Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Abdul Baary
NIM:1113034000105
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
RESOLUSI KONFLIK DALAM AL-QUR’AN
(KAJIAN ANALISIS KONFLIK NABI MUSA DENGAN FIR’AUN)
Skripsi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “RESOLUSI KONFLIK DALAM AL-
QUR‟AN (KAJIAN ANALISIS KONFLIK NABI MUSA
DENGAN FIR‟AUN)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayattullah Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2019. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir.
Jakarta, 21 Oktober 2019
Motto
بسم اهلل الرحمن الرحيم
اس لن ل م ه ع ف ن أ اس الن ر ي خ “Sebaik-baik manusia adalah dia yang
bermanfaat bagi orang lain”
vii
ABSTRAK
Abdul Baary
RESOLUSI KONFLIK DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN ANALISIS
KONFLIK NABI MUSA DENGAN FIR’AUN)
Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa, teori – teori konflik yang
dikemukakan oleh para sosiolog telah di gambarkan di dalam al-Qur‟an
melalui gambaran kisah-kisah yang termaktub di dalamnya, bahkan
terdapat di dalam setiap konflik yang terjadi termaktub juga Resolusi dari
konflik tersebut seperti konflik dalam Kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun.
Dalam al-Qur‟an yang menggambarkan tentang konflik antara Nabi
Musa dengan Fir‟aun yaitu Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 3 – 13 sebagai akar konflik,
Qs. Al-Qaṣaṣ [28]: 14 – 21 dan 29 – 32 sebagai eskalasi konflik, Qs. al-
A‟rāf [7]: 130 – 135, al-Qaṣaṣ [28]: 40, Asy-Syū‟arā`[26]: 52 – 67, Az-
Zukhruf [43]: 55 – 56, Yunus [10]: 90 – 92, Ṯāḫā [20]: 77 – 79, sebagai
deskalasi konflik, dan setiap tahap konflik juga terdapat Resolusi.
Tujuan penelitian ini ialah menggambarkan konflik dan resolusi
yang terdapat pada kisah Nabi Musa dengan Fir'aun sehingga al-Qur‟an
dianggap dapat relevan dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi
di dalam masyarakat sekarang maupun yang akan datang.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan
teknik deskriptif analitik, hal ini agar tidak jauh dari objek yang dituju,
yaitu menggambarkan konflik dan memunculkan resolusi dari konflik
yang ada, dalam menganlisa konflik Nabi Musa dengan Fir'aun juga
dengan mengaplikasikan teori dari ahli sosiolog sesuai dengan konflik
yang terjadi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konflik Nabi Musa
dengan Fir'aun memiliki tahapan mulai dari konflik potensial sampai
konflik aktual, dan setiap konflik yang terjadi memiliki tahapan yang
berbeda, dalam setiap konflik yang terjadi selalu ada resolusi konflik yang
diberikan, dan resolusi tersebut selalu ada campur tangan Allah Swt, setiap
resolusi yang diberikan harus dilakukan tepat waktu, dan resolusi –
resolusi yang diberikan dapat diaplikasikan jika unsur-unsur konflik
tersebut sama.
ix
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Tiada kata yang pantas untuk dihaturkan selain rasa syukur atas
rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan setiap waktu.
Hanya Dia Tuhan Maha Kasih yang telah memberikan nikmat sehat dan
iman, serta petunjuk kepada penulis sehingga kata demi kata bisa penulis
rangkum menjadi sebuah karya tulis ilmiah (skripsi) yang akan penulis
serahkan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan jenjang
strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dialah Tuhan Maha Sayang
yang senantiasa memberikan kekuatan kepada penulis disaat penulis
merasa lelah bahkan frustasi untuk menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat serta salam seiring kerinduan akan senantiasa tercurahkan
ke haribaan baginda Rasul Muhammad saw. beserta keluarga dan para
sahabatnya yang telah memperjuangkan Kalamullah yang sempurna
sehingga dapat tersampaikan pula dengan begitu sempurna kepada kita
sebagai ummatnya sampai akhir zaman.
Dengan ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul
“RESOLUSI KONFLIK DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN ANALISIS
KONFLIK NABI MUSA DENGAN FIR’AUN)” tidak akan
terselesaikan tanpa adanya banyak sosok yang senantiasa mendampingi
baik secara langsung dan tidak langsung, memberikan semangat dengan
penuh cinta dan kasih sayang, memberikan sumbangsih moral ataupun
moril kepada penulis dengan penuh kesabaran. Oleh karena itu, dengan
segenap kerendahan hati, penulis rasa wajib kiranya untuk
mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada mereka:
x
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA., selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuludin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran dan
Tafsir, dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH, selaku Sekertaris Jurusan
Ilmu al-Quran dan Tafsir beserta segenap jajaran pengurus
Fakultas Ushuluddin yang telah banyak membantu mempermudah
proses administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian
skripsi.
4. Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi, yang
telah membuka wawasan dan memberikan judul skripsi ini, ucapan
terimakasih saja belum cukup untuk menggantikan jasa – jasa yang
diberikan, akan tetapi hanya doa terbaik yang bisa saya panjatkan,
terimakasih untuk semua yang telah bapak berikan kepada saya,
dan terimakasih sudah menjadi pendidik sekaligus menjadi orang
tua kedua, semua jasa – jasa bapak tidak akan saya lupakan.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan dan
kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar telah
mendorong penulis untuk pantang menyerah sebelum menang
dalam menggali kedalaman dan keindahan kitab suci al-Qurān
serta ke-Uswah-an Nabi Muhammad saw.
6. Kedua orang tua tercinta, sepertinya ucapan terimakasih tidaklah
cukup atas semua yang telah diberikan, sejak lahir sampai beranjak
dewasa, anakmu ini terlalu sering mengecewakan mu, anakmu
selalu berdoa akan kesehatan mu dan segalanya yang terbaik
untukmu, terimakasih abeh dan Umi sudah bersabar untuk
mendidik dan membesarkan anakmu ini, skripsi ini saya
xi
persembahkan untuk abeh dan umi, semoga dengan ini menjadi
wasilah kesehatan Umi dan menjadi kebanggaan untuk abeh.
7. Kakak dan adik, terutama adik paling bawel Faris Mifdat Gustantu
S.H, yang selalu ngomel untuk menyegerakan Sarjana abangmu,
terimakasih karena ocehan dan omelanmu abangmu dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat dan teman seperjuangan, Moh. Syufyan terimakasih selalu
mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan
sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, M. Idris Alimuddin,
Ibadurrahman Bayhaki, Muhammad Esa Fachresa, terimakasih
telah menjadi sahabat terbaik, dan semoga skripsi ini menjadi
acuan buat kelulusan kalian, terkhusus untuk Dahlia Arum Wangi
yang menjadi teman sekaligus sahabat, semoga pertemenan dan
persahabatan kita bukan hanya di dunia.
9. Organisasi, komunitas, dan lembaga, terutama untuk Lembaga
LP3ES yang telah memberikan wawasan yang sangat luas juga
pengalaman yang begitu banyak, sehingga saya dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik berkenaan tentang konflik,
FORSILA BPC yang telah menjadi rumah kedua selama menjadi
Mahasiswa, CUBER FM yang selalu memberikan gelak tawa, dan
BULIT (Buntu Literasi) yang menjadi keluarga dan tempat berbagi
banyak hal termasuk wawasan yang saya dapatkan sampai saat ini,
dan yang terakhir untuk guru dari semua guru selama menjadi
mahasiswa yaitu KANG ROMO (Akhmad Ali Hasyiem).
xii
Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu
mendalam dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka
agar senantiasa segala kebaikannya dibalas oleh Allah swt dengan balasan
yang setimpal. Akhirnya, penulis berharap semoga karya tulis ini
senantiasa dapat memberikan wawasan mengenai Quran dan bermanfaat
bagi semuanya, khususnya bagi penulis sendiri. Āmīn yā rabb
Ciputat, 22 juli 2019
Hormat saya
Penulis
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987
1. Padanan Aksara
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż zet dengan titik atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
xiv
ṭ te dengan titik bawah ط
ẓ zet dengan titik bawah ظ
„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Qi ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Apostrof ‟ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal
rangkap. Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah ـ
I Kasrah ـ
U Ḍammah ـ
xv
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ Ai a dan i
ك ـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab
dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ىا
Ī i dengan topi di atas ىي
Ū u dengan topi di atas ىػو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan
dengan huruf اؿ dialih aksarakan menjadi huruf „l‟ baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata الضركرة tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
xvi
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
-Al-jāmi„ah al اجلامعة اإلسالمية
islāmiyyah Diikuti oleh kata sifat
waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata benda كحدة الوجود
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
alih aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskan permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama seseorang, dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama
tersebut. Misalnya: Abū „Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū
„Abdullāh Muhammad Al-Qurṭubī
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait
nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn
al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:
Kata Arab Alih Aksara
شيعا أهلها Ahlahā syī’ān
بح أبناءهم يذ Yużabbiḥu abnā ahum
Yastaḏ’ifu يستضعف
Wa yastaḥyi nisā ahum ويستحي نساءهم
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
xvii
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
xviii
Daftar Isi
COVER SKRIPSI………………………………………………………...i
HALAMAN PERSETUJUAN BIMBINGAN………………………….ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………..iii
MOTTO………………………………………………………………….iv
ABSTRAK……………………………………………..............................v
KATA PENGANTAR…….………………………………………...….vii
PEDOMAN TRANSLITERASI.………………………………….……xi
DAFTAR ISI…………………………………………………………...xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………...12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..13
D. Tinjauan Pustaka……………………………………………….13
E. Metode Penelitian……………………………………………….15
F. Sistematika Penulisan…………………………………………..17
BAB II KONFLIK DALAM KAJIAN SOSIOLOGI DAN ISLAM
A. Konflik Dalam Sosiologi………………………………………..19
a. Pengertian Konflik………………………………………....19
b. Teori Konflik Dahrendorf…………………………………19
B. Akar Konflik…………………………………………………....21
C. Proses Konflik…………………………………………………..22
D. Konflik Dalam Perspektif Islam (Al-Qur’an)………………...22
d.1 Konflik Potensial………………………………...…………23
d.2 Konflik Aktual……………………………………………...25
E. Resolusi Konflik…………………………………………….….29
BAB III GAMBARAN UMUM KISAH NABI MUSA DAN FIR’AUN
A. Versi Penggambaran Kisah Nabi Musa dan Fir’aun………..31
xix
B. Kelahiran Musa dan Pengasuhnya……………………………33
C. Musa Masa Dewasa: Awal Pertentangan Dengan Kelompok
Fir’aun…………………………………………………………..35
D. Musa Menjadi Nabi dan Mendakwahi Fir’aun………………36
E. Akhir Pertentangan Musa & Fir’aun…………………………39
BAB IV KONFLIK DAN RESOLUSI KONFLIK DALAM KISAH
NABI MUSA DAN FIR’AUN
A. Akar Konflik…………………………………………………....41
B. Proses Konflik Nabi Musa Dan Fir’aun……………………....46
b.1 Eskalasi Konflik…………………………………………….46
b.2 Deeskalasi Konflik………………………………………….55
BAB V PENUTUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik merupakan salah satu dari keniscayaan dalam kehidupan
(min lawāẓim al-ḥayāh) manusia. Tidak berlebihan jika sebagian para ahli
berkata bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik. Namun demikian,
bukan berarti bahwa berbagai konflik dan kekerasan agama akan dibiarkan
begitu saja, tanpa ada upaya untuk mengelola konflik dan meredamnya.
Bukankah secara psikologi semua manusia mendambakan kehidupun
damai dan harmoni sosial di tengah multikultural? Jika kita bisa
melakukan resolusi konflik, niscaya suasana kehidupan yang damai,
penuh kasih sayang, toleran, saling menghargai dan tolong-menolong,
tanpa membedakan agama apa yang dianutnya akan menjadi kenyataan.1
Konflik keagamaan umumnya melibatkan emosi keagamaan yang
bisa melibatkan banyak pihak dan mampu menggerakkan segenap sumber
daya sehingga bisa sangat destruktif. Jika tidak dilakukan upaya
pencegahan dini maka bisa dipastikan resiko kerugian dan korban akan
sangat besar. Untuk itu upaya pencegahan dini atas terjadinya kerugian
dan korban sebagai akibat kekerasan dalam konflik sangat dibutuhkan.
Gagasan pengurangan resiko konflik ini merupakan gagasan yang belum
banyak dikaji.2
Mengelola konflik adalah keniscayaan demi membangun peradaban
di masa yang akan datang. Konflik menjadi destruktif jika tidak dikelola
dengan baik. Sebaliknya jika konflik dapat dikelola dengan benar maka
1 Abdul Mustaqim, “Konflik Teologis dan Kekerasan Agama” Jurnal Episteme:
2014, Vol. 9, No. 1, h. 156. 2 Abdul Jamil Wahab, Manjemen Konflik Keagamaan (Analisis Latar Belakang
Konflik Keagamaan Aktual) (Jakarta: Kompas-Gramedia, 2014), h. 12.
2
dari konflik tersebut akan muncul pemahaman yang lebih dalam dari
anggota masyarakat tentang peradabannya. Konsep ini menegaskan
dampak konflik yang kerap dijustifikasi sebagai hal negatif tanpa melihat
sisi positifnya. Adapun peran agama dalam hal ini adalah sebagai manajer
dari sebuah konflik.3
Penyelesaian konflik tidak bisa terpisahkan dari rekonsiliasi, karena
rekonsiliasi merupakan salah satu tahap resolusi konflik yaitu proses
peace building. Rekonsiliasi merupakan suatu terminologi ilmiah yang
menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses
terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap
sesuai dengan dinamika siklus konflik. Suatu konflik sosial harus dilihat
sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai
faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal
jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik
lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat
diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk
mewujudkan perdamaian yang langgeng. Menurut Ralf Dahrendrof
penyelesaian konflik yang efektif sangat bergantung pada tiga faktor.
Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik di
antara mereka. Kedua, kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir
sehingga masing-masing pihak memahami tuntutan pihak lain. Ketiga,
kedua pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dalam
hubungan interaksi diantara mereka.4
Kata “konflik” sendiri memang berasal dari bahasa Latin dari kata
kerja configere yang berarti saling memukul. Itulah mengapa ketika terjadi
3 Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2013), h. 46.
4 Hendry Bakri, “Resolusi Konflik Melalui pendekatan Kearifan Lokal Pela
Gandong di Kota Ambon” Jurnal The Politics: 2015, Vol. 1, No. 1, h. 52.
3
ketegangan dan konflik, biasanya memicu tindakan brutal, saling pukul,
bahkan tidak mustahil terjadi pula pembunuhan.5
Ganbaran tentang keniscayaan konflik antara lain dalam firman-Nya
Qs. al-Baqarah [2]: 213:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan
di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah
berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan
kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang
hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.
Tentang Qs. al-Baqarah [2]: 213, Ibn Abbas sebagaimana dikutip
al-Zamakhsyarī menyatakan bahwa manusia dulunya satu kebenaran
syariah agama selama kurang lebih sepuluh abad, yakni era antara Nabi
Adam dan Nabi Nuḫ. Ada pula yang berkata bahwa umat Wahidah (satu
agama) terjadi ketika manusia hanya tinggal satu perahu di zaman Nabi
Nuh a.s, yang diselamatkan akibat banjir bandang. Namun setelah itu,
mereka berselisih.6
5 Abdul Mustaqim, “Konflik Teologis dan Kekerasan Agama” Jurnal Episteme:
2014, Vol. 9, No. 1, h. 157 6 Lihat al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, Juz I, h. 187. Lihat pula al-Rāzi, Tafsīr al-
Kabīr, Juz III, h. 246
4
Ayat tersebut menurut hemat penulis memberikan beberapa isyarat
bahwa perselisihan atau konflik yang terjadi pada umat manusia
merupakan keniscayaan sejarah yang diciptakan tidak mono kultural. Akar
konflik adalah perbedaan. Hal itu menjadi alasan mengapa Allah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab suci agar menjadi panduan dan
pedoman dalam mengelola berbagai perselisihan tersebut. Faktor
penyebab mengapa manusia tidak mau hidup rukun damai adalah sikap
kedengkian dan kebencian memperturutkan hawa nafsu. Tetapi orang
yang mendapat petunjuk Allah melalui kitab suci dan ajaran para rasulNya
akan memperoleh kebenaran. Maka ikutilah jalan lurus atau jalan
kebenaran tersebut agar bisa meraih kehidupan yang selaras dan damai.7
tampak bahwa al-Qur‟an sebenarnya memiliki pandangan yang
positif terhadap berbagai konflik yang terjadi pada umat manusia (tak
terkecuali konflik teologis). Konflik teologis menjadi bernilai negatif
manakala masing-masing pihak saling memaksakan kehendak, saling
menghina, merendahkan dan berujung pada tindak kekerasan atas nama
agama.8
Terjadinya berbagai konflik itu sesungguhnya untuk menguji
manusia agar terus meningkatkan kualitas hidupnya. Sebab pluralitas
kehidupan ini memang merupakan sunnatullah (Qs. al-Māidah [5]: 48).
