Pneumo Koni as Is

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pneumo Koni as Is

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSetiap makhluk hidup memerlukan energi. Setiap makanan manusia menghasilkan energi. Energi itu berasal dari makanan. Agar sari-sari makanan itu dapat diubah menjadi enegrdi, maka makanan harus dioksidasi. Oksidasi ini berlangsung di dalam sel. Hasil oksidasi adalah energi, dan sisa oksidasi berupa karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O).Dari persamaan ini, jelas bahwa karbondioksida dan uap air dilepas ke udara bersama hembusan napas, sedang energi sebagian berupa panas untuk memelihara suhu badan dan sebagian berupa energi yang berguna untuk melakukan kegiatan tubuh.Pernapasan adalah suaatu proses ganda yaitu terjadinya pertukaran gas di dalam jaringan (pernasan dalam), yang terjadi di dalam paru-paru disebut pernapasan luar. Pada pernapasan melalui paru-paru atau respirasi eksternal, oksigen dihisap melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas, olsigen masuk melalui batang tenggorokan atau trakea da pipa bronkhial ke alveoli, dan erat hubungannya dengan darah didalam kapiler pulmonaris.Saluran pernapasan pada manusia berhubungan dengan udara yang dihirup.Udara yang dihirup tentu berasal dari lingkungan sekitar manusia berada. Udara juga membawa partikelpartikel kecil (debu) yang mungkin memiliki potensi berbahaya. Dalam hal ini pekerja dengan lingkungan pekerjaan yang berdebu,baik debu yang berbahaya dan tidak berbahaya. Debu Industri yang terdapat di udara dibagi 2, yaitu partikel debu yang hanya sementara berada di udara (deposit particulate matter) dan debu yang tetap berterbangan bersama udara dan tidak mudah mengendap (Suspended particulate matter).

BAB IIPEMBAHASAN

A. DefinisiPneumokoniosis adalah penyakit paru-paru kronis yang disebabkan karena menghirup berbagai bentuk partikel debuanorganik, khususnya di tempat kerja industri, untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu juga dikatakan penyakit paru kerja, yang merupakan bagian tertentu dari penyakit terkait kerja yang terkait terutama untuk yang terkena zat berbahaya, apakah mereka gas atau debu, di tempat kerja, dan gangguan paru yang mungkinhasil dari itu.Beberapa jenis debu jika terinhalasi dalam kadar yang cukup banyak ke dalam paru-paru dapat menimbulkan reaksi jaringan fibrosis.Tingkat keparahan dan jenis pneumokoniosis tergantungpada (1) ukuran partikel 1-5 mikron, karena pertikel yang berukuran lebih besar tidak dapat mencapai alveolus.(2) kadar dan lamanya terpajan, kadar tinggi biasanya dapat mengalahkan perlindungan silia dan waktu terpajan lama (3)sifat dari debu: bahan- bahan tertentu (terutama debu organik seperti kapas, ampas tebu, dan jerami yang berjamur yang mempunyai efek entigenik yang dapat menyebabkan alveolus alergika. Sifat kimia debu anorganik juga berpengaruh menimbulkan penyakit. Debu silika (biasanya dihirup oleh pekerja di tempat penggilingan, pembersih debu dan pekerja batu karang), sangat berbahaya karena dapat menyebabkan silicosis. Secara teori, partikel-partikel ini diduga secara teratur merusak makrofag yang memfagositos debu-debu tersebut, mengakibatkan pembentukan nodula fibriotik. Fibrosis yang luas dapat menyebabkan penyatuan nodula-nodula fibriotik.Berbagai bentuk pneumokoniosis memiliki nama spesifik, tergantung pada substansi dihirup (mis. silikosis, Asbestosis, talcosis).

