43
Abstrak Pendahuluan Kita sebagai manusia normal tentu pernah mengalami batuk berdahak dan sesak nafas. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal salah satunya adalah pengaruh kualitas udara atau oksigen yang kita hirup. Jika kita menghirup udara yang tercemar seperti udara yang mengandung debu, asap, maka besar kemungkinan kita akan mengalami batuk dan sesak nafas. Selain itu, kita juga sering tanpa disengaja menghirup udara tercemar yang berasal dari rokok. Udara hasil pembakaran rokok mengandung banyak sekali racun yang dapat menyebabkan si penghirup dapat merasakan sesak dan batuk. Dari beberapa faktor predisposisi tersebut maka dapat terjadi timbulnya penyakit pada suatu individu, salah satu nya adalah PPOK. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Klasifikasi luas dari gangguan tersebut mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif dan berhubungan dengan respon peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau

pbl

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pbl

Citation preview

Page 1: pbl

Abstrak

Pendahuluan

Kita sebagai manusia normal tentu pernah mengalami batuk berdahak dan

sesak nafas. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal salah satunya adalah pengaruh

kualitas udara atau oksigen yang kita hirup. Jika kita menghirup udara yang tercemar

seperti udara yang mengandung debu, asap, maka besar kemungkinan kita akan

mengalami batuk dan sesak nafas. Selain itu, kita juga sering tanpa disengaja

menghirup udara tercemar yang berasal dari rokok. Udara hasil pembakaran rokok

mengandung banyak sekali racun yang dapat menyebabkan si penghirup dapat

merasakan sesak dan batuk. Dari beberapa faktor predisposisi tersebut maka dapat

terjadi timbulnya penyakit pada suatu individu, salah satu nya adalah PPOK.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang

ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara

saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Klasifikasi luas dari

gangguan tersebut mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma,

yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan

penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Keterbatasan aliran udara

biasanya progresif dan berhubungan dengan respon peradangan yang abnormal dari

paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya. Terkait dengan hal tersebut,

makalah ini akan membahas dan memberikan pengertian tentang sejumlah bahan

maupun bagian yang perlu diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan yaitu

Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Anamnesis

Dalam anamnesis pasien dengan gangguan pernapasan dilakukan wawancara

terhadap identitas pasien terlebih dahulu seperti nama lengkap pasien, umur, tempat

tanggal lahir, jenis kelamin, agama, dan alamatnya. Tanyakan keluhan utama pasien

datang berobat ke dokter dan sudah berapa lama keluhan utama ini terjadi.1,2

Pada riwayat penyakit sekarang, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan

seperti sudah berapa lama pasien merasa sesak napas ? Kapan pasien merasa sesak

Page 2: pbl

napas : saat istirahat atau aktivitas ? (gunakan skala sesak napas dan keluhan menurut

aktivitas, dapat dilihat pada Tabel 1). 3

Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas ? Berapa jauh

pasien dapat berjalan ? Apakah pasien batuk ? Jika ya, adakah sputum, berapa banyak,

dan apa warnanya ? Apakah terdapat mengi ? Jika ya, kapan ? Berapa lama pasien

mengalami keadaaan seburuk ini ? Kira-kira apa pemicunya ? Apakah pasien

mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring? Pernahkah pasien mendapat

ventilasi ? Pernahkah pasien di rawat di rumah sakit ? (Jika ya, berapa hasil spirometri

dan gas darah awal ). 3

Tabel 1 .Skala sesak dan Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas4

Skala Arti Skala

Skala 0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

Skala 1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga

satu tingkat

Skala 2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

Skala 3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa

menit

Skala 4 Sesak bila mandi atau berpakaian

Pada riwayat penyakit dahulu, tanyakan pada pasien pertanyaan-pertanyaan

seperti bagaimana kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, karsinoma bronkus,

bronkiektasis, atau emfisema) ? Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan

lain. Pernahkah ada episode pneumonia ? Tanyakan gejala apnoe saat tidur (mengantuk di

siang hari, mendengkur). Adakah kemunduran dimusim dingin ?Apakah pernah mengalami

hal seperti ini sebelumnya ? Jika ya, apakah sudah berobat ke dokter dan apa diagnosisnya

serta pengobatan yang diberikan ? 1-3

Riwayat obat-obatan perlu ditanyakan pula untuk mengetahui sampai dimana

perkembangan pasien dan dapat mengetahui efek-efek yang diberikan oleh obat yang

diminum oleh pasien. Dapat ditanyakan respons pasien terhadap kortikosteroid,

nebulizer, oksigen dirumah ? Apakah pasien menggunakan oksigen di rumah ? Jika

ya, selama berapa jam sehari digunakan ? 1-3

Page 3: pbl

Untuk riwayat status sosial ekonomi dapat ditanyakan bagaimana riwayat

pekerjaan pasien ? apakah ada riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga ? dimana kamar

tidur/kamar mandi pasien, dan sebagainya ? siapa yang berbelanja, memasak, mencuci dan

sebagainya ? 1-3

Untuk riwayat kebiasaan dan lingkungan ditanyakan apakah pasien memiliki riwayat

merokok, jika ada tanyakan berapa bungkus perhari ? bagaimana keadaan lingkungan

rumah maupun pekerjaannya ? apakah sering terpapar dengan zat-zat yang bersifat

allergen ? bagaimana hygieni pribdai ? bagaimana rumahnya ? apakah cukup ventilasi

? 1-3

Pemeriksaan Fisik

Pada pasien dengan gangguan pernapasan perlu diketahui status tanda-tanda

vital pasien, pemeriksaan paru meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas menentukan tingkat

keparahan penyakit. Seorang pasien dengan sesak napas dengan tanda-tanda vital

normal biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang

memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita

gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera.3-5

Temperatur di bawah 35°C atau diatas 41°C atau tekanan darah sistolik

dibawah 90mmHg menandakan keadaan gawat darurat.

