32
PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN DISUSUN OLEH : Kelompok 6 1. AISYATUL VIDYAH QORIAH 12050115 2. YULI KORIYANI 12050119 3. NUR HASANAH 12050131 4. MISWATI CATUR RINI 12050095 5. SHITNA CHAERUNNISA 12050093 6. AMELIA SAKRIA D. 12050049 7. PERA DIANA 12050048 8. NIDA RIZZZAKYA 12050072 SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN i

Perkembangan Moral Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran

  • Upload
    remo-ar

  • View
    902

  • Download
    137

Embed Size (px)

DESCRIPTION

abcd

Citation preview

PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

DISUSUN OLEH :Kelompok 61. AISYATUL VIDYAH QORIAH120501152. YULI KORIYANI120501193. NUR HASANAH120501314. MISWATI CATUR RINI120500955. SHITNA CHAERUNNISA120500936. AMELIA SAKRIA D.120500497. PERA DIANA120500488. NIDA RIZZZAKYA12050072

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG (STKIP-MPL)TAHUN 2015KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-nya makalah yang berjudul Perkembangan Moral dan Implementasinya ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Keberhasilan kami dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu kami mengharapkan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Pringsewu,Maret 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULiKATA PENGANTARiiDAFTAR ISIiii

BAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang11. Rumusan Masalah11. Tujuan Penulisan1

BAB II PEMBAHASAN1. Domain Perkembangan31. Teori Perkembangan Moral41. Implementasi Keterpaduan Pendidikan Moral Dalam Pembelajaran13BAB III KESIMPULAN1. Kesimpulan181. Saran18DAFTAR PUSTAKA

i

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan anak merupakan hal yang penting untuk kita pelajari dan kita pahami selaku calon pendidik. Banyak para pendidik yang belum memahami perkembangan - perkembangan anak. Sehingga masih ada pendidik yang menerapkan sistem pembelajaran tanpa melihat perkembangan anak didiknya.

Hal ini akan berakibat adanya ketidakseimbangan antara sistem pembelajaran dengan perkembangan anak yang akan menyulitkan anak didik mengikuti sistem pembelajaran yang ada. Dengan mengetahui proses, faktor dan konsep perkembangan anak didik kita akan mudah mengetahui sistem pembelajaran yang efektif, efisien, terarah dan sesuai dengan Perkembangan anak didik. Untuk mengembangkan potensi anak didik dan menciptakan generasi - generasi masa depan yang berkualitas, maka diperlukan adanya pemahaman tentang perkembangan anak didik. Dengan demikian, sebagai pendidik kita diharuskan mengetahui dan memahami perkembangan peserta didik.

Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membantu perkembangan peserta didik dan membantu membentuk serta mengembangkan nilai nilai, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan tertentu dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu pendidikan perlu disesuaikan dengan proses dan tahapan perkembangan.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :1. Jelaskan tentang teori perkembangan moral ?2. Bagaimanakah implementasinya daam pembelajaran ?

C. Tujuan PenulisanMahasiswa dapat memahami tentang :1. Teori perkembangan moral2. Implementasi perkembangan moral dalam pembelajaran