B. EpidemiologiData prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data SWORD di Inggris tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di Kanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%, sedangkan data di Afrika Selatan tahun 1996-1999 sebesar 61%. Jumlah kasus kumulatif pneumokoniosis di Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569.129 dan sampai tahun 2008 mencapai 10.963 kasus. Di Amerika Serikat, kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami penurunan, pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 2.531 kasus kematian.hSilikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis terbanyak. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1.000 kasus pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis batubara. Prevalensi pneumokoniosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada daerah pertambangan tersebut.Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada. Data yang ada adalah penelitian-penelitian berskala kecil pada berbagai industri yang berisiko terjadi pneumokoniosis. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan prevalensi pneumokoniosis bervariasi 0,5-9,8%. Penelitian Darmanto et al.di tambang batubara tahun 1989 menemukan prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. Data penelitian di Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 3,1%.Penelitian oleh Bangun et al.tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%. Kasmara (1998) pada pekerja semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH center tahun 2.000 pada pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%. Penelitian Pandu et al. di pabrik pisau baja tahun 2002 menemukan 5% gambaran radiologis yang diduga pneumokoniosis. Damayanti et al. pada pabrik semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara radiologis sebesar 0,5%.

C. Jenis Jenis PneumokoniasisJenis yang paling umum pneumokoniosis adalah: pneumokoniosis pekerja Batubara , Silikosis, Asbestosis, dan pneumoconiosis jinak. Pneumoconiosis ini disebabkan karena menghirup debu tambang batubara, debu silika, dan serat asbes serta menghirup debu dalam jumlah besar tapi bersifat jinak. Biasanya, dibutuhkan waktu beberapa tahunpneumoconiosisiniuntuk mengembangkan dan menampakkan diri. Namun, kadang-kadang, terutama dengan silikosis, dapat berkembang cukup cepat, dalam waktu singkat sedang terkena sejumlah besar debu silika. Dalam bentuk yang parah mereka, pneumoconiosis sering mengakibatkan penurunan dari cacat, paru-paru, dan bahkan kematian sebelum waktunya.Terlepas dari pneumoconiosis disebutkan di atas, ada juga jenis lain seperti: berylliosis, karena menghirup debu berilium, fibrosis bauksit, karena menghirup debubauksit; siderosis, karena menghirup debu besi, karena menghirup debu kapas. Adapun beberapa jenis umum dari pneumokoniasis adalah:1. Coal Workers Pneumoconiasis

