Click here to load reader
Upload
fathimatuzzahro-fathim
View
209
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
presus
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peritonitis merupakan keadaan yang sangat serius. Diagnosa dini dan
diikuti dengan tindakan Bedah yang cepat serta terapi suportif lain dapat
menekan angka mortalitas yang tinggi. (1)
Di daerah tropis, penyebab peritonitis berbeda dengan di daerah beriklim
dingin dan menurut D.J.B. Falconer, reaksi peritoneum pada penduduk asli
Afrika jauh lebih ringan daripada orang Eropa, sehingga rigiditas dan resistensi
muskuler kurang nyata dan nyeri tekan dapat menjadi satu-satunya tanda yang
positif. (2)
Peritoneum itu sendiri merupakan lapisan sel mesotel yang meliputi
rongga perut (peritoneum parietale) dan alat tubuh dalam rongga perut
(peritoenum viserale) berasal dari lapisan mesoderm embrional dimana fungsi
peritoneum merupakan suatu membran semi permiabel untuk dialisis yang terus
menerus membuat dan mengabsorbsi cairan jernih, serta memisahkan zat-zat
satu sama lain. (3)
Jumlah seluruh permukaan peritoneum lebih kurang 1,8 m2 mendekati
luas permukaan kulit tubuh peritoneum menutupi semua organ-organ intestinal
dan dinding abdomen, diafragma, retroperitoneum dan pelvis. (4)
Peradangan peritoenum yang meluas atau peritonitis generalisata
merupakan satu-satunya penyebab kematian yang paling sering. Pada
kebanyakan kasus, kecuali kalau penderitanya benar-benar sudah berada dalam
keadaan akan meninggal, tindakan membuka abdomen segera atau kemudian
harus dilakukan demi tujuan drainase. (2)
Pada kepustakaan barat sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya wanita, gemuk dan berusia di atas 40 tahun. Tetapi menurut Lesmana
L.A dan kawan-kawan hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di negara
kita.
1
Menurut R. Simandibrata peritonitis primer terjadi biasanya pada anak-
anak dengan sindrom nefrotik atau sirosis hati. Lebih banyak terdapat pada anak
perermpuan daripada anak laki-laki.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui jumlah insiden
peritonitis di RSMS beserta penanganannya dan merupakan sebagai data dasar
yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
C. Metode Penelitian
Subyek penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis peritonitis di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari 2000-2001.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode deskriptif retrospektif dengan
menggunakan data sekunder dari rekam medik pasien di bagian bedah di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang
kaya akan vaskularisasi dan aliran limfe. Abses abdominal merupakan salah satu
akibat dari peritonitis (5).
Etiologi peritonitis (1,2,5,6,7,8)
1. Peritonitis tuberkulosa
Peritonitis tuberkulosa merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau
viseral yang diakibatkan oleh kuman mysobacterium tuberkulosis. Biasanya
proses tuberkulosa di paru menyembuh terlebih dahulu, sedangkan penyebaran
masih berlangsung di tempat lain.
2. Obstruksi usus
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut atau
kronik, parsial atau total.
3. Kolesistitis akut
Kolesistitis akut adalah suatu peradangan pada kandung empedu yang umumnya
disebabkan oleh batu empedu.
4. Trauma abdomen
Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi karena adanya luka pada isi rongga
perut yang dapat terjadi dengan atau tanpa tertembusnya dinding perut yang bila
terjadi perdarahan atau peradangan dalam rongga peritoneum dapat menjadi
peritonitis.
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritoneum kemudian terjadi kekakuan dinding perut
yang diakibatkan oleh hematoma pada dinding perut.
Peritonitis dapat disebabkan oleh trauma pada abdomen yaitu trauma oleh benda
tajam, luka tembak, trauma tumpul, yang tidak ditangani dengan baik terutama
pada “port d’entre” yang mengakibatkan infeksi pada peritoneum.
5. Apendicitis perforasi
3
Adanya fekalit di dalam lumen, umur dan kelambatan diagnosis merupakan
faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
6. Kasus Obsgin
Sepsis merupakan penyakit kematian tersering pada penderita trauma, infeksi
pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya, kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan,
syok, jenis tindakan dan pemberian antibiotik.
Patofisiologi
Untuk dapat mengenal dini tanda-tanda peritonitis dan untuk dapat
menangani secara baik perlu mengetahui patofisiologi peritonitis dengan baik.
