24
PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN SEKSIO SESARIA DENGAN MORBID OBESITAS PENDAHULUAN Di Amerika Serikat, dan beberapa Negara berkembang lainnya, kejadian obesitas telah mengalami peningkatan. Kurang lebih seperempat hingga sepertiga populasi di Amerika Serikat mengalami obesitas. Sejak tahun 1991, terjadi peningkatan sebesar 50-70% kejadian obesitas pada orang dewasa usia reproduktif. Obesitas meningkatkan resiko persalinan seksio sesaria secara signifikan dan dengan demikian kebutuhan terhadap anestesi juga meningkat. Obesitas pada maternal telah menjadi salah satu faktor resiko yang paling sering terjadi dalam kehamilan. Defenisi obesitas pada kehamilan biasanya berdasarkan Body Mass Index (BMI) 30 kg/m 2 atau lebih yang terjadi pada saat pemeriksaan antenatal pertama. BMI adalah rumus sederhana dari berat badan berdasarkan tinggi badan dan dihitung dengan cara membandingkan berat badan seseorang dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter (kg/m 2 ). Terdapat tiga kelas obesitas: BMI 30,0-34,9 (Kelas I); BMI 35,0-39,9 (Kelas 2); dan BMI 40 ke atas (kelas 3 atau morbid obesitas), yang mana diketahui bahwa terdapat hubungan antara BMI yang meningkat dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Penatalaksanaan Anestesi Pada Pasien Seksio Sesaria Dengan Morbid Obesitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anestesi