Sebagai implikasinya, masing-masing kelompok agama, suku, bangsa
memiliki berbagai perbedaan kepentingan dan pandangan; walikullin
wijhatun huwa muwallīha (Qs. al-Baqarah [2]: 148) dan perbedaan
kepentingan tersebut akan memicu ketegangan dan gesekan. Untuk itu
manusia harus banyak belajar dan terus berlomba-lomba dalam kebaikan
7 Abdul Mustaqim, “Konflik Teologis dan Kekerasan Agama” Jurnal Episteme:
2014, Vol. 9, No. 1, h. 159 8 Abdul Mustaqim, “Konflik Teologis dan Kekerasan Agama”, h. 159
5
(fastabiqū al-khairāt) agar terjadi dinamika sosial menuju kehidupan yang
beradab.9
Di sisi lain, hal demikian juga tampak dalam sejarah setiap para
rasul yang diutus Allah untuk menyampaikan risalah kepada para
kaumnya. Di situ, setiap rasul selalu mendapatkan rintangan, bahkan
perlawanan dari kaumnya. Ketegangan, konflik dan kekerasan bahkan
juga pembunuhan terhadap para nabi tak dapat dihindarkan, sebagaimana
yang diisyaratkan dalam Qs. al-Nisā‟ [4]: 155.
. “Maka (kami lakukan terhadap mereka beberapa tindakan),
disebabkan mereka melanggar Perjanjian itu, dan karena kekafiran
mereka terhadap keterangan-keterangan Allah dan mereka membunuh
nabi-nabi tanpa (alasan) yang benar dan mengatakan: “Hati Kami
tertutup”. Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka
karena kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian
kecil dari mereka”.
Ketegangan dan konflik para Nabi dengan kaumnya umumnya
disebabkan lantaran keengganan mereka menerima ayat-ayat Allah atau
risalah yang dibawa para Nabi (Qs. Ali „Imrān [3]: 112). Di samping itu,
mereka juga melanggar janji mereka sendiri dan umumnya mereka lebih
menyukai status quo, dengan mempertahankan tradisi dan warisan masa
lalu yang diterima oleh nenek moyang mereka secara taklid buta (al-taqlīd
al-a‟mā), sebagaimana terlihat dalam firman Allah Qs. al-Baqarah [2]:
170.10
9 Abdul Mustaqim, “Konflik Teologis dan Kekerasan Agama”, h. 159
10 Lihat Qs. Ali „Imrān [3]: 112 dan Qs. al-Baqarah [2]: 170.
6
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?”.
Ayat itu dikomentari oleh al-Qāsimi penulis Tafsīr Maḥāsin al-
Ta‟wīl dengan mengikuti pandangan al-Rāzi dan al-Rāghib al-Asfihāni,
sebagai sebuah kritik tajam terhadap tradisi taklid buta, yakni mengikuti
sebuah akidah, keyakinan atau tradisi penyembahan berhala tanpa
berdasarkan ilmu, dalil, bukti dan argumentasi yang kokoh. Padahal Allah
telah memberikan akal kepada manusia supaya ia berpikir dengan
mendalam sehingga dapat membedakan mana akidah yang hak dan yang
batil.11
Dalam konteks konflik teologis dan kekerasan agama, ayat tersebut
juga memberikan isyarat betapa tradisi penyembahan berhala sudah
sedemikian kuat mengakar (deeprooted) dan mereka mengikutinya begitu
saja (baca: taklid buta) sehingga ketika mereka diperintahkan mengikuti
apa yang telah diturunkan Allah–yang antara lain perintah agar hanya
menyembah kepada Nya–maka hal itu dianggap bertentangan dengan
keyakinan teologis mereka. Jadi, di situ jelas ada semacam “konflik
teologis” dalam diri mereka ketika para rasul menyampaikan risalah
tauhid. Sebagai implikasinya, “konflik teologis” tersebut seringkali
berujung kepada gesekan fisik sebagaimana halnya yang terjadi dalam
sejarah umat Islam pada awal-awal dakwah Nabi Muhammad. Meskipun
11
Muḥammad Jamaluddīn al-Qāsimi, Maḥasin al-Ta‟wil. Lihat pula Fakhruddin
al-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, Juz III, h. 17
7
sebenarnya dakwahnya telah disampaikan dengan damai, penuh rahmah
dan persuasif, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya dalam Qs. al-
Nahl [16]: 125.
. “Seruhlah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk”.
Konflik teologis dan kekerasan agama memang sudah semestinya
harus dieliminasi.“Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan
orang lain, agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu
malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian terdistorsi sehingga
menjadi penyebab perselisihan dan pembantaian”, kata Mahatma
Gandhi.12
Untuk itu, al-Qur‟an sebagai sumber nilai tertinggi sangat layak
dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan beberapa proses untuk
melakukan resolusi konflik demi tercipta peace (perdamaian). Bukankah
al-Qur‟an merupakan syifā‟ (penawar, obat dan solusi) bagi berbagai
problem sosial keagamaan masyarakat, termasuk masalah konflik dan
kekerasan agama?
Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa aspek penting yang salah
satunya yaitu kisah, kisah merupakan isi kandungan lain dalam al-Qur‟an.
Kitab samawi terakhir ini menaruh perhatian serius akan keberadaan
masalah kisah di dalamnya. Dalam al-Qur‟an tersebut 26 kali kata qaṣah
dan yang seakar dengannya, tersebar dalam 12 surat dan 21 ayat, lebih dari
12
Abdul Mustaqim, “Konflik Teologis dan Kekerasan Agama” Jurnal Episteme:
2014, Vol. 9, No. 1, h. 167.
8
itu, dalam al-Qur‟an ada surat khusus yang dinamakan surat al-Qaṣaṣ,
yakni surat ke-28 yang terdiri atas 88 ayat, 1.441 kata.
Kisah yang ada pada al-Qur‟an, pastilah kisah benar dan baik yang
bermanfaat bagi umat manusia. Sebab, al-Qur‟an sendiri menjuluki dirinya
dengan kisah-kisah terbaik (aḥsan al-Qaṣaṣ). Adapun tujuan dari
pengungkapan kisah itu sendiri seperti ditegaskan al-Qur‟an antar lain
ialah agar manusia memetik peringatan mereka supaya berpikir.13
Al-Qur‟an tidak hanya berisikan tentang tauhid, ibadah dan hukum-
hukum yang mengatur tata cara kehidupan manusia agar selamat dunia
akhirat, akan tetapi al-Qur‟an juga berisikan tentang kisah-kisah para nabi,
orang sholeh dan umat yang durhaka kepada Allah.
Kisah al-Qur‟an tentang orang-orang terdahulu adalah suatu kisah
yang benar dan periwayatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah
jujur dan betul. Ini karena Allah lah yang menceritakan kisah itu dan Allah
benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, dan Ia telah
menakdirkannya, peristiwa-peristiwa itu terjadi menurut pengetahuan,
kehendak, dan takdir-Nya. Maka dari itu, ucapan Allah tentang kisah itu
tidak mungkin mengalami kebatilan (kesalahan) dan keraguan, dan
siapakah yang paling benar ceritanya daripada Allah?14
Al-Qur‟an dalam pemaparan kisahnya tidak seperti dengan kisah-
kisah yang ada dalam kitab-kitab sebelumnya (Taurat dan Injil). Al-
Qur‟an dalam memaparkan kisahnya hanya mengambil bagian-bagian
yang memberi kesan, tidak menyebutkan semua nama-nama tokoh yang
13
Muḥammad al-Ghāzalī, Berdialog Dengan al-Qur‟an (Bandung: Mizan), h.
108 14
Salah Khalady, Kisah-Kisah Al-Qur‟an (Jakarta:Gema Insani, 1999, Jilid I), h.
23
9
terlibat dalam peristiwa tersebut. Al-Qur‟an memilih beberapa fragmen
yang berkaitan dengan substansi tema dan berisi pelajaran.15
Al-Qur‟an juga menceritakan kisah dalam sejarah yang mengandung
pesan moral yang penting bagi manusia. Salah satu kisah yang terkenal
dan berulang kali dijelaskan dalam al-Qur‟an adalah kisah Nabi Musa bagi
Iskafi, fenomena pengulangan kisah dalam al-Qur‟an bukanlah
pengulangan literal yang tanpa arti, tetapi memiliki kedalaman makna
yang harus digali dan diniscayakan adanya penjelasan-penjelasan
tertentu.16 Kisah Musa merupakan salah satu kisah di dalam al-Qur‟an
yang paling banyak pengulangannya di beberapa surat di dalam al-Qur‟an,
sehingga menarik untuk dikaji dari segi uslub bahasanya. Pengulangan ini
dapat dilihat pada surat al-Baqarah, Ali ‟Imrān. al-‟Arāf, al-Naml, al-
Syu‟arā, Ṭāhā dan beberapa surat yang lainnya.17
Salah satu faktor dari pengulangan kisah Nabi Musa dalam al-
Qur‟an adalah untuk menguatkan hati Nabi Muhammad saw, dalam
berjuang menghadapi permusuhan, kecurangan dan penghianatan bangsa
Yahudi di Madinah, yaitu Bani Qainuqa‟, Bani Nazir, dan Bani Quraizah,
sehingga Allah SWT mengingatkan kembali kisah Nabi Musa saat
menghadapi kesombongan Fir‟aun yang juga ingkar dan tidak mau
beriman terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa agar
menumbuhkan rasa percaya diri dan menguatkan hati sekaligus
membangkitkan semangat Nabi Muhammad saw dan orang yang beriman
dalam menghadapi cobaan yang mereka hadapi.18
15
Mursalim, “Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa Dalam al-Qur‟an:
Suatu Kajian Stilistika” Jurnal Lentera: 2017, Vol. I, No. I, h. 86. 16
Al-Khātib al-Iskafi, Durrat al-Tanzīl wa Gurrat al-Ta‟wīl fī Bayān al-āyat al-
Mutasyābihat fī Kitāb Allah al-„Azīz (Beirut: Dār al-Kutb al-„Ilmiyah, 1990), h. 23. 17
Mursalim, “Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa AS. Dalam al-
Qur‟an: Suatu Kajian Stilistika” Jurnal Lentera: 2017, Vol. I, No. I, h. 86. 18
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1982, cet. I), juz
I. h. 2-3
10
Faktor lain dalam pengulangan kisah Nabi Musa menurut Hamka19
dalam al-Qur‟an adalah karena perjuangan yang dihadapi Nabi Musa
hampir sama beratnya dengan perjuangan yang dihadapi Nabi Muhammad
SAW, sehingga dapat menjadi perbandingan bagi Nabi Muhammad saw
dan orang-orang beriman bahwa para nabi terdahulu juga menghadapi
cobaan yang berat dalam menegakkan agama Allah swt. Kedua Nabi ini
termasuk golongan Nabi dan Rasul yang bergelar ulul azmi.
Munculnya berbagai macam pendekatan dan metode yang dipakai
dalam pembacaan al-Qur‟an ini membuktikan betapa luasnya dan tinggi
makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini lah yang mendorong penulis
ingin mencoba salah satu metode yang dipakai para sosiolog untuk
menganalisa keadaan masyarakat yang begitu kompleks, salah satunya
dengan teori-teori konflik yang dicetuskan, jika di telaah lebih dalam
tentang isi al-Qur‟an maka tidak bisa dipungkiri di dalam kisah yang
disajikan oleh al-Qur‟an memiliki unsur-unsur konflik, maka dari itu hal
ini menjadi tantangan bagi seorang muslim untuk mengkaji lebih
mendalam al-Qur‟an karena al-Qur‟an sering disebut-sebut sebagai
petunjuk dan pedoman kehidupan, dan al-Qur‟an membahas segala aspek,
maka kajian ini dianggap penting untuk pembuktian bahwa al-Qur‟an
benar-benar menjadi satu-satunya petunjuk bagi umat manusia, salah
satunya sebagai resolusi konflik yang marak terjadi dan sangat lah
kompleks.
Di sini penulis mencoba melakukan satu penelitian ilmiah yang
berkenaan dengan konflik yang ada dalam al-Qur‟an, penulis mengkaji
konflik dalam kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun, karena kisah sendiri
mempunyai peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan atau
perkataan dari Allah Swt. Karya ilmiah ini penulis beri judul
19
Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 24
11
“RESOLUSI KONFLIK DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN ANALISIS
KONFLIK NABI MUSA DENGAN FIR’AUN)”.
B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, konflik adalah suatu hal yang
tidak bisa terlepas dalam kehidupan masyarakat, begitu banyak yang
mengkaji dan meneliti tentang konflik dan resolusi konflik, namun belum
terdapat karya ilmiah yang berusaha untuk menganalisa kisah-kisah dalam
al-Qur‟an tentang konflik dan resolusi konflik.
Oleh karena itu, penulis akan membatasi penelitian ini dengan hanya
membahas kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun dalam al-Qur‟an. Maka
penelitian ini akan difokuskan pada rumusan masalah berikut: bagaimana
gambaran konflik dan resolusi konflik pada kisah Nabi Musa dengan
Fir‟aun?
C. Tujuan dan Manfaat Peneletian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan ini adalah:
a. menggambarkan konflik Nabi Musa dengan Fir‟aun yang terdapat
di dalam al-Qur‟an dan memunculkan resolusi konflik tersebut.
2. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini menguatkan Karlina Rizki
Rosadi dan Abdul Muhyi Wijaya Kusuma Atmaja tentang
konflik yang terdapat di dalam kisah al-Qur‟an
2. Secara praktis, skripsi ini dapat digunakan sebagai rujukan
alternatif dan bahan bacaan dalam mendukung mata kuliah
Pendekatan Modern dalam al-Qur‟an, dan Kajian Barat
Terhadap al-Qur‟an.
12
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian
terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Adapun kajian
terdahulu yang menulis antara lain:
Karlina Rizki Rosadi dalam skripsinya, penelitian ini membahas
tentang pesan moral dan konflik kisah Nabi Musa dan Khidir pada surat
al-Kahfi ayat 60-82 dalam al-Qur‟an yang menggunakan teori Burhan
Nurgiyantoro, sedangkan skripsi ini memfokuskan pada konflik yang
terjadi antara Nabi Musa dengan Fir‟aun dan memunculkan konfliknya
secara utuh dan menganalisa dengan teori sosiolog sebagai resolusi
konflik yang ditawarkan al-Qur‟an.20
Abdul Muhyi Wijaya Kusuma Atmaja dalam Skripsinya, peneliti
hanya melihat konflik yang terjadi pada kaum Yahudi dan Nasrani dengan
Umat Islam, dan mengkaji satu surah yang menjadi pondaso analisa dan
memakai salah satu tokoh mufassir, sedangkan skripsi ini membahas
relevansi al-Qur‟an sebagai resolusi konflik, dan menganalisa konflik
yang terjadi pada kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun dengan menggunakan
teori sosiolog.21
David Fatakhulloh dalam Skripsinya, penelitian ini membahas
tentang Membangun dan Menggali unsur-unsur kisah Nabi Musa dan
Khidir dan menganalisa pesan-pesan yang terdapat di dalamnya, dengan
cara memaparkan kisah Nabi Musa dan Khidir dengan analisa struktural,
dan menganalisa melalui semiotika, sedangkan skripsi ini akan membahas
tentang unsur-unsur konflik yang terjadi pada kisah Nabi Musa dan
20
Karlina Rizki Rosadi, Moral dan Konflik Kisah Nabi Musa dan Khidir Pada
Surat al-Kahfi ayat 60-82 dalam Al-Qur‟an (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011)., 21
Abdul Muhyi Wijaya Kusuma Atmaja, Konflik Yahudi dan Nasrani terhadap
Umat Islam : Kajian Surah Al-Baqarah : 120 Menurut Tafsir fi Zilal Al-Qur‟an
(Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2012).,
13
Fir‟aun dengan analisa menggunakan teori sosiolog dan relevansinya pada
masa kini.22
Nurlaili Abdul Azis dalam Skripsinya, membahas tentang
bagaimana penafsiran tentang kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir menurut
Hamka dan M. Quraish Shihab tentang QS. al-Kahfi [18]: 66-82,
sedangkan skripsi ini membahas tentang relevansi al-Qur‟an sebagai
resolusi konflik yang terdapat pada kisah Nabi Musa dan Fir‟aun dengan
manganalisa konflik dalam kisah Nabi Musa dan Fir‟aun menggunakan
teori sosiolog.23
Fathur Rozaq dalam tesisnya, penelitian ini membahas bagaimana
pandangan ulama terhadap ayat-ayat tentang konflik yang terjadi antara
umat muslim terhadap bani israil, dan mencoba menghilangkan stigma
negatif terhadap kaum bani israil, sedangkan pada skripsi ini mencoba
untuk melihat kisah dalam al-Qur‟an sebagai resolusi konflik yang marak
terjadi, dengan cara melihat konflik dengan utuh dan menganalisa dengan
teori sosiolog tentang konflik.24
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencari.
