25
JUDUL : ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAN BAHAN BAKU KULIT PADA PT. MASTROTTO INDONESIA (KAWASAN INDUSTRI SENTUL, BOGOR, JAWA BARAT) PENULIS : DHANANG EKA PUTRA FAKULTAS PERTANIAN, INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sejarah panjang penyamakan kulit dengan para produsen dalam negeri yang sebagian besar menggunakan kulit sapi, kerbau, domba dan kambing dalam proses produksinya. Penyamak kelas menengah hingga besar berada di sejumlah daerah di seluruh pulau Jawa, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung), Jawa Tengah (Yogyakarta, Solo, Semarang) dan Jawa Timur (Malang, Pasuruan, Sidoarjo dan Surabaya); sementara penyamakan rumahan sebagian besar berada di Jawa Barat (Garut) dan Jawa Timur (Magetan). Perusahaan penyamakan tersebut berbeda dalam hal besar dan kemampuan teknologinya. Sekitar 25-30% dari mereka memiliki peralatan yang dibutuhkan untuk mengotomatiskan semua langkah penting untuk memproduksi kulit jadi (seperti cutting, stretching, dying, buffing, dsb). Sisanya sebesar 70-75% dapat dikategorikan sebagai penyamakan “industri rumah tangga” yang bergantung pada karyawan untuk melakukan proses yang sama secara manual atau dengan tangan. Setelah sempat terpuruk selama sepuluh tahun terakhir, industri perkulitan Indonesia kini mulai membaik, ini dapat dilihat dari nilai ekspor tahun 2005 yang mencapai 102,8 1

Review Jurnal Persediaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Review Jurnal Persediaan"ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAN BAHAN BAKU KULIT PADA PT. MASTROTTO INDONESIA (KAWASAN INDUSTRI SENTUL, BOGOR, JAWA BARAT) "OLEH DHANANG EKA PUTRA, FAKULTAS PERTANIAN, INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Citation preview

Page 1: Review Jurnal Persediaan

JUDUL : ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAN BAHAN BAKU KULIT

PADA PT. MASTROTTO INDONESIA (KAWASAN INDUSTRI

SENTUL, BOGOR, JAWA BARAT)

PENULIS : DHANANG EKA PUTRA

FAKULTAS PERTANIAN, INSTITUT PERTANIAN BOGOR

1. LATAR BELAKANG

Indonesia memiliki sejarah panjang penyamakan kulit dengan para produsen dalam

negeri yang sebagian besar menggunakan kulit sapi, kerbau, domba dan kambing dalam

proses produksinya. Penyamak kelas menengah hingga besar berada di sejumlah daerah

di seluruh pulau Jawa, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung),

Jawa Tengah (Yogyakarta, Solo, Semarang) dan Jawa Timur (Malang, Pasuruan, Sidoarjo

dan Surabaya); sementara penyamakan rumahan sebagian besar berada di Jawa Barat

(Garut) dan Jawa Timur (Magetan). Perusahaan penyamakan tersebut berbeda dalam hal

besar dan kemampuan teknologinya. Sekitar 25-30% dari mereka memiliki peralatan

yang dibutuhkan untuk mengotomatiskan semua langkah penting untuk memproduksi

kulit jadi (seperti cutting, stretching, dying, buffing, dsb). Sisanya sebesar 70-75% dapat

dikategorikan sebagai penyamakan “industri rumah tangga” yang bergantung pada

karyawan untuk melakukan proses yang sama secara manual atau dengan tangan.

Setelah sempat terpuruk selama sepuluh tahun terakhir, industri perkulitan Indonesia

kini mulai membaik, ini dapat dilihat dari nilai ekspor tahun 2005 yang mencapai 102,8

juta dollar AS, dan naik menjadi 139,6 juta dollar AS dan sampai bulan september tahun

2007 nilai ekspor mencapai 135,9 juta dollar AS. Masa-masa sulit yang dihadapi industri

perkulitan itu bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain karena kurang tegasnya

pemerintah dalam membuat aturan yang melarang ekspor kulit mentah dan setengah jadi.

Sementara impor bahan baku kulit sempat berkurang akibat isu penyakit pada sapi.

2. MASALAH DAN TUJUAN

- Masalah

1) Bagaimana sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan perusahaan ?

2) Bagaimana sistem pengendalian persediaan bahan baku yang selama ini dilakukan

perusahaan ?

3) Apakah ada alternatif metode pengendalian persediaan bahan baku yang optimal

bagi perusahaan dalam rangka mencapai biaya minimum ?

1

Page 2: Review Jurnal Persediaan

- Tujuan

Tujuan Penelitian adalah Menganalisis apakah PT. Mastrotto Indonesia telah

melakukan pengendalian persediaan bahan bakunya secara optimal, sehingga

diperoleh biaya pemesanan dan penyimpanan yang minimum dan Menyusun alternatif

metode pengendalian persediaan bahan baku bagi perusahaan yang lebih baik

3. PENELITIAN TERDAHULU BESERTA VARIABEL

Suprehatin (2002), melakukan penelitian tentang sistem pengadaan dan persediaan

bahan baku rotan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode MRP terdiri dari

teknik LFL, EOQ dan teknik PPB. Berdasarkan perbandingan pengendalian persediaan

antara metode perusahaan dengan ketiga teknik tersebut, diperoleh hasil bahwa metode

perusahaaan relatif lebih besar mengeluarkan biaya persediaannya dibandingkan dengan

ketiga metyode MRP tersebut. Secara keseluruhan berdasarkan analisis perbandingan dan

analisis penghematan antar metode MRP, teknik PPB bisa direkomendasikan sebagai

alternatif pengendalian persediaan bahan baku bagi perusahaan.