BAB IIPEMBAHASAN

A. Domain PerkembanganPendidikan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan membantu perkembangan peserta didik. Oleh karena itu pendidikan perlu disesuaikan dengan proses dan tahapan perkembangan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas individu dalam rentang usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual).Prinsip perkembangan yang perlu dipahami untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berbasis pada perkembangan yaitu :Perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional merupakan domain yang saling berkaitan. Perkembangan dalam satu domain dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pada domain lainnya.Perkembangan terjadi dalam urutan yang relative teratur dengan kemampuan keahlian dan pengetahuan yang terbentuk kemudian akan didasarkan pada keahlian, kemampuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Pengetahuan tentang perkembangan khas dalam rentang usia ini bisa menjadi kerangka umum untuk menjadi pedoman guru dalam mempersiapkan lingkungan belajar.Variasi individual mengkarakterisasi perkambangan anak. Setiap anak adalah individu yang unik dan semua punya kekuatan, kebutuhan, dan minat masing-masing. Mengenali variasi individu ini merupakan aspek utama untuk menjadi guru yang kompeten.Perkembangan dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultural yang beragam, guru perlu memahami bagaimana konteks sosiokultural seperti etnis, kemiskinan yang mempengaruhi perkembangan anak. Guru perlu mempelajari kultur mayoritas anak jika berbeda dari kulturnya sendiri.Anak-anak adalah pembelajar aktif dan harus didorong untuk mengkonstruksi pemahaman dunia di sekitarnya. Anak-anak memberi kontribusi proses belajar mereka sendiri saat mereka berusaha untuk memberi makna atas pengalaman keseharian mereka.Perkembangan akan meningkat jika anak diberi kesempatan untuk mempraktikkan keahlian baru dan jika anak merasakan tantangan di luar kemampuan mereka saat itu.Anak-anak akan berkambang dengan amat baik dalam konteks komunitas dimana mereka aman dan dihargai kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka merasa aman secara sikologis.

B. Teori Perkembangan Moral1. Teori Perkembangan Jean PiagetDalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah ataau meningkatkaan tahap perkembangan moral berikutnya.Dalam pandangan Pigeat tahap-tahap kongnitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik berikut:1. Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda secara kulitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan permasalahan yang sama.2. Perbedaan cara berfikir anatara anak satu dengan yang lain seringkali dapat dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berfikir yang saling berbeda. Dalam hal ini ada serangkaian langkah yang konsisten dalam kerangka berfikirnya, dimana tiap-tiap anak akan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. 3. Masing-masing cara berfikir akan membentuk satu kesatuan yang terstruktur. Ini berarti pada tiap tahap yang dilalui seorang anak diatur sesuai dengan cara berfikir tertentu. Piaget mengakui bahwa cara-cara berfikir, atau struktur tersebut pada dasarnya mengendalikan pemikiran yang berkembang. 4. Tiap-tiap urutan dari tahap kongnitif pada dasarnya merupakaan suatu integrasi hirarkhis dari apa yang telah dialami sebelumnya.

2. Teori Perkembangan Moral KohlbergMenurut Kohlberg pendekatan yang baik yang harus dilakukan untuk memahami perilaku moral harus didasari pemahaman tentang tahapan-tahapan perkembangan moral. Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan moral adalah untuk mendorong individu-individu untuk mencapai tahapan- tahapan moral selanjutnya. Dalam keadaan ini maka guru tidak hanya menyajikan materi pelajaran kepada siswa, akan tetapi secara terus menerus harus dapat mendorong perkembangan berpikir dan perubahan perubahan perilaku menuju tahap perkembangan yang lebih tinggi. Yang penting sebagai guru harus mengajarkan tentang nilai-nilai moral. ( Manan, 1995:8 )Pada awalnya Kohlberg berpendapat enam tahap perkembangan moral yang dilalui seorang anak untuk dapat sampai ketingkat remaja atau tingkat dewasa. Keenam tahap tersebut masing-masing berada pada level tiga, dimana pada level pertama dan ke dua berada pada level Pre- Conventional, tahap ketiga dan keempat berada pada levelConventional, dan tahap lima dan enam berada pada Post conventional, autonomous atau pricipled level. Masing -masing tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut ini:1. Pre-conventional level ( tingkat sebelum konvensional) Pada level ini anak-anak memberikan renspon terhadap kebiasan yang mereka ketahui. Mereka belum dapat menhetahui dan menentukan baik buruk atau benar salahnya. a. The punishment and obedience orientasi ( orientasi pada hokum dan kepatuhan)Pada tahap ini anak berprilaku baik bukan karena kesadaran diri, tetapai baik karena ada konsekuensi. Misalnya, anak akan selalu belajar jam 19-20.30 karena takut di hukum oleh ayahnya jika ia melanggarnya, karena sudah ada kesepakatan.b. The instrumental relativist orientation ( orientasi minat pribadi)Pada tahap ini pandangan terhadap perbuatan yang baik apabila memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang dapat memuaskan kebutuhan orang lain. Dan dapat menyikapi hubungan antar manusia.

