Upload
miftahul-fahmi-fs
View
35
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI (2)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis
akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit
neurologis lainnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals. Paralisis fasial
idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes
simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan
penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada
Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di
dekat ganglion genikulatum.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi
anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan
erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2
tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin.
B. EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
1
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .
C. ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.
levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan
mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap
di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu
dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang
dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang
2
telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi
ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan
keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
3
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi
otot- otot wajah.
4
D. PATOFISIOLOGI (6)
1) Teori Infeksi Virus Herpes Zoster
Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsy adalah karena adanya infeksi
virus herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila
radang herpes zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat
melibatkan paralisis pada otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis
herpes zoster yang menyebabkan kelemahan pada otot-otot wajah ini sering
dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt atau Bell’s Palsy
2) Teori Iskemia Vaskuler
Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii,
secara tidak langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kerusakan
yang ditimbulkan berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan
dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan
akibat dari tekanan langsung pada sarafnya. Kemungkinan terdapat respon
simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arterioral atau statis vena
pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga menimbulkan oedema
sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah,
menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis.
3) Teori herediter
5
Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang disebabkan karena
faktor herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis
yang bersifat menurun.
4) Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher
atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari
suatu bentuk kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus
bengkak. Nervus facialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga
rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah
mengalami kelemahan atau lumpuh.
E. ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut
bell’s palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s
Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di
tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetic.
2) Kongenital
a) anomali kongenital (sindroma Moebius)
b) trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3) Didapat
a) Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b) Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c) Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
d) Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e) Sindroma paralisis n. fasialis familial.
F. GEJALA KLINIK (1, 2)
6
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan
gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas
bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal,
linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal
yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
1) Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang
lumpuh (lagophthalmos).
2) Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola
mata berputar zXke atas bila memejamkan mata, fenomena ini
disebut Bell's sign.
3) Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada
sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi
lesi :
1) Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi
mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan
sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit
dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau
tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2) Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda
klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang
terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3) Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus
stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan
adanya hiperakusis.
7
4) Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di
belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi
pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah
paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di
ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani,
kanalis auditorius eksterna dan pina.
5) Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik
seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
G. DIAGNOSA (4)
1) Anamnesa
Rasa nyeri
Gangguan atau kehilangan pengecapan.
Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan
pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
8
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita
seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-
lain.
2) Pemeriksaan Fisik
Diagnosis Bell’s palsy biasanya ditegakkan berdasarkan gejala yang muncul.
Hal ini dapat dibedakan dengan stroke karena biasanya stroke dapat menyebabkan
kelemahan mendadak hanya pada wajah bagian bawah daripada pada semua
bagian wajah. Selain itu, stroke juga menyebabkan kelemahan yang khas pada
lengan dan kaki.
Para dokter dapat membedakan Bell’s palsy dari kelainan lain yang
menyebabkan paralisis nervus fasialis karena kelainan lain biasanya berkembang
secara perlahan-lahan. Yang termasuk pada kelainan ini antara lain tumor otak,
tumor lain yang menekan nervus fasialis, infeksi di rongga telinga tengah atau
sinus mastoideus, dan fraktur basis cranii. Biasanya, dokter dapat
mengesampingkan kelainan-kelainan ini berdasarkan riwayat penyakit, hasil foto
rontgen, CT Scan atau MRI. Untuk tes darah tidak ada tes khusus untuk Bell’s
palsy.
Untuk menilai kelumpuhan atau kondisi simetris-asimetris dari Bell’s palsy
yaitu dengan “UGO FISCH SCORE”. Cara penilaian kondisi simetris-asimetris
antara sisi sakit dibandingkan dengan sisi sehat pada 5 posisi:
1. Kerutan dahi : 10 point
2. Bersiul : 10 point
3. Istirahat : 20 point
4. Tutup mata : 30 point
5. Tersenyum : 30 point
Kondisi tersebut dikalikan dengan penilaian dengan kondisi dibawah ini:
0% = asimetris komplit, gerakan involunter tidak ada
30% = simetris, lebih dekat ke asimetris komplit dari pada
normal
70% = simetris cukup, sembuh parsial, lebih dekat ke normal
100% = simetris normal atau komplit
9
Kemudian semua hasil dijumlahkan (dalam keadaan normal, jumlah point = 100).
