40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perusahaan dalam mendirikan dan menjalankan usahanya pasti mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan dalam kegiatan usahanya. Kelangsungan hidup suatu perusahaan tidak akan terlepas dari resiko-resiko yang akan dihadapi oleh perusahaan tersebut. Resiko yang timbul akan dapat mengakibatkan kerugian-kerugian, serta suatu masalah baru bagi perusahaan, dimana perusahaan akan dihadapkan dengan masalah hukum, sehingga perusahaan juga tidak dapat menghindar dari proses suatu persidangan. Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 yang melanda hampir seluruh belahan dunia, telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang melanda. 1) 1) Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut, yang akan berakibat pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan- perubahan dalam peraturan perundang-undangan, salah 1) 1) Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan.. (Jakarta : PT. rajaGrafindo persada, 1999), hal. 1. 1

Paper Kepailitan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kepailitan

Citation preview

Page 1: Paper Kepailitan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perusahaan dalam mendirikan dan menjalankan usahanya pasti

mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan dalam kegiatan usahanya.

Kelangsungan hidup suatu perusahaan tidak akan terlepas dari resiko-resiko

yang akan dihadapi oleh perusahaan tersebut. Resiko yang timbul akan dapat

mengakibatkan kerugian-kerugian, serta suatu masalah baru bagi perusahaan,

dimana perusahaan akan dihadapkan dengan masalah hukum, sehingga

perusahaan juga tidak dapat menghindar dari proses suatu persidangan.

Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 yang melanda hampir seluruh

belahan dunia, telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia

usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis

yang melanda.1)1)

Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut,

yang akan berakibat pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang

sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam

peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi

Undang-Undang Kepailitan yang ada2)2) (yang selanjutnya disebut UUK).

Inisiatif pemerintah untuk merevisi UUK, timbul karena adanya tekanan dari

Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) yang mendesak

supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan

pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor.3)3)

IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah

kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi

tuntutan zaman, sehingga perlu ada aturan yang dapat digunakan secara cepat,

1) 1)Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan.. (Jakarta : PT. rajaGrafindo persada, 1999), hal. 1.2) 2)Ibid 3) 3)Ibid.

1

Page 2: Paper Kepailitan

terbuka dan efektif, sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak

kreditor dan debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil.4)4)

Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUK atau faillissements

verordening yang diundangkan dalam Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 Juncto

staatblad Tahun 1906 Nomor 348 tentang Peraturan Kepailitan menyebabkan

banyak pihak kurang puas dalam pelaksanaan kepailitan, dimana banyaknya

urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan,

dan tidak adanya kepastian hukum yang jelas.5)5)

Perubahan atas UUK (Faillissements Verordening yang diundangkan dalam

Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 Juncto staatblad Tahun 1906 Nomor 348)

ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang pada

tanggal 22 April 1998, yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas undang-undang tentang

Kepailitan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 87, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3761). Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang tersebut

kemudian selanjutnya menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998, yang disahkan pada tanggal 9 September 1998 dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3778. Namun perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan

dan kebutuhan hukum masyarakat.6)6)

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut di atas, perlu dibentuk Undang-Undang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan pada tanggal 18

Oktober 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya

disebut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004), yang baru dan diundangkan

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.

Terhitung sejak diberlakukannya UUK hingga penghujung tahun 2002, dapat

dikatakan masih banyak terdapat berbagai macam kontroversi yang muncul. Salah

4) 4)Ibid, hal. 2. 5) 5)Ibid, hal. 11. 6) 6)Ibid, hal. 3.

2

Page 3: Paper Kepailitan

satu yang cukup hangat adalah mengenai makna utang yang disebutkan dalam

Pasal 1 Ayat (1) UUK, yang meskipun telah disepakati dengan makna yang luas

sejak akhir tahun 2001, yaitu yang berhubungan dengan makna perikatan pada

umumnya, namun ternyata masih terdapat putusan di tahun 2002 yang

memberikan pengertian utang secara sempit, yaitu hanya semata-mata bersumber

dari perjanjian pinjam meminjam uang saja.7)7)

Menurut Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pengertian

utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah

uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara

langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul

karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan

bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya

dari harta kekayaan debitor.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, apabila

pihak debitor tidak mampu atau tidak sanggup untuk membayar pinjaman yang

mencakup lebih dari satu kreditor/lebih, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai

pailit. Artinya bahwa debitor yang mempunyai dua/lebih kreditor dan tidak

mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dapat dinyatakan bahwa debitor tersebut pailit.

Ada pula perusahaan yang melakukan suatu bentuk kerja sama dengan

perusahaan lainnya, seperti dengan perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi

dengan melakukan suatu perjanjian yang diadakan secara timbal balik, dimana

pihak yang satu menyediakan jasa konsultasi tersebut dan pihak lainnya bersedia

membayar sejumlah uang atas terlaksananya pekerjaan dari pihak konsultasi

tersebut, dengan harapan dan maksud tujuan untuk dapat saling mengguntungkan.

Kenyataannnya tidak semua kerja-sama dalam perjanjian berjalan dengan

lancar. Pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian

dapat disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi seorang debitor dapat berupa

empat macam, yaitu :8)8)

7) 7)Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal.1. 8) 8)Subekti, Hukum Perjanjian , Cetakan ke-5, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hal. 45.