Mencatat, menemukan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna
mencapai tujuan.25
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam
melakukan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
22
David Fatakhulloh, Analisis Struktural Semiotik Kisah Nabi Musa As dan
Khidir As Dalam Al-Kahfi (Malang:Universitas Negeri Malang, 2014)., 23
Nurlaili Abdul Azis, Penafsiran Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir Dalam Al-
Qur‟an Menurut Hamka dan M. Quraish Shihab: Surat Al-Kahfi ayat 66-82
(Surabaya:UIN Sunan Ampel , 2015)., 24
Fathur Rozaq, Ibrah Kisah Konflik Bani Isra‟il Dalam Al-Qur‟an (Telaah
Penafsiran Ulama Atas Ayat Konflik Bani Isra‟il Dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah
Ayat 243-252) (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2016)., 25
Cholid Nur Boko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta : Bumi
Aksara Pustaka), h. 1
14
Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah
penelitian library research, merupakan penelitian yang mengambil bahan-
bahan kajiannya pada berbagai sumber, baik yang ditulis oleh tokoh yang
diteliti itu sendiri atau disebut dengan sumber primer, maupun sumber
yang ditulis oleh orang lain mengenai yang ditelitinya. Karena penelitian
ini bertujuan menelaah atau mengkaji suatu kitab atau buku mengenai
kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun dalam al-Qur‟an, maka jenis penelitian
yang sesuai adalah penelitian pustaka yang bercorak deskriptif-analitis.26
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun sumber data yang peneliti gunakan untuk keperluan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud
khusus menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data
dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau
tempat objek penelitian dilakukan.27
Data primer ini merupakan sumber utama yang berperan dalam
pengumpulan data untuk kepentingan peneliti untuk penelitiannya. Karena
penelitian ini berjenis kajian pustaka, maka sumber utamanya yaitu al-
Qur‟an dan kitab, Kisah-Kisah Para Nabi karya Abu Abdurrahman
Muhammad Daz bin Munir al-Maghrubi, yang dimana memuat tentang
kisah Nabi Musa dan Fir‟aun.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang dijadikan penunjang dalam
pengumpulan data yang peneliti butuhkan. Data sekunder yang penulis
26
Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi
(Jakarta: PT. Renika Cipta, 2006, Cet. I), h. 95-96 27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (Bandung:
Alfabeta, 2009, Cet. VIII), h. 137.
15
gunakan berupa buku- buku atau sumber- sumber tertulis lainnya adalah
segala yang berkaitan tentang kisah Nabi Musa dan Fir‟aun, dan buku,
jurnal, buku tafsir-tafsir terjemahan dan yang lainnya yang berkaitan
dengan konflik dan resolusi konflik.
c. Pengolahan Data
Dalam penelitia ini, data-data yang dikumpulkan kemudian diolah
dengan cara-cara berikut:
1. Deskripsi
Yaitu mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat yang menjadi
bagian dari konflik dan resolusi konflik serta menguraikan tentang konflik
pandangan ahli sosiolog dan Islam
2. Analisis
Analisis data merupakan proses memilih dari beberapa sumber
maupun permasalahan yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.28
Setelah mendeskripsikan teori konflik, langkah selanjutnya adalah
menganalisa teori konflik yang nantinya mendapatkan kesimpulan teori
siapa yang paling tepat untuk menggambarkan konflik Nabi Musa dengan
Fir‟aun dan juga dapat diketahui resolusi dari konflik yang terjadi.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka penulis
menjadikan sistematika penulisan ini dalam lima bab, yang mana ke lima
bab tersebut terdiri dari sub-sub yang terkait. Sistematika penulisan
sebagai berikut:
BAB I, adalah latar belakang yang menjelaskan mengapa penelitian
ini dilakukan, rumusan masalah yang berfungsi sebagai fokus penelitian
yang disajikan dalam berbentuk pertanyaan, tujuan penelitian yang
28
Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi penelitian (Bandung: CV.
Mandar Maju, 2011), h. 166.
16
berfungsi sebagai penguraian dari yang akan dijadikan untuk apa
penelitian ini, tinjauan pustaka, yang didalamnya berbagai penelitian
sehingga penulis dapat menemukan bahan peneliti yang relevan dan sesuai
dengan fokus masalah yang dituju. Lalu kerangka teoritis yaitu metodologi
penulisan yang berfungsi sebagai penjelasan dari cara mengumpulkan data
dari sebuah penelitian, sistematika penulisan.
BAB II, adalah landasan teori, dalam bab ini memuat pengertian
konflik, jenis-jenis konflik, resolusi konflik, pandangan Islam tentang
konflik dan resolusi konflik.
BAB III, dalam bab ini penulis akan membahas tentang gambaran
umum tentang konflik dalam kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun secara
keseluruhan.
BAB IV, adalah penelitian yang membahas tentang konflik dalam
Kisah Nabi Musa dengan Fir‟aun yang terdapat dalam al-Qur‟an, yang
kemudian memilih ayat-ayat yang berkaitan tentang konflik Nabi Musa
dan Fir‟aun, dan menganalisis pola, tahapan, hingga resolusi dari konflik.
BAB V, adalah penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian
ini yang mana penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan
yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis
gunakan dalam bab ini. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan
untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
17
BAB II
KONFLIK DALAM KAJIAN SOSIOLOGI DAN ISLAM
A. Konflik dalam Sosiologi
a. Pengertian Konflik
Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah terjadi
di setiap interaksi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat.
Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada penciptaan
keseimbangan sosial bahwa melalui proses tawar menawar konflik dapat
membantu terciptanya tatanan baru dalam interaksi sosial sesuai dengan
kesepakatan bersama atau secara demokrasi. Apabila konflik dapat
dikelola dengan baik sampai batas tertentu dapat juga dipakai sebagai alat
perekat kehidupan masyarakat (kehidupan berbangsa).1
Konflik sosial menjadi tidak lumrah dan menjadi sumber malapetaka
dan kehancuran kehidupan berbangsa. Ketika disertai dengan tindakan
anarkis dan kebrutalan seperti yang terjadi di penghujung kebangkrutan
orde baru dan diawal masa reformasi. Apalagi akhir-akhir ini konflik
sosial yang terjadi diwarnai dengan agresifitas membabi buta ditandai
dengan tindakan yang melampaui batas-batas peri kemanusiaan disertai
dengan kekerasan. Saling bunuh, saling bakar, saling rusak dengan cara-
cara sangat sadis sering terjadi mewarnai konflik di masyarakat. Konflik
sosial semakin terasa sangat tidak patut karena sudah menuju ke bentuk
kekerasan sosial di hampir seluruh lapisan masyarakat disertai dengan
terancangnya keutuhan hidup berbangsa.
1 Agus Surata, Atasi Konflik Etnis (Yogyakarta: Global Pustaka Utama), h. 4-5.
18
b. Teori Konflik Dahrendorf
Dahrendorf memiliki anggapan bahwa suatu kelompok yang
terbentuk secara kebetulan sangat mungkin akan terhindar dari konflik.
Sebaliknya, apabila kelompok yang bentukannya ditentukan secara
struktur, maka akan memungkinkan untuk terbentuk menjadi kelompok
kepentingan yang dapat menjadi sumber konflik atau pertentangan.
Dahrendorf menambahkan bahwa terdapat hubungan yang erat
antara konflik dengan perubahan sosial. Konflik akan menyebabkan
terciptanya perubahan sosial. Dalam pandangan Dahrendorf, masyarakat
memiliki dua muka yaitu konsensus dan konflik. Teorinya tentang konflik
dialetik ini dianggap masih mendapat pengaruh dari Marx.2 Menurutnya,
setiap organisasi sosial akan menunjukkan realita:
1. Setiap sistem sosial akan menampilkan konflik yang
berkesinambungan
2. Konflik dimunculkan oleh kepentingan oposisi yang tidak
terhindarkan
3. Kepentingan oposisi tersebut merupakan refleksi dari perbedaan
distribusi kekuasaan diantara kelompok dominan dan kelompok
lapisan bawah
4. Kepentingan akan selalu membuat polarisasi ke dalam dua
kelompok yang berkonflik
5. Konflik selalu bersifat dialektik, karena resolusi terhadap suatu
konflik akan menciptakan serangkaian kepentingan oposisi yang
baru, dan dalam kondisi tertentu, akan memunculkan konflik
berikutnya.
2 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 77-
78.
19
6. Perubahan sosial selalu ada pada setiap sistem sosial, dan hal ini
merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari konflik dialektik, dan
aneka tipe pola insititusional.3
B. Akar Konflik
Timbulnya konflik menurut para sosiolog karena adanya hubungan
sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-
sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah
ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di
masyarakat.4 Beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik-konflik, di antaranya yaitu: (a) Perbedaan
pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik
antar individu, (b) perbedaan kebudayaan, perbedaan kebudayaan tidak
hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga
antar kelompok5 dan perbedaan kepentingan. mengejar tujuan kepentingan
masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing
dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.
Pada dasarnya, penyebab konflik dibagi dua, yaitu: (a)
Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang
mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk
sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh,
pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama,
3 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 81.
4 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 345. 5 J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan
(Jakarta: Kencana Media Group, 2005), h. 215
20
sopir dan cendekiawan dan (b) kemajemukan vertikal, yang artinya
struktur masyarakat berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan.6
C. Proses Konflik
Dalam suatu lembaga baik lembaga pemerintah maupun swasta
proses konflik dapat di pahami menggunakan model Pondy tentang
episode konflik yang di tunjukkan dengan serangkaian tahap, seperti ; (a)
Latent conflict, tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya konflik di dalam organisasi, (b) perceived conflict, tahap di
mana salah satu pihak memandang bahwa pihak lain seperti akan
menghambat atau mengancam pencapaian tujuannya, (c) felt conflict,
tahap di mana konflik tidak hanya sekedar di pandang atau di anggap ada,
tetapi sudah benar-benar di rasakan dan di kenali keberadaannya, (d)
manifest conflict, tahap di mana perilaku tertentu sudah mulai di tunjukkan
sebagai pertanda adanya konflik, misalnya sabotase, agresi terbuka,
konfrontasi, dan rendahnya kinerja, (e) Conflict resolution, konflik yang
ada di selesaikan atau di tekan dengan berbagai macam cara dan
pendekatan, mulai dari menghindari terjadinya sampai pada menghadapi
konflik itu dalam usaha mencari jalan keluar sehingga pihak-pihak yang
terlibat mencapai tujuannya, (f) Conflict aftermath, tahap ini mewakili
kondisi yang di hasilkan oleh proses sebelumnya. Apabila konflik
terselesaikan maka terjadi peningkatan dalam hubungan dan jika tidak
tepat dalam penyelesaiannya akan memicu konflik baru.7
D. Konflik dalam al-Qur’an
Menginformasikan secara sistematis kepada manusia, bahwa konflik
atau pertikaian, telah ada dan menjadi ketentuan dalam kehidupannya.
6 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 345. 7 Umar Nimran, Perilaku Organisasi Cet III (Surabaya : CV. Citra Media, 2004),
h. 63
21
Manusia digambarkan dalam al-Qur‟an selalu melakukan pertikaian, baik
pertikaian antar personal, keluarga, dan sosial. Al-Qur‟an menggambarkan
konflik sosial dalam dua bentuk, yaitu bentuk potensial dan bentuk aktual.
Konflik dalam bentuk potensial disebutkan al-Qur‟an dengan
menggunakan kata عدو (permusuhan), sedangkan konflik aktual
digambarkan dengan menggunakan kata جدل (perselisihan/pertengkaran)
dan قتل (pembunuhan).8
d.1 Konflik Potensial
Dari beberapa kata bentukannya menggambarkan potensi konflik
dalam diri manusia. Dari hasil analisis terhadap beberapa ayat al-Qur‟an,
ditemukan bahwa secara umum potensi konflik dapat dibagi pada potensi
konflik universal. Potensi konflik universal ialah potensi berselisih yang
dimiliki setiap individu dalam berinteraksi.9 Potensi konflik seperti ini
dimiliki oleh setiap manusia, sekalipun tidak saling mengenal antara satu
dengan lainnya. Potensi seperti ini dapat dirasakan ketika bertemu dengan
orang untuk pertama kalinya dalam sebuah perjamuan malam, misalnya,
akan tetapi karena satu hal yang tidak kita sukai, baik prilaku, tutur kata,
maupun warna dan busana yang dipakainya, kita dapat saja mempunyai
kesan tidak senang padanya. Jelasnya, potensi konflik universal tidak
membutuhkan adanya interaksi atau kontak sosial sebelumnya, sebab
potensi ini melekat dalam diri setiap individu.10
Potensi konflik universal dapat berbentuk konflik intrapersonal dan
interpersonal. Konflik intrapersonal adalah potensi konflik yang muncul
dalam “diri” setiap orang, yakni potensi perselisihan antara dorongan-
dorongan kebaikan dan keburukan. Dorongan untuk melawan atau
8 M.F. Zenrif., Realitas & Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif Al-Qur’an
(Malang: UIN Malang Press, 2006), h. 50-51. 9 Perhatikan Qs. al-Baqarah [2]: 36, Qs. al-A‟rāf [7]: 24 dan Qs. Ṭāhā [20]: 123.
10 M.F. Zenrif., Realitas & Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif al-Qur’an
(Malang: UIN Malang Press, 2006), h. 51.
22
menyatakan permusuhan terhadap kebaikan ditunjukkan dengan adanya
dorongan berbuat kejahatan dan keburukan. Sebaliknya, adanya kesadaran
melawan dorongan kejahatan ditunjukkan dengan kuatnya dorongan
berbuat kebaikan. Konflik intrapersonal ini sering dialami ketika kita
menghadapi pilihan untuk melakukan atau menolak mengerjakan sesuatu.
Dalam kondisi seperti ini, kita dapat saja menyalahkan dan membenci,
bahkan menyakiti dan membunuh diri sendiri.11
Konflik interpersonal ialah potensi yang ada dalam “diri” setiap
orang untuk membenci dan memusuhi yang lain. Konflik ini dapat
berbentuk individu-individu, antar individu dalam keluarga, antar individu
yang terjalin dengan komitmen persahabatan, antar etnis atau komunitas
masyarakat yang diikat dengan komitmen, baik komitmen kebangsaan
atau kenegaraan, maupun komitmen keagamaan. Potensi konflik yang
disadarkan atas komitmen keagamaan, di samping disebabkan
permasalahan politik dan ekonomi, banyak didorong oleh penilaian yang
negatif, yang berakhir dengan pengejekan pada agama lain.
Dilihat dari pandangan strukturalis, ada potensi konflik antara
pimpinan, raja, presiden, rektor, atau direktur pada satu sisi, dan rakyat,
mahasiswa, atau buruh pada sisi yang berlawanan. Potensi “konflik
struktural” ini merupakan akibat dari ketidakadilan, kedhaliman, dan
bentuk lain dari penindasan kaum elit terhadap masyarakat alit (kecil).
Dalam pandangan struktur agama, potensi konflik dapat terjadi antara
nabi, kyai, pendeta, pastur, biksu atau missionaris (da‟i), dengan umatnya.