Kurniasari (2000), melakukan penelitian di PT Indricipta Aditama yang bergerak

dibidang usaha produksi sepatu kulit, menganalisis system pengendalian bahan baku

menggunakan MRP derngan tiga teknik yaitu LFL, EOQ dan PPB. Kesimpulan dari hasil

penelitian ini dengan penerapan metode MRP pada perusahaan dapat menghemat jumlah

dan biaya pembelian serta pemesanannya. Dari hasil perbandingan teknik yang

digunakan, total biaya persediaan yang dapat dihemat adalah 74% dengan menggunakan

teknik LFL, 49,2 % dengan EOQ dan 69% dengan teknik PPB.

Widyastuti (2001), melakukan penelitian tentang system pengendalian persediaan

bahan baku susu kental manis di PT Indolakto, Sukabumi memperoleh hasil bahwa

system pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan selama ini

berdasarkan pengalaman pada masa lampau dimana perusahaan belum menggunakan

metode yang khusus seperti EOQ, MRP atau Just in Time (JIT), salah satu cara yang

dilakukan oleh perusahaan dalam hal ini adalah dengan control stock untuk masing-

masing bahan baku. Penelitian ini memperoleh bahwa frequensi pemesanan yang optimal

menurut metode EOQ adalah 85 kali, gula 72 kali dan Milk Powder 21 kali. persediaan

pengaman yang ditetapkan oleh perusahaan juga melebihi persediaan pengaman yang

optimal, sehingga biaya penyimpanan tidak optimal.

2

Page 3: Review Jurnal Persediaan

4. LANDASAN TEORI

4.1 Persediaan

- Definisi Persediaan

Pengertian persediaan menurut Kusuma (2001) adalah barang yang disimpan untuk

digunakan atau dijual pada periode mendatang. Persediaan dapat berbentuk bahan

baku yang disimpan untuk diproses, komponen yang diproses, barang dalam proses

manufaktur, dan barang jadi yang disimpan untuk dijual.

- Biaya-biaya Persediaan

Menurut Rangkuti (2002), untuk pengambilan keputusan penentuan besarnya jumlah

persediaan, biaya-biaya variabel berikut ini harus dipertimbangkan :

a. Biaya penyimpanan (holding costs atau carrying costs) Terdiri atas biaya-biaya

yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per

periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak

atau rata-rata persediaan semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya

penyimpanan ialah :

1) Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk penerangan, pendingain ruangan,

dan sebagainya).

2) Biaya modal (opportunity cost of capital) yaitu alternatif pendapatan atas dana

yang diinvestasikan dalam persediaan.

3) Biaya keusangan

4) Biaya penghitungan fisik

5) Biaya asuransi persediaan

6) Biaya pajak persediaan

7) Biaya pencurian, pengrusakan atau perampokan

8) Biaya penanganan persediaan dan sebagainya

b. Biaya pemesanan atau pembelian (ordering costs atau procurement costs) Biaya-

biaya ini meliputi :

1) Pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi

2) Upah

3) Biaya telepon

4) Pengeluaran surat-menyurat

5) Biaya pengepakan dan penimbangan

6) Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan

3

Page 4: Review Jurnal Persediaan

7) Biaya pengiriman ke gudang

8) Biaya utang lancar dan sebagainya.

c. Biaya penyiapan (manufacturing) atau set-up cost. Hal ini terjadi apabila bahan-

bahan tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri “dalam pabrik” perusahaan, perusahaan

menghadapi biaya penyiapan (set-up costs) untuk memproduksi komponen tertentu.

Biaya-biaya ini terdiri dari :

1) Biaya mesin-mesin menganggur

2) Biaya persiapan tenaga kerja langsung

3) Biaya penjadwalan

4) Biaya ekspedisi dan sebagainya.

d. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage costs) Adalah biaya yang timbul

apabila persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya-biaya yang

termasuk biaya kekurangan bahan adalah sebagai berikut :

1) Kehilangan penjualan

2) Kehilangan pelanggan

3) Biaya pemesanan khusus

4) Biaya ekspedisi

5) Selisih harga

6) Terganggunya operasi

7) Tambahan pengeluaran kegiatan manajerial dan sebagainya.

- Pengendalian Persediaan

Menurut Kusuma (2004), terdapat beberapa keadaan yang memerlukan perhatian

lebih, misalkan jika besaran yang digunakan dalam rencana jumlah persediaan ideal

berubah maka solusi optimalnya juga berubah. Selanjutnya perlu dibahas penerapan

konsep pengendalian persediaan dalam kegiatan actual perusahaan.

