Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
216
PERAN RESILIENSI TERHADAP STRES AKADEMIK SISWA SMA
Esti Widya Rahayu Miftah Ellyan Anggi Djabbar
Magister Psikologi Sains Universitas Muhammadiyah Malang
A B S T R A K
Siswa yang dihadapkan pada berbagai macam tekanan, harus menunjukkan akademik yang baik di sekolah. Stresor pada remaja di sekolah muncul ketika mereka menghadapi ujian, tugas, interaksi teman
sebaya, hubungan guru dengan murid, dan manajemen waktu. Mencapai keberhasilan akademik dapat
diprediksi melalui resiliensi pada siswa. Tingkat resiliensi yang tinggi berkaitan dengan harga diri (self-
esteem) sehingga individu mampu mengatasi stres dan mencapai nilai yang lebih tinggi. Tingkat dan
perwujudan dari resiliensi tersebut berkaitan dengan keefektifan mereka dalam menghadapi stres akademik. Metode pemilihan subjek pada penelitian ini menggunakan purposive sampling, melalui 185
siswa dengan kriteria kelas X sebanyak 58 siswa, kelas XI sebanyak 66 siswa, kelas XII sebanyak 61
siswa. Berdasarkan analisis, dapat diketahui bahwa resiliensi dan stres akademik berhubungan negatif.
Semakin tinggi resiliensi siswa, maka semakin rendah stres akademik yang dirasakan. Dalam penelitian ini pengaruh resiliensi terhadap stres akademik diketahui sebesar 81,6%, sisanya dipengaruhi oleh faktor
lain.
L A T A R B E L A K A N G
Karakteristik perilaku yang muncul pada remaja merupakan hasil dari respon mereka terhadap lingkungan sekitar. Hal ini terjadi karena lingkungan memberikan kontribusi pada perkembangan remaja
melalui feedback yang diberikan. Kualitas hasil dari feedback, bergantung pada harapan, nilai, dan
kecenderungan lingkungan sosialnya. Masalah dalam perkembangan remaja terjadi apabila timbul
ketidaksesuaian antara kebutuhan dalam perkembangan remaja dan kesempatan untuk
mengusahakannya (Eccles dalam Compas, Hinden, & Gerhardt, 1995). Hal ini terjadi karena adanya sebuah harapan dari lingkungan yang melampaui kapasitas perkembangan individu. Beberapa harapan
yang menantang dapat menimbulkan stimulus dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi yang
baru, namun apabila harapan tersebut melampaui kapasitas individu maka akan menyebabkan gangguan
dan stres dengan tingkat yang tinggi (Compas, Hinden, & Gerhardt, 1995)
Siswa yang menempuh pendidikan, dihadapkan pada berbagai macam tekanan dan harus menunjukkan
akademik yang baik di sekolah. Informasi yang banyak, harapan yang tinggi pada siswa, orang tua, guru,
tekanan akademik, kompetisi yang sengit, waktu yang terbatas adalah sumber yang utama dalam
membentuk tekanan, ketakutan, dan kecemasan pada siswa (Kumar, 2017). Kecemasan merupakan
salah satu sumber stres yang utama bagi siswa dan berdampak pada kehidupan di sekolah seperti akademiknya, dengan demikian stres akademik merupakan hal yang umum bagi siswa.
Penelitian dalam stres akademik pada siswa telah mengungkapkan berbagai tekanan seperti manajemen
waktu, tes, ujian, ketakutan akan kegagalan, dan harapan orang tua (Ang & Huan, 2006). Selain itu,
berbagai penelitian menunjukkan beberapa stressor pada remaja, berkaitan dengan sekolah muncul
sebagai sumber stres utama ketika remaja menghabiskan waktunya di dalam lingkungan sekolah. Stressor di sekolah, dilaporkan lebih banyak oleh siswa pada berbagai belahan dunia sebagai tantangan
akademik seperti, tes, ujian, tugas, interaksi teman sebaya, hubungan guru dengan murid, regulasi
sekolah, dan manajemen waktu (Angolla & Ongori, 2009).
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
217
Penelitian dari Australia, Korea, Jepang, dan Cina menunjukkan bahwa ujian adalah sumber utama pada
stres akademik (Kaplan, Liu, & Kaplan, 2005). Berbagai ujian menjadikan stres akademik telah dibuktikan kebenarannya pada berbagai negara seperti Korea, Jepang, Cina, dan Nigeria, ketika para siswa harus
bersaing sangat kompetitif pada ujian (Yangyang & Zuhong, 2011). Sebagai persiapan dari ujian, para
siswa harus berlatih lebih maksimal, melakukan tes harian, menghadiri les privat, dan menghabiskan
waktu luang mereka dengan belajar (Tan & Yates, 2011).