Potensi konflik yang terakhir ini disebabkan ada sebagian
masyarakat yang bersifat munafik dan menjadi demagog (penghasut),
yakni seseorang yang mampu mempengaruhi kebanyakan masyarakat dan
11
Akhmad Rifa‟i, Konflik Dan Resolusinya Dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 176
23
pimpinan dengan keindahan bahasa dan rasionalisasi analitis terhadap
sebuah realitas. Sekalipun analisis para demagog tidak berdasarkan
realitas yang sebenarnya, para demagog tetap mampu merasionalisasi
informasinya sehingga seakan-akan apa yang diinformasikannya benar-
benar berangkat dari sebuah realitas. Tindakan yang berangkat dari hasil
analisis para demagog telah mengakibatkan kaum elit mengambil
kebijakan yang kurang tepat, sebaliknya sebagian masyarakat memberikan
penilaian terhadap pimpinan dengan salah disebabkan informasi yang
tidak benar dari demagog.12
d.2 Konflik Aktual
Konflik potensial yang disebut di atas, apabila diorganisir dan
dimobilisasi massa, maka ia akan menjadi konflik aktual, yakni realitas
konflik sosial. Dalam hal ini al-Qur‟an menggambarkan konflik model ini
dengan mengunakan kata, pada tingkat konflik yang paling rendah, dan
kata untuk tingkat konflik yang tinggi.
Konflik sosial yang terendah ditunjukkan dalam berbagai model
konflik; Pertama, dengan hadirnya demagog yang memberikan
rasionalisasi yang menakjubkan tentang keberhasilan kehidupannya dan
ditampakkan di depan orang banyak atas nama Tuhan, walaupun
sesungguhnya yang berada di dalam jiwanya adalah kebalikan dari apa
yang ada pada permukaannya. Salah satu ciri dari perilaku konflik yang
disebabkan perbuatan demagog ialah; (a) sesuatu yang ada dalam hatinya
jauh dari kenyataan yang ditampakkannya di depan orang banyak, (b)
Apabila dia berada di belakang orang banyak, dia justru membuat
12
Akhmad Rifa‟i, Konflik Dan Resolusinya Dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 177.
24
kerusakan di atas bumi; (c) Apabila diingatkan, dia menunjukkan
kesombongan dan keangkuhan.13
Kedua, konflik sosial yang didahului oleh perdebatan (mujadalah),
yaitu perdebatan antara logika yang benar dan yang salah, kebaikan
dengan keburukan, dan antara keadilan dengan kebatilan. Konflik seperti
ini sering terjadi antara mereka yang mengajak kepada kebenaran dan
mereka yang mempertahankan tradisi yang salah.14
Ketiga, konflik keluarga disebabkan permasalahan kekeluargaan,
seperti pengasuhan anak, pemilikan terhadap harta waris, kecemburuan
terhadap pasangannya, dan segala bentuk konflik keluarga.15 Konflik
seperti ini banyak terjadi di negara-negara maju maupun berkembang yang
fenomenanya dapat dilihat dari meningkatnya angka perceraian dan gugat
cerai.16
Keempat, “perang dingin” antar umat beragama, yaitu konflik
antarumat beragama, kelompok mukmin pada satu sisi dan kelompok kafir
pada sisi lain.17
Kelima, konflik antara orang yang melakukan perserikatan dan
kerjasama dengan tidak menggunakan manajemen yang baik. Sistem
kerjasama atau perserikatan ini dapat terjadi dalam skala personal,
komunitas sosial yang diwakili oleh organisasi institusional (antar
lembaga), regional (antar provinsi), nasional (antar negara) maupun
internasional (antara negara-negara yang berkelompok dalam suatu badan
atau organisasi). Setiap hubungan kerjasama atau perserikatan yang
dilakukan dengan cara tidak professional dan terbuka, merupakan bentuk
13
Qs. al-Baqarah [2]: 204-206. 14
Qs. al-Zukhruf [43]: 58 15
Qs. Āli Imrān [3]: 44. 16
Akhmad Rifa‟i, Konflik Dan Resolusinya Dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 178. 17
Qs. al- Naml [27]: 45, dan Qs. al-Ḥaj [22]: 19.
25
dari konflik sosial yang apabila terakumulasi akan menjadi ledakan
konflik yang membahayakan hubungan tersebut.18
Keenam, konflik sosial diakibatkan perbedaan pandangan tentang
kekayaan dan konservasi alam, perbedaan pandangan ini berakibat pada
upaya untuk mempertahankan pandangan yang karena ketidaktahuannya
mengakibatkan pada kesalahan, namun dengan kesombongannya
kemudian berwujud dalam bentuk makar. Makar ini ditunjukkan dengan
cara mengeksploitasi alam untuk menunjukkan kebenaran dan
kemenangannya sehingga mengakibatkan kerusakan eko sistem dan makro
kosmik. Pada dunia kita sekarang, kita melihat bagaimana Barat (negara-
negara industri) telah menghabiskan seluruh kekayaan alamnya untuk
dieksploitasi demi kepentingan industrialisasi, namun pada sisi lain Barat
meminta agar negara-negara tertinggal di Timur melakukan konservasi
alam demi keutuhan ekosistem dan makro kosmik. Konflik seperti ini
sering tampak kepermukaan dalam bentuk “perang dingin” antara Barat
(negara kaya) dan Timur (negara miskin).
Ketujuh, bentuk konflik sosial diakibatkan terjadinya pencurian,
korupsi, manipulasi, pengurangan timbangan atau ukuran, dan beberapa
bentuk pengambilan hak orang lain dengan tidak sah. Korupsi dan
manipulasi yang terjadi di beberapa negara berkembang, khususnya
Indonesia, telah mengakibatkan terjadinya konflik sosial, baik vertikal
maupun horisontal. Terjadinya demonstrasi di berbagai daerah sebagai
bentuk respon terhadap terjadinya korupsi dan manipulasi adalah salah
satu indikasi yang menunjukkan terjadinya konflik bentuk ini.
Sementara itu, kata yang menunjukkan pada tingkatan konflik aktual
yang tinggi dapat terjadi antarpersonal yang diakibatkan permasalahan
18
Akhmad Rifa‟i, Konflik Dan Resolusinya Dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 179.
26
keluarga, baik karena permasalahan perkawinan yang tidak disetujui
maupun disebabkan masalah warisan, antar etnis dan agama yang
disebabkan fitnah, antarnegara (pemerintahan), atau peperangan antar
agama (perang suci). Bentuk-bentuk konflik ini hingga kini dapat kita
amati dengan jelas dalam berbagai kehidupan sosial, sekalipun dengan
motif dan dorongan yang berbeda dengan apa yang ada dalam setiap ayat
secara tekstual.
Fenomena konflik sosial ini dapat dilihat dari terjadinya
pembunuhan yang tidak disengaja atau melakukan sesuatu dengan tidak
bermaksud untuk membunuh, akan tetapi secara tidak langsung
mengakibatkan terjadinya pembunuhan, atau pembunuhan terhadap
individu atau perusakan terhadap alam semesta, pembunuhan terhadap
pimpinan (negara maupun agama), atau pembunuhan terhadap anak
sendiri.
Menurut Akhmad Rifa‟i, konflik potensial dan aktual yang telah
dijelaskan dalam al-Qur‟an tidak lain agar kita mengetahui potensi-potensi
dan gambaran konflik yang sering terjadi dalam kehidupan antar manusia.
Selain kita mengetahui sejauh mana keberadaan konflik yang ada dalam
hidup, al-Qur‟an juga memberikan resolusi disetiap konflik yang ada di
dalamnya.19
Banyaknya teori yang menjelaskan tentang konflik, akan tetapi hal
ini masih menjadi perdebatan tentang keobjektifitasan dari teori-teori yang
dicetuskan, dalam hal ini al-Qur‟an adalah jalan keluar yang paling tepat,
walaupun tidak bisa menghilangkan konflik secara sepenuhnya, al-Qur‟an
dapat meminimalisir konflik yang terjadi, karena di dalam al-Qur‟an
mencangkup segala aspek dan kisah-kisah orang terdahulu yang di
19
Akhmad Rifa‟i, Konflik dan Resolusinya Dalam Perspektif Islam (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 180.
27
dalamnya terdapat unsur-unsur konflik yang terjadi, dan setiap konflik al-
Qur‟an selalu memberikan resolusi, yang bisa dijadikan pembelajaran dan
bisa diaplikasikan di setiap konflik yang terjadi.
E. Resolusi Konflik
Dalam Perspektif Islam Resolusi konflik harus dipahami sebagai
suatu penyelesaian dimana pihak di luar, pihak-pihak yang berkonflik
dapat membantu dan mengarahkan konflik yang negatif menjadi konflik
yang positif. Hal ini sangat penting terkadang pihak-pihak di luar yang
berkonflik bukan membantu memecahkan konflik justru menjadi a part of
problem. Apalagi konflik keagamaan, terkadang norma agama pun mereka
abaikan, seperti halnya jika yang berkonflik adalah pihak-pihak yang
mengatasnamakan agama, pasti pihak lainnya ingin membantu lantaran
mereka seagama dan dengan emosi yang lebih ditonjolkan, bukan akal
sehat atau normanya yang berjalan. Selain itu, istilah “pencegahan
konflik” mengungkapkan penekanan yang diberikan oleh pengelakan
terhadap pergolakan, sebagai perlawanan terhadap aktivitas untuk
mempertentangkan dan mencegah segala bentuk kekerasan dan
menanggulangi eksploitasi, diskriminasi, pengusiran, serta penindasan.
Oleh karena itu, dengan sedikit keadilan, resolusi konflik dipandang
sebagai alat dari sebuah pengamanan sebagai senjata baru yang lebih
kokoh dalam kekuatan mereka yang diuntungkan oleh status quo, daripada
sebuah sarana demi mencapai perdamaian yang disertai dengan keadilan.
Maka peran dari „pihak ketiga‟ adalah membantu pihak-pihak yang
terlibat konflik untuk mencari jalan keluar yang saling menguntungkan.20
Dalam sebuah konflik mungkin ada beberapa alasan kedua pihak yang
terlibat tidak cukup mampu untuk keluar dari apa yang mereka
20
Diana Francis, Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial (Yogyakarta: Penerbit
Quills, 2006), h. 56-57
28
perselisihkan, karena mereka tidak cukup rasional, oleh karenanya
membutuhkan pihak diluarnya. Pihak luar atau pihak ketiga kehadirannya
sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik agar konflik dapat
dikelola dan dihindari dari tindak diskriminasi, kekerasan, dan lainnya.
Sebagaimana al-Qur‟an menegaskan untuk menghadirkan pihak ketiga,
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai
dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai) itu bermaksud
mengadakan perbaikkan, niscaya Allah memberikan taufik kepada suami-
istri tersebut. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”21
21
Qs. al-Nisā‟ [4]: 35
29
BAB III
GAMBARAN UMUM KISAH NABI MUSA DAN FIR’AUN
A. Versi Penggambaran Kisah Nabi Musa dan Fir’aun
Al-Qur‟an menyebut nama Nabi Musa dalam 34 surah,1 dan
memberikan informasi historis tentangnya jauh lebih banyak ketimbang
nabi lain manapun. Beberapa surah hanya berisi penyebutan singkat atau
detail yang sangat singkat, seperti dalam surah Maryam, al-Anbiyā‟, al-
Ahzāb, dan as-Ṣaffāt, sementara yang lain memberikan penjelasan yang
lebih panjang, seperti dalam surah al-Baqarah, Yūnus, Ṭāhā, dan al-
Syu‟arā.2 Akan tetapi dalam hal ini Louay Fatoohi dan Shetha al-
Dargazeli dalam bukunya “Sejarah Bangsa Israel Dalam Bibel dan Al-
Qur’an” tidak mencantumkan Qs.al-Qaṣaṣ [28] yang di mana dalam
pengkisahan Qs.al-Qaṣaṣ [28] ini menjadi bagian terpenting, karena Qs.al-
Qaṣaṣ [28] banyak memuat kisah Nabi Musa. Sebelum mengutip teks al-
Qur‟an tentang kisah Nabi Musa, dalam bagian ini akan diberikan
gambaran umum kisah Nabi Musa dan Fir‟aun, mulai dari lahirnya Nabi
Musa dan pengasuhnya, keluarnya Nabi Musa dari Mesir, dakwah Nabi
Musa kepada Fir‟aun, binasanya Fir‟aun serta para pengikutnya.
Sejumlah orang yang melakukan penelitian tentang kisah nabi musa
membaginya ke dalam sejumlah fragmen (Lihat Tabel 3.1), Bila diringkas
akan ada 2, pertama versi kisah dengan cuplikan/fragmen lengkap dan
kedua versi ringkas.
Tabel 3.1: Versi Kisah Nabi Musa
No Versi 1 Versi 2 Ket
1 Ahmad Zubeir,
“Analisis Kisah Nabi
Louay Fatoohi dan
Shetha al-Dargazeli,
Versi 1:
mengumpulkan
1 Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazeli, Sejarah Bangsa Israel Dalam Bibel dan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 143. 2 Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazeli, Sejarah Bangsa Israel Dalam Bibel dan
Al-Qur’an, h. 143.
30
Musa Versus Fir`aun
dalam al-Qur’an”
“Sejarah Bangsa
Israel Dalam Bibel
dan al-Qur’an”
ayat-ayat dengan
menggunakan
kata kunci Musa
dan
mengklasifikasika
n hingga menjadi
17 fragmen
Versi 2:
menceritakan
secara umum
kisah Nabi Musa
dan
mengumpulkan
ayat sehingga
menjadi rangkaian
kisah
2
Moh. Fahrur Rozi,
“Kisah Nabi Musa
Dalam Perspektif
Studi Stilistika al-
Qur’an”
M. Faisol,
“Interpretasi Kisah
Nabi Musa
Persepektif
Naratologi al-
Qur’an”
Versi 1:
membaginya
menjadi 21
fragmen
Versi 2:
menggambarkan
secara umum
kisah Musa a.s
dan memunculkan
bentuk Narasi
Allah yang
terdapat dalam al-
Qur‟an.
Versi 1, Ahmad Zubeir, dalam memaparkan kisah Nabi Musa dalam
al-Qur‟an dengan cara mencari kata kunci “Musa” dari al-Qur‟an digital,
dan mengklasifikasi ayat-ayat yang terkumpul menjadi 17 fragmen
didukung dari buku-buku yang menjelaskan tentang kisah Musa seperti
karya al-Maghrubi yaitu “kisah-kisah para Nabi” dan lain-lain.3 dan Moh.
Fahrur Rozi, memaparkan kisah dengan cara mengumpulkan ayat-ayat
3 Ahmad Zubeir, “Analisis Kisah Nabi Musa Versus Fir`aun dalam al-Qur’an”.
(Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2009), h. 16 – 72.
31
yang terkait kisah Musa dalam al-Qur‟an dan membaginya menjadi 21
fragmen.4
Versi 2, Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazeli, dalam memaparkan
kisah, menceritakan peristiwa-peristiwa yang penting dari kisah Musa dan
menceritakan secara umum, membagi menjadi beberapa sub tema, lalu
mengumpulkan ayat yang banyak termuat kisah Musa dalam satu surah.5
M. Faisol memaparkan kisah secara umum dan memunculkan narasi-
narasi Allah dalam al-Qur‟an.
Dari versi yang telah disebutkan dan dipakai para peneliti tentang
kisah Nabi Musa dalam al-Qur‟an berbeda dengan penggambarannya,
karena, saya hanya akan menggambarkan kisah Nabi Musa dan Fir‟aun
saja secara umum dan membaginya dalam 4 bagian, dengan perincian
sebagai berikut:
1. Awal kisah Musa dan pertemuannya dengan Fir‟aun Qs. al-Qaṣaṣ
[28]: 3-13
2. Musa dewasa: Awal pertentangan dengan kelompok Fir‟aun Qs. al-
Qaṣaṣ [28]: 14-21
3. Musa menjadi Nabi dan mendakwahi Fir‟aun Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 29-
32
4. Akhir pertentangan Nabi Musa dengan Fir‟aun Qs. al-A‟rāf [7]: 103-
126 dan Qs. al-Syu‟arā‟ [27]: 18-51, Qs. Ṭāhā [20]: 57-69, dan Qs.
Ṭāhā [20]: 70-76.