Hasil: Normal (100), prognosis baik (70-99), prognosis cukup (30-69), prognosis
buruk (0-29)
3) Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
4) Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-
Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,
stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien
Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus
fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
H. DIAGNOSA BANDING (2)
a) Ramsay Hunt syndrom
Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom).
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan
ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi :
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang
telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut
(langit-langit) atau lidah.
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang
terkinfeksi.
Kesulitan menutup satu mata.
Sakit telinga.
Pendengaran berkurang.
Dering di telinga (tinnitus).
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo).
Perubahan dalam persepsi rasa.
b) Miller Fisher Syndrom
10
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang
jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan
rasa kebas, pusing dan mual.
I. PENATATALAKSANAAN (1, 8)
1). Istirahat terutama pada keadaan akut
2). Medikamentosa
i. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60
mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan
perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya
dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk
meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Dasar dari
pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan
terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang
disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal
fasialis yang sempit.
ii. Penggunaan obat- obat antivirus .
Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan dalam
penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk
penderita yang tidak dapat mengkonsumsi prednison.
Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari
pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
iii. Perawatan mata:
11
Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk
menggantikan lakrimasi yang hilang.
Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa
sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan
perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan
kabur.
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan
menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara
langsung terhadap kornea.
3). Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Dapat dilakukan dengan melakukan terapi ke rehabmedik dengan pemberian
terapi Infra Merah (15 menit) dan Elektrikal Stimulasi intensitas 1 MA. Cara yang
sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore
atau dengan faradisasi.
Ocupational Terapi Program :
- Suportif OT
- Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut dahi,
tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola pingpong,/lilin,
berkumur.
- Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.
4). Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena
dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan
operatif dilakukan apabila :
tidak terdapat penyembuhan spontan
tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
J. KOMPLIKASI (2, 9,10)
a) Crocodile tear phenomenon.
12
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi
yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
b) Synkinesis.
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri.
selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan
mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi
platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah,
serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-
serabut otot yang salah.
c) Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada
sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
K. PROGNOSIS
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah :
a. Usia di atas 60 tahun.
b. Paralisis komplit.
c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh.
d. Nyeri pada bagian belakang telinga.
e. Berkurangnya air mata.
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
13
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Pada umumnya
prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun
atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya
memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa.Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non
DM. Hanya 23%kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
14
BAB II
LAPORAN KASUS REHABILITASI MEDIK
BELL’S PALSY
Anamnesis : Autoanamnesa
Tanggal : 12 Februari 2013
Ruang : Poliklinik
Masuk RS : 12 Februari 2013
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : Tamat SMA
Agama : Islam
II. DATA SUBYEKTIF
Keluhan Utama : wajah sebelah kiri terasa bebal, rujukan dokter umum ke
rehabilitasi medik.
Keluhan Tambahan : ( - )
Riwayat Perjalanan Penyakit
10HSMRS pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan dan mata
terasa pedih karena tidak bisa menutup maksimal. Pasien mengeluh ketika
mengunyah makanan, makanan tersebut mengumpul di rongga mulut bagiuan kiri.
Untuk minum seperti bocor keluar. Keluhan tersebut muncul saat pasien pulang
dari sawah pagi-pagi subuh sehabis bertani. Saat bangun tidur pasien tidak
merasakan perubahan ataupun keluhan apapun. Pasien tidak mengeluh demam
15
maupun pusing berdenyut. Pasien juga tidak mengeluh ada kelemahan anggota
gerak. Pasien kemudian berobat ke dokter umum, dan setelah menjalani
pengobatan dokter tersebut merujuk ke bagian rehabilitasi medis RSU Salatiga
Pasien mengaku tidak bisa menggunakan sedotan saat minum. Pasien mengaku
tidak ada riwayat trauma sebelumnya.