3

Page 4: Paper Kepailitan

1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Perusahaan yang sampai pada keadaan berhenti membayar hutang-hutangnya

tanpa menyebutkan sebab-sebab dan alasan-alasannya dapat dikatakan bahwa

perusahaan tersebut telah melakukan tindakan wanprestasi yang mengakibatkan

perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan berdasarkan

permohonan dari para kreditornya maupun atas permohonan debitornya sendiri

yang telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004.

Penolakan permohonan pernyataan pailit seperti yang terjadi atas permohonan

pailit terhadap PT. Garuda Indonesia (termohon) yang diajukan oleh PT. Magnus

Indonesia (pemohon). PT. Magnus beralasan bahwa PT. Garuda belum

membayar biaya konsultan sebesar AS$ 4.384.357. Sesuai perjanjian Konsultan

(Consultant Agreement) kedua pihak pada tahun 2000, PT. Magnus berkewajiban

memberikan konsultasi kepada PT. Garuda. Sebaliknya, PT. Garuda diwajibkan

membayar fee. Perjanjian itu versi PT. Magnus, seharusnya berakhir pada 31

Desember 2001. Tetapi, hingga jatuh tempo PT. Garuda tidak membayar.9)9)

PT. Magnus merupakan suatu perseroan terbatas fasilitas penanaman modal

yang bergerak di bidang jasa konsultasi yang berkedudukan di Jakarta dan

didirikan dengan nama PT. Magnus Surya, berdasarkan Akta Pendirian Nomor 29

tanggal 6 Maret 1997 yang dibuat dihadapan Imam Santoso, S.H., Notaris di

Jakarta, dan kemudian berdasarkan Akta Nomor 17 tanggal 10 September 1999

yang dibuat dihadapan Abdullah Ashal, S.H., Notaris di Jakarta, nama

perusahaan telah dirubah dari PT. MAGNUS SURYA menjadi PT. MAGNUS

INDONESIA.10)10)

9) 9) Anonim, “Gugatan Perdata dan Kepailitan Mengancam Garuda”, www. Hukumonline. Com, 27 Januari 2006, hal. 1.

10) 10) Putusan Nomor : 40/PAILIT/2005/PN.NIAGA JKT.PST

4

Page 5: Paper Kepailitan

Berdasarkan Akta Pendirian, PT. Magnus Indonesia merupakan suatu

perseroan terbatas fasilitas penanaman modal yang secara sah telah didirikan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan

memiliki hak-hak maupun wewenang serta dapat melakukan tindakan-tindakan

hukum.11)11)

PT. Garuda Indonesia merupakan perusahaan yang telah terpisah dari

kekayaan Negara dan tidak lagi merupakan Perusahaan Negara, melainkan telah

murni berbentuk Perseroan Terbatas (persero) yang berorientasikan laba

semaksimal mungkin berdasarkan ketentuan-ketentuan, antara lain :12)12)

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1971, tanggal 30

Nopember 1971, tentang pengalihan bentuk Perusahaan Bangunan Negara

Perhubungan Udara “Garuda Indonesian Airways” menjadi perusahaan

perseroan (persero);

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2000, tanggal 21

Agustus 2000, tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik

Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT.

Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia; dan

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2001, tanggal 17

September 2001, tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik

Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT.

Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia.

Atas dasar ketentuan-ketentuan di atas, PT. Garuda adalah perseroan terbatas

yang bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang

kepentingan publik, sehingga berdasarkan Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 yang berbunyi :

“Dalam hal debitor adalah perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana

Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan

publik, permohonan pailit dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”.

PT. Magnus secara sah dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit

terhadap PT. Garuda Indonesia. PT. Garuda dinyatakan telah lalai sesuai 11) 11)Ibid. 12) 12)Ibid.

5

Page 6: Paper Kepailitan

ketentuan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di

Republik Indonesia (selanjutnya disebut sebagai “KUHPer”) yang berbunyi :

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta

sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini

menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu

yang ditentukan”.

Berdasarkan pada perjanjian yang disepakati oleh PT. Magnus dan PT. Garuda

pada tahun 2000, dan yang semestinya perjanjian tersebut berakhir pada tanggal

31 Desember 2001, tetapi hingga jatuh tempo PT. Garuda tidak membayar.

Kemudian PT. Magnus Indonesia dengan surat permohonannya pada tanggal 7

Desember 2005 mendaftarkan permohonan pernyataan pailit untuk PT. Garuda

Indonesia di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dibawah Register

Nomor : 40/PAILIT/2005/PN.NIAGA JKT.PST. Setelah pendaftaran, dalam

waktu paling lama 2 (dua) hari, Panitera menyampaikan berkas perkara ke Ketua

Pengadilan Niaga. Selanjutnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari dilakukan

penetapan hari sidang.

Dalam persidangan dilakukan pemanggilan terhadap debitor dan kreditor,

termasuk kreditor-kreditor lain di samping PT. Magnus Indonesia yang diduga

mempunyai piutang kepada PT. Garuda Indonesia, seperti Lufthansa, KLM Royal

Dutch Airlines, PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, dan PT. Pertamina. Akan tetapi

yang hadir dalam persidangan hanya PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, dan hanya

sekali menghadiri persidangan. Setelah majelis hakim meminta dari PT. Multi

Bintang Indonesia Tbk tersebut untuk menunjukkan bukti atas dibayarnya utang

Garuda kepada PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, namun PT. Multi tidak pernah

hadir kembali dalam persidangan.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas penolakan permohonan

Pernyataan pailit dari PT. Magnus Indonesia kepada PT. Garuda diucapkan secara

terbuka untuk umum pada tanggal 1 Pebruari 2006. Kemudian PT. Magnus

melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 8 Pebruari

2006.