Citation preview

PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA PASIEN SEKSIO SESARIA DENGAN MORBID OBESITAS

PENDAHULUAN Di Amerika Serikat, dan beberapa Negara berkembang lainnya, kejadian obesitas telah mengalami peningkatan. Kurang lebih seperempat hingga sepertiga populasi di Amerika Serikat mengalami obesitas. Sejak tahun 1991, terjadi peningkatan sebesar 50-70% kejadian obesitas pada orang dewasa usia reproduktif. Obesitas meningkatkan resiko persalinan seksio sesaria secara signifikan dan dengan demikian kebutuhan terhadap anestesi juga meningkat. Obesitas pada maternal telah menjadi salah satu faktor resiko yang paling sering terjadi dalam kehamilan. Defenisi obesitas pada kehamilan biasanya berdasarkan Body Mass Index (BMI) 30 kg/m2 atau lebih yang terjadi pada saat pemeriksaan antenatal pertama. BMI adalah rumus sederhana dari berat badan berdasarkan tinggi badan dan dihitung dengan cara membandingkan berat badan seseorang dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter (kg/m2). Terdapat tiga kelas obesitas: BMI 30,0-34,9 (Kelas I); BMI 35,0-39,9 (Kelas 2); dan BMI 40 ke atas (kelas 3 atau morbid obesitas), yang mana diketahui bahwa terdapat hubungan antara BMI yang meningkat dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Obesitas sendiri diketahui sebagai faktor resiko yang penting terhadap kejadian komplikasi respirasi dan infeksi pada pembedahan umum dan anestesi terkait mortalitas pada kehamilan. Wanita hamil dengan obesitas dibandingkan dengan yang memiliki berat badan normal akan mengalami peningkatan resiko memiliki berbagai macam problem medis yang terjadi bersamaan atau superimposed antenatal disease termasuk preeklampsia dan diabetes gestasional. Komplikasi selama persalinan seperti intrapartum fetal distress, persalinan tidak mengalami kemajuan, presentasi abnormal, dan persalinan dengan seksio sesaria adalah yang paling sering. Sebagai tambahan ada peningkatan kejadian deep vein thrombosis, hipoksemia, dan infeksi luka perioperatif. Lebih jauh lagi, anesthesiologist seringkali diperhadapkan dengan teknik manajemen jalan napas dan anestesi regional yang sulit.Fisiologi Kehamilan dan Obesitas Baik obesitas maupun kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologis yang signifikan dan beberapa perubahan ini memiliki implikasi yang sama (table 1 dan 2). Pada awal kehamilan, meskipun uterus belum cukup besar untuk mempengaruhi fungsi respirasi, wanita akan mulai mengalami sensasi dispnea. Sensasi ini terjadi akibat peningkatan ventilasi alveolar yang terlihat pada pasien hamil, yang mungkin sekunder akibat pengaruh progesterone pada pusat pernapasan di batang otak. Pada bulan kelima kehamilan, efek mekanik dari uterus yang membesar mulai menyebabkan penurunan progresif dari expiratory reserve volume (ERV), residual volume (RV), dan functional residual capacity (FRC), yaitu kurang lebih 15-20% dari keadaan tidak hamil. Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa obesitas pada wanita yang tidak hamil berhubungan dengan penurunan ERV, RV, dan FRC, lebih disebabkan karena penambahan berat badan dan penurunan komplians dinding dada. Studi oleh Dining dkk memperlihatkan, pada posisi duduk, meskipun, wanita hamil dengan obesitas tidak akan terlihat penurunan yang signifikan dari FRC, sama dengan wanita hamil dengan berat badan normal. Posisi supine khususnya posisi trendelenburg akan memperburuk volume paru secara signifikan. Penjelasan lain yang mungkin adalah efek relaksasi dari progesterone terhadap otot polos yang akan menurunkan resistensi jalan napas, dan oleh karena itu akan menurunkan beberapa efek negative dari obesitas terhadap sistem respirasi. Analisa gas darah memperlihatkan kejadian hipoksemia pada wanita hamil dengan obesitas lebih sering terjadi daripada nonobese, yang berarti shunting venoarterial lebih besar. Khususnya terlihat saat penurunan FRC yang lebih jauh akibat induksi anestesi umum atau saat pasien posisi supine atau trendelenburg. FRC akan turun dibawah closing capacity, menyebabkan penutupan jalan napas, khususnya pada area dependent lung, dan dengan demikian menyebabkan peningkatan shunting venoarterial. Work of breathing meningkat pada wanita hamil dengan obesitas akibat beratnya dinding dada dan khas berupa pola napas yang cepat dan dangkal. Ini menyebabkan kebutuhan ventilasi dan oksigenasi menjadi lebih tinggi. Dempsey dkk memperlihatkan berat badan yang berlebihan akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida yang searah. Perubahan fisiologis ini membuat wanita hamil dengan obesitas cenderung untuk mengalami desaturasi dengan cepat, sehingga ditekankan untuk melakukan denitrogenisasi yang adekuat (preoksigenasi) sebelum induksi anestesi umum. Pasien wanita hamil nonobese, perubahan fisiologisnya selama kehamilan, diketahui mereka akan terhindar dari obstructive sleep apnea, akibat tingginya level progesterone dalam sirkulasi, yang mana berperan sebagai stimulus dalam ventilasi. Namun, obesitas akan meningkatkan resiko obstructive sleep apnea secara signifikan dan sindrom ini biasa terjadi pada wanita hamil dengan obesitas. Obstructive sleep apnea dihubungkan dengan peningkatan hipertensi sistemik dan juga kemungkinan hipertensi pulmonal. Sebagai tambahan, pasien ini beresiko mengalami penyakit arteri koroner, stroke, dan aritmia jantung. Desaturasi oksigen maternal, akibat apnea, dapat mengakibatkan hipoksia janin dan terhambatnya pertumbuhan janin. Obstructive sleep apnea biasanya terlihat secara klinis berupa kombinasi snoring yang keras dan rasa kantuk berlebihan pada siang hari. Karena fatigue pada siang hari sangat biasa terjadi pada wanita hamil, sehingga penyakit ini biasanya tidak teridentifikasi. Mengenali obstructive sleep apnea lebih awal pada kehamilan akan membantu dalam pemberian terapi dan dapat mencegah efek samping terhadap janin. Continous positive airway pressure (CPAP) adalah terapi yang aman dengan minimal efek samping dan dapat meningkatkan hasil perinatal.

Table 1Perubahan respirasi pada kehamilan, obesitas, dan kombinasi kehamilan dengan obesitas (diadaptasi dari Saravanakumar dan kawan kawan. Obesity and obstetric anesthesia. Anesthesia 2006; 61:36-48, dengan ijin dari Blackwell Publisihing).ParameterKehamilanObesitasKombinasi

Level progesteroneSensitivitas terhadap CO2Tidal volumeRespiratory rateMinute volumeInspiratory capacityInspiratory reserve volumeExpiratory reserve volumeResidual volumeFunctional residual capacityVital capacityFEV1FEV1/VCTotal Lung capacityComplianceWork of breathingResistanceV/Q mismatchDLCOPaO2PaCO2 atau atau atau atau atau

, Meningkat; , menurun; , tidak ada perubahan.CO2, karbondioksida; FEV1, Forced expiratory volume dalam 1 detik; VC, vital capacity; V/Q, perbandingan ventilasi terhadap perfusi; DLCO2, kapasitas difusi paru terhadap karbon monoksida; PaO2, tekanan parsial oksigen; PaCO2, tekanan parsial karbondioksida

