Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENYELESAIAN HAK NORMATIF PEKERJA
DALAM PERATURAN DI INONESIA
Afifah
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945
Jalan Semolowaru Nomor 45, Surabaya 60118, Indonesia
08122030427 , [email protected]@gmail.com
Abstrak Pekerja memiliki hak istimewa, dimana haknya harus didahulukan dari pada kreditor lainnya. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/20013 yang menjelaskan bahwa upah pekerja yang belum diberikan maka harus didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, sehingga dalam hal ini posisi/kedudukan yang diprioritaskan adalah pekerja/buruh dimana perusahaan yang mengalami pailit dari pelunasan terhadap kreditor lainnya, akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 21 menjelaskan bahwa tagiahan negara harus didahulukan maka dimana isi undang-undang tersebut bertentangan dengan putusan yang telah di tetapkan oleh hakim mahkamah konstitusi. Dalam hal tidak terpenuhinya hak pekerja pada perusahaan yang pailit pekerja dapat mengajukan gugatan ke pengadilan penyelesaian hubungan industrial sebagai bentuk upaya hukum akan tetapi bila mana putusan tersebut tidak mendaptkan hasil maka harus dirundingkan secara benar agar upah pekerja terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya.
Kata Kunci :Hak Istimewa, Upaya Hukum, Penyelesaian Hubungan Industrial A.Pendahuluan
1.Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seuntuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat
yang sejaterah, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995. Dalam pelaksanaan pembangunan
nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan
tujuan pembangunan.1
Upah menjadi tujuan buruh/pekerja dalam melakuakn pekerjaan. Setiap butruh/pekerja selalu
mengharapkan upah yang adil sesuai dengan pekerjaan yang dilakukanan dan berusahaan
meningkatkan kinerjanya, dimana upah adalah salah satu sarana yang digunakan pekerja untuk
mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaannya dan untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Didalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan seringkali keadaan
keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak mampu mebayar utang-
utangnya. Hal demikian dapat pua terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi
1Asri Wijayati, hukum ketenagakerjaan pasca reformasi, Sinar Grafik, Jakarta, 2009, h. 06.
untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung, perusahaan lain menurun, begitu seterusnya,
sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan garis yang menaik dan menurun seperti grafik.2
Sebab risiko yang dapat timbul dari perusahaan, baik itu risiko investasi, risiko pembiayaan dan
risiko operasi. Dari semua risiko semua itu dapat mengancam kesinambungan dari keuangan
perusahaan dan yang paling fatal dimana perusahaan bisa mengalami bangkrut (pailit) karena
perusahaan tidak dapat membayar semua kewajiban utang perusahaan, kepailitan merupakan proses
dimana :
1. Seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar untangnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor
tersebut tidak dapat membayar utangnya.
2. Harta debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan kepailitan.
Proses kepailitan pada umumnya adalah proses panjang yang melelahkan. Disatu sisi akan
banyak pihak (kreditor) yang terlibat dalam proses tersebut, karena pihak debitor yang dipailitkan
oleh Pengadilan Niaga pasti memiliki utang lebih dari satu, sedangkan disisi lain belum tentu harta
pailit mencukupi untuk membayar tagihan yang ditunjukan kepada debitor.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1131, hukum memberikan keistimewaan
pada umumnya kepada kreditor bahwa apabila kreditor kerena suatu hal tidak dapat melunasi
hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka harta kekayaan debitor baik yang bergerak
maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, akan
menjadi tanggungan untuk pelunasan pinjaman atau kredit yang diberikan kreditor.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa memberikan jaminan
kedudakan yang sama atau seimbang bagi kreditor dimana dalam hal ini kreditor lebih dari satu.
Kedudukan yang sama atau seimbang dalam kreditor dapat dikecualikan apabila diatur oleh
Undang-Undang dengan karena alasan-alasan yang sah untuk didahulakan kereditor lainnya.
Pasal 1133 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa kreditor dapat di
dahulukan dari kreditor lainnya apabila kreditor yang bersangkurtan merupakan:
1. Tagihan yang terbit dari pihak istimewa;
2. Tagihan yang dijaminkan dengan hak gadai;
3. Tagihan yang dijaminkan dengan hipotik.
Dimana masing-masing kreditor akan berusaha untuk secepat-cepatnya mendaptkan pembayaran
atas putang mereka masing-masing. Kondisi tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya aturan-
aturan yang mengikat di dalam proses kepailitan, yang mengatur pembagian harta pailit di bawah
kendali kurator disertai pengawasan hakim pengawas.
Buruh atau karyawan merupakan bagian penting dari sebuah perusahaan, dan buruh atau
karyawan juga merupakan salah satu pihak pada saat suatu perusahaan dipailitkan, yakni sebagai
2Victor M.Situmorang dan Hendri Soekarso, pengantar hukum kepailitan di Indonesia, PT.Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h.
01.
kreditor yang juga memiliki hak atas debitor pailit. Tetapi seringkali pada saat suatu perusahan yang
mengalami kepailitan, hak-hak konstitusional dari buruh terabaikan atau tidak dipenuhi demikian
juga kesejahteraan pribadi dan keluarganya. Dalam hal ini kedudukan buruh sangat lemah, pada hal
fungsi dan perenan tenaga kerja dalam suatu perusahaan sangat penting guna kelancaran produksi
dan pertumbuhan perusahaan yang bersangkutan, sering kali terjadinya perselisihaan pekerja dengan
pihak perusahaan yang diwakili oleh kurator.
Melihat ke dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menyatakan “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain”, Pengertian tentang pernyataan pasal tersebut memang sangat umum akan tetapi
faktor dan makna tersebut sangat luas dimana setiap orang yang diberi pekerja bukan hanya
perseorangan, bisa juga persekutuan, badan hukum dan badan lainnya yang menerima imbalan upah
yang berbentuk uang akan tetapi ada juga yang menerima imbalan berbentuk barang, dan semua
orang akan bekerja didalam nauangan perusahan sedangkan pengertian perusahaan dalam pasal 1
angka 6 huruf a Undang-Undang nomor 13 tentang ketenagakerjaan menyatakan “Setiap bentuk
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imabalan berbentuk lain”, Maka dari itu hubungan pengusaha/perusahaan
dengan buruh/pekerja yang berdasarkan perjanjian kerja dimana mempunyai unsur pekerjaan dan
upah/imbalan.
Didalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketanagakerjaan dengan secara jelas
mengatur tentang upah yang akan diberikan kepada Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan telah mengatur tentang ketentuan upah ketika terjadi kepailitan dalam Pasal 95 ayat
(4) yaitu dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan
utang yang didahulukan pembayarannya.
Tetapi pada kenyataannya posisi utang kepada buruh/pekerja tidak pernah didahulukan
pembayaran utang atau upah yang harusnya mereka dapat disaat setelah melakukan sebuah
pekerjaan, bila mana perusahaan yang mengalami pailit hartanya tidak mencukupi sehingga
perusahaan tidak dapat memeberi upah kepada buruh/pekerja sekalipun hak pesangon telah dijamin
oleh Undang-Undang yang ada di Indonesia.
