Upload
cliffwinsky
View
20
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jbkjhkjsaf
Citation preview
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… 1
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………….2
I.1. Latar Belakang …………………………………………………………2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 3
II.1. Skizofrenia…………………………………………………………..... 3
II.2. Keluarga………………………………………….............................. 8
II.3. Social Skill Trainig …………………………………......................... 14
II.4. Peran Keluarga dalam Penanganan Pasien Skizofrenia dalam aspek
Social Skill Training ………………………………………………......10
II.5 Hubungan Psikoedukasi Keluarga Dengan Kejadian Relaps Pada
Pasien Skiofrenia ……………………………………………………...18
BAB III PENUTUP ………………………………………………………….......... 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita skizofrenia, dan merupakan
“perawat utama” bagi penderita skizofrenia. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau
perawatan yang diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia
jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali
(kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan
kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat
dicegah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya
kekambuhan penderita skizofrenia adalah kurangnya peran serta keluarga dalam perawatan
terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah
karena keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita di rumah. Keluarga jarang
mengikuti proses keperawatan penderita karena jarang mengunjungi penderita di rumah sakit,
dan tim kesehatan di rumah sakit juga jarang melibatkan keluarga. Manusia sebagai makhluk
sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain.1
Social skill training ditawarkan kepada keluarga karena pelatihan ini merupakan salah
satu pelatihan yang dalam beberapa kasus lebih disukai karena anggota keluarga dapat hadir.
Salah satu keuntungan dari Social skill training adalah orang-orang yang terdekat dengan
individu dapat melihat sendiri mana defisit kebohongan dan mereka dapat mempromosikan
penggunaan keterampilan belajar. Masukan dari keluarga ini juga membantu untuk pelatih dalam
memahami bagaimana keterampilan umum.2
Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan social (pergaulan, pengakuan,
sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan
religiusitas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut
sedang menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat menghadapi masalah
seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa
dihargai, diperhatikan dan di cintai. Contoh nyata yang paling sering dilihat dan dialami adalah
bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun
teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit
2
tentu merasa mendapat dukungan sosial. Dukungan sosial (social support) didefenisikan oleh
Kuntjoro sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku
yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di lingkungan sosialnya atau yang
berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh
pada tingkahlaku penerimanya. Dalam hal ini, orang yang merasa memperoleh dukungan sosial
secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan pada dirinya.1
Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason yang menyatakan bahwa dukungan
sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,
menghargai dan menyayangi kita. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb yang
mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau
menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan sosial tersebut diperoleh dari
individu maupun kelompok. Menurut Eli, dkk dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber
daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat penderita
skizofrenia akan bersikap positif, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya karena keluarga
merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal. Dengan dukungan keluarga yang seimbang
bagi penderita skizofrenia diharapkan baginya agar dapat meningkatkan keinginan untuk sembuh
dan memperkecil kekambuhannya.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein” yang berarti “terpisah”atau “pecah”,
dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidak serasian antara
afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, symptom skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga
golongan: yaitu symptom positif, symptom negative, dan gangguan dalam hubungan
interpersonal.3
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang
jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.4
Secara umum penyebab dari skizofrenia adalah :3
1. Genetik
Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia, dilakukan pada tahun 1930an,
menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota
keluarganya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan seseorang menderita
skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut.
Dalam kasus kembar monozigot genetic yang identik, ada sekitar 50 persen skizofrenia.
Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetic melebihi pengaruh lingkungan.
Dalam studi pasien skizofrenia yang tidak memiliki riwayat penyakit baik dalam garis ibu
atau ayah, ditemukan bahwa mereka yang lahir dari ayah lebih tua dari usia 60 tahun
rentan gangguan tersebut. Agaknya, spermatogenesis pada pria yang lebih tua dikenakan
untuk kerusakan epiginetik lebih besar dari pada pria yang lebih muda.
Modus penularan genetik dalam skizofrenia tidak diketahui, tetapi beberapa gen muncul
untuk memberikan kontribusi terhadap kerentanan skizofrenia. Linkage dan studi
hubungan genetic telah memberikan bukti kuat untuk Sembilan situs linkage: 1Q, 5Q, 6p,
6Q, 8P, 10P, 13q, 15q, dan 22q. Analisis lebih lanjut dari situs ini kromosom telah
4
menyebabkan identifikasi gen kandidat tertentu, dan para kandidat terbaik saat ini adalah
alpha-7 nicotinic reseptor, DISC 1, GRM 3, COMT, NRG 1, RGS 4, dan G 72. Baru-baru
ini, mutasi dari gen dystrobrevin (DTNBP1) dan neureglin telah ditemukan berhubungan
dengan fitur negatif dari skizofrenia.
2. Faktor Biokimia
a. Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamine untuk skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergic. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali
clozapine, khasiat dan potensi antipsikotik adalah berhubungan dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergic tipe-2 (D2).
Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergic, yang peling jelas
adalah amfetamin, yang merupakan salah satu psikomimetik. Teori dasar tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik karena terlalu banyak dopamin,
terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas dari reseptor dopamin untuk
dopamin, atau kombinasi dari mekanisme ini. Tracts dopamin di otak yang
dilibatkan juga tidak ditentukan dalam teori, meskipun saluran mesocortical dan
mesolimbic yang paling sering terlibat. Neuron dopaminergik dalam jalur tersebut
berjalan dari badan sel mereka di otak tengah untuk neuron dopaminoceptive
dalam system limbic dan korteks serebral. Pelepasan dopamin berlebihan pada
pasien dengan skizofrenia telah dikaitkan dengan tingkat keparahan gejala
psikotik positif. Ada juga laporan konsentrasi dopamine meningkat pada
amigdala, penurunan densitas transporter dopamin, dan meningkatkan jumlah
jenis dopamine reseptor di korteks entorhinal.