Tabel 2Perubahan kardiovaskular selama kehamilan, obesitas, dan kombinasi kehamilan dengan obesitas (diadaptasi dari Saravanakumar dan kawan kawan. Obesity and obstetric anesthesia. Anesthesia 2006; 61:36-48, dengan ijin dari Blackwell Publisihing).ParameterKehamilanObesitasKombinasi

Heart rateStroke volumeCardiac outputCardiac indexHematokritBlood volumeSystemic vascular resistanceMean arterial pressureSupine hypotensionMorfologi ventrikel kiri

Fungsi sistolikFungsi diastolikTekanan vena sentralPulmonary wedge pressureHipertensi pulmonalPreeklampsia atau

+hipertrofi

-

+Hipertrofi dan dilatasi atau Mungkin +N/A

atau atau

Hipertrofi dan dilatasiMungkin +

, Meningkat; , menurun; , tidak ada perubahan. N/A, tidak aplikatif. Baik obesitas maupun kehamilan memiliki pengaruh yang besar terhadap sistem kardiovaskular maternal. Kehamilan berhubungan dengan peningkatan signifikan cardiac output, yang dapat dideteksi pada minggu ketiga kehamilan, dengan peningkatan 35-40% pada akhir trimester pertama. Cardiac output terus meningkat selama trimester kedua sampai mencapai level kurang lebih 50% lebih besar dari keadaan tidak hamil. Bedanya pada kehamilan, cardiac output tetap stabil di sekitar level tersebut. Selama persalinan, cardiac output meningkat kurang lebih 10% pada awal stadium pertama, 25% pada akhir stadium pertama, dan 40% pada stadium kedua. Kontraksi uterus dihubungkan dengan peningkatan 10-15% cardiac output dan segera pada periode postpartum peningkatan cardiac output akan mencapai puncaknya yakni sekitar 75% di atas nilai sebelum melahirkan. Obesitas akan meningkatkan cardiac output lebih tinggi lagi akibat penimbunan lemak diseluruh tubuh. Tiap 100 gr lemak meningkatkan cardiac output 30-50 ml/menit. Volume darah meningkat pada kehamilan dan makin meningkat saat kehamilan tersebut disertai obesitas. Pada wanita nonobese, kehamilan dihubungkan dengan penurunan afterload yang signifikan. Pada wanita hamil dengan obese, penurunan afterload kemungkinan dirusak oleh karena terjadinya peningkatan resistensi perifer dan kekakuan arteri yang lebih besar. Sebagai tambahan, obesitas dihubungkan dengan tingginya prevalensi kejadian hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan melemahnya fungsi jantung dan ini salah satu penyebab faktor resiko terjadinya penyakit arteri koroner dan serebrovaskular. Selama kehamilan, efek samping obesitas ini merupakan eksaserbasi sebagian akibat sekresi human placental lactogen, human chorionic gonadotropin dan hormone steroid, yang kemudian meningkatkan resistensi jaringan target terhadap insulin. Estrogen juga meningkatkan sekesi insulin dari sel-sel pankreas. Perubahan selama kehamilan ini menyebabkan hiperinsulinemia dan penimbunan lemak, sangat mirip dengan patofisiologi obesitas. Peningkatan yang dramatis dari kebutuhan jantung kombinasi dengan penurunan cadangan fungsional jantung pada pasien obese menempatkan pasien wanita hamil dengan obese sebagai resiko tersendiri selama periode peripartum. Sebagai tambahan, obesitas telah dikenal sebagai faktor resiko terhadap kejadian kardiomiopati peripartum, penyakit yang mematikan. Ada beberapa laporan kejadian cardiac arrest baik pada wanita hamil dan tidak hamil dengan morbid obesitas yang menjalani pembedahan. Perubahan sirkulasi yang tiba-tiba yang berhubungan dengan perubahan posisi dapat menyebabkan kematian mendadak pada pasien ini. Selama trimester kedua kehamilan, kompressi aortokaval oleh uterus pada posisi supine dapat sangat menurunkan cardiac output dan perfusi plasenta. Masalah ini dapat terjadi pada pasien hamil dengan obesitas, di mana timbunan lemak yang besar dapat memberi tekanan lebih berat terhadap pembuluh darah besar. Drenick dan Fisler melaporkan bahwa pasien morbid obese cenderung untuk berkembang menjadi aritmia yang fatal. Meskipun perpanjangan interval Q-T minor atau borderline tetap dapat menyebabkan kematian jantung mendadak pada pasien ini. Dengan demikian, obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan pemanjangan interval Q-T, seperti eritromicin, droperidol, granisetron, nicardipin, methadone dan lain-lain, sebaiknya dihindari pada pasien ini. Baik obesitas maupun kehamilan