6

Page 7: Paper Kepailitan

Berdasarkan dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk memaparkannya

kedalam bentuk penulisan skripsi dengan judul : “ANALISIS PENOLAKAN

PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT ” (Studi kasus PT. Garuda Indonesia

dengan PT. Magnus Indonesia).

Adapun yang menjadi alasan penulis memilih tema kepailitan adalah karena

penulis ingin mendalami pengetahuan dalam bidang kepailitan. Sedangkan alasan

memilih kepailitan PT. Garuda karena penulis tertarik untuk mengetahui sebab-

sebab terjadinya penolakan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT.

Magnus terhadap PT. Garuda Indonesia oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah :

1. Apakah yang menyebabkan pelaksanaan Perjanjian Konsultan antara PT.

Magnus Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia, sehingga terjadi

permohonan pailit kepada PT. Garuda Indonesia?

2. Mengapa terjadi penolakan permohonan pernyataan pailit dari PT. Magnus

Indonesia kepada PT. Garuda di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan Perjanjian Konsultan antara PT. Magnus

Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia, sehingga terjadi permohonan

pailit kepada PT. Garuda Indonesia.

2. Untuk mengetahui terjadinya penolakan permohonan pernyataan pailit dari

PT. Magnus Indonesia kepada PT. Garuda di Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat.

Adapun kegunaan dari penelitian yang diadakan adalah :

1. Secara teoretis untuk mengemukakan ketentuan-ketentuan hukum tertulis

tentang permasalahan dan persyaratan pengajuan permohonan kepailitan

yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam

7

Page 8: Paper Kepailitan

permohonan pailit antara PT. Magnus Indonesia dengan PT. Garuda

Indonesia.

2. Secara praktis adalah penting bagi semua kalangan, khususnya pada

kalangan usaha dagang/bisnis untuk mengetahui syarat-syarat pengajuan

kepailitan dan hal-hal yang menjadi dasar dalam pengajuan permohonan

pailit terhadap suatu perusahaan.

8

Page 9: Paper Kepailitan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyebab Pelaksanaan Perjanjian Konsultan antara PT. Magnus

Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia, sehingga terjadi Permohonan

Pailit kepada PT. Garuda Indonesia.

Awal mula terjadinya pengajuan permohonan pernyataan pailit adalah

adanya suatu perjanjian, yaitu Perjanjian Konsultasi. PT. Magnus dan PT.

Garuda menandatangani Perjanjian Konsultan (Consultant Agreement)

Nomor : DS/PERJ/DZ-3345/2000 pada tahun 2000. PT. Garuda Indonesia

adalah penerima jasa konsultasi dan diwajibkan membayar harga jasa

konsultasi kepada PT. Magnus Indonesia.

Sesuai dengan keterangan dari pihak PT. Magnus bahwa seharusnya PT.

Garuda segera melakukan pembayaran atas pekerjaan proyek yang telah

diselesaikan oleh PT. Magnus, namun pihak PT. Garuda berupaya melakukan

pengakhiran Perjanjian Konsultan dan Perjanjian Tambahan 1 yang berlaku

efektif pada tanggal 14 Nopember 2004 secara sepihak berdasarkan surat

termohon (PT. Garuda) pada tanggal 14 September 2004 dengan Nomor

Garuda/DZ-2293/04 tanpa menyelesaikan terlebih dahulu kewajiban-

kewajibannya yang terutang, jatuh waktu dan dapat ditagih atas pekerjaan

proyek yang telah diselesaikan oleh pemohon (PT. Magnus).

PT. Magnus tidak akan mempermasalahkan pengakhiran secara sepihak

atas Perjanjian Konsultan dan Perjanjian Tambahan 1 oleh PT. Garuda dalam

permohonan, namun setelah menagih kepada PT. Garuda untuk membayar utang-

utangnya yang telah jatuh tempo dan wajib dibayar kepada PT. Magnus jauh

sebelum tanggal pengakhiran, sebagaimana terbukti dari isi-isi, referensi,

pernyataan dan lampiran-lampiran dalam surat dari kuasa hukum PT. Magnus

kepada PT. Garuda dengan Nomor BTP/M14002/RB01-VSA01/803/VIII/05,

tertanggal 9 Agustus 2005.

Namun pihak PT. Garuda menjelaskan bahwa perjanjian konsultan dan

perjanjian tambahan merupakan perjanjian yang sifatnya timbal balik. Sesuai

9

Page 10: Paper Kepailitan

putusan perkara Nomor 46/Pailit/2001/PN.Niaga, akibat perjanjian demikian

adalah pemeriksaan perkara dan pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara

mudah, sederhana dan cepat, sehingga permohonan yang diajukan oleh pemohon

tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Menurut pendapat penulis PT. Magnus dalam permohonannya tidak

menjelaskan secara keseluruhan mengenai isi perjanjian konsultan tersebut sudah

terlaksana dengan baik atau tidak, namun dari dalil berikutnya yang antara lain

menyatakan bahwa PT. Garuda pada tanggal 14 Nopember 2004 secara sepihak

melakukan pengakhiran Perjanjian Konsultan, sebaliknya pihak PT. Garuda

mengakui telah melakukan beberapa kali pembayaran atas pekerjaan yang telah

dilaksanakan oleh PT. Magnus sebagaimana terbukti dari beberapa pembayaran.