B. Kelahiran Musa dan Pengasuhannya
Dalam QS. al-Qaṣaṣ [28]: 3-6, menceritakan tentang kekejaman
Fir‟aun, yang di mana Fir‟aun telah berbuat sewenang-wenang di muka
4 Moh. Fahrur Rozi, “Kisah Nabi Musa Dalam Perspektif Studi Stilistika al-
Qur’an”. (Skripsi, UIN Sunan Ampel), h. 60 – 110. 5 Louay Fatoohi dan Shetha al-Dargazeli, Sejarah Bangsa Israel Dalam Bibel dan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), h. 143.
32
bumi menjadikan penduduknya terpecah belah , (إن فرعون عال ف لرض )
عا) هم ) menindas segolongan dari mereka ,(وجعل أهلها شي (يستضعف طآ ءفة من dan menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan perempuan
mereka dan Allah memberikan pertolongan (يذبح اب نآءهم ويستحي نسآءهم ) 6
kepada kaum Bani Isra‟il sebagai kaum yang tertindas dengan menjadikan
nya pemimpin dan yang mewarisi bumi ( ستضعفوا ف ال رض ونعلهمةونعلهم الوا رثي dan memperlihatkan kepada Fir’aun dan Haman ( اإم
beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu7
اكا ن وا يزن ون ) هم م .(ونرى فرعون وهامان وجن ودوها من Qs. Al-Qaṣaṣ ayat 7-13, menceritakan tentang ibu Nabi Musa yang
mendapatkan ilham (نآ ال ام موسى ان ) dari Allah agar menyusui (واوحي Nabi Musa dan menjatuhkan nya ke dalam sungai (Nil) (ارضعيه
8فالقيه ف )
dan menjanjikan kepada ibu Musa untuk mengembalikannya, dan (اليم
mengangkat Nabi Musa menjadi rasul-Nya, Maka di susuilah Musa lalu di
jatuhkanlah Musa ke dalam sungai oleh ibu Musa sehingga dipungutnya
Musa oleh keluarga Fir’aun9 yang menjadi musuh dan (فا الت قطه آل فرعون )
kesedihan bagi mereka.
Istri Fir‟aun ingin memelihara bayi Musa dan berkata kepada
Fir‟aun:
“(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya,
mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil Ia
menjadi anak”.10
Ketika hati ibu Musa menjadi kosong, dan hampir menyatakan
rahasia tentang Musa, maka diteguhkan lah hatinya, agar ia termasuk
orang-orang yang percaya kepada janji Allah, maka berkata lah ibu Musa
kepada Saudara perempuan Musa “Ikutilah dia” maka kelihatanlah
6 Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 4
7 Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 6
8 Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 7
9 Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 8
10 Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 9
33
olehnya Musa dari jauh.11
Dan sebelum Musa disusui oleh perempuan lain
yang menyusuinya maka berkatalah saudara perempuan Musa kepada
keluarga Fir‟aun :
“Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik
kepadanya?”12
Maka kembali lah Musa kepada ibunya, kemudian merasakan
senang dalam hatinya dan tidak berduka cita.
C. Musa Masa Dewasa: Awal Pertentangan dengan Kelompok Firaun
Surah al-Qaṣaṣ ayat 14-21 Isi QS. al-Qaṣaṣ [28]:16 adalah doa Nabi
Mūsā memohon ampunan setelah merasa membuat kesalahan tanpa
sengaja,
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri
karena itu ampunilah aku”.
Doa ini bermula dari sebuah kesalahan yang diperbuatnya tanpa
sengaja (QS. Al-Qaṣaṣ [28]:14-15), di kota Memphis (Minf) yang berada
di wilayah Mesir. Beliau terlibat perkelahian ketika bermaksud menolong
temannya yang tengah berkelahi dengan seorang pemuda Koptik. Ia
meninju pemuda Koptik itu hingga tewas. Kata wakaza yang dipakai
dalam redaksi al-Qur‟ān diartikan sebagai tindakan memukul di bagian
dada atau mendorong dengan ujung jari jemari, sama sekali tidak ada
unsur kesengajaan jika kemudian pukulan ini berujung pada kematian.
Nabi Mūsā kemudian menguburkan jenazah orang itu di tanah berpasir.
Reaksi spontan Nabi Mūsā ketika mendapati musuh yang dipukulnya mati
adalah bahwa Nabi Mūsā merasa hal tersebut merupakan bagian dari
akibat perbuatan setan. Al-Ṭabarī menafsirkan, “Mūsā berkata bahwa
peristiwa pembunuhan ini disebabkan oleh setan yang telah meletupkan
11
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 10-11 12
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 12
34
amarah ke dalam diri Mūsā, sehingga ia memukul orang itu hingga
terjatuh.”13
Memohon “ampun” yang dipanjatkan Nabi Mūsā dalam doanya juga
bisa bermakna bahwa Allah “menutupi” (yasturu) perbuatan aniaya
tersebut, sehingga kabar itu tidak sampai tersebar luas. Bahkan Fir„awn
sendiri sebagai pemuka kaum Koptik dibuat bingung karena tidak
mengetahui siapa pelaku pembunuhan itu. Dengan kata lain, jika saja
berita itu tersebar maka jiwa Nabi Mūsā akan menghadapi ancaman serius.
Di sinilah makna “Allah mengampuni Mūsā” dimaknai oleh al-Khāzin
sebagai “Allah menutupi (berita pembunuhan) tersebut sehingga tidak
diketahui oleh Fir„awn siapa pembunuhnya”. Hal tersebut menjadi
“nikmat” tersendiri yang diperoleh Nabi Mūsā, sebagaimana dimaksudkan
oleh Nabi Mūsā dalam ungkapan doa selanjutnya.
Sikap dan prilaku Nabi Mūsā yang dengan segera mengingat Allah
ketika melakukan tindakan kesalahan, bahkan tindakan kesalahan yang
tidak disengaja sekalipun -dengan mengakuinya sebagai bagian dari
kelalaiannya dan tindakan tidak terpuji yang dilakukan tidak berdasarkan
perintah Allah- merupakan salah satu alasan utama dari diterimanya taubat
seorang hamba. Tidak hanya sebatas pengakuan, bahwa dirinya menyadari
telah melakukan tindakan yang bersifat zalim, dengan mengungkapkan
rasa penyesalannya, Nabi Mūsā pun bertekad untuk tidak mengulangi
perbuatan tersebut. Sikap Nabi Mūsā menjadi salah satu petunjuk tentang
prasyarat taubat yang sebenar-benarnya. Taubat Nabi Mūsā ini relevan
untuk diikuti oleh siapa saja yang menghendaki turunnya ampunan Allah,
yang bukan saja maghfirah-Nya, tetapi juga disertai harapan bahwa Allah
akan menutupi perbuatan buruk yang telah disesalinya tersebut agar tidak
13 Lihat Mohammad Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “Mendialogkan
Hermeneutika Doa”, Refleksi, Volume 13, nomor 6, April 2014,hal. 728
35
diketahui oleh orang lain. Dengan demikian, turunnya ampunan Tuhan
tidak saja terkait dengan dimensi vertikal yang menandai membaiknya
hubungan hamba dengan Tuhannya, tetapi diberikannya ampunan juga
terkait dengan aspek horizontal dalam hubungan antar manusia, ketika
seorang hamba juga berharap Allah akan menutupi kesalahannya dari
mata manusia.14
Setelah kejadian di kota tersebut Musa menjadi takut dan khawatir,
lalu tiba-tiba orang yang meminta pertolongan sebelumnya berteriak
meminta pertolongan kepada Musa lagi, akan tetapi Musa berkata
kepadanya “Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sesat yang
nyata (kesesatannya)”.15
Ketika Nabi Musa menolong orang tersebut dan
ketika musa hendak memegang dengan keras musuhnya, maka musuh itu
berkata kepada Musa:
“Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku,
sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seseorang manusia?
Kamu tidak bermaksud hendak menjadi orang yang berbuat
sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiada lah kamu hendak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan
perdamaian”,16
setelah itu datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-
gegas seraya berkata kepada Musa:
“Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding
tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota
ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat
kepadamu”,17
Setelah mendengar kabar tersebut maka keluarlah Musa dari kota
tersebut menuju kota Madyan, dan di kota tersebut Musa bertemu dengan
Nabi Syu‟aib dan melakukan perjanjian untuk menikahi salah seorang
14 Lihat Mohammad Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, “Mendialogkan
Hermeneutika Doa”, Refleksi, Volume 13, nomor 6, April 2014,hal. 729 15
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 18. 16
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 19. 17
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 20.
36
anak perempuan Nabi Syu‟aib dan tinggal bersamanya sampai waktu yang
dijanjikan.18
D. Musa Menjadi Nabi dan Mendakwahi Fir’aun
Dalam Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 29-32 menceritakan tentang setelah Musa
menyelesaikan waktu yang ditentukan atas perjanjiannya dengan Nabi
Syu‟aib, Musa pun berangkat kembali bersama keluarganya menuju
Mesir, dan di tengah perjalanan Musa mendapatkan wahyu dari Allah dan
diangkatnya menjadi Rasul-Nya, lalu berfirman kepada Musa “ Ya Musa,
sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam, dan lemparkanlah
tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular) dan Musa melihatnya
bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik
ke belakang tanpa menoleh. (kemudian Musa diseru):
“Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut.
Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang aman. Masukkanlah
tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat
bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dalam
dada)mu bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua
mukjizat dari Tuhanmu (yang akan dihadapkan kepada Fir`aun dan
pembesar-pembesarnya). Sungguh mereka adalah orang yang
fasik”.19
Setelah Nabi Musa menjadi Rasul-Nya, Allah memerintahkan
kepada Nabi Musa untuk menyerukan kepada Fir‟aun dan para
pengikutnya agar menyembah kepada Allah karena perbuatannya sudah
melampaui batas, setelah itu Nabi Musa berkata kepada Allah
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah membunuh seseorang
manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan
membunuhku, dan saudaraku Harun dia lebih petah lidahnya
daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk
membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka
akan mendustakan”,
Dan maka Allah berfirman:
18
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 21- 28. 19
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 29 -32, dan QS. Ṭāhā [20]: 9-23.
37
“Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan kami berikan
kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat
mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa
mukjizat kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah
yang akan menang”.20
Setelah diangkatnya saudara Musa yaitu Harun menjadi Nabi, Musa
dan Harun di perintahkan untuk menyeru kepada Fir‟aun dan pengikutnya
agar kembali menyembah Allah, lalu pergilah Musa dan Harun menemui
Fir‟aun, dan Musa berkata kepada Fir‟aun :
“Hai Fir’aun, sesungguhnya aku adalah seorang utusan dari Tuhan
semesta Alam, wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap
Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu
dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka
lepaskanlah bani Isra’il (pergi) bersama aku”.
Dan Fir‟aun menjawab:
“Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, maka datangkan lah
bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar”.21
Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat
itu menjadi ular sebenarnya kemudian ia mengeluarkan tangannya, ketika
itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang
yang melihatnya. Ketika melihat hal tersebut, maka pemuka-pemuka kaum
Fir`aun berkata
“Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai, yang
bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu”.22
Dan Fir`aun pun berkata:
“Maka apakah yang kamu anjurkan”.
Lalu berkata pemuka-pemuka itu:
20
Lihat Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 33-35, Qs. Al-Mu‟minun [23]: 45-49, Qs. Ṭāhā [20]:
24-36, dan Qs. Ṭāhā [20]: 42-47. 21
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 106. 22
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 109.
38
“Beri tangguhlah dia dan saudaranya serta kirim lah ke kota-kota
beberapa orang yang akan mengumpulkan (ahli-ahli sihir), supaya
mereka membawa kepadamu semua ahli sihir yang pandai”.23
Setelah mendengar jawaban dari para pemuka-pemuka tersebut
Fir‟aun pun mengumpulkan ahli sihir, dan berkumpullah ahli sihir tersebut
lalu berkata kepada Fir‟aun “(apakah) sesungguhnya kami akan
mendapatkan upah, jika kamilah yang menang?”.24
Dan Fir‟aun
menjawab “Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk
orang yang dekat (kepadaku).25
Dan ahli sihir itu pun berkata kepada
Musa “Hai Musa, kamukah yang melemparkan lebih dahulu, ataukah
kami yang akan melemparkan?”.26
Maka Musa pun menjawab
“Lemparkanlah (lebih dahulu)!”,27
maka tatkala mereka melemparkan,
mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut,
serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). Pada saat itu
Nabi Musa mendapatkan wahyu dan melemparkan tongkatnya dan
menelan semua yang apa mereka sulapkan. Dan ahli-ahli sihir tersebut
serta merta meniarapkan diri dengan bersujud dan mereka berkata “kami
beriman kepada Tuhan semesta alam, yaitu Tuhan Musa dan Harun”.
Lalu Fir‟aun pun berkata:
“Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin
kepadamu?, sesungguhnya (perbuatan) ini adalah salah satu
muslihat yang telah kamu rencanakan di dalam kota ini, untuk
mengeluarkan penduduknya dari padanya; maka kelak kamu akan
mengetahui (akibat perbuatanmu ini); demi, sesungguhnya aku akan
memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal
balik, kemudian sungguh-sungguh aku akan menyalib kamu
semuanya”.
Dan ahli-ahli sihirpun berkata:
23
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 111- 112. 24
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 113. 25
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 114. 26 Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 115. 27
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 116.
39
“sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali, dan kamu tidak
membalas dendam dengan menyiksa kami, melainkan karena kami
telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu
datang kepada kami”.
Dan para ahli-ahli sihir pun berdoa:
“Ya Tuhan kami, limpahkan lah kesabaran kepada kami dan
wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)”.28
E. Akhir Pertentangan Musa & Fir’aun
Setelah kalahnya Fir‟aun oleh Musa dan Harun, hingga para ahli-
ahli sihir yang dikumpulkan olehnya ikut beriman, maka berkatalah para
pembesar-pembesar dari kaum Fir‟aun (kepada Fir‟aun):
“Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat
kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta
tuhan-tuhan mu?”,
Fir‟aun pun menjawab:
“Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup
perempuan-perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa
penuh diatas mereka”.29
Setelah itu Allah menurunkan hukuman berupa musim kemarau
yang berkepanjangan, kekurangan buah-buahan, agar Fir‟aun dan para
pengikutnya bisa mengambil pelajaran, akan tetapi kesombongan Fir‟aun
dan pengikutnya tidak membuat mereka mau beriman dan berkata:
“Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami
untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali
tidak akan beriman kepadamu”.
Dikirimkan nya taufan, belalang, kutu, dan darah sebagai bukti yang
jelas, akan tetapi Fir‟aun dan pengikutnya tetap menyombongkan diri, dan
ketika mereka ditimpa azab, mereka pun berkata kepada Musa:
28
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 103-126 dan Qs. al-Syu‟arā [27]:18-51, Qs. Ṭāhā [20]:
57-69, dan Qs. Ṭāhā [20]: 70-76. 29
Lihat Qs. al-A‟rāf [7]: 127
40
“Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan
(perantara) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.
Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dari pada
kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan
Bani Isra’il pergi bersamamu”.
Kemudian setelah azab itu dihilangkan dari mereka, tiba-tiba mereka
mengingkarinya dan mengejar Musa dan kaumnya untuk menganiaya
mereka, maka Musa diberikan wahyu:
“Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (bani Isra’il) di malam
hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu
tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan
tenggelam).
Maka ketika Fir‟aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu
mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka,30
kemudian
binasalah Fir‟aun dan para pengikutnya karena kesombongannya.
30
Lihat: Qs. al-A‟rāf [7]: 127-136 dan Qs. al-Syu‟arā [26]: 52-68, Qs. Ṭāhā [20]:
77-79, Qs. al-Zukhruf [43]: 51-54, Qs. Yūnus [10]: 90-92.