dihubungkan dengan peningkatan resiko aspirasi dan sindrom Mendelson. Sedangkan kombinasi kehamilan dan obesitas lebih besar lagi resiko kejadian aspirasi isi lambung ke pulmonal, tapi belum dapat dibuktikan dengan jelas, tetapi tampaknya seperti itu. Roberts dan Shirley menemukan bahwa berat badan merupakan faktor yang menentukan volume isi lambung selama hamil. Vaughan dkk, menemukan bahwa pasien obese dan tidak hamil, yang dijadwalkan operasi elektif memiliki volume lambung yang banyak dan pH lambung yang rendah daripada pasien nonobese. Sebagai tambahan, pasien obese memiliki resiko tinggi hiatus hernia dan peningkatan tekanan intragastrik, yang lebih meningkatkan resiko aspirasi pulmonal isi lambung. Obesitas adalah salah satu faktor resiko utama diabetes, yang dapat menyebabkan pengosongan lambung terhambat, sehingga meningkatkan resiko aspirasi. Juga, diketahui dengan baik bahwa obesitas diprediksikan akan sulit atau gagal intubasi, yang mana keduanya berhubungan dengan insidens tinggi aspirasi.Manajemen Anestesi Persalinan Seksio Sesaria Pasien dengan Morbid Obesitas Obesitas secara signifikan meningkatkan kejadian seksio sesaria. Weis dkk, menemukan bahwa pasien nullipara rata-rata persalinan secara seksio sesaria adalah 20,7% pada kelompok kontrol dibandingkan dengan 33,8% pada pasien obesitas dan 47,4% pada kelompok morbid obesitas. Sebagai tambahan, obesitas dihubungkan dengan peningkatan mortalitas maternal, morbiditas, dan komplikasi operasi seperti kehilangan darah yang banyak, meningkatnya lama operasi dan meningkatnya resiko infeksi luka postoperasi dan endometritis. Komunikasi yang baik antara anesthesiologists, obstetricians dan staf perawat wajib dilakukan pada setiap persalinan, dan terlebih lagi ketika berhadapan dengan wanita hamil dengan morbid obesitas. Pasien ini tentu saja prognosis akan menjadi lebih baik, kuncinya adalah jika dilakukan konsultasi anestesi antepartum dan pertemuan multidisiplin antara obstetricians, anesthesiologist, dan staf perawat, sehingga masalah dapat didiskusikan terlebih dahulu. Seperti ketersediaan tempat tidur dan meja operasi yang sesuai, teknik operasi, dan retraksi lemak, profilaksis thromboembolism, jenis dan reaksi silang, perawatan postoperasi, dan monitoring semalaman di intensive care unit dan kemungkinan komorbid dan konsekuensinya. Ukuran meja operasi yang sesuai sangat penting. Penggunaaan dua meja operasi (sisi dengan sisi dipertemukan). Masalah teknik ini, tidak mungkin untuk menaikkan, menurunkan atau mengubah posisi meja, pada posisi yang sesuai. Kemungkinan lain adalah dengan menggunakan satu set papan lengan, ditempatkan paralel dengan meja operasi untuk memperluas lebar meja, sedangkan satu set ekstra meja lengan lagi dapat digunakan untuk menempatkan lengan pasien. Ketika berhadapan dengan wanita hamil dengan morbid obesitas, anesthesiologist seharusnya mengevaluasi kemampuan pasien untuk berbaring posisi supine, khususnya ketika akan dilakukan anestesi regional, oleh karena retraksi cephalad timbunan lemak yang besar dapat lebih jauh lagi mempengaruhi kemampuan fungsi respirasi. Jika pasien menderita sleep apnea dan menggunakan CPAP preoperatif, alat ini harus tersedia saat intra dan postoperatif. Guideline praktis ASA untuk Penanganan Perioperatif Pasien dengan Obstructive Sleep Apnea adalah direkomendasikan untuk memulai CPAP preoperatif pada pasien dengan obstructive sleep apnea berat, sehingga dengan demikian kondisi mereka preoperatif akan meningkat. Nasal CPAP (N-CPAP) pada 10-15 cm rata-rata air telah sukses dilakukan. Meskipun kontrovesi, obesitas diketahui sebagai faktor resiko penting kejadian tromboembolism vena maka profilaksis harus dilakukan. Masalah lain yang sering dihadapi oleh anesthesiologist ketika berhadapan dengan pasien morbid obesitas adalah kesulitan untuk monitoring tekanan darah noninvasif. Kecuali jika panjang manset melebihi lingkar lengan, pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolik akan lebih besar 20% dari tekanan darah maternal sesungguhnya. Pada beberapa kasus, penggunaan kateter intraarteri radialis mungkin dapat dilakukan, khususnya pasien dengan komorbid seperti hipertensi kronik dan