Satu peranan penting bagi dopamine dalam patofisiologi skizofrenia adalah
konsistensi dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit
dopamine utama, yaitu homovanillic acid.
b. Serotonin
5
Hipotesis kini menempatkan kelebihan serotonin sebagai penyebab dari kedua
gejala positif dan negatif dalam skizofrenia. Aktivitas antipsikotik antagonis
serotonin kuat generasi kedua clozapine dan lainnya, ditambah dengan efektivitas
clozapine untuk mengurangi gejala positif pada pasien kronis.
c. Norepinefrin
Sebuah degenerasi neuronal selektif dalam sistem saraf norepinefrin bisa
menjelaskan aspek ini simtomatologi skizofrenia. Namun, biokimia dan
farmakologis tidak dapat disimpulkan. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa
pemberian antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron
noradrenergic di lokus sereleus dan bahwa efek terapeutik dari beberapa
antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergic-1 dan
adrenergic-2.
d. GABA
Neurotransmiter penghambatan asam amino γ-aminobutyric acid (GABA) telah
terlibat dalam patofisiologi skizofrenia berdasarkan temuan bahwa beberapa
pasien dengan skizofrenia memiliki kehilangan GABAergic neuron di
hipokampus. GABA memiliki efek regulasi terhadap aktivitas dopamin, dan
hilangnya neuron GABAergic inhibitor dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron
dopaminergik.
e. Neuropeptide
Neuropeptida, seperti substansi P dan neurotensin, dilokalisasi dengan
neurotransmitter katekolamin dan indolamine dan mempengaruhi tindakan
neurotransmitter ini. Perubahan dalam mekanisme neuropeptida dapat
memfasilitasi, menghambat, atau mengubah pola sistem saraf.
f. Glutamat
Glutamat telah terlibat karena menelan phencyclidine, antagonis glutamat,
menghasilkan sindrom akut mirip dengan skizofrenia. Hipotesis yang diajukan
6
tentang glutamate termasuk yang hiperaktif, hypoactivity, dan glutamat-induced
neuro-toksisitas.
g. Asetilkolin dan Nikotin
Studi postmortem dalam skizofrenia telah menunjukkan penurunan reseptor
muscarinic dan nikotinat di-putamen berekor, hipokampus, dan daerah terpilih
dari korteks prefrontal. Reseptor ini memainkan peran dalam regulasi system
neurotransmiter yang terlibat dalam kognisi.
3. Neuroanatomi
Dua daerah otak yang mendapatkan paling banyak perhatian adalah system limbic
dan ganglia basalis, walaupun beberapa laporan controversial mempermasalahkan
kelainan neuropatologis dan neurokimiawi di dalam korteks serebral, thalamus dan
batang otak. Hilangnya volume otak dilaporkan secara luas di otak penderita skizofrenia
muncul hasil dari kepadatan berkurang dari akson, dendrit, dan sinapsis yang memediasi
fungsi asosiatif dari otak.
Kepadatan Synaptic tertinggi pada usia 1, kemudian dikupas ke nilai dewasa pada
masa remaja awal. Satu teori, sebagian didasarkan pada pengamatan bahwa pasien sering
mengalami gejala skizofrenia selama masa remaja, berpendapat bahwa skizofrenia hasil
dari pemangkasan sinaps berlebihan selama tahap pengembangan.5
a. Ventrikel Serebri
Computed tomography (CT) scan pasien dengan skizofrenia secara konsisten
menunjukkan pembesaran ventrikel lateral dan ketiga dan beberapa pengurangan
volume kortikal. Pengurangan volume substansia grisea kortikal telah dibuktikan
selama tahap awal penyakit. Beberapa peneliti telah berusaha untuk menentukan
apakah kelainan dideteksi oleh CT progresif atau statis. Beberapa penelitian telah
menyimpulkan bahwa lesi diamati pada CT scan hadir pada awal penyakit dan
tidak kemajuan. Studi-studi lain, telah menyimpulkan bahwa proses patologis
pada CT scan visualisasi terus kemajuan selama penyakit. Jadi, apakah proses
patologis aktif terus berkembang pada pasien skizofrenia masih belum pasti.
7
b. Sistim Limbik
Karena peranannya dalam mengendalikan emosi, system limbic telah diduga
terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Studi sampel otak postmortem dari pasien
skizofrenia telah menunjukkan penurunan dalam ukuran wilayah termasuk
amigdala, hippocampus, dan gyrus parahippocampal. Temuan neuropathological
setuju dengan pengamatan yang dibuat oleh pencitraan resonansi magnetic pasien
dengan skizofrenia. Hippocampus tidak hanya lebih kecil dalam ukuran dalam
skizofrenia, tetapi juga fungsional normal seperti yang ditunjukkan oleh gangguan
dalam transmisi glutamate. Disorganisasi dari neuron dalam hippocampus
penderita skizofrenia juga telah dilaporkan.
c. Korteks prefrontalis
Ada bukti yang cukup dari studi otopsi otak yang mendukung kelainan anatomi di
korteks prefrontal dalam skizofrenia. Defisit Fungsional di wilayah pencitraan
otak prefrontal juga telah ditunjukkan. Telah lama mencatat bahwa beberapa
gejala skizofrenia meniru yang ditemukan pada orang dengan lobotomies
prefrontal atau sindrom lobus frontal.
d. Thalamus
Beberapa studi menunjukkan bukti penyusutan volume thalamus thalamus atau
kehilangan neuron, di subnuclei tertentu. Inti dorsal medial thalamus, yang
memiliki hubungan timbal balik dengan korteksprefrontal, telah dilaporkan
jumlah neuron. Jumlah neuron, oligodendrocytes, dan astrosit dikurangi dengan
30 sampai 45 persen pada pasien skizofrenia.
e. Ganglia Basalis dan Cerebellum
Banyak pasien dengan skizofrenia menunjukkan gerakan-gerakan aneh. Gerakan
aneh dapat mencakup gaya canggung, wajah meringis, dan stereotypies. Karena
ganglia basal dan cerebellum terlibat dalam pengendalian gerakan, penyakit di
daerah tersebut terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Studi Neuropathological
8
dari ganglia basalis telah menghasilkan laporan tentang hilangnya sel atau
pengurangan volume.