4.2 Evaluasi Akibat Perubahan Ongkos

Model perencanaan persediaan dikembangkan dengan didasarkan atas ongkos yang

relatif tetap. Perlu diperhatikan perubahan elemen ongkos terhadap jumlah pesanan

maupun produksi ekonomis. Karena EOQ/EPQ berbanding lurus dengan akar D

(kebutuhan) dan O (ongkos pesan/setup), jika terjadi peningkatan kebutuhan atau

ongkos pesan, maka EOQ/EPQ ikut naik; dan demikian pula sebaiknya. Karena

EOQ/EPQ berbanding terbalik dengan akar biaya modal, ongkos kirim dan harga

bahan, jika terjadi kenaikan biaya modal, ongkos simpan maupun harga bahan maka

akan menurunkan jumlah EOQ/EPQ.

4

Page 5: Review Jurnal Persediaan

4.3 Sistem Persediaan Tepat Waktu

Sistem persediaan tepat waktu (JIT) digunakan jika perusahaan hanya memproduksi

atas dasar permintaan tanpa memanfaatkan tersedianya persediaan dan tanpa

menanggung biaya persediaan. Setiap operasi hanya memproduksi untuk memenuhi

permintaan dari operasi berikutnya. Produksi tidak akan terjadi sebelum ada tanda

dari proses selanjutnya yang menunjukkan permintaan produksi. Just-in-Time

merupakan usaha untuk mengurangi waktu penyimpanan (storage time) yang

merupakan salah satu akibat dari aktivitas bukan penambah nilai (non-value added

activities). Syarat penggunaan JIT adalah adanya rencana kapasitas yang seragam,

teknologi, pengendalian kualitas atas sumber bahan baku (pemasok), mengurang

waktu set up dan pemasok lokal yang dekat (Assauri, 1993).

4.4 Teori Permintaan

Menurut Sukirno (2005) menerangkan bahwa teori permintaan menerangkan tentang

ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Permintaan individu atau suatu

perusahaan terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Diantara faktor-

faktor tersebut yang paling penting adalah :

1) Harga barang itu sendiri

2) Harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut

3) Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat

4) Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat

5) Cita rasa masyarakat

6) Jumlah penduduk

7) Ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang

4.5 Klasifikasi Persediaan

Menurut Indrajit dan Pranoto (2003) barang persediaan dapat dibagi atas beberapa

jenis atau klasifikasi. Sekurang-kurangnya ada enam klasifikasi utama, yaitu

1) Bahan baku (raw material) Bahan mentah yang belum diolah, yang akan diolah

menjadi barang jadi, sebagai hasil utama dari perusahaan yang bersangkutan.

2) Barang setengah jadi (semi finished product) Hasil olahan bahan mentah sebelum

menjadi barang jadi, yang sebagian akan diolah lebih lanjut menjadi barang jadi,

dan sebagian kadang-kadang dijual seperti apa adanya untuk menjadi bahan baku

perusahaan lain.

5

Page 6: Review Jurnal Persediaan

3) Barang jadi (finished product) Barang yang sudah selesai diproduksi atau diolah,

yang merupakan hasil utama perusahaan yang bersangkutan dan siap untuk

dipasarkan/dijual.

4) Barang umum dan suku cadang (general materials and spare parts) Segala jenis

barang atau suku cadang yang digunakan untuk operasi menjalankan

perusahaan/pabrik dan untuk memelihara peralatan yang digunakan. Seringkali

barang persediaan jenis ini disebut juga barang pemeliharaan, perbaikan, dan

operasi, atau MRO materials (maintenance, repair and operation).

5) Barang untuk proyek (work in progress) Barang-barang yang ditumpuk menunggu

pemasangan dalam suatu proyek baru.

6) Barang dagangan (commodities) Barang yang dibeli, sudah merupakan barang jadi

dan disimpan di gudang menunggu penjualan kembali dengan keuntungan

tertentu.

4.6 Fungsi-fungsi Persediaan

Menurut Rangkuti (2002) fungsifungsi dari persediaan adalah :

1) Fungsi “Decoupling” Fungsi ini merupakan persediaan yang memungkinkan

perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung pada

supplier, persediaan bahan mentah diadakan agar perusahaan tidak akan

sepenuhnya tergantung pada pengadaannya dalam hal kuantitas dan waktu

pengiriman. Persediaan barang dalam proses diadakan agar departemen-

departemen dan prosesproses individual perusahaan terjaga “kebebasannya”.

Persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi permintaan produk yang tidak

pasti dari para pelanggan. Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi

permintaan konsumen yang tidak dapat diperkirakan atau diramalkan disebut

fluctuacion stock.

2) Fungsi “Economic Lot Sizing” Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan

penghematan atau potongan pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi

lebih murah dan sebagainya. Hal ini disebabkan perusahaan melakukan pembelian

dalam kuantitas yang lebih besar dibandingkan biaya-biaya yang timbul karena

besarnya persediaan (biaya sewa gudang, investasi, risiko dan sebagainya).

3) Fungsi Antisipasi Apabila perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang

dapat diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu,

6

Page 7: Review Jurnal Persediaan

yaitu permintaan musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan

persediaan musiman (seasional inventories).