preeklampsia. Kateter intraarteri juga memberikan keuntungan berupa dapat dilakukan penilaian gas darah berulang, jika diindikasikan.Anestesi Regional Sejumlah anesthesiologists akan mengurangi dosis anestesi lokal neuraksial pada pasien obese karena ketakutan akan penyebaran yang tidak dapat diprediksi dan berlebihan sehingga kemungkinan terjadinya blok spinal tinggi. Perhatian ini didukung oleh penemuan Hodgkinson dan Husain, yang menjelaskan meningkatnya penyebaran anestesi lokal ke arah cephalad pada pasien obese. Hogan dkk menemukan rata-rata volume cairan serebrospinal lebih rendah pada pasien dengan BMI tinggi, sehingga dapat dijelaskan menurunnya kebutuhan dosis anestesi lokal pada pasien obese tersebut yakni akibat berkurangnya pengenceran anestesi lokal. Karena perubahan yang sama terlihat pada tekanan abdomen di mana tekanan abdomen meningkat secara linear seiring dengan peningkatan berat badan, sehingga peningkatan tekanan abdomen kemungkinan adalah penyebabnya. Lainnya yang berperan terhadap penurunan volume cairan serebrospinal adalah penekanan sakus duralis oleh pleksus vena epidural yang melebar, sekunder akibat penekanan vena kava inferior akibat redistribusi venous return dari anggota gerak bawah dan pelvis. Hogan dkk, telah menetapkan mekanisme peningkatan tekanan abdominal yang menurunkan volume serebrospinal tersebut adalah kemungkinan karena penekanan jaringan lunak (kebanyakan lemak) pada foramen intervertebra, yang menekan cairan serebrospinal. Anestesi spinal telah digunakan secara luas pada persalinan seksio sesaria elektif. Akan tetapi, wanita hamil dengan morbid obesitas, teknik ini melibatkan resiko tambahan. Pertama, seperti yang telah disebutkan di atas, obesitas menyebabkan penyebaran anestesi lokal yang berlebihan dan tidak dapat diprediksi, dan dengan demikian meningkatkan resiko terjadinya blok spinal tinggi. Sebagai hasilnya, sulit untuk menentukan jumlah optimal dosis anestesi lokal yang dibutuhkan untuk menghasilkan level anestesi yang cukup untuk persalinan sesar. Lebih jauh lagi, dosis tunggal spinal memberikan waktu anestesi yang terbatas, dan pembedahan pada pasien ini kemungkinan memanjang, sehingga membutuhkan tambahan waktu anestesi. Anestesi epidural melalui kateter epidural dapat mengatasi masalah ini, akan tetapi blok epidural mungkin tidak adekuat terhadap 25 % pasien ini, terutama akibat sulitnya memblok akar saraf region sakral, yang akan menghasilkan nyeri visceral akibat stimulasi saluran kencing. Teknik CSE untuk persalinan sesar memberikan kombinasi berupa kualitas blok spinal dengan fleksibilitas oleh karena adanya kateter epidural. Sebagai tambahan, telah diperlihatkan bahwa dosis anestesi lokal yang dibutuhkan lebih rendah dengan menggunakan teknik CSE dibandingkan dengan teknik spinal single-shot, yang mana secara mungkin dapat dijelaskan oleh fakta bahwa kateter epidural yang diinsersikan menyebabkan perubahan tekanan ruang epidural (dari subatmosfir menjadi atmosfir) dengan penekanan pada sakus lumbal. Sehingga teknik CSE ini dapat meningkatkan tinggi blok dan lamanya durasi anestesi spinal. Berdasarkan hal tersebut dan fleksibilitasnya penambahan anestesi epidural dengan CSE, sehingga dapat ditetapkan penggunaan dosis anestesi lokal yang lebih rendah, sehingga dapat mengurangi kejadian blok total spinal dan juga mengurangi efek samping, berupa hipotensi. Sebaliknya, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, kateter epidural tidak digunakan di awal dan dapat gagal untuk menghasilkan anestesi adekuat saat blok spinal mulai habis. CSE dapat mengatasi kekurangan ini. CSE menghasilkan anestesi yang nyata dan dengan adanya kateter maka dosis dapat ditambah dan mempertinggi blok saat dibutuhkan durasi yang lebih lama. Dicapainya level anestesi untuk operasi dapat tercapai dalam menit pada keadaan emergensi, dengan menambah anestesi lokal. Tanpa memperhatikan teknik regional yang digunakan, penilaian blok secara teliti sebelum insisi pembedahan adalah lebih penting pada pasien morbid obese daripada nonobese, karena blok yang tidak adekuat dan kebutuhan konversi menjadi anestesi umum selama pembedahan dapat menghasilkan efek samping katastropik pada pasien ini.

