81
SEJARAH SINGKAT RSU.BUDI LUHUR Berdiri sejak tahun 1988 , RS Budi Luhur ( RSBL ) merupakan salah satu, rumah sakit swasta tertua di kota Cirebon , di bawah naungan Yayasan Kesehatan Budi Luhur , dengan tujuan mulia turut mensukseskan pembangunan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat khususnya untuk daerah kota Cirebon dan sekitarnya. Selama perjalanan RSBL telah mengalami pasang surut dalam kemajuan pelayanan kesehatan di Kota Cirebon , dan tetap eksis hingga kini , konsisten melaksanakan misi dan visinya. Kini dengan menejemen baru , RSBL berharap besar mengembangkan diri lebih Jauh demi meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh kalangan masyarakat Kota Cirebon. VISI DAN MISI RSU. BUDI LUHUR VISI RSU. BUDI LUHUR "Menjadi Rumah Sakit yang dapat memberikan pelayanan medik secara holistik , lengkap , berkinerja sangat baik , integritas tinggi dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga menjadi Rumah Sakit pilihan masyarakat Kota Cirebon dan sekitarnya di Tahun 2020 "

SEJARAH SINGKAT RSU

Embed Size (px)

Citation preview

 SEJARAH SINGKAT RSU.BUDI LUHUR

Berdiri sejak tahun 1988 , RS Budi Luhur ( RSBL ) merupakan salah satu, rumah sakit swasta tertua di kota Cirebon , di bawah naungan Yayasan Kesehatan Budi Luhur , dengan tujuan mulia turut mensukseskan pembangunan di bidang pelayanan kesehatan masyarakat khususnya untuk daerah kota Cirebon dan sekitarnya.    Selama perjalanan RSBL telah mengalami pasang surut dalam kemajuan pelayanan kesehatan di Kota Cirebon , dan tetap eksis hingga kini , konsisten melaksanakan misi dan visinya.    Kini dengan menejemen baru , RSBL berharap besar mengembangkan diri lebih Jauh demi meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh kalangan masyarakat Kota Cirebon.

VISI DAN MISI RSU. BUDI LUHUR

VISI RSU. BUDI LUHUR        "Menjadi Rumah Sakit yang dapat memberikan pelayanan medik secara holistik , lengkap , berkinerja sangat baik , integritas tinggi dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga menjadi Rumah Sakit pilihan masyarakat Kota Cirebon dan sekitarnya di Tahun 2020 "

MISI RSU. BUDI LUHUR

     " Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat Cirebon dan sekitarnya dengan menjunjung tinggi nilai - nilai kemanusiaan , profesionalitas kerja , dan menciptakan solusi terbaik bagi segala permasalahan kesehatan pasien "

MOTTO RSU.BUDI LUHUR

MANUSIAWIRamah dan murah senyum , berempati , menjaga hubungan kekluargaan , dan menjunjung harkat dan martabat sesama.PROFESIONALTidak membeda-bedakan pasien , memegang teguh etik , dan pedoman kerja , selalu mau belajar dan menambah ilmu pengetahuan serta berkinerja tinggiSOLUSIMemberi pendidikan kepada pasien , memberikan pilihan pengobatan , menghormati sistenm rujukan , dan mendukung usaha pengobatan pasien.

LOKASI RSU.BUDI LUHUR

RS. Budi Luhur terletak di Jl. Kebon Pelok ( Pramuka ) Kecamatan Harjamukti - Kota Cirebon kurang lebih 1.5 km arah selatan dari Terminal Bus Harjamukti.Berdiri di atas lahan seluas 20.000m2 dengan luas bangunan 3.000m2.RS Budi Luhur Sangat mengedepankan pendekatan medis yang tepat dan akurat , serta pelayanan kepada pasien yang manusiawi dan menjunjung tinggi keramah tamahan dan hubungan kekluargaan.

   Data, View record [ NO: 570 ]

RL 1.1 DATA RUMAH SAKIT

 

KODE RS 3209051 

TGL REGISTRASI 02/02/2013 

RUMAH SAKIT RS Mitra Plumbon 

JENIS RSU 

KLS RS B 

DIREKTUR RS dr. H. Suparji,MARS 

PENYELENGGARA SWASTA/ LAINNYA 

 ALAMAT LOKASI RS  

ALAMAT Jl. Raya Plumbon Km.11 

KAB/KOTA Cirebon 

KODE POS 45155 

TELEPON 323100 

FAX 322355 

EMAIL [email protected] 

TELEPON HUMAS 08882268222 

WEBSITE www.rsmitraplumbon.com 

 LUAS RUMAH SAKIT  

LUAS TANAH 15.426  m2

LUAS BANGUNAN 15.434  m2

NO SURAT IJIN 445/Kep.42/I/IPPRSS-BPPT/2012 

TANGGAL SURAT IJIN 18/04/2012 

SURAT IJIN DARI BPPT Prov JABAR 

SIFAT SURAT IJIN Tetap 

MASA BERLAKU SURAT IJIN

17 April 2017 

STATUS PENYELENGGARA

Lainnya 

SWASTA Perusahaan 

PENTAHAPAN AKREDITASI

Pentahapan III (16 Pelayanan) 

STATUS AKREDITASI Penuh 

TGL AKREDITAS 17/11/2011 

 TEMPAT TIDUR  

VVIP 6  Tempat Tidur

VIP 14  Tempat Tidur

KELAS I 46  Tempat Tidur

KELAS II 24  Tempat Tidur

KELAS III 50  Tempat Tidur

ICU 10  Tempat Tidur

PICU 4  Tempat Tidur

NICU 6  Tempat Tidur

TT Bayi Baru Lahir 25  Tempat Tidur

HCU 8  Tempat Tidur

ICCU 4  Tempat Tidur

TT di Kamar Bersalin 1  Tempat Tidur

TT di Ruang Operasi 5  Tempat Tidur

TT di Ruang Isolasi 8  Tempat Tidur

  TENAGA MEDIS

 DOKTER UMUM DAN SPESIALIS  

Dr Umum 25  Orang Dokter Sp A 3  Orang

Dokter Sp Og 3  OrangDokter Sp Okupasi

0  Orang

Dokter Sp Pd 2  OrangDokter Sp Urologi

0  Orang

Dokter Sp B 3  OrangDokter Sp Orthopedi

0  Orang

Dokter Sp Rad 5  OrangDokter Sp Kulit dan Kelamin

  Orang

Dokter Sp RM 1  OrangDokter Sp Forensik

0  Orang

Dokter Sp An 3  OrangDokter Sp Psikiatri

0  Orang

Dokter Sp Jp 1  OrangDokter Sp Ofthalmologi

0  Orang

Dokter Sp M 1  OrangDokter Sp Patologi Anatomi

1  Orang

Dokter Sp THT 2  OrangDokter Sp Kes. Jiwa

1  Orang

Dokter SP PK 1  OrangDokter Sp Saraf

1  Orang

Dokter SP Paru 1  Orang Dokter Sp 5  Orang

Lainnya

Dokter SP Bedah Thoraks 0  OrangDokter SP Bedah Saraf

0  Orang

Dokter SP Bedah Anak 0  OrangDokter SP Bedah Plastik

0  Orang

Dokter SP Bedah Orthopedi

0  OrangDokter Sub Spesialis

0  Orang

 DOKTER Gigi DAN SPESIALIS  

Dokter Gigi 3  OrangDokter Gigi Sp Karang Gigi

0  Orang

Dokter Gigi Sp Bedah Mulut

0  OrangDokter Gigi Sp Anak

0  Orang

Dokter Gigi Sp Konservasi

0  OrangDokter Gigi Sp Gigi Tiruan

0  Orang

Dokter Gigi Sp Penyakit Mulut

0  OrangDokter Gigi Sp Periodonsia

0  Orang

Dokter Gigi Sp Radiologi 0  OrangDokter Gigi Sp Lainnya

0  Orang

 PERAWAT DAN SPESIALISNYA  

Ners 0  Orang Perawat gigi 0  Orang

Perawat Bedah 0  OrangPerawat Anestesi

0  Orang

Perawat Maternitas   Orang Perawat Anak 0  Orang

Perawat Komunitas 0  OrangPerawat Lainnya

0  Orang

Bidan 24  Orang

Apoteker 48  Orang Analis Farmasi 0  Orang

Keteknisian Medis Tenaga Kesehatan Lainnya

Radiografer 0  OrangKesehatan Masyarakat

0  Orang

Radioterapis 0  Orang Sanitarian   Orang

Elektromedis 0  Orang Gizi 0  Orang

Teknisi Gigi 0  OrangKeterapian Fisik

0  Orang

Analis Kesehatan 0  Orang Tenaga Kesehatan

47  Orang

Lainnya

Refraksionis 0  Orang     

Rekam Medik 0  Orang     

Tenaga Non Kes 278  Orang

 Data Peralatan di Rumah Sakit

 Indikator Pelayanan RS Tahun sebelumnya

 Lain-Lain  

Meja Operasi    : Ada Rawat Jalan : 30390Layanan Unggulan : Bedah Trauma

 