Peritonitis sebagai proses inflamasi atau proses peradangan peritoneum termasuk
sebagian atau seluruh organ di dalam rongga peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami udem. Udem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
oragn-organ tersebut meninggi. Juga terdapat sekuestrasi cairan ke rongga
peritoneum dan lumen usus. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen serta udem seluruh organ intra peritoneal dan udem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertmbah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, muntah serta diare. Usus-
usus mengalami paralisis sehingga terdapat tanda-tanda obstruksi usus paralitik.
Abdomen membuncit tanpa terdengar bunyi usus, sementara proses tersebut
di atas berlangsung, berlangsung pula invasi kuman keseluruhan jaringan intra
peritoneal dan kealiran darah, sepsis, DIC, shock dan akhirnya dapat meninggal.
Jenis Peritonitis
A. Peritonitis Akut
1. Sebab bakterial
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi (secara inokulasi
kecil-kecilan) bakteria : kontaminasi yang terus-menerus, bakteria virulen,
resistensi yang menurun dan adanya asites, benda asing atau ensim pencerna
aktip, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
a. Peritonitis bakterial primer
4
Merupakan akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada ruang
peritoneal. Organisme yang umum untuk itu adalah streptokokus dan
pnemokokus. Keadaan-keadaan di atas umumnya terjadi pada penderita
asites.
b. Peritonitis bakterial sekunder
Ini mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi saluran pencernaan atau
saluran kemih dan peritonitis jenis ini lebih sering terjadi dibandingkan
dengan jenis primer.
2. Sebab kimiawi
a. Getah lambung pankreas
Getah-getah ini dapat mengiritasi hebat peritoneum dan dapat
menyebabkan syok dalam waktu singkat. Dapat terjadi, iritasi kimiawi
ini ditunggangi dengan peritonitis sekunder bakterial.
b. Empedu
Pada tak adanya bakteria dan getah pankreas, empedu dapat
menimbulkan reaksi peritoneal kecil. Pada adanya bakteria dan getah
pankreas akan menambah hebatnya peritonitis yang terjadi.
c. Darah
Merupakan iritan yang ringan bagi rongga peritoneal. Pada adanya
bakteria dan benda asing lainnya atau benda sisa, dapat menyebabkan
peradangan.
d. Urin
Urin sendiri sebenarnya tak terlalu mengiritasi, tetapi bila tercemar
dengan bakteria, dapat menyebabkan peritonitis hebat.
B. Peritonitis Kronik
1. Asites khilus
a. Asites khilus bawaan
Adalah dikarenakan adanya hubungan abnormal antara aliran limfatik
abdomen dengan rongga peritoneal. Pada beberapa penderita, khilus
mengalir ke arah bawah. Ligasi bedah pada keadaan ini sangat berguna.
b. Asites khilus didapat
5
Dapat terjadi karena obstruksi aliran limfatik utama (misal duktus
torasikus) oleh karena tumor, tindakan diseksi bedah atau idiopatik.
Beberapa kasus ini dapat hilang spontan, walaupun masih ada sumbatan
keganasan hingga penderita meninggal karena tumornya.
2. Peritonitis tuberkulosa
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru,
intenstin atau saluran kemih.
a. Diagnosa
Kelemahan, keringat malam, berat badan menurun dan distensi
abdominal terjadi selama beberapa minggu/bulan. Dapat terjadi asites,
massa liat seperti adonan donat dapat terada di abdomen. Cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan pembiakan. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas dan merupakan dasar diagnosa
sebelum hasil pembiakan didapat.
b. Terapi
Kemoterapi antituberkulosis.
3. Peritonitis talk dan tepung
Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena talk atau
tepung yang terdapat di sarung tangan dokter. Talk kini sudah tak digunakan
lagi, tetapi tepung ternyata memiliki efek samping yang sama. Keadaan di
atas dapat dicegah dengan cara mencuci sarung tangan bedah, sebelum
menangani rongga peritoneal.
Nyeri abdomen yang hebat, demam dan tanda-tanda peritonitis mulai
ada setelah 2 minggu pasca bedah. Bila penyebab peritonitis yang lain-lain
berhasil disingkirkan (selain peritonitis talk/tepung), maka pembedahan
ulang tak perlu dilakukan. Pemberian kortikosteroid atau indometasin dapat
memberikan perbaikan segera.