Pulsus paradoksus-pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan arterial

lebih besar dari 10mmHg-tanda ini bermanfaat dalam menentukan adanya

kemungkinan udara terperangkap (air trapping) pada keadaan asma dan PPOK

eksaserbasi akut. Ketika obstruksi napas memburuk, variasi itu meningkat;

dan ketika obstruksi membaik, pulsus paradoksus menurun.

Frekuensi napas kurang dari 5 kali/menit mengisyaratkan hipoventilasi dan

kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari 35 kali/menit

menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat

beberapa jam sebelum otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.

Pada pemeriksaan fisik paru dilakukan pemeriksaan dada bagian anterior dan

dada bagian posterior. Pemeriksaan harus urut dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan

auskultasi. 3-5

Page 4: pbl

Secara umum pada pemeriksaan fisik penderita PPOK dapat ditemukan hal-

hal sebagai berikut: 3-5

1) Inspeksi3-5

a) Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)

b) Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup)

c) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas

d) Pelebaran sela iga

2) Perkusi3-5

a) Ditemukan suara hipersonor

3) Palpasi3-5

a) Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran organ-organ.

4) Auskultasi3-5

a) Fremitus melemah,

b) Suara napas vesikuler melemah atau normal

c) Ekspirasi memanjang

d) Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

e) Ronki

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu

menegakan diagnosis, antara lain :

1) Tes Fungsi Paru

PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi

paksa dalam 1 detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas

vital paksa < 70 %. Laju aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran

napas hanya reversible sebagian bila diterapi dengan bronkodilator (atau obat

lain).5-6

2) Uji bronkodilator

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada dapat

menggunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8

hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml. 5-6

3) Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)

Page 5: pbl

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada

PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk

menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis

banding dari keluhan pasien. Seperti : 5-6

a) Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa

bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan

corakan paru yang bertambah. 5-6

b) Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan

gambaran diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah

pulmonal, serta gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung :

Jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance.) 5-6

4) Analisis Gas Darah

Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal napas akut

pada gagal napas kronik. 5-6

5) Computed Tomography

Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X untuk menghasilkan

gambar tomografi atau potongan dari daerah tertentu pada tubuh. Computed

Tomography ini digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Dengan bantuan

computed tomography ini kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa. 5-6

6) Uji Provokasi Bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK

terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan. 5-6

7) Mikrobiologi Sputum

Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi). 5-6

Differential diagnosis

Bronkiektasis

Bronkiektasis merupakan infeksi kronik dengan nekrosis pada bronkus dan

bronkiolus yang menyebabkan dilatasi permanen yang abnormal pada saluran napas

ini.7 Bronkiektasis juga dapat dikatakan adalah kelainan morfologis yang terdiri dari;

pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan komponen

elastis dan muskular dinding bronkus. Bronkiektasis diklasifikasikan dalam

bronkiektasis silindris, fusiform, dan kistik atau sakular.

Page 6: pbl

Tanda dan gejala dari penyakit bronkiektasis sangat beragam, sebagian tanpa

gejala atau tanda sama sekali.5 Gambaran klinisnya secara umum meliputi batuk-

batuk, demam dan produksi sputum purulen yang berlebihan. Berdasarkan gejalanya,

bronkiektasis dapat dikelompokkan menjadi :

1. Batuk

Hemoptisis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung

kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi

hari sesudah ada posisi tidur atau bangun dari tidur.8 Sputum terdiri atas

tiga lapisan :

a. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus

b. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva

c. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari

bronkus yang rusak

2. Hemoptisis

Terjadi akibat nekrosis atau dekstruksi mukosa bronkus mengenai

pembuluh darah (pecah) dan timbul pendarahan.8

3. Sesak napas (dispnea)

Timbulnya sesak napas tergantung pada luasnya bronkiektasis, kadang-

kadang menimbulkan suara mengi akibat adanya obstruksi bronkus.8

4. Demam berulang

Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering

mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga

sering timbul demam (demam berulang).8

5. Kelainan fisis, seperti:8

a. Sianosis

b. Jari tabuh (Clubbing Finger)

c. Ronki basah

d. Wheezing

Asma Bronkiale

Asma bronkiale adalah satu hiper-reaksi dari bronkus dan trakea yang

mengakibatkan penyempitan saluran napas yang bersifat reversible.1 Asma ini

merupakan kelainan inflamasi kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan

Page 7: pbl

bronkospasme yang paroksismal tapi reversibel pada saluran napas trakeobronkial;

serangan ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas otot polos.9

Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja, terutama

diperkirakan jika terkena alergen dan lingkungan pemicu.1 Sebenarnya penyebab pasti

asma bronkialee masih belum diketahui secara pasti. Penyakit asma dapat dipilah

menurut intensitas klinik, respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara

patofisiologi dikenali 2 tipe yang utama:9

1) Asma atopik (alergik;reagin-mediated) Merupakan tipe yang sering ditemukan. Tipe asma ini dipicu oleh antigen

lingkungan (misalnya debu, serbuk sari, makanan), perubahan cuaca, aktivitas

dan sering disertai riwayat atopi dalam keluarga. Lenih sering terjadi pada

anak-anak.

2) Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun)

Kerapkali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-

obatan, pengaruh isiologis seperti stress dan biasanya tanpa riwayat keluarga

dan tanpa keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas

saluran napas tidak diketahui. Lenih sering mengenai orang dewasa di atas

usia 40 tahun.

Asma bronkiale merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering

dijumpai pada anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita,

prasekolah, sekolah atau remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%,

sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak

usia sekolah menengah.9

Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita

asma pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali

anak laki-laki yang lebih banyak terkena daripada anak wanita, setelah itu insiden

menurut jenis kelamin sama.9

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot

bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi

bertambah berat selama ekspirasi, karena secara fisiologis saluran napas menyempit

pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi

terjebak tidak bisa di ekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,

Page 8: pbl

kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi

mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran

napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan

hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi

saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi Paksa

detik pertama) dan APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP

(Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan

saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil.

Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada

saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.5,9,10

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada

daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui

daerah tersebut mengalami hiposekmia. Penurunan O2 mungkin merupakan kelainan

pada asma sub klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan

hiperventilasi, agar kebutuan tubuh terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2

menjadi berlebihan, sehingga tekanan CO2 menurun, yang kemudian menimbulkan

alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas

dan alveolus tertutup oleh mukus, sehingga tidak mungkin lagi terjadinya pertukaran

gas. 5,9,10

Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah

berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai

dengan penurunan ventilasi alveolus, menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan

terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama

menyebabkan asidosis metabolik dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian

menyebabkan shunting yaitu, peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang

baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penympitan

saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut: 5,9,10

1) Gangguan ventilasi berupa hiperventilasi

2) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak

setara dengan sirkukasi darah paru.

3) Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis

respiratorik pada tahap yang lanjut. 5,9,10

Gejala-gejala dari penyakit asma bronkiale, antara lain sebagai berikut:

Page 9: pbl

1. Sesak napas yang diikuti suara mengi.

2. Pada umumnya disertai batuk dengan dahak yang lengket dan kental.

3. Gelisah dan cemas.

4. Napas terengah-engah akibat kejang dan rasa berat pada dada.

5. Sulit untuk berbicara.

Working Diagnosis

Bronkhitis kronik

Bronkhitis kronik adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus

trakeobronkiale yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan

ekspetorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-

turut. Terdapat beberapa subklasifikasi, diantaranya bronkitis kronik simpleks,

bronkitis mukopurulen kronik, dan bronkitis kronik dengan obstruksi. Bronkitis

kronik simpleks menjelaskan suatu keadaan yang ditandai dengan pembentukan

sputum mukoil. Bronkitis mukopurulen kronik ditandai dengan sputum purulent yang

persisten maupun berulang pada keadaan tidak ditemukannyapenyakit supuratif

setempat seperti bronkiektasis. Karena mungkin ada dan mungkin juga tidak

ditemukan obstruksi yang dinilai dengan penggunaan maneuver kapasitas vital

ekspirasi paksa (force expiration capacity, FEC), bronkitis kronik dengan obstruksi

memerlukan klasifikasi yang terpisah.

Selanjutnya ditemukan kelompok pasien dengan bronkitis kronik dan

obstruksi yang mengalami dyspnea berat dan mengi, berkaitan dengan iritan yang

terhirup atau sewaktu infeksi pernapasan akut. Pasien seperti ini disebut menderita

asma infektif kronik atau bronkitis asmatik kronik. Karena obstruksi jalan napas dapat

pulih kembali walau tidak menyeluruh melalui terapi bronkodilator dan pengurangan

inflamasi dan karena hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan nonspesifik

dapat dijumpai pada kelompok pasien ini, keraguan ditemukan pada pasien keadaan

ini dengan pasien asma yang juga mengalami obstruksi jalan napas kronik. Perbedaan

didasarkan terutama pada riwayat perjalanan penyakit.

Pasien dengan bronkitis asmatik kronik memiliki riwayat batuk lama dan

pembentukan sputum dengan awitan selanjutnya yaitu mengi , sedangkan pasien asma

dengan obstruksi kronik memiliki riwayat mengi yang lama dan awitan selanjutnya

yaitu batuk produktif kronik.10,11

Epidemiologi

Page 10: pbl

Kurang lebih 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun

hanya sejumlah kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua

survey, laki-laki lebih sering menderita dibandingkan perempuan. Akan tetapi,

dengan meningkatnya jumlah perokok perempuan, prevalensi bronkitis pada

kelompok perempuan meningkat. Walaupun perokok merupakan faktor

etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat kerja dan lingkungan

sekarang ini cukup banyak, terutama sebagai unsur penambah bagi efek yang

ditimbulkan oleh merokok.10,11

Patologi

Bronkitis kronik berhubungan dengan hyperplasia atau hipertrofi

kelenjar pembentuk mukus yang ditemukan di dalam lapisan submukosa jalan

napas kartilaginosa besar. Penilaian perubahan ini dikenal sebagai indeks

Reid, didasarkan pada rasio ketebalan kelenjar submukosa dengan dinding

bronkus. Pada pasien tanpa riwayat bronkitis kronik, rasio rata-rata adalaj 0,44

dengan standar baku ± 0,09, sedangkan pada pasien dengan riwayat bronkitis

kronik rasio rata-rata adalah 0,52 ± 0,08. Walaupun indeks yang rendah jarang

sekali berhubungan dengan gejala dan indeks yang tinggi pada umumnya

berhubungan dengan gejala sewaktu hidup, masih ditemukan adanya tumpang

tindih. Oleh karena itu, banyak pasien mengalami perubahan morfologik

dalam jalan napas besar tanpa disertai bronkitis kronik.10,11

Mungkin yang jauh lebih penting daripada kelainan yang ditemukan

dalam jalan napas besar adalah perubahan yang sering ditemukan di dalam

jalan napas kecil yang tidak mempunya tulang rawan. Hyperplasia sel goblet,

sel radang mukosa dan submukosa, edema, fibrosis peribronkiale, kumpulan

mukus intraluminal dan peningkatan otot polos merupakan penemuan khas

dalam jalan napas kecil. Frekuensi ditemukan hal tersebut dalam hubungannya

dengan status klinis pascamati dan fungsional masih belum dapat ditemukan.