4.7 Material Requirement Planning (MRP)

Material Requirement Planning (MRP) adalah suatu sistem perencanaan dan

penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang memerlukan beberapa tahapan

proses atau dengan kata lain adalah suatu rencana produksi untuk sejumlah produk

yang diterjemahkan ke bahan mentah yang dibutuhkan dengan memerlukan waktu

ancang-ancang sehingga dapat ditentukan kapan dan berapa banyak komponen yang

harus dipesan untuk produk yang akan dibuat.

MRP banyak memiliki kelebihan dalam menangani barang-barang dengan permintaan

terikat, yaitu (Heizer dan Render, 1993):

a. Meningkatkan pelayanan dan kepuasan pelanggan

b. Meningkatkan kegunaan fasilitas dan tenaga kerja

c. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik

d. Respon lebih cepat terhadap perubahan pasar

e. Mengurangi tingkat persediaan tanpa mengurangi pelayanan kepada pelanggan

5. PROSEDUR ANALISIS

Data yang diperoleh mengenai sistem pengolahan bahan baku akan dianalisis secara

kuantitatif dan kemudian akan diuraikan dalam bentuk deskriptif. Dalam melakukan

analisis, data yang diperoleh akan ditabulasikan dan diolah secara matematis dengan

menggunakan kalkulator dan program komputer. Data yang diperoleh dari hasil analisis

tersebut lalu dibandingkan untuk mencari suatu alternatif metode yang tepat untuk

diterapkan pada perusahaan menyesuaikan dengan kondisi perusahaan.

Dalam menganalisis pengendalian persediaan, maka langkah awal yang ditempuh

yaitu mengidentifikasi kondisi perusahaan dalam melakukan manajemen pengendalian

persediaan bahan bakunya. Selain itu, kebijakankebijakan perusahaan untuk produksi dan

pembelian bahan baku patut diketahui. Cara pemesanan dan besar pesanan selama ini

juga harus dipertimbangkan. Perlu juga diketahui bagaimana kondisi pesanan pembelian

antara perusahaan dan pemasok, kapasitas penyimpanan yang tersedia dan proses

pencatatan bahan baku yang dilakukan.

Langkah selanjutnya adalah penentuan bahan baku pokok perusahaan yang akan

sangat berguna dalam analisis pengendalian bahan baku. Hal ini dikarenakan dengan

7

Page 8: Review Jurnal Persediaan

melakukan pengendalian persediaan atas bahan baku pokok akan berarti melakukan

pengendalian atas biaya yang cukup besar.

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Klasifikasi Bahan Baku

Bahan yang digunakan untuk pembuatan kulit samakan adalah grain dan split. Grain

adalah bagian luar dari kulit, mempunyai pori-pori dan corak kerutan yang khas dari

kulit. Sedangkan split adalah bagian dalam dari kulit, kedua bahan tersebut dipisahkan

melalui suatu proses dengan menggunakan mesin yang disebut splitting.

Grain dan split yang digunakan selama ini terpaksa harus mengimpor dari negara luar,

karena ketidaktersediaan kedua bahan baku tersebut di dalam negeri, PT Mastrotto

Indonesia memperoleh bahan baku tersebut dari Mastrotto Italia dan Mastrotto Brasil,

selain itu ada beberapa pemasok atau suplier yang masih aktif hingga sekarang

6.2 Biaya Persediaan

Total biaya pemesanan per pesanan terbesar bahan baku yang paling besar

adalah pada biaya transportasi yaitu sebesar Rp 675.000 atau sebesar 58.2 persen dari

total biaya pemesanan. Sedangkan untuk biaya administrasi sebesar Rp 250.000 atau

21.5 persen dari total, dan biaya komunikasi sebesar Rp 235.400 atau 20.3 persen dari

total biaya pesanan untuk satu kali pesan.

Komponen biaya penyimpanan PT Mastrotto Indonesia meliputi biaya

opportunity cost, biaya gaji pegawai gudang, biaya gudang dan penyusutan serta

biaya Asuransi persediaan. opportunity cost adalah biaya yang terjadi karena

kehilangan pendapatan berupa bunga bank yang seharusnya diperoleh oleh

perusahaan karena uang yang ada digunakan untuk membeli persediaan. opportunity

cost yang dibebankan perusahaan selama tahun 2007 ditentukan oleh tingkat suku

bunga rata-rata investasi di bank, berdasarkan data dari Bank Indonesia besar suku

bunga rata-rata investasi antara bulan Januari 2007 sampai Desember 2007 sebesar

8.64 persen dengan harga rata-rata pembelian grain dan split masing-masing adalah

Rp 10.216 / sqf dan Rp 5.893 / sqf.

Komponen opportunity cost termasuk biaya yang relevan dalam perhitungan

biaya penyimpanan. Pada bahan baku grain sebesar Rp 1.120.043.208.000 /tahun, dan

split sebesar Rp 99.920.003.340 /tahun. Perbedaan nilai opportunity cost kedua bahan

baku ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu harga rata-rata per sqf grain (Rp 10.216)

dan per sqf split (Rp 5.893) serta jumlah persediaan kedua bahan baku setiap

8

Page 9: Review Jurnal Persediaan

bulannya. Biaya penyimpanan ini diperoleh dari perkalian jumlah persediaan bahan

baku tiap bulan dengan harga bahan baku per square feet dan nilai suku bunga pada

tahun 2007, yaitu sebesar 103,68 persen dibagi dalam periode bulan.