Anestesi Umum Pencegahan aspirasi asam adalah sangat penting pada setiap wanita hamil, terlebih lagi pada pasien obese. Pada institusi kami, merupakan standar praktis untuk memberikan 30 ml antasida nonparticulate (0,3M sodium sitrat atau ekivalennya) sebelum memulai anestesi pada wanita hamil. Agen ini dapat dengan cepat menurunkan keasaman isi lambung dan memperbaiki resiko aspirasi. Waktu yang optimal untuk pemberian antasida nonparticulate adalah kurang lebih setengah jam sebelum memulai prosedur. Untuk persalinan sesar elektif, pemberian melalui oral H2 antagonis, seperti ranitidine, atau proton pump inhibitor, seperti omeprazole, pada malam sebelumnya dan diulangi 60-90 menit sebelum induksi anestesi, dapat menurunkan lebih jauh lagi volume dan keasaman lambung. Selain itu, penambahan agen prokinetik, seperti metoklopramid, mungkin perlu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Metoklopramid dapat berguna untuk wanita hamil yang telah makan dalam jumlah besar sesaat sebelumnya dan pasien diabetes, di mana pengosongan lambung akan terlambat. Pasien obese memiliki insidens tinggi untuk kedua kondisi tersebut. Insidens kesulitan jalan napas lebih tinggi pada wanita hamil dengan obese daripada pasien nonobese. Terutama, pasien dengan lingkar leher yang besar dan atau dengan skor Mallampati tinggi dapat mengalami kesulitan intubasi. Sebagai tambahan, tidak hanya resiko tinggi kegagalan intubasi tapi juga peningkatan kesulitan dalam mempertahankan ventilasi masker secara adekuat. Wanita hamil dengan obesitas sangat rentan untuk mengalami desaturasi cepat. Preoksigenasi (denitrogenisasi) sebelum induksi anestesi umum adalah sangat penting pada pasien ini. Tiga teknik yang berbeda telah dijelaskan pada sebuah literatur. Metode yang paling sering adalah memberikan O2 100% selama 3-5 menit. Hamilton dan Eastwood memperlihatkan denitrogenisasi lengkap sekitar 95% terjadi pada pernapasan dengan volume tidal normal selama 2-3 menit dengan sistem anestesi tertutup dengan aliran oksigen 5 l/menit. Akan tetapi, pada keadaan emergensi obstetrik, waktunyanya tidak cukup untuk menggunakan teknik preoksigenasi ini. Gold dkk memperlihatkan maksimal empat kali insipirasi dalam dengan 02 100% selama 30 detik sama efektif dengan inhalasi O2 100% selama 5 menit dalam meningkatkan PaO2 pada wanita tidak hamil, dan tidak obese. Hasil yang sama kemudian diperoleh oleh Norris dan Dewan untuk pasien hamil. Yang terbaru, Baraka dkk memperlihatkan bahwa preoksigenasi dicapai dengan delapan napas dalam selama 60 detik dengan aliran oksigen 10 l/menit tidak hanya menghasilkan PaO2 yang lebih tinggi tapi juga desaturasi Hb yang lebih lambat dibandingkan dengan teknik empat napas dalam. Studi yang membandingkan tiga teknik preoksigenasi yang berbeda pada wanita hamil menunjukkan bahwa delapan napas dalam dan pernapasan volume tidal selama 3 menit dengan FiO2 100% hasilnya lebih bagus daripada daripada empat napas dalam. Sebagai tambahan, level denitrogenisasi yang diinginkan dicapai dengan lebih cepat dengan teknik empat napas dalam dibandingkan dengan pernapasan volume tidal selama 3 menit, membuat metode empat napas dalam lebih cocok untuk keadaan emergensi obstetrik. Posisi juga penting. Preoksigenasi tampaknya lebih efektif pada posisi duduk atau posisi head up 25o daripada posisi supine pada pasien obese berat. Peningkatan resiko kegagalan intubasi, kemungkinan kesulitan untuk ventilasi masker secara adekuat, dan