2. Conventional level ( tingkat conventional)Pada level ini tumbuh kesadaran dari individu keluarga atau kelompo. Tindakan tersebut dilakukan karena kesadaran dan tidak memikirkan akibat yang muncul. Baik akibat sekarang atau yang akan datang.a. The interpersonal concordance of good boy-nice girl orientation ( orientasi anak manis)Pada tahap ini perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan dapat membantu orang lain. Maka dari itu perilaku baik akan dipertahankan dan diterapkan pada lingkungan sekitar.

b. The law and order orientation ( orientasi pada perintah dan hokum)Pada tahap ini perilaku yang benar adalah perilaku yang mentaati peraturan/hukum yang berlaku. Seseoraang harus mempunyai moral yang baik dan bias menghargai aturan-aturan yang diterapkan.

3. Past-conventional, Autonomous, or principled level ( masa lalu konvensional, otonomi, atau tingkat keyakinan)Pada level ini seseorang sudah berusaha untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki kebenaran tidak terkait dengan aturan kelompok. Seseorang harus yakin dengan dengan prinsipnya dan tidak akan terpengaruh dengan orang lain.a. The social contract legalistic orientation ( orientasi kontrak sosial legalistic)Tahap ke lima ini seseorang mempunyai kesadaran yang cukup tinggi. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang telah di uji dan di sepakati bersama dalam ukuran-ukuran yang standar. Dan pada tahap ini seseorang lebih memeperhatikan aturan-aturan dan prosedur yang sudah disepakati. Seseorang akan lebih terdorong dalam perilaku yang lebih baik.b. The universal ethical principle orientation ( prinsip orientasi etika universal)Pada tahap ini moral yang dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan social. Prinsip ini dibatasi oleh kata hati dan kesadaran. Jadi prinsip ini mengajari rasa persamaan hak asasi manusia dan saling menghormati orang lain yang tumbuh dari kesadaran individu agar manusia lebih mempunyai martabat yang lebih baik.

4. Pandangan Psikologi Sosial Erik H. EriksonSepintas dapat di kemukakan bahwa Erik H. Erikson adalah salah satu dari kelompok Neo-Freodian dimana mereka yang bertitik tolak dari kerangka pemikiran Psikoanalisa Freud. Meski dalam hal terdapat perbedaan pandangan dengan Freud, antara lain menyangkut tentang konsep perkembangan moral. Pandangan Erik H. Erikson tentang perkembangan moral di kemukakan berikut ini:

