9
Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja Penilaian cacat penyakit akibat kerja didasarkan kepada ketentuan sebagai-mana diatur dalam Tabel, Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993. Tabel Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993 yang menetapkan nilai cacat tetap sebagian dan cacat-cacat lainnya sebagai padanan terhadap persentase santunan tunjangan jaminan kecelakaan kerja (penyakit akibat kerja). Nilai persentase untuk cacat tetap sebagian dinyatakan dalam %-ase terhadap upah. Jika nilai persentase mencapai 70% maka persentase santunan tunjangan sama dengan nilai persentase untuk cacat tetap total. Penilaian cacat didasarkan kepada ketentuan normatif sebagaimana diatur dalam PP No. 14 Tahun 1993; penilaian cacat demikian berlaku bagi semua penyakit akibat kerja. Suatu penyakit akibat kerja dapat mengakibatkan cacat anatomis dan atau cacat fungsi. Penilaian kecacatan penyakit akibat kerja wajib mengikuti keten-tuan PP. No. 14 Tahun 1993; jika suatu penyakit akibat kerja menyebabkan cacat anatomis, maka harus ditetapkan cacat anatomisnya; juga jika suatu penyakit akibat kerja menyebabkan hilang atau berkurangnya fungsi, maka harus ditetapkan organ atau bagian tubuh yang fungsinya hilang atau berkurang. Apabila cacat anatomis atau hilang/berkurangnya fungsi organ/bagian tubuh tidak dapat dirujukkan kepada ketentuan cacat anatomis atau hilang/berkurangnya fungsi organ/tubuh, maka penilaian cacat didasarkan kepada hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik sebagaimana telah ada pengaturannya dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993. Penilaian cacat atas dasar hilang/berkurangnya kemam-puan kerja terutama sangat berguna untuk penyakit paru akibat kerja; penyakit kardiovaskuler akibat kerja; penyakit akibat kerja yang mengakibatkan kerusakan organ tubuh penting lainnya seperti hati, ginjal, dll. yang dapat mengalami kerusakan oleh karena zat/bahan kimia yang beracun pada pekerjaan atau lingkungan kerja; dsbnya. Dalam pelaksanaannya, hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik yang disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi organ/bagian tubuh demikian dinilai dari kemampuan kerja fisik yang bersangkutan. Persentase hilangnya kemampuan kerja fisik dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu 10% - 25%; 25 - 50%; dan 50 - 70%. Persentase santunan tunjangan untuk masing-masing golongan adalah 5, 20 dan 40% x upah. Nilai cacat tetap sebagian yang dapat berupa cacat anatomis atau cacat fungsi yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah: Macam cacat tetap sebagian Nilai dalam % x upah 1. Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40 2. Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35 3. Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35 4. Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30 5. Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32 6. Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28 7. Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70

Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PAK

Citation preview

Page 1: Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja.docx

Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja Penilaian cacat penyakit akibat kerja didasarkan kepada ketentuan sebagai-mana diatur dalam Tabel, Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993. Tabel Lampiran II PP No. 14 Tahun 1993 yang menetapkan nilai cacat tetap sebagian dan cacat-cacat lainnya sebagai padanan terhadap persentase santunan tunjangan jaminan kecelakaan kerja (penyakit akibat kerja). Nilai persentase untuk cacat tetap sebagian dinyatakan dalam %-ase terhadap upah. Jika nilai persentase mencapai 70% maka persentase santunan tunjangan sama dengan nilai persentase untuk cacat tetap total. Penilaian cacat didasarkan kepada ketentuan normatif sebagaimana diatur dalam PP No. 14 Tahun 1993; penilaian cacat demikian berlaku bagi semua penyakit akibat kerja. Suatu penyakit akibat kerja dapat mengakibatkan cacat anatomis dan atau cacat fungsi. Penilaian kecacatan penyakit akibat kerja wajib mengikuti keten-tuan PP. No. 14 Tahun 1993; jika suatu penyakit akibat kerja menyebabkan cacat anatomis, maka harus ditetapkan cacat anatomisnya; juga jika suatu penyakit akibat kerja menyebabkan hilang atau berkurangnya fungsi, maka harus ditetapkan organ atau bagian tubuh yang fungsinya hilang atau berkurang. Apabila cacat anatomis atau hilang/berkurangnya fungsi organ/bagian tubuh tidak dapat dirujukkan kepada ketentuan cacat anatomis atau hilang/berkurangnya fungsi organ/tubuh, maka penilaian cacat didasarkan kepada hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik sebagaimana telah ada pengaturannya dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993. Penilaian cacat atas dasar hilang/berkurangnya kemam-puan kerja terutama sangat berguna untuk penyakit paru akibat kerja; penyakit kardiovaskuler akibat kerja; penyakit akibat kerja yang mengakibatkan kerusakan organ tubuh penting lainnya seperti hati, ginjal, dll. yang dapat mengalami kerusakan oleh karena zat/bahan kimia yang beracun pada pekerjaan atau lingkungan kerja; dsbnya. Dalam pelaksanaannya, hilang/berkurangnya kemampuan kerja fisik yang disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi organ/bagian tubuh demikian dinilai dari kemampuan kerja fisik yang bersangkutan. Persentase hilangnya kemampuan kerja fisik dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu 10% - 25%; 25 - 50%; dan 50 - 70%. Persentase santunan tunjangan untuk masing-masing golongan adalah 5, 20 dan 40% x upah. Nilai cacat tetap sebagian yang dapat berupa cacat anatomis atau cacat fungsi yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 adalah: Macam cacat tetap sebagian Nilai dalam % x upah 1. Lengan kanan dari sendi bahu ke bawah 40 2. Lengan kiri dari sendi bahu ke bawah 35 3. Lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah 35

4. Lengan kiri dari atau dari atas siku ke bawah 30 5. Tangan kanan dari atau dari atas pergelangan ke bawah 32 6. Tangan kiri dari atau dari atas pergelangan ke bawah 28 7. Kedua belah kaki dari pangkal paha ke bawah 70 8. Sebelah kaki dari pangkal paha ke bawah 35 9. Kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah 50 10. Sebelah kaki dari mata kaki ke bawah 25 11. Kedua belah mata 70 12. Sebelah mata atau diplopia pada penglihatan dekat 35 13. Pendengaran pada kedua belah telinga 40 14. Pendengaran pada sebelah telinga 20 15. Ibu jari tangan kanan 15 16. Ibu jari tangan kiri 12 17. Telunjuk tangan kanan 9 18. Telunjuk tangan kiri 7 19. Salah satu jari lain tangan kanan 4 20. Salah satu jari lain tangan kiri 3 21. Ruas pertama telunjuk kanan 4,5 22. Ruas pertama telunjuk kiri 3,5 23. Ruas pertama jari lain tangan kanan 2 24. Ruas pertama jari lain tangan kiri 1,5 25. Salah satu ibu jari kaki 5 26. Salah satu jari telunjuk kaki 3 27. Salah satu jari kaki lain 1 Nilai macam cacat tetap sebagian lainnya yang dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No.14 Tahun 1993 adalah: Macam cacat tetap sebagian Nilai dalam % x upah 1. Terkelupasnya kulit kepala (cacat anatomis) 10 - 30 2. Impotensi (cacat anatomis atau cacat fungsi) 30 3. Kaki memendek sebelah: kurang dari 5 cm; 10 5 – 7,5 cm; 20 7,5 cm atau lebih (cacat anatomis) 30 4. Penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) 6 5. Penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) 3 6. Kehilangan daun telinga sebelah (cacat anatomis) 5 7. Kehilangan kedua belah daun telinga (cacat anatomis) 10 8. Cacat hilangnya cuping hidung (cacat anatomis) 30 9. Perforasi sekat rongga hidung (cacat anatomis) 15 10. Kehilangan daya penciuman (cacat fungsi) 10 11. Hilangnya kemampuan kerja fisik (cacat fungsi) 50 – 70 % 40 25 - 50 % 20 10 - 25 % 5 12. Hilangnya kemampuan kerja mental tetap (cacat fungsi) 70 13. Kehilangan sebagian fungsi penglihatan: Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 7 10%. Apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik) + efisiensi penglihatan terburuk Setiap kehilangan efisiensi tajam penglihatan 10% 7

