1
4 P OLKAM Mekanisme uji materi potensial digunakan sebagai salah satu cara untuk mengawal Pancasila.” ARDI TERISTI HARDI N ILAI-NILAI Pan- casila harus tecer- min dalam kebi- jakan hukum yang mampu menciptakan keadilan substantif dan bukan semata- mata berkiblat demi penegakan hukum. “Apresiasi terhadap nilai- nilai hukum harus mencermin- kan keadilan substantif yang dibingkai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga menjamin kebinekaan Indonesia,” tukas hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki dalam diskusi lanjutan Sarasehan Na- sional Pancasila di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kemarin. Sodiki menilai peranan ha- kim di Indonesia belakangan ini belum banyak memuncul- kan putusan-putusan hukum yang mencerminkan perlin- dungan terhadap pluralisme. Untuk menuju ke kepas- tian hukum yang mengayomi seluruh warga negara, Sodiki menyatakan, Indonesia tidak perlu menjadi sebuah negara Islam. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila itu sudah nal. Keadilan, kata Sodiki, bu- kan berarti persamaan. Justru, timpalnya, memaksakan persa- maan dalam kebinekaan malah menimbulkan ketidakadilan. Ada wilayah kekhususan di Aceh maupun di Papua yang harus merangkum segala upa- ya kesatuan dalam bingkai Pancasila. “Bagi saya, cukuplah hu- kum Islam itu menjiwai UU tanpa harus menjadi negara Islam. Contohnya kita punya sistem perbankan syariah,” kata Sodiki menanggapi per- tanyaan salah satu peserta diskusi panel Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai- Nilai Pancasila. Nilai keadilan Guru Besar Fakultas Hukum UGM Sudjito menambahkan, Pancasila tidak dapat diperten- tangkan dengan ajaran Islam, karena pada dasarnya menga- manatkan hal yang serupa. Sudjito menyatakan ilmu hu- kum berparadigma Pancasila merupakan suatu kategori ilmu hukum yang khas Indonesia, namun objektif-universal. Menurut Sodiki, perdebatan mengenai keadilan dimulai dari pertanyaan sederhana yaitu apakah hukum harus mengandung unsur nilai yang disebut adil. Jawabannya, tutur Wakil Ketua MK itu, terbelah atas dua pendapat. Pertama ada- lah aliran hukum alam yang mensyaratkan hukum harus mengandung unsur substantif, yaitu nilai adil. Lalu kedua ada- lah dalih positivisme yang me- nyatakan hukum berasas nilai keadilan lebih menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memiliki alat ukur pasti. “Untuk sampai pada tingkat keadilan substantif, diperlukan cara-cara penegakan hukum yang progresif,” ujar Sudjito. Istilah hukum progresif, ber- asal dari ketidakpuasan (alm) Satjipto Rahardjo. Guru besar sosiologi hukum itu, ujarnya, tidak puas dengan cara dan hasil penegakan hukum di Indonesia yang tidak dapat menyuguhkan rasa keadilan masyarakat yang terus ber- ubah. Progresif, menurutnya, mencerminkan perubahan tinggi atas tuntutan, nilai, dan harapan masyarakat pada hu- kum. Ketua Muda Pidana Mahka- mah Agung Artidjo Alkostar menyatakan hukum di negara Pancasila ini tidak boleh lepas dari tali sumbu nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai Pancasila harus jadi acuan. Ia mengatakan, pengadilan di Indonesia memi- liki perbedaan secara mendasar yang tecermin dari ungkapan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Itu memperlihatkan adanya dimensi Ilahiah atau penga- kuan keberadaan nilai di masyarakat sebagai bagian dari hukum.”