Beberapa pasien skizofrenia memang berasal dari keluarga yang disfungsional.
Tetapi,adalah kepentingan klinis untuk mengenali perilaku keluarga patologis, karena
perilaku tersebut secara bermakna meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi
oleh skizofrenia yang rentan. Konsep ikatan ganda (double blind) oleh Gregory Bateson
untuk menggambarkan suatu keluarga hipotetik dimana anak-anak mendapatkan pesan
yang bertentangan dari orang tuanya tentang perilaku, sikap, dan perasaan anak.6
Theodore Lidz menggambarkan dua pola perilaku keluarga yang abnormal. Dalam satu
tipe keluarga, terdapat keretakan yang menonjol antara orang tua sangat terlalu dekat
dengan anak dari jenis kelamin yang berbeda. Pada jenis keluarga lain, Hubungan
condong antara satu orang tua sangat terlalu dekat dengan anak dari jenis kelamin yang
berbeda. Pada jenis keluarga lain, hubungan condong antara satu orang tua melibatkan
satu perjuangan tenaga antara orang tua dan menyebabkan dominasi salah satu orang tua6
II.2. Keluarga
Pengertian keluarga berkembang sesuai dengan kondisi yang ada. Pada mulanya keluarga
diartikan sebagai kumpulan individu yang diikat oleh perkawinan, hubungan darah atau adopsi
yang tinggal bersama dalam satu keluarga. Setiap individu pasti mempunyai keluarga baik secara
legal melalui perkawinan antara suami dan istri, hubungan darah yaitu hubungan anak dan
orangtua serta saudara, atau melalui adopsi yang disahkan secara hukum menjadi hubungan anak
dan orangtua. Pada tahap selanjutnya pengertian keluarga berkembang menjadi dua atau lebih
individu yang bersama-sama diikat olah kedekatan emosi dan kepedulian sesama dan tidak
terbatas pada anggota keluarga yang ada hubungan perkawinan, hubungan darah atau adopsi.
Keluarga merupakan sistem yang paling dekat dengan individu dan merupakan tempat individu
belajar, mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Agar keluarga memberikan
dampak terhadap individu yang menjadi anggota keluarga tersebut, maka diharapkan anggota
keluarga dapat berfungsi dan berperan secara kondusif. Friedman mengidentifikasi 5 (lima)
fungsi keluarga.7
9
1. Fungsi afektif, berhubungan erat dengan pemenuhan aspek psikososial yang
ditandai dengan keluarga yang gembira, bahagia, akrab, merasa dimiliki,
gambaran diri yang positif, yang semua didapatkan melalui interaksi didalam
keluarga. Setiap anggota keluarga saling mengasihi, menghargai, dan mendukung.
Kepedulian dan pengertian antar anggota keluarga merupakan pemenuhan
kebutuhan psikologis dalam keluarga. Perceraian, kenakalan anak, masalah
psikososial dan gangguan jiwa sering dijumpai pada keluarga yang fungsi
afektifnya tidak terpenuhi. Pasien perilaku kekerasan mungkin berasal dari
keluarga yang kurang saling menghargai, adanya permusuhan, kegagalan yang
dipandang negatif. Kondisi afektif keluarga yang dapat menimbulkan
kekambuhan adalah ekspresi emosi yang tinggi seperti kritik negatif, usil,
permusuhan, atau terlalu mengatur . Penelitian yang dilakukan di rumah sakit jiwa
Bogor menunjukkan bahwa sikap menerima, toleransi dan mengkritik dari
keluarga berhubungan dengan periode kekambuhan pasien.
2. Fungsi sosialisasi adalah proses interaksi dengan lingkungan social yang dimulai
sejak lahir dan berakhir setelah meninggal. Anggota keluarga belajar disiplin,
budaya, norma melalui interaksi dalam keluarga sehingga individu mampu
berperan di masyarakat. Kegagalan bersosialisasi dalam keluarga, terutama jika
norma dan perilaku yang dipelajari berbeda dengan yang ada di masyarakat dapat
menimbulkan kegagalan bersosialisasi di masyarakat. Pasien dengan perilaku
kekerasan, mungkin mendapat penguatan yang didapat dari anggota keluarga.
Peristiwa kekerasan dalam keluarga juga merupakan factor risiko lain bagi
perilaku kekerasan pasien.
3. Fungsi perawatan kesehatan adalah praktek merawat anggota keluarga, termasuk
kemampuan keluarga meningkatkan dan memelihara kesehatan. Keluarga
menentukan apa yang harus dilakukan jika sakit, kapan meminta pertolongan dan
kepada siapa minta pertolongan. Penelitian yang dilakukan dirumah sakit jiwa
Lawang dan Menur menunjukkan bahwa 119 orang (68 %) pasien pernah
berobat ke dukun, orang pintar, kiai, atau peramal sebelum dirawat di rumah
sakit. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan keluarga tentang cara
merawat pasien. Keluarga umumnya membawa pasien kerumah sakit jiwa karena
10
perilaku kekerasan. Oleh karena itu selama dirawat di rumah sakit, keluarga perlu
diberikan pendididkan kesehatan agar dapat merawat pasien setelah pulang dari
rumah sakit. Tomczyk mengatakan ada dua terapi yang perlu dilakukan pada
keluarga yaitu psikoedukasi dan terapi sistemik keluarga agar keluarga mampu
merawat pasien. Keduanya bertujuan memberdayakan keluarga agar mampu
merawat pasien.
4. Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan
keturunan. Belum ada penelitian tentang factor perilaku kekerasan yang terkait
dengan jumlah saudara kandung dalam keluarga.
5. Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Asumsi krisis ekonomi meningkatkan perilaku kekerasan secara kasat mata dapat
dibuktikan. Demikian pula jika keluarga mempunyai kemampuan merawat pasien
di rumah akan mengurangi biaya perawatan dirumah sakit. Penghasilan keluarga
akan berkurang dengan adanya anggota keluarga yang sakit (tidak produktif)
ditambah anggota keluarga yang harus menemani atau merawat pasien (tidak
produktif).7
Seluruh fungsi keluarga ini akan difasilitasi dalam mendukung perawatan pasien
di rumah sakit dan setelah pulang ke rumah. Perlu dikaji siapa yang utama akan
memberikan perawatan kepada pasien setelah pasien pulang dari rumah sakit.
Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi keluarga yang
merupakan bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi keluarga terdapat kolaborasi
dari klinisi dengan anggota keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa berat.8
Tujuan dari program psikoedukasi adalah menambah pengetahuan tentang
gangguan jiwa anggota keluarga sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kambuh,
dan meningkatkan fungsi keluarga. Tujuan ini akan dicapai melalui serangkaian kegiatan
edukasi tentang penyakit, cara mengatasi gejala, dan kemampuan yang dimiliki keluarga.8
Pekkala dan Merinder menemukan bahwa program psikoedukasi menurunkan
kambuh atau rawat ulang dari 9 bulan menjadi 18 bulan. Sedangkan Dyck, et al
menemukan bahwa kelompok keluarga yang mendapat program psikoedukasi lebih
efektif merawat gejala negative dari pada kelompok standar. Selain itu program
11
psikoedukasi berhasil mengurangi reaksi negative dan kejenuhan keluarga yang
merawat.10
Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah sebagai berikut:
a. Komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan
informasi tentang penyakit dan sistem kesehatan jiwa
b. Komponen ketrampilan, yang menyediakan pelatihan tentang komunikasi,
penyelesaian konflik, pemecahan masalah, asertif, manajemen perilaku dan
manajemen stress
c. Komponen emosional, memberi kesempatan ventilasi dan berbagi perasaan
disertai dukungan emosional. Mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan, khusus
pada keadaan krisis
d. Komponen sosial, peningkatan penggunaan jejaring formal dan non formal.
Peningkatan kontak dengan jejaring sumber daya dan pendukung yang ada di
masyarakat akan menguntungkan keluarga dan klien. 11
Hal – hal yang dilakukan pada saat melakukan psikoedukasi keluarga antara lain12:
Mengidentifikasi bagaimana reaksi anggota keluarga terhadap keadaan pasien
yang menderita gangguan jiwa.
Mengidentifikasi faktor penyebab gangguan jiwa yang diderita oleh pasien.
Mengidentifikasi tanda dan gejala prodormal gangguan jiwa yang terjadi pada
pasien.
Mengajarkan kepada keluarga bagaimana strategi koping yang dapat
diterapkan.
Menjelaskan kepada keluarga tentang psikobiologi penyakit jiwa, diagnosis
dan pengobatannya, reaksi keluarga, trauma keluarga, pencegahan kambuh,
guideline keluarga.
Melakukan pemecahan masalah secara terstruktur
12
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa kronik yang memiliki karakteristik gejala
positif seperti waham dan halusinasi, juga gejala negatif seperti afek tumpul dan apatis.
Penyakit ini juga sering berhubungan dengan ganggguan kognitif dan depresi. Penyakit
ini biasanya mulai muncul pada usia dewasa muda dan ditandai dengan terjadinya relaps
dengan periode remisi sempurna atau parsial. Pada kebanyakan kasus, penyakit ini
menyebabkan disabilitas, mengenai seluruh aspek dalam kehidupan dan membutuhkan
terapi anti psikotik jangka panjang. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang
menghancurkan dan dapat menimbulkan disabilitas. Prevalensi terjadinya skizofrenia
adalah 0,4 – 1,4 % dan biasanya dimulai pada usia dewasa atau dewasa muda. Kurang
dari 20 % pasien yang dapat mengalami recovery sempurna setelah episode pertama.13
Terapi yang diberikan bertujuan untuk mencapai keadaan remisi pada semua
gejala dengan memaksimalkan kapasitas fungsi dan optimalisasi kualitas hidup.
Antipsikotik konvensional seperti klorpromazine dan haloperidol yang diperkenalkan
pada tahun 1950 cukup efektif dalam mengobati psikosis akut dan mencegah terjadinya
relaps. Terapi untuk mencegah relaps memerlukan waktu yang lama bahkan bisa seumur
hidup sehingga diperlukan obat yang efektif, aman, dan sedikit efek samping. Untuk
tujuan ini maka dengan mulai munculnya obat antipsikotik golongan atipikal maka
pengobatan skizofrenia mulai berubah dengan menggunakan obat antipsikotik atipikal
yang memiliki efek samping lebih sedikit. Meskipun pengobatan dengan antipsikotik
efektif mengurangi angka terjadinya relaps tetapi 30% - 40% pasien mengalami relaps
pada satu tahun setelah keluar dari rumah sakit meski mereka tetap meminum obat.3
Mengkombinasikan antara pengobatan antipsikotik dengan pendekatan psikososial
merupakan suatu cara yang efektif dibandingkan hanya dengan obat saja dalam
mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofrenia. Komponen dari terapi psikososial
antara lain adalah :3
1. Psikoedukasi keluarga dan pasien : pasien, keluarga dan orang kunci di
sekitar pasien perlu belajar sebanyak mungkin tentang apa itu skizofrenia,
bagaimana pengobatannya sehingga terbentuk pengetahuan dan
ketrampilan yang berguna untuk mencegah timbulnya relaps.
