10
Sistem BCS (Biopharmaceutical Classification System) 1. Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System) BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011). Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007). 2. Tujuan dan Konsep BCS Tujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) : 1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi. 2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro. 3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat. 3. Klasifikasi BCS BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah : 1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi) Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung. Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian

Sistem BCS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bcs

Citation preview

Sistem BCS (Biopharmaceutical Classification System)1. Definisi BCS (Biopharmaceutical Classification System) BCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat untuk pemberian obat secara oral. Untuk melewati studi bioekivalen secara in vivo, suatu obat harus memenuhi persyaratan kelarutan dan permeabilitas yang tinggi (Bethlehem, 2011).Bioavaibilitas obat merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai efektifitas suatu sediaan farmasi. Kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas. Sistem dispersi padat dan sistem penghantaran obat mukoadhesif merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kecepatan disolusi dan waktu tinggal obat dalam saluran cerna (Sutriyo dkk., 2007).

2. Tujuan dan Konsep BCSTujuan dari BCS adalah (Reddy dkk., 2011) :1. Untuk meningkatkan efisiensi pengembangan obat dan proses peninjauan dengan merekomendasikan strategi untuk mengidentifikasi uji bioekivalensi.2. Untuk merekomendasikan kelas pelepasan cepat dari bentuk sediaan padat oral yang secara bioekivalensi dapat dinilai berdasarkan uji disolusi in vitro.3. Untuk merekomendasikan suatu metode untuk klasifikasi yang sesuai dengan disolusi bentuk sediaan dengan karakteristik kelarutan dan permeabilitas produk obat.

3. Klasifikasi BCSBCS (Biopharmaceutical Classification System) atau sistem klasifikasi biofarmasetika diklasifikasikan menjadi empat kelas, diantaranya adalah :1. Kelas I (Permeabilitas tinggi, Kelarutan tinggi)Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30 menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya diterima untuk obat kelas I dan kelas II. Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy dkk., 2011).3. Kelas III (Permeabilitas rendah, Kelarutan tinggi)Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh dkk., 2010).

4. Kelas yang Digunakan dalam BCS Batas kelas yang digunakan dalam BCS diantaranya adalah (Dash dkk., 2011) :1. Suatu obat dianggap sangat larut ketika kekuatan dosis tertinggi yang larut dalam 250 ml air pada rentang pH 1 sampai 7,5.2. Suatu obat dianggap sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia 90% dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena.3. Suatu produk obat dianggap cepat melarut ketika 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit menggunakan alat disolusi I atau II dalam volume 900 ml larutan buffer.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biopharmaceutical Classification System (BCS)

Faktor-faktor yang mempengaruhi BCS diantaranya adalah :1. Laju disolusiDalam pedoman ini, suatu produk obat dikatakan cepat melarut jika tidak kurang dari 85% dari jumlah berlabel bahan obat larut dalam waktu 30 menit, menurut US Pharmacopeia (USP) alat disolusi I pada 100 rpm (atau alat disolusi II pada 50 rpm) dalam volume 900 ml atau kurang di setiap media seperti HCl 0,1 N atau cairan lambung buatan tanpa enzim, larutan buffer pH 4,5, larutan buffer pH 6,8 atau cairan usus buatan tanpa enzim (Wagh dkk., 2010).2. Kelarutan Tujuan dari pendekatan BCS adalah untuk menentukan kesetimbangan kelarutan suatu obat dalam kondisi pH fisiologis. Profil kelarutan terhadap pH suatu obat uji harus ditentukan pada 37 1oC dalam media air dengan rentang pH 1-7,5. Kondisi pH untuk penentuan kelarutan dapat didasarkan pada karakteristik ionisasi obat uji. Misalnya, ketika pKa obat berada di kisaran 3-5, kelarutan harus ditentukan pada pH = pKa, pH = pKa +1, pH = pKa-1, dan pada pH = 1 dan 7,5. Minimal dilakukan tiga kali percobaan. Larutan buffer standar yang dijelaskan dalam USP dapat digunakan dalam studi kelarutan. Jika buffer ini tidak cocok untuk alasan fisik atau kimia, larutan penyangga lainnya dapat digunakan. PH larutan harus diverifikasi setelah penambahan obat untuk buffer (Wagh dkk., 2010).3. Permeabilitas Permeabilitas didasarkan langsung pada tingkat penyerapan usus suatu obat pada manusia atau tidak langsung pada pengukuran laju perpindahan massa melintasi membran usus manusia.Suatu obat dikatakan sangat permeabel ketika tingkat penyerapan pada manusia adalah 90% atau lebih dari dosis yang diberikan, berdasarkan pada keseimbangan massa atau dibandingkan dengan dosis pembanding intravena (Reddy dkk., 2011).