Faktor yang memperberat : -
Faktor yang memperingan : -
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : Tidak ada
b. Riwayat penyakit asma : Tidak ada
c. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi : Tidak ada
d. Riwayat penyakit jantung : Tidak ada
e. Riwayat penyakit kencing manis : Tidak ada
f. Riwayat penyakit alergi : Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : tidak ada
b. Riwayat penyakit asma : Tidak ada
c. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi : Tidak ada
d. Riwayat penyakit jantung : Tidak ada
e. Riwayat penyakit kencing manis : Tidak ada
f. Riwayat penyakit alergi : Tidak ada
Riwayat Sosio Ekonomi
Pasien merupakan seorang petani. Tinggal bersama istri di rumah.
Memiliki 2 anak kesemuanya belum bekerja dan belum berkeluarga. Aktivitas
sehari-hari pasien adalah bercocok tanam. Pasien menggarap sawah orang,
kemudian dengan system bagiu hasil. Penghasilan per bulan tidak menetap,
tergantung hasil panen.
Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : CM,
Sistem Kardiovaskular : tak ada keluhan
Sistem Respirasi : tak ada keluhan
16
Sistem Gastrointestinal : tak ada keluhan
Sistem Muskuloskeletal : kelumpuhan otot wajah sebelah kiri
Sistem Integumentum : tak ada keluhan
Sistem Urogenital : tak ada keluhan
III. DATA OBYEKTIF
A. Status present tanggal 12 Februari 2013
Keadaan Umum : CM, E4V5M6
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Denyut nadi : 88x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 36,5 °C
B. Status Internus (12 Februari 2013)
Kepala : Mesosepal, bentuk simetris, konjungtiva tidak anemis.
Hidung : Secret (-), hiperemis (-)
Telinga : Secret (-), nyeri tekan (-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe, kaku kuduk (-),
bentuk dan sikap leher normal.
Thorak : Bentuk dinding thorak simetris, ketinggalan gerak (-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tak teraba
Perkusi : batas jantung
kiri atas : SIC II linea parasternalis kiri
kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
kiri bawah : SIC V ±4-5 cm dari caudo lateral linea
midclavicula
Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)
Paru-paru
Inspeksi : Permukaan datar tak tampak retraksi
17
Palpasi : Fokal femitus ka=ki
Perkusi : Sonor disemua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler (+),
Suara tambahan: (-)
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, tidak tampak adanya massa.
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
C. Status Psikis
Pasien berharap bisa sembuh seperti semula.
D. Status Neurologis
Kesadaran : Baik (compos mentis)
GCS : E4 V5 M6
Orientasi : Tempat : baik
Waktu : baik
Orang : baik
Daya ingat : Lama : baik
Baru : baik
Pemeriksaan Penunjang
1. Tidak dilakukan
Ugo Fisch Score
Istirahat : 20 x 100% = 20
Kerut dahi : 10 x 70% = 7
Tutup mata : 30 x 70% = 21
Tersenyum : 30 x 70% = 21
Mencucu : 10 x 70% = 7
Total Score = 76
18
V. KESIMPULAN (Assesment)
Diagnosis klinis :Bell’s Palsy
Diagnosis topik : Lesi pada nervus VII (fasialis) perifer sinistra
Diagnosis etiologi : Tidak diketahui
VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Umum
Istirahat terutama pada keadaan akut
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea.
B. Terapi Khusus
a. Farmakoterapi
Methyl Prednison mg 7
B1 tab 1/3
Diazepam 0,1
Mfla pulv dtd da in caps No VI
∫ 2 dd caps I
Neurodex No X
∫ 2 dd tab I
Pemberian kortikosteroid selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7
hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset
penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Metilprednisolon adalah glukokortikoid turunan prednisolon yang mempunyai
efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya.