Siswa yang dituntut untuk mengejar dan mempertahankan prestasi akademiknya, lebih cenderung
mengalami stres akademik dari pada siswa lain yang tidak memiliki tuntutan untuk mengejar hal tersebut
(Suldo, et al., 2009). Secara tidak langsung mereka memiliki lingkungan akademis yang lebih kompetitif,
dan tuntutan waktu yang lebih banyak (Mates & Allison dalam Adebusuyi, 2018). Stres akademik yang
cenderung menekan ke arah negatif pada siswa, memiliki hubungan dengan kesehatan fisik dan psiis remaja (García-ros, Pérez-gonzález, & Tomás, 2018). Di negara Korea, Jepang dan Cina stres akademik
mengacu pada diagnosis dengan berbagai gejala fisik dan psikologis seperti sakit perut, sakit kepala, sulit
tidur dan alergi (Bossy, 2000). Siswa yang berada di negara Korea, ditemukan memiliki tingkat depresi
dan masalah fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan teman-teman mereka di Amerika Serikat (Lee & Larson, 2000).
Temuan yang dilakukan di Jepang menemukan bahwa, siswa sekolah memiliki tingkat depresi, masalah
perilaku, dan pikiran untuk bunuh diri yang sangat tinggi (Bossy, 2000). (Struthers, Perry, & Menec
(2014) mengungkapkan bahwa tingkat stres akademik yang lebih tinggi dikaitkan dengan tingkat prestasi
yang lebih rendah. Kaplan, Liu, & Kaplan (2005) melaporkan temuan serupa di mana pengalaman stres akademik yang tinggi berdampak negatif terhadap kinerja akademik dalam jangka waktu tiga tahun
kemudian.
Dilaporkan berbagai fenomena yang terjadi pada siswa di Indonesia mengenai stres akademik, salah
satunya sistem belajar di sekolah yaitu penggunaan kurikulum 2013 yang dirasa menimbulkan stres akademik. Survei menunjukkan 44% pelajar merasa stres menghadapi ujian dan tugas, sedangkan 12%
diliputi kegalauan akibat rasa takut tidak naik kelas (Republika.co.id). Kemudian terdapat kasus di
Sumedang, yaitu terdapat belasan pelajar SMK yang mabuk karena mencampur lem dengan obat batuk
cair dan alkohol di sebuah rumah kos. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh polisi, siswa tersebut
mengaku stres menjelang menghadapi ujian nasional (news.okezone.com).
Levitt, Guacci-Franco, & Levitt (1993)menemukan bahwa keberhasilan akademik dapat diprediksi
melalui persepsi lingkungan kelas dan resiliensi pada siswa. Berperan sebagai faktor protektif, resiliensi
mampu menurunkan kemungkinan resiko yang tinggi pada situasi yang terjadi, namun tidak menunjukkan
hubungan pada hasil dengan resiko yang rendah (Compas, Hinden, & Gerhardt, 1995). Wilks (2008)
mengungkapkan bahwa tingginya resiliensi pada individu juga dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial. Dukungan sosial orang tua memiliki hubungan negatif dengan stres akademik siswa (Ernawati, 2015).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa orang tua, merupakan agen utama siswa dalam kehidupannya yang
berpengaruh pada kinerja akademik (academic performance) siswa (Syah dalam Ernawati, 2015). Apabila
dukungan sosial yang diterima dari orang tua besar, maka siswa mampu menghadapi segala situasi yang mengancam dengan baik.
Beberapa faktor yang mempengaruhi stres akademik siswa berasal dari faktor eksternal ialah sistem
akademik yang banyak menuntun siswa, sedangkan pada faktor internal terdapat pola pikir siswa yang
tidak dapat mengendalikan situasi dan cenderung mengalami stres yang lebih besar. Semakin besar dan
yakin siswa terhadap kendali atas sesuatu hal, maka ia akan mendapatkan kemungkinan stres yang kecil. Selanjutnya terdapat kepribadian, ketika siswa mampu menoleransi stres yang sedang ia hadapi maka
rasa optimis juga akan mengiringinya. Faktor yang terakhir dari internal ialah keyakinan maupun
pemikiran terhadap diri sendiri. Interpretasi terhadap situasi yang terjadi pada lingkungan sekitar, dapat
mempengaruhi keyakinan individu. Karena hal ini mampu mengubah pola pikir individu dan berdampak stres pada individu (Barseli, Ifdil, & Nikmarijal, 2017).