Dari fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa Perjanjian Konsultan sudah

terlaksana sebagian, namun belum selesai secara sempurna dan sudah terjadi

pengakhiran.

PT. Garuda yang mengakui adanya Perjanjian Konsultan akan tetapi

belum seluruhnya menerima dengan baik pekerjaan yang telah diselesaikan oleh

PT. Magnus dengan alasan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, oleh

karenanya tidak menandatangani penyerahan pekerjaan yang dilakukan oleh PT.

Magnus.

Dalam pelaksanaan pekerjaan, yang dinyatakan sudah terlaksana namun

baru sebagian dan mengenai pembayaran atas pekerjaan tersebut, kedua belah

pihak sebaiknya membuktikannya di persidangan perdata, supaya dapat

dilanjutnya proses permohonan pernyataan pailitnya apakah akan diterima atau

ditolak.

Pelaksanaan Perjanjian Konsultan menimbulkan hak dan kewajiban bagi

kedua belah pihak, hak untuk menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban untuk

membayar khususnya tagihan pembayaran hasil pekerjaan masih membutuhkan

penilaian yang lebih akurat terhadap nilai pekerjaan yang telah dilakukan oleh PT.

Magnus mengenai selesainya pekerjaan secara keseluruhan.

10

Page 11: Paper Kepailitan

Penulis setuju dengan pendapat dari Bapak Nixon, yang menyatakan

bahwa Perjanjian Konsultan antara PT. Magnus dan PT. Garuda belum selesai

atau baru dalam tahap selesai, sehingga utang pembayaran yang dijanjikan belum

diselesaikan oleh pihak PT. Garuda. PT. Garuda dinyatakan telah menikmati

produk dari PT. Magnus, tetapi hal ini tidak terjadi karena PT. Garuda belum

menerima seluruh hasil dari pekerjaan PT. Magnus. Penyerahan akhir pekerjaan

belum ditandatangani oleh pihakPT. Garuda, maka hak untuk menagih atau hak

untuk menuntut hukum terjadinya penagihan kepada PT. Garuda belum ada.

Dalam kenyataanya PT. Garuda Indonesia merupakan perusahaan yang

telah terpisah dari kekayaan Negara dan tidak lagi merupakan Perusahaan Negara,

melainkan telah murni berbentuk Perseroan Terbatas (persero) yang

berorientasikan laba semaksimal mungkin.

Atas dasar hal tersebut, PT. Garuda adalah perseroan terbatas yang bukan

merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang

kepentingan publik. Berdasarkan akta pendirian yang dibuat oleh Notaris, PT.

Magnus Indonesia merupakan suatu perseroan terbatas fasilitas penanaman modal

yang secara sah didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia dan memiliki hak-hak maupun wewenang serta dapat

melakukan tindakan-tindakan hukum, sehingga PT. Magnus Indonesia secara sah

dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Garuda Indonesia.

PT. Garuda dinyatakan telah lalai oleh pihak PT. Magnus sesuai ketentuan

Pasal 1238 KUHPer. Debitor dapat dianggap telah lalai apabila memenuhi unsur-

unsur :

1. Si debitor adalah si berutang,

2. apabila debitor dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis telah

dinyatakan lalai,

3. dengan perikatannya sendiri, jika menetapkan, bahwa si berutang akan harus

dianggap lalai,

4. telah lewatnya waktu yang ditentukan.

Namun dalam hal Perjanjian Konsultan yang dijadikan dasar atas

pengajuan permohonan pailit harus dibuktikan terlebih dahulu adanya unsur

11

Page 12: Paper Kepailitan

wanprestasi, sehingga dapat dibuktikan secara sederhana dan dapat menjadi

pertimbangan Majelis Hakim dalam mengambil putusan atas permohonan pailit

tersebut.

Akibat dari adanya suatu perjanjian yang demikian, dalam pemeriksaan

perkara dan pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara mudah, sederhana dan

cepat, sehingga permohonan yang diajukan oleh pemohon tidak memenuhi

ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Pasal ini

menyatakan bahwa :

“ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah terpenuhi”.

Menurut penulis, alasan-alasan tidak dapat dibuktikan secara sederhana

dalam permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Magnus terhadap PT. Garuda

adalah :

1. Tagihan yang diajukan oleh PT. Magnus kepada PT. Garuda tidak otomatis

berlaku, masih memerlukan pembuktian antara lain tentang tidak adanya

wanprestasi.

2. Antara PT. Magnus dan PT. Garuda terdapat selisih pendapat mengenai

keberlakuan tagihan-tagihan yang menurut pihak PT. Garuda sudah dibayar.

3. PT. Garuda sudah mengajukan gugatan wanprestasi terhadap PT. Magnus di

PN. Jakarta Pusat.

Tebukti dalam persidangan, berkas gugatan tersebut sudah didaftarkan dengan

register Nomor 02/pdt.G/PN.Jkt.Pst. yang mana gugatan PT. Garuda adalah

mengenai tidak terpenuhinya jadwal penyerahan pekerjaan sesuai kesepakatan

yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Perjanjian konsultan yang dibuat oleh

PT. Magnus dan PT. Garuda merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik,

dimana PT. Magnus diwajibkan melaksanakan dan menyerahkan pekerjaan

kepada PT. Garuda, kemudian PT. Garuda mempunyai kewajiban untuk

melakukan pembayaran.