Coal Workers Pneumoconiosis (CWP) biasa juga disebut Black Lung Disease. Penyakit ini merupakan penyakit paru akibat deposisi atau penimbunan debu batu bara dalam paru atau respons paru terhadap debu batu bara yang tertimbun dan menetap dalam paru. Disebut black lung karena debu batu bara berwarna hitam, sehingga paru yang tertimbun tersebut berwarna hitam juga. Para pekerja yang sering terkena penyakit ini umumnya bekerja di kapal pengangkut batu bara terutama pada pekerja yang bertugas memangkas atau meratakan batu bara saat dicurahkan ke kapal untuk persiapan keberangkatan. Namun kini termasuk penyakit paru jarang, dan terjadi pada pria manula yang disebabkan karena inhalasi debu batu bara. Dosis paparan total berhubungan dengan beratnya penyakit.Respons dari paru akibat debu batu bara kurang menimbulkan fibrosis bila dibandingkan dengan debu silika, tetapi bila bersamaan dengan silika yang ada terdapat dalam debu maka secara radiologis akan memberikan bayangan atau opasitas yang bervariasi.Berdasarkan bentuk serta ukuran opasitas radiologis terdapat dua jenis CWP, yaitu simple CWP dan complicated CWP.Pada simple CWP, debu yang terinhalasi dibungkus oleh sel radang yang membentuk nodul atau disebut coal macula kecil, hitam, bulat, berukuran kurang dari 1 cm dan tersebar merata di lobus paru bagian atas. Pada complicated CWP, kumpulan nodul kecil bergabung membentuk nodul atau coal macula besar, warna hitam dan berukuran lebih dari 1 cm. Apabila ukuran coal macula lebih dari 3 cm disebut lesi masif atau progressive masive fibrosis (PMF) dengan inti terdiri dari debu, jaringan kolagen dan protein, serta di bagian tepinya terdapat lapisan kapsul.Apabila dilihat dari manifestasi klinis yang muncul terdapat tiga jenis CWP, yaitu CWP sederhana (simple CWP), CWP komplikasi (complicated CWP) dan sindrom Caplan. Pada CWP sederhana biasanya tidak menimbulkan gejala atau asimtomatis, progresivitas perlahan serta diagnosis berdasarkan opasitas radiologis dan faal paru masih normal. Namun, satu sampai dua persen penderita CWP sederhana dapat mengalami progressivve masive fibrosis. Pada CWP komplikasi biasanya sudah terdapat sesak napas terutama saat beraktivitas, bisa ditemukan batuk dengan sputum hitam (melanoptysis), dan dapat berlanjut kor pulmonal kronik, hipertensi pulmonal atau payah jantung kanan. Sindrom Caplan terdapat pada pekerja tambang batu bara yang disertai rematoid artritis dengan nodul-nodul besar, bulat, dan terletak di daerah tepi paru. Pada nodul sering ditemukan kavitas dan nodul tersebut sebelum ada gejala sendi. Pemeriksaan untuk penyakit rematoid pada penderita sindrom Caplan akan memberikan hasil positif.Diagnosis CWP ditegakkan berdasarkan riwayat paparan debu batu bara serta pemeriksaan rontgen paru yang menunjukkan adanya abnormalitas gambaran radiologis.3,4 Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan foto toraks dengan tujuan untuk membedakan nodul kecil atau besar, dan juga dengan melakukan tes fungsi paru pada CWP komplikasi untuk mengetahui adanya penurunan volume paru disertai obstruksi aliran udara. Pada pasien dengan kavitas paru dan ada dugaan terdapat infeksi tuberkulosis, maka diagnosis tuberkulosis harus dilakukan secara intensif. Insidens karsinoma atau keganasan paru baik pada CWP sederhana dan komplikasi adalah kecil. Gambaran klinis untuk mengetahui adanya PMF adalah bila ada bayangan atau opasitas radiologis dengan densitas yang bervariasi, ada opasitas reguler di bagian tepi paru, ada kalsifikasi dalam lesi dan ada riwayat melanoptysis.Pneumokonisis pada penambang batu bara atau CWP ini berbeda dengan silikosis. Cara untuk membedakannya terutama didasarkan pada riwayat pekerjaan selain itu bisa juga dengan melakukan biopsi. Namun, meskipun biopsi dapat membedakan kedua penyakit tersebut tetapi jarang sekali diperlukan.Pengobatan spesifik untuk penyakit ini tidak ada. Biasanya pengobatan hanya berdasarkan gejala atau simtomatis dan ditujukan pada kepada komplikasi atau keadaan tertentu. Bila terdapat infeksi tuberkulosis harus diobati secara tuntas. Beberapa pencegahan yang perlu dilakukan adalah dengan menganjurkan para pekerja agar memakai alat pelindung diri, seperti menggunakan masker basah saat bekerja, kemudian diberikan penyuluhan mengenai bahaya dari penyakit ini terutama kepada para pekerja dan untuk perokok dianjurkan untuk berhenti merokok. Selain itu beberapa hal penting lainnya yang juga dapat dilakukan adalah pengontrolan debu dan pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi penyakit serta memindahkan pekerja yang terdiagnosa terkena pneumokoniosis. Bila ditemukan pekerja muda dengan gambaran radiologis simple CWP disarankan agar berhenti bekerja karena resiko terjadi PMF cukup tinggi. Insidens penyakit ini dapat berhasil diturunkan dengan mengurangi atau menghindari paparan. Disabilitas atau kecacatan akibat CWP bisa dikompensasi.Prognosis penyakit ini cukup baik karena berkat pengendalian kadar debu, penyakit jarang menjadi lebih berat. Gagal napas dapat terjadi pada pasien dengan progressive masive fibrosis atau PMF.

2. AsbestosisPenyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan penumokoniosis yang ditandai oleh fibrosis paru. Paparan dapat terjadi di therah industri dan tambang, juga bisa timbul pada daerah sekitar pabrik atau tambang yang udara- nya terpolusi oleh debu asbes. Pekerja yang dapat terkena asbestosis adalah yang bekerja di t ambang, penggilingan, transportasi, pedagang, pekerja kapal dan pekerja penghancur asbes. Pada stadium awal mungkin tidak ada gejala meskipun foto toraks menunjukkan gambaran asbestosis atau penebalan pleura. Gelaja utama adalah sesak napas yang pada awal- nya terjadi pada waktu aktivitas. Pada stadium akhir gejala yang umum adalah sesak pada saat istirahat, batuk dan pe- nurunan berat badan. Sesak napas terus memburuk meskipun penderita dijauhkan dari paparan asbes. 15 tahun sesudah awal penyakit biasanya terjadi kor pulmonal dan kematian. Penderita sering mengalami infeksi saluran napas, keganasan pada brunkus, gastrointestinal dan pleura sering menjadi penyebab kematian. a. PatofisiologiSerat asbestos, jika terhirup memasuki alveoli yang pada akhirnya terobliterasi oleh jaringan fibrosis yang mengelilingi partikel asbestos. Perubahan fibrosis juga mempengaruhi pleura yang menebal dan menjadi plak. Akibat dari perubahan fisiologis ini adalah penyakit restriktif dengan penurunan dalam volume paru, menghilangkan pertukaran oksigen dan kaarbondioksida serta hipoksemia.Pada stadium awal pemeriksaan fisis tidak banyak menunjukkan kelainan, akibat fibrosis difus dapat terdengar ronki basah di lobus bawah bagian posterior. Bunyi ini makin jelas bila terjadi bronkiektasis akibat distorsi paw yang luas karena fibrosis. Jan tabuh (clubbing) sering ditemukan pada asbestosis. Perubahan pada foto toraks lebih jelas pada bagian tengah dan bawah paw, dapat berupa bercak difus atau bintik-bintik yang patht, bayangan jantung sering menjadi kabur. Diafragma dapat meninggi pada stadium lanjut karena paw mengecil. Penebalan pleura biasanya terjadi biral, terlihat di daerah tengah dan bawah terutama bila timbul kalsifikasi. Bila proses lanjut terlihat gambaran sarang tawon di lobus bawah. Mungkin ditemukan keganasan bronkus atau mesotelioma. Berbeda dengan penumokoniosis batubara dan silikosis yang penderitanya dapat mempunyai gejala sesak napas tanpa kelainan foto toraks. Pemeriksaan faal paru menunjukkan kelainan restriksi meskipun tidak ada gejala pada sebagian penderita terdapat kelainan obsiruksi. Kapasitas difusi dan komplians paru menurun, pada tahap lanjut terjadi hipoksemia. Biopsi paru mungkin perlu pada kasus tertentu untuk menegakkan diagnosis. Biopsi paru transbronkial hendaklah dilakukan untuk mendapakatan jaringan paru. Pemeriksaan bronkoskopi juga berguna menyingkirkan atau mengkonfirmasi adanya karsinoma bronkus yang terdapat bersamaanb. Manifestasi klinisPasien mengalami dispnea yang menjadi buruk serta progresif, nyeri dada ringan sampai sedang, anoreksi dan penurunan berat badan. Kor pulmonal dan gagal nafas terjadi sejalan dengan kemajuan penyakit.c. Penatalaksanaan medisTidak terdapat pengobatan efektif untuk asbestosis. Penatalaksanaan diarahkan pada pengendalian infeksi dan mengobati penyakit paru. Bila pertukaran oksigen-karbon dioksida menjadi sangat terganggu, terapi oksigen kontinu dapat membaqntu memperbaiki toleransi toleransi aktivitas.