Akan tetapi, pada pasien dengan PPOM yang telah diamati pascamati,

obstruksi aliran udara yang utama telah ditunjukkan pada jalan napas kecil.10,11

Etiologi

Bronkitis kronik diduga terjadi karena merokok, terpajan polusi udara,

debu, infeksi, bahkan faktor genetik.

- Merokok

Page 11: pbl

Merokok merupakan temuan paling umum berhubungan

dengan bronkitis kronik selama kehidupan. Penelitian eksperimental

menunjukkan bahwa aktivitas merokok yang lama mengganggu

pergerakan silia, mengahmbat fungsi makrfag alveolus dan akhirnya

menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia kelenjar pengsekresi mukus.

Disamping efek kronik ini, kemungkinan merokok menghambat

antiprotease dan menyebabkan sel PMN melepaskan enzim proteolitik

secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat menghasilkan

peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot

polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan

submukosa. Hubngan antara episode konstriksi bronkiale akut berulang

dengan perkembangan dan kemajuan obstruksi jalan napas

berhubungan dengan kemajuan yang lebih cepat pada pasien dengan

obstruksi jalan napas kronik.10,11

Sekarang telah diketahui secara pasti bahwa beberapa perokok muda

asimtomatik mengalami perubahan anatomic dan fungsional dalam

jalan napas kecil tanpa adanya pengurangan volume ekspirasi paksa

dalam satu detik. Akan tetapi, nilai kecepatan di atas atau di bawah

rentang kapasitas vital-pertangahan sering tidak ditemukan pada

individu dengan obstruksi jalan napas ringan. Telah diperlihatkan

bahwa obstruksi jalan napas kecil merupakan cacat mekanik yang

paling cepat ditunjukkan pada perokok muda dan obstruksi dapat

hilang secara menyeluruh bila berhenti merokok. Walaupun berhenti

merokok tidak dapat menyebabkan berulangnya seluruh obstruksi yang

lebih berat, ditemukan penurunan fungsi paru secara perlahan yang

bermakna pada semua perokok yang berhenti merokok.10,11

- Polusi udara

Insidensi dan angka kematian akibat bronkitis kronik dapat

lebih tinggi di daerah urban yang padat industrialisasi, eksaserbasi

bronkitis jelas berhubungan dengan periode polusi berat dengan sulfur

dioksida (SO2) dan unsur yang sangat kecil. Sementara nitrogen oksida

(NO2) dapat menimbulkan obstruksi jalan napas kecil (bronkitis) pada

binatang percobaan yang terpajan dengan konsentrasi, tidak ada data

yang secara pasti melibatkan NO2 pada proses pathogenesis atau

Page 12: pbl

perburukan obstruksi jalan napas pada manusia, bahkan pada kadar

polutan yang sangat tinggi sekalipun.10,11

- Pekerjaan

Bronkitis kronik lebih serinng ditemukan pada pekerja yang

berhubungan dengan pekerjaan yang terpajan dengan debu anorganik,

organic, ataupun terhadap gas beracun. Penelitian epidemiologik telah

berhasil menunjkkan percepatan penurunan fungsi paru pada banyak

pekerja tersebut. Misalnya pada pekerja di pabrik plastic yang terpapar

oleh toluene diisosianida dan pekerja pemintal kapas.10,11

- Infeksi

Morbiditas, mortalitas, dan frekuensi penyakit pernapasan akut

lebih tinggi pada pasien dengan bronkitis kronik. Banyak usaha telah

dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi virus,

mikoplasma dan bakteri. Akan tetapi, hanya rhinovirus yang lebih

sering menyebabkan eksaserbasi. Berdasarkan intuisi sangat menarik

menentukan beberapa peran infeksi saluran napas dalam pathogenesis

dan progresi PPOm dan walaupun pertanyaan ini masih dipelajari,

masih belum ada kesepakatan sampai saat ini. Akan tetapi, penelitian

epidemiologik menunjukkan bahwa penyakit pernapasan akut

merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan etiologi,

demikian juga dengan perkembangan obstruksi jalan napas kronik.