2. Kolaborasi membuat keputusan : penting bagi pasien, keluarga, dan klinisi
untuk memutuskan bersama tentang terapi dan tujuannya. Apabila pasien
13
sudah mulai membaik, dia dapat menjadi bagian dalam pembuatan
keputusan ini.
3. Monitoring gejala dan pengobatan : monitoring yang hati-hati dapat
meyakinkan pasien untuk minum dan mengidentifikasi secara dini tanda-
tanda timbulnya relaps sehingga pencegahan dapat dilakukan.
4. Asistensi dalam mencari pelayanan kesehatan, asuransi, dll : Pasien
kadangkala membutuhkan bantuan dalam mencari pelayanan kesehatan
yang lain seperti medis, gigi, atau mencari asuransi kesehatan. Tim terapi,
pasien dan keluarga harus berusaha mengeksplorasi sumber-sumber apa
saja yang dapat diperoleh atau disediakan. Termasuk di dalamnya apabila
pasien sudah mulai ingin bekerja, dicarikan tempat pekerjaan yang cocok.
5. Terapi suportif : termasuk dukungan emosi dan meyakinkan serta
mendorong prilaku sehat pasien dan membantu pasien menerima
keadaannya.
6. “Peer support/self help group” : adanya sebuah kelompok yang memiliki
jadwal bertemu yang regular tergantung pada kebutuhan dan perhatian
dari kelompok tersebut. Pembicara dapat diundang untuk memberikan
pengetahuan, terjadi juga diskusi dan sharing yang dapat saling
menguatkan. Pelayanan yang lain yang juga dapat diberikan pada pasien
antara lain adalah:
Mengatur jadwal pertemuan kembali dengan dokter
Assertive community treatment
Rehabilitasi :
♪ Rehabilitasi psikososial : membantu pasien melatih ketrampilan
dengan tujuan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan
♪ rehabilitasi psikiatri : mengajarkan pasien ketrampilan yang
membuatnya dapat meraih tujuan dalam pekerjaan, pendidikan,
sosialisasi dan tempat tinggal
♪ rehabilitasi pekerjaan : latihan bekerja dan program training yang
dapat membantu pasien untuk menjadi pekerja penuh waktu
Intensive partial hospitalization
14
Aftercare day treatment
Penelitian yang dilakukan oleh Marvin dkk pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
suatu program untuk mencegah relaps yang mengkombinasikan psikoedukasi keluarga
dengan intervensi klinik termasuk obat – obatan, dapat secara efektif mengurangi
terjadinya relaps pada pasien skizofrenia.5
II.3. Social Skill Training
Social skill training bertujuan untuk membantu individu dengan cacat mental yang serius
dan terus-menerus untuk dapat membentuk kegiatan fisik, emosional, sosial dan kejuruan,
kekeluargaan, pemecahan masalah, dan ketrampilan intelektual yang diperlukan untuk tinggal,
belajar dan bekerja di masyarakat).7 Social skill training digunakan untuk memungkinkan
individu untuk belajar keterampilan khusus yang hilang. Dasar dari social skill training berasal
dari teori pembelajaran sosial, teknik yang telah dicoba dan diuji efektif untuk berbagai macam
pembelajaran manusia dan terapi perilaku.8 Secara khusus, prinsip-prinsip yang mendasari
pelatihan keterampilan sosial menekankan pentingnya menetapkan harapan yang jelas dengan
petunjuk khusus, pelatihan individu melalui penggunaan sering prompt, menggunakan
identifikasi pemodelan atau perwakilan, melibatkan individu dalam bermain peran atau latiihan
perilaku, dan menawarkan umpan balik positif yang berlimpah atau penguatan perbaikan dalam
perilaku sosial.7
II.4. Peran Keluarga dalam Penanganan Pasien Skizofrenia dalam aspek Social skill
training
Banyak orang dengan skizofrenia dan gangguan yang terkait tidak pernah belajar
keterampilan interpersonal yang diperlukan untuk fungsi dewasa. Hal ini karena penyakit mental
yang serius yang dimulai pada masa remaja dan awal dewasa sebelum individu memiliki waktu
dan peluang untuk memperoleh keterampilan instrumental dan affiliative. Individu dengan
gangguan mental yang serius dan terus-menerus biasanya memiliki deficit yang lama dalam
kinerja mereka. Mereka sering terisolasi dari kehidupan sosial, menganggur, miskin dalam
kebersihan diri, tidak mampu mengelola uang, dan pada umumnya tidak memiliki kemampuan
untuk hidup mandiri. Obat-obatan ini hanya untuk gejala dan pengurangan angka kambuh
sementara Social skill training mengajar orang bagaimana untuk hidup dalam masyarakat.8
15
Kepedulian masyarakat akan kesehatan khususnya kesehatan jiwa akan meningkatkan
peran serta mereka untuk bertanggung jawab terhadap program pelayanan kesehatan jiwa
masyarakat. Penggunaan sumber daya yang tersedia di masyarakat dapat memberdayakan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sehingga kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab
masyarakat bukan hanya tanggung jawab para profesional.5
Peran serta masyarakat sangat penting karena perawatan di rumah sakit jauh lebih mahal,
misalnya biaya perawatan pasien skizofrenia di USA sebesar 65.2 juta dolar per tahun. Biaya
perawatan pasien skizofrenia di rumah oleh keluarga akan menghemat sebesar 25 juta pounds
per tahun. Keberhasilan pelayanan pada pasien skizofrenia tergantung dari kerjasama tim
kesehatan jiwa di masyarakat (dokter, perawat, pekerja sosial) dengan pasien dan keluarganya.