(*/P-3) [email protected] Hukum Hadir untuk Keadilan Substantif Bangsa ini membutuhkan penegakan hukum yang progresif untuk menangkal segala ketidakadilan dan ketimpangan sosial di masyarakat. Pancasila Jadi Batu Uji Menilai Undang-Undang PANCASILA bukan sekadar rumusan yang rigid. Nilai-nilai Pancasila selalu menantang bagi masyarakat untuk kri- tis dan kreatif dalam hidup bernegara. “Nilai-nilai Pancasila, bukan kata ‘Pancasila, harus dielabo- rasi ke dalam rumusan pasal- pasal,” kata pengajar hukum konstitusi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fajrul Falaakh dalam Sarasehan Nasional 2011 bertema Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia di Grha Sabha Pramana, UGM, kemarin. Pemaknaan terhadap nilai Pancasila tidak boleh dimo- nopoli oleh satu pihak. Jika itu terjadi, sama halnya ketika Orde Baru, Pancasila direduksi sebagai instrumen memperta- hankan status quo selama lebih dari 30 tahun. Untuk itu, papar Fajrul, pro- ses legislasi bukannya harus dipagari, melainkan harus dibiarkan terbuka meskipun penyusunan legislasi adalah kewenangan DPR dan peme- rintah. Proses legislasi yang terbuka akan membuat proses legislasi dan produknya se- makin akuntabel bagi kepen- tingan publik. Untuk menjaga kesesuaian pasal-pasal konstitusi terhadap Pancasila dan UUD 45, ada dua lembaga yang mengawalnya. Tempat untuk menjaga kese- suaian pasal-pasal konstitusi tersebut menjadi tugas MPR yang mekanismenya melalui amendemen konstitusi, se- dangkan untuk menguji UU dilakukan oleh MK. Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra menilai, ada tiga ta- hapan dalam proses legislasi untuk penguatan dan peng- awalan Pancasila, yaitu per- siapan dan prakarsa pengajuan, pembahasan, dan persetujuan rancangan UU. “Mekanisme uji materi po- tensial digunakan sebagai salah satu cara untuk mengawal Pancasila yang kemungkinan terdistorsi dalam proses legis- lasi,” kata dia. Sejauh ini, Pancasila belum dijadikan pilihan sebagai batu uji dalam menilai konstitusion- alitas sebuah UU. Karena men- jadi bagian dari UUD 1945, sila- sila Pancasila dapat dijadikan sebagai batu uji untuk menilai konstitusionalitas sebuah UU. Bagi hakim konstitusi Akil Mochtar, Pancasila adalah tong- gak persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai luhur di dalam- nya merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa. Untuk itu, sambung Akil, ma- teri produk legislasi sebaiknya dapat memuat nilai-nilai Pan- casila. (AT/P-1) Saldi Isra Pakar hukum tata negara RABU, 4 MEI 2011 AJUKAN USUL: Salah satu peserta mengajukan usul dalam Sarasehan Nasional 2011 tentang Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kemarin. Nilai Pancasila Harus Membumi IDEOLOGI bangsa Indonesia kini tengah diuji sebab se- jumlah produk hukum kerap melenceng dari tujuan Prokla- masi 1945 dan rentan disusupi kepentingan yang tidak sesuai Pancasila. Demikian kesimpulan Sara- sehan Nasional Pancasila yang berlangsung 2-3 Mei 2011 di Universitas Gadjah Mada (UGM). “Problem serius me- landa bidang penegakan hu- kum. Hukum yang dibuat dan ditegakkan seolah kehilangan nyawa,” ujar Ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM Sindung Tjahyadi saat membacakan kesimpulan dan rekomendasi sarasehan di Yogyakarta, ke- marin. Karena itu, lanjutnya, ter- dapat tuntutan agar nilai-nilai Pancasila dioperasionalkan. Operasionalisasi nilai-nilai Pancasila secara konstitusional sangat bergantung pada kuali- tas proses legislasi. Syaratnya, adanya kesesuaian dengan cita- cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Dibutuhkan kon- sistensi antara setiap UU dan kaidah hukum yang ada pada Pancasila, serta sinkronisasi antara UU dan peraturan pe- rundang-undangan yang lain. “Pancasila menjadi dasar orientasi nilai bagi kehidupan konstitusional dan seluruh tatanan kenegaraan Indone- sia,” paparnya sebagai akhir kegiatan kerja sama PSP UGM dan Mahkamah Konstitusi tersebut. MK dalam hal ini, kata Sin- dung, harus tunduk pada su- premasi konstitusi. Tentunya, ujar dosen etika Fakultas Filsa- fat UGM ini, pasal-pasal dalam setiap peraturan perundang- undangan harus merupakan hasil penuangan nilai-nilai dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Pasalnya, menurutnya, Pan- casila merupakan sumber dari segala sumber hukum Indo- nesia. Untuk menjaga keutuh- an