Telah ditunjukkan bahwa perokok secara transien dapat menderita atau

memperburuk obstruksi jalan napas kecil yang berhubungan dengan

infeksi virus pernapasan yang ringan sekalipun. Juga ditemukan bukti

bahwa pneumonia berat akibat virus pada awal masa kehidupan dapat

mengarah pada obstruksi kronik, terutama pada jalan napas kecil.10,11

- Faktor familial dan genetik

Kumpulan bronkitis kronik yang bersifat familia telah

diperlihatkan dengan baik di masa lalu. Penelitian baru-baru ini

menujukkan bahwa anak dari orang tua perokok dapat menderita

penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat dan prevalensi

terhadap gejala gangguan pernapasan kronik lebih tinggi. Selain itu,

pasien yang tidak merokok yang tinggal dengan perokok (perokok

pasif) mengalami peningkatan kadar karbon monoksida darah yang

Page 13: pbl

menunjukkan bahwa pasien juga secara bermakna terpajan oleh asap

rokok. Bentuk polusi udara dalam ruangan yang terdokumentasi

dengan baik berhubungan dengan penggunaan gas alam untuk

memasak. Akan tetapi, beberapa penelitian terhadap kembar

monozigot menyatakan bahwa beberapa faktor predisposisi genetik

terhadap perkembangan bronkitis kronik tidak bergantung pada

kebiasaan individu atau familial perokok dan polusi udara rumah

lainnya. Model transmisi genetik yang sesungguhnya, bila ada, masih

belum dapat dipastikan.10,11

Patofisiologi

Kondisi yang terlihat pada bronkitis kronik adalah hipersekresi mukus,

dimulai dari jalan napas besar. Iritan-iritan lingkungan seperti asap rokok,

SO2, dan NO2, menginduksi hipertrofi kelenjar mukus pada trakea dan cabang

utama bronkus dan berkembang menuju peningkatan populasi sel goblet

pengsekresi-musin pada permukaan epitel bronkus kecil dan bronkiolus. Selai

itu, zat-zat irirtan ini menyebabkan peradangan dangen inflitrasi sel T CD8+,

makrofag, dan netrofil. Berbeda dengan asma, eosinophil jarang ditemukan

pada bronkitis kronis kecuali pasien mengalami bronkitis asmatik. Meskipun

penampang dari bronkitis kronik merupakan bayangan dari gangguan bronkus

primer, landasan morfologis dari obstruksi jalan napas pada bronkitis kronik

lebih perifer dan berasal dari (1) small airway disease, yang diinduksi oleh

metaplasia sel goblet dengan sumbatan mukus pada lumen bronkiolus,

peradangan, dan fibrosis dinding bronkiolus. (2) emfisema koeksis. Secara

umum dipercaya bahwa ketika small airway disease adalah komponen penting

dalam obstruksi ringan dini, bronkitis kronik dengan obstruksi jalan napas

yang asignifikan selalu berkomplikasi menjadi emfisema. Dipostulasikan

bahwa banyak efek epithelial respirasi yang dicetuskan iritan lingkungan

dimediasi oleh pelepasan local sitokin sel T seperti IL-13. Trasnkripsi gen

musin, dan netrofil elastase MUC5AC, dimana bertambah sebagai

konsekuensi dari terpajan terhadap asap rokok secara in vitro maupun in vivo.

Infeksi mikroba sering terjadi sebagai infeksi sekunder, terjadi karena

peradangan dan gejala eksaserbasi.11,12

Manifestasi Klinis

Page 14: pbl

Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi

sputum yang mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan

kebiasaan merokok yang cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di

musim dingin dan pasien cenderung untuk minta pertolongan dokter paling

tidak pada saat sering terdapat relaps mukopurulen yang semakin berat. Dalam

beberapa tahun, gejala batuk berlanjut dari hibernal menajdi perennial dan

frekuensi, durasi serta intensitas relaps mukopurulen semakin bertambah.

Setelah mulai mengalami gejala dyspnea pengerahan tenaga, pasien sering

mencari pertolongan dokter dan derajat obstruksi paru yang cukup berat akan

ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang pasien tersebut akan

memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang terjadi

sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak

medis yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien

dengan gejala sianosis berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai

insufisiensi respirasi akut.10,11

Pasien ini seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak

sianotik. Biasanya pada saat istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi

pernapasan tampak normal atau hanya sedikit meningkat dan juga tidak

dijumpai penggunaan otot-otot aksesorius. Perkusi dada akan memberikan

suara sonor yang normal dan dengan auskultasi, kita biasanya dapat

mendengar suara ronki kasar serta mengi yang lokasi dan intensitasnya

berubah-ubah setelah batuk yang dalam serta produktif. Pulsasi yang menetap

mungkin terlihat di sepanjang margo sternalis kiri bawah yang menunjukkan

hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal ventrikel kanan kerapkali

terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang-kadang bising

holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang

disebutkan terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional

tricuspid yang sering disertai dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan

terdapatnya gagal ventrikel kanan, gejala sianosis makin bertambah dan edema

perifer semakin nyata.10,11

Desaturasi serta eritrositosis secara bersama-sama akan menyebabkan

sianosis dan vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik dan menambah berat

gagal jantung kanan. Karena sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat

gagal jantung, pasien tersebut pernah disebut “blue bloaters”. Blue bloaters

Page 15: pbl

terjadi akibat serangan berulang desaturasi oksigen nokturnal yang berat

dengan disertai serangan apnea waktu tidur atau periode hipoventilasi yang

bertambah buruk. Kejadian respirasi yang berhubungan dengan tidur semacam

itu akan memperberat derajat hipertensi pulmonal dan eritropoiesis

sekunder.10,11

Nilai kapasitas paru total seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai

volume residual yang sedang. Kapasitas vital sedikit menurun dan kecepatan

aliran ekspirasi yang maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru

tetap normal atau hanya sedikit terganggu dan kapasitas patu untuk

mengalihkan karbon monoksida dapat normal atau sedikit menurun.10,11

Pada pemeriksaan radiologic terlihat lengkungan diafragma yang baik,

corakan bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan

hitam jantung agak melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan,

bayangan hitam jantung lebih melebar lagi, gambaran arteri pulmonalis

menjadi lebih nyata dan distribusi perfusi yang melawan gaya berat terlihat

jelas.10,11

Meskipun penanganan sudah direncanakan dengan baik, pasien

bronkitis kronik dapat mengalami episode gagal napas yang kesembuhannya

seringkali terjadi setelah dilakukan terapi yang tepat. Akhirnya, paru pasien

pada pemeriksaan pascamati akan memperlihatkan perubahan bronkitis yang

berat baik pada jalan napas yangbesar maupun yang kecil dan hanya

menunjukkan emfisema yang sedang.10,11

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari bronkitis kronis antara lain menghentikan

kebiasaan merokok, penggunaan antibiotic terutama untuk H. influenza dan S.

pneumonia 7-10 hari, pemberian nutrisi yang adekuat dan latihan, obat

bronkodilator, serta kortikosteroid yang diberikan setelah pemberian adekuat

bronkodilator.10,11

Prognosis

Angka kematian di rumah sakit rata-rata 30% untuk satu episode dan

nilai ketahan hidup 5-tahun setelah episode pertama rata-rata hanya 15-

20%.10,11

Page 16: pbl

Emfisema

Emfisema adalah keadaan paru yang ditandai oleh pembesaran abnormal

menetap ruang udara di sebelah distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding-

dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.13

PPOK mengenai lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat; bronkitis kronik

adalah diagnosisnya pada sekitar 75% kasus dan emfisema sisanya. Insidens,

prevalensi, dan angka kematian PPOK meningkat seiring pertambahan usia dan lebih

tinggi pada pria, orang berkulit putih, dan golongan social ekonomi lemah.10-12

Merokok masih menjadi kausa utama penyakit pada hampir 90% pasien

dengan bronkitis kronik dan emfisema. Namun, hanya 10-15% perokok mengalami

PPOK. Penyebab perbedaan pada kerentanan penyakit ini belum diketahui tetapi

mungkin mencakup factor genetik. Satu factor resiko penting untuk timbulnya PPOK

yang berhasil diidentifikasi-selain merokok-adalah defisiensi inhibitor α1-protease.