Diagnosa (5,7)
6
Gambaran kliniknya pada penyebabnya, perluasan peradangan dan waktu
mulai timbulnya. Peritonitis dapat lokal, menyebar atau umum. Keadaan-keadaan di
bawah ini berlaku bagi peritonitis kimiawi atau peritonitis bakterial sekunder.
a. Gejala
(1). Nyeri abdominal akut merupakan gejala yang khas. Nyeri ini terjadi tiba-
tiba, hebat dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya
menjadi menyebar ke seluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal
apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya dan
kemudian menyebar secara gradular dari fokus infeksi dan bila pertahanan
tubuh cukup adanya, maka peritonitis tak berlanjut menjadi peritonitis
umum.
(2). Nausea dan vomitus biasanya terjadi.
(3). Kolaps yang tiba-tiba dapat terjadi pada awal peritonitis kimiawi.
b. Tanda
(1). Syok (nerogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberapa penderita
peritonitis umum.
(2). Pada peritonitis yang lanjut, biasanya didapatkan demam, tetapi pada
penderita yang sudah agak lanjut usia demam ini dapat ringan atau tak ada
sama sekali.
(3). Distensi abdominal menjadi semakin nyata.
(4). Nyeri tekan abdominal dan rigiditas yang lokal, difus atau umum,
tergantung pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.
(5). Secara klasik, bising usus tak terdengar pada peritonitis umum, walaupun
pada peritonitis lokal bising usus ini dapat terdengar pada daerah yang jauh
dari lokasi peritonitisnya.
c. Tes laboratorik
Lekositosis, hematokrit yang meningkat (hemokonsentrasi) dan metabolik
asidosis. Pada peritonitis yang tak diterapi, dapat terjadi kegagalan-kegagalan :
pernafasan, hepatik dan renal.
d. Foto sinar X
7
Tanda khas peritonitis : pada foto BNO
- Tanda PSOAS line hilang
- Dijumpai kadang-kadang tanda ileus paralitik perforasi
- Tidak dijumpai free air
Foto polos abdomen
Udara bebas yang terlokalisir di dekat bagian usus yang mengisi rupture.
Penebalan dinding usus-usus (air fluid levels) atau dalam rongga peritoneal
(intraperitoneal fluid level). Kalau terdapat perforasi akan terlihat udara bebas di
bawah diafragma.
e. Tes khusus
Parasentesis atau lavase peritoneal dapat berguna pada kasus-kasus yang
meragukan.
Diagnosa Banding (5,7)
Tugas ahli bedah adalah membedakan peritonitis dengan penyakit lain yang
menyerupainya dan membedakan antara peritonitis yang termasuk kasus bedah
dengan yang bukan. Pankreatitis udematus akut, salpingitis dan gastroenteritis
merupakan penyakit yang dapat menyerupai peritonitis yang tak memerlukan
pembedahan segera.
Diagnosa banding peritonitis, harus difikirkan pada keadaan akut abdomen.
Penyulit (5)
Hipovolemia pada penderita peritonitis kimiawi dan sepsis pada penderita
peritonitis bakterial, dapat menyebabkan kematian.
Kegagalan tubuh (pulmoner, kardial, hepatik, renal), mendahului kematian
beberapa hari sebelumnya. Penyulit yang lain adalah abses abdominal dan
perlengkapan yang dapat menyebabkan obstruksi abdominal di kemudian hari.
Terapi (5)
a. Peritonitis primer diterapi dengan antibiotika, bila diagnosanya sudah ditegakkan.
b. Terapi peritonitis sekunder adalah bergantung pada penyakit dasarnya dan
kebanyakan memerlukan tindakan pembedahan
8
(1).Atasi syok dan koreksi cairan dan elektrolit.
(2).Antibiotika berspektrum diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil pembiakan laboratorik keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
(3).Penyakit yang berhubungan dan akibat umum peritonitis itu harus diobati
pula (misal insufisiensi pernafasan dan renal).
(4).Pembedahan (a) koreksi penyakit dasarnya, (b) cairan peritonealnya
diaspirasi dan dibilas dengan larutan salin. Pembilasan dengan antibiotika
dan antiseptika, hingga kini masih diperdebatkan (misal dengan povidin
dion). Bila peritonitisnya terlokalisasi sebaiknya tidak dilakukan pembilasan,
karena tindakan ini malah dapat menyebabkan bakteria ke tempat lain.
(c) drainase pada peritonitis umum tak dianjurkan, karena pipa pengaliran itu
dengan segera (dalam waktu hanya beberapa jam) menjadi terisolasi atau
terpisah dari ruangan yang dimaksudkan semula, mempengaruhi pertahanan
peritoneum dan dapat mengganggu organ dalaman. Pipa pengaliran ini
berguna pada keadaan abses lokal atau pada keadaan dimana terdapat
kontaminasi yang terus menerus.