Maka dari ketidakmampuan negara memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, khususnya dalam
memenuhi hak-hak dasarnya (Upah) dalam pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pailit,
terindikasinya dengan adanya aksi unjuk rasa dan mogok kerja bagi buruh/pekerja yang dari tahun
ke tahun jumlahnya semakin meningkat tajam, dikarenakan rendahnya perlindungan terhadap
buruh/pekerja yang menjamin terpenuhnya hak-hak dasar yang sah.
Dalam hal ini buruh/pekerja ingin sekali memperjuangkan hak-haknya atas upah dan/atau
pesangon yang seringkali sulit didapat karena keberadaan kreditor separatis (kreditor yang memiliki
hak jaminan hutang kebendaan), sebagai pihak yang menjadi prioritas dalam pembagian harta ketika
terjadi kepailitan .
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kedudukan hak normatif pekerja pada peraturan di Indonesia dalam perusahan pailit?
b. Bagaimana upaya hukum pekerja pada perusahaan yang pailit dalam hal tidak terpenuhinya hak
pekerja dalam peraturan di Indonesia?
3. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan-
bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Dalam hal ini penelitian hukum normatif merupakan
penelitian yang dilakukan atau berfokus pada norma hukum positif yang berupa perundang-
undangan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari hukum positif Indonesia yang berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendapat hukum ahli hukum dalam literatur,
jurnal, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, internet (website) terkait Perlindungan hukum terhadap
hak-hak Pekerja/ Buruh Dalam hal perusahaan yang terkena pailit.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini disesuaikan dengan tipe penelitian yang
penulis ambil. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan mencakup pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
- Pendekatan Perundang-undangan (Statute Aprroach)
Metode pendekatan perundang-undangan digunakan untuk memahami hirarki perundang-
undangan dan asas-asas yang ada di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan pendektan Kitab Undang–undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang
nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, Kitab Undang-
Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dan Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Karena saya meneliti mengenai hak-hak yang
dapat diperoleh untuk para buruh/pekerja dimana perusahaan yang mereka naungi mengalami
pailit.
- Pendekatan Kasus (Case Apporoach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan teliti pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
hukum yang dihadapi. Kasus-Kasus yang di teliti merupakan yang telah memperoleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam penelitian ini penulis menggunakan kasus yang
telah pernah terjadi yaitu kasus perusahan adam air yang mengalami kepailitan dan meninggalkan
hutang yang sangat banyak dan dimana mantan pekerja adam air melakukan yudicial review dalam
Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar hak yang harusnya diperoleh
mejadi sangat jelas.
3. Sumber dan jenis bahan hukum
Sumber dan bahan hukum yang digunakan dalan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Bahan hukum primer
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Undang-Undang nomer 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaaan
3. Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat, tetapi menjelaskan
mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau
ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana
akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini adalah doktrin–doktrin yang ada di
dalam buku, jurnal hukum dan internet.
4. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Apabila penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach), maka yang
harus penulis lakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang
berkaitan dengan hal tersebut.Perundang-undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa
legislation maupun regulation bahkan juga delegeted legislation dan delegeted regulation.Oleh karena itu
memecahkan suatu isu hukum, peneliti mungkin harus menelusuri sekian banyak berbagai produk
peraturan perundang-undangan termasuk produk-produk zaman Belanda.Bahkan undang-undang
yang tidak langsung berkaitan tentang isu hukum yang hendak dipecahkan ada kalanya harus juga
menjadi bahan hukum bagi penelitian tersebut.3
B. Pembahasan
Hak-hak normatif pekerja merupakan salah satu hak asasi manusia, karena bekerja berkaitan
dengan kelangsungan hidup manusia, bahkan hak atas hidup yang layak seperti yang diatur di
dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjurnya disebut UUD NRI
1945), dimana hak-hak normatif pekerja/buruh merupakan hak-hak yang wajib di peroleh atau
didapat oleh pekerja/buruh yang dimana diatur dalam Undang-Undang, Pasal 27 ayat (2) UUD
NRI 1945 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Hak asasi manusia tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau tidak
diperdulikan dalam keadaan apapun, maka dari pengertian diatas dimana seharusnya perusahaan
yang mengalami pailit harusnya terlebih dahulu mendahulukan hak-hak normatif perkerja yang
belum mendapatkan hak tersebut karena didalam pekerjaan memiliki perjajia kerja dan didalam
perjanjian kerja pasti tertulis atau terterah hak-hak yang harus di dapat oleh pekerja/buruh
bilamana pekerja/buruh telah melakukan kewajibannya dalam bekerja. Dimana upah dan pesangon
merupakan hak normatif pekerja yang di peroleh pekerja bilamana pekerja telah melakukan
kewajibannya, guna melindungi hak-hak dasar pekerja/buruh sesuai dengan amanat konstitusi
telah ditetapkan kebijakan pengupahan yang dimana dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh,
Pasal 88 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya
disebut dengan UUK).
3Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 194.
Dimana pengaturan upah yang bila mana pekerja tidak mendapatkan upah juga diatur dalam Pasal
93 (2) UUK meliputi :
a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan;
c) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami
atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam
satu rumah meninggal dunia;
d) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban
terhadap negara;
e) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
f) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
g) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;
dan
i) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Dimana peraturan pengupahan tersebut merupakan perjanjian bersama dimana perjanjian tersebut
telah disepakati kedua belah pihak dan telah terterah dalam perjanjian kerja, kemudian adapula
peraturan pengupahan yaitu Pasal 94 UUK “Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan
tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
jumlah upah pokok dan tunjangan tetap”. Selain perselisihan hak dan kepentingan dalam hubungan
industrial, juga dikenal adanya perselisihan pemutusan hubungan kerja (selanjutnya disebut dengan
PHK)4, dimana UUK selai mengatur tentang upah UUK juga memberikan perlindungan terhadap hak
normatif pekerja/buruh bilamana pekerja/buruh di PHK oleh pengusaha tanpa ada alasan tertentu
diatur dalam Pasal 153 ayat (1).
Ketika pekerja/buruh yang bekerja dalam perusahan tiba-tiba harus berhenti atau keluar
dikarenakan perusahan tersebut mengalami kepailitan maka pengusaha tidak semata-mata
menghentikan pekerja/buruh tersebuh akan tetapi pengusaha/perusahaan harus memehuni hak
normatif yang harusnya diperoleh pekerja/buruh yang telah melakukan kewajibannya, dimana
pengusaha harus memenuhi kewajibannya kepada pekerja/buruh diatur dalam Pasal 156 UUK.
Dari pengertian diatas maka sudah sangat jelas bagaimana seharusnya pekerja/buruh
mendapatkan hak-hak normatifnya selain upah, akan tetapi dalam penerapan hak-hak normatif
pekerja dimana pekerja dapat mendapatkan hak-hak normatif setalah kreditor separatis telah
diselsaikan diatur dalam Pasal 1149 ayat (1 s/d 4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPer) menyatakan :
4R. Joni Bambang, Op.,Cit., h. 292.