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
218
Selain resiliensi terdapat faktor internal lain yang berpengaruh terhadap situasi yang menekan terutama
pada akademik siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari & Rachmawati (2014) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pada keyakinan diri (self-efficacy) dengan stres akademik pada siswa
yang mengikuti program akselerasi. Hal ini dapat dijelaskan melalui motivasi intrinsik yang secara
signifikan berkaitan dengan faktor internal yaitu keyakinan diri (self-efficacy) menunjukkan adanya
keterlibatan pada akademik siswa, dengan demikian para siswa yang memiliki motivasi intrinsik yang tinggi lebih memiliki kemampuan yang besar untuk mengatasi stres dan pengalaman buruk yang dihadapi
(Reynolds & Weigand dalam Wilks, 2008).
Tingkat resiliensi yang tinggi berkaitan dengan harga diri (self-esteem) yang tinggi juga. Dengan demikian,
individu dengan harga diri tinggi, mampu mengatasi stres dan mencapai nilai yang lebih tinggi (Clifton, et
al., 2004). Oleh karena itu, tingkat resiliensi siswa dan perwujudan dari resiliensi tersebut berkaitan keefektifan mereka dalam mengahadapi stres akademik. Setiap individu, memiliki tingkat resiliensinya
masing-masing. Sekolah dan tenaga pendidik yang ada di dalamnya, mampu mengembangkan resiliensi
pada siswa. Dampak yang diberikan sekolah pada siswa ini dapat berupa terbentuknya hubungan sosial
yang positif, dapat menemukan pemecahan masalah yang sesuai, dan mampu memanajemen stresnya (Singh, 2016).
Peneliti melakukan penelitian di SMA Negeri Taruna Nala, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sekolah ini
merupaka hasil kerjasama dengan TNI AL, dengan demikian dikeluarkan Piagam Kerja Bersama (PKB)
yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Timur dan KASAL (Kepala Staff Angkatan Laut) dan
Penandatanganan Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani oleh Kepala Pendidikan Nasional provinsi dan Kodiklatal. Kurikulum yang digunakan pada SMAN Taruna Nala ini, tidak hanya menggunakan kurikulum
2013/K13, namun juga menambahkan kurikulum Bela Negara dan Kemaritiman dengan demikian dapat
disebut semi-militer (SMAN Taruna Nala Jawa Timur, 2016).
Banyaknya tuntutan yang didapatkan siswa seperti pendidikan bela negara dan kemaritiman, program kewirausahaan, program ekstrakurikuler life skill (kecakapan hidup) dan program pengabdian masyarakat
(SMAN Taruna Nala Jawa Timur, 2016) akan membuat siswa mendapatkan tekanan yang harus mereka
selesaikan. Kemampuan untuk tetap bertahan pada kondisi yang menekan, maka siswa akan menjadi
resilien untuk menghadapi stres akademik yang dihadapi dengan menggunakan strategi koping yang baik.
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini untuk membuktikan peran resiliensi terhadap stres akademik pada siswa SMA.
T I N J A U A N P U S T A K A
Stres Akademik Stres didefinisikan sebagai respon tubuh terhadap berbagai situasi yang dihadapinya (Selye dalam Kohn
& Frazer, 1986). Respon ini seringkali diidentifikasikan dengan bentuk emosi, kognisi, perilaku yang
negatif individu dalam mengatasi, menyesuaikan diri, dan menghadapi stressor yang ada (Bernstein,
2008). Terdapat berbagai macam pemicu stres yang berasal dari fisik, kognitif, dan psikologis. Stres pada kehidupan siswa dapat memberikan dampak pada bagaimana siswa mengatasi tuntutan kehidupan
akademiknya (Sindhu, 2016).
Stres akademik adalah salah satu hambatan yang signifikan bagi kinerja akademik siswa di sekolah.
Ketegangan emosional yang diungkapkan atau dirasakan oleh siswa ketika mendapatkan kegagalan dalam mengatasi tuntutan akademik dan konsekuensinya ditunjukkan dalam bentuk yang bahaya dan adanya
masalah kesehatan utama, baik fisik maupun mental (Kumar, 2017). Sumber terbesar dari stres
akademik ini berasal dari mengikuti ujian (pada saat dalam proses belajar maupun pada saat ujian akhir),
kompetisi antar kelas, merasakan ketidakseimbangan, dan kursus yang lama (Kohn & Frazer, 1986). Berbagai laporan pada penelitian tentang stres akademik menghasilkan beberapa tuntutan yang terdiri
dari, mata pelajaran, manajemen waktu, aktivitas sosial, dan kurangnya jaringan sosial (Misra & Castillo,
2004). Tuntutan akademik dan kompetisi yang tinggi, membuat siswa mempunyai waktu yang yang
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
219
sedikit waktu untuk tidur, dan juga waktu luang yang sedikit (Lee & Reed, 2009), selain itu informasi
yang banyak, harapan yang tinggi pada siswa, orang tua, guru, tekanan akademik, kompetisi yang sengit, waktu yang terbatas adalah sumber yang utama dalam membentuk tekanan, ketakutan, dan kecemasan
pada siswa. Beberapa hal diatas merupakan dampak dari stres akademik siswa yang serinf dihadapi.