1. Trust vs mistrust ( dipercaya vs tidak dipercaya)Seoarang anak bayi akan mengenal sesuatu yang dilihatnya pertama kali. Jadi lebih menyesuaikan melalui perasaan dan apa yang dilihatnya. Ini patut untuk dipercaya (trust). Misalnya, sorang bayi akan lebih mengenal ibunya daripada ayahnya, karena ibu lebih berperan aktif terhadap anak. Mistrust kemungkinan adanya bahaya, ancaman, atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Dari adanya rasa tidak percaya seorang anak akan lebih menumbuhkan kesiapan dengan belajar dari lingkungan.2. Auntonomy vs doubt( otonomi vs malu dan ragu-ragu)Sebuah aturan memerlukan rasa percaya diri. Disini lingkungan salah satu factor dalam perkembangan anak. Anak cenderung mempunyai emosi yang tinggi dan apa yang diinginkan selalu ingin terpenuhi. Emosi seorang anak juga harus seimbang antara ego dan akibat yang akan dihadapi. Jadi anak tidak akan menuntut hal yang berlebihan.3. Initiative vs guilt ( inisiatif vs rasa bersalah)Seorang anak dapat mengembangkan inisiatifnya. Dia dapat berfikir bagaimana menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan menggunakan pemahaamnnya sendiri. Tetapi jika ada orang yang mencemooh atau memarahi tingkah lakunya anak itu akan merasa bersalah dan takut untuk mengembangkan inisiatifnya. Ketakutan dan rasa bersalah ini factor penghambat inisiatif dalaam berfikir.4. Industry vs invferiority ( tekun vs rendah diri)Tahap ke empat ini, anak mulai mampu berfikir deduktif dari pengetahuan yang umum ke pengetahuan yang khusus. Anak akan tertarik dengan hal-hal yang baru dan ingin mengetahui serta mempelajarinya. Disini orang tua berperan aktif untuk membimbing anak. Jika oaring tua tidak mendukung dan mencemooh maka anak itu tidak mempunyai rasa percaya diri. Hal ini tidak patut diterapkan pada anak. Anak diberi kebebaskan untuk menentukan sesuatu yang disukainya dan di dukung peran orang tua.5. Identity vs role confusion ( identitas vs kebingungan identitas)Remaja harus busa mengembangkan identitas dirinya. Identitas yang dikembangkan harus lebih baik daripada sebelumnya. Mereka harus bisa menempatkan posisi dirinya lebih berperan aktif dalam menyelesaikan masalah, bukan hanya mengendalikan dorongan seksualitasnya.6. Intimacy vs isolation ( keintiman vs keterkucilan)Pada tahap ini anak sudah mampu menentukan pertemanan dan persahabatan. Anak mampu berinteraksi dengan orang lain bahka diperbolehkan untuk mengikat hubungan pernikahaan.7. Generativity vs self-sbsorbtion ( bangkit vs stagnan)Dalam sebuah perkawinan diharapkan dapat membangun keluarga yang sejahtera. Walaupun ada masalah yang sulit harus bisa menyelesaikan dengan bijaksana. Seseorang harus mempunyai wawasan yang luas untuk memenuhi kebutuhanya secara lahir batin.8. Integrity vs despair ( integritas vs putus asa)Seseorang mempunyai kemampuan untuk menyikapi kehidupanya dengan cara yang bijaksana dan tidak menganggap hidupnya sia-sia. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah mengakibaatkan kegagalan bagi dirinya. Integritas yang matang adalah adanya rasa percaya diri, otonomi, dan inisiatif yang mampu dikembangkan dan berubah menjadi yang lebih baik.