Mesin Anestesi : Ada Rawat Inap : 10991SIMRS : Ada

 

Ventilator         : Ada I G D           : 15807Ambulan : Ada

 

Inkubator         : Ada B O R           : 76Bank Darah : Ada

 

Blue Light         : Ada A L O S        : 5    

U S G                : Ada T O I           : 1    

X-Ray               : Ada N D R           : 0    

CT Scan            : Ada G D R           : 0    

M R I                : Ada      

E E G                : Tidak Ada

     

E K G                : Ada      

Defibrilator     : Ada      

Autoclav          : Ada      

 

TANGGAL UPDATE 02/02/2013 

 

Dokter adalah

STANDAR PROFESINovember 22, 2010

STANDAR PROFESI

1. Pengertian Standar Profesi

Semua profesional dalam melaksanakan pekerjaannya harus sesuai dengan apa yang disebut standar (ukuran) profesi. Jadi, bukan hanya tenaga kesehatan yang harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik. Pengembangan profesi yang lain pun memiliki standar profesi yang ditentukan oleh masing-masing Namun pengembangan profesi di luar dokter jarang berhubungan dengan hilangnya nyawa seseorang atau menyebabkan cacat, sehingga mungkin tidak begitu dipermasalahkan. Tenaga kesehatan (dokter) dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan orang yang sedang menderita sakit. Apapun jenis penyakitnya, tentu mempengaruhi emosi pasien (Supriadi, 2001: 49). Dengan perkataan lain, tenaga kesehatan selalu berhubungan dengan orang yang secara psikis dalam keadaan sakit, juga secara emosi membutuhkan perhatian dan perlakuan ekstra dan seorang dokter.

Dalam lingkungan masyarakat ada beberapa jenis profesi seperti guru, jurnalis, advokat, hakim, jaksa dan sebagainya Bila dibandingkan dengan profesi lainnya sebagaimana disebutkan terdahulu, profesi kedokteran mempunyai kekhususan yang membedakannya dengan profesi lain. khususan profesi kedokeran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan rata-rata dan dokter sebagai pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, dan rasa pengabdian yang tinggi (Nasution 2005: 38).

Walaupun dokter dalam memberikan pelayanan medis mempunyai otonomi profesi, tetapi kemandirian dokter berdasar otonomi tersebut tetap harus dipagari dengan peraturan yang berlaku, Salah satu dan peraturan tersebut adalah standar pelayanan medis.

Beberapa pendapat para pakar tentang standar profesi antara lain :

Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pad proses tindakan medik (Komalawati, 2002: 177).

Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini juga harus dipakai acuan oleh Rumah Sakit, karena prosedur tetap di dalam standar profesi dibuat sesuai dengan setiap bidang spesialisasi, fasilitas dan sumber daya yang tersedia.

Pengertian Standar Profesi Medis menurut Leenen salah seorang pakar Hukum Kesehatan dan Negeri Belanda yang dikemukakan oleh Koeswadji (1998: 150):

De formulering van de norma voor de medische profesionele standar zou dan kunnen zijn: zorgvuldigd de medische standar handelen als een gemidelde bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandighecjen met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel.

Terjemahan bebasnya adalah:

Norma standar profesi medik dapat diformulasikan sebagai berikut:

a. Terapi (yang berupa tindakan medik tertentu) harus telitib. Harus sesuai dengan ukuran medis (kriteria mana ditentukan dalam kasus konkret yang dilaksanakan berdasarkarn ilmu pengetahuan medik), yang berupa cara tindakan medis tertentu. Dan tindakan medis yang dilakukan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan medik dan pengalaman.c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki oleh seorang dokter dengan kategori keahlian medis yang sama.d. Dalam kondisi yang samae. Dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan konkrit tindakan medis tertentu tersebut.Rumusan Leenen tentang Standar Profesi Kedokteran tersebut lebih dijelaskan secara detail oleh Hariyani (2005: 63) sebagai berikut:

a. berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan culpa/ kelalaian. Bila dokter bertindak tidak teliti, tidak berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian, dan bila tindakannya sangat tidak berhati-hati atau ceroboh maka ia memenuhi “ culpa lata”.b. Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standard).c. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie).d. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).e. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/ proporsional (= asas proportionalitas) sebagai terjemahan dari met middelen die in redeljke verhouding staan dengan tujuan konkrit tindakan perbuatan tersebut (tot het concreet handelingsdoel).

Kelima unsur yang dikemukakan Leenen ini dipakai pedoman oleh para hakim Belanda di dalam menangani dugaan malpraktik yang diajukan ke pengadilan Belanda sampai saat ini. Demikian juga yang dilakukan oleh para hakim di Indonesia, bila ada tuntutan malpraktik terhadap seorang dokter, kelima unsur rumusan Leenen inilah yang dipakai untuk menguji kebenaran tuduhan tersebut.Menurut Penjelasan Pasal 53 ayat 2 UU No. 23/1992; Standar Profesi adalah pedoman yang

harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Supriadi, 2001:39).Nasution (2005:42) mengemukakan pendapat Koeswadji (1992: 104) tentang pengertian standar profesi sebagai berikut:

Standar profesi adalah niat atau iktikad baik dokter yang didasari etika profesinya, bertolak dan suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan dalam suatu kegiatan profesi merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.

Supriadi (2001: 52) mengemukakan pendapat Prof. Mr. W.B. Van der Mijn sebagai berikut:

Dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran umum meliputi:a. kewenangan;b. kemampuan rata-rata;c. ketelitian yang umum.

1.1. Kewenangan

Yang dimaksud dengan kewenangan ialah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid) yang dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas dasar kewenangan inilah, seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan sesuai dengan bidangnya.

Di Indonesia, kewenangan menjalankan profesi tenaga kesehatan pada umumnya diperoleh dan Departemen Kesehatan. Namun sejak berlakunya UU Praktik Kedokteran pada tanggal 6 Oktober 2005, maka kewenangan dokter untuk menjalankan praktik kedokteran di Indonesia diperoleh dan Konsil Kedokteran Indonesia (pasal 29 ayat (2) UU Praktik Kedokteran). Dengan diterbitkannya Surat Tanda Registrasi Dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia, maka dokter pemilik Surat Tanda Registrasi (STR) tersebut, berhak untuk melakukan praktik kedokteran di Indonesia, karena telah memenuhi syarat administratif untuk melaksanakan profesinya. Dari persyaratan administratif yang telah dipenuhi ini, dokter sebagai pengemban profesi telah memperoleh kewenangan profesional dalam menjalankan pekerjaannya. Menurut Supriadi, seorang tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan tanpa kewenangan, dapat dianggap melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan.

Sebagai ilustrasi tentang kewenangan profesional, dapat kita ambil tindakan pembedahan sebagai contoh. Tindakan pembedahan yang dilakukan oleh seorang Dokter Spesialis Bedah, tidaklah dapat digolongkan dalam tindak pidana penganiayaan. Tetapi bila tindakan tersebut dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesioal maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan.1.2. Kemampuan Rata-rata

Dalam menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Selain dan faktor pengalaman tenaga kesehatan yang bersangkutan fasilitas, sarana prasarana di daerah tempat tenaga kesehatan (dokter) tersebut bekerja juga ikut

mempengaruhi sikap dokter dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga sangat sulit untuk. menentukan standar kemampuan rata-rata ini.

Sebagai contoh misalnya :

a. Kemampuan dokter yang baru menyelesaikan pendidikannya, tentu berbeda dengan dokter yang sudah mempunyai pengalaman menangani pasien selama 25 (dua puluh lima) tahun.b. Kemampuan dokter yang bekerja di Irian Jaya dengan fasilitas dan sarana prasarana yang mungkin sangat sederhana, tentu tidak bisa disamakan dengan dokter yang melaksanakan pekerjaan profesinya di Jakarta yang semuanya serba modern dan canggih.