Stresor yang terdapat pada lingkungan pendidikan siswa terutama akademiknya, terabagi menjadi 3 aspek antara lain menurut Kohn & Frazer (1986), antara lain faktor pertama ialah stressor fisik seperti
faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku siswa (temperatur/suhu, pencahayaan, kebisingan),
faktor kedua ialah stressor psikis seperti kurang sesuainya antara kompetensi yang dimiliki dengan
materi yang disampaikan dalam pembelajaran, hal ini dapat memunculkan konsekuensi emosional siswa,
dan stressor yang terakhir ialah psikososial, seperti interaksi interpersonal yang mempengaruh perilaku siswa.
Resiliensi Resiliensi mengacu pada fenomena yang dicirikan oleh hasil yang baik meskipun terdapat ancaman yang
serius di dalam adaptasi dan perkembangan individu tersebut (Masten, 2001). Menurut Connor &
Davidson (2003), resiliensi merupakan kemampuan yang seimbang antara biologis dan fisik
(menyesuaikan tubuh, pikiran, dan jiwa dengan keadaannya saat ini) dalam menghadapi situasi yang berbahaya atau mengancam. Hal ini dapat mencerminkan kualitas pribadi yang memungkinkan seseorang
untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan
Faktor pembentuk resiliensi menurut Connor & Davidson (2003) terdapat, faktor pertama
menggambarkan kompetensi diri sendiri, standar yang tinggi, dan keuletan, faktor kedua berhubungan
dengan kepercayaan akan nalurinya, mempunyai tolerasi terhadap efek yang negatif, dan mempunyai kekuatan dalam mengahadapi stres, faktor ketiga berkaitan dengan mampu menerima perubahan positif
dan mempunyai hubungan yang aman dengan orang lain, faktor keempat mengenai pengendalian diri dan
faktor yang kelima berkairan dengan pengaruh spiritual atau hubungannya dengan Tuhan.
Banyaknya tekanan akademis dapat mengganggu bagaimana seorang siswa mempersiapkan,
berkonsentrasi dan melakukan suatu kegiatan. Menunda membaca, menulis makalah, dan belajar mendadak memiliki efek dua arah. Hal ini meningkatkan kemungkinan untuk dilampiaskan pada hal yang
buruk dan dapat membangkitkan stres dan kecemasan. Dengan demikian, stres akademik telah
dilaporkan sebagai faktor penting yang mempengaruhi berbagai perilaku, kegiatan dan kinerja akademik
individu. Kunci untuk menghindari putus sekolah, sebagai akibat dari tekanan akademis adalah mengidentifikasi sumber atau faktornya yang menyebabkan stres akademik tersebut (Kumar, 2017).
M E T O D E P E N E L I T I A N
Rancangan pada penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif regresi, yang mendasarkan pada
hubungan antar variabel dan dikaitkan dengan teori yang ada. Penelitian dilaksanakan di SMA Taruna
NALA, yang bertempat di Kabupaten Malang.
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu resiliensi, menggunakan instrumen The Conor-Davidson Resilience
Scale (CD-RISC) Conor & Davidson (2003), dengan Cronbach Alpha sebesar 0,89 dan jumlah aitem
sebanyak 25. Kemudian contoh pernyataan untuk instrumen CD-RISC seperti, “Saya mudah
beradaptasi terhadap perubahan”, dengan 5 pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), KK (Kadang-kadang), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai).
Pada variabel terikat yaitu stres akademik, menggunakan instrumen Academic Stress Scale (ASS), Kohn
& Frazer (1986). Jumlah aitem, terdapat 35 dengan cronbach’s alpha sebesar 0,906 namun terdapat 3
aitem yang tidak sesuai konteks penelitian yaitu speaking class, nonnative language lectures, dan evaluating calssmates work. Sehingga jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 32 aitem. Contoh pernyataan untuk
instrumen ini seperti “Tugas yang banyak”. Pilihan jawaban setiap aitem ini, dikemukakan melalui 4
pilihan jawaban yaitu SS (Sangat Stres), S (Stres), TS (Tidak Stres), dan STS (Sangat Tidak Stres).