(5).Perawatan pasca bedah harus sangat seksama pada penderita yang
keadaannya gawat. Antibiotika harus diberikan, dan bila perlu diganti. Ahli
bedah harus waspada terhadap pembentukan abses. Posisi setengah duduk
dapat mengumpulkan pus yang terbentuk pada rongga pelvik, tetapi
kegunaan posisi ini tak sebesar yang dibayangkan.
Prognosa (5)
Tergantung pada usia, penyakit yang berhubungan, sebab peritonitis serta
daya guna dan kesigapan tindakan bedah itu sendiri.
9
BAB III
HASIL PENELITIAN
Sample : Pasien yang mengalami tindakan Peritonitis dan dirawat di Rumah Sakit
Margono Soekarjo Purwokerto periode :
Tabel 1. Distribusi dan frekuensi penderita peritonitis berdasarkan jenis kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi %1.2.
Laki-lakiPerempuan
2310
69,730,3
Total 33 100
Tabel 2. Distribusi dan frekuensi penderita peritonitis berdasarkan usia
No Usia (tahun) Frekuensi %1.2.3.4.5.6.7.8.
0 – 1011 – 2021 – 3031 – 4041 – 5051 – 6061 – 7071 – 80
36861243
9,118,124,318,13,16,1
12,19,1
Total 33 100
Tabel 3. Distribusi berdasarkan frekuensi dan yang menyebabkan ke RSMS melalui IGD
No Jenis Keluhan Frekuensi %1.2.3.4.5.6.7.
MualMuntahObstipasiDemamKembungFlatus (-)Sakit perut
259101625821
75,727,230,348,475,724,263,6
10
Tabel 4. Distribusi dan frekuensi penderita peritonitis berdasarkan kasus di RSMS
No Penyebab Frekuensi %1.2.
Trauma abdomenIleus
138
39,324,2
3. TBC 3 9,14. Obsgin 3 9,15.6.7.
Apendicitis perforasiCholelitiasisLain – lain : Diagnosis belum diketahui, CM tidak lengkap
22
2
6,16,1
6,1Total 33 100
Tabel 5. Distribusi dan frekuensi penderita peritonitis berdasarkan tindakan
No Tindakan Frekuensi %1.2.3.4.5.
DaruratElektifPerawatan (tanpa operasi)Penderita APSMeninggal
222522
66,7 6 15,1 6 6
Total 33 100
Tabel 6. Distribusi berdasarkan lama keluhan
No Jenis Kondisi Frekuensi %1.2.
Membaik Meninggal (sebelum dilakukan operasi
312
94,06,0
Total 33 100
11
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian terhadap distribusi dan frekuensi peritonitis di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, baik yang sedang mengalami terapi rawat
inap, rawat jalan dan pembedahan pada periode Januari 2000 – Januari 2001,
didapatkan sebanyak 33 orang yang didiagnosis peritonitis.
Berdasarkan tabel hasil penelitian dihubungkan dengan teori yang ada tentang pasien
yang dilakukan tindakan baik terapi rawat inap, rawat jalan dan pembedahan dengan
menggunakan metode deskriptif retrospektif yang diambil dari data sekunder (rekam
medik) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto diperoleh data sebagai
berikut :
1. Berdasarkan jenis kelamin dari 33 penderita peritonitis jumlah penderita laki-laki
(69,7 %) lebih banyak dibanding perempuan (30,3%) seperti tercantum pada
tabel I. Hal ini diduga bahwa penyebabnya adalah rutinitas sehari-hari banyak
dilakukan laki-laki daripada perempuan.
2. Dari tabel II didapatkan hasil menurut distribusi umur yang terbanyak adalah
pada usia antara 21 – 30 tahun, dengan jumlah 8 penderita (24,3%) dan jumlah
penderita terkecil berdasarkan distribusi umur antara 40-50 (3,1 %) dengan
jumlah 1 penderita. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut adalah usia
produktif.