Berkaitan dengan kemampuan rata-rata ini, penulis mempunyai pengalaman menarik yang akan penulis sampaikan agar menambah wawasan bagi para pembaca sekalian.

• Penulis pernah melakukan pembiusan bersama dengan Dokter Ahli Anestesiologi dari Singapura, di salah satu kota di Jawa Timur, sekitar tahun 1999 dalam rangka kerjasama bakti sosial untuk menangani kasus pembedahan pada bibir sumbing. Di Singapura, untuk melakukan pembiusan selalu menggunakan peralatan canggih untuk memantau keadaan pasien selama pembiusan dan operasi berjalan sampai pasien sadar kembali. Ventilator (alat untuk pernafasan buatan), pulse oxymeter (alat untuk memantau kadar oksigen dalam darah), capnograph (alat untuk memantau kadar C02 dalam darah) dan alat-alat lain yang di rumah sakit tempat penulis bekerja tidak tersedia, semuanya mereka bawa dari Singapura. Selain itu, Dokter Ahli Anestesiologi telah menjalani subspesialisasi lagi menjadi Ahli Anestesiologi Anak, Ahli Anestesiologi Kebidanan, Neuro-Surgery Anesthesiologist dan sebagainya. Sedangkan di Indonesia, jumlah Dokter Ahli Anestesiologi sangat minim, bahkan beberapa kota di Jawa saja masih belum bisa dilayani oleh Dokter Ahli Anestesiologi, sehingga kadang-kadang masih terjadi pendelegasian wewenang kepada perawat mahir anesthesi.Dalam pelayanan anesthesi sehari-hari, penulis dituntut oleh keadaan untuk bisa melakukan pembiusan pada semua kasus dan semua Umur berbeda dengan pembiusan yang dilakukan oleh sejawat dari Singapura tersebut. Dokter dari Singapura tersebut, adalah Dokter Ahli Anesthesiologi Anak (Pediatric Anesthesiologist) yang hanya berkompeten untuk melakukan pembiusan pada anak-anak saja. Pada saat itu, penulis sedang mempersiapkan pembiusan untuk operasi tonsilectomi (pengambilan amandel) pada pasien dewasa. Karena perawatan yang minim, alat pantau yang ada pada penulis berasal dan anugerah allah SWT yaitu panca indera dan “feeling” sebagaimana semboyan yang telah diajarkan oleh para guru penulis “Waspada Dasa Netra”. Pada saat sejawat dari Singapura melihat bagaimana penulis melakukan. pembiusan, dia terheran-heran dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang luar biasa yang tidak mungkin bisa dilakukan olehnya. Dalam hal demikian, tentunya kemampuan sejawat dari Singapura dan kemampuan penulis sulit diperbandingkan.

Peralatan canggih semacam yang dibawa oleh tim Singapura ini sebenarnya sudah ada di beberapa kota besar di Indonesia, antara lain di Bandung, Jakarta, Surabaya dan di kota-kota lain sebagai pusat pendidikan dokter maupun rumah sakit rujukan (top referral hospital), termasuk di rumah sakit pendidikan yang ada di kota tempat penulis bekerja, Namun di tempat penulis bekerja sebagai abdi negara, alat-alat canggih tersebut belum bisa disediakan karena sangat mahal.

Dan uraian di atas, dapat dibayangkan betapa sulitnya menilai kemampuan rata-rata dan seorang dokter. Dokter yang terbiasa memantau keadaan pasien durante anestesi dengan pulse oxymetri akan merasa kurang aman bila harus bekerja di rumah sakit tanpa tersedianya fasilitas tersebut. Jika kemudian terjadi kematian, dan dokter dituntut sebagai pelaku malpraktik, apakah dokter yang bersedia melakukan pembiusan tanpa pulse oxymetri dapat dikatakan “bekerja substandar” atau rumah sakit yang tidak bisa menyediakan peralatan tersebut harus ditutup karena fasilitasnya yang substandar? Padahal belum tentu kematian pasien sebagai akibat kekurangan oksigen, karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan anestesi sebagaimana pernah penulis kemukakan di dalam buku lain dengan judul “Malpraktik & Risiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana”.

1.3. Ketelitian yang Umum

Untuk menentukan ketelitian umum, harus berdasarkan ketelitian yang dilakukan oleh dokter dalam melaksanakan pekerjaan dan situasi yang sama. Tolak ukur untuk menentukan ketelitian mi sangat sulit, karena setiap bidang keahlian mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang seharusnya bisa dituangkan di dalam “Standar Umum”. Sebagai contoh misalnya, standar untuk pelayanan anestesiologi dapat berpedoman kepada Keputusan Direktorat Jenderal pelayanan Medik Depkes RI Nomor HK. 00.06.3.3.320 tentang “Standar Umum Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rum Sakit”. Standar mi hanya berlaku untuk pelayanan anestesiologi dan reanimasi, sedangkan untuk pelayanan di luar anestesiologi tentunya tidak dapat mengacu kepada peraturan tersebut.Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pengertian standar profesi disebutkan di dalam penjelasan pasal 50 sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.

Penjelasan pasal 50 ini, merupakan penjelasan dan pasal 50 sub a yang menyebutkan bahwa dokter yang melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum. Kemudian di dalam pasal 50 sub b disebutkan lebih Lanjut bahwa memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional juga merupakan hak dokter.

Dan bunyi pasal 50 sub a dan b dan penjelasannya tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang menghendaki di dalam pelaksanaan praktik kedokteran, dokter berhak untuk melaksanakan praktik sesuai dengan standar profesi, dan bila telah melaksanakan pratik sesuai standar profesi yang berlaku, maka ia berhak mendapat perlindungan hukum.Dan standar profesi yang dijelaskan di dalam penjelasan pasal 50, maka dapat diuraikan unsur-unsur dan standar profesi sebagai berikut:

1. Standar profesi merupakan batasan kemampuan minimal bagi dokter.2. Kemampuan tersebut meliputi:a. knowledge (pengetahuan);b. skill (keterampilan); dan

c. profesional attitude (prilaku yang profesional).3. Kemampuan yang terdiri dan 3 (tiga) unsur tersebut, harus dikuasai oleh seorang individu (dokter yang melakukan praktik kedokteran).4. Kemampuan tersebut juga merupakan syarat untuk diizinkannva seorang dokter melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri.5. Yang berhak membuat standar profesi menurut undang-undang Praktik Kedokteran adalah organisasi profesi. Organisasi profesi dari dokter yang berlaku saat ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang dalam hal standar profesi dan masing-masing bidang spesialisasi, dapat diserahkan kepada masing-masing ikatan profesi di dalam bidang spesialisasi tersebut.Sebagai contoh misalnya standar profesi tentang pembedahan, diserahkan kepada Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) untuk membuatnya, sedangkan standar profesi untuk penyakit anak diserahkan kepada Ikatan Dokter Anak Indonesia (1DM) dan sebagainya.

Selain standar profesi, undang-undang juga menyebutkan adanya standar prosedur operasional yang diartikan di dalam penjelasan pasal 50 UU Praktik Kedokteran sebagai berikut:

Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.

Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional ini adalah untuk memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasar konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan. Sedangkan yang berhak membuat standar prosedur pelayanan adalah sarana pelayanan kesehatan, dan perbuatanya tetap mengacu atau berpedoman kepada standar profesi, atau dengan perkataan lain standar prosedur operasional tidak boleh menyimpangi dan standar profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi.Komalawati (2002: 178) menyebut standar prosedur operasional sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dan setiap spesialisasi, yang dalam aplikasinya disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya Yang ada. Standar proses ini merupakan acuan atau pelengkap bagi Rumah Sakit karena dapat mengikuti kondisi rumah sakit di mana prosedur tersebut ditetapkan.

2. Ruang Lingkup Standar Profesi

Pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang dokter hendaknya dilandasi oleh dua prinsip perilaku yang mendasar, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan sedapat mungkin tidak menyakiti, mencederai maupun merugikan pasiennya. Dalam mengemban profesinya inilah dokter harus selalu berpedoman kepada Standar Profesi yang berlaku berupa standar pelayanan medis (Nasution 2005: 42).

Pendapat Nasution tersebut juga dikemukakan oleh Komalawati (2002: 177) dengan versi yang hampir sama, yaitu standar profesi yang berkaitan dengan pelayanan medik yang lebih dititik beratkan kepada tindakan medik, yang dapat digunakan sebagai pedoman adalah stadar pelayanan medik yang telah disusun oleh IDI pada tahun 1993.