Menurut pendapat penulis, cara-cara konfirmasi negatif dalam pembuktian

adanya utang atau kreditor lain tidak tepat. Seperti yang dijelaskan oleh Linna

12

Page 13: Paper Kepailitan

Simamora yang mencontohkan PT. Multi Bintang Indonesia, yang semula disebut

sebagai kreditor lain dari PT. Garuda. Dalam persidangan pada tanggal 21

Desember 2005, PT. Multi Bintang Indonesia membantah memiliki piutang yang

dimaksud, hal ini membuktikan bahwa metode Konfirmasi Negatif yang

didalilkan oleh pemohon (PT. Magnus) pailit tidak benar, karena Konfirmasi

Negatif secara umum merupakan cara yang dilakukan dengan menghubungi

perusahaan yang dianggap memiliki piutang terhadap termohon pailit (PT.

Garuda). Jika perusahaan tidak menjawab (mengiyakan atau membantah)

konfirmasi, berarti dugaan adanya piutang tersebut benar. Sehingga menurut

penulis pembuktian dengan Konfirmasi Negatif tersebut tidak tepat dan tidak

dapat digunakan dalam pembuktian.

Menurut pendapat penulis Perusahaan PT. Garuda tidak dapat dinyatakan

wanprestasi yang berhenti membayar hutang-hutangnya tanpa menyebutkan

sebab-sebab dan alasan-alasannya yang mengakibatkan perusahaan dapat

dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan berdasarkan permohonan dari para

kreditornya maupun atas permohonan debitornya sendiri yang telah ditentukan

secara tegas dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebab PT.

Garuda tidak terbukti masih mempunyai utang kepada PT. Magnus yang

dinyatakan karena belum bayar biaya jasa konsultasi, yang mana pihak PT.

Garuda tidak mengakui bahwa pekerjaan dari PT. Magnus telah selesai, sehingga

tagihan dari PT. Magnus kepada PT. Garuda tidak dapat berlaku dan dianggap

belum ada.

Pihak yang dapat dinyatakan wanprestasi sebaiknya dibuktikan dalam sidang

perdata terlebih dahulu, sehingga dapat ditentukan apakah permohonan pailit

tersebut dapat diterima atau tidak. Seseorang dapat dinyatakan wanprestasi

apabila tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Wanprestasi

tersebut dapat berupa :

1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

4. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

13

Page 14: Paper Kepailitan

5. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Dalam hal ini perlu dibuktikan siapa yang telah wanprestasi, dimana pihak PT.

Magnus menyatakan bahwa PT. Garuda telah wanprestasi karena tidak melakukan

kewajibannya membayar upah atas jasa konsultasi yang dianggap telah selesai

dikerjakan oleh PT. Magnus dengan dilakukan penagihan atas pembayaran

tersebut, akan tetapi pihak PT. Garuda tidak membayar tagihan tersebut sampai

batas waktu yang ditentukan telah jatuh waktu. Sedangkan pihak PT. Garuda

menyatakan bahwa PT. Magnus yang telah wanprestasi karena tidak melakukan

pekerjaannya secara keseluruhan dan telah menggugat pihak PT. Magnus di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut penulis pihak PT. Magnus harus

membuktikan terlebih dahulu adanya utang PT. Garuda yang dapat dibuktikan

secara sederhana dalam pengajuan permohonan kepailitan.

B. Penolakan Permohonan Pernyataan Pailit dari PT. Magnus kepada PT.

Garuda di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit harus ada utang dan

adanya dua kreditor atau lebih. Dalam hal ini, PT. Magnus belum dapat

menyelesaikan/memenuhi jasa yang akan digunakan oleh PT. Garuda

sebagaimana disepakati dalam perjanjian konsultan. Penyerahan akhir

pekerjaan konsultan belum ditandatangani oleh pihak PT. Garuda, maka hak

untuk menagih atau hak untuk menuntut hukum terjadinya penagihan kepada

PT. Garuda belum ada.

PT. Magnus tidak dapat membuktikan terpenuhinya dua syarat mutlak

yang merupakan gabungan persyaratan kumulatif yang harus dipenuhi

pemohon pailit untuk dapat dikabulkan oleh Pengadilan Niaga, yaitu Pasal 2

Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penulis

menilai masih terdapat perselisihan tentang pekerjaan, yang mana masih

dibutuhkan pembuktian yang tidak sederhana.

Utang yang didalilkan oleh pemohon (PT. Magnus) tidak dapat dibuktikan

secara sederhana. Masih perlu dibuktikan adanya wanprestasi dari perjanjian yang

dibuat oleh para pihak, yang harus dibuktikan di Pengadilan Perdata, jika benar

14

Page 15: Paper Kepailitan

terjadi wanprestasi terhadap pihak PT. Garuda, maka permohonan pailit kepada

PT. Garuda tersebut dapat dilanjutkan dan diputuskan sesuai kebenaran.

Setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat

fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk

dinyatakan pailit telah terpenuhi. Syarat tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu orang yang hendak dinyatakan

pailit mempunyai lebih dari dua kreditor dan memiliki utang yang tidak dibayar

dan dapat ditagih.