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
220
H A S I L D A N P E M B A H A S A N
Hasil
Data Deskriptif
Latar belakang suku dari siswa SMA Taruna Nala tidak hanya dari suku Jawa, melainkan terdapat dari
suku Madura, Bali, Bugis, Batak, Dayak, Tionghoa, Sunda, Minang, Melayu, dan yang lain. Rentang usia
siswa berada pada 15 – 19 tahun (Mean= 16.29). Jumlah siswa dalam penelitian ini sebanyak 185 siswa dengan kriteria kelas X sebanyak 58 siswa (31.35%), kelas XI sebanyak 66 siswa (35.67%), kelas XII
sebanyak 61 siswa (32.97%), dan jumlah siswa laki-laki sebanyak 77 (41.62%) sedangkan siswa
perempuan sebanyak 108 (58.37%). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala yang
disusun menggunakan skala likert. Dalam pemilihannya, subjek dihadapkan pada pernyataan tertutup dengan berbagai pilihan alternatif jawaban.
Tabel 1 Mean dan SD Variabel
Variabel Mean SD
Resiliensi 4.0579 .39585 Stres Akademik 2.453 .38406
Pada variabel resiliensi, skor rata-rata pada siswa berada pada 4.0579 (skor bergerak antara 1-5), hal ini dapat dikategorikan resiliensi siswa cenderung tinggi (SD=.39282). Selanjutnya pada variabel stres
akademik, skor rata-rata siswa mencapai 2.453 (skor bergerak antara 1-4), sehingga dapat disimpulkan
stres akademik siswa cenderung rendah (SD=0.384).
Uji Hipotesis Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa resiliensi berpengaruh langsung secara signifikan
terhadap stres akademik. Koefisien nilai F sebesar 809,159 dan koefisien nilai p<0,05 yaitu sebesar
0,000. Dengan demikian hipotesis diterima, semakin tinggi resiliensi siswa, maka semakin rendah stres
akademik yang di alami, begitu juga sebaliknya apabila resiliensi siswa rendah maka stres akademik yang dialaminya cenderung tinggi, selanjutnya hal ini dapat dijelaskan bahwa sebanyak 81,6% variabel resiliensi
memberikan pengaruh pada stres akademik.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat hasil yang signifikan pada peran resiliensi terhadap stres
akademik siswa SMA. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Semakin tinggi kemampuan seseorang dalam menangani hal yang sulit pada kehidupannya, maka semakin rendah dampak dari situasi buruk
yang akan ia hadapi.
Menjadi resilien bukan berarti individu terlepas dari kehidupan tanpa adanya tekanan. Pada saat individu mengalami permasalahan, maka mereka akan merasakan berbagai emosi. Perhatian terhadap suatu
masalah, memberikan efek pada individu untuk menjadi fleksibel. Peneliti percaya bahwa resiliensi
merupakan sebuah pemulihan atas konsekuensi positif untuk penyembuhan dari sisi emosional dan
kognitifnya (Garmzi & Masten dalam Savitri et al., 2015). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan Hartley (2013) bahwa resiliensi meningkatkan ketekunan akademik siswa. Ketekunan ini merupakan kemampuan siswa dalam menyatukan siatuasi atau tuntutan akademik seperti, menghadiri
kelas, belajar, berdiskusi dengan teman mengenai materi pembelajaran di kelas. Dengan demikian, ketika
siswa mampu mengeluarkan konsekuensi positif dari emosi dan kognitifnya maka ia dapat terhindar dari
stres akademik. Garmezy dalam Terzi (2013) mengungkapkan bahwa resiliensi sebagai kekuatan pemulihan dan kemampuan untuk kembali pada pola adaptasi dan kemampuannya sebelum individu
tersebut mengalami stres yang ekstrem.
Tingginya tingkat resiliensi pada siswa, dapat memberikan keuntungan pada segala aspek kehidupannya.
Salah satunya rendahnya stres akademik, yang memiliki indikasi bahwa individu memiliki self-motivation.
Individu yang resilien, menggunakan strategi pemecahan masalah secara internal untuk mengatasi
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
221
tantangan yang sedang dihadapi, menerima tantangan tersebut sebagai bagian dari ketahanan mereka
untuk menyelesaikannya, memecahkan masalah, dan meregulasi perilaku sebagai indikasi self-motivation dalam dirinya (Trigueros et al., 2019)
Mathur & Sharma (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang
berkorelasi antara resiliensi dengan stres akademik. Sumber instrinsik seperti resiliensi, optimism pada
individu, dapat meningkatkan selain itu kemampuan siswa dalam mengurangi stres dan mendorong mereka untuk menangani secara efektif. Resiliensi pada individu ditandai dengan adanya kemampuan
untuk melihat tekanan sebagai tantangan, mampu berkomitmen, mampu mengetahui keterbatasan diri,
membutuhkan dukungan orang lain, memiliki kelekatan yang aman dengan orang lain, memiliki tujuan,
efikasi diri, menjadikan pengaruh stres sebagai sarana untuk memperkuat diri, mampu belajar dari masa
lalu, mampu menentukan pilihan secara realistis, memiliki selera humor, sabar, mampu mengendalikan afek negatif, mampu beradaptasi terhadap perubahan, optimis, dan percaya kepada Tuhan (Connor &
Davidson, 2003).
