17
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spinal canal stenosis merupakan suatu keadaan dimana terjadinya penyempitan kanalis spinalis atau foramen intervertebralis yang disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar dari foramen tersebut. Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada lansia. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun dan merupakan penyakit terbanyak yang memerlukan bedah pada tulang belakang pada usia lebih dari 60 tahun. Insiden pada pria lebih tinggi didapatkan dibandingkan pada wanita. Stenosis adalah penyempitan pada caliber orifisium tuba, yang menyebabkan penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen padatnya (struktur saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan mengalami penyempitan namun bukan stenosis. Spinal stenosis merupakan penyempitan osteoligamentous vertebral canal dan atau intervertebral foramina yang menghasilkan penekanan pada thecal sac dan atau akar saraf. Pada level vertebra yang sama penyempitan tersebut bias mempengaruhi keseluruhan kanal dan bagian lain dari kanal tersebut. Tanda-tanda stenosis spinal adalah kaki mengalami kelemahan, kesemutan, nyeri. Rasa sakit dapat bervariasi 1

referat neurologi spinal stenosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

spinal stenosis

Citation preview

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangSpinal canal stenosis merupakan suatu keadaan dimana terjadinya penyempitan kanalis spinalis atau foramen intervertebralis yang disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar dari foramen tersebut. Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada lansia. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun dan merupakan penyakit terbanyak yang memerlukan bedah pada tulang belakang pada usia lebih dari 60 tahun. Insiden pada pria lebih tinggi didapatkan dibandingkan pada wanita.Stenosis adalah penyempitan pada caliber orifisium tuba, yang menyebabkan penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen padatnya (struktur saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan mengalami penyempitan namun bukan stenosis. Spinal stenosis merupakan penyempitan osteoligamentous vertebral canal dan atau intervertebral foramina yang menghasilkan penekanan pada thecal sac dan atau akar saraf. Pada level vertebra yang sama penyempitan tersebut bias mempengaruhi keseluruhan kanal dan bagian lain dari kanal tersebut.Tanda-tanda stenosis spinal adalah kaki mengalami kelemahan, kesemutan, nyeri. Rasa sakit dapat bervariasi dari rasa nyeri seperti tertususk-tusuk, rasa sakit biasanya dirasakan memburuk apabila pasien sedang berdiri atau berjalan. Pasien merasakan nyaman apabila dalam keadaan bersandar ke depan seperti berjalan dengan tongkat.Pengobatan bisa dilakukan secara konservatif atau bedah. Terapi konservatif meliputi istirahat, terapi fisik dengan latihan penguatan untuk otot-otot paraspinal, bracing, penggunaan biomekanik postural optimal, NSAID, analgesik dan antispasmodic. Dekompresi bedah diindikasikan pada pasien yang mengalami nyeri hingga lumpuh, defisit neurologis atau myelopathy. Stenosis tulang belakang yang memberat dapat memnyebabkan disfungsi usus dan atau disfungsi kandung kemih. bedah komplikasi termasuk infeksi, cedera neurologis, pseudarthrosis, sakit kronis dan cacat.