Perikatan bersyarat yang menjadi sebab jatuh waktunya utang debitor yang

melahirkan kewajiban untuk membayar sejumlah uang tersebut, kesemuanya itu

harus dapat diajukan dengan bukti yang jelas dan sederhana oleh debitor atau

kreditor yang mengajukan permohonan kepailitan.

Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Magnus atas PT. Garuda ditolak

karena, pemohon pailit tidak memenuhi persyaratan hukum formal dalam

mengajukan permohonan pailit, alasan-alasannya diantaranya, Surat Kuasa

Pemohon Pailit yang Cacat Hukum, karena surat kuasa pemohon pailit

menggunakan materai yang sudah tidak berlaku lagi, adanya itikad tidak baik:

1. Surat kuasa yang diajukan oleh pemohon pailit (PT. Magnus) adalah cacat

hukum dan karenanya permohonan pailit (PT. Magnus) harus dinyatakan

ditolak, karena Pemberi Kuasa Bukan Pihak yang Berwenang, dimana nama

pribadi yang dicantumkan untuk mewakili pemohon pailit (PT. Magnus) pada

bagian premis pada halaman 1 surat kuasa pemohon pailit (surat kuasa

pemohon pailit) versi Bahasa Inggris adalah “Swibertus Bernardus Terpstra”

sedangkan pada kolom yang memuat tandatangan pada halaman 3 surat kuasa

pemohon pailit versi bahasa Inggris, nama pribadi yang dicantumkan

mewakili pemberi kuasa tertulis sebagai “Swibertus Bertio Terpstra”.

Sedangkan yang tercantum dalam akta Nomor 19 tertanggal 7 Maret 2003 dari

pemohon pailit, satu-satunya direktur pemohon pailit adalah “Swibertus

Bernardus Terpstra”.

Perbedaan identitas pribadi yang dicantumkan mewakili pemohon pailit

dalam surat kuasa PT. Magnus dan identitas pribadi yang menandatangani

15

Page 16: Paper Kepailitan

surat kuasa PT. Magnus berbeda dengan nama satu-satunya direktur PT.

Magnus, keduanya sebagaimana dimaksud, jelas membuktikan bahwa surat

kuasa dari pemohon pailit (PT. Magnus) tersebut adalah cacat hukum, PT.

Magnus harus menjelaskan mengenai hal ini dan menunjukkan surat kuasa

yang benar, supaya tidak cacat hukum dan dapat berlaku secara sah.

2. Surat kuasa pemohon pailit menggunakan materai yang sudah tidak berlaku.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

1985 tentang Bea Materai, menyatakan bahwa :

“Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk : surat perjanjian dan

surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat

pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat

perdata”.

Selanjutnya penjelasan Pasal 2 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1985 tentang Bea Materai, menyatakan sebagai berikut :

“Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya

tersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Materai atas surat

perjanjian atau surat-surat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat

lainnya pada huruf a tersebut antara lain surat kuasa, surat hibah, surat

pernyataan.”

Surat kuasa pemohon pailit (PT. Magnus) dinyatakan ditandatangani di

atas materai yang sudah tidak berlaku. Sehingga apabila permohonan pailit ini

dikabulkan oleh Majelis Hakim, maka hakim tersebut akan melanggar

peraturan pemerintah yaitu Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1985 tentang Bea Materai, Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera,

Jurusita, Notaris, dan Pejabat Umum lainnya, masing-masing dalam tugasnya

atau jabatannya tidak dibenarkan menerima, mempertimbangkan atau

menyimpan dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dibayar.

PT. Magnus dalam hal ini kurang cermat dan teliti, karena masalah materai

menjadi syarat yang penting dalam suatu dokumen. Sehingga pantas dan

benar jika permohonan pernyataan pailitnya atas PT. Garuda harus ditolak.

16

Page 17: Paper Kepailitan

1. Penolakan permohonan pailit juga dikarenakan adanya itikad tidak baik dari

Pemohon Pailit (PT. Magnus). Berdasarkan Akta Nomor 19 tertanggal 7

Maret 2003 hanya mencantumkan nama Swibertus Bernardus Terpstra sebagai

satu-satunya Direktur Pemohon Pailit (PT. Magnus).

Dicantumkannya versi bahasa Indonesia dari surat kuasa pemohon pailit

nama Mark A. Neporent sebagai Wakil Presiden pemohon pailit menunjukkan

adanya itikad tidak baik dari pemohon pailit dalam mengajukan susunan Direksi

dan Komisaris terakhir dari pemohon pailit (PT. Magnus). Sesuai dengan

peraturan yang berlaku, yaitu dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer dinyatakan

bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila itikat baik

tersebut tidak ada atau dilanggar dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut

telah melanggar peraturan dan perjanjian tersebut dapat dianggap tidak sah secara

hukum, sehingga permohonan pailit dibatalkan karena adanya itikad tidak baik

tersebut.

Permohonan Pailit PT. Magnus Tidak Dilampiri Akta Pendaftaran

Perusahaan PT. Garuda yang Dilegalisir oleh Kantor Perdagangan. Sebagaimana

dipersyaratkan dalam Check List Permohonan Pernyataan Kepailitan Dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam setiap pengajuan permohonan pernyataan

kepailitan harus dilengkapi dengan Akta Pendaftaran Perusahaan yang dilegalisir

oleh Kantor Perdagangan paling lambat satu minggu sebelum permohonan

didaftarkan.