Metilprednisolon tidak mempunyai aktivitas retensi natrium seperti
glukokortikosteroid yang lain. Dasar dari pengobatan ini adalah untuk
menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang
disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang
sempit. Dosis awal dari metilprednisolon dapat bermacam – macam dari 4 mg –
48 mg per hari, dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit.
19
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-
aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat sehingga kanal
klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan
mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini
menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alcohol,
antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal. Dosisnya adalah 2-10 mg 3-4 kali sehari
atau 15-30 mg bentuk lepas lambat satu kali sehari. 2-2,5 mg 1-2 kali sehari
diawal pada lansia atau pasien yang sangat lemah.
Tiap tablet neurodex mengandung vitamin B1 mononitrate100mg, vitamin B6
HCL 200 mg, vitamin B12 200 mcg. Vitamin B1 sebagai koenzim pada
dekarboksilasi asam alfa-keto dan berperan dalam metabolisme karbohidrat.
Vitamin B6 di dalam tubuh berubah menjadi piridoksal fosfat dan piridoksamin
fosfat yang dapat membantu dalam metabolisme protein dan asam amino. Vitamin
B12 berperan dalam sintesa asam nukleat dan berpengaruh pada pematangan sel
dan memelihara integritas jaringan syaraf. Dosisnya adalah 2-3x sehari.
b. Program Rehabilitasi Medik
Fisioterapi
Problem
- Kelemahan sistem otot-otot wajah yang diinervasi NVII perifer sinistra
Asssment
Bell’s Palsy
Program
- Pemanasan 1, 10
Pemanasan superfisial dengan infrared.
Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy. Memelihara ROM sendi lengan dan tungkai
- Stimulasi listrik. 1,8
- Latihan
- otot-otot wajah dan massage wajah
Sebaiknya ditambahkan juga dengan terapi :
20
1. Okupasi Terapi
Problem
- Gangguan mengunyah makan dan meminum minuman
Program
- Suportif OT
- Latihan penguatan otot pipi dan wajah kiri dengan kerut
dahi, tutup mata, tersenyum, meringis, meniup bola
pingpong,/lilin, berkumur.
- Latihan makan dengan mengunyah disisi yang lemah.
2. Home Program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20
menit
- Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan
tangan dari sisi wajah yang sehat
- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah
disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah
permen karet
- Perawatan mata :
Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x
sehari
Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang
hari
Biasakan menutup kelopak mata secara pasif
sebelum tidur
Prognosis
pada kasus ini:
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatioman : dubia ad bonam
Ad kosmetika : dubia ad bonam
21
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang pasien laki-laki, usia 52 tahun, datang ke Poliklinik RSU Salatiga
dengan keluhan 10HSMRS pasien mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan
dan mata terasa pedih karena tidak bisa menutup maksimal. Pasien mengeluh
ketika mengunyah makanan, makanan tersebut mengumpul di rongga mulut
bagiuan kiri. Untuk minum seperti bocor keluar. Keluhan tersebut muncul saat
pasien pulang dari sawah pagi-pagi subuh sehabis bertani. Saat bangun tidur
pasien tidak merasakan perubahan ataupun keluhan apapun. Pasien tidak
mengeluh demam maupun pusing berdenyut. Pasien juga tidak mengeluh ada
kelemahan anggota gerak. Pasien kemudian berobat ke dokter umum, dan setelah
menjalani pengobatan dokter tersebut merujuk ke bagian rehabilitasi medis RSU
Salatiga Pasien mengaku tidak bisa menggunakan sedotan saat minum. Pasien
mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Berdasarkan anamnesis, keluhan
pasien ini sesuai dengan paralisis nervus fasialis tipe perifer, dimana paralisis
terjadi padasisi wajah sebelah kiri saja. Hal ini terjadi karena kerusakan pada inti
nervus fasialis atau infranuklearnya, sehingga impuls homolateral untuk otot-otot
wajah bagian atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah
terganggu. Pada pasien ini tidak ditemukan gangguan pengecapan dan
pendengaran. Hal ini dapat menyingkirkan keterlibatan ganglion genikulatum
sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah maupun meatus akustikus
internus yang dapat mengganggu pendengaran. Pasien tidak memiliki riwayat
telinga berair, sehingga dapat disingkirkan kemungkinan etiologinya merupakan
suatu otitis media. Riwayat trauma juga disangkal sehingga dapat disingkirkan
kemungkinan fraktur os temporal, dan tidak adanya riwayat hipertensi serta tidak
adanya kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan suatu lesi
sentral.