B. TujuanUntuk mengetahui tentang spinal kanal stenosis sehingga dapat menegakkan diagnosis serta penatalaksaannya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiSpinal stenosis adalah suatu keadaan terjadinya penyempitan kanalis spinalis atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar dari foramen tersebut (Jefferey & Spivak, 1998).B. AnatomiCorpus vertebra adalah bagian ventral yang member kekuatan pada columna vertebralis dan menanggung berat tubuh. Corpus vertebra terutama dari vertebra thoracica IV ke caudal, berangsur bertambah besar agar dapat memikul beban tubuh yang semakin berat. Arkus vertebra adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pedikulus arcus vertebra dan lamina arkus vertebra (Keith et al., 2002).Pedikulus arkus vertebra adalah taju pendek yang kokoh dan menhubungkan lenkung pada korpus vertebra, incisura vertebralis merupakan torehan pada pedikulus arkus vertebra. Incisura vertebralis superior dan incisura vertebralis inferior, pada vertebra-vertebra yang bertangga membentuk sebuah foramen intervertebral. Pedikulus arkus vertebra menjorok ke arah dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebardan gepeng yaitu lamina arkus vertebra. Arkus vertebra dan permukaan dorsal corpus vertebra membatasi foramen vertebralis. Foramen vertebralis berurutan pada columna vertebralis yang utuh, membentuk kanalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak, akar saraf dan pembuluh darah (Keith et al., 2002).Vertebra lumbalis I-V memiliki cirri khas yaitu corpus vertebra pejal, foramen vertebralis berbentuk segitiga, lebih besar dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan ramping, prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus, prosesus artikularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior mengarah ke ventrolateral, prosesus mamilaris pada permukaan dorsal setiap prosesus artikularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh (Keith et al., 2002).Struktur lain yang penting adalah sendi lengkung vertebra articulation zygapophysealis (facet joint), letaknya sangat berdekatan dengan foramen intervertebralis yang dilalui saraf spinal untuk meinggalkan kanalis vertebralis. Sendi ini adalah sendi sinovial datar antara prosesus artikularis (zygoapophysis) vertebra berdekatan. Sendi ini memungkinkan gerak luncur antara vertebra. Jika sendi ini mengalami cedera atau terserang penyakit, saraf spinal dapat ikut terlibat. Gangguan ini dapat mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan susunan dermatom, dan kejang pada otot-otot yang berasal dari miotom yang sesuai (Keith et al., 2002).

Gambar 2.1. Spine AnatomyC. PatoanatomiStruktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal spinalis adalah struktur tulang dan jaringan lunak. Akibat kelainan tulang dan struktuir jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal canal stenosis yaitu: (Justin et al., 2003)1. Degenerasi diskusDegenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi pada proses degenerasi spinal. Pada usia 50 tahun terjadi degenerasi diskus yang paling sering terjadi pada L4-L5, dan L5-S1. Perubahan biokimia dan biomekanik membuat diskus memendek. Penonjolan annulus, herniasi diskus, dan pembentukan dini osteofit bisa diamati. Sequel dari perubahan ini meningkatkan stress biomekanik yang ditransmisikan ke posterior yaitu ke sendi facet, perubahan akibat arthritis terutama instabilitas pada sendi facet. Sebagai akibat dari degenerasi diskus, penyempitan ruang foraminal chepalocaudal, akar saraf bisa terjebak, kemudian menghasilkan central stenosis maupun lateral stenosis.2. Instabilitas segmentalDegenerasi sendi facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas segmental, biasanya pada pergerakan segmental yang abnormal misalnya gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti dengan kolapsnya ruang diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang anteromedial aspek dari prosesus artikularis superior dan inferior akan mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan fleksi akan membagi tekanan ke arah anterior. Degenerasi peregerakan segmen dengan penyempitan ruang diskus menyebabkan pemendekan relatif pada kanal lumbalis dan penurunan volume ruang yang sesuai untuk cauda equine. Pengurangan volume diperparah oleh penyempitan segmental yang disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum flavum. Pada kaskade degenerative kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi kurang terakomodasi pada gerakan rotasi karena perubahan pada diskus dan sendi facet sama halnya dengan penekanan saraf pada gerakan berputar, kondisi ini bisa menimbulkan inflamasi pada elemen saraf cauda equina kemudian menghasilkan nyeri.3. Hiperekstensi segmentalGerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan otot-otot abdomen. Perubahan degenerative pada annulus dan kelemahan otot abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi facet posterior merenggang secara kronis kemudian mengalami subluksasi ke arah posterior sehingga menghasilkan nyeri pinggang.D. FisiologiBiokimia utama diskus intervertebralis terdapat tiga komponen, yaitu air, kolagen dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan pada segmen tersebut (Keith et al., 2002).E. PatofisiologiSejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nucleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus. Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekanan dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe II dan kolagen tipe I dalam jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe I meningkat jumlahnya pada diskus. Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibandingkan pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan kondroitin sulfat yang berbeda. Pertahanan diskus berkaitan dengan proteoglikan, pada nucleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nucleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nucleus pulposus (Justin et al., 2003).

