupi, sehingga terjadi wanprestasi sebagai dasar pengajuan permohonan
kepailitan dan para pihak harus mengikuti proses peradilan perdata terlebih dahulu
untuk pembuktian wanprestasi sehingga pembuktian sederhana akan diperoleh
sebagai syarat pengajuan kepailitan.
Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Magnus kepada PT. Garuda
tersebut sudah tepat jika ditolak, sebab harus dibuktikan terlebih dahulu adanya
wanprestasi dan adanya dua kreditor atau lebih yang menjadi syarat dari
pengajuan permohonan pailit.
18
Pihak PT. Magnus harus dapat membuktikan dalam persidangan adanya
kreditor-kreditor lain di samping PT. Magnus Indonesia yang diduga mempunyai
piutang kepada PT. Garuda Indonesia, seperti Lufthansa, KLM Royal Dutch
Airlines, PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, dan PT. Pertamina. Serta utang yang
didalilkan yang menjadi dasar dari wanprestasi, yang akan menjadi pertimbangan
dari Majelis Hakim.
Jadi menurut penulis, dalam kasus yang terjadi antara PT. Magnus dengan
PT. Garuda harus dilakukan pembuktian mengenai adanya unsur wanprestasi
terlebih dahulu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membuktikan adanya
utang dan supaya dapat dibuktikan secara sederhana dalam pengajuan
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana yang
dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila pihak
debitor tidak mampu atau tidak sanggup untuk membayar pinjaman yang
mencakup lebih dari satu kreditor/lebih, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai
pailit. Artinya bahwa debitor yang mempunyai dua/lebih kreditor dan tidak
mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat dinyatakan bahwa debitor tersebut pailit.
Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa
setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
telah terpenuhi. Syarat tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-
19
Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu orang yang hendak dinyatakan pailit
mempunyai lebih dari dua kreditor dan memiliki utang yang tidak dibayar dan
dapat ditagih.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan permasalahan mengenai Analisis Penolakan
Permohonan Pernyataan Pailit terhadap kasus PT. Garuda Indonesia dengan
PT. Magnus Indonesia dalam bab-bab sebelumnya akhirnya penulis sampai
pada pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut :
1. Adapun yang menyebabkan pelaksanaan perjanjian konsultan antara PT.
Magnus Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia sehingga terjadi
permohonan pailit kepada PT. Garuda Indonesia adalah PT. Garuda
Indonesia menyatakan bahwa belum seluruhnya menerima dengan baik
pekerjaan yang telah diselesaikan oleh PT. Magnus Indonesia dengan
alasan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, sehingga utang pembayaran
yang dijanjikan belum diselesaikan oleh pihak PT. Garuda Indonesia. PT.
Garuda Indonesia dinyatakan telah menikmati produk dari PT. Magnus
Indonesia, tetapi hal ini tidak terjadi karena PT. Garuda Indonesia belum
menerima seluruh hasil dari pekerjaan PT. Magnus Indonesia.
2. Penolakan permohonan pernyataan pailit dari PT. Magnus kepada PT.
Garuda Indonesia di pengadilan niaga Jakarta Pusat dapat terjadi karena
Perjanjian konsultan yang dibuat oleh PT. Magnus Indonesia dan PT.
Garuda Indonesia merupakan perjanjian yang sifatnya timbal balik, pihak
yang satu harus melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sedang pihak
satunya harus membayar harga atas jasa konsultan tersebut. Akibat dari
perjanjian ini adalah pemeriksaan perkara dan pembuktiannya tidak dapat
dilakukan secara mudah, sederhana dan cepat. Karena pekerjaan belum
selesai, maka penyerahan akhir pekerjaan belum ditandatangani oleh pihak
PT. Garuda Indonesia, maka hak untuk menagih atau hak untuk menunutut
hukum terjadinya penagihan kepada PT. Garuda belum ada. Utang yang
didalilkan oleh PT. Magnus Indonesia tidak dapat dibuktikan secara
sederhana, sehingga atas hal tersebut harus dilakukan pembuktian dengan
21
gugatan perdata biasa. PT. Magnus Indonesia tidak dapat membuktikan
terpenuhinya dua syarat mutlak yang merupakan gabungan persyaratan
kumulatif yang harus dipenuhi pemohon pailit untuk dapat dikabulkan
oleh Pengadilan Niaga, sehingga permohonan pailit yang diajukan oleh
PT. Magnus Indonesia kepada PT. Garuda Indonesia tersebut ditolak oleh
Majelis Hakim.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran yang
nantinya di harapkan dapat berguna bagi setiap pihak yang terlibat di
dalamnya. Adapun saran yang dapat penulis berikan :
1. Para Debitor dan Kreditor sebaiknya dapat membuktikan terlebih dahulu
adanya wanprestasi dalam pengadilan perdata. Debitor sebaiknya perlu
mengadakan adanya transparansi dan keadilan dalam melaksanakan
kewajibannya dalam membayar utangnya kepada para kreditor.