Ketiadaan zat ini menyebabkan emfisema berat awitan dini. Inhibitor α1-protease

adalah suatu protein darah yang mampu menghambat jenis protease, termasuk

elastase neutrofil, yang diperkirakan berperan dalam pembentukan emfisema.10-12

Mutasi autosomal dominan, terutama pada orang Eropa Utara, menyebabkan

kadar inhibitor ini dalam serum dan jaringan menjadi sangat rendah, dan mengubah

keseimbangan sintesis dan proteolisis jaringan. Mutasi homozigot (genotype ZZ)

menyebabkan kadar inhibitor 10-15% kadar normal. Risiko emfisema, terutama pada

perokok yang membawa mutasi ini, sangat meningkat. 10-12

Studi-studi pada populasi mengisyaratkan bahwa pajanan debu (termasuk

silica dan kapas) atau uap zat kimia yang terus-menerus dapat menyebabkan PPOK,

tetapi kontribusi factor-faktor ini tampaknya kecil dibandingkan dengan pemakaian

tembakau. 10-12

Proses patologis utama pada emfisema dianggap sebagai proses perusakan

berkelanjutan yang terjadi akibat ketidak seimbangan jejas oksidan dan ativitas

proteolitik local (terutama elastolitik) akibat defisiensi inhibitor protease. Berbagai

Page 17: pbl

oksidan, baik yang endogen (superoksida anion) maupun eksogen (mis.,asap rokok);

dapat menghambat fungsi protektif normal inhibitor protease sehingga terjadi

destruksi jaringan yang progresif. 10-12

Berbeda dari bronkitis kronik, emfisema adalah penyakit yang bukan terutama

mengenai saluran napas tetapi parenkim paru di sekitarnya. Konsekuensi fisiologis

adalah hasil dari kerusakan unit-unit respiratorik terminal dan hilangnya jaringan

kapiler alveolus, serta yang sangat penting, stuktur-struktur penunjang paru, termasuk

jaringan ikat elastic. 10-12

Hilangnya jaringan ikat elastic menyebabkan paru kehilangan daya recoil

elastic dan mengalami peningkatan compliance. Tanpa recoil elastis yang normal,

saluran napas yang tidak mengandung tulang rawan tidak lagi mendapat topangan.

Saluran napas mengalami kolaps premature saat ekspirasi, disertai gejala obstruktif

dan temuan fisiologis yang khas. 10-12

Gambaran patologis emfisema adalah gambaran kerusakan progresif unit-unit

respiratorik terminal atau parenkim paru di sebelah distal dari bronkiolus terminal.

Peradangan saluran napas, jika terjadi, akan minimal, meskipun dapat terlihat

hyperplasia kelenjar mukosa di saluran napas penghubung yang besar. Interstisium

unit-unit respiratorik mengandung beberapa sel radang, tetapi temuan utama adalah

hilangnya dinding alveolus dan membesarnya ruang-ruang udara. Kapiler alveolus

juga lenyap, yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi dan hipoksemia

progresif, terutama saat berolahraga. 10-12

Kerusakan alveolus tidak merata di semua kasis emfisema. Berbagai varian

anatomis telah dilaporkan berdasarkan kerusakan unit respiratorik terminal (atau

asinus). Pada emfisema sentriasinar, kerusakan berpusat di tengah unit respiratorik

terminal, dengan bronchioles respiratorius dan ductus alveolaris yang relative tidak

terkena. Pola ini paling sering berkaitan dengan kebiasaan merokok. Emfisema

parasinar adalah kerusakan unit-unit respiratorik terminal secara umum disertai

pelebaran ruang udara difus. Pola ini biasanya, meskipun tidak khas, dijumpai pada

defisiensi inhibitor α1-protease. Penting diperhatikan bahwa perbedaan antara kedua

pola ini umumnya bersifat patologis;tidak terdapat perbedaan bermakna dalam

gambaran klinis. Pola emfisema lain yang penting secara klinis adalah emfisema

bulosa. Bula adalah konfluensi luas ruang-ruang udara yang terjadi akibat kerusakan

Page 18: pbl

local yang lebih besar atau peregangan progresif unit-unit paru. Bula penting karena

efek kompresif yang dapat ditimbulkannya pada jaringan paru sekitar dan

terbentuknya ruang mati fisiologis yang besar. 10-12

Emfisema bermanifestasi sebagai penyakit non peradangan berupa dispnea,

obstruksi progresif saluran napas yang irreversible, dan gangguan pertukaran gas,

terutama saat berolahraga. 10-12

1. Bunyi napas. Intensitas bunyi napas pada emfisema biasanya berkurang

intensitasnya, yang mencerminkan berkurangnya aliran udara, memanjangnya

waktu ekspirasi, dan hiperinflasi paru yang berat. Mengi, jika ada, tidak terlalu

jelas. Bunyi napas, termasuk ronki basah dan kering, jarang terdengar tanpa

adanya proses lain seperti infeksi. 10-12

2. Pemeriksaan jantung. Mungkin terjadi takikardia seperti pada bronkitis kronik,

khususnya pada eksaserbasi atau hipoksemia. Hipertensi pulmonal adalah

konsekuensi umum dari obliterasi vaskular paru dan hipoksemia yang

menyertainya. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan penutupan katup

pulmonal yang mencolok (peningkatan P2, komponen pulmonl bunyi jantung

kedua) atau peningkatan tekanan vena jugularis serta edema perifer akibat gagal

jantung kanan. 10-12

3. Pencitraan. Hiperinflasi sering terlihat, dengan diafragma yang mendatar dan

pertambahan garis tengah toraks anteroposterior. Kerusakan parenkim

menyebabkan corakan vaskuler perifer paru yang berkurang, seiring dengan

pelebaran arteri pulmonalis proksimal akibat hipertensi pulmonal sekunder.