Piutang-piutang atas segala barang bergerak dan barang tak bergerak pada umumnya adalah
yang disebut di bawah ini, dan ditagih menurut urutan berikut ini :
1. biaya perkara yang semata-mata timbul dari penjualan barang sebagai pelaksanaan putusan atas
tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan penyelamatan harta benda; ini didahulukan
daripada gadai dan hipotek;
2. biaya penguburan, tanpa mengurangi wewenang Hakim untuk menguranginya, bila biaya itu
berlebihan;
3. segala biaya pengobatan terakhir;
4. upah para buruh dari tahun yang lampau dan apa yang masih harus dibayar untuk tahun
berjalan, serta jumlah kenaikan upah menurut Pasal 160 q; jumlah pengeluaran buruh yang
dikeluarkan/dilakukan untuk majikan; jumlah yang masih harus dibayar oleh majikan kepada
buruh berdasarkan Pasal 1602 v alinea keempat Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini atau
Pasal 7 ayat (3) "Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan"; jumlah yang masih harus
dibayar oleh majikan pada akhir hubungan kerja berdasarkan Pasal 1603 s bis kepada buruh;
jumlah yang masih harus dibayar majikan kepada keluarga seorang buruh karena kematian buruh
tersebut berdasarkan Pasal 13 ayat (4) "Peraturan Perburuhan Di Perusahaan Perkebunan"; apa
yang berdasarkan "Peraturan Kecelakaan 1939" atau "Peraturan Kecelakaan Anak Buah Kapal
1940" masih harus dibayar kepada buruh atau anak buah kapal itu atau ahli waris mereka beserta
tagihan utang berdasarkan "Peraturan tentang Pemulangan Buruh yang diterima atau dikerahkan
di Luar Negeri";
Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pekerja/buruh merupakan kreditor preferen
terhadap pemberi kerja atas hak normatif yang belum dibayar oleh pengusaha (pemberi pekerja),
dimana kreditor preferen akan mendapatkan hak normatif bilamana kreditor separatis telah
dibayar piutangnya oleh debitor, keadaan seperti ini merupakan suatu keadaan yang akan
rawan/merugikan bagi pekerja/buruh. Karena bilamana harta pailit habis dibagi kepada kreditor
separatis tentunya pekerja/buruh tidak akan mendapatkan hak normatif yang harus didapat
dimana telah dipaparkan dalam Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang berlaku di
Indonesia, Kemudia juga menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) yang membagi
golongan kreditur menjadi :
1. Kreditur yang memiliki kedudukan di atas kreditur pemegang hak kebendaan (seperti utang
pajak) dimana dasar hukumnya diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUTCP) jo Pasal
1137 KUHPer
2. Kreditur pemegang hak kebendaan/ jaminan kebendaan yang disebut dengan kreditur
separatis (dasar hukum Pasal 1134 ayat (2) KUHPer) , dimana dalam peraturan tersebut
meliputi hak kebendaan/jaminan kebendaan :
a) Gadai;
b) Fidusia;
c) Hak Tanggungan;
d) Hipotik.
3. Utang harta pailit, yang termasuk utang harta pailit antara lain sebagai berikut:
a) Biaya kepailitan dan fee kurator;
b) Upah buruh, baik untuk waktu sebelum debipur mengalami pailit maupun sesudah pailit
(Pasal 39 ayat (2) UU KPKPU); dan
c) Sewa gedung sesudah debitur pailit dan seterusnta (Pasal 38 ayat (4) UU KPKPU)
4. Kreditur preferen khusus, sebagaimana terdapat diatur dalam Pasal 1139 KUHPer, dan
kreditur preferen umum, sebagaimana terdapat diatur dalam Pasal 1149 KUHPer; dan
5. Kreditur konkuren, kreditur golongan terebut adalah semua kreditur yang tidak termasuk
kreditur separatis dan tidak termasuk kreditur preferan khusus maupun umum (Pasal 11131 jo
Pasal 1132 KUHPer)5
Dari penjelasan diatas ada beberapa golongan kurator dimana ada prioritas utama yang
didahulukan, ketika melihat beberapa urutan tersebut diatas dari penamaparan diatas dimana UU
KPKUP posisi/kedudukan kreditur pekerja yakni berada dalam urutan keempat dimana posisi
pekerja/buruh dibahwa urutan fee kurator. Dan didalam kedudukan yang pertama adalah uatang
pajak, dimana dasar hukum mengenai mengapa utang pajak menjadi lebih utama/prioritas ada
dalam Pasal 21 UU KUTCP jo Pasa 1137 KHUHPer. Diaman utang pajak mempunyai kedudukan
lebih tinggi karena mempunyai hak istimewa yang dimana telah diatur dalam Pasal 21 UU KUTCP,
dimana Pasal 21 ayat (1) UU KUTCP menenyatakan “Negara mempunyai hak mendahulu untuk
utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak”, kemudian di dalam Passal 1137 KUHPer
menyatakan “Hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan
oleh penguasa, tata tertib pelaksanaannya, dan lama jangka waktunya, diatur dalam berbagai
undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan
atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian mendapat hak untuk memungut bea-
bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan”. Utang
pajak mempunyai hak istimewa yag dimana hutang tersebut harus dibayar terlebih duluh, hal ini
didukung dengan adanya aturan khusus dari Undang-Undang yang berlaku khusus menurut Pasal
1134 KUHPer yang menyatakan “Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-
undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang
lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak
istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”.
Tentunya hal ini seharusnya berlaku terhadap kedudukan pekerja sebagai kreditur yang harus
dibayar terlebih dahulu, dimana telah di tentukan dala peraturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4) yang menyatakan “Dalam hal perusahaan dinyatakan
pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-
hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”, yang dimana
harusnya pembayaran kepada hak-hak pekerja/buruh harusnya dibayar lebih duluh maka dalam hal
ini sesungguhnya UUK meberikan posisi pembayaran upah karyawan untuk didahulukan
pembayarannya dari kreditur lainnya dengan adanya pasal 95 ayat (4) UUK. Dimana ketentuan Pasal
tersebut menimbulkan tidak pastian hukum dalam penerapannya, karena adanya multitafsir didalam
peraturan yang berlaku, dengan adanya frasa yang multitafsir tersebut mempuat sembilan mantan
5Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 121-122.
karyawan PT Pertamina melakukan uji materiil terhadap Pasal 95 ayat (4) UUK kepada Mahkamah
Konstitusi (MK), didalam pengujian permohonan tersebut mereka mengajukan surat permohonan
tanggal 17 juli 2013. Kepanitaraan Mahkamah Konstitusi meregistrasi permohonan pada 27 Juni 2013
dengan Nomor 67/PUU-XI/2013.