Page 2: Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja.docx

Kehilangan penglihatan warna 10 Setiap kehilangan lapangan pandang 10% (cacat fungsi) 7 Pada penggunaan cara penilaian kecacatan menurut ketentuan sebagaimana diatur oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: 1. Dengan dilakukannya penilaian cacat penyakit akibat kerja dengan memakai macam cacat dan nilainya sebagaimana dimuat dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 tersebut; hampir seluruh atau bagian terbesar cacat karena penyakit akibat kerja dapat dilakukan penilaian terhadapnya tanpa kesulitan; namun masih terdapat hal-hal khusus yang perlu perhatian. Agar penilaian cacat penyakit akibat kerja terselenggara dengan sebaik-baiknya, perlu pemahaman secara benar mengenai nilai kecacatan sebagaimana terdapat dalam Tabel, misalnya %-ase yang dimaksud adalah %-ase terhadap upah dan bukan %-ase medis; juga perlu adanya penjelasan tambahan; serta pengaturan tentang nilai kecacatan untuk anggota badan/organ tubuh yang belum tercakup. 2. Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 belum mencakup cacat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja semua anggota badan dan nilai cacatnya yaitu untuk kulit muka dan leher, rahang, trakea, dan esofagus. Oleh karena itu, dengan pendekatan analogis dapat digunakan macam cacat tetap sebagian dan nilai cacatnya sbb.: Macam cacat tetap sebagian Nilai dalam % x upah -Kulit muka dan leher 3 - 30 -Rahang 10 - 30 -Trakea 10 - 30 -Esofagus 10 - 30 3. Menurut Tabel, Lampiran II PP. No.14 Tahun 1993, apabila efisiensi penglihatan kanan dan kiri berbeda, maka efisiensi binokuler dengan rumus kehilangan efisiensi penglihatan: (3 x % efisiensi penglihatan terbaik + efisiensi penglihatan terburuk). Terhadap pernyataan ini, perlu ada penjelasan yaitu bahwa efisiensi binokuler adalah ¼ x (3 x % efisiensi penglihatan terbaik + efisiensi penglihatan terburuk). Dengan memeriksa tajam penglihatan jauh dan juga dekat baik mata kanan maupun kiri, dapat dilakukan penilaian kecacatan kehilangan efisiensi tajam penglihatan binokuler yang terhadapnya dilakukan pula koreksi kecacatan mata jika terjadi kehilangan fungsi penglihatan warna dan atau kehilangan lapangan pandang serta juga jika terdapat diplopia. 4. Sesuai dengan Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 nilai cacat penurunan daya dengar kedua belah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) adalah 6% x upah; penurunan daya dengar sebelah telinga setiap 10 desibel (cacat fungsi) adalah 3% x upah. Juga dinyatakan dalam Tabel dimaksud bahwa nilai cacat hilangnya pendengaran pada kedua belah