Disolusi TerbandingMenurut BPOM RI, pada produk-produk tertentu bioavailabilitas dapat ditunjukan dengan fakta yang diperoleh in vitro yang dilakukan dalam lingkungan seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi terbanding. Obat-obat ini bioavailabilitasnya terutama bergantung pada obat yang berada dalam keadaan terlarut. Laju disolusi obat dari produk obat tersebut diukur in vitro. Data laju disolusi in vitro harus berhubungan dengan data bioavailabilitas in vivo untuk obat tersebut (Shargel et.al, 2005).Secara umum uji disolusi dirancang sebagai alat untuk mengoptimalkan suatu formulasi baru atau sebagai kontrol kualitas memonitor keseragaman dan reproduksibilitas produksi antar batch. Untuk tujuan penelitian uji disolusi merupakan suatu pengujian yang relatif sensitif untuk membandingkan keakuratan suatu formulasi sehingga data dapat dikorelasikan ke kondisi in vivo (Abdou, 1989).Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan pembanding. Untuk produk-produk tertentu, uji disolusi terbanding dilakukan sebagai pengganti uji ekivalensi in vivo sehingga apabila suatu produk telah lolos uji disolusi terbanding ini, produk tersebut sudah dianggap ekivalen dengan produk pembandingnya. (Shargel et.al, 2005; BPOM RI, 2004).Kriteria obat pembanding:1. Produk obat inovator2. Primary market di negara lain atau3. Market leader di Indonesia4. Produk pembanding yang digunakan harus mendapatkan persetujuan dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)Uji disolusi terbanding dilakukan dengan menggunakan medium buffer pH 1,2 ( Larutan asam ), buffer pH 4,5 ( buffer acetate ), buffer pH 6,8 ( Buffer fosfat ). Waktu pengambilan sampel 10, 15, 30, 45, 60 menit. Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f2. Disamping itu juga ditunjukkan bahwa eksipien dalam komposisi produk obat sudah dikenal, bahwa tidak ada efek terhadap motilitas saluran cerna atau proses lain yang mempengaruhi proses absorbsi, juga diperkirakan tidak ada interaksi antara eksipien dan zat aktif yang dapat merubah farmakokinetik zat aktif. Jika digunakan tapi dalam jumlah yang luar biasa besar, diperlukan tambahan informasi yang menunjukan tidaka adanya dampak terhadap biovailabilitas ( BPOM, 2004 ).Uji disolusi terbanding dapat juga dapat digunakan untuk memastikan kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat ( BPOM, 2004 ).Uji disolusi in vitro dianjurkan bahwa potensi dan karakteristik disolusi in vitro dari produk obat uji dan pembanding dipastikan dahulu sebelum dilakukan uji BE. Hasilnya dilaporkan sebagai profil persen obat yang terlarut dalam waktu, nomor batch kedua produk harus dicantumkan, demikian juga tanggal kadarluarsa produk pembanding. Kandungan zat aktif antara kedua produk tidak boleh berbeda lebih dari 5%. Jika potensi produk pembanding menyimpang > 5% dari kandungan 100% yang tercantum dalam lebel, perbedaan ini dapat digunakan kemudian koreksi dosis pada perhitungan parameter biovailabilitas pada studi BE. Uji BA/BE sangat penting untuk menjamim efikasi dan keamanan obat copy. Lewat studi ini dapat meyakinkan dokter dan masyarakat bahwa obat copy yang diproduksi di Indonesia memiliki mutu yang baik dan harganya kompetitif.Menyadari ketatnya persaingan ini, pemerintah dan gabungan pengusaha farmasi Indonesia ( GPFI ) bergegas berbenah. BPOM, disamping telah memberlakukan current Good Manufacturing Practice (cGMP), juga menetapkan uji bioavailabilitas/bioekivalensi (BA/BE) terhadap obat copy yang beredar. Lewat Peraturan Kepala BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman Uji BE dan Peraturan Kepala BPOM-RI, 18 Juli 2005 tentang: Tata Laksana Uji Bioekivalensi, uji BE menjadi prasyarat registrasi obat.Dalam uji BA/BE, obat inovator yang masa patennya telah usai menjadi tolak ukur dari kualitas obat copy-nya. Hasil penelitian BA/BE yang dilakukan terhadap obat copy harus setara secara biologis dalam hal mutu, efikasi, dan keamanannya dengan obat inovatornya. Kendala utama untuk perbandingan dua produk atau formulasi atau bentuk sedian adalah in vitro ( disolusi terbanding ), sebagai perbandingan in vitro disolusi profil, persamaan ( similarity ) dan perbedaan ( difference ) faktor ditekankan oleh US FDA.1. Faktor Perbedaan ( Difference factor ) F1Faktor perbedaan berfokus pada perbedaan dalam persen terlarut antara refensi dan uji pada berbagai interval waktu. Hal ini dapat matematis dihitung dengan menggunakan :

