18
TUGAS REFERAT “Sesak Nafas (Dispnea)” Disusun oleh : Iman Hakim Wicaksana G1A011001 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

TUGAS REFERAT

“Sesak Nafas (Dispnea)”

Disusun oleh :

Iman Hakim Wicaksana

G1A011001

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2014

Page 2: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

I. PENDAHULUAN

Dispnea memiliki definisi sebagai sensasi benapas yang tidak nyaman (an

uncomfortable sensation of breathing) atau sensasi bernapas yang tidak nyaman

dan disadari bahwa hal tersebut merupakan suatu kelainan (abnormally

uncomfortable awareness of breathing). Dispnea biasa dihubungkan dengan

terjadinya obstruksi jalan nafas atau gagal jantung kongestif. Keluhan dispnea

juga tidak selalu disebabkan karena adanya suatu penyakit namun sering pula

terjadi pada keadaan sehat tetapi terdapat stres psikologis (Ingram, 2005).

Derajat dispnea biasanya didasarkan atas seberapa besar kegiatanm/aktivitas

fisik yang dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi. Beberapa pola dispnea tidak

berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Dispnea saat istirahat yang terjadi

tiba-tiba dapat berkaitan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan, hiperkapnia

sekunder terhadap penahanan napas, atau keadaan cemas (Braunwauld, 2001).

Page 3: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

II. ISI

A. Definisi

Dispnea memiliki definisi yaitu kesadaran bernafas yang tidak nyaman

secara abnormal. Selain itu sering juga disebut sebagai sesak napas, napas

pendek, breathlessness, atau shortness of breath. Dispnea adalah gejala

subjektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan

udara pernapasan (Ingram, 2005).

B. Etiologi

Dispnea sebagai akibat peningkatan upaya untuk bernapas (work of

breathing) dapat ditemui pada berbagai kondisi klinis penyakit. Penyebabnya

adalah (Braunwauld, 2001):

1. Meningkatnya tahanan jalan napas seperti pada obstruksi jalan

napas atas, asma, dan pada penyakit obstruksi kronik.

2. Berkurangnya kemampuan meregang paru yang disebabkan oleh

fibrosis paru, kongesti, edema, dan pada penyakit parenkim paru

dapat menyebabkan dispnea.

3. Kongesti dan edema biasanya disebabkan oleh abnormalitas kerja

jantung.

4. Pengurangan ekspansi paru seperti pada efusi pleura, pneumotoraks,

kelemahan otot, dan deformitas rongga dada.

Secara garis besar penyebab dyspnea terbagi 2 golongan besar :

1. Dyspnea pulmonal

2. Dyspnea non-pulmonal

Dyspnea pulmonal adalah dyspnea yang disebabkan murni kelainannya

pada paru, sedangkan Dyspnea non-pulmonal adalah kelainan di luar paru

yang melibatkan paru sebagai konsekuensi perjalanan kelainan/penyakit

tersebut.

Kelainan di luar paru yang menyebabkan dyspnea :

1. Kelainan jantung :

a. Gagal jantung kiri

b. Penyakit pada katup mitralis/tricuspidalis

Page 4: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

c. Cardiomyopathy

d. Kelainan jantung bawaan (congenital heart disease)

e. Peningkatan abnormal pada cardiac output

2. Anemia

3. Berada ditempat ketinggian (High altitude)

4. Obesitas

5. Exercise yang berlebihan

6. Demam tinggi

7. Metabolik asidosis

Keluhan dispnea juga tidak selalu disebabkan karena adanya suatu

penyakit namun sering pula terjadi pada keadaan sehat tetapi terdapat stres

psikologis.

C. Penegakan Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis dipnea, yang perlu dilakukan pertama kali

adalah menentukan derajat dispnea yang dialami pasien. American Thoracic

Society membuat skala yang dapat digunakan untuk menentukan derajat

dispnea (Braunwauld, 2001).