Biaya opportunity cost untuk grain terendah adalah pada bulan Januari dengan

nilai sebesar (Rp 11.687.585.280) dan tertinggi adalah pada bulan Desember dengan

nilai sebesar (Rp 186.603.932.500). Hal yang sama dengan opportunity cost untuk

split terendah adalah pada bulan Januari dengan nilai sebesar (Rp 169.995.465,3) dan

tertinggi adalah pada bulan Desember dengan nilai sebesar (Rp 21.679.382.910).

Biaya opportunity cost timbul karena adanya investasi persediaan bahan baku yang

sangat dipengaruhi oleh harga per sqf bahan baku dan tingkat suku bunga Bank

Indonesia.

Biaya penyimpanan pada tahun 2007, perusahaan mengeluarkan biaya sebesar

Rp 749,61 / sqf per tahun, dimana biaya opportunity cost merupakan komponen

terbesar yaitu sebesar Rp 692,63 / sqf per tahun, kemudian disusul masing-masing

oleh asuransi persediaan, gaji pegawai gudang dan biaya gudang dan penyusutan.

6.3 Pemakaian Bahan Baku

Cara pemakaian bahan baku yang ada digudang PT Mastrotto Indonesia

memakai sistem FIFO (First in First out), dimana bahan baku yang pertama kali

masuk adalah bahan baku yang pertama kali akan digunakan terlebih dahulu.

Pemakaian bahan baku PT Mastrotto Indonesia secara umum berfluktuasi setiap

bulannya.

Pemakaian bahan baku bulanan rata-rata sebesar 4.174.237,50 sqf untuk grain

sedangkan untuk split sebesar 713.666,67 sqf. Jumlah tersebut diketahui dari

departemen marketing berdasarkan pesanan dari pelanggan, pada akhirnya PPIC

membuat rencana produksi (production plan) dengan terlebih dahulu disesuaikan

ketersediaan bahan baku di gudang dan besarnya kapasitas produksi perusahaan

Tingkat pemakaian bahan baku grain dan split dapat dilihat bahwa pemakaian

terbesar untuk kedua bahan baku tersebut adalah terjadi pada grain bulan Januari,

yaitu sebesar 7.472.900 sqf dan hal yang sama terjadi untuk split adalah juga pada

bulan Januari sebesar 1.417.280 sqf. Sedangkan pemakaian bahan baku terendah grain

dan split terjadi pada bulan Februari, masing-masing sebesar 3.118. 600 sqf dan split

tidak diproduksi sama sekali.

Peningkatan jumlah pemakaian bahan baku mengidentifikasikan bahwa

adanya kenaikan jumlah permintaan produk. Jumlah permintaan meningkat

9

Page 10: Review Jurnal Persediaan

merupakan salah satu indikasi bahwa kepuasan konsumen terpenuhi. Adanya

perbedaan antara jumlah pembelian dan pemakaian bahan baku menyebabkan

timbulnya persediaan bahan baku bagi perusahaan. persediaan bahan baku yang

dilakukan perusahaan bervariasi per bulannya tergantung pada besarnya tingkat

pembelian dan pemakaian. Perusahaan memiliki kriteria tertentu dalam menetapkan

pemakaian dan pembelian yang disesuaikan dengan kontrak konsumen.

6.4 Waktu Tenggang Pengadaan Bahan Baku

Berdasarkan hasil wawancara dengan PPIC dan bagian pembelian, diperoleh

keterangan mengenai waktu tunggu rata-rata pengadaan persediaan bahan baku grain

dan split. Secara umum dibagi atas dua tahap yaitu PO (purchase order) dan lead time

suppplier. Perencanaan waktu tunggu grain dan split sama, dikarenakan dalam satu

kali pesan kedua bahan tersebut menjadi satu paket pesanan, tenggang waktu untuk

keduanya dimulai dari PO ke pemasok adalah selama tiga bulan atau 90 hari.

Perencanaan pemesanan kedua bahan baku impor tersebut, dilakukan bagian

pembelian ke pemasok membutuhkan waktu yang lama, yaitu sekitar tiga bulan (90

hari). Hal ini disebabkan adanya beberapa kegiatan yang dilakukan, yaitu antara lain

kegiatan penawaran baik melalui telepon ataupun melalui email, sampai disetujuinya

suatu PO antara kedua belah pihak.

6.5 Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku

Pada penelitian ini akan dibahas pengendalian persediaan bahan baku yang

digunakan oleh PT Mastrotto Indonesia dan Material Requirement Planning (MRP)

dengan beberapa teknik ukuran lot, yaitu teknik Lot for Lot (LFL) dan teknik

Economic Order Quantity (EOQ) sesuai dengan kondisi perusahaan.