Kasus Kesembilan mantan karyawan PT Pertamina memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK)
agar menguji konstitusionalitas frasa “yang didahulukan pembayarannya” dalam Pasal 95 ayat (4)
UUK tentang pelunasan utang dalam hal perusahaan dinyatakan pailit yang tidak dapat
mendahulukan pembayaran upah pekerja/buruh, melaikan mendahulukan pembayaran utang
kepada negara dan biaya kurator, kreditor separatis adalah kreditur pemegang hak istimewa yang
oleh Undang-Undang diberikan keduduka, dalam hal ini lebih didahulukan dari pada para kreditur
konkuren maupun kreditur saparatis6. Para Pemohon mempunyai alasan pengujian permohonan uji
materiil terhadap Pasal 95 ayat (4) UUK bertententang dengan:
a. Pasal 95 ayat (4) UUK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) karena berpotensi
menimbulkan tidak pastian hukum.
b. Pasal 95 ayat (4) UUK bertentangan dengan P 28D (2) UUD NRI 1945 karena berpotensi
menimbulkan pelanggaran hak pekerja untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak secara
hukum.
para Pemohon mencoba menguraikan alasan-alasan kenapa pekerja yang menjadi prioritas
sebagai berikut:
1. Bahwa pekerja merupakan kelompok yang menggantungkan kehidupannya dan keluarganya
kepada perusahaan tempat dia bekerja dan hampir semua pekerja yang dikenakan pemutusan
hubungan kerja tidak dapat lagi bekerja di perusahaan lain yang di sebabkan oleh beberapa hal
seperti masalah umur dan lapangan kerja yang terbatas, yang artinya hak-hak pekerja seperti
pesangon merupakan modal utama untuk melanjutkan hidup untuk kehidupan pekerja dan
keluarganya;
2. Bahwa bila dibandingkan dengan pemegang polis asuransi, maka ketergantungan pemegang
polis asuransi terhadap dana asuransi tidaklah se-vital pesangon atau hak-hak buruh bagi buruh
dikarenakan asuransi di peruntukkan untuk meng-cover risiko yang mungkin terjadi bagi
pemegang asuransi sementara pesangon di pergunakan untuk penghidupan pekerja
3. Bila di bandingkan dengan pemegang hak tanggungan dan pemegang fidusia, kedudukan dari
pekerja jauh lebih lemah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pemegang hak
tanggungan yang tentunya mempunyai dana dan kemampuan lebih untuk hidup dibandingkan
dengan pekerja.
4. Bila dibandingkan dengan piutang-piutang negara seperti pajak, tentunya posisi pekerja sangat
lebih lemah dan lebih penting untuk didahululan bagi pekerja, mengingat pajak itu pun secara
hukum akan tetap dikembalikan untuk kepentingan masyarakat yang tentunya termasuk pekerja
di dalamnya. Sangat tidak logis piutang Negara diutamakan di banding pekerja karena
6Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Salemba, Jakarta, 2011, h. 69.
bagiamanapun Negara bertanggung jawab secara konstitusional terhadap jaminan hidup yang
layak bagi warga negara termasuk pekerja.
Kemudian (poin 3.16 dimana putusan mahkamah konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013) dalam hal
sebelum menimbang Mahkamah Konstitusiperlu mengemukakan terlebih dahulu hal-hal sebagai
berikut:
Bahwa berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tujuan negara ini dibentuk, antara lain, adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum [Pembukaan UUD 1945 alinea keempat]. Pasal-pasal UUD 1945 mengatur lebih
lanjut tujuan tersebut, yaitu menentukan secara konstitusional hak setiap orang untuk hidup serta hak
mempertahankan hidup dan kehidupannya [Pasal 28A] dan hak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [Pasal 28D ayat (2)] serta
menentukan secara konstitusional bahwa hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun,
namun hak asasi tersebut dapat dibatasi dan tidak boleh bertentangan dengan hak asasi orang lain
dengan nilai-nilai moral, agama, serta diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan,
yang oleh karenanya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama Pemerintah dan secara konstitusional menentukan bahwa untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan [Pasal 28I ayat (1), ayat (4), dan ayat (5)];
Bahwa politik hukum pembentukan UU 13/2003 adalah sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang secara khusus terkait
ketenagakerjaan adalah untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta
mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Oleh
karena itu, pengaturan ketenagakerjaan dalam Undang-Undang a quo harus memenuhi hakhak dan
perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang sama harus
dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan usaha. Selain itu, pembinaan
hubungan industrial harus diarahkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan [vide Penjelasan UU 13/2003];
Bahwa pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon tersebut memiliki kesamaan
substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal
138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008,
tanggal 23 Oktober 2008. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengutip beberapa pertimbangan dalam
putusan tersebut, pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa pernyataan pailit oleh hakim adalah merupakan satu peletakan sita umum (algemene
beslag) terhadap seluruh harta kekayaan seorang debitor. Tujuannya adalah supaya dapat
membayar semua tagihan kreditor secara adil, merata, dan seimbang. Pembayaran tagihan
kreditor dilakukan berdasarkan prinsip paripassu prorate parte, karena memang kedudukan
kreditor pada dasarnya adalah sama, akan tetapi dalam proses pelaksanaannya diatur
berdasarkan peringkat atau prioritas piutang yang harus dibayar terlebih dahulu yang diatur
dalam Undang-Undang terkait dengan jaminan terhadap pinjaman yang diberikan kreditor
terhadap seorang debitor. Kreditor yang demikian sejak awal diperjanjikan untuk diselesaikan
tagihannya lebih dahulu dan secara terpisah (separate) dengan hak untuk melakukan eksekusi
terhadap harta yang dijaminkan. kreditor yang dijamin dengan hipotek, gadai, fidusia, dan hak
tanggungan lainnya. Dalam urutan berikutnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan,
adalah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kemudian
upah buruh. Padahal, penjelasan pasal tersebut menyatakan, “Yang dimaksud didahulukan
pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang
lainnya”;
2. Bahwa pada bagian lain dari putusan tersebut Mahkamah juga mempertimbangkan, tidak dapat
disangkal bahwa kedudukan pekerja/buruh dalam perusahaan merupakan salah satu unsur yang
sangat vital dan mendasar yang menggerakkan proses usaha. Unsur lain yang memungkinkan
usaha bergerak adalah modal, yang juga merupakan unsur yang esensial. Masing-masing unsur
tersebut diikat dengan perjanjian, yang karena isinya menjadikan unsur-unsur tersebut tidak
memiliki kedudukan yang sama dilihat dari ukuran kepastian, jaminan, dan masa depan jika
timbul risiko yang berada di luar kehendak semua pihak. Pengakuan tetap harus
mempertimbangkan kedudukan yang berbeda dan risiko dalam kehidupan ekonomi berbeda
yang tidak selalu dapat diperhitungkan. Oleh karena itu, dalam membuat kebijakan hukum, hak-
hak pekerja/buruh tidak boleh termarginalisasi dalam kepailitan, namun tidak boleh
mengganggu kepentingan kreditor (separatis) yang telah diatur dalam ketentuan hukum jaminan
baik berupa gadai, hipotek, fidusia, maupun hak tanggungan lainnya.