Tabel 1. American Thoracic Society Scale of Dyspnea (Braunwauld, 2001)

DESCRIPTIONS GRAD

E

DEGREE

Not troubled by shortness of breath when hurrying on

the level or walking up a slight hill

Troubled by shortness of breath when hurrying on the

level or walking up a slight hill

Walks more slowly than people of the same age on the

level because of breathlessness or has to stop for

breath when walking at own pace on the level

Stops for breath after walking about 100 yards or after

a few minutes on the level

Too breahtless to leave the house; breathless on

dressing or undressing

0

1

2

3

4

None

Mild

Moderate

Severe

Very severe

Page 5: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

Dalam menilai derajat dispnea, dibutuhkan data-data mengenai kondisi

fisik umum pasien, riwayat pekerjaan, dan kebiasaan pasien. Variasi antar

individu dalam persepsi juga patut dipertimbangkan. Beberapa pasien dengan

penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan, sedangkan pada

pasien dengan penyakit ringan dapat mengeluhkan dispnea berat (Kikuchi,

1994).

Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk memperoleh

data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang

berhubungan dengan dispnea (Ingram, 2005).

1. Orthopnea adalah dispnea saat posisi berbaring, merupakan gejala

utama gagal jantung kongestif namun dapat pula ditemukan pada

asma, obstruksi kronik saluran napas dan paralisis diafragma

bilateral. 

2. Trepopnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi lateral

dekubitus, yang sering pada pasien dengan penyakit jantung. 

3. Platypnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi tegak. Hal

yang mendasari yaitu bahwa perubahan posisi berhubungan dengan

ventilasi-perfusi.

D. Jenis Sesak Nafas (Fishman, 2008); (Szilagyi, 2004)

1. Akut

a. Pulmonary edem

b. Asma

c. Trauma pada dinding dada dan struktur toraks

d. Pneumothoraks spontan

e. Pneumonia

f. Efusi pleura

g. Pulmonary hemorrhage

h. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)

i. Emboli paru akut

2. Kronik, progresif

a. Asma

Page 6: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

b. Anemia

c. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)

d. Efusi pleura

e. Psikogenik

f. Gagal jantung kiri (gagal ventrikel kiri atau stenosis mitral)

g. Penyakit paru interstisial difus

Sarkoidosis

Neoplasma menyebar

Asbestosis

Fibrosis paru idiopatik

h. Pulmonary thromboembolic disease

i. Pulomonary vascular disease

j. Postintubation tracheal stenosis

k. hipersensitivitas

E. Pemeriksaan penunjang (Rumende, 2009)

1. Pemeriksaan fungsi paru dapat membantu menentukan apakah dispnea

berasal dari penyakit jantung, penyakit paru, abnormalitas dinding dada,

atau kecemasan.

2. Ekokardiografi atau ventrikulografi dengan radionuklida juga dapat

membantu. Fraksi ejeksi ventrikel kiri berkurang pada kegagalan

ventrikel kiri, yang kanan dapat menurun pada saat istirahat atau

meningkat selama aktivitas pada penderita penyakit paru berat, dan fraksi

ejeksi ventrikel kiri dan kanan normal pada saat istirahat dan selama

aktivitas pada dispnea yang berhubungan dengan kecemasan atau

malingering.

3. Observasi yang cermat selama tes treadmill sering dapat mengidentifikasi

dispnea akibat malingering atau kecemasan.

4. Tes latihan kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing) juga

sangat bermanfaat, di mana dilakukan penilaian kapasitas maksimal

dalam melakukan aktivitas fungsional, sekaligus pemeriksaan EKG,

tekanan darah, konsumsi oksigen, oksimetri, dan ventilasi.

Page 7: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

Tabel 2 : Pola–pola Abnormal dalam Cardiopulmonary Exercise Testing (Ingram,

2005)

Keterbatasan pada fungsi kardiovaskular.

a. Denyut jantung > 85% dari prediksi maksimal

b. Ambang anaerobik yang rendah

c. Penurunan konsumsi oksigen maksimal

d. Tekanan darah drop dengan aktivitas fisik

e. Aritmia atau iskemia pada EKG

f. Tidak mampu mencapai prediksi ventilasi maksimal

g. Tidak memiliki desaturasi yang signifikan

Keterbatasan pada fungsi respirasi.

a. Mampu mencapai atau melampaui prediksi ventilasi maksimal

b. Desaturasi signifikan (<90%)

c. Dead space yang stabil atau meningkat terhadap rasio volume tidal

d. Adanya perkembangan ke arah atau telah terjadi bronkospasme dengan

nilai FEV1 yang jatuh

e. Tidak mampu mencapai 85% dari prediksi denyut jantung maksimal

f. Tidak terdapat tanda iskemia pada EKG

F. Patomekanisme

Secara garis besar mekanisme terjadinya dispnea dipicu oleh stimulus

terhadap reseptor yang terdapat dalam saluran napas atas, paru, otot-otot

pernapasan, dinding dada, atau kombinasi dari reseptor-reseptor tersebut. Dispnea

ditandai oleh aktivasi pusat pernapasan yang abnormal atau berlebihan dalam

batang otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisikan dari atau

melalui (Ingram, 2005); (Braunwauld, 2001) :