Gambar 2.2. Stenosis spinalF. EtiologiStruktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. Struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina, osteofit pada corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondilolistesis), hipertrofi atau defek spondilosis, anomaly sendi facet kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum, penonjolan annulus atau fragmen nucleus pulposus, penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis dan ganglion yang berasal dari sendi facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal canal stenosis .G. EpidemiologiSpinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang merupakan penyakit degenerasi pada tulang belakang pada populasi usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang di atas usia 50 tahun di Amerika. Lebih dari 125.000 prosedur laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar 4-5 dan lumbal 3-4 (Fahy, 2001).H. KlasifikasiKlasifikasi spinal canal stenosis berdasarkan etiologi: (Justin et al., 2003)1. Stenosis primer: Defek congenital: (1) disraspismus spinal; (2) segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan; (3) stenosis intermiten (danquin syndrome) Kegagalan pertumbuhan tulang: (1) akondroplasia; (2) morculo disease; (3) osteopetrosis; (4) eksostosis herediter multiple. Idiopatik: hipertrofi tulang pada arkus vertebralis.2. Stenosis sekunder: Degeneratif spondilolistesis Iatrogenik: Post laminektomi, post artrodesis, post disektomi Akibat kumpulan penyakit: akromegali, paget disease, fluorosis, ankylosing spondylisis Post fraktur Penyakit tulang sistemik Tumor

Klasifikasi spinal canal stenosis berdasarkan anatomi: (Steven et al., 1999)1. Sentral stenosis2. Lateral stenosis3. Foraminal stenosis4. Ekstraforaminal stenosisI. Gejala Klinis1. Sakit punggung2. Nyeri seperti terbakar pada bokong atau kaki 3. Mati rasa atau kesemutan pada bokong atau kaki4. Kelemahan di kaki atau foot drop5. Nyeri berkurang dengan bersandar ke depan atu duduk6. Abnormal fungsi usus/ dan atau fungsi kandung kemih7. Hilangnya fungsi seksual(Fahy, 2001)J. Faktor RisikoRisiko terjadinya stenosis pada vertebra meningkat pada orang yang:1. Congenital dengan kanal spinal yang sempit2. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan pertambahan usia)3. Terdapat riwayat cedera tulang belakang sebelumnya(Fahy, 2001)K. DiagnosisDiagnosis spinal stenosis dimulai denga anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik. Anamnesis berupa keluhan serta gejala-gejala yang dirasakan penderita. Kemudian dilakukan peeriksaan fisik yang meliputi dengan cara melihat punggung dan mendorong pada daerah yang berbeda untuk melihat apakah menimbulkan nyeri. Meminta pasien untuk membungkukkan ke depan, ke belakang dan sisi ke sisi untuk mencari keterbatasan atau rasa sakit. Pemeriksaan fisik ini dapat membantu dengan menentukan keparahan kondisi dan melihat apakah terdapatnya kelemahan dan atau mati rasa (Mcrae, 2004).Dapat dilakukan foto polos x-ray lumbosakral, MRI, atau CT Scan untuk memastikan diagnosa (Joseph et al., 2004).1. Foto polos x-ray lumbosakral. Meskipun hanya dapat memvisualisasikan tulang, sinar X dapat membantu menentukan apakah terdapatnya atau tidak stenosis spinal. X-ray akan menunjukkan perubahan proses penuaan seperti kehilangan ketinggian disk atau tulang taji. Sinar-X juga dapat menunjukkan terlalu banyaknya mobilitas. Ini sering disebut spondylolisthesis.2. MRI. Pemeriksaan ini dapat membuat gambar yang lebih baik dari jaringa lunak, seperti otot, cakram saraf, dan sumsum tulang belakang.3. CT Scan. Pemeriksaan ini dapat membuat penampang gambar tulang belakang, juga dapat dilakukan myelogram. Dalam prosedur ini, zat warna disuntikkan ke tulang belakang untuk membuat saraf muncul lebih jelas. Hal ini dapat membantu dokter untuk menentukan apakah terjadinya di kompresi pada saraf.L. Tatalaksana1. Terapi konservatifDilakukan apabila gejalanya ringan dan durasinya pendek, selain itu kondisi pasien yang tidak mendukung untuk dilakukan terapi operatif (misalnya pasien dengan hipertensi atau diabetes mellitus) (Jefferey, 1998). Edukasi Modifikasi aktifitas termasuk termasuk mengurangi mengangkat beban, membengkokkan badan, memelintir badan Latihan fisioterapi harus menghindari hiperekstensi dan tujuannya adalah untuk menguatkan otot abdominal fleksor untuk memelihara posisi fleksi Penggunaan lumbar corset type brace dalam jagka pendek Analgesik (missal acetaminophen) NSAID Injeksi steroid untuk mengurangi inflamasi Akupuntur

2. OperatifIndikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit neurologis yang progresif, ketidakmampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan menyebabkan peurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang gagal (Justin et al., 2003). Laminektomi. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan ligamentum flavum daritepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan level transversal spina (Siebert et al., 2009). Spinal fusion. Tujuan dilakukan fusi adalah untuk mengkoreksi instabilitas pada segmen yang dilakukan dekompresi, mengurangi nyeri pada segmen yang bergerak dan mencegah spondylolisthesis dan skoliosis. Indikasi fusi tergantung pada keadaan sebelum dan setelah dilakukan operasi, bila dekompresi mengakibatkan segmen tersebut menjadi tidak stabil maka diperlukan fusi dengan isntrumentasi, misalnya pada pengambilan 50% kedua sendi facet atau 100% pada satu sendi facet saja (facetectomy), maka fusi harus dipertimbangkan untuk dikerjakan (Siebert et al., 2009).M. Komplikasi1. Stenosis tulang belakang yang memberat dapat menyebabkan disfungsi usus dan/atau disfungsi kadung kemih.2. Bedah komplikasi termasuk infeksi, cedera neurologis, pseudodarthrosis, sakit kronis dan cacat.(Justin et al., 2003)N. PrognosisPrognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga, pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca operasi. Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang terkena multilevel, penundaan lama pembedahan. Terdapat tanda defisit neurologis, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis (Siebert et al., 2009).

BAB IIIKESIMPULAN

A. KesimpulanSpinal stenosis merupakan penyakit degeneratif yang sering ditemui pada orang usia lanjut. Gejala yang sering ditimbulkan adalah nyeri pinggang bawah. Penangan tergantung pada berat ringannya gejala yaitu dapat berupa konservatif ataupun operatif. Dalam penanganan terapi operatif, komplikasi, hasil terapinya bergantung pada kondisi penderita dan pemulihannya yang lama juga harus dipertimbangkan mengingat pasien yang umumnya usia tua.

DAFTAR PUSTAKA

Fahy D and J.E. 2001. Nixon Harcourt Publishers Ltd. Lumbar Spinal Stenosis Current Orthopaedics. 15, 91-100.

Jefferey M. Spivak. 1998. Current Concept Review Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. Journal Bone Joint Surg Am. 80: 1053-66.

Joseph D. fortin & Michael T. Wheeler. 2004. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis Pain Physician. 7: 133-139.

Justin F. Fraser & Russel C. Huang. 2003. Phatogenesis, Presentation and Treatment of Lumbar Spinal Stenosis Associated with Coronal or Sagital Spinal Deformities. Neurosurg. Focus. 14: 6.

Keith L. Moore, Anne M R. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.

Mcrae, Ronald. 2004. Clinical Orthopaedic Examination. Fifth Edition: 151-152.

Siebert E, Pruss H, Klingebiel R, et al. 2009. Lumbar Spinal Stenosis: Syndrome, Diagnostics and Treatment Nat. Rev. Neurol. 5: 392-403.

Steven R. Garfin, Harry N. Herkowitz & Srdjan M. 1999. Spinal Stenosis. Journal Bone Joint Surg Am. 81: 572-86.8