2. Sebaiknya pihak debitor tetap berupaya sebaik mungkin merestrukturisasi
perusahaan dan jangan takut terhadap gugatan perdata maupun pailit oleh
sejumlah oknum yang hanya memikirkan keuntungan pribadi/golongan
dan tidak memandang kesulitan negara, dengan menerapkan manajeman
yang baik dan benar serta berada di dalam koridor hukum tetapi tetap
terbuka meminta bantuan dari pihak luar dan jangan terkurung dalam
pemecahan internal saja.
3. Berbagai pihak sebaiknya memperhatikan masalah ini, dimana jika
perusahaan sebesar PT. Garuda dinyatakan bubar, maka sama artinya
dengan menaikkan angka pengangguran di Indonesia. Dampaknya akan
sangat terasa karena mereka yang bekerja di PT. Garuda, ada yang
mendekati usia pensiun, harus menghadapi kenyataan bahwa PT. Garuda
akhirnya dinyatakan pailit. Ratusan ribu bahkan jutaan kepala keluarga
harus menanggung akibatnya karena sistem manajemen perusahaan yang
berantakan.
22
4. Sudah saatnya pemerintah Indonesia sekarang harus mulai peduli dan
memberikan perhatian terhadap masalah Corporate Governance. Dengan
adanya pengimplimentasian Good Corporate Governance di Indonesia,
setidaknya masalah ini tidak perlu terjadi atau dapat mengurangi masalah
serupa yang dihadapi oleh sebuah perusahaan di Indonesia, karena dilihat
dari kenyataan bahwa salah satu penyebab terbesar dari masalah yang
sering dihadapi oleh perusahaan-perusahaan dewasa ini adalah masalah
Korupsi akibat dari sistem manajemen yang berantakan di sebuah
perusahaan.
5. Bagi masyarakat sebaiknya menjadi warga Negara Indonesia yang baik,
yang menyerahkan permasalahan kepada hukum, karena Indonesia adalah
negara hukum, biarkan hukum yang pada akhirnya menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi oleh PT. Garuda. Sebagai Warga Negara, setidaknya
ikut berharap jangan sampai perusahaan ini akhirnya dinyatakan pailit
yang kemudian diikuti oleh perusahaan yang lain.
23
DAFTAR PUSTAKA
Azikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Cetakan ke-2. (Jakarta : PT. RajaGrafindi Persada, 1994).
Hartono, Siti Soematri. Seri Hukum Dagang, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. (Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Univeritas Gajah Mada, 1983).
Hartono. Sri Redjeki “Hukum Perdata sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2. hal. 37 Tahun 2000.)
Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982).
Muljadi. Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003)
Nating. Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004)
Prodjodikoro. Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000)
Situmorang, Victor. M. dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994).
Sjahdeini. Sutan Remy Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2004)
Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001)
Soekanto. Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ke-8. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004)
Subekti, Hukum Perjanjian , Cetakan ke-5, (Jakarta: PT Intermasa, 2005)
Suherman. Failisement (Kepailitan).(Bandung : Bina Cipta, 1988).
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999).
Indonesia. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Lembaran Negara Republik
24
Indonesia Tahun 2004 Nomor131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443).
25
DAFTAR PUSTAKA
Muljadi. Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003)
Subekti, Hukum Perjanjian , Cetakan ke-5, (Jakarta: PT Intermasa, 2005)
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999).
Anonim, Gugatan Perdata dan Kepailitan Mengancam Garuda, (www. Hukumonline.com, 2006).
Putusan Nomor : 40/PAILIT/2005/PN.NIAGA JKT.PST
26