Kemudian (poin 3.18 dimana putusan mahkamah konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013)
Menimbang bahwa mengenai yang menjadi dasar hukum bagi adanya hak tagih masing-masing
kreditor ternyata sama, kecuali bagi hak tagih negara. Dasar hukum bagi kreditor separatis dan bagi
pekerja/buruh adalah sama, yaitu perjanjian yang dilakukan dengan debitor. Mengenai dasar hukum
kewajiban kenegaraan adalah peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai dasar hukum bagi
adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-
VI/2008 tersebut di atas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi
perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor
separatis dan pekerja/buruh dasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat
dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara
keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan;
Bahwa dalam aspek subjek hukum, perjanjian gadai, hipotik, dan fidusia serta perjanjian
tanggungan lainnya, merupakan perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum, yaitu pengusaha dan
pemodal, yang secara sosial ekonomis para pihak tersebut dapat dikonstruksikan sama. Terlebih lagi
pemodal, yang boleh jadi adalah pengusaha juga. Sebaliknya, perjanjian kerja merupakan perjanjian
yang dilakukan oleh subjek hukum yang berbeda, yaitu pengusaha dan pekerja/buruh. Pengusaha
dan pekerja/buruh, secara sosial ekonomis tidaklah sejajar, melainkan pihak yang satu, sebagai
pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi, bila dibandingkan pekerja/buruh, karena pekerja/buruh
secara sosial ekonomis jelas lebih lemah dan lebih rendah daripada pengusaha, meskipun antara
pengusaha dan pekerja/buruh saling memerlukan. Perusahaan tidak akan berproduksi tanpa
pekerja/buruh dan pekerja/buruh tidak dapat bekerja tanpa ada pengusaha. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, oleh karena pekerja/ buruh secara sosial ekonomis
berkedudukan lebih lemah dan lebih rendah dibandingkan pengusaha dan hak-hak pekerja/buruh
telah dijamin oleh UUD 1945 maka Undang-Undang harus memberikan jaminan perlindungan untuk
dipenuhinya hak-hak para pekerja/buruh tersebut;
Bahwa dalam aspek objek, perjanjian gadai, hipotik, fidusia, dan perjanjian tanggungan
lainnya yang menjadi objeknya adalah properti. Sementara itu, perjanjian kerja yang menjadi
objeknya adalah tenaga atau keterampilan (jasa) dengan imbalan jasa dalam kerangka untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup bagi diri dan keluarga pekerja/buruh, sehingga antara keduanya
dalam aspek ini memiliki perbedaan yang mendasar, yaitu properti dan manusia. Pertanyaannya
adalah bagaimana perbedaan tersebut terkait dengan apa yang sejatinya dilindungi oleh hukum.
Pembentukan hukum jelas dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia. Dalam kasus ini
manakah yang seharusnya menjadi prioritas, kepentingan manusia terhadap properti atau
kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Apalagi berdasarkan sistem pembayaran
upah pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan
pekerjaan, hal ini merupakan argumentasi tersendiri karena upah pekerja/buruh sesungguhnya
adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering
keringatnya. Dalam perspektif tujuan negara dan ketentuan mengenai hak konstitusional
sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.16], menurut Mahkamah kepentingan manusia terhadap
diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu sebelum
kreditor separatis;
Bahwa dalam aspek risiko, bagi pengusaha risiko merupakan bagian dari hal yang wajar
dalam pengelolaan usahanya, selain keuntungan dan/atau kerugian. Oleh karena itu, resiko
merupakan hal yang menjadi ruang lingkup pertimbangannya ketika melakukan usaha, bukan ruang
lingkup pertimbangan pekerja/buruh. Sementara itu, bagi pekerja/buruh upah merupakan sarana
untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sehingga menjadi tidak tepat manakala
upah pekerja/buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah dengan argumentasi yang
dikaitkan dengan risiko yang bukan ruang lingkup pertimbangannya. Adalah tidak adil
mempertanggungkan sesuatu terhadap sesuatu yang ia tidak turut serta dalam usaha. Selain itu,
hidup dan mempertahankan kehidupan, berdasarkan Pasal 28A UUD 1945 adalah hak konstitusional
dan berdasarkan Pasal 28I ayat (1) adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,
yang oleh karenanya berdasarkan ayat (4) dan ayat (5) pasal tersebut, negara dalam hal ini
Pemerintah, harus melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya dalam peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa antara upah dan hak pekerja lainnya tidaklah sama
dengan hak-hal lainnya maka wajar bila dibayar setalah kreditor separatis. Kemudia didalam amar
putusannya memutus sebagai berikut:
AMAR PUTUSAN
MENGADILI
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang
didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak
pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang,
dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;
1.2 Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
“pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk
atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk
Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan
termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali
tagihan dari kreditur separatis”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana
mestinya;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Bahwa dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Reg 67/PUU-XI/2013 yang terkait
dengan pentingnya kedudukan pekerja, dapat disimpulkan bahwa upah pekerja yang terhutang
didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak negara,
kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk Pemerintah. Sehingga dalam posisi prioritas pekerja
sebagai kreditor dalam pailit menepati tinggat tertinggi dari kreditor lainnya. Akan tetapi ada
perbedaan dalam posisi/kedudukan pekerja/buruh sebagai kreditor dalama pailit dimana dalam hal
pembayaran /pemenuhan hak pekerja lainnya, yang dimana kedudukannya dibawah kreditur
separatis dan diatas tagihan hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dinaungi oleh
Pemerintah sehingga dalam pemenuhan hak normatif pekerja selain upah dll harus menunggu
barisan kreditor separatis telah diselesaikan.
Hal-hal tersebut telah dijelaskan mengenai kreditor preferen yakni kreditor yang mempunyai
hak istimewa atau hak yang diberikan oleh undang-undang. Dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 maka dimana kreditor preferen tersebut telah
ditentukan/diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yang dimana hal tersebut sebenernya telah
menggangu kedudukan kreditor preferen tersebut selain upah pekerja. Akan tetapi dimana putusan
Mahkamah Konstitusi ialah bersifat final dan mengikat, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
67/PUU-XI/2013 yang dikaitkan dengan urutan kreditor pailit menurut Jono dalam bukunya Hukum
Kepailitan (121-122: 2010), maka urutan kreditor dalam pailit tersebut dapat digambarkan sebagai
beriku.
Akan tetapi didalam urutan kedudukan hukum hak normatif pekerja selain upah masih
berada dibawah pemengang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agungan atas
kebendaan lainnya . berdasarkan Pasal 55 ayat 1 UU KPKPU yang menyatakan bahwa setiap kreditor
yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dimana dapat
mengksekusi haknya bila mana perusahaan tersebut mengalami kepailitan, Separatis dapat diartikan
terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki oleh debitor
yang dipailitkan oleh pengadilan niaga, sehingga kreditur speratis dapat mengeksekusi sendiri
benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki oleh dibetor yang dipailitkan dan dilakukan
hanya untuk melunasi utang kepada kreditor speratis dan hal tersebut dapat merugikan
pekerja/buruh dimana pekerja/buruh tidak mendapatkan hak normatifnya yang selain upah.