Anggota keluarga diperlukan memberikan perawatan di rumah khususnya pencegahan tersier
pada skizofrenia, serta melakukan fungsinya.5
Perawatan skizofrenia oleh keluarga:7
1. Menurut Setiadi 2006 beberapa hal yang harus dilakukan keluarga dalam upaya
penyesuaian diri dengan kehadiran skizofrenia dalam sistem mereka dan cara
mengatasinya adalah:
a. Aktif mencari informasi/psikoedukasi
Informasi-informasi yang akurat tentang skizofrenia, gejala-gejalanya,
kemungkinan perjalannan penyakitnya, berbagai bantuan medis dan psikologis
yang dapa meringankan gejala skizofrenia merupakan sebagian informasi vital
yang sangat dibutuhkan keluarga. Informasi yang tepat akan menghilangkan
saling menyalahkan satu sama lain, memberikan pegangan untuk dapat berharap
secara realistis dan membantu keluarga mengarahkan sumber daya yang mereka
miliki pada usaha-usaha yang produktif. Pemberian informasi yang tepat dapat
dilakukan dengan suatu program psikoedukasi untuk keluarga.
b. Sikap yang tepat adalah SAFE (Sense of humor, Accepting the illness, Family
balance, Expectations which are realistic).
c. Menurut Torney 1988 dalam Iman Setiasi, keluarga perlu memilikisikap yang
tepat tentang skizofrenia, sisingkatnya sikap-sikap yang tepat itu dengan SAFE.
d. Support group
16
Bilamana keluarga menghadapi skizofrenia dalam keluarga mereka seorang diri,
beban itu akan terasa sangat berat, namun bila keluarga-keluarga yang sama-sama
memiliki anggota keluarga skizofrenia bergabung bersama maka beban mereka
akan terasa lebih ringan. Mereka dapat saling menguatkan, berbagi informasi
yang mutahir, bahkan mungkin menggalang dana bersama bagi keluarga yang
kurang mampu. Upaya peredaan ketegangan emosional secara kelompok juga
akan lebih efektif dan lebih murah.
e. Family therapy (object relations family therapy)
Family therapy dapat menjadi bagian dari rangkaian upaya membantu keluarga
agar sebagai suatu sistem meningkat kohesivitasnya dan lebih mampu melakukan
penyesuaina diri
f. Keluarga harus membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri si penderita
seperti melibatkan dalam kegiata sehari-hari dan mereka harus sabar dan
menerima kenyatan.
Dukungan keluarga dan teman merupakan salah satu obat penyembuh yang sangat
berarti bagi penderita skizofrenia. Menerima kenyataan, menurut Suryantha adalah kunci
pertama proses penyembuhan atau pengendalian skizofrenia. Keluarga harus tetap
bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan
kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi
bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik.14,15
Pasca perawatan biasanya penderita akan dikembalikan pada lingkungan
keluarga. Penerimaan kembali oleh keluarga sangat besar artinya, dalam berbicara tidak
boleh emosional agar tidak memancing kembali emosi penderita. Yang penting usaha-
usaha preventif berupa hindari frustasi dan kesulitan psikis lainnya. Menciptakan kontak-
kontak social yang sehat dan baik. Membiasakan pasien memiliki sikap hidup positif dan
mau melihat hari depan dengan keberanian.14
Pada skizofrenia fase aktif penderita mudah terpukul oleh problem yang
sederhana sekalipun. Kurangi pemberian tanggung jawab agar tidak membebani
penderita dan dapat mengurangi stress jangka pendek. Penderita mungkin menggunakan
kata-kata yang tidak masuk akal, agar lebih paham cobalah berkomunikasi dengan cara
17
lain dan mengajak melakukan aktivitas bersama-sama seperti mendengarkan music,
melukis, nonton tv, atau menunjukkan perhatian tanpa bercakap-cakap.16
Keluarga menanggung beban dan tanggung jawab merawat anggota keluarga
yang sakit terutama mengatasi perilaku kacau atau tanpa informasi, ketrampilan dan
dukungan yang memadai. Akhir-akhir ini perhatian para ahli beralih kepada pengaruh
keluarga terhadap timbulnya kekambuhan.17 Sikap keluarga terhadap penderita dapat
ditentukan dengan apa yang disebut EE (Emotional Expresion) yang ter diri atas kritikan
atau komentar negative, emotional over involvement, permusuhan terhadap penderita,
ketidakpuasan dan kehangatan. Bila keluarga EE nya tinggi maka kekambuhan akan
tinggi, namun sebaliknya bila EEnya tidak maka kekambuhan akan tinggi, namun
sebaliknya bila EEnya rendah maka kekambuhan pun akan rendah.
2. Menurut Nurhaeni adalah focus pada pencegahan kekambuhan klien gangguan jiwa
antara lain:18,19
a. Mengenal adanya penyimpangan awal sedini mungkin
b. Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan atau bantuan kesehatan
sedini mungkin
c. Memberi perawatan bagi anggota keluarga yang sakit, cacar atau
memerlukan bantuan dan menaggulangi keadaan darurat kesehatan.
d. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat
e. Memanfatkan sumber yang ada di masyarakat
f. Melaksanakan program rekreasi misalnya: mengajak klien nonton
bersama, jalan santai, pergi ketempat rekreasi.
g. Melakukan kegiatan social dan keagamaan misalnya: mengajak klien
arisan bersama, mengajak pergi ke pura, pengajian dll.
h. Mencegah stigma di masyarakat tentang gangguan jiwa seperti:
pendekatan pada took masyarakat atau orang yang berpengaruh dalam
rangka mensosialisasikan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.
i. Saling terbuka dan tidak ada diskriminasi
j. Saling menghargai dan mempercayai
18
k. Menghadapi ketegangan dangan tenang dan menyelesaikan masalah
kritis/darurat secara tuntas dan wajar.