Pancasila, kegiatan dalam pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum harus ber- pedoman pada prinsip, hukum untuk manusia. “Hukum harus memberikan keadilan substan- tif yang memuat moralitas dan rasionalitas.” Sarasehan yang direlai oleh 39 perguruan tinggi se-Indonesia itu memberikan rekomendasi terkait implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada tiga bidang, yaitu pendidikan, penegakan hukum, dan proses legislasi. (AT/*/P-3) WAWANCARA MK tidak Bisa Merasa Tetap Terbaik IMPLEMENTASI nilai-nilai luhur Pancasila yang mulai luntur tecermin dari maraknya tindakan melawan negara hingga produk perundang- undangan yang justru tidak sesuai dengan Pancasila. Ke- prihatinan terhadap kondisi itu mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan MPR dan Universitas Gadjah Mada untuk menggelar sarasehan nasional. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pancasila dan makna penye- lenggaraan sarasehan bertema Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menegakkan konstitu- sionalitas Indonesia yang dise- lenggarakan pada 2-3 Mei di Daerah Istimewa Yogyakarta, wartawan Media Indonesia Ardi Teristi Hardi mewawanca- rai Wakil Ketua MK Achmad Sodiki di Yogya- karta, kemarin. Berikut peti- kannya. MI/ARDI Apa arti sarasehan ini bagi MK? Ini merupakan bentuk kepri- hatinan MK untuk membangun kembali semangat kebersa- maan, kesatuan, kemanusiaan, dan tegaknya keadilan. Bagi MK, bagaimana semes- tinya posisi Pancasila? Pancasila tetap sebagai dasar negara. Itu sudah final dan tidak perlu diperdebatkan karena menghabiskan tenaga. Yang terpenting sekarang ada- lah mengisi nilai yang terkan- dung dalam Pancasila dengan tindakan konkret untuk menu- ju kebersamaan dan kemajuan bangsa. Semua pihak harus bisa menunjukkan prestasi di bi- dang masing-masing. Mi- salnya, kejaksaan berfungsi secara optimal, kepolisian menghindari tindakan negatif, dan olahragawan bisa ber- prestasi. Itu semua lalu membangun suatu citra bagus. Citra bagus tersebut memberi kebanggaan kepada warga terhadap bangsa ini. Setelah berprestasi, nasio- nalisme bisa kita bangun dan Pancasila hidup. Bagaimana implementasi Pancasila di MK? Implementasi tersebut te- cermin dari berbagai putusan. Misalnya, keputusan berkaitan dengan penodaan agama, keputusan MK mencerminkan religiositas kami tentang ber- ketuhanan. Unsur-unsur yang menohok keadilan di dalam undang- undang, kita batalkan se- mua. Kalau ada yang mem- belenggu kebebasan pers, kita batalkan semua. Itu bagian dari upaya kita untuk memperbaiki hukum di Indonesia. Sudahkah perundang-un- dangan yang ada mencer- minkan nilai Pancasila? Itu baru ketahuan kalau mereka mengajukan ke MK. Akan lebih jelas kalau diajukan dalam pengujian di MK. Bagaimana dengan penegak- an hukum? Penegakan hukum di In- donesia bukan semata-mata oleh penegak hukum, tetapi masyarakat harus turut membantu, harus taat. Ka- lau masyarakat juga ingin menggoda penegak hukum, misal menyuap, mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara pintas, itu merupakan ham- batan juga. Untuk itu, perlu kedewasaan dan kesadaran dari masyarakat bahwa itu kepentingan kita bersama. Kalau itu sudah di- lakukan, unsur keadilan itu mulai tampak. Kita meng- hormati apa pun keputusan hukum itu. Dengan demikian, itu pun akan mencerminkan keadilan. Apa yang akan dilakukan setelah sarasehan ini? Setelah ini, kita cari tolok ukur masing-ma- sing. Di MK sendiri sekarang sedang mem- buat suatu tolok ukur keberhasilan MK yang disebut dengan performance. Tujuan- nya untuk melihat apakah MK itu stagnan. Dengan demikian, kami tidak bisa terbelenggu atau merasa tetap terbaik. Kita ha- rus tetap responsif terhadap perkembangan yang ada dalam masyarakat. Targetnya mewu- judkan nilai Pancasila yang membutuhkan proses yang panjang. (P-1) Achmad Sodiki Wakil Ketua MK MI/SUSANTO