Oleh karena itu faktor langsung membandingkan perbedaan antara obat persen terlarut persatuan waktu untuk obat uji dan produk referensi2. Faktor Kesamaan ( Similarity factor ) F2Sebagai mana menetapkan, menekankan pada perbandingan kedekatan dari dua perbandingan formulasi. Syarat faktor kesamaan dalam kisaran 50 100 diterima sesuai dengan US FDA. Hal ini dapat matematis dihitung dengan menggunakan :Keterangan : F1 : Difference factor ( Faktor perbedaan ) toleransi = 0 - 15 F2 : Similarity factor ( Faktor persamaan ) toleransi = 50 - 100Rt : Dissolution value of the reference batch at time t ( % rata-rata zat terlarut dalam waktu t untuk sedian pembanding ). Tt : Dissolutin value of test batch at time t ( % rata-rata zat terlarut dalam waktu t untuk sedian uji ).n : jumlah titik sampel Gambar 2.2 Disolusi erweka DT 700

2.3 HPLCPerformance tinggi kromatografi cair ( Atau tekanan tinggi kromatografi cair, HPLC ) adalah kromatografi teknik yang dapat memisahkan campuran senyawa dan digunakan dalam biokimia dan kimia analitik untuk identifikasi, mengukur dan memurnikan masing-masing campuran. HPLC biasanya menggunakan berbagai jenis fasa diam, sebuah pompa yang bergerak fase mobile (s) dan analit melalui kolom, dan detektor yang menyediakan waktu retensi karakteristik untuk analit. Detektor dapat juga memberikan informasi karakteristik lainnya yaitu UV/Vis data spektroskopi untuk analit jika demikian dilengkapi. Waktu retensi analit bervariasi tergantung pada kekuatan interaksi dengan fase diam, rasio / komposisi pelarut ( s ) yang digunakan, dan laju alir fase gerak. Dengan HPLC, pompa ( bukan gravitasi ) memberikan tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk menggerakkan fase gerak dan analit melalui kolom padat. Kepadatan meningkat timbul dari ukuran partikel yang lebih kecil. Hal ini memungkinkan untuk pemisahan yang lebih baik pada kolom panjang lebih pendek bila dibandingkan dengan kromatografi kolom biasa.