keharusan untuk rapid sequence induction dengan penekanan pada os cricoid sehingga ditekankan kebutuhan seorang ahli berpengalaman yang dapat membantu selama pemberian anestesi umum pada pasien obese. Pada kasus elektif, intubasi dengan fiberoptik secara awake seharusnya bisa dipertimbangkan. Akan tetapi, teknik ini tidak ideal untuk kasus emergensi. Meskipun penggunaan LMA pada kasus obestetrik tidak dapat mencegah aspirasi isi lambung, tetapi dapat berperan sebagai life saving pada kasus kegagalan intubasi. Collins dkk menemukan pengaruh posisi pasien saat dilakukan laringoskopi pada 60 pasien morbid obese. Mereka menemukan bahwa posisi datar, yang dilakukan dengan mengatur selimut di bawah badan bagian atas dan kepala pasien sampai didapatkan garis horizontal antara meatus auditorius externus dan sternal notch, maka laring akan terlihat dengan jelas dibandingkan dengan posisi sniff standar. Pada obesitas terjadi perubahan distribusi dan respon obat anestesi. Karena peningkatan volume darah, cardiac output, dan massa otot, maka dosis awal induksi thiopentone yang lebih tinggi mungkin perlu pada pasien obese. Waktu paruh eliminasi dan demikian juga dengan lama kerja menjadi memanjang, dan pemberian dosis yang lebih besar akan berhubungan dengan lamanya pulih sadar pada kejadian gagal intubasi nantinya. Untuk propofol, tidak ada perbedaan volume disribusi awal antara pasien obese dan nonobese dan telah diketahui bahwa dosis induksinya seharusnya berdasarkan lean body weight. Suksinilkolin masih merupakan pelumpuh otot pilihan untuk intubasi pasien obstetrik. Lama kerja suksinilkolin ditentukan oleh level aktivitas pseudokolinesterase dan volume cairan ekstraselular. Kedua faktor tersebut meningkat pada obesitas. Dengan demikian, telah disarankan bahwa suksinilkolin seharusnya diberikan berdasarkan total body weight daripada lean body weight pada pasien hamil. Akan tetapi, pada wanita hamil terjadi penurunan aktivitas pseudokolinesterase. Karenanya, dosis suksinilkolin 1-1,5 mg/kgbb (sampai maksimal 200 mg) adalah masuk akal. Setelah lahir bayi, kebanyakan anesthesiologist secara dramatis menurunkan atau menghentikan pemberian agen volatile-halotan untuk memungkinkan involusi uterus yang optimal, dan meningkatkan konsentrasi nitrous oksida. Namun, pasien obese tidak mungkin diberikan konsentrasi tinggi nitrous oxide seperti yang akan diberikan pada pasien nonobese, karena pasien ini seringkali membutuhkan konsentrasi inspirasi oksigen yang lebih tinggi. Desfluran telah terbukti sebagai suplemen yang aman terhadap campuran nitrous oxide-oksigen pada seksio sesaria dan telah dihubungkan dengan waktu pemulihan yang lebih cepat dan saturasi oksigen lebih tinggi pada saat memasuki ruang pemulihan dibandingkan dengan sevofluran pada pasien morbid obesitas. Dosis kecil opioid sebagaimana midazolam biasanya diberikan untuk mengurangi resiko bangunnya maternal intraoperatif. Pada obesitas, dosis loading midazolam yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi serum yang adekuat karena sifat obat tersebut lipofilik kuat dan volume distribusi yang besar. Sedasi berkepanjangan diperkirakan akan terjadi. Mengosongkan lambung dengan pipa orogastrik sebelum ekstubasi dapat mencegah aspirasi isi lambung. Ekstubasi seharusnya dilakukan saat pasien sadar penuh dan pulihnya blok neuromuskular yang adekuat dan dilakukan pada posisi semiupright, karena hal ini mengurangi kompresi diafragma oleh isi rongga abdomen.