Pendaftaran perusahaan yang dimaksud sesuai dengan Pasal 21 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi :

“1. Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan :

a. akta pendirian beserta surat pengesahan Menteri sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 Ayat (6);

b. akta perubahan Anggaran Dasar beserta surat persetujuan Menteri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2);

c. akta perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada Menteri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (3).

17

Page 18: Paper Kepailitan

2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Wajib dilakukan dalam

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan

diberikan atau setelah tanggal penerimaan laporan.”

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Perusahaan Pasal 1 Ayat (a), yang menyatakan : “Daftar Perusahaan adalah

daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan.

Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat

hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh

pejabat yang berwenang dari kantor penmdaftaran perusahaan.

Tanda daftar perusahaan yang diajukan oleh pemohon pailit (PT. Magnus)

tidak dilegalisir oleh kantor perdagangan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu

sebelum permohonan, sehingga permohonan pailit tersebut dianggap cacat

formal dan oleh karenanya harus ditolak. Utang yang didalilkan oleh PT.

Magnus kepada PT. Garuda tidak dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga

atas hal tersebut harus dilakukan pembuktian dengan gugatan perdata biasa.

Adanya utang atau wanprestasi antara para pihak, harus dibuktikan melalui

pengadilan perdata dan penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan

gugatan perdata biasa terlebih dahulu. Atas dasar memerlukan pembuktian

tersebut, maka permohonan pailit ini dinyatakan ditolak oleh Hakim.

Penulis setuju dengan putusan Majelis Hakim di Pengadilan Niaga yang

telah memutus penolakan permohonan pailit PT. Garuda, karena harus dibuktikan

terlebih dahulu adanya unsur utang yang tidak dibayarkan sesuai dengan yang

disanggupi, sehingga terjadi wanprestasi sebagai dasar pengajuan permohonan

kepailitan dan para pihak harus mengikuti proses peradilan perdata terlebih dahulu

untuk pembuktian wanprestasi sehingga pembuktian sederhana akan diperoleh

sebagai syarat pengajuan kepailitan.

Permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Magnus kepada PT. Garuda

tersebut sudah tepat jika ditolak, sebab harus dibuktikan terlebih dahulu adanya

wanprestasi dan adanya dua kreditor atau lebih yang menjadi syarat dari

pengajuan permohonan pailit.

18

Page 19: Paper Kepailitan

Pihak PT. Magnus harus dapat membuktikan dalam persidangan adanya

kreditor-kreditor lain di samping PT. Magnus Indonesia yang diduga mempunyai

piutang kepada PT. Garuda Indonesia, seperti Lufthansa, KLM Royal Dutch

Airlines, PT. Multi Bintang Indonesia Tbk, dan PT. Pertamina. Serta utang yang

didalilkan yang menjadi dasar dari wanprestasi, yang akan menjadi pertimbangan

dari Majelis Hakim.

Jadi menurut penulis, dalam kasus yang terjadi antara PT. Magnus dengan

PT. Garuda harus dilakukan pembuktian mengenai adanya unsur wanprestasi

terlebih dahulu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membuktikan adanya

utang dan supaya dapat dibuktikan secara sederhana dalam pengajuan

permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana yang

dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan

dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,

baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen,

yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh

debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat

pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila pihak

debitor tidak mampu atau tidak sanggup untuk membayar pinjaman yang

mencakup lebih dari satu kreditor/lebih, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai

pailit. Artinya bahwa debitor yang mempunyai dua/lebih kreditor dan tidak

mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dapat dinyatakan bahwa debitor tersebut pailit.

Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa

setiap permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit

telah terpenuhi. Syarat tersebut tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-

19

Page 20: Paper Kepailitan

Undang Nomor 37 Tahun 2004, yaitu orang yang hendak dinyatakan pailit

mempunyai lebih dari dua kreditor dan memiliki utang yang tidak dibayar dan

dapat ditagih.

20

Page 21: Paper Kepailitan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan permasalahan mengenai Analisis Penolakan

Permohonan Pernyataan Pailit terhadap kasus PT. Garuda Indonesia dengan

PT. Magnus Indonesia dalam bab-bab sebelumnya akhirnya penulis sampai

pada pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut :

1. Adapun yang menyebabkan pelaksanaan perjanjian konsultan antara PT.

Magnus Indonesia dengan PT. Garuda Indonesia sehingga terjadi

permohonan pailit kepada PT. Garuda Indonesia adalah PT. Garuda

Indonesia menyatakan bahwa belum seluruhnya menerima dengan baik

pekerjaan yang telah diselesaikan oleh PT. Magnus Indonesia dengan

alasan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, sehingga utang pembayaran

yang dijanjikan belum diselesaikan oleh pihak PT. Garuda Indonesia. PT.

Garuda Indonesia dinyatakan telah menikmati produk dari PT. Magnus

Indonesia, tetapi hal ini tidak terjadi karena PT. Garuda Indonesia belum

menerima seluruh hasil dari pekerjaan PT. Magnus Indonesia.

2. Penolakan permohonan pernyataan pailit dari PT. Magnus kepada PT.

Garuda Indonesia di pengadilan niaga Jakarta Pusat dapat terjadi karena

Perjanjian konsultan yang dibuat oleh PT. Magnus Indonesia dan PT.