1. Reseptor intratoraks melalui nervus vagus

Page 8: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

2. Saraf somatic aferen, terutama dari otot pernapasan dan dinding dada,

selain itu juga dari otot rangka dan sendi lain

3. Kemoreseptor di dalam otak, aorta dan badan karotis, serta semua tempat

dalam sirkulasi

4. Pusat kortikal yang lebih tinggi

5. Serat aferen dalam nervus phrenikus

Tabel 3. Kondisi terjadinya Dispnea dan Mekanismenya (Manning, 1995)

Kondisi Mekanisme

Asma Meningkatnya sensasi upaya bernafas

Stimulasi reseptor terhadap iritan di saluran nafas

Penyakit neuromuskuler Meningkatnya sensasi upaya bernafas

PPOK Meningkatnya sensasi upaya bernafas

Hipoksia

Hiperkapnia

Ventilasi mekanis Aferen yang tidak sesuai

Berbagai faktor yang menyertai kondisi yang

mendasari

Emboli paru Stimulasi reseptor terhadap tekanan di pembuluh paru

atau dapat saja di atrium kanan

Berdasarkan penyebabnya, mekanisme terjadinya dispnea yaitu (Manning, 1995);

(ATS, 1999):

1. Kekurangan oksigen (O2)

a. Gangguan konduksi  maupun difusi gas keparu

b. Obstruksi dari jalan nafas, misalnya pada bronchospasme dan

adanya benda asing

c. Berkurangnya alveoli ventilasi, misalnya pada edema paru, radang paru,

emfisema.

d. Fungsi restriksi yang berkurang, misalnya pada. pneumotoraks, efusi

pleura dan barrel chest.

e. Penekanan pada pusat respirasi

Page 9: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

2. Gangguan pertukaran gas dan hipoventilasi

a. Gangguan neuro muscular

b. Gangguan pusat respirasi, misal karena pengaruh sedatif

c. Gangguan medulla spinalis misalnya sindrom guillain-barre

d. Gangguan saraf prenikus, misalnya pada poliomielitis

e. Gangguan diafragma, misalnya tetanus

f. Gangguan rongga dada, misalnya kifiskoliosis

g. Gangguan obstruksi jalan nafas: Obstruksi jalan nafas atas, misal

laringitis/udem laring; Obstruksi jalan nafas bawah, misal asma

brochiale dalam hal ini status asmatikus sebagai kasus emergency

h. Gangguan pada parenkim paru, misalnya emfisema dan pneumonia

i. Gangguan yang sirkulasi oksigen dalam darah, misalnya pada keadaan

ARDS dan keadaan kurang darah.

3. Pertukaran gas di paru normal tapi kadar oksigen di dalam paru berkurang.

Hal ini oleh karena 3 hal, yaitu :

a. Kadar Hb yang berkurang

b. Kadar Hb yang tinggi, tapi mengikat gas yang afinitasnya lebih tinggi

misalnya CO ( pada kasus keracunan ketika inhalasi gas)

c. Perubahan pada inti Hb, misalnya terbentuknya met-Hb yang

mempunyai inti Fe 3+.

4. Stagnasi dari aliran darah, dapat dibagi atas :

a. Sentral, yang disebabkan oleh karena kelemahan jantung.

b. Gangguan aliran darah perifer yang disebabkan oleh renjatan (shock),

contoh syok hipovolemik akibat hemototaks.

c. Lokal, disebabkan oleh karena terdapat vasokontriksi lokal

d. Dapat pula disebabkan oleh karena jaringan tidak dapat mengikat O2  ,

terdapat contohnya pada intoksikasi sianida.

5. Kelebihan carbon dioksida ( CO2 )

Karena terdapatnya shunting pada COPD sehingga menyebabkan

terjadinya aliran dari kanan ke kiri.