RABU, 4 MEI 2011 Hukum Hadir untuk Keadilan Substantif · Mekanisme uji materi potensial ... hasil penegakan hukum di Indonesia yang tidak dapat menyuguhkan rasa keadil an masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RABU, 4 MEI 2011 Hukum Hadir untuk Keadilan Substantif · Mekanisme uji materi potensial ... hasil penegakan hukum di Indonesia yang tidak dapat menyuguhkan rasa keadil an masyarakat

4 POLKAM

Mekanisme uji materi potensial

digunakan sebagai salah satu cara untuk mengawal Pancasila.”

ARDI TERISTI HARDI

NILAI-NILAI Pan-casila harus tecer-min dalam kebi-jakan hukum yang

mampu menciptakan keadilan substantif dan bukan semata-mata berkiblat demi penegakan hukum.

“Apresiasi terhadap nilai-nilai hukum harus mencermin-kan keadilan substantif yang dibingkai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga menjamin kebinekaan Indonesia,” tukas hakim Mahkamah Kons titusi (MK) Achmad Sodiki dalam diskusi lanjutan Sarasehan Na-sional Pancasila di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kemarin.

Sodiki menilai peranan ha-kim di Indonesia belakangan ini belum banyak memuncul-kan putusan-putusan hukum yang mencerminkan perlin-dungan terhadap pluralisme.

Untuk menuju ke kepas-tian hukum yang mengayomi seluruh warga negara, Sodiki menyatakan, Indonesia tidak perlu menjadi sebuah negara Islam.

Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila itu sudah fi nal. Keadilan, kata Sodiki, bu-kan berarti persamaan. Justru, timpalnya, memaksakan persa-maan dalam kebinekaan malah menimbulkan ketidakadilan. Ada wilayah kekhususan di

Aceh maupun di Papua yang harus merangkum segala upa-ya kesatuan dalam bingkai Pancasila.

“Bagi saya, cukuplah hu-kum Islam itu menjiwai UU tanpa harus menjadi negara Islam. Contohnya kita punya sistem perbankan syariah,” kata Sodiki menanggapi per-tanyaan salah satu peserta diskusi panel Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila.

Nilai keadilan Guru Besar Fakultas Hukum

UGM Sudjito menambahkan, Pancasila tidak dapat diperten-tangkan dengan ajaran Islam, karena pada dasarnya menga-manatkan hal yang serupa. Sudjito menyatakan ilmu hu-kum berparadigma Pancasila merupakan suatu kategori ilmu hukum yang khas Indonesia, namun objektif-universal.

Menurut Sodiki, perdebatan mengenai keadilan dimulai dari pertanyaan sederhana yaitu apakah hukum harus mengandung unsur nilai yang disebut adil.

Jawabannya, tutur Wakil Ketua MK itu, terbelah atas dua pendapat. Pertama ada-lah aliran hukum alam yang mensyaratkan hukum harus mengandung unsur substantif, yaitu nilai adil. Lalu kedua ada-lah dalih positivisme yang me-

nyatakan hukum berasas nilai keadilan lebih menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memiliki alat ukur pasti.

“Untuk sampai pada tingkat keadilan substantif, diperlukan cara-cara penegakan hukum yang progresif,” ujar Sudjito.

Istilah hukum progresif, ber-asal dari ketidakpuasan (alm) Satjipto Rahardjo. Guru besar sosiologi hukum itu, ujarnya, tidak puas dengan cara dan hasil penegakan hukum di Indonesia yang tidak dapat menyuguhkan rasa keadil an masyarakat yang terus ber-ubah. Progresif, menurutnya, mencerminkan perubahan tinggi atas tuntutan, nilai, dan harapan masyarakat pada hu-kum.

Ketua Muda Pidana Mahka-mah Agung Artidjo Alkostar menyatakan hukum di negara Pancasila ini tidak boleh lepas dari tali sumbu nilai yang berkembang di masyarakat.

Nilai-nilai Pancasila harus jadi acuan. Ia mengatakan, peng adilan di Indonesia memi-liki perbedaan secara mendasar yang tecermin dari ungkapan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. “Itu memperlihatkan adanya dimensi Ilahiah atau penga-kuan keberadaan nilai di masyarakat sebagai bagian dari hukum.”(*/P-3)

[email protected]

Hukum Hadiruntuk Keadilan SubstantifBangsa ini membutuhkan penegakan hukum yang progresif untuk menangkal segala ketidakadilan dan ketimpangan sosial di masyarakat.

Pancasila Jadi Batu UjiMenilai Undang-Undang

PANCASILA bukan sekadar rumusan yang rigid. Nilai-nilai Pancasila selalu menantang bagi masyarakat untuk kri-tis dan kreatif dalam hidup bernegara.

“Nilai-nilai Pancasila, bukan kata ‘Pancasila, harus dielabo-rasi ke dalam rumusan pasal-pasal,” kata pengajar hukum konstitusi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fajrul Falaakh dalam Sarasehan Nasional 2011 bertema Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia di Grha Sabha Pramana, UGM, kemarin.