Harusnya perusahaan yang mengalami pailit harus mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut karena Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum mengikat dan final.
Sebagaimana berdasarkan dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Mahkama Konstitusi:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan
undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita
Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Secara tioritis, final bermakna putusan MK berkukatan hukum tetap setelah diucapkan didalam
sidang yang terbuka untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap
putusan itu, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Aturan-aturan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap
seharusnya perlu disadari atau menjadi dasar bagi parah yang berkaitan dengan kasus diatas,
khususnya bagi kurator dalam melakukan pemberesan harta pailit, agar memberikan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan bagi semua pihak yang bersangkutan. Pengurusan harta pailit harusnya
benar-benar mengetahui apa yang harus dilakukan dengan baik dalam pelaksanaannya sehingga hak
normatif pekerja lainnya selain upah dapat dipenuhi .
Dimana Undang-Undang telah tegas mengatur kedudukan masingmasing kreditur akan tetapi
potensi akan adanya multi tafsir untuk memenuhi hak tersebut dapat pula terjadi mengingat adanya
kemungkinan jumlah kreditur yang banyak, potensi akan tidak terpenuhnya hak kreditur dapat
terjadi mengingat dari jumlah harta boedel pailit tidak mencukupi untuk memenuhi pembayaran
utang debitur kepada kreditur. Undang-undang kepailitan yang dibuat berdasarkan beberapa asas
yang ada diatas menjadi tujuan serta landasan dari keseluruhan pasal yang ada pada peraturan
perundang-undangan tersebut yang menjelaskan arah dari fungsi dan manfaat dari undang-undang
tersebut.
Menurut Muhammad Hatta ketakutan pekerja/buruh untuk mendapatkan hak-haknya
bukanlah permasalahan kedudukan mereka sebagai kreditur, akan tetapi. Ketakutan yang paling
terbesar yaitu apabila kemungkinan jika harta boedel pailit ternyata tidak mencukupi untuk
dibagikan kepada para kreditur serta rentang waktu yang harus pekerja/buruh tunggu hingga
keseluruhan dari hak-hak mereka terpenuhi. Ketakutan tersebut berimbas kepada desakan para
pekerja/buruh untuk memperoleh hak mereka secepatnya. Walupun hak-hak pekerja pada
perusahaan pailit seharusnya tidak perlu menjadi sebuah masalah yang besar jika penerapaan
Undang-Undang ketenagakerjaan undang-undang No. 13 tahun 2003 pasal 95 ayat 4 di
implementasikan kedalam perkara kepailitan dalam menetapkan pekerja/buruh sebagai salah satu
kreditur.
Pekerja /buruh sebagai salah satu kreditor yang di istimewakan/preferen pemenuhan haknya di
landasi oleh prinsip utama penyelesaian utang prinsip penyelesaian utang tersebut berlaku untuk
para kreditur secara umum. Terdapat tiga prinsip dalam penyelesaian utang debitor kepada kreditur.
yaitu:
a. Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa para kreditur
mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur.7 Prinsip paritas
creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitur baik berupa barang bergerak
maupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-
barang dikemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.8
Filosofi dari prinsip paritas kreditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidak adilan jika
debitur memiliki harta benda sementara utang debitur terhadap para krediturnya tidak
terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitur demi hukum
menjadi jaminan terhadap utangutangnya meskipun harta debitur tersebut tidak berkaitan
langsung dengan utang-utang tersebut. Dengan demikian, prinsip paritas creditorium berangkat
dari fenomena ketidakadilan jika debitur masih memiliki harta sementara utang debitur terhadap
para kreditur tidak terbayarkan. Makna lain dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang
menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitur hanya terbatas pada harta kekayaannya
saja bukan aspek lainnya, seperti status pribadi dan hak-hak lainnya diluar harta kekayaan sama
sekali tidak terpengaruh terhadap utang piutang debitur tersebut.
Dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk
membayar lunas semua kreditor, maka kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang
halal maupun tidak halal, untuk mendapatkan pelunasaan tagihannya terlebih dahulu, kreditor
yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis.
7Mahadi, Flasafah Hukum: Suatu Pengantar, Bandung, 2003, h. 135.
8Kartini Mulyadi, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta, 2000, h. 168.
Hal ini sangat tidak adil dan merugikan, berdasarkan alasan tersebut timbullah lembaga
kepailitan yang mengatur tat cara yang adil mengenai pembyaran tagihan-tagihan para kreditor.9
b. Prinsip paripassu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama
untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antar mereka, kecuali jika
antara kreditur itu ada menurut undang-undang harus di dahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.10 Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitur untuk melunasi
utang-utangnya terhadap kreditur secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan
proporsinya dan bukan secara sama rata. Jika prinsip paritas creditorium bertujuan untuk
memberikan keadilan kepada semua kreditor tanpa membedakan kondisinya terhadap harta
kekayaan debitor kedantipun harta kekyaan debitor tersebut tidak berkaitan langsung dengan
transaksinya yang dilakukan, maka prinsip paripassu parte memberikan keadilan kepada kreditor
yang memiliki piutang yang lebih besar, maka akan mendaptkan porsi pembayaran lebih kecil
dari padanya. Seandainya kreditor disamaratakan kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya
piutang, maka akan menimbulkan seuatu tidak pastian.11
c. Prinsip structured creditors Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan prinsip
paripassu prorate parte dalam konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika diantara
kreditur tidak sama kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama
kedudukannya karena ada sebagian kreditur yan memegang jaminan kebendaan dan atau
kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-undang.12
Apabila kreditor yang memegang jaminan kebendaan disamakan dengan kreditor yang tidak
memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah ketidajadilan. Bukankah maksud adanya
lembaga jaminan untuk memeberikan perlindungan hukum terhadap pemgang jaminan tersebut, jika
pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan
dengan kreditor yang tidak memiliki jaminan kebedaan, maka adanya lembaga hukum jaminan
menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan
keistimewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan piutanngnya jika kedudukannya
disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa
undang-undanf melakukan pengaturan terhadapt kreditor-kreditor tertentu dapat memiliki
kedudukan istimewa dan karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran terhadap piutang-
piutangnya. Ketidakadilan seperti ini diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured creditors
(ada yag menyebut dengan nama prinsip structured prorata).
Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan
mengelompokan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan
kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Kreditor separatis;
2. Kreditor preferen;
3. Kreditor konkuren.
9Kartini Mulyadi, Op.Cit., h. 1-2.
10Kartini Mulyadi, Op.Cit., h. 300.
11M.Hadi Shubhan, Op.,Cit, h. 30.
12M.Hadi Shubhan, Op.,Cit, h. 31.