6. Hiperaktivasi refleks pernafasan

Page 10: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

Pada beberapa keadaan refleks Hearing-Breuer dapat menjadi aktif. Hal

ini disebabkan olek karena refleks pulmonary stretch.

7. Emosi

8. Asidosis

Banyak hubungannya dengan kadar CO2 dalam darah dan juga karena

kompensasi metabolik.

9. Penambahan kecepatan metabolisme

Pada umumnya tidak menyebabkan dispneu kecuali bila terdapat penyakit

penyerta seperti COPD dan payah jantung (dekomensasi kordis).

G. Penatalaksanaan

Manajemen dispnea yang paling penting adalah mengobati penyakit

dasar serta komplikasinya. Sementara untuk penatalaksaan simptomatis

secara garis besarnya antara lain (Woodcock, 1981); (Swinburn, 1991):

a. Pemberian oksigen 3 lt/menit untuk nasal, atau 5 lt/menit dengan

sungkup

b. Mengurangi aktifitas yang dapat menyebabkan sesak dengan tirah

baring.

c. Posisi (Setengah duduk)

d. Bronkodilator (theophylline)

e. Pada keaadan psikogenik dapat diberikan sedative

f. Edukasi

g. Psikoterapi

Page 11: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

III. KESIMPULAN

1. Dispnea memiliki definisi sebagai sensasi benapas yang tidak nyaman (an

uncomfortable sensation of breathing) atau sensasi bernapas yang tidak

nyaman dan disadari bahwa hal tersebut merupakan suatu

kelainan (abnormally uncomfortable awareness of breathing).

2. Dalam penegakan diagnosis dipnea, yang perlu dilakukan pertama kali adalah

menentukan derajat dispnea yang dialami pasien.

3. Dalam menilai derajat dispnea, dibutuhkan data-data mengenai kondisi fisik

umum pasien, riwayat pekerjaan, dan kebiasaan pasien

4. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk memperoleh

data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang

berhubungan dengan dispnea

5. Gejala dan tanda lain yang berhubungan dengan dispnea :

a. Orthopnea adalah dispnea saat posisi berbaring, merupakan gejala utama

gagal jantung kongestif namun dapat pula ditemukan pada asma, obstruksi

kronik saluran napas dan paralisis diafragma bilateral. 

b. Trepopnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi lateral dekubitus,

yang sering pada pasien dengan penyakit jantung. 

c. Platypnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi tegak. Hal yang

mendasari yaitu bahwa perubahan posisi berhubungan dengan ventilasi-

perfusi.

6. Manajemen dispnea yang paling penting adalah mengobati penyakit dasar

serta komplikasinya.

Page 12: Referat Sesak Nafas (Iman Hakim W. G1A011001)

Daftar Pustaka

American Thoracic Society. 1999. American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine VOL 159

Braunwauld. Clinical aspect of heart failure: high output failure; pulmonary edema. In : Braunwauld. 2001. Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders

Braunwauld. Examination of the patient. In : Braunwauld. 2001. Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders

Fishman A, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA,et al. 2008. Fishman’S Pulmonary Diseases And Disorders. 4 th ed. New York. Mc Graw Hill

Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper, Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill: USA

Kikuchi, Y., S. Okabe, G. Tamura, W. Hida, M. Homma, K. Shirato, and T. Takishima. 1994. Chemosensitivity and Perception of Dyspnea in Patients with a History of Near-fatal asthma. N. Engl. J. Med. 330: 1329-1334

Manning HL, Schwartzstein. 1995. Patophysiology of Dyspnea. N Engl J Med. Vol 333; 1547-53. http://www.nejm.com. Diakses pada: 31 Agustus 2014

Pratiwi L. 2013. Dispnea dan Dispnea Nokturnal Paroksismal. Jakarta: FK Tri Sakti

Rumende CM. 2009. Pemeriksaan Fisik Dada dan Paru. In : Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. p. 54-68

Swinburn, C.R., H. Mould, T.N. Stone, P.A Corris, and J.G. Gibson. 1991. Symptomatic Benefit of Supplemental Oxygen in Hypoxemic Patients With Chronic Lung Disease. Am. Rev. Respir. Dis. P:913-918

Szilagyi P.G. 2004. Bates B: Guide to Physical Examination and History Taking. 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins.

Woodcock AA, E.R. Gross, and D.M. Geddes. 1981. Oxygen Relieves Breathlessness In ‘Pink Puffers’. Lancer 1:907-909