3. SilicosisPneumokoniosis jenis ini terjadi pada orang yang menangani silika, umumnya kuarsa, yang ditemukan dalam batu pasir, pasir, granit, batu tulis, beberapa jenis tanah liat, dan sebagainya.. Orang-orang yang memiliki jumlah yang paling terkena silika adalah mereka yang membuat produk gelas dan keramik, pekerja tambang, pekerja pengecoran, pabrik silika, pembangun terowongan, penambang, dan sandblasters. Silikosis mengakibatkan fibrosis dalam paru-paru, yang semakin meningkat, dan merusak fungsi paru-paru.. Hal ini diperburuk pada orang yang merokok. Di bawah ini adalah contoh gambar orang yang terkena silikosis.

Silikosis AkutPenyakit dapat timbul dalam beberapa minggu, bila pekerja terpapar dengan konsentrasi sangat tinggi. Perjalanan penyakit sangat khas, yaitu gejala sesak napas yang progresif, demam, batuk dan penurunan berat badan setelah paparan silica konsentrasi tinggi dalam waktu relatif singkat. Lama paparan silica berkisar antara beberapa minggu hingga 4 atau 5 tahun. Kelainan Faal paru yang timbul adalah restriksi berat dan hipoksemia disertai penurunan kapasitas difusi.

Silikosis KronikKelainan pada penyakit ini mirip dengan pneumokoniosis pekerja tambang batubara, yakni terdapat nodul yang biasanya dominan di lobus atas. Bentuk silikosis kronik paling sering ditemukan, terjadi setelah paparan 20 hingga 45 tahun oleh kadar debu yang relative rendah. Pada stadium simple, nodul di paru biasanya kecil dan tanpa gejala/ minimal. Walaupun paparan tidak ada lagi, namun kelainan paru dapat menjadi progresif sehingga terjadi fibrosis yang masif. Pada silikosis kronik yang sederhana, foto Thorax menunjukkan nodul terutama di lobus atas dan mungkin disertai kalsifikasi. Pada bentuk lanjut terdapat massa yang besar yang tampak seperti sayap malaikat (angels wing). Sering terjadi reaksi pleura pada lesi besar yang padat. Kelenjar hilus biasanya membesar dan membentuk bayangan egg shell calcification. Jika fibrosis massif progresif terjadi, volume paru berkurang dan bronkus mengalami distorsi. Faal paru menunjukkan gangguan restriksi, obstruksi atau campuran. Kapasitas difusi dan komplian menurun. Timbulnya gejala sesak napas, biasanya disertai batuk dan produksi sputum. Sesak pada awalnya terjadi saat aktivitas, kemudian pada waktu istirahat dan akhirnya timbul gagal kardiorespirasi. Di pabrik semen daerah cibinong (1987) dari 176 pekerja yang diteliti ditemukan silikosis sebanyak 1,13% dan diduga silicosis 1,7%. Pada tahun 1991 penelitian pada 200 pekerja pabrik semen ditemukan dugaan silikosis sebanyak 7%. Perbedaan angka yang didapat, diduga karena perbedaan kualitas foto thorax, dan kadar silika bebas dalam debu yang memapari pekerja. Silikosis TerakselerasiBentuk kelainan ini serupa dengan silikosis kronik, hanya saja perjalanan penyakit lebih cepat dari biasanya, menjadi fibrosis masif, sering terjadi infeksi mikobakterium tipikal / atipik. Setelah paparan 10 tahun sering terjadi hipoksemia yang berakhir dengan gagal napas.a. PatofisiologiJika partikel silica, yang mempunyai sifat fibrogenik, terhirup akan dibentuk lesi nodular di seluruh paru. Dengan berjalannya waktu dan pemajanan lebih lanjut, nodulus membesar dan bersatu. Masa padat terbentuk pada bagian atas paru-paru, mengakibatkan penurunan volume paru.b. Manifestasi klinisPasien dapat mengalami gajala-gejala indikatif hipoksemia, obstruksi jalan nafas yang berat, gagal jantung sebelah kanan. Edema dapat terjajdi karena gagal jantung.c. Penatalaksanaan medisTidak terdapat pengobatan spesifik untuk silikosis. Terapi diarahkan pada penanganan komplikasi dan pencegahan infeksi. Pemeriksaan dilakukan untuk menyingkirkan tuberculosis. Jika terdapat tuberculosis, diatasi secara agresif. Terapi tambahan dapat mencakup oksigen dan terapi bronkodilator (teofilin dan ipratropium bromida).