Timbulnya persediaan bahan baku di perusahaan biasanya disebabkan oleh

adanya perbedaan antara jumlah pembelian dan pemakaian bahan baku, sehingga

persediaan bahan baku yang dilakukan perusahaan bervariasi setiap bulannya,

tergantung dari besarnya jumlah pembelian dan pemakaian. Perusahaan memiliki

kriteria tertentu dalam menetapkan pemakaian dan pembelian yang disesuaikan

dengan target penjualan per bulan yang telah direncanakan sebelumnya dan rencana

kebutuhan untuk produksi. Perkembangan persediaan bahan baku grain PT Mastrotto

Indonesia selama tahun 2007 tersaji dalam tabel 12 di bawah ini.

Jumlah persediaan awal dan persediaan akhir bahan baku grain secara total

memiliki nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya pemakaian bahan baku

dengan jumlah tertentu, misalkan pada awal Januari, perusahaan mempunyai

10

Page 11: Review Jurnal Persediaan

persediaan awal sebanyak 15.081.986 sqf, kemudian berkurang karena adanya

pemakaian sebanyak 7.472.900 sqf, setelah melakukan pembelian sebanyak 3.791.500

sqf, sehingga perusahaan mempunyai persediaan akhir sebanyak 11.400.586 sqf, dan

begitu seterusnya, untuk Perkembangan persediaan bahan baku split PT Mastrotto

Indonesia selama tahun 2007 tersaji dalam tabel 13 di bawah ini.

Jumlah persediaan rata-rata grain lebih banyak dibandingkan dengan split, hal

itu disebabkan oleh pemesanan rata-rata grain lebih tinggi sebanyak 20.677.175 sqf

dan split hanya sebanyak 4.343.313 sqf. Hal ini disebabkan karena bahan grain lebih

disukai oleh konsumen, dan banyak dibutuhkan oleh industriindustri yang

berhubungan dengan kulit.

6.6 Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT Mastrotto Indonesia

Sistem pengendalian persediaan bahan baku pada perusahaan dimulai dengan

perencanaan produksi dari bagian marketing dan menghitung kebutuhan bahan baku

yang telah ditetapkan sebelumnya oleh bagian PPIC. Bagian PPIC (Production

Planning and Inventory Control) beserta semua bagian yang terkait dalam proses

produksi mengadakan rapat koordinasi untuk menyusun rencana produksi agar

kegiatan proses produksi dapat berjalan dengan lancar.

Di dalam rencana produksi berisi mengenai seberapa besar kebutuhan bahan

baku setiap bulannya sesuai dengan spesifikasi dari target penjualan selama satu tahun

ke depan. setelah diketahui kebutuhan rata-rata bahan baku untuk produksi sebulan,

kemudian bagian gudang dan prepare mengecek dan menghitung persediaan bahan

baku yang ada, sehingga diketahui kebutuhan bahan baku yang harus dipesan untuk

kebutuhan produksi selama satu bulan ditambah dengan persediaan untuk antisipasi

(Anticipation Stock) untuk tiga bulan ke depan.

Pengawasan persediaan bahan baku dilakukan satu minggu sekali oleh PPIC

dan bagian prepare, untuk mengetahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan dalam

proses produksi berikutnya, kemudian untuk mengetahui apakah ada kekurangan

bahan atau tidak. Selama tahun 2007 PT Mastrotto Indonesia melakukan pembelian

sesuai dengan kebutuhan yang telah dihitung oleh PPIC dan prepare, Frequensi

pemesanan dan kuantitas pesanan dengan metode perusahaan. Frekuensi pemesanan

bahan baku grain sebanyak 172 kali, sedangkan untuk split hanya sebanyak 46 kali.

Sehingga setiap bulannya perusahaan harus melakukan pemesanan bahan baku,

seringnya melakukan pemesanan tersebut dikarenakan perusahaan membutuhkan

banyak bahan baku untuk mengejar target produksi. Perbedaaan jumlah frekuensi

11

Page 12: Review Jurnal Persediaan

pemesanan dan penggunaannya, menyebabkan kuantitas pemesanan berbeda pula.

Kuantitas pesanan untuk bahan baku grain sepanjang tahun 2007 adalah sebanyak

248.126.100 sqf, sedangkan untuk bahan baku split sebanyak 52.119.750 sqf. Tinggi

rendahnya kuantitas pesanan bahan baku sangat berpengaruh terhadap biaya

pembelian yang merupakan perkalian dari kuantitas bahan baku yang dibeli dengan

harga per square feet nya.

6.7 Perhitungan Biaya Persediaan Grain dan Split

Biaya pemesanan bahan baku per bulan diperoleh dari hasil antara biaya

pemesanan per pesanan dikalikan dengan frekuensi pemesanan grain da split tiap

bulannya. biaya pemesanan bahan baku diperoleh dari hasil antara biaya pemesanan

per pesanan dikalikan dengan frekuensi pemesanan grain tiap bulannya, biaya

pemesanan pada tahun 2007 sebesar Rp 199.948.800,-. Sedangkan biaya

penyimpanan diperoleh dari hasil perkalian antara biaya penyimpanan per bulan

dengan persediaan rata-rata tiap bulannya, besarnya biaya penyimpanan grain pada

tahun 2007 sebesar Rp 79.401.225.800,-. Untuk biaya persediaan grain per bulan

diperoleh dari hasil penjumlahan antara biaya pemesanan grain tiap bulan dengan

biaya persediaan grain per bulannya, dan total biaya persediaan grain sepanjang tahun

2007 adalah sebesar Rp 79.600.814.600,-

Biaya pemesanan split tahun 2007 adalah sebesar Rp 53.378.400,- dengan

biaya pemesanan tertinggi terjadi pada bulan November yaitu sebesar Rp 9.283.200,-.