Pada kehidupan individu, resiliensi merupakan proses yang berkelanjutan, dari kesulitan-kesulitan hidup
yang menjadi tantangan, dari gagal menjadi sukses, dan ketidak berdayaan menjadikan sebuah kekuatan. Dengan demikian, siswa yang memiliki resiliensi maka ia dapat dengan mudah beradaptasi dan
menyelesaikan persoalan yang ia hadapi. Mereka mampu mengatur dan mengontrol dirinya pada saat
berinteraksi dengan teman sebaya, guru, tenaga pendidik lain, aturan di sekolah dan berbagai situasi
yang ada di sekolah. Dalam hal ini, resiliensi merupakan faktor protektif pada siswa dalam menghadapi
akademik stres.
Resiliensi merupakan variabel yang penting dan dan paling dibutuhkan untuk siswa dalam menempuh
pendidikan dan mencapai prestasi akademik. Selain itu, resiliensi juga mampu menjadi tolak ukur
performa akademik siswa. Semakin bagus atau semakin tinggi resiliensinya maka semakin bagus
performa akademik siswa, sebaliknya semakin rendah resiliensi siswa maka semakin buruk performa
akademiknya (Zakaria, 2019).
Terlepas dari resiliensi yang harus dibentuk secara mandiri oleh siswa, pihak eksternal juga mampu
membentuk siswa menjadi resilien. Dilakukannya pelatihan secara terjadwal juga mampu membantu
siswa (Subramani, 2017). Pendidik harus memberikan perhatian pada konteks sosial dan organisasi yang
berfungsi pada individu. Intervensi yang diberikan dapat mengenai intelegensi emosi, mindfulness, strategi
koping dan strategi berpkir (misalnya cara pandang). Selain itu, dapat menunjukkan aktvitas yang mampu
meningkatkan self-efficacy dan membuat persiapan untuk siswa agar mampu menghadapi masa depan.
Pentingnya kepedulian terhadap diri sendiri dan dalam mencari bantuan harus dilakukan dengan tegas
oleh siswa (Brewer et al., 2019)
Selain dari lingkup sekolah, orang tua juga tidak terlepas dari perannya untuk membentuk resilien pada
diri siswa. Orang tua selayaknya peka dengan stres akademik yang dialami siswa dan membantu mereka
untuk menyediakan jalan keluar yang efektif dalam menghadapi stres akademik (Subramani, 2017).
Resiliensi, berbeda halnya dengan penyesuaian yang baik. Ketika siswa mempunyai resiliensi yang tinggi,
maka dia memiliki penyesuaian yang baik terhadap lingkungan sekolah maupun akademik. Sehingga,
proses siswa untuk keluar dari tantangan maupun hambatan yang sedang dihadapi siswa merupakan
proses resiliensi. Hasil dari proses resiliensi, selain berbentuk penyesuain yang baik pada siswa. Pada
prosesnya, mereka juga mendapat sebuah pengalaman seperti, mampu menghindari resiko dari hal yang
buruk, dan mampu menggunakan koping pada hal yang traumatis. Resiliensi juga merupakan sebuah
kompetensi, yang merupakan nilai individu dari komponen proses resiliensi (Fergus & Zimmerman,
2005). Ketika siswa memiliki kompeten maka hal ini mampu menjadi penolong mereka untuk mengatasi
masalah yang sedang mereka hadapi.
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
222
S I M P U L A N
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi memiliki peran secara signifikan terhadap stres akademik
pada siswa SMA. Semakin tinggi tingkat resiliensi, maka semakin rendah stres akademik siswa. Begitu
juga dengan sebaliknya, semakin rendah tingkat resiliensi maka akan semakin tinggi stres akademik siswa.
Implikasi
Siswa yang memiliki resiliensi cenderung sedang, dapat ditingkatkan resiliensinya pada faktor internal
seperti melakukan pelatihan yang pertama self-eficacy yaitu mendorong individu untuk percaya pada
kemampuannya untuk menyelesaikan sebuah tugas yang sedang dihadapi, yang kedua terdapat empati
yaitu peduli dengan perspektif dan kesejahteraan orang lain, yang ketiga kemampuan menemukan solusi
untuk memecahkan masalah, yang keempat ialah self-awareness yaitu memahami perasaan, pemikiran,
dan perilaku individu sendiri.