Pemaknaan terhadap nilai Pancasila tidak boleh dimo-nopoli oleh satu pihak. Jika itu terjadi, sama halnya ketika Orde Baru, Pancasila direduksi sebagai instrumen memperta-hankan status quo selama lebih dari 30 tahun.

Untuk itu, papar Fajrul, pro-ses legislasi bukannya harus dipagari, melainkan harus di biarkan terbuka meskipun penyusunan legislasi adalah

kewenangan DPR dan peme-rintah. Proses legislasi yang terbuka akan membuat proses legislasi dan produknya se-makin akuntabel bagi kepen-tingan publik.

Untuk menjaga kesesuaian pasal-pasal konstitusi terhadap Pancasila dan UUD 45, ada dua lembaga yang mengawalnya. Tempat untuk menjaga kese-suaian pasal-pasal konstitusi tersebut menjadi tugas MPR yang mekanismenya melalui amendemen konstitusi, se-dangkan untuk menguji UU dilakukan oleh MK.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang,

Saldi Isra menilai, ada tiga ta-hapan dalam proses legislasi untuk penguatan dan peng-awalan Pancasila, yaitu per-siapan dan prakarsa pengajuan, pembahasan, dan persetujuan rancangan UU.

“Mekanisme uji materi po-tensial digunakan sebagai salah satu cara untuk mengawal Pancasila yang kemungkinan terdistorsi dalam proses legis-lasi,” kata dia.

Sejauh ini, Pancasila belum dijadikan pilih an sebagai batu uji dalam menilai konstitusion-alitas sebuah UU. Karena men-jadi bagian dari UUD 1945, sila-sila Pancasila dapat dijadikan sebagai batu uji untuk menilai konstitusionalitas sebuah UU.

Bagi hakim konstitusi Akil Mochtar, Pancasila adalah tong-gak persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai luhur di dalam-nya merupakan kristalisasi dari nilai-nilai budaya bangsa. Untuk itu, sambung Akil, ma-teri produk legislasi sebaiknya dapat memuat nilai-nilai Pan-casila. (AT/P-1)

Saldi IsraPakar hukum tata negara

RABU, 4 MEI 2011

AJUKAN USUL: Salah satu peserta mengajukan usul dalam Sarasehan Nasional 2011 tentang Hukum Progresif untuk Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Bingkai Nilai-Nilai Pancasila, di Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kemarin.

Nilai Pancasila Harus MembumiIDEOLOGI bangsa Indonesia kini tengah diuji sebab se-jumlah produk hukum kerap melenceng dari tujuan Prokla-masi 1945 dan rentan disusupi kepentingan yang tidak sesuai Pancasila.

Demikian kesimpulan Sara-sehan Nasional Pancasila yang berlangsung 2-3 Mei 2011 di Universitas Gadjah Mada (UGM). “Problem serius me-landa bidang penegakan hu-kum. Hukum yang dibuat dan ditegakkan seolah kehilangan nyawa,” ujar Ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM Sindung Tjahyadi saat membacakan kesimpulan dan rekomendasi

sarasehan di Yogyakarta, ke-marin.

Karena itu, lanjutnya, ter-dapat tuntutan agar nilai-nilai Pancasila dioperasionalkan. Operasionalisasi nilai-nilai Pan casila secara konstitusional sangat bergantung pada kuali-tas proses legislasi. Syaratnya, adanya kesesuaian dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Dibutuhkan kon-sistensi antara setiap UU dan kaidah hukum yang ada pada Pancasila, serta sinkronisasi antara UU dan peraturan pe-rundang-undangan yang lain.

“Pancasila menjadi dasar

orientasi nilai bagi kehidupan konstitusional dan seluruh tatanan kenegaraan Indone-sia,” paparnya sebagai akhir kegiatan kerja sama PSP UGM dan Mahkamah Konstitusi ter sebut.

MK dalam hal ini, kata Sin-dung, harus tunduk pada su-premasi konstitusi. Tentunya, ujar dosen etika Fakultas Filsa-fat UGM ini, pasal-pasal dalam setiap peraturan perundang-undangan harus merupakan hasil penuangan nilai-nilai da lam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

Pasalnya, menurutnya, Pan-casila merupakan sumber dari

segala sumber hukum Indo-nesia. Untuk menjaga keutuh-an Pancasila, kegiatan dalam pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan hukum harus ber-pedoman pada prinsip, hukum untuk manusia. “Hukum harus memberikan keadilan substan-tif yang memuat moralitas dan rasionalitas.”