Kelainan kistik atau bulosa juga dapat terlihat. 10-12

4. Uji fungsi paru. Kerusakan parenkim paru dan hilangnya recoil elastis merupakan

kausa mendasar kelainan yang ditemukan pada uji fungsi paru. Hilangnya daya

recoil elastis di jaringan paru yang menunjang saluran napas menyebabkan

peningkatan kompresi dinamis saluran napas, terutama saat ekspirasi paksa;

semua laju aliran berkurang. Dengan kolapsnya saluran napas secara premature,

FEV, FVC, dan rasio FEV1/FVC (FEV1%) semuanya menurun. Seperti pada

bronkitis kronik dan asma, kurva aliran volume eskpirasi memperlihatkan

penurunan substansial aliran. Memanjangnya waktu ekspirasi, penutupan dini

saluran napas, dan terperangkapnya udara menyebabkan peningkatan RV dan

FRC. TLC meningkat, meskipun sebagian peningkatan kapasitas ini berasal dari

Page 19: pbl

gas yang terperangkap di unit-unit paru yang terisolasi atau sulit diakses, termasuk

bula. DLCO umumnya menurun seiring dengan bertambahnya luas emfisema,

yang mencerminkan kerusakan progresif alveolus dan jaringan kapilernya. 10-12

5. Gas darah arteri. Emfisema adalah penyakit dengan destruksi dinding alveolus.

Berkurangnya kapiler alveolus menciptakan daerah-daerah dengan ventilasi yang

relative tinggi terhadap perfusinya. Biasanya, pasien dengan emfisema akan

beradaptasi dengan rasio V/Q yang tinggi dengan meningkatkan ventilasi

minornya. Mereka dapat mempertahakan kadar PO2 dan PCO2 yang mendekati

normal, meskipun penyakitnya sudah lanjut. Pemeriksaan gas darah arteri hampir

selalu memperlihatkan peningkatan A-a∆ PO2. Pada tingkat keparahan penyakit

yang lebih besar dan semakin berkurangnya perfusi kapiler, DLCO menurun, yang

menyebabkan desaturasi hemoglobin arteri yang semula hanya timbul saat

berolahraga tetapi akhirnya juga pada saat istirahat. Hiperkapnia, asidosis

respiratorik, dan alkalosis metabolic kompensatorik sering dijumpai pada penyakit

berat. 10-12

6. Polisitemia. Seperti pada bronkitis kronik, hipoksemia kronik sering berikatan

dengan peningkatan hematokrit. 10-12

Pada emfisema, prinsip penatalaksanaan dan komplikasi hampir mirip dengan

bronkitis kronik. Prognosis pada emfisema lebih berat daripada bronkitis kronik. 10-12

Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebebkan terjadinya PPOK, baik

faktor eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini

faktor host atau faktor dari penderita sendiri).4,5

Faktor Lingkungan : 4,5

Merokok

Asap tembakau

Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota

Faktor Host : 4,5

1. Genetik

Page 20: pbl

Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang

jarang ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK

dini. Alfa 1 antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi

oleh hati, dimana berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan.

Enzim ini juga berfubgsi untuk menetralkan tripsin yang berasal dari rokok.

Jika enzin ini rendah sedangkan asupan rokok tinggi maka akan mengganggu

system kerja enzim tersebut, yang bisa mengakibatkan infeksi saluran

pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda,

yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar usia 53 tahun) dan

bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.

2. Hipereaktifitas Bronkus

Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor

resiko yang memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor

merokok maka akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK

disertai dengan penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas

dari bronkus juga dapat terjadi akibat dari peradangan pada saluran napas atas.

Epidemiologi

PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan

26.000 kematian per tahun di Inggris. Prevalensinya > 600.000. Angka ini lebih tinggi

di daerah maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah,

perokok berat dan pada manula. Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini

insiden pada wanita meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah perokok

wanita. 4,5

Patofisiologi

Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas,

parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai

peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel radang yang

teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF

yang dapat merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik.

Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu; imbalance proteinase

dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif. 4,5

Page 21: pbl

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar

(central airway), saluran napas kecil (peripheral airway), parenkim paru dan vaskuler

pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan

epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet

meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil

terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair

dinding saluran napas. Proses repair ini akan menghasilkan structural remodeling dari

dinding saluran napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan

jaringan ikat, yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran

pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema

sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan , namun bila

lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary

capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh

darah ,yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang

pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan

infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut

jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh

darah bertambah tebal.6

Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas.

Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada

bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2 mm) menjadi lebih

sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel goblet.

Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus.

Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya

elastisitas paru-paru.13-14

Manifestasi Klinik

Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu, sesak napas dan batuk.