Sedangkan pada biaya penyimpanan split tahun 2007 adalah sebesar Rp

12.287.266.620,- dengan biaya tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar Rp

2.659.917.939,-. Sehingga untuk biaya persediaan total dari split ini sebesar Rp

12.340.645.020,- dengan biaya tertinggi juga terjadi pada bulan Desember sebesar Rp

2.662.238.739,-. Pada bulan Desember rata-rata produksi meningkat dikarenakan

untuk menyambut hari raya, Natal dan Tahun baru.

6.8 Metode MRP

Kuantitas produksi tidak sama untuk setiap periodenya, oleh karena itu

perusahaan perlu mendukung dengan menerapkan metode MRP, sebagai alternatif

sistem pengendalian persediaan bahan baku. Langkah pertama yang harus dilakukan

ialah penetapan kebutuhan kotor dari masing-masing jenis bahan baku sesuai dengan

penjadwalan produksi yang telah dibuat. Jika persediaan di tangan masih ada, maka

persediaan dihabiskan terlebih dahulu, kemudian ditentukan kebutuhan bersih yang

12

Page 13: Review Jurnal Persediaan

merupakan hasil pengurangan dari kebutuhan kotor dengan penerimaan terjadwal dan

persediaan di tangan.

6.9 Metode MRP Teknik Lot For Lot (LFL)

Kuantitas pesanan bervariasi setiap bulannya, disesuaikan dengan kebutuhan

bersih setiap minggu dalam satu bulan. Kuantitas pesanan tertinggi bahan baku grain

terjadi pada bulan Agustus sebesar 4.863.212,5 sqf, sedangkan pada split kuantitas

tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 1.062.960 sqf. Hal ini disebabkan adanya

permintaan dari pelanggan yang bersifat musiman. Teknik Lot for Lot ini jika

dibandingkan dengan metode perusahaan memiliki kuantitas pemesanan yang lebih

rendah dibanding dengan metode perusahaan. Hal ini disebabkan karena teknik LFL

bersifat mengurangi biaya penyimpanan dan berusaha untuk melakukan pemesanan

tepat sesuai dengan kebutuhan bersihnya. Total biaya pemesanan bahan baku grain

dan split dengan metode ini sebesar masing-masing Rp 39.453.600,- dan Rp

51.040.000.,. Biaya penyimpanan tertinggi pada grain sebesar Rp 2.187.003.734,-,

sedangkan pada split sebesar Rp 543.307.524,7,-. Biaya penyimpanan LFL lebih

rendah dari metode perusahaan

6.10 Metode MRP Teknik EOQ

Kuantitas pesanan tertinggi bahan baku grain terjadi pada bulan Mei, Juli,

Agustus, September dan November sebesar 4.725.556,2 sqf, sedangkan pada split

kuantitas tertinggi terjadi pada bulan Januari, April, Mei, Agustus dan November

sebesar 976.971,9 sqf. Hal ini disebabkan adanya permintaan dari pelanggan yang

bersifat musiman. Teknik EOQ ini jika dibandingkan dengan metode perusahaan juga

memiliki kuantitas pemesanan yang lebih rendah dibanding dengan metode

perusahaan. Hal ini disebabkan karena teknik EOQ merupakan kuantitas optimal

dalam melakukan pemesanan. Total biaya pemesanan bahan baku grain dan split

dengan metode ini sebesar masing-masing Rp 34.812.000,- dan Rp 29.010.000.,

Total biaya persediaan dengan menggunakan metode MRP tenik EOQ pada

grain sebesar Rp 1.219.566.217,- lebih kecil jika dibandingkan metode MRP dengan

teknik LFL pada grain sebesar Rp 2.226.457.334,-. Sedangkan untuk split teknik EOQ

juga menghasilkan biaya persediaan yang lebih kecil yaitu sebesar Rp 184.561.393,2,-

dibandingkan dengan teknik LFL sebesar Rp 594.347.524,7,-. Penerapan metode

EOQ menghasilkan frekuensi pemesanan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan

teknik LFL dan metode perusahaan, yaitu sebanyak 30 kali untuk grain dan 25 kali

untuk split. Biaya penyimpanan tertinggi pada grain sebesar Rp 1.184.754.217,-,

13

Page 14: Review Jurnal Persediaan

sedangkan pada split sebesar Rp 155.551.393,2,-. Biaya penyimpanan EOQ lebih

rendah dari teknik LFL dan metode perusahaan. Hal ini karena jumlah persediaan di

tangan lebih besar akibat pemesanan kuantitas ekonomi.

6.11 Analisis Model Pengendalian Persediaan

Frekuensi pemesanan 172 kali yang dilakukan perusahaan merupakan yang

tertinggi, karena perusahaan melakukan pemesanan setiap minggunya, sedangkan

pada metode MRP teknik LFL sebanyak 34 kali, pemesanan dilakukan pada saat stok

persediaan habis dan jumlah pemesanan dilakukan sesuai dengan kebutuhan bersih

grain tanpa memperhatikan persediaan cadangan yang harus disimpan perusahaan.