Standar pelayanan medis sangat diperlukan, karena dalam kenyataan praktik sehari-hari sering dijumpai adanya

perbedaan penanganan dan pemeriksaan pasien, maupun perbedaan sarana atau peralatan yang digunakan. Tanpa adanya standar pelayanan medis, maka penyimpangan yang terjadi akan sulit untuk diketahui.Tolak ukur dan perilaku yang memenuhi standar pelayanan medik dan seorang dokter saat ini hanya bisa dinilai dan kesungguhan upaya pengobatan yang dilakukannya dengan segenap kemampuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya setelah memeriksa dan menilai keadaan pasiennya. Dengan perkataan lain, bila dokter tidak memeriksa, tidak menilai dan tidak berbuat sebagaimana yang di perbuat oleh sesama dokter terhadap pasien, maka dokter tersebut telah dapat dikategorikan sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan medis yang berlaku (Nasution 2005: 42).Komalawati (2002: 178) juga mengemukakan bahwa standar pelayanan medis mencakup standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang. Keduanya ini akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu, agar standar profesi ini selalu mengikuti perkembangan teknologi di bidang kedokteran, maka perlu dilakukan evaluasi secara berkala untuk kemudian diubah sesuai dengan perkembangan situasi kondisi setempat berdasarkan evaluasi tersebut.

3. Tujuan Ditetapkannya Standar Profesi

Komalawati (2002: 177) menyebutkan beberapa tujuan ditetapkannya standar pelayanan medis atau standar profesi medis, antara lain adalah:1. Untuk melindungi masyarakat (pasien) dan praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi medis.2. Untuk melindungi profesi dan tuntutan masvarakat yang tidak wajar.3. Sebagai pedoman dalam pengawasan, pembinaan dan peningkatan mutu pelayanan kedokteran.4. Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

4. Landasan Pola Pikir Pelaksanaan Standar Profesi Medis

Wiradharma (1996:80) menyebutkan beberapa landasan pola pikir dalam pelaksanaan Standar Profesi Medis sebagai berikut:1. Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran, ke arah tujuan pengobatan atau perawatan yang konkrit, artinya upaya yang dilakukan harus profesional dengan hasil yang ingin dicapai.2. Dilakukan sesuai dengan standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran sat ini.3. Tindakan tersebut harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, tanpa kelalaian, yang tolak ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan oleh dokter tersebut dengan dokter lain dan bidang keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata bila berhadapan dengan kasus seperti itu dengan situasi kondisi yang sama.

Contoh kasus:

Bila ada seorang pasien yang mengeluh sakit panas 5 (lima) hari terus menerus. Setiap dokter tentu akan melakukan diagnosa banding beberapa kemungkinan penyakit dan pasien tersebut,

baik dan yang ringan sampai yang berat.untuk menegakkan diagnosa tersebut, dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium. Dokter yang melakukan pemeriksaan semacam ini yang tidak berbeda dengan teman sejawat lainnya, dapat dikatakan telah melakukan tindakan medis sesuai standar profesi medis (Isfandyarie, 2005: 27).

5. Pengaturan Tentang Standar Profesi Medis di Indonesia

Sebenarnya di Indonesia belum ada pengaturan standar profesi medis yang umum dan mendasar seperti yang dianut di Belanda. Pengaturan yang ada berupa standar pelayanan medis yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 595/Menkes/SK/VII/1993 tentang Standar Pelayanan Kesehatan di setiap sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan dan standar pelayanan yang berlaku, sebagai tindak lanjut dalam rangka mengantisipasi Pasal 32 ayat (), Undang—Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang mengatur tentang pelaksanaan pengobatan dan perawatan. (Koeswadji, 1998: 151).Pengaturan tentang standar profesi yang ada masih terbatas pada bidang spesialisasi tertentu, sebagai contoh misalnya: Standar Profesi di bidang keahlian Anestesiologi yang disusun oleh Sub Direktorat Penunjang Medik, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik bersama dengan Ikatan Profesi (Ikatan Dokter Ahli Anestesiologi yang disingkat dengan sebutan IDSAI).

Standar Profesi yang berjudul “Standar Umum Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit” tersebut telah ditetapkan sebagai Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depkes RI dengan Nomor HK. 00.06.3.3.320. yang berlaku sejak tangga 5 April 1999. Di dalam Keputusan tersebut disebutkan bahwa Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanirnsi ini harus dipakai sebagai pedoman pelaksanaan pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit seluruh Indonesia.

Standar yang harus dijadikan pedoman oleh Dokter Ahli Aiesesiologi dalam melakukan profesinya ini, juga berlaku bagi perawat maupun dokter yang membantu pelaksanaan pelayanan dibidang anestesiologi dan reanimasi di rumah sakit. Selain itu, pihak Rumah Sakit pun juga diwajibkan untuk memenuhi fasilitas-fasilitas yang ditetapkan oleh Keputusan Dirjen Yanmed Depkes RI tersebut.

Setiap pelayanan di bidang anestesiologi dan reanimasi harus mengacu kepada Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depkes RI tersebut. Bila terjadi cacat atau kematian pasien selama prosedur anestesia berlangsung, Dokter Ahli anestesiologi (DSAn) yang bersangkutan dapat dikatakan melakukan malpraktik kalau dalam melakukan prosedur anestesi tidak sesuai dengan Standar Umum tersebut.

Namun apabila DSAn sudah berbuat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, dengan dukungan fasilitas dan perlengkapan dan Rumah Sakit yang juga sesuai dengan Standar tersebut, maka bila terjadi cacat atau kematian dan pasien selama prosedur anestesia, maka DSAn yang bersangkutan tidak dapat dikatakan telah melakukan malpraktik.

Berdasarkan pendapat Komalawati sebagaimana telah diuraikan di atas, standar profesi dalam pelayanan medik juga dapat berpedoman pada standar pelayanan medik yang dapat dianggap sebagai standar proses yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1993, maka standar pelayanan medik yang dibuat oleh IDI tersebut dapat digunakan sebagai pedoman secara nasional.

Seiring dengan perkembangan zaman, maka standar tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Standar pelayanan medik volume pertama memang diterbitkan tahun 1993 sebagaimana disebutkan oleh Kornalawati (2002:177). Tetapi pada tahun 1997 telah di revisi dengan edisi kedua, kemudian revisi ketiga juga dilakukan pada tahun 1998 dengan penambahan volume sampai dengan volume ketiga. Edisi ketiga inilah yang berlaku sampai saat mi, yang dicetak kedua pada tahun 2002.

Standar pelayanan medik yang telah di perbaharui secara berkala oleh PB IDI (Pengurus Besar IDI) dengan penerbitan terakhir pada tahun 2002 tersebut antara lain memuat pernyataan Merdias Almatsier, dalam Sambutan Ketua Umum PB IDI sebagai pembukaan buku Standar Pelayanan Medis tersebut sebagai berikut:Standar profesi merupakan pedoman yang harus dilkuti oeh setiap tenaga profesinya. Standar pelayanan medis merupakan salah satu standar profesi kedokteran yang merupakan pedoman bagi setiap dokter di Indonesia dalam melaksanakan asuhan medis. Pelayanan kedokteran dinyatakan bermutu bilamana sesuai dengan standar pelayanan medik ini.