4. Pneumokoniosis JinakAdalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya sejumlah debu di dalam paru-paru yang sifatnya jinak. Debu yang terhirup adalah debu di udara yang pada proses inhalasi tertahan di paru-paru. Jumlah debu yang tertimbun tergantung kepada lamanya pemaparan, konsentrasi debu di dalam udara yang terhirup, volume udara yang terhirup setiap menitnya dan sifat pernafasannya. Pernafasan yang dalam dan lambat, cenderungakan mengendapkan lebih banyak debu daripada pernafasan yang cepat dan dangkal. Debu di dalam paru-paru menyebabkan suatu reaksi jaringan, yang jenisnya dan lokasinya bervariasi tergantung jenis debunya.

D. EtiologiPneumokoniosis bisa disebabkan oleh terhirupnya debu logam, silicon, asbes, batu bara dan mineral lain seperti besi, perak/kaleng dan barium. Pemaparan debu bisa berasal pada proses penambangan, penggilingan, dan pemotongan logam. Terhirupnya debu besi, perak maupun barium menyebabkan perubahan struktur paru yang ringan sehingga menimbulkan sedikit gejala. Tetapi reaksi jaringan ini bisa terlihat pada foto rontgen dada sebagai sejumlah kecil daerah-daerah yang tidak tembus cahaya.Selama proses inspirasi , partikel-partikel debu di udara yang memilki garis tengah lebih dari 10 mikron disaring oleh bulu-bulu hidung. Partikel debu lainnya yang masuk melalui mulut disimpan dalam saluran pernafasan bagian atas. Partikel debu yang verdiameter 5-10 mikron cenderung akan tinggal di dalam lendir yang menyelimuti bronkus dan bronkiolus kemudian disapu ke arah tenggorokan oleh rambut-rambut silia. Dari tenggorokan partikel-partikel tersebut akan dibatukkan tetapi beberapa di antaranya ada yang tertelan. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron lebih mudah mencapai paru-paru.

E. PatofisiologiFaktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandungan besi juga merupakan hal yang terpenting pada patogenesis pneumokoniosis.Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.Partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibro-blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor(TNF)-, Interleukin(IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses fibrogenesis.Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan, pengumpulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast adalah: Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease. Leukotrien L TB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit. Sitokin IL-1, TNF-, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang berperan dalam fibrogenesis.Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-, PDGF , IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut.Bila partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis.Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis. Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara. Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu campuran. Empat gambaran respons patologi terlihat pada pneumokoniosis yaitu fibrosis interstisial, fibrosis nodular , fibrosis nodular dan interstisial serta emfisema fokal dan pembentukan makula.

F. Manifestasi KlinisDalam bentuk yang lebih ringan, pneumokoniosis mungkin tidak memiliki gejala apapun. Namun, ketika gejala itu berkembang,akan menimbulkan gejala: Sesak napas, terutama pada saat tenaga di pakai Restriksi hebat volume inspirasi sertanadi cepat dan bersambung Batuk kronis, yang mungkin atau mungkin tidak disertai dengan lendirJika ada fibrosis parah dari paru-paru, dapat menjadi sangat sulit untuk bernafas, dan ketika ini terjadi, mungkin menyebabkan kaku dan bibir mendapatkan semburat kebiruan. Dalam bentuk lanjutan dari pneumokoniosis, ada mungkin juga pembengkakan pada kaki akibat regangan berlebihan pada jantung. Meskipun debu dari logam tersebut tampak jelas pada foto dada, tetapi tidak menimbulkan banyak reaksi di paru-paru sehingga tidak timbul gejala maupun gangguan fungsi paru.

G. DiagnosisDiagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja.Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis.Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular. Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu penyebab.Pemeriksaan Radiologi seperti foto toraks pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour Organization(ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis. Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi dua golongan yaitu perselubungan halus dan kasar.Sedangkan menggunakan Computed Tomography (CT) scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaan dengan opasiti yang ada.High resolution CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuationpada area percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bron-kiektasis traksi, sarang tawon/ honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper zone). Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan in-tralobular, opasitas subpleura atau curvilinierdan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik, masing-masing mempunyai karakteristik sendiri.Pada pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagno-sis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi (DLco), namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi.Pada pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber-hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok pada populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah obstruksi yang terjadi karena efek debu terinhalasi atau efek rokok.Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan kerja dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk metabolismenya. Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan BAL dapat terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos body(AB) pada pemeriksaan BAL. AB adalah bahan yang terbentuk secara intraselular dan berasal dari satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat asbes. Penemuan AB menjadi stndar baku emas penegakkan diagnosis asbestosis.Pada silikosis, makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang semakin lama riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin banyak ditemukan makrofag tersebut. Selain itu, nodul silikotik dapat ditemukan pada pemeriksaan histopatologi silikosis.

H. PenatalaksanaanTidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit paru yang disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya memberikan gejala bila kelainan telah lanjuL Pada silikosis dan asbestosis bila diagnosis telah ditegakkan penyakit dapat terus berlanjut menjadi fibrosis masif meskipun paparan di- hilangkan. Bila faal paru telah menunjukkan kelainan obstruksi pada bronkitis industri, berarti kelainan telah menjadi ireversibel. Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengu- rangi gejala. Obat lain yang diberikan bersifat suportif .Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling panting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri. Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi laju penyakit. Perlu diketahui apakah pada suatu industri atau tempat kerja ada zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan pada paru. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang ber- terbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja diharuskan memakai alat pelindung. Pemeriksaan faal paru dan radiologi sebelum seorang menjadi pekerja dan pemeriksaan secara berkala untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila seseorang telah mendenita penyakit, memindahkan ke tempat yang tidak terpapar mungkin dapat mengurangi laju penyakit. Pekerja hendaklah berhenti merokok terutama bila bekerja pada tempat-tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit bronkitis idustri dan kanker paru, karena asap rokok thpat meninggikan risiko timbulnya penyakit. Penderita yang atopik idealnya dianjurkan menghindari tempat yang jelas thpat mencetuskan serangan asma, seperti produksi sutra, deterjen, dan pekerjaan yang mempunyai paparan garam platinum. Industri dan tempat kerja yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan serangan asma hendaklah tidak menenima pegawai yang atopik.

BAB IIIPENUTUPKESIMPULANPneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan oleh inhalasi debu anorganik yang bersifat kronik khususnya di tempat kerja untuk jangka waktu yang lama sehingga disebut penyakit paru kerja karena di dapatkan ketika bekerja di tempat berdebu.Terpapar debu anorganik yang terus menerus menyebabkan akumulasi debu-debu organik pada paru-paru yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis pada paru-paru dan menyebabkan kekakuan sehingga penurunan peregangan paru. Pneumokoniosis di tandai dengan sesak nafas, batuk kronis, sianosis dan nadi yang cepat sebagai konsekuensi terhadap kekurangan O2.

DAFTAR PUSTAKA1. Noer, Sjaifulloh (ed). 2002.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2. Potter dan Perry.2006. BukuAjar Fundamental Volume 2 Edisi 2. Jakarta: EGC.3. Price, Sylvia Anderson.2005.Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.Jakarta. EGC.4. Arief, Erwin.2010.Pneumokoniosis Coal Worker Pada Penderita TB Paru Disertai Efusi Pleura.[online] http://journal.unair.ac.id/pneumokoniosis-coal-worker-pada-penderita-tb-paru-disertai-efusi-pleura-article-4190-media-106-category-3.html. Diakses pada: 27 November 2015.5. Castranova, V.2000.Silicosis and Coal Workers Pneumoconiosis.[online] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1637684/. Diakses pada: 28 November 2015.

PneumokoniasisPage 18