2.4 Hipotesis Perbedaan Dua Rata-RataBanyak persoalan menuntut kita untuk memutuskan atau tidak sesuatu pernyataan tentang parameter yang bener atau salah. Pernyataan tersebut biasanya disebut Hipotesis, dan prosedur membuat keputusan tentang kebeneran atau kesalahan hipotesis disebut pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis merupakan salah satu aspek statistik induktif yang sangat berguna, karena banyak jenis persoalan keputusan dapat diformulasikan sebagai masalah pengujian hipotesis ( William, 1990 ).Hipotesis statistik adalah suatu anggapan atau pernyataan yang mungkin bener atau tidak, mengenai suatu populasi atau lebih. Kebenaran atau tidak kebenaran suatu hipotesis statistik tidak akan pernah diketahui dengan pasti kecuali bila keseluruhan populasi diamati. Hal ini tentunya dalam kebanyakan keadaan tidak praktis. Karena itu, kita ambil sample acak dari populasi yang ingin diselidiki dan menggunakan data sampel ini untuk mencari kenyataan yang akan mendukung hipotesis tadi. Keterangan dari sampel yang tidak selaras dengan hipotesis yang telah dirumuskan akan mengakibatkan penolakan hipotesis, sedangkan yang mendukung hipotesis akan mengakibatkan penerimaanya ( Walpole, 1995 ).Perlu ditegaskan bahwa perencangan prosedur keputusan harus dikerjakan dengan pengertian adanya peluang keputusan yang salah. Sebagai contoh, misalkan bahwa dugaan ( hipotesis ) yang diramalkan oleh insinyur adalah bahwa proporsi yang cacat p dalam suatu proses adalah 0,10. Percobaan bertujuan mengamati suatu sampel acak dari hasil yang ingin diselidiki. Andaikan bahwa 100 barang di uji dan ternyata ditemukan 12 yang cacat. Dari sini cukup wajar bila disimpulkan bahwa kenyataan ini tidak menolak bahwa p = 0,10, jadi mengarahkan kita pada penerimaan hipotesis. Akan tetapi, inipun tidak menolak ini bahwa p = 0,12 atau malahan p = 0,15. Akibatnya, pembaca haruslah membiasakan diri dengan pengertian bahwa penerimaan suatu hipotesis hanyalah menegaskan bahwa datanya tidak cukup memberi kenyataan untuk menolaknya. Dipihak lain, penolakan suatu hipotesis menunjukan bahwa kenyataan dari sampel membantah kebenarannya. Dengan kata lain, sesungguhnya hipotesis benar, tapi ada kemungkinan dan peluangnya kecil, bahwa informasi dari sampel yang kita peroleh bertentangan dengan hipotesis ( Walpole, 1995 ). Struktur pengujian hipotesis akan dirumuskan dengan menggunakan istilah hipotesis nol. Ini menyatakan setiap hipotesis yang diuji dinyatakan dengan H0. Penolakan H0 menjurus pada penerimaan suatu hipotesis tandingan atau alternatif, dinyatakan dengan H1. Suatu hipotesis nol mengenai suatu parameter populasi akan selalu dinyatakan sedemikian rupa sehingga parameter tersebut tertentu nilainya secara tepat, sedangkan hipotesis tandingan memungkinkan beberapa nilai. jadi, bila H0 menyatakan hipotesis nol p = 0,5 untuk populasi binomial, hipotesis tandingan H1 mungkin salah satu dari p > 0,5, p < 0,5 atau p 0,5 (Walpole, 1995 ).Distribusi peluang T pertama kali diterbitkan pada tahun 1908 dalam suatu makalah oleh W.S.Gosset. Pada waktu itu, Gosset bekerja pada perusahaan bir Irlandia yang melarang penerbitan penelitian oleh karyawannya. Untuk mengelakkan larangan ini dia menerbitkan karyanya secara rahasia dibawah nama Student. Karena itulah distribusi T biasa disebut distribusi student T, atau lebih singkat distribusi t. dalam menurunkan persamaan distribusi ini, Gosset menganggap sampel berasal dari populasi normal. Kendati pun anggapan ini mungkin keliatanya amat mengekang, dapat dibuktikan bahwa populasi yang tidak normal tapi distribusinya berbentuk lonceng masih memberikan nilai T yang menghampirin amat dekat distribusi t ( Walpole, 1986 ).Distribusi T mirip dengan distribusi Z, keduanya setangkup terhadap rataan nol. Keduanya berupa longceng, tapi distribusi t lebih berbeda satu sama lain karena nilai T tergantung pada dua besaran yang berubah-ubah, dan S2, sedangkan nilai Z hanya tergantung pada perubahan dari sampel ke sample lainya. Distribusi T dan Z berbeda karena variansi T bergantung pada ukuran sampel n dan variansi ini selalu lebih besar dari satu. Hanya bila ukuran sampel n Kedua distribusi menjadi sama ( Walpole, 1896 ). Peluang suatu sampel acak menghasilkan nilai t = ( - ) / (s/ ) yang terletak antara dua nilai yang tertentu sama dengan luas di bawah kurva distribusi antara kedua absis yang berpadanan dengan kedua nilai tersebut. Membuat tabel tersendiri yang memberikan luas antara tiap pasang absis untuk semua n 30 akan merupakan pekerjaan yang amat membosankan. Dapat dilihat dari tabel statistik memberikan hanya nilat sedemikian rupa sehingga diatasnya terdapat luas tertentu, yaitu untuk = 0,1, 0,05, 0,025, 0,01 atau 0,005. Tabel ini diatur berlainan dengan tabel luas kurva normal ; sekarang luas merupakan kepala lajur sedangkan isian menjadi nilai t. Lajur paling kiri menyatakan derajat kebebasan. Biasanya diambil t menyatakan nilai t, sehingga disebelah kanannya terdapat luas sebesar . Jadi nilai t untuk kebebasan 10 sehingga luas bagian paling kanan 0,025 adalah t = 2,228. Karena distribusi t setangkup terhadap rataan nol, maka t1- = -t ; yaitu nilai t yang luas sebelah kanan 1 , atau luas sebelah kirinya , sama dengan minus nilai t yang luas bagian kananya . Untuk distribusi t dengan derajat kebebasan 10, t0,975 = -t0,025 = -2,228. Ini bearti bahwa nilai t peubah ukuran 111, diambil dari populasi normal, terletak antara -2,228 dan 2,228 dengan 0,95 ( Walpole, 1986 ).