Garuda Indonesia merupakan perjanjian yang sifatnya timbal balik, pihak

yang satu harus melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sedang pihak

satunya harus membayar harga atas jasa konsultan tersebut. Akibat dari

perjanjian ini adalah pemeriksaan perkara dan pembuktiannya tidak dapat

dilakukan secara mudah, sederhana dan cepat. Karena pekerjaan belum

selesai, maka penyerahan akhir pekerjaan belum ditandatangani oleh pihak

PT. Garuda Indonesia, maka hak untuk menagih atau hak untuk menunutut

hukum terjadinya penagihan kepada PT. Garuda belum ada. Utang yang

didalilkan oleh PT. Magnus Indonesia tidak dapat dibuktikan secara

sederhana, sehingga atas hal tersebut harus dilakukan pembuktian dengan

21

Page 22: Paper Kepailitan

gugatan perdata biasa. PT. Magnus Indonesia tidak dapat membuktikan

terpenuhinya dua syarat mutlak yang merupakan gabungan persyaratan

kumulatif yang harus dipenuhi pemohon pailit untuk dapat dikabulkan

oleh Pengadilan Niaga, sehingga permohonan pailit yang diajukan oleh

PT. Magnus Indonesia kepada PT. Garuda Indonesia tersebut ditolak oleh

Majelis Hakim.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan saran yang

nantinya di harapkan dapat berguna bagi setiap pihak yang terlibat di

dalamnya. Adapun saran yang dapat penulis berikan :

1. Para Debitor dan Kreditor sebaiknya dapat membuktikan terlebih dahulu

adanya wanprestasi dalam pengadilan perdata. Debitor sebaiknya perlu

mengadakan adanya transparansi dan keadilan dalam melaksanakan

kewajibannya dalam membayar utangnya kepada para kreditor.

2. Sebaiknya pihak debitor tetap berupaya sebaik mungkin merestrukturisasi

perusahaan dan jangan takut terhadap gugatan perdata maupun pailit oleh

sejumlah oknum yang hanya memikirkan keuntungan pribadi/golongan

dan tidak memandang kesulitan negara, dengan menerapkan manajeman

yang baik dan benar serta berada di dalam koridor hukum tetapi tetap

terbuka meminta bantuan dari pihak luar dan jangan terkurung dalam

pemecahan internal saja.

3. Berbagai pihak sebaiknya memperhatikan masalah ini, dimana jika

perusahaan sebesar PT. Garuda dinyatakan bubar, maka sama artinya

dengan menaikkan angka pengangguran di Indonesia. Dampaknya akan

sangat terasa karena mereka yang bekerja di PT. Garuda, ada yang

mendekati usia pensiun, harus menghadapi kenyataan bahwa PT. Garuda

akhirnya dinyatakan pailit. Ratusan ribu bahkan jutaan kepala keluarga

harus menanggung akibatnya karena sistem manajemen perusahaan yang

berantakan.

22

Page 23: Paper Kepailitan

4. Sudah saatnya pemerintah Indonesia sekarang harus mulai peduli dan

memberikan perhatian terhadap masalah Corporate Governance. Dengan

adanya pengimplimentasian Good Corporate Governance di Indonesia,

setidaknya masalah ini tidak perlu terjadi atau dapat mengurangi masalah

serupa yang dihadapi oleh sebuah perusahaan di Indonesia, karena dilihat

dari kenyataan bahwa salah satu penyebab terbesar dari masalah yang

sering dihadapi oleh perusahaan-perusahaan dewasa ini adalah masalah

Korupsi akibat dari sistem manajemen yang berantakan di sebuah

perusahaan.

5. Bagi masyarakat sebaiknya menjadi warga Negara Indonesia yang baik,

yang menyerahkan permasalahan kepada hukum, karena Indonesia adalah

negara hukum, biarkan hukum yang pada akhirnya menyelesaikan masalah

yang sedang dihadapi oleh PT. Garuda. Sebagai Warga Negara, setidaknya

ikut berharap jangan sampai perusahaan ini akhirnya dinyatakan pailit

yang kemudian diikuti oleh perusahaan yang lain.

23

Page 24: Paper Kepailitan

DAFTAR PUSTAKA

Azikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Cetakan ke-2. (Jakarta : PT. RajaGrafindi Persada, 1994).

Hartono, Siti Soematri. Seri Hukum Dagang, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. (Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Univeritas Gajah Mada, 1983).

Hartono. Sri Redjeki “Hukum Perdata sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2. hal. 37 Tahun 2000.)

Kartono. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982).

Muljadi. Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003)

Nating. Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004)

Prodjodikoro. Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000)

Situmorang, Victor. M. dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994).

Sjahdeini. Sutan Remy Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2004)

Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001)

Soekanto. Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ke-8. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004)

Subekti, Hukum Perjanjian , Cetakan ke-5, (Jakarta: PT Intermasa, 2005)

Suherman. Failisement (Kepailitan).(Bandung : Bina Cipta, 1988).

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999).

Indonesia. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Lembaran Negara Republik

24

Page 25: Paper Kepailitan

Indonesia Tahun 2004 Nomor131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443).

25

Page 26: Paper Kepailitan

DAFTAR PUSTAKA

Muljadi. Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003)

Subekti, Hukum Perjanjian , Cetakan ke-5, (Jakarta: PT Intermasa, 2005)

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999).

Anonim, Gugatan Perdata dan Kepailitan Mengancam Garuda, (www. Hukumonline.com, 2006).

Putusan Nomor : 40/PAILIT/2005/PN.NIAGA JKT.PST

26