Morbiditas Postpartum Beberapa komplikasi postpartum, seperti perdarahan, endometritis, infeksi luka deep venous thrombosis (DVT), pulmonary embolis (PE), depresi napas, dan hipoksemia terjadi lebih sering pada wanita morbid obesitas. Naef dkk menemukan bahwa obesitas maternal berhubungan dengan peningkatan yang signifikan resiko perdarahan selama atau setelah persalinan. Jenis dan reaksi silang harus dipertimbangkan pada pasien ini. Beberapa studi telah mencatat peningkatan resiko endometritis dan infeksi luka setelah seksio sesaria pada pasien obese dan antibiotik profilaksis seharusnya diberikan setelah menjepit umbilikus, karena ini telah terbukti mengurangi morbiditas infeksi setelah seksio sesaria. Pasien morbid obesitas juga mengalami peningkatan resiko serius, komplikasi yang mengancam nyawa seperti hipoksemia, DVT, PE, dan kardiomiopati postpartum. Eichenberger dkk menemukan bahwa anestesi umum pada pasien morbid obesitas akan terjadi resiko atelektasis lebih tinggi dibandingkan pasien nonobese. Lebih jauh lagi atelektasis akan menetap selama setidaknya 24 jam pada pasien morbid obesitas, di mana atelektasis tidak terjadi pada pasien nonobese. Demikian pula, penurunan fungsi respirasi setelah anestesi spinal terlihat lebih besar pada wanita hamil dengan obesitas dibandingkan dengan nonobese, dengan pemulihan yang lebih lambat secara signifikan. Posisi terlentang, mobilisasi dini dan kontrol nyeri adekuat tentu saja berperan terhadap penyembuhan dini atelektasis dan fungsi paru akan kembali pulih lebih cepat. Baik opioid sistemik dan neuraksial digunakan sebagai analgesia post persalinan sesar; namun, opioid neuraksial lebih efektif dibandingkan opioid intravena. Sebagai tambahan, opioid neuraaksial dibandingkan dengan opioid sistemik, terlihat lebih menurunkan insidens atelektasis dan mengurangi insidens komplikasi paru. Akan tetapi, opioid sebaiknya dipergunakan secara hati-hati oleh karena peningkatan resiko depresi napas khususnya pada pasien yang menderita sleep apnea. Pemantauan secara waspada oleh perawat terhadap kejadian depresi napas, setiap jam selama 24 jam postoperasi dan tiap 2 jam untuk 24 jam berikutnya telah direkomendasikan. Karena peningkatan resiko kejadian venous thromboembolism pada pasien obese, baik penilaian mekanik maupun farmakologi untuk trombofilaksis seharusnya dilakukan. Dosis optimal untuk terapi low molecular weight heparin (LMWH) belum ada ketetapannya untuk pasien morbid obesitas. Telah disarankan bahwa dosis LMWH sebaiknya berdasarkan actual body weight. Status antikoagulan pasien menjadi sangat penting bagi anesthesiologist saat pasien memiliki kateter spinal atau epidural. Menurut guideline dari Eropa (saat dosis LMWH sekali sehari), kateter dapat dilepas 10-12 jam setelah dosis akhir LMWH dan 4 jam sebelum dosis berikutnya. Di Amerika Serikat, dokter biasanya memberikan dosis LMWH dua kali sehari dan menurut American Society of Regional Anesthesia dan guideline Pain Medicine, kateter neuraksial seharusnya dicabut 2 jam sebelum dosis pertama dan dosis pertama seharusnya 24 jam setelah operasi. Pemberian heparin dosis kecil (5000 U) SC tidak diaanggap sebagai kontraindikasi dilakukan teknik neuraksial.

Kesimpulan Rata-rata kejadian obesitas semakin meningkat di seluruh dunia dan bagian pelayanan kesehatan seharusnya siap menghadapi masalah yang berkembang pesat ini. Manajemen anesthesiologist terhadap wanita hamil dengan morbid obesitas berhubungan dengan bahaya di mana resiko kesulitan atau kegagalan intubasi sangat tinggi. Penempatan kateter epidural di awal mampu menghindari kebutuhan terhadap anestesi umum; namun, resiko kegagalan tinggi sehingga diharuskan untuk penilaian blok secara teliti dan mengulangi pemasangan kateter epidural jika diindikasikan. Teknik spinal kontinyus adalah alternatif yang menarik untuk beberapa alasan: yakni cukup dapat diprediksi dan dipercaya, dan memungkinkan kontrol ketat level anestesi dan durasi blok dan level anestesi untuk operasi dapat dicapai dalam beberapa menit pada keadaan emergensi.