Disolusi TerbandingMenurut Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2005, uji disolusi terbanding dilakukan untuk produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo, produk obat copy yang hanya berbeda kekuatan uji. Disolusi terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil disolusi. Tablet lepas cepatProduk obat copy dengan kekuatan berbeda, yang dibuat oleh pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika :- Semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg per satuan dosis), zat inaktifnya sama banyak untuk semua kekuatan;- Studi ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang lebih rendah);- Profil disolusinya mirip antar kekuatan, f2 > 50. Kapsul berisi butir-butir lepas lambatJika kekuatannya berbeda hanya dalam jumlah butir yang mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f2 > 50) dengan satu kondisi uji yang direkomendasi sudah cukup. Tablet lepas lambatJika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda kekuatan, dan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg per satuan dosis) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai mekanisme pelepasan obat yang sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo jika menunjukkan profil disolusi yang mirip, f2 > 50, dalam 3 pH yang berbeda (antara pH 1,2 dan 7,5) dengan metode uji yang direkomendasi.

Jika dilihat dari sistem BCS dapat diklasifikasikan menjadi:a. Kelarutan dalam air tinggi (dari zat aktif) :Jika dosis tertinggi yang direkomendasi WHO (jika terdapat dalam Daftar Obat Esensial WHO) atau kekuatan dosis tertinggi (yang ada di pasar) dari produk obat larut dalam < 250 ml media air pada kisaran pH 1,2 s/d 6,8 pada suhu 37 1o C. Penentuan kelarutan pada setiap pH harus dilakukan minimal triplo.b. Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif) : Jika absorpsi pada manusia > 85 % dibandingkan dosis intravena dari pembandingnya.

Karakteristik disolusi (dari produk obat lepas cepat) :a. Disolusi sangat cepat :Jika > 85% dari jumlah zat aktif yang tertera di label melarut dalam waktu < 15 menit dengan menggunakan alat basket pada 100 rpm atau alat paddle pada 50 rpm (atau 75 rpm jika terjadi coning) dalam volume < 900 ml masing-masing media berikut : (i) larutan HCl pH 1,2; (ii) dapar asetat pH 4,5; dan (iii) dapar fosfat pH 6,8.b. Disolusi cepat :`Sama dengan diatas tapi dalam waktu 30 menit.

Profil disolusi (dari produk obat) diantaranya adalah :a. Uji disolusi terbanding dilakukan dengan menggunakan metode basket pada 100 rpm atau metode paddle pada 50 rpm dalam media pH 1,2 (larutan HCl), pH 4,5 (buffer sitrat) dan pH 6,8 (buffer fosfat);b. Waktu waktu pengambilan sampel untuk produk obat lepas cepat : 10, 15, 30, 45, dan 60 menit;c. Digunakan produk obat minimal 12 unit dosis;d. Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f2 yang dihitung dengan persamaan berikut :Dimana :Rt = Persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk pembanding (R = reference)Tt = Persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji (T = test)- Nilai f2 50 atau lebih besar (50100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi kedua kurva, yang berarti kemiripan profil disolusi kedua produk;- Jika produk copy dan produk pembanding memiliki disolusi yang sangat cepat (> 85% melarut dalam waktu < 15 menit dalam ke-3 media dengan metode uji yang dianjurkan), perbandingan profil disolusi tidak diperlukan.Disamping itu harus ditunjukkan bahwa eksipien dalam komposisi produk obat sudah dikenal, bahwa tidak ada efek terhadap motilitas saluran cerna atau proses lain yang mempengaruhi absorpsi, juga diperkirakan tidak ada interaksi antara eksipien dan zat aktif yang dapat mengubah farmakokinetik zat aktif. Jika digunakan eksipien baru atau eksipien yang biasa digunakan tapi dalam jumlah yang luar biasa besar, diperlukan tambahan informasi yang menunjukkan tidak adanya dampak terhadap bioavailabilitas.Uji disolusi terbanding juga dapat digunakan untuk memastikan kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.