telinga adalah 40 % x upah dan nilai cacat hilangnya pendengaran pada sebelah telinga adalah 20 % x upah. Sehubungan dengan nilai cacat penurunan daya dengar tsb., sangat perlu diketahui tingkat cacat penurunan daya dengar yang ditentukan dengan mengukur nilai ambang dengar (Hearing Threshhold Level), yaitu angka rata-rata penurunan ambang dengar dengan satuan desibel (dB) pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz. Penilaian penurunan ambang dengar dilakukan pada kedua telinga (ketulian biaural). Ketulian satu telinga (kanan atau kiri) disebut ketulian mono-aural). Cara penilaian ketulian dilakukan tanpa koreksi untuk tenaga kerja yang usianya sampai dengan 40 tahun. Dengan pertambahan usia di atas 40 tahun, terjadi penurunan daya dengar sebesar 0,5 dB untuk setiap tahunnya. Dengan demikian, untuk tenaga kerja yang berumur di atas 40 tahun, kehilangan daya dengar dikurangi 0,5 dB per tahun tetapi pengurangan tsb. tidak melebihi 12,5 dB. Terhadap kehilangan daya dengar sebagaimana telah diuraikan, masih perlu diberikan perhatian masalah medis/klinis yaitu kemungkinan adanya tuli hantaran udara dan hantaran tulang; tuli yang disebut terakhir ini bukan tuli akibat kebi-singan; tuli akibat kebisingan adalah tuli akibat kerusakan saraf oleh intensitas kebisingan yang lebih dari intensitas aman bagi alat pendengaran. 5. Cacat kulit karena penyakit akibat kerja dirujuk kepada cacat anatomis atau fungsi dari anggota badan yang bersangkutan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan peker-jaan sebagaimana dinyatakan dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993. Sebagai contoh, seorang tenaga kerja menderita cacat tetap pada kulit yang menyebabkan hilangnya seluruh fungsi lengan kanan dari atau dari atas siku ke bawah, maka nilai kecacatannya adalah 35 % x upah. Contoh lain adalah tenaga kerja yang menderita cacat tetap pada kulit yang menyebabkan hilangnya fungsi telunjuk tangan kanannya, maka nilai kecacatannya adalah 9 % x upah. 6. Aspek nerologis dan ortopedis hilang atau berkurangnya fungsi otot dirujuk kepada cacat fungsi anggota badan yang bertalian dengan saraf dan otot yang bersangkutan. Adalah ideal, namun jangan menjadi hambatan apabila untuk menilai hilang atau berkurangnya fungsi saraf dan otot dapat digunakan metoda Uji Otot Manual (Manual Muscle Test). Dengan uji demikian, dapat diketahui kelumpuhan (plegia) atau kelemahan (paresis) otot. 7. Apabila untuk suatu cacat karena penyakit akibat kerja tidak dapat dirujukkan kepada cacat anatomis atau cacat fungsi suatu anggota badan yaitu (bagian atau organ tubuh) dalam Tabel II PP. No. 14 Tahun 1993, penilaian cacat dapat didasarkan kepada persentase hilangnya kemampuan kerja fisik yang

Page 3: Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja.docx

dibagi menjadi 3(tiga) kategori yaitu 10 - 25%; 25 - 50%; dan 50 - 70% dengan nilai kecacatan masing-masing golongan adalah 5, 20 dan 40% x upah. Sekalipun dalam Tabel, Lampiran II PP. No. 14 Tahun 1993 tidak dinyatakan secara lengkap menurut 4(empat) kategori, tetapi hilangnya kemampuan kerja fisik terdiri atas 4(empat) kategori yaitu 10 - 25%; 25 - 50%; 50 - 75%; dan 75 - 100% dengan nilai kecacatan masing-masing kategori adalah 5, 20, 40 dan 70% x upah. Terhadap nilai kecacatan demikian mungkin pula dilakukan koreksi yakni dengan penggantian nilai 40 % x upah oleh 50 % x upah. Namun perlu diperhatikan bahwa nilai kecacatan 40 % x upah untuk hilangnya kemam-puan kerja 50-75% merupakan ketentuan normatif yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Penilaian cacat atas dasar hilang/berkurangnya kemampuan kerja sangat tepat dipergunakan untuk menilai cacat pada sistem kardiovaskuler yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja; cacat paru karena penyakit akibat kerja; cacat hati (hepar) yang disebabkan oleh penyakit akibat kerja; cacat ginjal karena penyakit akibat kerja; dsbnya. Untuk sistem kardiovaskuler (khususnya jantung), paru, hati dan ginjal, kategori berat ringannya tingkat cacat penyakit kronis yang mengenai organ tubuh yang bersangkutan dibuat berdasarkan derajat hilang/berkurangnya fungsi organ dimak-sud yang sangat erat kaitannya atau paling tidak dapat digunakan untuk menetapkan hilang/berkurangnya kemampuan kerja tenaga kerja yang mengalami cacat organ karena penyakit akibat kerja. Hilang/berkurangnya kemampuan kerja berkorelasi dengan derajat sesak yang ditunjukkan oleh penderita; dalam hubungan itu gejala sesak berkaitan dengan kemampuan sistem kardiovaskuler atau pernafasan. Hilang/berkurangnya kemam-puan kerja atas dasar derajat sesak adalah sbb.: Derajat 0 adalah tidak sesak; Derajat I adalah sesak ringan, mampu berjalan dengan orang normal kecuali mendaki atau naik tangga; Derajat II adalah sesak sedang, mampu berjalan sampai dengan 1,5 km di tempat datar; Derajat III adalah sesak berat hanya mampu berjalan tanpa istirahat sejauh 100 meter; dan Derajat IV adalah sangat sesak, sesak pada waktu berpakaian atau berbicara. Untuk menilai kecacatan paru yang dikarenkan penyakit paru akibat kerja, dapat digunakan parameter hasil uji fungsi paru. Atas dasar berkurangnya fungsi paru volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP 1), maka derajat sesak 0 jika nilainya > 2,5 liter; derajat sesak ringan nilainya 1,6 - 2,5 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 25%; derajat sesak sedang nilainya 1,1-1,5 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 50%; derajat sesak berat nilainya 0,5-1 liter dengan cacat berkurang-nya fungsi paru 75%; dan derajat sesak sangat berat