Sarasehan yang direlai oleh 39 perguruan tinggi se-Indonesia itu memberikan rekomendasi terkait implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada tiga bidang, yaitu pendidikan, penegakan hukum, dan proses legislasi. (AT/*/P-3)

WAWANCARA

MK tidak Bisa Merasa Tetap TerbaikIMPLEMENTASI nilai-nilai luhur Pancasila yang mulai luntur tecermin dari maraknya tindakan melawan negara hingga produk perundang-undangan yang justru tidak sesuai dengan Pancasila. Ke-prihatinan terhadap kondisi itu mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) bekerja sama dengan MPR dan Universitas Gadjah Mada untuk menggelar sarasehan nasional.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pancasila dan makna penye-lenggaraan sarasehan bertema Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam menegakkan konstitu-sionalitas Indonesia yang dise-lenggarakan pada 2-3 Mei di Daerah Istimewa Yogyakarta, wartawan Media Indonesia Ardi Teristi Hardi mewawanca-rai Wakil Ketua MK Achmad Sodiki di Yogya-karta, kemarin. Berikut peti-kannya.

MI/ARDI

Apa arti sarasehan ini bagi MK?

Ini merupakan bentuk kepri-hatinan MK untuk memba ngun kembali semangat kebersa-maan, kesatuan, kemanusiaan, dan tegaknya keadilan.

Bagi MK, bagaimana semes-tinya posisi Pancasila?

Pancasila tetap sebagai dasar negara. Itu sudah final dan tidak perlu diperdebatkan karena menghabiskan tenaga. Yang terpenting sekarang ada-lah mengisi nilai yang terkan-dung dalam Pancasila dengan tindakan konkret untuk menu-ju kebersamaan dan kemajuan bangsa.

Semua pihak harus bisa menunjukkan prestasi di bi-dang masing-masing. Mi-salnya, kejaksaan berfungsi

secara optimal, kepolisian menghindari tindakan negatif, dan olahragawan bisa ber-prestasi.

Itu semua lalu membangun suatu citra bagus. Citra bagus tersebut memberi kebanggaan kepada warga terhadap bangsa ini. Setelah berprestasi, nasio-nalisme bisa kita bangun dan Pancasila hidup.

Bagaimana implementasi Pancasila di MK?

Implementasi tersebut te-cermin dari berbagai putusan. Misalnya, keputusan berkaitan dengan penodaan agama, keputusan MK mencerminkan religiositas kami tentang ber-ketuhanan.

Unsur-unsur yang menohok keadilan di dalam undang-undang, kita batalkan se-

mua. Kalau ada yang mem-belenggu kebebasan pers, kita batalkan semua. Itu bagian dari upaya kita untuk memperbaiki hukum di Indonesia.

Sudahkah perundang-un-dangan yang ada mencer-minkan nilai Pancasila?

Itu baru ketahuan kalau mereka mengajukan ke MK. Akan lebih jelas kalau diajukan dalam pengujian di MK.

Bagaimana dengan penegak-an hukum?

Penegakan hukum di In-donesia bukan semata-mata oleh penegak hukum, tetapi masyarakat harus turut mem bantu, harus taat. Ka-lau masyarakat juga ingin menggoda penegak hukum, misal menyuap, mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara pintas, itu merupakan ham-batan juga.

Untuk itu, perlu kedewasaan dan kesadaran dari masyarakat bahwa itu kepentingan kita bersama. Kalau itu sudah di-lakukan, unsur keadilan itu mulai tampak. Kita meng-hormati apa pun keputusan hukum itu. Dengan demikian, itu pun akan mencerminkan keadilan.

Apa yang akan dilakukan setelah sarasehan ini?

Setelah ini, kita cari tolok ukur masing-ma-sing. Di MK sendiri

sekarang sedang mem-buat suatu tolok ukur keberhas i lan MK yang disebut dengan performance. Tujuan-

nya untuk melihat apakah MK itu stagnan.

Dengan demikian, kami tidak bisa terbelenggu atau merasa tetap terbaik. Kita ha-rus tetap responsif terhadap perkembangan yang ada dalam masyarakat. Targetnya mewu-judkan nilai Pancasila yang membutuhkan proses yang panjang. (P-1)

Achmad SodikiWakil Ketua MK

MI/SUSANTO