5. Memadukan Pandangan Kohlberg, Pieget Dan Ericson Teori-teori perkembangan dan pertimbangan moral, baik yang diungkapkan oleh Piaget, Kohlberg maupun Erikson sebagai mana dipaparkan terdahulu dapat dijadikan sebagai pengetahuan dalam membuka pemahaman awal perkembangan moral. Walaupun terdapat sejumlah perbedaan pandangan dan kekurangan dari masing- masing teori yang dikemukakan, namun pada prinsipnya merupakan mereka telah muntuk membuka peluang pengkajian-pengkajian lebih lanjut kearah pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam dari setiap tahap perkembangan tersebut. Satu hal yang paling nampak kesamaan dari beberapa pandangan ini adalah bahwa tiap-tiap perkembangan lebih lanjut dari setiap tahap perkembangan, ditentukan oleh tahap perkembangan sebelumnya.Beberapa hasil kajian Kohlberg yang mengungkapkan bahwa penilaian dan perbuatan moral bukanlah soal pada prinsipnya bersifat rasional, dan keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai memberikan kesan bahwa perhatiannya lebih banyak terarah pada perkembangan kognitif. Demikian juga banyaknya kritikan pola pertimbangan moral pasca-konvesional yang kurang dibuktikan oleh data-data empiris penelitian lintas budaya, sehingga menimbulkan bayak pertanyaan tentang pengaruh sosial budaya yang tidak diungkapkan oleh Kolhberg. Kajian yang dilakukan oleh Kohlberg maupun Piaget yang nampak lebih banyak terfokus pada perhatian perkembangan moral kognitif dilihat sebagai sisi yang lemah, akan tetapi selanjutnya kajian Erikson yang memberikan perhatian cukup proporsional terhadap besarnya peranan lingkungan sosiol serta nilai-nilai budaya sehingga dapat melengkapi kekurangan itu walaupun masih belum komprehensip. Urain- uraian tersebut memberikan makna dan penegasan bahwa pemehaman terhadap suatu teori harus dikaji secara mendalam dan komprehensip, apalagi teori yang tidak bertolak dari nilai- nilai agama yang sifatnya sangat tentatif. Teori- teori tersebut dapat dijadikan sebagai pengetahuan dan penambahan wawasan, akan tetapi untuk kepentingan lebih jauh apalagi untuk dapat dijadikan pegangan harus dikaji melalui sudut pandang nilai- nilai dasar yang lebih diyakini kenenarannya.C. Implementasi Keterpaduan Pendidikan Moral Dalam PembelajaranBeberapa teori atau pandangan yang dikemukakan sebelumnya memberikan inspirasi tentang pentingnya pemahaman guru terhadap perkembangan dan eksistensi siswa, pemilihan bahan pembelajaran, penentuan strategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan proses pembelajaran yang optimal.1. Pemahaman Peserta DidikPemahaman peserta didik merupakan faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Jika guru memahami peserta didik dengan baik, maka ia dapat memilih dan menentukan sumber- sumber belajar yang tepat, pendekatan- pendekatan yang sesuai, mampu mengatasi masala- masalah pembelajaran sehari-hari dengan baik, sehingga potensi anak dapat didorong untuk mencapai perkembangan yang optimal melalui penyelenggaraan proses pembelajaran.Pemahaman potensi peserta didik merupakan kerangka dasar bagi pemahaman peserta didiksecara keseluruhan. Kekeliruan pandangan terhadap eksistensi mereka seringkali menimbulkan dampak yang serius bagi anak. Sebagai contoh anak yang tinggal kelas sering dianggap sebagai anak bodoh. Ini tentu anggapan yang tidak tepat dan sangat merugikan anak, sebab kenyataannya banyak anak- anak yang mampu mencapai keberhasilan yang baik, sementara sebelumnya mereka pernah mengalami pinggal kelas. Seharusnya masalah- masalah ini dikaji dan dianalisis kasus per kasus. Dalam psikologi pendidikan dikatakan, anak- anak yang nuggak alias tinngal kelas umumnya tergolong anak yang underachiever atau tidaak terpenuhi kebutuhannya ( Suryana, 2007 : 1 ) Conny Semiawan, lebih lebih jauh menjelaskan bahwa anak yang underachiever dalam kesehariannya kurang dapat pengarahan sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya saja, si anak senang sekali membaca tetepi di rumah tidak atau kurang disediakan sarana bacaan yang sesuai dengan usianya. Atau si anak gemar sekali dengan musik, namun orang tua tidak memperbolehkannya ikut les musik karena takut mengganggu pelajaran sekolahnya.Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pemahaman peserta didik mencakup memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip- prinsip perkembangan kognitif, memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip- prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.Berkenaan dengan prinsip prinsip perkembangan kognitif, guru perlu memahami periode perkembangan kognitif anak. Pakar psikolgis dari Swis, Jean Piaget mengemukakan empat periode perkembangan kognitif anak yaiutu : periode sensorimotorik, periode operasi awal, periode operasi kongkrit dan periode operasi formal ( Kartadinata dan Dantes 1996/1997: 60 ). Periode SensorimotorikMenurut Piaget, sampai usia kurang lebih delapan belas bulan perkembangan skema lebih terpusat kepada sensorimotorik. Bayi mengembangkan dan mengkoordinasikan sejumlah besar ragam keterampilan perilaku, namun perkembangan skema verbal dan kognitif masih sangat miskin dan tidak terkoordinasikan. Pembentukan konsep pada periode ini terbatas pada obyek permanen, yaitu obyek yang tampak dalam batas pengamatan anak. Perilaku obyektif secara perlahan- lahan berangsur bergerak ke arah kegiatan yang bertujuan.