nilainya < 0,5 liter dengan cacat berkurangnya fungsi paru 100%. Gambaran rontgen paru seperti yang ditampilkan dalam klasifikasi radiograf pnemokoniosis dipakai sebagai tambahan masukan untuk menentukan hilang atau berkurangnya fungsi paru yang disebab-kan oleh penyakit paru akibat kerja. 8. Cacat karena penyakit akibat kerja dapat berupa gangguan saraf autonom seperti sangat banyak atau terus menerus mengeluarkan keringat atau buang air kecil (miksi) yang tidak terkendali atau juga buang air besar yang tidak terkendali atau lainnya. Gangguan saraf autonom demikian menyebabkan kecacatan hilangnya kemampuan kerja fisik yang nilainya ditentukan oleh sejauh mana kemampuan kerja fisik tenaga kerja yang bersangkutan hilang atau berkurang sebagai akibat dari cacat yang disandangnya. 9. Penjelasan UU No. 3 Tahun 1992 menegaskan bahwa mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacatnya maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadi-nya cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi. Prinsip ini berlaku pula untuk penyakit akibat kerja yang menye-babkan cacat mental. Hanya cacat mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bekerja lagi yang mendapat jaminan kecelakaan kerja. Persentase santunan tunjangan hilangnya kemampuan kerja mental tetap adalah 70% x upah. IV. PRAKTEK KEDOKTERAN KERJA/OKUPASI Perkembangan mutakhir dunia kedokteran telah melahirkan kedokteran kerja dengan spesialisasi kedokteran okupasi. Kedokteran kerja adalah kedokteran yang menangani aspek medis interaksi antara tenaga kerja dengan pekerjaan dan ling-kungan kerjanya, yang aspek-aspeknya meliputi penyakit akibat kerja dan cacat yang diakibatkannya. Jalur pendidikan keilmuan dan spesialisasi kedokteran kerja telah ada dan terbuka untuk dokter umum yang ingin mengembangkan keilmuan dan spesialisasinya dalam kedokteran kerja. Sebagaimana ditegaskan dalam Kompen-dium Kedokteran Kerja/Okupasi, kedokteran kerja memiliki 18 kompetensi yang dua di antaranya adalah: 1. Membuat diagnosa penyakit akibat kerja (penyakit yang timbul karena hubungan kerja) dan atau penyakit lain yang berkaitan dengan pekerjaan serta mengobati dan atau melakukan tindakan-tindakan lain dalam keselamatan dan kesehatan kerja(K3) yang pelaksanaannya mungkin dilakukan bekerja sama dengan spesialis lain dan atau pihak lain;