Adapun gejala yang terlihat seperti :7

a)      Sesak Napas

Page 22: pbl

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula

ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas

bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

b)      Batuk Kronis

Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu

pagi hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila

eksaserbasi.

a) Wheezing

Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus

menyebabkan pengurangan kaliper saluran napas dan tuberlensi aliran

darah yang berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat

didengar langsung atau dengan stetoskop. Intesitas mengi tidak

berkolerasi baik dengan keparahan penyempitan saluran napas;

contohnya, pada obtruksi saluran napas ektrem, aliran udara dapat

sedemikian berkurang, sehingga mengi mungkin sama sekali tidak

terdengar. Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini

menunjukan komponen reversibel penyakitnya.8

d)     Batuk Darah

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari

saluran napas yang radang dan khasnya “blood streaked purulen

sputum”.

e)      Anoreksia dan berat badan menurun

Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko

selain penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun  eksaserbasi. Harus ada peningkatan

bertahap pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa

dikelompokkan sebagai berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru

Indonesia/PDPI) : 9-12

Stadium 0 (beresiko)

Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis

Stadium 1 (ringan)

Page 23: pbl

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %

Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala

- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

Stadium 2 (sedang)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %

Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala

- sesak napas derajat sesak 2

Stadium 3 (berat)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %

Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi

- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik

- Disertai dengan komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung

kanan

Secara umum tata laksana PPOK adalah sebagai berikut:

1. Pemberian obat obatan9-12

a) Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat yang mengendurkan otot polos di sekitar

saluran udara, meningkatkan kaliber saluran udara dan meningkatkan

aliran udara. Mereka dapat mengurangi gejala sesak napas, mengi dan

pembatasan latihan, sehingga peningkatan kualitas hidup orang dengan

PPOK.  Mereka tidak memperlambat laju perkembangan penyakit yang

mendasarinya.  Bronchodilators biasanya diberikan dengan inhaler atau

melalui nebulizer. Ada dua jenis utama bronkodilator, β 2 agonis dan

antikolinergik.

Antikolinergik tampaknya unggul β 2 agonis di PPOK. Antikolinergik

mengurangi kematian pernapasan, sementara β 2 agonis tidak berpengaruh

pada pernapasan kematian.  Masing-masing jenis dapat berupa long-acting

(dengan efek yang berlangsung 12 jam atau lebih) atau short-acting

(dengan onset cepat efek yang tidak terakhir sebagai panjang). Dianjurkan

penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan

oral atau sistemik.5

b) Anti Inflamasi

Page 24: pbl

Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan

jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada

eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.

c) Antibiotik

Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan

eksaserbasi.

Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman

setempat.

d) Mukolitik

Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan

simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental.

e) Antitusif

Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.

Penggunaan

secara rutin merupakan kontraindikasi.

2. Pengobatan Penunjang9-12

a) Rehabilitasi

b) Edukasi

c) Berhenti merokok

d) Latihan fisik dan respirasi

e) Nutrisi

Menjadi baik berat badan atau kegemukan dapat mempengaruhi gejala,

tingkat kecacatan dan prognosis PPOK. Orang-orang dengan PPOK yang

berat badannya dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan mereka

dengan meningkatkan asupan kalori mereka.  Ketika dikombinasikan

dengan olahraga teratur atau program rehabilitasi paru, hal ini dapat

mengakibatkan peningkatan gejala PPOK.

3. Terapi Oksigen

Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan jangka panjang

atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati - hati dapat

menyebabkan

hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada

PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.

4. Ventilasi Mekanik

Page 25: pbl

Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi berat.

Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di ruang rawat atau di rumah

sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.

5. Operasi Paru

Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau transplantasi paru

(masih dalam proses penelitian di negara maju).

6. Vaksinasi Influenza

Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi

influenza

diberikan pada:

a) Usia di atas 60 tahun

b) PPOK sedang dan berat

Prognosis

PPOK biasanya secara bertahap semakin memburuk dari waktu ke waktu

dan dapat menyebabkan kematian. Tingkat di mana parahnya bervariasi antara

individu. Faktor-faktor yang memprediksi prognosis yang lebih buruk adalah:9-12

- Parah obstruksi aliran udara (FEV rendah)

- Sesak napas terus menerus

- Komplikasi seperti kegagalan pernapasan atau pulmonale cor

- Lanjutan merokok

Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak

ditangani secara lanjut antara lain:

1. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,

dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami

perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul

cyanosis.9-12

2. Asidosis respiratorik

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang

muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.9-12

Page 26: pbl

3. Infeksi pernapasan

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,

peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya

aliran udara akan meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea.9-12

4. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus

diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering

kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat

juga dapat mengalami masalah ini. 9-12

5. Cardiac disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratory. 9-12

6. Status asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.

Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak

berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu

pernapasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.9-12

Pencegahan

Mencegah kebiasaan merokok, menghindari polusi udara, serta menjaga

kesehatan kerja. Dan yang paling penting adalah menjaga kualitas gaya hidup.11-12

Kesimpulan

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang terjadi

karena adanya sumbata pada jalan napas yang berlangsung lama. PPOK terdiri dari 4

jenis, yaitu bronkiektasis, asma bronkiale, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejalanya

terdiri dari sesak napas dan batuk produktif yang cukup lama. Penyebab dari penyakit

ini adalah terutama karena terpajan asap rokok, polusi, dan faktor genetik.

Penanganannya dapat diberikan obat bronkodilator dan pemberian oksigen.

Daftar Pustaka

1. Djojodibroto RD. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta:EGC, 2009. h. 52-

125.

2. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Jakarta :Erlangga; 2007.h.1-17.

Page 27: pbl

3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan Bates. Edisi ke- 8.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003.h.245-48.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2006. h. 994-6.

5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga. 2003. h. 181-5.

6. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :

Erlangga .2008. h. 52-72.

7. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta:EGC. 2009.

h.434-5.

8. Price SA. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi-

2 .Jakarta:EGC. 2003. h.689-697.

9. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta :

EGC;2007.h.255-9.

10. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit

Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.

11. Asdie AH. editor. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisisi ke-13.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012. h.1347-56.

12. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. 8th ed.

Philadelphia: Saunders Elsevier Inc. 2007. p. 480-500.

13. Faiz O, Moffat D. At a glance anatomi. Jakarta : Erlangga; 2004.h.2-13.

14. Tambayong J.Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. h.

96-9.