Periode Operasi AwalKurang lebih dari usia delapan belas bulan hingga kira- kira tujuh tahun, anak menginternalisasi skema sensorimotorik ke dalam bentuk skema kognitif (imajinasi dan pikiran ). Seorang anak yang dihadapkan pada teka-teki, gambar atau menyusun balok, anak memulai kegiatannya dengan mengingat kembali pengalaman sebelumnya dalam situasi yang sama.Skema yang berkembang pada masa ini belum merupakan skema yang stabil. Anak belum banyak belajar menimbang sesuatu berdasarkan persepsi orang lain. Oleh sebab itu kecaapan yang berkembang dalam periode ini masih bersifat egosentrik. Artinya apa yang ia lakukan merupakan cara yang paling benar dan seolah- olah tidak ada alternatif lain. Di samping itu anak masih sangat mudah dibingungkan dengan keragaman obyek. Kemampuan anak membedakan obyek akan sangat tergantung pada ciri- ciri fisik permanen yang teramati. Periode Operasi KongkritSejak usia kurang lebih tujuh tahun sampai 12 tahun, perkembangan skema pada periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan dengan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah. Periode opersi kongkrit tidak hanya memungkinkan anak memecahkan masalah khusus, tetapi juga belajar untuk mempelajari keterampilan dan kecekapan berpikir logis yang membantu mereka memaknai pengalaman. Periode Operasi FormalPeriode ini berlangsung pada usia 12 tahun ke atas. Ciri utama dari periode ini adalah perkembangan kecakapan berpikir simbolik dan pemahaman isi secara bermakna tanpa bergantung pada keberadaan objek fisik, atau bahkan dalam imajinasi masa lalu akan objek sejenis. Anak yang berada pada periode operasi formal mampu berpikir logis dan matematis, abstrak dan bahkan mampu memahami hal- hal yang secara teoritik mungkin terjadi akan tetapi dalam pernah terjadi dalam kenyataan.Pemahaman peserta didik dengan memanfaatkan prinsip- prinsip kepribadian juga merupakan komponen penting dalam upaya mewujudkan efektivitas proses pendidikan dan pembelajaran. Asrori ( 2003: 6 ) mengemukakan bahwa perkembangan berbagai karakteristik individu tampak dalam aspek- aspek yang ada pada setiap diri individu yang meliputi perbedaan karakteristik individual: (a) aspek fisik, (b) aspek intelek, (c) aspek emosi, (d) aspek sosial, (e) aspek bahasa, (f) aspek bakat, (g) aspek nilai, moral dan sikap.Tiap- tiap aspek diatas menunjukkan karakteristik individual yang berbeda sehingga tiap individu sebagai kesatuan jasmani dan rohani mewujudkan dirinya secara utuh dalam keunikannya. Dalam keadaan itu, maka harus dapat memahami keunikan- keunikan tersebut sehingga akan membantu memudahkan guru untuk memilih pendekatan yang sesuai dalam mendorong perkembangan peserta didik secara optimal.2. Mengaktualisasikan Potensi SiswaUpaya- upaya pengembangan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan potensi- potensi yang dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Dalam praktek pelaksaan pendidikan di sekolah masih seringkali terdapat persepsi yang keliru yang memisahkan tanggung jawab guru dalam batas- batas pengembangan potensi tertentu dari peserta didik. Kita sering mendengar misalnya pihak yang menyatakan bahwa upaya pengembangan aspek- aspek nilai / moral hanya merupakan kewajiban guru- guru bidang studi tertentu saja, sehingga ada guru- guru yang mengasuh bidang studi yang lain merasa bahwa mereka hanya bertanggung jawab mengajarkan materi pelajaran yang menjadi muatan bidang studi yang diajarkannya. Padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru, dan itu berarti sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran pada bidang studinya saja ( Gordon, 1997 : 8 . guru memegang peranan strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui perkembangan kepribadian dan nilai- nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh yang lain ( Gaffar dalam Supriadi: 1998,xv ). Karenanya dalam proses pembelajaran di kelas guru tidak cukup hanya berbekal pengetahuan berkenaan dengan bidang studi yang diajarkan, akan tetapi harus memperhatikan aspek aspek pendidikan lainnya yang memiliki kedudukan sama pentingnya untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang diharapkan. Mungkin benar apa yang dikatakan Ara Tai, anak usia 12 tahun asal Slandia Baru tentang guru yang baik. Guru yang baik itu suka bekerja keras yang disertai kasih sayang. Tanpa didasari kasih sayang kepada kami anak- anak, semua yang dilakukan oleh guru itu sia- sia belaka, tulisnya dalam buku terbitan UNESCO, ( Supriadi, 1998 : 2 ).3. Pemilihan Bahan Pembelajaran Untuk terwujudnya iklim dan proses pembelajaran yang kondusif perlu didukung oleh berbagai faktor, baik berkenaan dengan kemampuan guru, misalnya di dalam memilih bahan ajar, sarana dan fasilitas pendukung serta yang tidak kalah pentingnya kesiapan dan motivati siswa untuk belajar dan mencapai hasil belajar yang optimal.Dalam pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip- prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran meliputi prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan.Prinsip relevansi artinya, materi pembelajaran harus relevan atau ada kaitannya dengan pencapaian standart kompetensi dan kompetensi dasar. Sebagai misal, jika kompetensi yang diharapkan dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta atau gubahan hafalan. Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar harus dikuasai siswa empat macam, maka bahan ajar yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam. Misalnya kompetensi dasar yang yang harus dikuasai siswa adalah pengoperasian bilangan yang meliputi penambahan, pengurangan, perkalian , dan pembagian, maka materi yang diajarkan juga harus meliputi teknik penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang waktu atau tenaga sementara hai itu diluar kemamuan anak.Dalam proses belajar mengajar, diharapkan tidak hanya berlangsung interaksi intruksional, tetapi juga interaksi pedadog yang mengutamakan sentuhan- sentuhan emosional sehingga anak merasa senang belajar. Jean Piaget mengingatkan pentingnya metode mengjar anak yang seimbang dengan usia serta perkembangan fisik serta mental anak. Sebagai contoh anak usia 7 10 tahun berada pada stadium operasional kongkrit. Pada stadium ini anak sudah mampu melakukan aktivitas logis tertentu tetapi masih dalam situasi kongkret. Maksudnya, kalau anak dihadapkan suatu masalah secara verbal saja, tanpa bahan yang kongkrit, ia akan sulit menuntaskan permasalahannya secara baik. Bahan kongkrit ini bisa berupa alat peraga. Mereka akan lebih mudah belajar belajar menjumlahkan angka dengan menggunakan alat bantu sederhana seperti lidi atau batang korek api. Memberikan suatu pengertian bahwa sifat- sifat tertentu suatu objekakan tetap sama kendati ada transformasi pada objek tersebut ( konservasi ), bisa diperagakan misalnya denag segenggam tanah liat yang diubah- ubah bentuknya menjadi segitiga, segi empat atau bulat.bentuknya berubah taoi beratnya tetap sama.