II.5. Hubungan Psikoedukasi Keluarga Dengan Kejadian Relaps Pada Pasien Skizofrenia
Memberikan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia merupakan langkah pertama untuk
mengobati pasien tetapi sekarang ini semakin disadari bahwa perawatan yang komprehensif
membutuhkan integrasi antara obat-obatan, pencegahan relaps dan rehabilitasi psikososial.20
Psikoedukasi keluarga merupakan terapi psikososial yang paling efektif. Psikoedukasi dapat
mengurangi angka rawat dan mengurangi biaya pengobatan pada pasien skizofrenia. Beberapa
studi tentang psikoedukasi keluarga yang telah dilakukan ditunjukkan di bawah ini,21,22 :
Goldstein dkk. melakukan penelitian pada 104 pasien skizofrenia (terutama kunjungan
pertama) membandingkan antara psikoedukasi keluarga (orientasi enam krisis, sesi
mingguan cepat; pendidikan, membangun penerimaan, merencanakan masa depan)
dengan pengobatan dengan dosis rendah dan sedang dan hasilnya secara bermakna
menurunkan relaps pada grup psikoedukasi keluarga selama 6 bulan.
Falloon dkk. melakukan penelitian pada 36 pasien skizofrenia yang tinggal dengan
keluarga yang HEE atau dinyatakan sebagai resiko tinggi untuk terjadinya relaps
membandingkan psikoedukasi keluarga (pemecahan masalah dan latihan kemampuan
komunikasi pada keluarga di rumah. Terapi intensif selama 3 bulan yang diteruskan
dengan 6 bulan sesi follow up ) dengan psikoterapi suportif individual dengan konseling
keluarga yang cepat dan hasilnya Secara bermakna menurunkan relaps pada grup terapi
keluarga selama 9 bulan.
Leff dkk. melakukan penelitian pada 24 pasien skizofrenia yang tinggal dengan keluarga
yang HEE membandingkan pendidikan pada keluarga, anggota keluarga, terapi keluarga
di rumah dengan kontrol teratur ke rumah sakit dengan kontak yang sedikit pada
keluarga dan hasilnya secara bermakna menurunkan relaps pada grup terapi keluarga
selama 9 bulan ; tidak bermakna pada terapi 2 tahun.
Glick dkk. melakukan penelitian pada 80 pasien dengan skizofrenia atau gangguan
skizofreniform dan 60 pasien dengan gangguan afektif mayor disorder membandingkan
intervensi pada keluarga yang dirawat selama 6 sesi: pendidikan, identifikasi stresor kini
dan akan datang dengan Perawatan intensif pasien rawat yang standar dan hasilnya terapi
19
memiliki efek positif yang bermakna pada gejala yang terdapat pada pasien perempuan
dan kelurga pasien pada subgrup tsb.
Hogarty dkk. melakukan penelitian pada 103 pasien skizofrenia yang tinggal dengan
keluarga yang HEE membandingkan pendidikan, diskusi, komunikasi dan latihan
pemecahan masalah selama 2 tahun dengan Perawatan harian saja , latihan ketrampilan
sosial dan hasilnya Secara bermakna menurunkan relaps pada grup terapi keluarga pada
follow up tahun 1 dan 2.
McFarlane dkk. melakukan penelitian pada 172 pasien skizofrenia dengan kontak
keluarga 10 jam per minggu dan menghadiri 3 sesi program pendidikan/terapi
membandingkan psikoedukasi pada grup keluarga secara bersama dengan Psikoedukasi
pada grup keluarga sendiri sendiri dan hasilnya Secara bermakna terdapat penurunan
relaps pada multifamily Dari penelitian-penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa
psikoedukasi keluarga dapat secara efektif dan efisien mengurangi kejadian relaps pada
pasien skizofrenia dan memperbaiki fungsional dari pasien.
20
BAB III
PENUTUP
Penanganan pasien dengan skizofrenia perlu dilakukan dengan komprehensif, mulai dari
perawatan di rumah sakit sampai dengan perawatan di rumah. Peran keluarga sangat penting
dalam penyembuhan pasien skizofrenia terutama dalam mencegah terjadinya relaps. Banyak cara
yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofenia salah satunya
adalah dengan melakukan psikoedukasi keluarga. Perlu diketahui lebih mendalam tentang
hubungan antara psikoedukasi keluarga dengan kejadian relaps pada pasien skizofrenia.
Ditemukan bahwa anggota keluarga yang paling banyak merawat pasien adalah saudara kandung
62 orang (44,9 %) dan orang tua 28 orang (20,2 %).
Individu dengan gangguan mental yang serius dan terus-menerus biasanya memiliki
deficit yang lama dalam kinerja mereka. Mereka sering terisolasi dari kehidupan sosial,
menganggur, miskin dalam kebersihan diri, tidak mampu mengelola uang, dan pada umumnya
tidak memiliki kemampuan untuk hidup mandiri. Obat-obatan ini hanya untuk gejala dan
pengurangan angka kambuh sementara Social skill training mengajar orang bagaimana untuk
hidup dalam masyarakat.
Psikoedukasi keluarga merupakan salah satu bentuk dari intervensi keluarga yang
merupakan bagian dari terapi psikososial. Pada psikoedukasi keluarga terdapat kolaborasi dari
klinisi dengan anggota keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa berat. Tujuan dari
program psikoedukasi adalah menambah pengetahuan tentang gangguan jiwa anggota keluarga
sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kambuh, dan meningkatkan fungsi keluarga
(Stuart & Laraia, 1998). Tujuan ini akan dicapai melalui serangkaian kegiatan edukasi tentang
penyakit, cara mengatasi gejala, dan kemampuan yang dimiliki keluarga. Program psikoedukasi
menurunkan kambuh atau rawat ulang dari 9 bulan menjadi 18 bulan. Kelompok keluarga yang
mendapat program psikoedukasi lebih efektif merawat gejala negatif daripada kelompok standar.
Selain itu program psikoedukasi berhasil mengurangi reaksi negatif dan kejenuhan keluarga yang
merawat.