Dari pernyataan Ketua PB IDI tersebut, sesuai dengan penjelasan pasal 50UU Praktik Kedokteran yang menyebutkan bahwa yang berhak membuat standar profesi adalah IDI sebagai organisasi profesi, maka dapat diartikan bahwa standar pelayanan medik yang dibuat oleh IDI dengan penerbitan terbaru tahun 2002 ini merupakan hukum positif yang berlaku bagi setiap anggota DI.Dengan perkataan lain. setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran berhak mendapat perlindungan hukum bila melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan medik ini. Namun bila yang dilakukan dokter dalam praktik kedokteran menyimpangi dan Standar Pelayanan Medik yang diterbitkan oleh PB IDI ini, maka dokter tersebut dapat dianggap melakukan praktik yang tidak sesuai standar profesi atau dapat juga dikatakan sebagai malpraktik.Oleh karena itu, agar dokter lebih memahami tentang Standar Pelayanan Medik ini, penulis akan menguraikan lebih lanjut apakah memang standar pelayanan medik ini bisa dan dapat dianggap sebagai hukum positif yang berlaku bagi praktik kedokteran sebagaimana yang dikehendaki undang-undang.Dari buku Standar Pelayanan Medik (SPM) yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan diterbitkan oleh Yayasan Penerbit IDI (YP IDI) 2002, penulis mencermati hal-hal berikut:Pendahuluan Standar Pelayanan Medik — beberapa materi yang dapat dipakai sebagai acuan penggunaan Standar Pelayanan Medik, antara lain:

a. Landasan praktik kedokteran harus berpedoman pada 2 (dua) pokok perilaku, yaitu:• Kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien (doing good).• Tidak ada niat untuk menyakiti, menciderai dan merugikan pasien (primum non nocere). Dokter harus menghargai hak pasien untuk dirawat/diobati/ditangani oleh dokter dengan

profesional dan bertanggung jawab secara klinis dan etis.Wewenang untuk menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam suatu kegiatan profesi adalah menjadi tanggung jawab profesi.b. Dalam rangka peningkatan dan pengawasan mutu pengamalan profesi, perlu ditetapkan Standar Pelayanan Medik yang mencakup: Standar ketenagaan, Standar prosedur, Standar sarana, Standar hasil yang diharapkan.c. Maksud penyusunan Standar Pelayanan Medik adalah dapat digunakan sebagai pedoman secara nasional.d. Tujuan dan fungsi Standar Pelayanan Medik yaitu:• Melindungi masyarakat dan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar profesional.• Melindungi profesi dan tuntutan masyarakat yang tidak wajar.• Sebagai pedoman dalam pengawasan praktik dokter dan pembinaan serta peningkatan mutu pelayanan kedokteran.• Sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

e. Batasan dan standar adalah sebagai suatu pedoman yang dijalankan untuk meningkatkan mutu menjadi makin efektif dan efisien. Diterbitkannya Standar Pelayanan Medik mi mungkin saja dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi dokter, namun karena pentingnya fungsi Standar Pelayanan Medik sebagaimana disebutkan di atas, maka tim penyusun IDI memberikan beberapa ketentuan khusus sebagai berikut:• Standar Pelayanan Medik dianggap sebagai prosedur yang seyogyanya diikuti, dan tidak untuk digunakan, terhadap kepentingan hukum. Karena prosedur ini lebih merupakan keinginan pelayanan kesehatan dan setiap spesialisasi dan sumber daya manusia nya• Standar Pelayanan Medik merupakan prosedur untuk kasus yang akan ditangani oleh spesialis Yang bersangkutan, tetapi bagi daerah yang belum memiliki dokter ahli, tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan oleh dokter umum.• Standar ini merupakan acuan dan pelengkap untuk rumah sakit, sehingga dapat mengikuti kondisi dan situasi dan rumah sakit yang bersangkutan.• Secara berkala standar ini perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi kedokteran.f. Cakupan dan Standar Pelayanan Medik tersusun menjadi 2 (dua) bagian yaitu:• Standar Pelayanan Medik yang terdiri dari 17 bidang spesialisasi, dan• Standar Pelayanan Penunjang yang terdiri dan 3 (tiga) bidang spesialisasi.Berdasarkan uraian dan Pendahuluan Standar Pe1ayanan Medik tersebut, PB IDI nampaknya telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membuat Standar Pelayanan Medik yang sesuai dengan beberapa pendapat pakar tentang standar profesi sebagai mana telah disebutkan terdahulu. Namun, di sisi lain masih terlihat adanya kontroversi dan ambivalensi dalam penggunaan buku yang diterbitkannya ini.

Dalam tujuan atau fungsi Standar Pelayanan Medik, PB IDI mengharapkan Standar Pelayanan Medik ini dapat gunakan sebagai perlindungan terhadap masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar profesi. Hal ini berarti bahwa agar masyarakat bisa terlindungi dari praktik yang tidak sesuai dengan standar profesi tersebut, maka praktik kedokteran harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Medik ini tentunya. Demikian juga sebaliknya, dokter yang telah melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan Standar pelayanan Medik yang

ditetapkan oleh IDI ini harus bisa dilindungi dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat penerima jasa pelayanan medis tersebut.

Dengan diterbitkannya buku ini, semestinya fungsi kontrol terhadap praktik kedokteran dan sekaligus perlindungan hukum terhadap dokter bisa terlaksana. Namun nampaknya IDI juga khawatir terhadap kemungkinan timbulnya dampak yang kurang menguntungkan bagi dokter, seandainya Standar Pelayanan Medik ini dipakai acuan dalam menentukan layak tidaknya seorang dokter dalam melaksanakan pelayanan mediknya. Kekhawatiran ini dikarenakan Standar Pelayanan Medik ini masih dibuat berdasarkan keinginan pelayanan kesehatan dan SDM tiap bidang spesialisasi saja, belum dikaji secara hukum agar setiap kalimat yang tertuang di dalam Standar Pelayanan Medik ini cukup bermakna dan tidak malah membahayakan profesi dokter. Karena bila Standar Pelayanan Medik ini benar-benar dijadikan acuan, maka ketidak sesuaian hasil yang dicapai oleh dokter dalam melakukan pengobatan terhadap pasien dengan Standar yang tertuang di dalam buku ini, akan mengakibatkan dokter mengalami tuntutan Malpraktik dengan dasar melakukan praktik kedokteran substandar.

Oleh karena itu, di dalam kalimat berikut yang memuat tentang batasan, IDI menambahkan klausula “Standar ini bukan untuk digunakan di bidang lain khususnya untuk kepentingan hukum”. Dengan pernyataan ini, berarti Standar Pelayanan Medik juga tidak dapat berfungsi sebagaimana 4 (empat) fungsi atau tujun yang tercantum di atas.

Menurut hemat penulis, buku ini sudah cukup bagus sebagai pedoman yang bisa dipakai dikalangan intern anggota IDI, dengan masih diperlukan adanya penyempurnaan di beberapa bab yang menyangkut bidang-bidang spesialisasi tertentu. Untuk kepentingan hukum, memang sebaiknya buku ini tidak dijadikan pedoman, karena kalau kriteria Standar yang dipakai penuntut umum atau penggugat berdasar buku ini, akan banyak sekali dokter yang akan mengalami tuntut malpraktik atau dianggap melaksankan praktik kedokteran substandar.

Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengungkapkan beberapa kasus yang dimuat dalam buku ini. Mudah-mudahan uraian penulis ini akan bisa membantu penyempurnaan buku ini untuk dapat digunakan sesuai fungsi dan tujuan pembuatan Standar Pelayanan Medik. Tentunya untuk tercapainya hal tersebut partisipasi organisasi profesi dan masing-masing bidang spesialisasi akan sangat menentukan berhasilnya tujuan dibuatnya Standar ini.

5.1. Beberapa Contoh Klausula dalam Standar Pelayanan Medis yang Dapat Merugikan Dokter.Kasus Bedah (Bab I)

Luaran Obstruksi Usus sembuh, dengan lama perawatan 7-10 hari. Bila ternyata dalam waktu 10 hari pasien tidak sembuh, DSB bisa dituntut oleh pasien atau keluarganya karena pengobatan yang dilakukannya tidak sesuai dengan standar. Apalagi kalau sampai pasien tersebut meninggal dunia, sang dokter riskan untuk terkena pasal 359 KUHP.

Padahal berdasarkan pengalaman penulis, bila seorang pasien mengalami dugaan Obstruksi Usus, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dokter:1. Menyingkirkan Diagnosa banding terhadap adanya paralisis usus (Standar Pelayanan Medik, 2002: 3).