Pembagian kreditor menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditor
pada rezim hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditor hanya
dibedakan dari kreditor preferen dengan kreditor konkuren. Kreditor preferen dalam hukum perdata
umum dapat mencaku kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditor yang menurut
undang-undang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan yang
dimaksud dengan kreditor preferen hsnys kreditor yang menurut undang-undang harus didahulukan
pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privileg, pemegang hak retensi, dan lain sebagainnya.
Sedangkan kreditor yang memiliki jaminan kebendaan, dalam hukum kepailitan, diklasifikasikan
dengan sebutan kreditor separatis.13
Menurut Pudjo Hunggul mengenai pendistibusian hak pekerja/buruh sebagai kreditur istimewa
sepenuhnya ada pada kurator, dan jika kurator dalam memenuhi hak para kreditur mengalami
masalah terhadap adanya harta boedel pailit yang seharusnnya pemberesannya berada di bawah
tanggungannya dapat menempuh upaya hukum Actio pauliana.
Action pauliana adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditor
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak
diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh dibitor
perbuatan tersebut merugikan kreditor. Hak tersebut merupakan perlindungan yang diberikan oleh
hukum kepada kreditor atas perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor. Hak tersebut diatur
oleh KUHPerdata dalam Pasal 1341.
Menurut Pasal 1341 KUHPerdata :
Meskipun demikian, setiap kreditor dapat mengajukan permohonan pembatalan atas segala
perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor dengan nama apa pun, yang
merugikan para kreditor, sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbustsn itu dilakukan,
baik debitor maupun orang dengan atau untuk siapa debitor itu melakukan perbuatan itu,
mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan kreditor.
Selanjutnya Kartini Muljadi menyatakan, tidak perlu diajukan gugatan untuk menyatakan
suatu tindakan paulinan batal, tetapi jukup kurator menyatakan (inroepen) bahwa tindakan itu batal,
asalkan kurator dapat membuktikan bahwa pada saat debitor melakukan tindakan hukum tersebut,
kurator dan pihak degan siapa debitor melakukan tindakan tersebut mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatannya itu akan merugikan kreditor (Kartini Muljadi, dalam Lontoh
dkk.,2001: 301-303)
Action Paulina yang diatur dalam Pasal 1341 KUHPerdata memperoleh letentuan
pelaksanaannya dalam Pasal 41-50 UU KPKPU, sebagaimana telah dikemukakan Pasal 1341
KUHPedata menentukan setiap kreditor dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang
tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan nama apa pun yang merugikan para kreditor sepanjang
dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitir maupun pihak dengan atau
untuk siapa debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditor.
13M. Hadi Shubhan, Op.,Cit, h. 33.
Menurut Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU, Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan
dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang
merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 41 ayat (2), Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,
Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Menurut
penjelasan Pasal 41 ayat (2) UU KPKPU, yang dimaksud degan “pihak dengan siapa perbuatan itu
dilakukan” dalam ketentuan ini, termasuk pihak untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut
diadakan.
Menurut 41 ayat (3) UU KPKPU, Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau
karena undang-undang. Contohnya dalam penjelasan Pasal 41 ayat (3) UU KPKPU bahwa dimana
perbuatan yang wajib dilakukan karena undang-undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak.
Menurut Fred B.G. Tumbuan, dimana Pasal 41 UU No.4 Tahun 1998 (yang dimana isi Pasal
tersebut sama dengan isi Pasal 41 UU KPKPU) ada lima persyaratan yang harus dipenuhi (agar actio
paulina itu berlaku), persyaratan tersebut ialah :
a. Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;
b. Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan kreditor;
c. Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditor;
d. Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan kreditor; dan
e. Pasa saat melakukan perbuatan hukum itu dilakukan pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan
kerugian bagi kreditor.
Dalam hal demikianpun, Actio pauliana hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan berdasarkan
putusan hakim pengadilan. Dengan demikian berarti setiap pembatalan perjanjian, apapun juga
alasanya, pihak manapun juga yang mengajukannya tetap menjadi wewenang pengadilan. Dengan
dijatuhkannya putusan yang membatalkan perjanjian atau tindakan yang merugikan kepentingan
kreditur (khususnya harta kekayaan debitur), maka seluruh orang dan kebendaannya dikembalikan
seperti semula.14
Berdasarkan penjelasan Pudjo Hunggul terhadap terjadinya penggelapan oleh debitur terhadap
harta boedel pailit yang seharusnya berada di bawah kepengurusan kurator. Maka hal tersebut telah
bertentangan dengan isi Pasal 98 undang-undang kepailitan yaitu: “Sejak mulai pengangkatanya,
kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua
surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat berharga lain nya dengan memberikan tanda
terima.”
14Kartini muljadi, pedoman menangani perkara kepailitan, h. 44.
Dimana upaya untuk mengaburkan/menjual harta pailit tersebut oleh debitur sebelum adanya
putusan pailit oleh pengadilan niaga kepada debitur, sehingga walaupun kurator dengan wewenang
yang diberikan oleh undang-undang kepadanya akan tetapi dalam kenyataannya kurator berhadapan
dengan debitur yang dimana debitur bersifat tidak koperatif dikarenakan tindakan debitur yang
dengan sengaja menjual harta yang seharusnya menjadi harta boedel pailit nantinya ketika terjadi
putusan pailit dimana debitur mengetahui potensi atas kepailitan yang akan terjadi pada
perusahaannya.
Pada kemungkinan yang kedua dimana dalam tahap pemberesan harta pailit dimana harta pailit
tidak dapat mencukupi untuk melunasi seluruh utang-utang yang ditinggalkan pada para
kreditornya secara tuntas. Maka dalam kondisi tersebut dapat berakibat hukum dibubarkannya
perseroan terbatas tersebut, sehingga hukum akan beranggapan sisa utang yang belum terbayar
menjadi lunas/tidakada dengan tiadakan eksistensi kebadan hukumannya dari perseroan terbatas
tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan kepailitan terhadap subjek hukum orang yang dimana
bukan badan hukum, maka dimana jika harta kekayaan orang perorangan (natuurlijk person) yang
pailit tidak dapat mencukupi untuk membayar utang yang ditinggalkan saat perusahaan mengalami
kepailitan maka tidak boleh orang pailit yang bersangkutan harus dibubarkan/dianggap tidak ada,
sedangkan sisa utang yang belum terbayar akan tetap mengikuti debitor pailit tersebut meninggal
dunia, dimana kewajiban pembayaran sisa utang akan beralih kepada ahli warisnya dan bahkan
dalam bagian kesembilan UU KPKPU 2004 mengatur khusus mengenai Kepailitan Harta
Peninggalan.