41
BAB IV
KONFLIK DAN RESOLUSI KONFLIK DALAM KISAH NABI
MUSA DAN FIR’AUN
A. Akar Konflik
Timbulnya konflik menurut para sosiolog karena adanya hubungan
sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-
sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah
ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di
masyarakat.1
Dalam hal ini ketika berbicara terkait konflik dan resolusi konflik
dalam kisah Nabi Musa dan Fir'aun yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Kita membedah dengan menggunakan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.1: Akar Konflik
No Surat Ayat Keterangan
1 Al-Qaṣaṣ 3-6 Perbuatan Fir'aun
2 Al-Qaṣaṣ 7-13 Musa dan Pengasuhnya
Pada tabel di atas menjelaskan bahwa Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 3-6 yaitu
tentang perbuatan yang dilakukan oleh Fir’aun yang disebutkan pada ayat
4 diantara perbuatan-perbuatan Fir’aun yaitu عل (sewenang-wenang), أىلهاعاشي (memecah belah), يستضعف (menindas) suatu golongan, dan يذبح
نساءىموي ,(menyembelih anak laki-laki) أب ناءىم ستحي (dan membiarkan
anak perempuan nya hidup), hal inilah yang menjadi pemicu konflik,
sehingga Allah mengutus Musa kepada Fir’aun dan Haman serta bala
tentaranya Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 6.
Dalam Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 7-13 menceritakan tentang Musa kecil,
ketika kekhawatiran ibu Musa akan keselamatan Musa kecil, sehingga
turunnya wahyu kepada Ibu Musa untuk menghanyutkan Musa ke sungai
1 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), h. 345.
42
agar ditemukan oleh keluarga Fir’aun dan dijanjikan untuk
mengembalikan Musa kecil dengan Ibunya dengan selamat.
Firman Allah SWT dalam Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 4-6 menjelaskan
tentang hal tersebut:
“Sesungguhnya Fir‟aun telah berbuat sewenang-wenang di muka
bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki
mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka
Sesungguhnya Fir‟aun Termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan”.
عل) فرعون -Sesungguhnya Fir‟aun telah berbuat sewenang“ (إن
wenang,” yakni mengagungkan dirinya sendiri (األرض di muka“ (ف
bumi,” maksudnya di bumi Mesir (عا شي أىلها dan menjadikan“ (وجعل
penduduknya terpecah-belah” yang berkelompok-kelompok untuk
mengabdi kepadanya (ىم من ئفة طا dengan menindas“ (يستضعف
segolongan mereka,” yaitu kaum Bani Isra’il, ( أب ناءىم يذبح ) “menyembelih
anak laki-laki mereka” yang baru dilahirkan (نساءىم dan“ (ويستحي
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka,” maksudnya
membiarkan mereka hidup. Hal itu dikarenakan ucapan para dukun yang
disampaikan kepada Fir’aun: “sesungguhnya akan ada bayi laki-laki yang
dilahirkan di lingkungan Bani Isra’il, dan kelak anak itu menjadi penyebab
runtuhnya kerajaanmu”. (المفسدين من كان Sesungguhnya Fir‟aun“ (إنو
43
Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” dengan melakukan
pembunuhan dan lain-lain.2
عل فرعون األرضإن ف “Sesungguhnya Fir‟aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi,” maksudnya, berbuat sombong dan
berlaku zalim. Demikian yang dikatakan Ibn Abbas dan Al-Suddi.
Qatadah berkata, “Berlaku sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri,
dengan enggan menyembah Allah disebabkan kekafirannya bahkan
mengakui dirinya Tuhan”.3
Ada yang berpendapat, dengan kerajaannya dan kekuasaannya, dia
berlaku sewenang-wenang terhadap orang-orang yang berada di
bawahnya. ضفاألر “di muka bumi”, yakni bumi Mesir. عا شي أىلها وجعل“dan menjadikan penduduknya terpecah-belah,” dalam kelompok-
kelompok dan golongan-golongan dalam pelayanan.4
dengan menindas segolongan mereka”, yakni“ يستضعفطائفةمنىم
sebagian bangsa Isra’il. المفسدين من كان إنو نساءىم ويستحي أب ناءىم يذبح“menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak
perempuan. Sesungguhnya Fir‟aun termasuk orang-orang yang berbuat
kerusakan.” Pembahasan ini telah dipaparkan sebelumnya pada Qs. al-
Baqarah [2]: 49. Hal demikian itu terjadi sebab para ahli sihir berkata pada
Fir’aun bahwa seorang anak yang lahir dari bangsa Isra’il kelak akan
2 al-Imām Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalālain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA,
2010), h. 750. 3 Atsar disebutkan oleh al-Mawardi dalam Tafsirnya (3/210) dalam al-Qurṭubī, Tafsīr
al-Qurṭubī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) jilid. 13, h. 632. 4 al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī jilid. 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 632.
44
menghancurkan kerajaannya, atau para ahli nujum yang berkata demikian,
atau Fir’aun bermimpi dan pentakbir mimpinya menafsirkan demikian.5
Al-Zujāj berkata, “perkara yang mengherankan dari kebodohan
Fir’aun, walaupun apa yang dikatakan ahli nujumnya benar, tetap saja
pembunuhan yang dilakukannya tidaklah bermanfaat. Jika ahli nujumnya
dusta, maka tidak ada manfaatnya melakukan pembunuhan dimaksud.”6
Dalam Tafsīr al-Qurṭubī ada yang mengatakan bahwa maksudnya,
Fir’aun memecah-belah masyarakatnya, dan menindas setiap orang dari
bani Isra’il dengan kerja paksa. المفسدين من كان Sesungguhnya“ إنو
Fir‟aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”, di muka bumi
dengan perbuatan merusak, maksiat, dan kesombongan.7
(5) Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang
tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
{bumi}, (6) Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir‟aun dan Haman
beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari
mereka itu.
Menurut Kamal Faqih Imani dalam Tafsir Nurul Qur‟an kedua ayat
ini sangat ekspresif dan menerbitkan harapan! Keduanya diungkapkan
dalam bentuk fi‟il muḍāri‟ (yang menunjukkan keberlanjutan tindakan
yang dilakukan) dan sebagai hukum umum sehingga tak seorangpun yang
membayangkan bahwa pemerintahan tersebut hanya milik orang-orang
5 al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 632-633.
6 al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 633.
7 al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 633.
45
tertindas dari Bani Isra’il dan pemerintahan Fir’aun saja. Ayat diatas
mengatakan bahwa Fir’aun berkehendak mencerai-beraikan Bani Isra’il
dan menghancurkan kekuatan dan kebesaran mereka; tetapi Allah SWT
Berkehendak agar mereka (Bani Isra’il) kuat dan menang.8
Fir’aun ingin agar kekuatan berada di tangan para penindas untuk
selamanya, tetapi Allah berniat memberikan pemerintahan kepada orang-
orang tertindas; dan akhirnya hal itu terjadi sebagaimana yang
dikehendaki-Nya.9
Dalam Tafsir Nurul Qur‟an kedua ayat ini, Allah telah menyibakkan
tabir dari kehendak-Nya menyangkut orang-orang yang tertindas, dan
menyatakan lima perkara dalam hal ini yang saling berkaitan satu sama
lain.10
Pertama adalah bahwa Allah berniat memberikan kepada mereka
anugerah-anugerah-Nya dengan mengatakan: “dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu”
Kedua adalah bahwa Allah berniat menjadikan mereka sebagian
pemimpin-pemimpin, tatkala mengatakan: “dan hendak menjadikan
mereka pemimpin”
Ketiga adalah bahwa Allah berkehendak menjadikan mereka
pewaris pemerintahan para penindas, di mana Dia mengatakan: “dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”
Keempat adalah bahwa Allah berkehendak memberikan kepada
mereka pemerintahan yang kuat dan lestari: “dan akan Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi”
Yang kelima adalah bahwa Allah hendak menunjukkan kepada
musuh-musuh Nya apa yang mereka takuti, bahwa orang-orang tertindas
8 Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an jilid 13 (Jakarta: al-Huda, 2008), h. 232.
9 Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an jilid 13, h. 232.
10 Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an jilid 13, h. 232 – 233.
46
itu telah mengerahkan semua kekuatannya untuk melawan mereka: “dan
akan Kami perlihatkan kepada Fir‟aun dan Haman beserta tentaranya
apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu”.
Haman adalah menteri Fir’aun yang terkenal, dan sangat
berpengaruh sehingga dalam ayat di atas tentara Mesir disebut tentara
Fir’aun dan Haman.11
B. Proses Konflik Nabi Musa dengan Fir’aun
Menurut Pondi (dalam Indriyo, 1997, dan Umar Nimran, 1999),
proses konflik dimulai dari:
Tahap I, Latent Conflict, konflik laten, yaitu tahap munculnya
faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik dalam organisasi.
Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini adalah persaingan untuk
memperebutkan sumberdaya yang terbatas, konflik peran,
persaingan perebutan posisi dalam organisasi, dll.
Tahap II, Perceived Conflict, konflik yang di persepsikan. Pada
tahap ini salah satu pihak memandang pihak lain sebagai
penghambat atau mengancam pencapaian tujuannya.
Tahap III, Felt Conflict, konflik yang di rasakan. Pada tahap ini
konflik tidak sekedar di pandang ada akan tetapi sudah benar-benar
dirasakan.
Tahap IV, Manifest Conflict, konflik yang di manifestasikan. Pada
tahap ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai di
tunjukkan, seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi,
rendahnya kinerja, dll.
Tahap V, Conflict Resolution, resolusi konflik. Pada tahap ini
konflik yang terjadi di selesaikan dengan berbagai macam cara dan
pendekatan.
Tahap VI, Conflict Aftermath. Jika konflik sudah benar-benar di
selesaikan maka hal itu akan meningkatkan hubungan para anggota
organisasi. Hanya saja jika penyelesaiannya tidak tepat maka akan
dapat menimbulkan konflik baru.12
Proses konflik yang terjadi di dalam kisah Musa dan Fir'aun dapat di
gambarkan sebagai berikut:
b.1 Eskalasi Konflik
11
Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qur‟an, h. 232-233. 12 Umar Nimran, Perilaku Organisasi Cet III (Surabaya : CV. Citra Media, 2004),
h.63
47
Tabel 4.2: Eskalasi
Tahap Surat Ayat Keterangan
I & II Al-Qaṣaṣ 14-21 Awal konflik Musa dengan
kelompok Fir’aun
III &
IV Al-Qaṣaṣ 29-32 Konflik Musa dengan Fir'aun
Pada Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 14-21 menceritakan ketika Musa beranjak
dewasa, saat Musa berjalan-jalan ke pasar, dan menemui dua pemuda dari
kaum Bani Israil dan penduduk asli Mesir (Qibti) berkelahi, dan salah satu
pemuda dari kaum Bani Israil itu meminta tolong kepada Musa, lalu Musa
membantu pemuda tersebut, sehingga adanya korban yaitu pemuda Qibti
tersebut yang membuat Fir’aun marah kepada Musa dan ingin
menghukum Musa untuk membunuhnya, lalu Musa di perintahkan oleh
Allah untuk pergi ke kota Madyan untuk menyelamatkan diri dari
Fir’aun.13
Dalam Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 29-32 ialah konflik antara Musa dengan
Fir’aun, setelah mendapatkan mukjizat dari Allah dan menetapkan Harun
menjadi Nabi untuk menemani dan membantu Musa untuk memenuhi
perintah Allah agar mendatangi Fir’aun untuk mendakwahinya agar
bertaubat, lalu setelah menghadap kepada Fir’aun, dimintanya kepada
Musa untuk menunjukkan bukti jika Musa memang benar-benar utusan
Allah, lalu setelah Musa menunjukkan Mukjizatnya dihadapan Fir’aun,
justru Fir’aun menganggap Musa melakukan tipu daya, dan
memerintahkan kepada kepada petinggi nya untuk mengumpulkan tukang
sihir paling hebat untuk di semua penjuru Mesir untuk mengalahkan
Mukjizat Musa yang dianggapnya hanya sihir biasa, setelah terkumpulnya
para ahli sihir Fir’aun lalu mereka mengeluarkan sihirnya yaitu dengan
13 Lihat Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an jilid 13 (Jakarta: al-Huda, 2008), h.
261 – 281.
48
mengubah tali menjadi ular, lalu Musa melemparkan tongkatnya dan
menjadi ular yang besar, memakan semua tali yang disihir menjadi ular
tadi, sehingga membuat para penyihir itu tunduk dan bertaubat, hal ini
tidak membuat Fir’aun mengakui Musa justru membuat Fir’aun semakin
sombong dan marah kepada Musa, dan mengancam para ahli sihirnya
bahwa Fir’aun akan menyiksanya dan membunuh mereka.14
Sebagaimana dikisahkan dalam Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 14-19.
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami
berikan kepadanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan
Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik”.
ه) أشد ب لغ dan setelah Musa cukup umur”, yakni berusia 30“ (ولما
tahun atau 33 tahun,(واست وى) “dan sempurna akalnya”, maksudnya
mencapai usia 40 tahun, ( ناه حكماآت ي ) “Kami berikan kepadanya Hikmah
(kenabian)”,maksudnya hikmah (وعلما) “dan pengetahuan” maksudnya
pemahaman yang mendalam tentang agama sebelum dia diangkat menjadi
Nabi. (وكذلك) “dan Demikianlah” sebagaiman kami memberikan balasam
kepadanya, (نزيالمحسني) “Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik” kepada diri mereka sendiri.15
14
Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an jilid 13 (Jakarta: al-Huda, 2008), h. 305 –
315. 15
Al-Imām Jalaluddin Mahalli, Tafsīr Jalalain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA,
2010), h.755.
49
(15). Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya
sedang lengah, Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-
laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil)
dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir‟aun). Maka orang
yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk
mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan
matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi
nyata (permusuhannya). (16). Musa mendoa: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya aku telah Menganiaya diriku sendiri karena itu
ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, Sesungguhnya Allah
Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (7). Musa
berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau
anugerahkan kepadaKu, aku sekali-kali tiada akan menjadi
penolong bagi orang- orang yang berdosa”. (18). karena itu,
jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan
khawatir (akibat perbuatannya), Maka tiba-tiba orang yang
meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan
kepadanya. Musa berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu benar-
benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)”. (19). Maka tatkala
Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh
keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, Apakah kamu bermaksud
hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh
seorang manusia? kamu tidak bermaksud melainkan hendak
menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan
Tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang
yang Mengadakan perdamaian”.
50
أىلها) من غفلة حي على المدينة Dan Musa masuk ke kota“ (ودخل
(Memphis) ketika penduduknya sedang lengah,” ada yang mengatakan
bahwa maksudnya, setelah Musa mengetahui yang hak di dalam
agamanya, dia mencela agama Fir’aun. Akhirnya berita tentang perkataan
Musa itu tersebar di negeru Mesir. Orang-orang membuat Musa menjadi
takut. Jika dia masuk ke kota Mesir, dia memasukinya dengan rasa takut
dan bersembunyi.16
Al-Suddi berkata, “pada saat kisah ini berlangsung Musa masih
secara resmi berhubungan dengan keluarga Fir’aun. Musa juga
mengendarai kendaraan Fir’aun. Hingga kemudian disebut Musa bin
Fir’aun. Pada suatu hari Fir’aun mengadakan perjalanan dan sampai
disebuah kota di antara kota-kota yang ada di bumi Mesir bernama kota
Manaf.17
شيعتو) من ىذا ي قتتلن رجلي فيها Maka didapatinya di dalam“ (ف وجد
kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari
golongannya (Bani Israil)” maknanya jika seseorang memangdang
kepada keduanya, dia akan berkata, “ini dari golonganku”, yakni dari
bangsa Isra’il. (عدوه من seorang (lagi) dari musuhnya (kaum“ (وىذا
Fir‟aun)” yakni, dari kaum Fir’aun. (فاست غاثوالذيمنشيعتو) “Maka orang
yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya” yakni, meminta
bantuannya (ghauts dan nashr). Demikian juga yang dinyatakan di dalam
ayat setelahnya: ( است نصرهبألمسيستصرخوفإذاالذي ) “Maka tiba-tiba orang
yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan
kepadanya” maksudnya meminta bantuannya terhadap serangan orang
Qibthi lainnya. Adapun Musa membantunya, sebab, membantu orang
16
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī jilid. 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 660. 17
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 661
51
yang dizalimi adalah ajaran semua agama yang ada yang dianut oleh
semua masyarakat, bahkan diwajibkan di dalam semua syariat.18
Qatadah berkata: “orang Qibthi tersebut bermaksud berbuat
sewenang-wenang terhadap seorang dari bangsa Isra’il dengan
memaksanya mengangkat kayu bakar ke dapur istana Fir’aun. Orang dari
bangsa Isra’il itu menolak, dan meminta bantuan Musa”.
Sa’id bin Jubair berkata: “orang Qibthi itu adalah pengadon roti
untuk Fir’aun”.