2. Menentukan kemungkinan penyebab obstruksinya. Bila penyebab meragukan, kadang-kadang diperlukan observasi pasien 2-3 han sebelum operasi (laparatomi eksplorasi) diputuskan. Kalau penyebabnya kemungkinan scibala (faeces yang keras) karena pasien sering mengalami obstipasi (kesulitan dalam buang air besar), apakah tepat bila dilakukan laparctomi ? Hal semacam ini pernah beberapa kali penulis jumpai dalam praktik.3. Pemeriksaan laboratorium baik darah maupun foto abdomen 3 posisi, kadang-kadang tidak menunjukkan gambaran yang jelas.4. Perbaikan keadaan umum pasien, mungkin telah mengalami gagal ginjal, sepsis atau renjatan dan sebagainya.5. Jenis operasinya sendiri, kalau ternyata operator harus melakukan reseksi usus (pemotongan usus) apalagi dengan ditunjang keadaan pasien yang hypoalburninemia (kadar albumin yang berguna untuk pemulihan jaring di dalam darah kurang/tidak normal), lama perawatan tidak mungkin bisa kurang atau sama dengan 10 hari. Di samping itu, kemungkinan sembuh juga tidak bisa dijanjikan 100%.6. Beberapa hal yang telah disebutkan di atas akan sangat berpengaruh terhadap lama perawatan maupun luaran (outcome) yang diharapkan.Dari uraian di atas, sebaiknya di dalam menentukan lama perawatan dan luaran, tidak disebutkan secara lugas sekian hari dan luaran sembuh. Mungkin bisa disebutkan lama perawatan tergantung penyulit, bila tanpa penyulit sebutkan 99 % sembuh misalnya (ditulis berdasar statistik angka kesembuhannya bila hal ini ditinjau dan segi hukum, perlu diingat bahwa perjanjian terapeutik merupakan inspanning verbintenis (perjanjian upaya), bukan resultaat verbintenis (perjanjian hasil). Untuk tercapainya hasil (kesembuhan) banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kasus perforasi tifoid( berlubangnya usus sebagai penyulit dan penyakit tipus )

Luaran sembuh total yang diperoleh dengan lama perawatan 10-14 hari bukan hal yang mudah dicapai tergantung dan derajat penyebaran infeksi tipusnya sendiri. Perforasi yang merupakan penyulit ini, bukan tidak jarang disertai dengan penyulit pada organ tubuh lainnya misalnya: hepar(hati), otak(meningitis typhosa), keadaannutrisi pasien (under nutrition) dan sebagainya. Dalam luaran perlu ditambahkan: sekian persen sembuh total, sekian persen mengalami penyulit, dan mungkin 0.0001 % bisa berakhir dengan kematian misalnya.

Kasus Bedah Urologi

Kasus Pielonefritis Akut (Standar Pelayanan Medik, 2002:128) dengan lama perawatan 7 — 10 hari dan luaran sembuh total. Apakah hal tersebut dapat tercapai jika pada BNO-IVP ditemukan adanya batu sebagai penyebab pielonefritis ? Apalagi bila disertai kenaikan ureum, kreatinin yang signifikan yang mungkin memerlukan tindakan Hernodialysis (cuci darah).Dalam batasan yang disusun oleh Tim Studi IDI memang disebutkan bahwa lama perawatan yang dimaksud adalah khusus untuk penyakit tanpa komplikasi, hal ini sebaiknya diulang di dalam penjabaran masing-masing penyakit di bidang spesialisasi terkait. Misalnya dalam kasus Pielonefritis Akut tersebut di atas, sebaiknya ditambah dengan “lama perawatan 7— 10 hari bila tidak ada kelainan lain yang menyertai, atau bila fungsi ginjal normal, dan BNO-IVP tidak

ditemukan adanya batu, dan sebagainya. Sedang dalam “luaran” sebaiknya disebutkan persentase keberhasilan.

Kasus Bedah Plastik Estetis

Disebutkan luaran penampilan pasien bertambah baik, sebaiknya ditambahkan dengan bila tidak ada reaksi penolakan dan tubuh pasien. Penulis pernah menjumpai seorang wanita yang melakukan operasi plastik agar hidungnya mancung, ternyata hidungnya tambah mengalami infeksi terus-menerus sehingg penampilannya mala hjauh dan menarik.

Bagian Penyakit Dalam

Sebaiknya disebutkan kriteria terhadap jenis penyakit yang dipilih, misalnya kasus yang dipilih merupakan kasus Yang sering dijumpai dalam praktik sehari-hari.Untuk kasus dehidrasi (Standar Pelayanan Medik, 2002:220) luaran sembuh sempurna juga sebaiknya ditinjau kembali, karena dalam hal terjadi penyulit gagal ginjal misalnya kemungkinan untuk tercapainya kesembuhan sempurna juga lebih kecil.

Bagian Paru (Bab VIII)

Luaran Pleuritis Eksudativa (Standar Pelayanan Medik, 20 02: 255), bila berobat secara teratur apakah bisa dijamin untuk sembuh baik? Tidak adakah kemungkinan lain yang terjadi yang bisa menimbulkan gej ala sisa, walaupun pasien berobat secara teratur ?

Penyakit Anak (Bab IX Standar Pelayanan Medik)

Luaran Demam Berdarah Dengue (Standar Pelayanan Medik, 2002: 291) perlu dievaluasi, karena pada kenyataannya di dalam praktik sering diberitakan adanya kasus-kasus DBD yang berakhir dengan kematian. Luaran sembuh tanpa sekuele perlu diperjelas dalam kasus yang bagaimana DBD bisa sembuh tanpa sekuele tersebut ?Dalam hal kasus overlap antara 2 (dua) bidang spesialisasi misalnya Hipertensi dengan No .ICD 401 yang tertuang dalam bidang spesialisasi Penyakit Dalam (Standar Pelayanan Medik, 2002: 222) dan Kardiologi (Standar Pelayanan Medik, 2002:598), sebaiknya dikaji ulang agar tidak terjadi dobel standar.

52. Klausula dalam Standar Pelayanan PenunjangAnestesiologi (Bab XVIII)

Pada tahun 1999, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik bersama dengan Ikatan Profesi (IDSAI) telah menyusun Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit yang telah disahkan sebagai Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depkes RI Nomor HK.oo.o6.3.3.320. Keputusan Dirjen Yanmed Depkes RI yang ditetapkan pada tanggal 5 April 1999 di Jakarta mi berbeda dengan Standar Pelayanan Penunjang yang tercantum di dalam Standar Pelayanan Medik yang diterbitkan oleh Yayasan Penerbit IDI ini.Mengingat adanya perbedaan tersebut, tentunya IDI perlu melakukan pengkajian ulang standar mana yang akan diberlakukan bagi pelayanan anestesiologi.

Radiologi

Sebagai pelayanan penunjang, seyogyanya Standar Profesi Radiologi dapat dilengkapi dengan jenis-jenis pelayanan radiologi dan indikasinya, misalnya:Photo rontgen untuk mengetahui adanya patah tulang kelainan sendi, dan sebagainya, USG untuk deteksi kelainan abdomen bagian atas (batu kandung empedu dan sebagainya) dan abdomen bagian bawah (tumor ovarium dan sebagainya), CT scan untuk pemeriksaan tumor kepala dan sebagainya.Hal ini perlu dicantumkan dalam Standar Pelayanan Medik, karena kemajuan di bidang radiologi sangat pesat, sehingga di antara dokter sendiri mungkin ban ak yang belum mengetahui jenis-jenis pemeriksaan radiologi maupun indikasinya. Dengan mengetahui jenis dan indikasi pemeriksaan radiologi, dokter dapat melakukan pemeriksaan dengan indikasi yang tepat agar dapat mengurangi biaya yang ditanggung pasien nya.Agar Standar pelayanan Medik dapat berfungsi sebagaimana yang kita harapkan, dan beberapa kelemahan yang penulis kemukakan di beberapa bidang spesialisasi tersebut kiranya perlu ditindak lanjuti dengan evaluasi ulang dari bidang spesialisi terkait yang tidak bisa penulis kemukakan semuanya dalam buku ini. Karena di luar beberapa kendala tersebut, banyak sekali sumbangsih dari beberapa bidang spesialisasi yang telah tertuang di dalam Standar Pelayanan Medik tersebut yang bisa berfungsi sebagai perlindungan dokter dari tuntutan yang tidak wajar atau dengan perkataan lain, sebagian besar dari Standar Pelayanan Medik ini cukup bermanfaat bagi kepentingan hukum.Dengan penyempurnaan kelemahan-kelemahan yang ada, kekhawatiran terhadap adanya dampak yang kurang menguntungkan dapat dinetralisir. Untuk itu diperlukan revisi dengan melibatkan Tim Penyusun yang terdiri dan beberapa organisasi profesi dan bidang-bidang spesialis terkait 5agaimana tercantum dalam Pola Penyusunan Standar pelayanan Medik ini.

Profesi tenaga kesehatan khususnya dokter merupakan sebuah profesi yang sangat mulia karena berkaitan erat dengan perawatan, pengobatan dan penyelamatan terhadap orang yang sakit.