Page 4: Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja.docx

2. Membuat diagnosa dan menilai kecacatan akibat kecelakaan kerja dan atau penyakit akibat kerja yang pelaksanaannya mungkin dilakukan bekerja sama dengan spesialis dan atau pihak lain. Membuat diagnosa penyakit akibat kerja atau menilai kecacatan penyakit akibat kerja adalah praktek kedokteran dan oleh karenanya dokter praktek harus memiliki kompetensi dalam profesi kedokteran sesuai dengan spesialisasi dalam bidang kedokteran dhi kedokteran kerja/okupasi. Hal ini dapat dipenuhi apabila Dokter Penasehat adalah spesialis kedokteran okupasi atau magister sains dalam kedokteran kerja atau memiliki sertifikat kompetensi dalam diagnosa dan atau penilaian cacat penyakit akibat kerja. Dengan kata lain, waktu ini Dokter Penasehat telah memenuhi syarat legal peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, tetapi masih belum memenuhi persyaratan kompetensi profesi kedokteran sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran. Tentunya problema ini tidak mungkin diatasi waktu sekarang ini, oleh karena spesialisasi dan kompetensi merupakan proses yang perlu waktu, sedangkan peran Dokter Penasehat dalam mensukseskan pelaksanaan jaminan kecelakaan kerja untuk penyakit akibat kerja tidak boleh terganggu atau terhambat. Oleh karena diagnosa dan penilaian cacat penyakit akibat kerja adalah aktivitas profesi dokter, maka Dokter Penasehat wajib sepenuhnya memperhati-kan dengan seksama Etika Kedokteran pada umumnya dan Etika Kedokteran Kerja pada khususnya. Antara lain, Kode Etik menegaskan bahwa dalam praktek kedok-teran kerja dokter melaksanakan tugas sebagai suatu amal ilmiah yang obyektif dan terpadu; doktera secara terus menerus berusaha agar pengetahuan Kedokteran Kedokeran Kerja (Kedokteran Okupasi) baik mengenai tenaga kerja perorangan maupun pada kelompok tenaga kerja dapat ditingkatkan dan dikembangkan; menghindari adanya tekanan dan atau pengaruh yang berasal dari perbedaan kepentingan terhadap keputusan medis; dsbnya.

PENGERTIAN DAN MACAM APD-UU No 1 tahun 1970 tentang Kesker pasal 14 (3)menyatakan bahwa pengurus diwajibkanmenyediakan secara Cuma-Cuma semua APD ygdiwajibkan pd tenaga kerja yg berada dibawahpimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lainyg memasuki tempat kerja disertai dengan petunjukpetunjuk

yg diperlukan.- Pasal 15 diterangkan tentang hak & kewajibantenaga kerja diantaranya adalah memakai APD ygdiwajibkan.

APD adalah Peralatan keselamatan yg harusdipergunakan oleh personil apabila berada dalamsuatu tempat kerja yang berbahaya.- APD adalah suatu alat yg berfungsi untukmelindungi tenaga kerja dalam melakukan pekerjaanagar terhindar dari bahaya di tempat kerja.

APD yang disediakan harus memenuhi syarat:1. Harus memberikan perlindungan yg cukup terhadapbahaya yg dihadapi tenaga kerja atau sesuai sumberbahaya yg ada.2. Tidak mudah rusak.OLEH3. Tidak mengganggu aktifitas si pemakai.4. Beratnya seringan mungkin5 Mudah 5. diperoleh dipasaran6. Memenuhi syarat spesifik lain7. Enak dipakai.

APD juga mempunyai keterbatasan.- Keterbatasan yg dimaksud adalah:- - Tidak menghilangkan bahaya.- - APD akan mengganggu sipemakai/ menambah bahaya jika saja- APD yg dipakai menggaggu indranya.APDh li d i i k i j b b d d l tOLEH- - APD hanya melindungi si pemakaisaja, berbeda dengan alat- pengaman.- - Bila APD rusak atau tidak efektif lagi, maka sipemakai akan terpapar pd bahaya yg ada.- - APD tidak selalu digunakan dengan tepat dan cocok

Jenis APD menurut bagian tubuh yang dilindungi( Atjo Wahyu, 2003).1. Alat Pelindung Kepala, berdasarkan fungsinya dibagi:a. Topi Pengaman (helmet), melindungi kepala darikemungkinan benturan atau pukulan dan kejatuhanbenda.b. Tudung atau topi, melindungi dari api, ketel uapdan korosif c. Tutup Kepala, menjaga kebersihan kepala ataurambut dan mencegah rambut terlilit bagian mesin ygberputar,