Secara umum, program komprehensif dari psikoedukasi adalah sebagai berikut:
21
1. Komponen didaktik, berupa pendidikan kesehatan, yang menyediakan
informasi tentang penyakit dan sistem kesehatan jiwa
2. Komponen ketrampilan, yang menyediakan pelatihan tentang
komunikasi, penyelesaian konflik, pemecahan masalah, asertif,
manajemen perilaku dan manajemen stress
3. Komponen emosional, memberi kesempatan ventilasi dan berbagi
perasaan disertai dukungan emosional. Mobilisasi sumber daya yang
dibutuhkan, khusus pada keadaan krisis
4. Komponen sosial, peningkatan penggunaan jejaring formal dan non
formal. Peningkatan kontak dengan jejaring sumber daya dan sistem pendukung
yang ada di masyarakat akan menguntungkan keluarga dan klien.
Hal – hal yang dilakukan pada saat melakukan psikoedukasi keluarga antara lain:
Mengidentifikasi bagaimana reaksi anggota keluarga terhadap keadaan pasien yang
menderita gangguan jiwa.
Mengidentifikasi faktor penyebab gangguan jiwa yang diderita oleh pasien.
Mengidentifikasi tanda dan gejala prodormal gangguan jiwa yang terjadi pada pasien.
Mengajarkan kepada keluarga bagaimana strategi koping yang dapat diterapkan.
Menjelaskan kepada keluarga tentang psikobiologi penyakit jiwa, diagnosis dan
pengobatannya, reaksi keluarga, trauma keluarga, pencegahan kambuh, guideline
keluarga.
Melakukan pemecahan masalah secara terstruktur
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Jenkins, J.H.,Garcia, J.I.R., Chang, C.L., Young, J.S., Lopez, S.R. 2006. Family Support
Predicts Psychiatric Medication Usage Among Mexican American Individuals with
Schizophrenia. Social Psyciatric and Psychiatric Epidemiologi, 41. 624-631.
2. Bellack AS., Mueser KT., Gingerich S., Agresta J. Social Skills Training for Schizophrenia:
a Step-by-Step Guide. New York, NY: The Guilford Press; 2004
3. Maramis, W.E. (2009) . Ilmu Kedokteran jiwa edisi 2. Surabaya: Pusat penerbitan dan
percetakan.
4. Kaplan HI, Sadock B.J. Sinopsis Psikiatri, Edisi ketujuh, Jilid I, Binarupa Aksara, Jakarta,
1997 : 777-83 Kaplan H.I, Sadok B.J. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Cetakan I, Widya
Medika, Jakarta, 1998 : 227-229 Kaplan
5. H.I, Sadok B.J. Comprehensive Textbook Of Psychiatric, William & Walkins. 5 th Edition,
USA, 2001 : 128
6. Dollan, P., Canavan, J., Pinkerton J. 2006. Family support as Reflective Practice. London :
Jessica Kingsley Publiser.
7. Fischer, E.P., McSweeney, J.C., Williams, D.K, Naylor, A.J., Blow, F.C., Owen, R.R. 2008.
Influence of family Involvement and Substance Use on Sustained Utilization of Services for
Schizophrenia. Psychiatric Services, vol.59 no.8, 902-908
8. Wykes T., Reeder C., Corner J., Williams C., Everitt B. The effects of neurocognitive
remediation on executive processing in patients with schizophrenia. Schizophr Bull.
1999;25:291–307.
9. Bellack AS., Gold JM., Buchanan RW. Cognitive rehabilitation for schizophrenia: problems,
prospects, and strategies. Schizophr Bull. 1999;25:257–274.
10. Brenner HD., Kraemer S., Hermanutz M., Hodel B. Cognitive treatment in schizophrenia. In:
Straube E, Hahlweg K, eds. Schizophrenia: Models and Interventions. New York, NY:
Springer Verlag; 1990:161–191.
11. Greenberg, J.S., Knudsen, K.J, Aschbrener, K.A. 2006. Prosocial Family Processes and the
Quality of Live of Person With Schozophrenia. Psychiatric Services,vol. 57 no. 12, 1771-
1777.
23
12. Hadi Sutrisno.2004. Statistik Jilid II, Yogyakarta : Andi Offset. Hawari, Dadang. 2007.
Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
13. American Psychiatric Association. Diagnostic And Staristical Manual of Mental Disorders.
5th edition. 2. 12-17
14. Ballerini, M., Stanghellini, G. 2002. Dis-sociality: The Phenomenological Approach to
Social Dysfunction in Schizophenia. World Psychiatric, 2, 102-106.
15. Arif, I.S. 2006 Skizofrenia; Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung : Refika
Aditama
16. Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal Edisi 5 jilid 2(Terjemahan :
Tim Fakutas Psikologi UI). Jakarta : Penerbit Erlangga.
17. Dixon LB., Lehman AF. Family interventions for schizophrenia. Schizophr Bull.
1999;21:631–643
18. Nurdiana, Syafwani, Umbransyah. 2007. Peran Serta Keluarga Terhadap Tingkat
Kekambuan Klien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, vol.3 no.1.
19. Barrowclough, C., Tarrier, N. 2004 Social Fungtioning in Schozophrenia. Social Psychiatric
and Psychiatric Epidemiology, 25, 130-131.
20. Berglund, N., Vahlne, J.O., Edman, A. 2002. Family Intervension in Schizophrenia: Impact
on Family Burden and Attitude. Social Psychiatric and Psychiatric Epidemiology, 38, 116-
121.
21. Francis, S., Satiadarma, M.P 2004. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesembuhan Ibu
yang mengidap Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi, Th.9 no .1.
22. Andreasen, N,C., Carpenter, M.T., Kane, J.M.,Lasser,et al. Remission in Schizophrenia :
Proposed Criteria and Rationale for Consensus. Am J Psychiatric.2002. 162:441-449.
24