Akan tetapi profesi dokter disisi lain juga mengandung potensi risiko yang sangat besar, yaitu risiko tuntutan hukum dari pasien.Menurut Hariyani (2005), pengertian Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran. Pada Kedududukan ini, dokter adalah orang yang dianggap pakar dalam bidang kedokteran.Sedangkan Astuti (2009) menjabarkan bahwa Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tertuang juga tentang pengertian dokter. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa dokter adalah seseorang yang telah lulus pendidikan kedokteran yang oleh hukum diberi kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran dalam upaya pelayanan kesehatan. - See more at: http://www.edukasiana.net/2012/12/definisi-dokter-pengertian-dokter-arti.html#sthash.iec5jx2h.dpuf

UU Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004 Technorati Tags: hukum kedokteran,undang-undang kedokteran,praktik kedokteran,uu praktik kedokteran,uu praktik kedokteran no 29 tahun 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 29 TAHUN 2004

TENTANG

PRAKTIK KEDOKTERAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang

Bahwa membangun kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagai dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945

Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat

Bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan pengawasan, dan pemantauan agar penyelanggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

Bahwa untuk memberikan perlindungan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang praktik Kedokteran;

Mengingat

Pasal 20 dan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

M E M U T U S K A N:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

Prektek kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan;

Dokter dan dokter gigi adalah dokter , dokter spesialis dokter gigi, dan dokter spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran baik di dalam maupun luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatau badan otonom, mendiri, nonstructural dan Konsil kedokteran Gigi.

Sertifikat Konpentensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan prektek kedokteran si seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.

Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki sertifikat konpetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.

Regisrasi adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan doktr gigi yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.

Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan.

Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberika oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dookter dan dokter gigi yang telah diregistrasi

Sarjana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedoktaran gigi.

Pasein adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

Profesi kedokeran atau kedoketran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan auatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.

Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwanang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sangsi.

Menteri dalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

Pasal 5

Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua

Funsi, Tugas, dan Wewenang

Pasal 6

Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi peraturan, pengesaha, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.

Pasal 7

Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas :

Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi.

Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan

Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terakit sesuai dengan fungsi masing-masing.

Standar pendidikan profesi dikter dan dokter gigi yang disahkan Konsil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

Pasal 8

Dalam menjalankan tugas sebagai mana dimaksud Pasal 7 Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai wewenang.

Menyetujui dan menolak peermohonan registrasi dokter dan dokter gigi;

Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;

Mengesahkan standar kompetensi doktrer dan dokter gigi;

Melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;

Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;

Melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaanetika profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.

Pasal 9

Ketentuan labih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

Bagian Ketiga

Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 11

Susunan Organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :

Konsil Kedokteran; dan

Konsil Kedokteran Gigi.

Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu:

Divisi Registrasi;

Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan

Divisi Pembinaan

Pasal 12

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap anggota,

Pimpinan Konsil Kedokteran dan Pimpinan Konsil Kedokteran gigi masing-masing 1 (satu) orang merangkap anggota; dan

Pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokter Gigi masing-masing 1 (satu) orang merangkap anggota

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja secara kolektif.

Pimpinan konsil Kedokteran Indonesia sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawaban tertinggi.

Pasal 13

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang kedua dan 2 (dua) orang wakil ketua.

Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas seseorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua devisi

Pasal 14

Jumlah Anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsuryang berasal dari :

Organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang;

Organisasi profesi kedokteran gigi 2 (duaA) orang;

Asosiasi institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang;

Asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang;

Kolegium kedokteran 1 (satu) orang;

Kolegium kedokteran gigi 1 (satu) orang;

Asosiasi rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang;

Tokoh masyarakat 3 (tiga) orang;

Departemen Kesehatan 2 (dua) orang;

Departemen Pendidikan Nasional 2 (dua) orang.

Tata cara pemilihan tokoh masyarakat sebagai mana domaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia

Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.

Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus berdasarkan usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 15

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dipilih oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.

Pasal 16

Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 17

Anggota Konsil Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mencakup sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden

Sumpah/Janji sebagaimana dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertaruhkan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Masyarakat, bangsa dan negara.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepad saya".

Pasal 18

Untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

Warga negara Republik Indonesia

Sehat jasmani dan rohani

Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia

Berkelakuan baik

Berusia sekurang-kurangnya 40(empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia

Pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi, kecuali untuk wakil dari masyarakat

Cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integrasi lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia

Melepaska jabatan structural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat danselama menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia

Pasal 19

Anggota Konsil Kedokteran Indonesia berhanti atau diberhentikan karena :

Berakhir masa jabatan sebagai anggota.

Mengundurka diri atas permintaan sendiri

Meninggal dunia

Bertampat timggal di luar wilayah Republik Indonesia

Tidak mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan, atau

Dipindahkan karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam hal anggota Konsil Kedokteran Indonesia menjadi tersangka tindak podana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pemberhentiaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) bukan anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnyha sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia.

Ketentuan fungi dan tugas sekretaris dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia

Pasal 20

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Konsil Kedokteran Indonesia dibantu sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris.

Sektretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pemimpinan Konsil Kedokteran Indonesia.

Ketentuan fungi dan tugas sekretaris dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia

Pasal 21

Pelaksanaan tugas secretariat dilakukan oleh pagawai Konsil Kedokteran Indonesia

Pegawai sebagai mana dimaksud pada ayat (1) untuk pada peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian.

Bagian Keempat

Tata Kerja

Pasal 22

Setiap keputusan Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat pleno anggota.

Rapat Pleno Konsil Kedokteran Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh oaling sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu.

Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.

Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat dilakukan pemungutan suara.

Pasal 23

Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia

Bagian Kelima

Pembiayaan

Pasal 25

Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Kedokteran Indonesia dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB IV

STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEDOKETERAN DAN KEDOKTERAN GIGI

Pasal 26

Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pemdidikan profesi kedokteran gigi disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia

Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Untuk pendidikan profesi dokter atau dokter gigi disusun oleh asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokeran gigi; dan

Untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter atau dokter gigi spesialis disusun oleh kkolegium kedokteran atau kedokteran gigi.

Asosiasi institusi pendidikan kedokterann atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hururf a berkoordinasi dengan organisasi profesi, kolegium,asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.

Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasiolan, dan Departemen Kesehatan.

BAB V

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEDOKTERAN DANNKEDOKTERAN GIGI

Pasal 27

Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan pendidikan standar pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

Pasal 28

Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.

Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

BAB VI

REGISTRASI DOKTER DAN DOKTER GIGI

Pasal 29

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.

Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memilih persyaratan :

Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;

Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janjji dokter atau dokter gigi;

Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;

Memiliki sertifikat kompetensi; dan

Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasidokter gigi berlaku selama 5 (lima) tahun dan registrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 (tiga) huruf c dan huruf d.

Ketua Konsil Kedokteran dan Kedokteran Gigi dalam melakukan registrasi ulang harus mendengar pertimbangan ketuqa divisi registrasi dan ketua divisi pembinaan.

Ketua Konsil Kedokteran dan Ketua Konsil Kedokteran Gigi berkewajiban untuk memelihara dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi.

Pasal 30

Dokter dan dokter gigi lulusan luar negriyang akan melaksanakan praktik kedokteran di Indonesia harus dilakukan evaluasi.

Evaluasi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi :

Kesahan ijazah;

Kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan suarat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi.

Mempunyai surat pernyataan telah megucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi.

Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia

Dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 33

Dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;

Habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;

Atas permintaan yang bersangkutan;

Yang bersangkutan meninggal dunia; atau

Dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 35

Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas :

Mewawncarai pasien;

Memeriksa fisik dan mental pasien;

Menentukan pemeriksaan penunjang;

Menegakkan diagnosis;

Menetukan penataletakan dan pengobatan pasien;

Melakukan tindakan kedokteran atau tindakan kedokteran gigi;

Menulis resep obat dan alat kesehatan;

Menerbitka surat keterangan dokter atau dokter gigi;

Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diijinkan; dan

Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang prektik di daerah terpencil yang tidak ada apotik.

Selain kewenangan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

BAB VII

PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN

Bagian Kesatu

Surat Izin Praktik

Pasal 36

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.

Pasal 37

Surat izin praktik sebagaiman dimaksudkan dalam Pasal 36 dikeluarkann oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

Suatu izin peraktik dokter atau dokter gigi sebagai mana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.

Suatu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

Pasal 38

Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :

memiliki surat tanda registrasi kedokteran atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;

Mempunyai tempat praktik; dan

Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :

Surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan

Tempat izin praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.

Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin paraktik diatur Peraturan Materi.

Bagian Kedua

Palaksanaan Praktik

Pasal 39

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau doktrer gigi dengan pasien dalam upaya untuk memelihara kesehatan, pencegahan penyakit, meningkatkan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pasal 40

Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.

Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik disarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.

Pasal 42

Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran disarana pelayanan kesehatan tersebut.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Pemberian Pelayanan

Paragaraf 1

Standar Pelayanan

Pasal 44

Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.