Pada faktor eksternal terutama pihak sekolah, dapat memberikan yang pertama perasaan kebersamaan siswa di sekolah seperti rasa aman dan kebahagiaan, yang kedua dukungan sekolah yaitu memberikan
dorongan, bantuan, dan semangat dari guru atau orang dewasa lain dalam lingkungan sekolah, yang
ketiga partisipasi yang bermakna bagi siswa di sekolah yaitu ketertarikan atau minat siswa dalam sekolah
dan dampaknya bagi aktivitas pembelajaran, yang keempat hubungan yang peduli dengan teman sebaya yaitu adanya kepedulian dan tersedianya bantuan selama masa-masa sulit, yang kelima teman sebaya
yang prososial yaitu teman-teman menyediakan, memberikan dan melakukan sebuah pilihan yang baik,
yang selanjutnya pada lingkup rumah tersedianya kehadiran yang suportif dan dorongan dari orang tua
maupun orang dewasa lainnya, dan yang terakhir ialah partisipasi yang bermakna di rumah yaitu individu
membantu membuat sebuah keputusan dalam keluarga dan merasa bahwa mereka melakukan hal yang baik (Kuperminc, et al., 2019).
Bagi siswa yang memiliki stres akademik yang tinggi maka mereka harus mendiskusikan yang menjadi
masalah akademik dengan guru seperti halnya menceritakan ke orang tuanya, selain itu mereka harus
dibimbing dengan baik untuk memilih caranya secara spesifik dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Orang tua dan guru harus mempunyai dan memahami ekspektasi yang dimunculkan
berdasarkan kemampuan anak-anaknya. Selain itu, guru juga harus membuat dan menyusun lingkungan
belajar untuk menurunkan stres akademik siswa seperti menyediakan fasilitator atau mentor,
penjadwalan aktivitas, mengubah metode belajar, dan menyedikan aktivitas ekstrakulikuler (Sagar &
Singh, 2017).
D A F T A R P U S T A K A
Ang, R. P., & Huan, V. (2006). Academic expectations stress inventory: Development, factor analysis,
reliability, and validity. Educational and Psychological Measurement, 66(3), 522–539.
https://doi.org/10.1177/0013164405282461 Angolla, J. E., & Ongori, H. (2009). An assessment of academic stress among undergraduate students:
The case of university of botswana. Educ. Res. Rev., 063–070. Retrieved from
http://wiki.ros.org/rqt_reconfigure
Barseli, M. B., Ifdil, & Nikmarijal. (2017). Konsep stres akademik siswa. Jurnal Konseling Dan Pendidikan, 5(3), 143–148. https://doi.org/https://doi.org/10.29210/119800
Bossy, S. (2000). Academic pressure and impact on japanese students. McGill Journal of Education, 35(1),
71–89. Retrieved from http://mje.mcgill.ca/index.php/MJE/article/view/8513/6446
Brewer, M. L., Kessel, G. Van, Sanderson, B., Naumann, F., Lane, M., Reubenson, A., … Carter, A.
(2019). Resilience in higher education students : a scoping review. Higher Education Research & Development, 0(0), 1–16. https://doi.org/10.1080/07294360.2019.1626810
Clifton, R. A., Perry, R. P., Stubbs, C. A., & Roberts, L. W. (2004). Faculty environments, psychoscoial
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
223
dispositions, and the academic acheivements of college students. Research in Higher Education,
45(8), 801–828. Compas, B. E., Hinden, B. R., & Gerhardt, C. A. (1995). Adolescent development: Pathways and
processes of risk and resilience. Annual Review of Psychology, 46, 265–293.
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new Resilience scale: The Connor-
Davidson Resilience scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(2), 76–82. https://doi.org/10.1002/da.10113
Fergus, S., & Zimmerman, M. A. (2005). Adolescent resilience: A framework for understanding healthy
development in the face of risk. Annual Review of Public Health, 26, 399–419.
https://doi.org/10.1146/annurev.publhealth.26.021304.144357
García-ros, R., Pérez-gonzález, F., & Tomás, J. M. (2018). Analyzing academic stress in adolescence and their relationship with students’ psychological and physical well-being: Development and
validation of the Questionnaire of Academic Stress in Secondary Education.
https://doi.org/10.3390/ijerph15092023
Hartley, M. T. (2013). Investigating the relationship of resilience to academic persistence in college students with mental health issues. Rehabilitation Counseling Bulletin, 56(4), 240–250.
https://doi.org/10.1177/0034355213480527
Kaplan, D. S., Liu, R. X., & Kaplan, H. B. (2005). School related stress in early adolescence and academic
performance three years later : The conditional influence of self expectations. Social Psychology of Education, 8, 3–17.