Kecmudian rehabilitasi kepailitan dimana harus dibedakan dengan pencabutan kepailitan. Dalam
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat pranata hukum
pencabutan kepailitan terhadap perseroan terbatas. Dimana pencabutan kepailitan juga merupakan
salah satu pranata hukum pengakhiran kepailitan. Dalam Pasal 18 Undang-Undang KPKPU
dikatakan bahwa dalam hal harta pailit yang tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, maka
pengadilan atas usul hakim pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada,
serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar debitor, dapat memutuskan pencabutan
putusan pernyataan pailit. Ketentuan pencabutan kepailitan ini tidak bisa diberlakukan kepada
debitor pailit yang bersifat badan hukum. Sehingga dimana sangat disesalkan dimana undang-
undang tidak mencamtumkan ketentuan tersebut dalam Undang-Undang KPKPU. Dimana peraturan
tentang pembedaan pencabutan kepailitan antara subjek hukum badan hukum bisa menimbulkan
salah penafsiran dan bahkan bisa disalahgunakan di dalam praktiknya bila tidak diatur secara tegas,
yang pada akhirnya nanti semakin membuat jauh pergeseran makna kepailitan yang sebenarnya.
Dimana argumentasi yuridis tidak dapatnya diberlakukan ketentuan pencabutan kepailitan dalam
Undang-Undang KPKUP terhadap debitor paillit perseroan terbatas adalah bahwa apabila debitor
pailitnya adalah badan hukum dalam hal ini perseroan terbatas, maka jika harta kekayaan perseroan
tidak mencukupi untuk melunasi utang-utang para kreditornya jalan satu-satunya adalah
membubarkan perseroan tersebut dan tidak dapat dicabut kepailitan perseroan.
Di samping akibat pencabutan kepailitan terhadap perseroan terbatas yang pailit dimana tidak
diatur dalam Undang-Undang KPKPU, dan didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas juga tidak
diatur mengenai hal ini. Pasal 142 UUPT menyatakan :
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, akan dating dimasukannya ketentuan hal ini, yakni bahwa perseroan terbatas
bubar karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang disebabkan boedel
pailit dari perseroan terbatas yang pailit tidak cukup untuk melunasi utang-utang perseroan terbatas
beserta biaya-biaya yang timbul karena kepailitan perseroan.15
Menurut penulis berdasarkan penjelasan Hadi Subhan dimana yang menjelaskan bahwa upah
pekerja/buruh dianggap sebagai biaya kepailitan yang harus dibayar sebelum di distribuskan kepada
kreditur, maka terhadap harta perusahaan yang tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran
terhadap para kreditur tidak berimbas besar kepada para pekerja/buruh sebagai salah satu kreditur
hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 18 UU
1. Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usul
Hakim Pengawas dan setelah mendengar panitia kreditor sementara jika ada, serta setelah
memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan
pernyataan pailit.
2. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3. Majelis hakim yang memerintahkan pencabutan pailit menetapkan jumlah biaya kepailitan dan
imbalan jasa Kurator.
4. Jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibebankan kepada Debitor.
5. Biaya dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus didahulukan atas semua utang
yang tidak dijamin dengan agunan.
6. Terhadap penetapan majelis hakim mengenai biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dapat diajukan upaya hukum.
7. Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan
Kurator yang diketahui Hakim Pengawas.
Namun menurut penulis dari keseluruhan Pasal 18 UU KPKPU hanya menyebutkan biaya
kepailitan dan imbalan jasa kurator. Bukanlah secara jelas mengatakan upah pekerja/buruh
walaupun di telah klasifikasikan dianggap upah pekerja/buruh adalah biaya kepaiiltan, seharusnya
15M. Hadi Shubhan, Op.,Cit., h. 222.
apabila dalam undang-undang telah menyatakan bahwa menggunakan kata jasa terhadap peran dan
fungsi kurator, maka pekerja/buruh juga merupakan orang yang menerima berhak menerima upah
atas jasa dan tenaga yang mereka keluarkan selama mengabdi pada perusahaan tempat mereka
bekerja sebelum perusahaan tersebut mengalami kepailitan.
Akan tetapi ketika pekerja/buruh sebagai kreditur tidak memperoleh haknya dikarenakan oleh
kurator maka pekerja/buruh dapat melakukan tuntutan sebagaimana di atur dalam undang
kepailitan pasal 72 UU Kepailitan yang menyatakan sebagai berikut “Kurator bertanggung jawab
terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan
yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”.16
Merupakan tugas dan tanggung jawab dari kurator yang di tunjuk dan ditetapkan oleh
pengadilan, lebih lanjut mengenai kreditur ketika terdapat benturan dengan kreditur lainnya dapat
mengajukan upaya hukum berupa gugatan lainnya kepada hakim pemutus.
C. PENUTUP
Keduduka hukum dimana pekerja sebagai kreditor pada perusahaan pailit berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/20013 yakni bahwa upah pekerja yang belum diberikan
maka harus didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan
hak negara, kantor lelang dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, sehingga dalam hal ini
posisi/kedudukan yang diprioritaskan adalah pekerja/buruh dimana perusahaan yang mengalami
pailit dari pelunasan terhadap kreditor lainnya. Sedangkan hak-hak pekerja selain upah berada
dibawah/didahului oleh kreditor separatis dan diatas semua tagihan termasuk tagihan hak negara,
kantor lelang, dan badan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah, Hak-hak normatif pekerja pada
perusahaan yang mengalami pailit diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 156.
Dari posisi dimana kedudukan pekerja pada perusahaan yang mengalami pailit, dimana pekerja
diberikan hak istimewa sebagai kreditor istimewa yang dimana pemenuhan haknya merupakan
prioritas pertama apabila didasarkan pada prinsip paripassu pro rata parte yang berarti “bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan
secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-
undang harus di dahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.”(kartini muljadi (2001),‟‟
Actio pauliana dan pokok-pokok tentang pengadilan niaga” ) pengertian kata di dahulukan
menerima pembayarannya menurut undang-undang merupakan kata kunci bagi pemenuhan hak
pekerja, sebagai relevansi dari UUK pasal 95 ayat 4. Jika terdapat hal hak pekerja tidak tertagih
disebabkan menyusutnya harta pailit/ boedel pailit ternyata habis disebabkan oleh perbuatan
debitur, maka pekerja melalui kurator dapat mengajukan gugatan lain kepada hakim pemutus dan
Actio pauliana.
DAFTAR BACAAN 1Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Jakarta:
2007
16Jono, Op.,Cit., h.151.
1Adrian Sutedi, hukum perburuan, Bogor:2009
1Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Jakarta: 2011
1Asri Wijayati, hukum ketenagakerjaan pasca reformasi, Jakarta: 2009
1Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: 2012
1Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: 2006
1Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: 2010
1Kartini muljadi, Pedoman Mengenai Perkara Pailit
1Kartini Mulyani, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Jakarta:2000
1M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan prinsip Norma dan Praktek di Peradilan, Jakarta: 2008
1Mahadi, Flasafah Hukum:Suatu Pemgantar, Bandung:2003
1Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Jakarta: 2005
1Peter Mahmud Marzuki, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: 2005
1R.Joni Bambang, hukum ketenagakerja, Bandung: 2013
1Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: 2017
1Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta
1Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailutan, Jakarta:2010
1Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, pengantar hukum kepailitan di Indonesia, Jakarta:1994