Standar pelayanan sebagaimana pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.

Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Mentri.

Paragraf 2

Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

Pasal 45

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap.

Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

Tujuan tindakan medis yang dilakukan;

Alternatif tindakan lain dan resikonya;

Risiko dan komplikasi yang mukin terjadi; dan

Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetuajuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Rekam Medis

Pasal 46

Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalanka praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.

Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai meneriman pelayanan kesehatan.

Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

Dokumen rekam medis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.

Rekam medis sebagaimana simaksudkan pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4

Rahasia Kedokteran

Pasal 48

Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.

Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi paraturan penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5

Kendali Mutu dan Kendali Biaya

Pasal 49

Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit medis.

Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh organisasi profesi.

Paragraf 6

Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi

Pasal 50

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:

Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

Memberika pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;

Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan

Menerima imbalan jasa.

Pasal 51

Dokter atau dookter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:

Memberikan pelayanan medis sesuai dengan stanadr profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

Merujuk pasien kedokter atau kedokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kamampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Paragraf 7

Hak dan Kewajiban Pasien

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak:

Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);

Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

Menolak tindakan medis; dan

Mendapat isi rekam medis.

Paragraf 8

Pembinaan

Pasal 54

Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melidungi masyarakat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, perlu dilakukan pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.

Pembinaan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.

BAB VIII

DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI

Bagian Kesatu

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Pasal 55

Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedoktrean Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.

Mejelis Kehormatan Disiplin Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat independent.

Pasal 56

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 57

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Pasal 58

Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang wakil, dan seorang sekretaris.

Pasal 59

Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tersiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.

Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia harus dipenuhi syarat sebagai berikut :

Warga negara Republik Indonesia;

Sehat jasmani dan rahani;

Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

Berkelakuan baik;

Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;

Bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;

Bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik dibidang hukum paling sedikit 10 (sepuluh) tahundan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan

Cakap, juju, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.

Pasal 60

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi.

Pasal 61

Masa bakti keanggotaan Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) kali masa jabatan.

Pasal 62

Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum mengaku jabatan wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di hadapan Ketua Kedokteran Indonesia

Sumpah /janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

"Sumpah/Janji sebagaimana dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertaruhkan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Masyarakat, bangsa dan negara.

Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang kepada saya".

Pasal 63

Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.

Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :

Identitas pengadu;

Nama dan alat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan

Alasan pengaduan.

Pengaduan sebagai dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Bagian Keempat

Pemeriksaan

Pasal 67

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan kepurusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.

Pasal 68

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan kepada organisasi profesi.

Bagian Keempat

Keputusan

Pasal 69

Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.

Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sangsi disiplin

Sangsi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :

Pemberian peringatan tertulis;

Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktek; dan /atau

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Bagian Kelima

Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 70

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

BAB IV

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 71

Pemerintah Pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintahan daerah, organisasi profesi membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.

Pasal 72

Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk :

Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter gigi;

Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi; dan

Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi.

Pasal 73

Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/ atau surat izin praktik.

Setiap orang dilarang menggunakan alat, netode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan prundang-undangan.

Pasal 74

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dokter gigi yang menyelenggarakan praktik dokter dapat dilakukan audit medis.

BAB X

KETENTUAN PIDANA

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana penjara palikg lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Setiap dokter atau dokter gigi warganegara asing yang dengan sengaja melakukan praktiknkedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau dengan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda palling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76

Setiap dokter dan dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 77

Setiap orang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuklain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paloing banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (1);

Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagai mana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e.

Pasal 80

Setiap orang yang dengan sengaja memperkejakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau dengan paling banyak Rp. 300.000.00,00 (tigaratus juta rupiah).

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan uang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 82

Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau surat izin praktik, dinyatakan telah memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik berdasarkan Undang-undang ini.

Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) harus disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, suraat registrasi dokter gigi, dan surat izin praktik berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun setelah Konsil Kedokteran Indonesia terbentuk.

Pasal 83

Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya Majelis Kehoramatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi untuk memberikan pertimbangan.

Putusan berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

Pasal 84

Untuk pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh Menteri dan diangkat oleh Presiden.

Keanggotan Konsil Kedokteran Indonesiasebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku uintuk masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 85

Dengan Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 86

Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) harus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 87

Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dibentuk paling lambat 1(satu) bulan sebelum masa jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) berakhir.

Pasal 88

Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan perundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 6 Oktober 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 6 Oktober 2004

SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBAGA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004

NOMOR 116

CONTOH-CONTOH DIAGRAM KONTEKS SISTEM INFORMASI

Diagram konteks Pegadaian

Diagram konteks Restoran

DFD SISTEM PERPUSTAKAANPublished November 15, 2012 by citrafarhatihubbillah

Perintah :

BUAT CONTEXT DIAGRAM DAN DFD LEVEL 0, DAN LEVEL 1 (JIKA MEMUNGKINKAN) UNTUK SISTEM PEMINJAMAN DAN PENGEMBALIAN BUKU

Kasus :

Pada sebuah Taman Bacaan Anak-Anak terdapat sistem pendaftaran peminjam, peminjaman buku dan pengembalian buku sebagai berikut :

Untuk sistem pendaftaran peminjam, pemilik Taman Bacaan akan meminta data peminjam buku berupa nama dan alamat peminjam.  Data tersebut dituliskan pada buku Daftar Peminjam Buku (DPB).  Pada daftar peminjam tersebut, selain terdapat nama dan alamat peminjam, juga terdapat data mengenai tanggal masuk peminjam tersebut sebagai anggota Taman Bacaan tersebut.   Setelah diterima sebagai anggota Taman Bacaan tersebut, maka peminjam baru boleh meminjam buku.

Dalam sistem peminjaman buku terdapat aturan-aturan sebagai berikut :

1. Peminjam harus terdaftar sebagai anggota atau mempunyai nomor anggota2. Masa waktu peminjaman hanya boleh 7 hari, jika melebihi jangka waktu tersebut, akan

dikenakan denda Rp 100,-/hari untuk setiap buku yang terlambat dikembalikan.3. Buku yang dipinjam oleh anggota (berada di pihak anggota) maksimal 10 buku

Apabila persyaratan telah dipenuhi, maka pemilik akan mendata buku tersebut dan dituliskan pada Buku Peminjaman Buku (BPB) yang dituliskan mengenai nama peminjam, nama buku dan tanggal pinjam.  Juga dituliskan mengenai tanggal buku tersebut harus dikembalikan.

Untuk sistem pengembalian buku adalah petugas Taman Bacaan akan memeriksa pada BPB dan dilihat tanggal berapa buku tersebut harus diterima.  Apabila ternyata buku tersebut terlambat dikembalikan , petugas Taman Bacaan akan menagih jumlah uang sesuai dengan perhitungan yang ditagihkan langsung pada saat itu juga.  Apabila denda telah dibayarkan, anggota dapat meminjam buku lagi.

Penyelesaian :

1. Langkah Pertama Buka Aplikasi Sybase Power Designer 15.1 yang ada di start menu

 

2. Setelah Power Designer Terbuka lanjut pilih create model.

 

3. Kemudian Pilih Category Information lalu pilih DFD (Data flow Diagram) untuk membuat DFD SISTEM PEMINJAMAN DAN PENGEMBALIAN BUKU 

 

4. Setelah memilih tadi, maka akan muncul tampilan awal seperti gambar di bawah

 

5. Selanjut nya Buat Context Diagram dengan 3 Entitas yaitu : Pemilik, Peminjam dan Petugas. Kemudian buat satu buah Proses Sistem Perpustakaan dan Anggota lalu klik kanan pada Proses pilih di DECOMPOSE PROSES sistem perpustakaan.

 

6. Setelah di Klik Kanan Pada Proses Sistem Perpustakaan Kemudian di Open Diagram maka akan muncul Tampilan Seperti di bawah ini Yang dinamakan DFD Level 0.

dalam dfd level 0 ini ada 3 entitas, 2 proses dan 1 data store. Pada Proses ini sperti harus di decompose diagram untuk melakukan dfd level 1.

 

7. klik kanan pada Proses peminjaman kemudian open diagram. Lalu akan muncul seperti gambar di bawah ini. pada tahap ini di jelaskan dengan rinci tetntang alur dari suatu proses peminjaman

 

8.  klik kanan pada Proses pengembalian kemudian open diagram. Lalu akan muncul seperti gambar dibawah ini. pada tahap ini di jelaskan dengan rinci tetntang alur dari suatu proses pengembalian