2. ALat Pelindung Mulut dan HidungAPD ini biasa juga disebut masker yg berfungsimelindungi bagian dalam tubuh melalui pernafasanhidung dan mulut dari pengaruh oksigen ygterkontaminasi dengan partikel debu dan gas yg dapatmerusak atau setidaknya menggaggu pernafasan.3. Alat Pelindung TelingaAPD telinga terdiri dari 2 jenis, yaitu ear plug yg dapatmenurunkan pajanan sebesar 6-30 dB, dan ear muff ygdapat menurunkan 20 - 40 dB. 4. ALat Pelindung Mata APD mata biasanya disebut kaca mata, fungsinyaselain melindungi mata, juga melindungi muka atau

Page 5: Penilaian Cacat Penyakit Akibat Kerja.docx

wajah yg terdiri dari berbagai bentuk disesuaikandengan sumber bahaya yg dihadapi, seperti bahayalemparan benda- benda kecil dan lemparan bendabendalainnya.5. Alat Pelindung TanganAPD ini disebut dengan sarung tangan atau kaos tangan. Fungsinya untuk melindungi tangan daribahaya benda tajam, panas dan dingin, radiasi, aruslistrik, serta bahan kimia elektromagnetik6. Alat Pelindung Kaki dan jari KakiAPD yg umum digunakan adalah sepatu, namun harusdisesuaikan dengan tempat atau lingkungan kerjasesuai dengan risiko yg terjadi.7. Alat Pelindung TubuhAPD tubuh yang dimaksud adalah pakaian kerja ygkhusus berfungsi untuk melindungi badan atau tubuh.Terkadang ada pekerjaan tertentu dalam waktu singkatharus memakai pelindung yg bertujuan agar tenaga kerja terpapar suatu sinar panas dapat diperkecil ataudiperhalus.

FUNGSI & PERAN:

Memberikan pelayanan klinik untuk karyawan 

TANGGUNG JAWAB: 

1. Untuk menjalankan aktivitas klinik sehari-hari . 

2. Untuk menangani kasus-kasus darurat .3. Mengorganisir dan berpartisipasi dalam

perawatan kesehatan preventif.4. Melakukan penilaian kesehatan calon

karyawan.5. Melakukan penilaian kesehatan secara

berkala untuk kategori pekerja tertentu seperti pekerja lepas pantai .

6. Memberikan pendidikan kesehatan dan komunikasi tentang kondisi kesehatan pasien.

7. Lakukan prosedur bedah minor yang diperlukan (sesuai untuk praktisi disetujui).

8. Bekerja dalam tim multi-disiplin untuk memberikan perawatan pasien.

9. Pengendalian penyakit menular dan menular, perawatan dan investigasi.

10. Memberikan dukungan tanggap darurat, penggunaan sarana medis canggih dan stabilisasi untuk kasus-kasus yang melibatkan trauma, kejadian penyakit jantung, penyakit akut dan reaksi alergi 

11. Kompeten melakukan resusitasi kardio-pulmonal termasuk intubasi 

12. Mahir dalam penggunaan ambu-bag dan mask untuk resusitasi.

13. Mahir dalam penggunaan dan obat-obatan darurat defibrilator jantung 

14. Mahir dalam melakukan infus baik perifer dan sentral 

15. Mahir vena seksi. 16. Memberikan oksigen dengan benar 17. Pemanfaatan nebulizer untuk pernafasan

tertentu atau kasus-kasus THT 18. Stabilisasi dan pengobatan luka bakar

termal yang signifikan .

KUALIFIKASI: 

1. Dokter dengan minimal 2 tahun pasca kelulusan pengalaman dalam kedokteran umum dalam pengaturan klinis 

2. ATLS Hari (Lanjutan Trauma Life Support) dan ACLS (Life Support Lanjutan Kardiovaskular) bersertifikat. 

3. Pengalaman dalam mengelola Medevac 4. Sertifikat Hyperkes (Depnaker) 5. Tergantung dengan kemampuan untuk

bekerja secara independen dan sebagai bagian dari tim Diri 

6. Mampu berkomunikasi dengan jelas dan efektif untuk semua tingkatan dalam suatu organisasi dan tetap tenang dalam situasi darurat 

7. Yang kuat dalam keterampilan komunikasi & interpersonal skill 

8. Administrasi pengalaman, akrab dengan MS Office 

9. Mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk kedua tertulis dan lisan .