Pada metode MRP teknik EOQ frekuensi pemesanan sebanyak 30 kali, dikarenakan

jumlah persediaan ditangan lebih besar akibat dari pemesanan kuantitas ekonomi.

Frekuensi pemesanan 46 kali yang dilakukan perusahaan merupakan yang

tertinggi, karena perusahaan melakukan pemesanan setiap minggunya, sedangkan

pada metode MRP teknik LFL sebanyak 44 kali, pemesanan dilakukan pada saat stok

persediaan habis dan jumlah pemesanan dilakukan sesuai dengan kebutuhan bersih

grain tanpa memperhatikan persediaan cadangan yang harus disimpan perusahaan.

Pada metode MRP teknik EOQ frekuensi pemesanan sebanyak 25 kali, dikarenakan

jumlah persediaan ditangan lebih besar akibat dari pemesanan kuantitas ekonomi.

Biaya pemesanan tertinggi terdapat pada metode perusahaan sebesar Rp

199.948.800 untuk grain dan Rp 53.378.400 untuk split, dan terendah terdapat pada

teknik EOQ sebesar Rp 34.812.000 untuk grain dan Rp 29.010.000 untuk split.Hal ini

disebabkan oleh frekuensi pemesanan pada teknik EOQ lebih rendah dibandingkan

dengan metode perusahaan dan teknik LFL. Biaya penyimpanan tertinggi terdapat

pada metode perusahaan sebesar Rp 79.401.225.800 untuk grain dan Rp

12.287.266.620 untuk split, sedangkan biaya penyimpanan terendah terdapat pada

teknik EOQ sebesar Rp 1.184.754.217 untuk grain dan Rp 155.551.393,2 untuk split.

Begitupun pula dengan biaya persediaan tertinggi pada metode perusahaan sedangkan

yang terendah adalah pada teknik EOQ. Hal ini disebabkan oleh jumlah persediaan

pada teknik EOQ lebih sedikit, akibat kuantitas pemesanan ekonomis.

Kedua alternatif teknik pengukuran lot dalam metode MRP memiliki

keunggulan dan kelemahan. MRP teknik LFL merupakan teknik yang konsisten

dengan ukuran lot yang kecil, pesanan berkala, persediaan tepat waktu tanpa

persediaan pengaman dan permintaan terikat yang telah diketahui sebelumnya.

14

Page 15: Review Jurnal Persediaan

7. KESIMPULAN

Persediaan bahan baku pada PT Mastrotto Indonesia berfungsi sebagai anticipation

stock, dimana persediaan bahan baku diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan

yang dapat diramalkan berdasarkan pola musiman serta untuk mengantisipasi

ketidakpastian dari pemasok. Pengendalian persediaan bahan baku pada PT Mastrotto

Indonesia dilakukan dengan menerapkan FIFO (First in First out) dimana bahan baku

yang pertama kali masuk adalah yang pertama kali diproduksi dan sejumlah bahan baku

akan ditambahkan agar jumlah persediaan tetap berada pada tingkat persediaan yang telah

ditentukan. Tingkat persediaan bahan baku perusahaan adalah sebesar kebutuhan tiga

bulan produksi. Rata-rata dari persediaan perusahaan selama periode pengamatan (Januari

2007- Desember 2007) adalah sebesar 105.919.142,3 sqf untuk bahan grain dan

12.340.645.020 sqf untuk bahan split.

Hasil perbandingan biaya adalah Biaya pemesanan tertinggi terdapat pada metode

perusahaan sebesar Rp 199.948.800 untuk grain dan Rp 53.378.400 untuk split, dan

terendah terdapat pada teknik EOQ sebesar Rp 34.812.000 untuk grain dan Rp

29.010.000 untuk split. Hal ini disebabkan oleh frekuensi pemesanan pada teknik EOQ

lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan dan teknik LFL. Biaya

penyimpanan tertinggi terdapat pada metode perusahaan sebesar Rp 79.401.225.800

untuk grain dan Rp 12.287.266.620 untuk split, sedangkan biaya penyimpanan terendah

terdapat pada teknik EOQ sebesar Rp 1.184.754.217 untuk grain dan Rp 155.551.393,2

untuk split. Biaya persediaan tertinggi pada metode perusahaan sebesar Rp

79.600.814.600,- sedangkan yang terendah adalah pada teknik EOQ sebesar Rp

1.219.566.217,-.

Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisis antara metode perusahaan dengan

metode MRP teknik LFL dan EOQ pada keseluruhan bahan bakunya, dapat disimpulkan

bahwa teknik EOQ mengalami penghematan yang tinggi pada biaya persediaan. Teknik

ini digunakan dalam penentuan kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan biaya

penyimpanan dan pemesanan. Sehingga teknik ini dapat direkomendasikan sebagai

alternatif pengendalian persediaan bahan baku grain dan split. Namun, penggunaan teknik

ini harus disesuaikan dengan kebijakan dan kondisi perusahaan itu sendiri.

15