3. Dari tabel III didapatkan hasil dari frekuensi dan persentase peritonitis
berdasarkan jenis keluhan yang terbanyak adalah mual dan kembung dengan
frekuensi 25 (75,7%), sakit perut dengan frekuensi 21 (63,2%), demam dengan
frekuensi 16 (48,4%), obstipasi dengan frekuensi 10 (30,3%), muntah dengan
frekuensi 9 (27,2%) dan flatus dengan frekuensi 8 (24,2%). Keluhan yang
disampaikan oleh pasien tergantung pada penyebab terjadinya peritonitis yaitu
mual, muntah dan nyeri abdominalis adalah ciri khas daripada peritonitis.
4. Pada tabel IV didapatkan distribusi peritonitis berdasarkan jenis penyebabnya,
dijelaskan jumlah penderita trauma abdomen menempati jumlah terbanyak 13
penderita (39,3%), penderita ileus menempati urutan kedua dengan jumlah 8
12
penderita (24,2%) dan yang terkecil pada apendisitis perforasi, cholelitiasis
masing-masing sebanyak 2 penderita (6,1%). Dengan meningkatnya kecelakaan
lalu lintas dan tindakan kekerasan atau frekuensi trauma perutpun meningkat,
perut merupakan bagian tubuh yang sering terkena trauma.
5. Tabel V dijelaskan distribusi peritonitis berdasarkan jenis tindakan yang
dilakukan di RSMS. Tindakan operasi darurat merupakan hasil terbanyak yaitu
22 penderita (66,7%), tindakan operasi elektif sebanyak 2 penderita (6,0%).
Pada tabel V didapatkan juga penderita yang dilakukan perawatan sebanyak 5
penderita (15,1%) dan lain-lain (tidak dapat ditentukan karena tidak ada
keterangan) sebanyak 2 penderita (6,0%). Tindakan pada peritonitis disini adalah
pembedahan (laparotomi) yaitu :
- Untuk mengetahui organ apa yang mengalami kerusakan tindakan dan
menghentikan perdarahan.
- Untuk menghentikan sumber infeksi serta membersihkan rongga abdomen.
6. Tabel VI dijelaskan distribusi peritonitis berdasarkan prognosis dengan jumlah
terbanyak membaik sebanyak 31 penderita (94,0%), meninggal sebanyak 2
penderita (6,0%). Tergantung pada usia, penyakit yang berhubungan, sebab
peritonitis serta daya guna dan kesigapan tindakan bedah itu sendiri.
13
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
- Peritonitis merupakan radang pada peritoenum yang ditandai dengan
gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri abdominal akut.
- Peritonitis dapat dibagi 2 yaitu peritonitis akut dan peritonitis kronis.
- Peritonitis dapat timbul sebagai akibat trauma abdomen, obstruksi usus,
infeksi tuberkulosa apendisitis perforata, kolesistitis akut.
- Peritonitis merupakan radang pada peritoneum yang dapat didiagnosis dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, USG Foto Rontgen
abdomen.
B. Saran
- Mengetahui gejala awal peritonitis merupakan suatu tindakan yang sangat
penting untuk menghindari terjadinya suatu komplikasi yang lebih lanjut.
- Diharapkan setelah dilakukan penelitian ini, dapat diambil manfaatnya.
- Keterbatasan penelitian seperti data pasien rekam medik yang tidak lengkap,
keterbatasan waktu, dana serta tenaga maka perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut.
- Diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan data dan cara
pengolahan data yang lebih baik sehingga didapatkan hasil yang lebih baik.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Reksoprodjo Soelarto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bagian Bedah Staf Pengajar FK UI, hal 45-55.
2. Sir Zachary Cope. Akut Abdomen Diagnosa Dini, edisi 14, Yayasan Essentia Media, Yogyakarta, hal 207-214.
3. Widjaja Surja. Susunan Pencernaan, Dalam Patologi Edisi I, Bagian Patologi Anatomi FKUI, Jakarta, 1996, hal 219-221.
4. Ditman H. Witmann et. al. Peritonitis and Intraabdomen Infection in Principles of surgery, 51 Xthcuntion Mc. Graw-Hill Inc. USA, 1994, hal 1449-1480.
5. Theodore R Sehrock, Saluran Pencernaan, dalam Ilmu Bedah, edisi 7, EGC, Jakarta, 1991, hal 229-237.
6. Price S.A, Wilson M, Patofisiologi Konsep Klinis Prosess-proses Penyakit, Buku I, EGC, Jakarta, 1994, hal 390-405.
7. De Jong Wim, Sjamsuhidajat, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997, hal 873.
8. Sulaiman Ali, Peritonitis Tuberkulosa. Dalam Gastrointerologi Hepatologi, Sagung Seto, Jakarta, 1991, hal 451-456.
15