BAB IIIPENUTUP

A. SimpulanPerkembangan dalam belajar adalah kemajuan kearah yang lebih positif/ menuju kesempurnaan dalam kepribadian, kognitif, tingkah laku dari yang tidak diketahui mejadi dapat di identifikasi kebenarannya.Penyelenggaraan pendidikan mengacu kepada tahapan dan proses pekembangan yang domainnya mengacu perkembangan fisik, motorik, kognitif, psikososial, sosioemosional dan moral. Secara lebih spesifik dengan memahami perkembangan moral anak, maka guru dapat memilih pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang sesuai, teknik-teknik pemotivasian yang tepat serta pendekatan dan teknik evaluasi sesuai.

B. SaranMembangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan Nasional harus melakukan upaya-upaya untuk perbaikan kualitas pendidikan terutama menghasilkan insan Indonesia yang berkarakter. Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan yang seperti di atas, para peserta didik (siswa dan mahasiswa) harus dibekali dengan pendidikan khusus yang membawa misi pokok dalam pembinaan karakter/akhlak mulia. Di sinilah mata pelajaran pendidikan agama menjadi sangat penting untuk menjadi pijakan dalam pembinaan karakter siswa, mengingat tujuan akhir dari pendidikan agama tidak lain adalah terwujudnya akhlak atau karakter mulia.

DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Alfabeta : Bandung