Kohn, J. P., & Frazer, G. H. (1986). An academic stress scale: Identification and rated importance of
academic stressor. Psychological Reports, (59), 415–426.
Kumar, S. (2017). Academic Stress : Concept, Sources and Effects. Indian Journal of Applied Research,
7(9), 503–504. Kuperminc, G. P., Chan, W. Y., Hale, K. E., Joseph, H. L., & Delbasso, C. A. (2019). The role of school-
based group mentoring in promoting resilience among vulnerable high school students. Community
Psychology, 1–13. https://doi.org/10.1002/ajcp.12347
Lee, M., & Larson, R. (2000). The Korean “examination hell”: Long hours of studying, distress, and
depression. Journal of Youth and Adolescence, 29(2), 249–271. https://doi.org/10.1023/A:1005160717081
Lee, M., & Reed, L. (2009). The Korean “examination hell”: Long hours of studying, distress, and
depression. Journal of Youth and Adolescence, 29(2), 249.
Levitt, M. J., Guacci-Franco, N., & Levitt, J. L. (1993). Convoys of social support in childhood and early adolescence: Structure and function. Developmental Psychology, 29(5), 811–818.
https://doi.org/10.1037/0012-1649.29.5.811
Liu, Y., & Lu, Z. (2011). Chinese high school students’ academic stress and depressive symptoms:
Gender and school climate as moderators. Stress and Health, 28(4), 340–346.
https://doi.org/10.1002/smi.2418 Masten, A. S. (2001). Ordinary Magic: Resilience Processes in Development. American Psychologist,
56(3), 227–238. https://doi.org/10.1037//0003-066X.56.3.227
Mathur, R., & Sharma, R. (2015). Academic stress in relation with optimism and resilience. International
Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS) A Peer-Reviewed Monthly
Research Journal, 1(7), 129–134. Retrieved from http://www.irjims.com Misra, R., & Castillo, L. G. (2004). Academic stress among college students: Comparison of American
and international students. International Journal of Stress Management, 11(2), 132–148.
https://doi.org/10.1037/1072-5245.11.2.132
Roli, J. A. (2018). Academic stress, resilience, peer relation, and teacher support as predictors of undergraduates ’ academic confidence. Journal of Education and Practice, 9(27), 1–7.
Savitri, A. H., Siswati, Purwanti, D. A., Kustanti, E. R., Priasmoro, D. P., … Bulut, S. (2015). Compare
Resilience of Families with Mentally Retarded Children and Family with Normal Children. Social
Psychology of Education, 5(1), 20–26. https://doi.org/10.1177/0013164405282461
Sindhu, P. (2016). Impact of stress on academic achievement among engineering students. The International Journal of Indian Psychology, 4(1), 9–14. Retrieved from
Naskah Prosiding Temilnas XI IPPI (Malang, 20-21 September 2019)
ISBN : 978-60274420-7-8
224
http://aygrt.isrj.org/UploadedData/6983.pdf
Singh, S. (2016). Resilience in the perspective of adolescents. Indian Journal of Positive Psychology, 7(1), 103–106. https://doi.org/10.1002/slct.201703028
Struthers, C. W., Perry, R. P., & Menec, V. H. (2014). An examination of the relationship among
academic stress, and performance in college. Research in Higher Education, 41(5), 581–592.
Subramani, C. (2017). Academic stress and mental health among high school students. Indian Journal of Applied Research, 7(5), 404–406.
Suldo, S. M., Shaunessy, E., Thalji, A., Michalowski, J., & Shaffer, E. (2009). Sources of stress for students
in high school college preparatory and general education programs: Group differences and
associations with adjustment. Adolescence, 44(176), 925–948. https://doi.org/10.1029/94JB01563
Tan, J. B., & Yates, S. (2011). Academic expectations as sources of stress in Asian students. Social Psychology of Education, 14(3), 389–407. https://doi.org/10.1007/s11218-010-9146-7
Terzi, Ş. (2013). Secure Attachment Style, Coping with Stress and Resilience Among University
Students, 1(2), 97–109.
Trigueros, R., Aguilar-Parra, J. M., Cangas, A. J., Bermejo, R., Ferrandiz, C., & LOpez-Liria, R. (2019). Influence of emotional intelligence, motivation and resilience on academic performance and the
adoption of healthy lifestyle habits among adolescents. Environmental Research and Public Health,
16(2810).
Wilks, S. E. (2008). Resilience amid academic stress : the moderating impact of social support among social work students. Advances in Social Work, 9(2), 106–125.
Zakaria, Z. (2019). The effects of learning resilience and stress on Student learning achievement, 295,
56–59.