Dari riwayat sosial dan kebiasaan, pasien adalah seorang petani yang
terbiasa terkena udara dingin dan kelelahan. Hal ini merupakan faktor risiko yang
22
dapat menyebabkan nervus fasialis menjadi sembab dan terjepit pada foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis tipe LMN(perifer).
Kelumpuhan ini disebut dengan Bell’s Palsy.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,50C. Tidak
ditemukan hipeakusis karena jika nervus fasialis terjepit di foramen
stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda timpani dan
serabut yang mempersarafi muskulus stapedius. Ugo Fisch Score
Istirahat : 20 x 100% = 20
Kerut dahi : 10 x 70% = 7
Tutup mata : 30 x 70% = 21
Tersenyum : 30 x 70% = 21
Mencucu : 10 x 70% = 7
Total Score = 76. Tidak adanya kelumpuhan anggota gerak dapat
menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapatmenyebabkan paralisis Nv.VII,
yang lesinya bersifat sentral. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat
ditegakkan diagnosis klinis Parelisis Nervus VII tipe perifer (Bell’s Palsy),
dengan diagnosis topik Nervus VII, dan etiologi idiopatik. Pada kasus ini tidak
dilakukan pemeriksaan penunjang, atau bila ingin dilakukan pemeriksaan
penunjang bisa dengan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat untuk
mengetahui kelumpuhan saraf fasialis yaitu dengan uji fungsi saraf. Terdapat
beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG),
Elektroneuronografi (ENOG).
1. Elektromiografi (EMG)EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons
reinervasi pasien.Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal,
pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG
sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21hari,
jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi.
23
Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan
kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
2. Elektroneuronografi (ENOG). ENOG memberi informasi lebih awal
dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik
dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.
Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90%
pada ENOG biladibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari,
maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara
medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison
1mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai
10hari (stadium akut), diberikan Nurodex 3x1 tab, dan dapat ditambahkan
analgetik (bila nyeri). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi,
dilakukan setelah hari ke 4 awitan. Hal ini dapat dilakukan dengan melatih sisi
wajah yang lumpuh untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup
mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat juga dilakukan
massase wajah sisi yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan
tonus otot yang lumpuh.
Rehabilitasi Medik dapat dilakukan berupa :
- Pemanasan
- Pemanasan superfisial dengan infra red.
- Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy
- Stimulasi listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
- Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
24
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan
berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca
dengan konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak
volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam
laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan
meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage
daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan
diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
- Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk
permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi
penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan
berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,
latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
- Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat
kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak
banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan
mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu
memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang
merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.
25
- Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol,
rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan
umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.
- Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut
yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester
dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah
menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot
Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
Home Program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
- Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan
dari sisi wajah yang sehat
- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang
sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
- Perawatan mata :
• Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
• Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
• Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2.Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy, “http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal 11 desember 2011)
3.Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy, “http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal 22 Desember 2011).
4.Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”, (diakses tanggal 12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8.Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985 : 311-17
8. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
9. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell¶s Palsy. Available from :http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.Holland, J. Bell¶s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.Ropper AH, Brown RH. Bell¶s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and
27
Victor¶sPrinciples of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.
10. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed.Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
11. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
12. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George ThiemeVerlag: German, 2003. 98-99.
13. Breneman J, Warnick R. Stereotactic Radiosurgery & Radiotherapy of the Head [Online]. 2003 Sept [cited 2007 Agt 28]; Available from: URL:hhtp:// www.abta.org
28