موسى) ,lalu Musa meninjunya”, Qatadah berkata“ (ف وكزه
“memukulnya dengan tongkat” Mujahid berkata, “Dengan telapak
tangannya,” yakni menyungkurkannya. Al-Wakzu (mendorong, memukul
dengan telapak tangan), al-Lahzu (mendorong, memukul pangkal bahu)
semua semakna, yaitu, memukul dengan telapak tangan terkepal.”19
الشيطان) عمل من ىذا Musa berkata: “Ini adalah perbuatan“ (قال
syaitan” Maksudnya, sebentuk kesesatannya, al-Hasan berkata, “pada
masa itu tidak diperbolehkan membunuh orang kafir dalam keadaan
demikian. Sebab, kondisi tersebut adalah kondisi dimana seseorang harus
menjaga diri dari perbuatan membunuh. (مبي مضل عدو (إنو“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata
(permusuhannya)” sebagai berita setelah berita. ( ظلمتن فسيقال إن ربلو ف غفر ل Musa berdoa: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah“ (فاغفر
Menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”. Maka Allah
mengampuninya”. Musa menyesal atas perbuatannya yang memukul
seseorang hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
18
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 661, h. 662-663. 19
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī jilid 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 663.
52
Penyesalannya membawanya kepada sikap merendahkan diri dan
memohon ampun kepada tuhannya.20
Firman Allah SWT, (ف لنأكونظهريا للمجرمي أن عمتعلي با قالرب ) “Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau
anugerahkan kepadaKu, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi
orang- orang yang berdosa”.
Dalam penggalan ayat ini dibahas dua masalah: Pertama, Firman
Allah SWT, علي أن عمت با رب Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi“ قال
nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku”, berupa Ma’rifah,
hukum dan tauhid للمجرمي ظهريا أكون aku sekali-kali tiada akan“ ف لن
menjadi penolong bagi orang- orang yang berdosa". Maksudnya,
pembantu bagi orang-orang kafir.
Al-Qusyairi berkata, “Musa tidak berkata, bimā an‟amta „alayya
min al-maghfirah (demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku
berupa kemampuan), sebab perbuatan Musa itu dilakukan sebelum beliau
menerima wahyu dan dia tidak mengetahui bahwa Allah mengampuni
perbuatannya”.
Al-Mawardi علي أن عمت Demi nikmat yang telah Engkau“ با
anugerahkan kepadaku”. Ada dua pandangan di dalam ayat ini, Pertama,
berupa ampunan. Demikian pula yang dikatakan al-Mahdawi dan al-
Ṣa’labi. Al-Mahdawi berkata, أن عمتعلي berupa ampunan dan Engkau با
tidak menghukumku. Kedua, berupa hidayah.
Menurut al-Qurṭubī “Firman Allah, لو Maka Allah“ ف غفر
mengampuninya,” menunjukkan kepada yang dimaksud Musa dengan
nikmat tersebut adalah maghfirah. Wallahu A‟lam.”
20
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī jilid 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 663.
53
al-Zamakhsyarī berkata, “Firman Allah, باأن عمتعلي “Demi nikmat
yang telah Engkau berikan kepadaku.” Bisa berupa kalimat sumpah,
jawabannya tidak diucapkan. Susunannya adalah demikian, “Aqsimū bi
„an‟aāmika „alayya bi al-maghfirah la „atūbanna” artinya. Aku
bersumpah dengan nikamt-nikmat-Mu yang Engkau berikan padaku
berupa ampunan, aku akan bertaubat.
Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong“ ف لنأكونظهرياللمجرمي
bagi orang- orang yang berdosa”, dan menjadi pembela mereka. Seakan
berkata, “Tuhanku, jaga agu dengan hak nikmat yang Engkau berikan
kepadaku berupa ampunan, aku betul-betul tidak akan-jika Engkau
menjagaku-menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” Menolong
orang-orang yang berdosa bisa bermakna bersahabat dengan Fir’aun dan
menjadi bagian darinya serta memperbanyak golongannya. Seperti dengan
menjadi pengikutnya, seakan anak kepada orang tuanya. Musa telah
disebut Musa bin Fir’aun sebelumnya. Bisa pula membantu seseorang
yang berakibat kepada perbuatan jahat dan dosa, seperti perbuatan
membantu salah seorang dari bangsa Israil yang menyebabkannya
membunuh seorang yang tidak halal membunuhnya.21
خائفا فالمدينة karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa“ فأصبح
takut.” Bahwa para Nabi juga mempuanyai rasa takut. Dengan demikian
ayat ini menolak pendapat sebaliknya. Rasa takut, tidak harus kontradiktif
dengan ma‟rifatullah dan sikap tawakkal kepada Allah ada yang
mengatakan bahwa maksudnya, Musa takut mendapatkan tuntutan balas.22
21
al-Qurṭubī, Tafsīr Al-Qurṭubī jilid 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 665-668. 22
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 672
54
Dalam Tafsīr Al-Qurṭubī Ada yang mengatakan bahwa maksudnya,
takut kepada kaumnya akan menyerahkannya kepada Fir’aun. Ada yang
mengatakan bahwa maksudnya, takut kepada Allah SWT.
menunggu-nunggu dengan khawatir”. Sa’id bin Jubair“ ي ت رقب
berkata, “memaling-malingkan wajahnya karena takut. Ada yang
mengatakan bahwa maksudnya, melihat keadaan dan berfikir tentang
tujuan pelarian yang hendak dituju seraya menanti apa yang sedang
dibicarakan orang-orang.
است الذي يستصرخوفإذا بألمس نصره “Maka tiba-tiba orang yang
meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan
kepadanya”. Adalah seorang Israil yang kemarin dibantunya kini sedang
bertarung dengan Qibthi yang lain dan kini berteriak meminta
pertolongannya, al-Istiṡrākh (teriakan), sebab, seseorang yang meminta
bantuan berteriak bersuara dalam upaya memohon bantuan.23
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya, orang Israil yang meminta
pertolongan ini bernama Samiri. Tukang masak Fir’aun memaksanya
untuk membawa kayu ke dapur Fir’aun. Dan demikian yang dikatan al-
Qusyairi.
Musa berkata kepadanya, “sesungguhnya“ قاللوموسىإنكلغويمبي
kamu benar-benar orang sesat yang nyata.” Al-Ghawiy adalah al Khā‟ib,
kecewa dan gagal. Yakni, sebab kamu berhadapan dengan orang yang
kamu tidak sanggup mengalahkannya.24
Ada yang mengatakan bahwa
maksudnya, al-Ghawiy bermakna al- Ghawiy (yang menyesatkan), yakni,
kamu benar-benar sesat dalam memerangi orang yang kamu tidak mampu
menjauhkan mudharat darinya.
23
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī jilid 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 673 24
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī, h. 674
55
ت قت لن أن أتريد موسى ي Musuhnya berkata, „Hai Musa, apakah“ قال
kamu bermaksud hendak membunuhku‟.” Ibnu Jubair berkata, “Musa
hendak memukul orang Qibthi tersebut, tetapi, orang Israil itu menyangka
dialah yang hendak dipukul. Sebab, Musa berkata-kata kasar kepadanya,
maka dia berkata بألمس ن فسا ق ت لت كما ت قت لن أن Apakah kamu“ أتريد
bermaksud hendak membunuhku sebagaimana kamu kemarin telah
membunuh seorang manusia?” orang tersebut mendengar pembicaraan ini
dan menyebarkannya.
Ada yang mengatakan bahwa maksudnya, orang Israil itu hendak
memukul orang Qibthi, dan orang Israil takut kepada Musa, maka berkata, بألمس ن فسا ق ت لت كما ت قت لن أن apakah kamu bermaksud hendak“ أتريد
membunuhku sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang
manusia?” إنتريد “kamu tidak bermaksud”, yakni wa maa turiidu. إالأن
األر ف جبارا Melainkan hendak menjadi orang yang berbuat“ تكون
sewenang-wenang di negeri (ini),” yakni tidak disebut jabbaar (zhalim
dan berbuat sewenang-wenang) hingga membunuh dua jiwa tanpa salah.
المصلحي من تكون أن تريد dan tiadalah kamu hendak menjadi salah“ وما
seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.” Yakni,
termasuk orang yang berbuat baik di tengah-tengah manusia.25
b.2 Deskalasi Konflik
Tabel 4.3: Deskalasi Konflik
Tahap Surat Ayat Keterangan
V & VI
Al-A’rāf 130-135
Hukuman Fir’aun dan
para pengikutnya karena
kesombongan nya
Al-Qaṣaṣ, Al-
Syū’arā`, al-
Zukhruf, Yūnus,
40, 52-67,
55-56, 90-
92, 77-79.
Binasanya Fir’aun dan
para pengikutnya karena
keingkarannya
25
Al-Qurṭubī, Tafsīr Al-Qurṭubī jilid 13 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 674-675.
56
Ṭāhā.
Qs. al-A’rāf [7]: 130-135, Ayat di atas menjelaskan bahwa setelah
Nabi Musa as berhasil mengalahkan ahli-ahli sihir Fir’aun, akhirnya
merekapun beriman kepada Allah SWT dan mengakui kerasulan Nabi
Musa as, tetapi Fir’aun dan para pengikutnya tetap ingkar dan tidak mau
mengakui Allah SWT sebagai Tuhan, maka Allah SWT menghukum
mereka dengan berbagai macam cobaan secara terus menerus baik musim
kemarau yang panjang maupun musim paceklik, ditambah dengan, taufan
(air wabah penyakit), belalang (serangga yang menyerang tanaman
pertanian), kutu (binatang kecil berwarna hitam yang memasuki rumah-
rumah dan tempat tidur), katak (kodok) yang berjatuhan dalam makanan
dan minuman, dan darah (air yang telah terkontaminasi dengan darah).26
Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 40, Qs. al-Syū’arā’ [26]: 52-67, Qs. Az-Zukhruf
[43]: 55-56, Qs. Yūnus [10]: 90-92, Qs. Ṭāhā [20]: 77-79, Ayat-ayat dari
beberapa surat di atas menjelaskan bahwa setelah Allah SWT menghukum
Fir’aun dan para pengikutnya dengan berbagai macam cobaan, yang
akhirnya menyebabkan mereka meminta Nabi Musa agar memohon
kepada Allah SWT supaya cobaan tersebut dihilangkan dan mereka akan
beriman kepada Nabi Musa as dan membebaskan Bani Isra’il bersamanya,
namun ketika cobaan tersebut dihilangkan Allah SWT, maka mereka tetap
saja mengingkari Nabi Musa dan berusaha untuk kembali membunuhnya.
Sehingga Nabi Musa dan kaumnya menyelamatkan diri, ia diperintahkan
Allah SWT untuk menyeberangi lautan dengan memukulkan tongkat yang
dimilikinya hingga dengan izin Allah maka terbelahlah lautan menjadi dua
bagian dan keringlah bagian tengahnya, sehingga Nabi Musa dan kaumnya
bisa menyeberangi lautan itu dengan selamat. Tetapi tidak dengan Fir’aun
26
Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir Al-Maghrubi, Kisah-Kisah Para
Nabi (Pekalongan: Pustaka Sumayyah, 2009), h. 457-458.
57
dan para pengikutnya yang berusaha mengejar mereka, maka dengan izin
Allah SWT lautan tersebut kembali seperti semula dan mengakibatkan
Fir’aun dan para pengikutnya tenggelam di dalamnya. Namun Allah SWT
menyelamatkan jasad Fir’aun sebagai pembalajaran untuk orang-orang
setelahnya.
1. Hukuman terhadap Fir’aun dan Pengikutnya karena Keingkaran
Mereka
Hukuman yang diberikan Allah SWT kepada Fir’aun dan para
pangikutnya karena keingkaran dan kedurhakaan mereka diceritakan
dalam Qs. al-A’rāf [7]: 130-135, yaitu:
(130) Dan Sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir‟aun dan)
kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang
dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil
pelajaran. (131) Kemudian apabila datang kepada mereka
kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”.
dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.
ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan
dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (132)
Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan
58
kepada Kami untuk menyihir Kami dengan keterangan itu, Maka
Kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu”. (133) Maka Kami
kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah
sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri
dan mereka adalah kaum yang berdosa. (134) Dan ketika mereka
ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) merekapun berkata: “Hai
Musa, mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhamnu dengan
(perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu.
Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada
Kami, pasti Kami akan beriman kepadamu dan akan Kami biarkan
Bani Israil pergi bersamamu”. (135) Maka setelah Kami hilangkan
azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai
kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.
ني) أخذنآلفرعونبلس ون قصمنالثمراتلعلهم) musim paceklik ( ولقد menjadikannya sebagai pelajaran bagi mereka kemudian mereka (يذكرون
mau beriman karenanya.27
ذه) kesuburan tanah dan kecukupan hidup (فإذاجاءت همالسنة) (قالوالناىkami berhak memperolehnya, akan tetapi mereka tidak mau
mensyukurinya. ( سيئةوإن هم تصب ) kekeringan dan musibah/bencana
معو) mereka menganggap kesialan itu (يطي روا ) ومن dari kalangan (بوسى
orang-orang yang beriman. (طائرىم ا إن الل) rasa sial mereka itu (أال (عندyang sengaja diturunkan kepada mereka (أكث رىمالي علمون bahwa apa (ولكن
yang menimpa mereka adalah datang dari sisi Allah.28
لكبؤمني) kepada Musa (وقالوا) نن فما با لتسحرن آية من بو تتنا (مهماkemudian Musa berdoa agar mereka diberi pelajaran.
27 Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalalain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA, 2010),
h.768 28
Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalalain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA, 2010),
h.769
59
الطوفان) عليهم yaitu air bah yang memasuki rumah-rumah (فأرسلنا
mereka sehingga mencapai setinggi tempat pesanggrahan duduk mereka
selama tujuh hari (والراد) kemudian belalang itu memakan persawahan dan
buah-buahan milik mereka, demikian pula (والقمل) ulat atau sejenis
serangga yang memakan apa yang ditinggalkan oleh belalang (والضفادع) kemudian katak itu memenuhi rumah-rumah mereka dan juga makanan-
makanan mereka (م مفصلت) di dalam air milik mereka (والد yang ( آيت
terang (فاستكب روا) tidak mau beriman kepada bukti-bukti tersebut (ق وما وكانوا .(مرمي
) yaitu siksaan (ولماوقععليهمالرجز) سىادعلناربكباعهدعندكقالوايمو ) yang dapat menghilangkan azab dari kami jika kami beriman (كشفت (لئنlam adalah bermakna qasam/sumpah (معكبن لكولن رسلن لن ؤمنن الرجز عنا .(إسرائيل
كشفنا) أجلىمبلغوهإذاىمي نكثون) berkat doa Musa (ف لما همالرجزإل (عن janjinya dan bersikeras melakukan kekafiran.
2. Mukjizat Nabi Musa dengan Terbelahnya Lautan dan Binasanya
Fir’aun
Kisah mukjizat Nabi Musa dengan terbelahnya lautan dan binasanya
Fir’aun diceritakan Al-Qur’an secara jelas, terperinci dan berulang-ulang
dalam beberapa surat, yaitu:
Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 40
60
“Maka Kami hukumlah Fir‟aun dan bala tentaranya, lalu Kami
lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat
orang-orang yang zalim”.
م) ف ن بذن وجنودهۥ Maka Kami hukumlah Fir‟aun dan bala“ (فأخذنو
tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka” yakni membuang mereka (فكيف) .ke laut”, yakni laut asin. Kemudian mereka tenggelam“ (ٱليم فٱنظرقبة ٱلظ لمي ”Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim“ (كانع
ketika mereka menuju kebinasaan.29
Qs. Ṭāhā [20]: 77-79:
(77) Dan Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
"Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam
hari, Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu, kamu
tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan
tenggelam)". (78) Maka Fir‟aun dengan bala tentaranya mengejar
mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan
mereka. (79) Dan Fir‟aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak
memberi petunjuk.
( بعباديولقد أسر موسىأن إل نا أوحي )“Dan Sesungguhnya telah Kami
wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani
Israil) di malam hari”, dibaca dengan hamzah qaṯa‟ – asli suku kata (أسر) dari kata (أسرى ) “mengadakan perjalanan di malam hari”. Dan dibaca
dengan hamzah Waṣal – penyambung (اسر) dari kata (سرى). Itu adalah dua
logat (bahasa). Maksudnya bawalah mereka pergi di malam hari dari
negeri Mesir.30
29
Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalalain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA, 2010),
h.768. 30 Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalālain, h.458.
61
) Lalu buatlah”, yakni siapkanlah“ (فاضرب) مل ) “untuk mereka”
dengan cara memukul tongkatmu (ي بسا البحر ف jalan kering di“ (طريقا
laut”. Maksudnya jalan yang kering. Maka Musa pun melaksanakan apa
yang diperintahkan kepadanya, dan Allah Swt pun mengeringkan bumi
lalu mereka melewatinya.31
Janganlah kamu khawatir tersusul”. Yakni tersusul“ (التافدركا)
oleh Fir’aun. (والتشى) “Dan janganlah kamu takut” tenggelam. (فأت ب عهمبنوده .”kemudian Fir‟aun dan bala tentaranya mengejar mereka“ (فرعون
Dan Fir’aun ikut serta bersama mereka. (اليم من Lalu mereka“ (ف غشي هم
ditutup oleh air”, yakni laut (غشي هم ”yang menutupi mereka“ (ما
kemudian menenggelamkan mereka bersama Fir’aun.
ق ومو) فرعون ”Dan Fir‟aun telah menyesatkan kaumnya“ (وأضل
dengan seruannya agar mereka menyembah dirinya, (وماىدى) “dan tidak
memberi petunjuk” melainkan menjerumuskan mereka ke dalam jurang
kebinasaan. Berbeda dengan ucapannya: “dan tidaklah aku memberi
petunjuk kepada kamu melainkan jalan yang benar”. (Qs. al-Mukmin
[23]: 29).32
Qs. Yūnus [10]: 90-92:
31 Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalālain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA, 2010),
h.459 32
Jalāluddīn al-Maḥallī, Tafsīr Jalālain, h.458-459.
62
(90) Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu
mereka diikuti oleh Fir‟aun dan bala tentaranya, karena hendak
Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir‟aun itu telah
hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada
Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (91)
Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal Sesungguhnya
kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu Termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan. (92) Maka pada hari ini Kami selamatkan
badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari
manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.
( ) “dan Kami memungkinkan Bani
Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti”, yakni dikejar (
) “oleh Fir‟aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan
menindas (mereka)” kata ( واوعدياب غ ) berkedudukan sebagai maf‟ul lahu
(obyek alasan).33
( اد اذاىىتانوغرققالامنركوالحت ) “hingga bila Fir‟aun itu telah hampir
tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa”, maksudnya (بنو), dan
ada versi qira’at yang membaca dengan kasrah (انو) sebagai isti‟naf
(kalimat baru) ( الذىامنت اال الو المسلميمنانواسراءيلب ن وا بوالى ) “tidak
ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".34
Fir’aun mengulang-ngulang ucapan itu agar diterima, tetapi tidak
diterima. Dan Jibril pun menyumpal mulut Fir’aun dengan lumpur laut
karena khawatir dia kan mendapat rahmat. Lalu Jibril berkata kepadanya:
“Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal Sesungguhnya
kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu Termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan”.
33 Jalāluddin al-Mahallī, Tafsīr Jalālain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA, 2010), h.
60. 34 Jalāluddin al-Mahallī, Tafsīr Jalālain, h. 60
63
( ) apa sekarang ini” kamu baru percaya“ ( نال تمنلوكنتق بعصيوقدنسديمفال ) “Padahal Sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan
kamu Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”. Yaitu dengan
kesesatanmu dan usahamu untuk menyesatkan orang dari iman.
يك) ن نج ,”maka pada hari ini kami menyelamatkanmu“ (فالي وم
maksudnya mengeluarkanmu dari laut (ببدنك) “dengan badanmu”, yakni
jasadmu yang sudah tidak bernyawa (خلفك لمن agar kamu bagi“ (لتكون
orang-orang sepeninggalanmu”. Yakni sesudahmu (اية) “dapat menjadi
tanda”. Yakni pelajaran, sehingga mereka mengetahui kehambaanmu dan
tidak berbuat seperti kamu. Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwasanya
sebagian orang Bani Israil meragukan Kematian Fir’aun, lalu jasadnya
dikeluarkan dari laut agar mereka melihatnya.35
35
Jalāluddin al-Mahallī, Tafsīr Jalālain jilid 2 (Surabaya: Pustaka elBA, 2010), h.
60-61.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dengan menggunakan metode
analisis sosiolog dapat disimpulkan beberapa hal mengenai gambaran
konflik dan resolusi konflik yang terjadi antara Nabi Musa dengan Fir‟aun
dalam al-Qur‟an dan relevansi al-Qur‟an sebagai resolusi konflik sampai
saat ini yaitu;
pertama, adanya akar konflik, yakni tindakan Fir‟aun yang
sewenang-wenang, memecah belah, menindas dan menyembelih anak
laki-laki dan membiarkan anak-anak perempuan tetap hidup, hal ini
disebutkan dalam Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 3-6 dan 7-13.
kedua, adanya eskalasi konflik yang dijelaskan dalam Qs. al-Qaṣaṣ
[28]: 14-21 dan 29-32, ayat tersebut menceritakan rencana Fir‟aun hendak
membunuh Musa karena telah membunuh pemuda Qibti, hingga akhirnya
Musa diperintahkan oleh Allah agar pergi ke Kota Madyan untuk
menyelamatkan diri dari Fir‟aun, setelah Musa mendapat mukjizat dari
Allah dan menetapkan Harun menjadi Nabi dan diperintah mendatangi
Fir‟aun untuk mendakwahinya agar bertaubat, lalu setelah menghadap
Fir‟aun, Musa diminta menunjukkan bukti jika benar-benar utusan Allah,
setelah menunjukkan Mukjizatnya dihadapan Fir‟aun, justru Fir‟aun
menganggap Musa melakukan tipu daya, dan memerintahkan kepada
kepada petinggi nya untuk mengumpulkan tukang sihir paling hebat di
semua penjuru Mesir, setelah para ahli sihir terkumpul, mereka
mengeluarkan sihirnya yaitu dengan mengubah tali menjadi ular, lalu
64
65
Musa melemparkan tongkatnya dan menjadi ular yang besar, memakan
semua tali yang disihir menjadi ular tadi, sehingga membuat para penyihir
itu tunduk dan bertaubat, hal ini justru membuat Fir‟aun semakin sombong
dan marah kepada Musa, dan mengancam para ahli sihirnya bahwa
Fir‟aun akan menyiksanya dan membunuh mereka.
Ketiga, adanya deskalasi konflik, sebagaimana dipaparkan dalam
Qs. al-A‟rāf [7]: 130-135 dan Qs. al-Qaṣaṣ [28]: 40, Qs. al-Syū‟arā‟ [26]:
52-67, Qs. Az-Zukhruf [43]: 55-56, Qs. Yūnus [10]: 90-92, Qs. Ṭāhā [20]:
77-79, ayat tersebut menjelaskan para ahli-ahli sihir yang beriman kepada
Allah dan mengakui kerasulan Nabi Musa as setelah dikalahkan oleh
Musa, tetapi Fir‟aun dan para pengikutnya tetap ingkar dan tidak
mengakui Allah sebagai Tuhan, hingga akhirnya Allah memberi hukuman
kepada mereka berupa air wabah penyakit, belalang yang merusak
pertanian, katak yang berjatuhan dalam makanan dan minuman, kutu yang
memasuki rumah-rumah dan tempat tidur, serta hukuman berupa darah
yang terkontaminasi dengan air. Namun setelah itu, mereka meminta Nabi
Musa agar memohon kepada Allah SWT supaya hukuman tersebut
dihilangkan dan mereka akan beriman kepada Nabi Musa as dan
membebaskan Bani Isra‟il bersamanya, namun ketika cobaan tersebut
dihilangkan Allah SWT, maka mereka tetap saja mengingkari Nabi Musa
dan berusaha untuk kembali membunuhnya. Sehingga Nabi Musa dan
kaumnya menyelamatkan diri, ia diperintahkan Allah SWT untuk
menyeberangi lautan dengan memukulkan tongkat yang dimilikinya
hingga dengan izin Allah maka terbelahlah lautan menjadi dua bagian dan
keringlah bagian tengahnya, sehingga Nabi Musa dan kaumnya bisa
menyeberangi lautan itu dengan selamat. Tetapi tidak dengan Fir‟aun dan
para pengikutnya yang berusaha mengejar mereka, maka dengan izin
66
Allah SWT lautan tersebut kembali seperti semula dan mengakibatkan
Fir‟aun dan para pengikutnya tenggelam di dalamnya.
Dalam setiap tahapan konflik terdapat resolusi-resolusi yang di
berikan akan tetapi resolusi tersebut belum sepenuhnya menyelesaikan
konflik secara keseluruhan, dan tidak semua resolusi yang diberikan
menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik, ketika resolusi
tersebut mencapai kesapakatan untuk berdamai akan tetapi salah satu
pihak sering mengingkari perjanjian tersebut maka Allah akan
memusnahkan pihak yang mengingkari tersebut.
Daftar Pustaka
Aini. Dialektika Cerita Qabil dan Ḥabil: Pergeseran Dari Kisah al-
Qur‟an Ke Sosiologi Agama, dalam M. Deden Ridwan, ed.
Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari‟ati dalam Sorotan
Cendekiawan Indonesia Jakarta: Lentera, 1999, Cet. I
Alamaiy, Zahîr Ὰwad Al-. Manâhij al- Jadâl fi al-Qur‟an. Beirut.
Mansyurat al-Ashr. 1997.
Ali, Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia. Biro Hukum dan
Humas Dep. Agama. 1975
Atmaja, Abdul Muhyi Wijaya Kusuma. Konflik Yahudi dan Nasrani
terhadap Umat Islam : Kajian Surah Al-Baqarah : 120 Menurut
Tafsir fi Zilal Al-Qur‟an. Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah. 2012.
Azis, Nurlaili Abdul. Penafsiran Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
Dalam Al-Qur‟an Menurut Hamka dan M. Quraish Shihab: Surat Al-
Kahfi ayat 66-82. Surabaya. UIN Sunan Ampel. 2015.
Bagir, Haidar. Islam Tuhan, Islam Manusia. Bandung. Mizan. 2017
Bagir, Zainal Abidin. Dkk, “Dialog yang Represif: Studi Kasus terhadap
Dialog MUI dan JAI di Kuningan.” HARMONI Jurnal Multikultural
& Multireligius Vol. 12 No. 1. ed. Januari – April 2013.
Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta. Kencana Media Group. 2005.
Bakri, Hendry. Resolusi Konflik Melalui pendekatan Kearifan Lokal Pela
Gandong di Kota Ambon. Jurnal The Politics: 2015, Vol. 1, No. 1
Boko, Cholid Nur dan Abu Ahmadi. Metode Penelitian. Jakarta. Bumi
Aksara Pustaka.
Djalal, Abdul. Ulumul Qur‟an. Surabaya. Dunia Ilmu. 2000.
65
66
Fatakhulloh, David. Analisis Struktural Semiotik Kisah Nabi Musa As dan
Khidir As Dalam Al-Kahfi. Malang. Universitas Negeri Malang.
2014.
Fathoni, Abdurrahman. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan
Skripsi. Jakarta. PT. Renika Cipta. 2006.
Fathurrosyid. Feminisme Kisah Maryam Dalam Al-Qur‟an Dan
Rekonstruksi Pemahaman Gender Perspektif Pragmatik.
ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman Vol. 10 Nomor 2, Maret 2016;
p. ISSN: 1978-3183; e-ISSN: 2356-2218; 349-373.
Fatoohi, Louay dan Shetha al-Dargazeli. Sejarah Bangsa Israel Dalam
Bibel dan Al-Qur‟an. Bandung. Mizan Pustaka. 2007.
Francis, Diana. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta.
Penerbit Quills. 2006.
Ghazali, Muhammad Al-. Berdialog dengan Al-Qur‟an. Bandung. Mizan.
1999.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta. Penerbit Pustaka Panjimas. 1982. cet. I
Hidayat, Komarudin. Psikologi Beragama. Jakarta. Mizan Republika.
Imani, Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an. jilid 13. Jakarta. al-Huda. 2008.
Al-Iskafi, Al-Khātib. Durrat al-Tanzīl wa Gurrat al-Ta‟wīl fī Bayān al-
āyat al-Mutasyābihat fī Kitāb Allah al-„Azīz. Beirut. Dār al-Kutb al-
„Ilmiyah. 1990.
Khalidy, Shalah Al-. Kisah-Kisah Al-Qur‟an. Jakarta. Gema Insani Press.
1999. Jilid I
Al-Maghrubi, Abu Abdurrahman Muhammad Daz bi Munir. Kisah-Kisah
Para Nabi. Pekalongan. Pustaka Sumayyah. 2009.
al-Maḥallī, Jalāluddīn. Tafsīr Jalālain. jilid 2. Surabaya. Pustaka elBA.
2010.
67
Millah, Ainul. Potret Wanita yang Diabadikan dalam Al-Qur‟an. Solo.
Tinta Medina. 2015
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi.
Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.2011.
Mulyono, Edi dkk. Belajar Hermeneutika. Jogjakarta. IRCiSoD. 2013.\
Mursalim. Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa Dalam al-
Qur‟an: Suatu Kajian Stilistika. Jurnal Lentera. 2017. Vol. I, No. I,
Mustaqim, Abdul. Konflik Teologis dan Kekerasan Agama. Jurnal
Episteme. 2014 Vol. 9, No. 1.
Nimran, Umar. Perilaku Organisasi. Cet III. Surabaya. CV. Citra Media.
2004.
Nur Boko, Cholid dan Abu Ahmadi. Metode Penelitian. Jakarta. Bumi
Aksara Pustaka.
Putra, Heddy Shri Ahimsa-. The Living Al-Qur‟an: Beberapa Perspektif
Antropologi. WALISONGO: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan
Vol. 20, Nomor 1, 2012.
Piliang, Amir Yasraf. Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi.
Jakarta: Mizan Republika.
Rahman, Fazlur.Tema Pokok Al-Qur‟an. Bandung. Pustaka.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Prestasi Pustaka. 2007.
Rifa‟I, Akhmad. Konflik Dan Resolusinya Dalam Perspektif Islam.
Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga. 2010.
Rosadi, Karlina Rizki. Moral dan Konflik Kisah Nabi Musa dan Khidir
Pada Surat al-Kahfi ayat 60-82 dalam Al-Qur‟an. Medan.
Universitas Sumatera Utara. 2011.
Rozaq, Fathur. Ibrah Kisah Konflik Bani Isra‟il Dalam Al-Qur‟an
(Telaah Penafsiran Ulama Atas Ayat Konflik Bani Isra‟il Dalam Al-
Qur‟an
68
Surat Al-Baqarah Ayat 243-252). Surabaya. UIN Sunan Ampel.
2016.
Rozi, Moh. Fahrur. Kisah Nabi Musa Dalam Perspektif Studi Stilistika al-
Qur‟an. Skripsi. UIN Sunan Ampel.
Sedarmayanti, dan Syarifuddin Hidayat. Metodologi penelitian. Bandung.
CV. Mandar Maju. 2011.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi Pemahaman
Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2011.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung.
Alfabeta. 2009.
Suma, H. Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada.
Surata, Agus. Atasi Konflik Etnis. Yogyakarta. Global Pustaka Utama.
Syari’ati, Ali. Manusia & Islam (Sebuah Kajian Sosiologi). Yogyakarta.
Cakrawamangsa.
Syarifuddin, Muhammad Anwar dan jauhar Azizy. Mendialogkan
Hermeneutika Doa dalam Kisah Ibrāhīm dan Mūsā. Refleksi, Volume
13, Nomor 6, April 2014.
Tharawanah, Sulaiman Ath-. Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur‟an.
Jakarta. Qisthi Press. 2004
Qurthub, Muhammad. Dirasat Qur‟aniyyah. Beirut-Lubnan. Dar al-
Syuruq.
al-Qurṭubī, Tafsīr al-Qurṭubī. jilid. 13. Jakarta. Pustaka Azzam. 2009.
Wahab, Abdul Jamil. Manjemen Konflik Keagamaan (Analisis Latar
Belakang Konflik Keagamaan Aktual). Jakarta. Kompas-Gramedia.
2014.
69
Zenrif, M.F. Realitas & Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif Al-
Qur‟an. Malang. UIN Malang Press. 2006.
Zubeir, Ahmad. Analisis Kisah Nabi Musa Versus Fir`aun dalam al-
Qur‟an. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. 2009.