24
1 Jurnal Hortikultura, Tahun 2000, Volume 9, Nomor (4): 331-352 SISTEM PRODUKSI SAYURAN URBAN DAN PERI-URBAN DI KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG Witono Adiyoga, Mieke Ameriana, Rachman Suherman, Thomas Agoes Soetiarso, Bagus Kukuh Udiarto dan Ineu Sulastrini Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung - 40391 ABSTRAK. Adiyoga, W., M. Ameriana, R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. K. Udiarto dan I. Sulastrini. 1998. Sistem produksi sayuran urban dan peri-urban di Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 1997 sampai Februari 1998 di daerah urban dan peri-urban Bandung serta melibatkan 53 orang petani yang dipilih secara acak. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan karakterisasi sistem produksi sayuran urban dan peri-urban Bandung. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pola tanam antar ekosistem (dataran rendah: pola tanam berbasis padi; dataran medium: sayuran-sayuran-palawija, sayuran-palawija- sayuran, dan sayuran-palawija-palawija; dataran tinggi: sayuran-sayuran-sayuran). Pengamatan petani menyangkut dinamika lingkungan produksi bio-fisik selama lima tahun terakhir mengindikasikan terjadinya (a) pergeseran waktu tanam, (b) perubahan komoditas andalan, dan (c) peningkatan resiko usahatani. Penurunan kesuburan tanah diindikasikan oleh semakin menurunnya produksi rata-rata dan semakin meningkatnya kebutuhan input. Kendala ketersediaan lahan tercermin dari sebagian responden (>25%) yang lahan garapannya semakin sempit dalam tiga tahun terakhir. Penyemprotan rutin dan pencampuran yang mengarah pada penggunaan pestisida berlebih pada dasarnya dilakukan sebagai tindakan preventif untuk memperkecil resiko produksi. Analisis residu juga menunjukkan adanya residu pestisida yang melewati ambang toleransi. Berdasarkan urutan kepentingannya, tiga kendala utama produksi menurut persepsi petani adalah ketersediaan modal, fluktuasi harga dan insiden hama penyakit. Sementara itu, ketersediaan informasi teknis serta kesuburan tanah dipersepsi sebagai kendala produksi prioritas rendah. Secara spesifik, petani mengusulkan bahwa topik perbaikan budidaya sayuran yang paling dibutuhkan adalah pengendalian hama penyakit. Kata kunci: Karakterisasi; Sistem produksi; Peri-urban; Analisis residu. ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana, R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. K. Udiarto and I. Sulastrini. 1998. Urban and peri-urban vegetable production system in Kotamadya and Kabupaten Bandung. This study was conducted on December 1997 until February 1998 in Bandung urban and peri-urban areas, involving randomly selected 53 farmers. The objective of this study was to characterize vegetable production system in Bandung urban and peri-urban areas. Results show that cropping pattern varies among different ecosystems (low-land: rice based cropping system; medium-land: vegetables-vegetables-secondary crops, vegetables-secondary crops-vegetables, vegetables-secondary crops-secondary crops; high-land: vegetables-vegetables-vegetables. Farmers observe that the dynamics of bio-physical production environment in the last five years have caused (a) shifts in planting time, (b) changes in priority commodity, and (c) an increase in production risks. In the last five years, some farmers also observe a decrease in soil fertility as reflected by a decreasing yield and an increasing need of inputs. Limitation in land availability is indicated from the data showing that land size cultivated by some farmers (> 25%) is getting smaller in the last three years. Routine spraying and pesticide mixing are commonly practiced as preventive measures to minimize production risks. Pesticide use in highland areas is much more intensive than in lowland areas, and it even tends to be excessive. This is supported by the results from residue analysis for some vegetable crops that are above tolerable threshold. Three problems considered as the main production constraints as perceived by farmers, based on their ranks of importance are funds/capital availability, price fluctuation and pest and disease incidence. Meanwhile, technical information and soil fertility are perceived as low priority constraints. Specifically, farmers in both ecosystems suggest that controlling pest and disease is the most needed technology for improving vegetable production system. Key words: Characterization; Production system; Peri-urban; Residue analysis.

Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

1

Jurnal Hortikultura, Tahun 2000, Volume 9, Nomor (4): 331-352

SISTEM PRODUKSI SAYURAN URBAN DAN PERI-URBAN DI KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG

Witono Adiyoga, Mieke Ameriana, Rachman Suherman, Thomas Agoes Soetiarso, Bagus Kukuh

Udiarto dan Ineu Sulastrini

Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung - 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W., M. Ameriana, R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. K. Udiarto dan I. Sulastrini. 1998.

Sistem produksi sayuran urban dan peri-urban di Kotamadya dan Kabupaten Bandung. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Desember 1997 sampai Februari 1998 di daerah urban dan peri-urban Bandung serta

melibatkan 53 orang petani yang dipilih secara acak. Tujuan penelitian adalah untuk melakukan karakterisasi sistem

produksi sayuran urban dan peri-urban Bandung. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pola tanam antar

ekosistem (dataran rendah: pola tanam berbasis padi; dataran medium: sayuran-sayuran-palawija, sayuran-palawija-

sayuran, dan sayuran-palawija-palawija; dataran tinggi: sayuran-sayuran-sayuran). Pengamatan petani menyangkut

dinamika lingkungan produksi bio-fisik selama lima tahun terakhir mengindikasikan terjadinya (a) pergeseran waktu

tanam, (b) perubahan komoditas andalan, dan (c) peningkatan resiko usahatani. Penurunan kesuburan tanah

diindikasikan oleh semakin menurunnya produksi rata-rata dan semakin meningkatnya kebutuhan input. Kendala

ketersediaan lahan tercermin dari sebagian responden (>25%) yang lahan garapannya semakin sempit dalam tiga

tahun terakhir. Penyemprotan rutin dan pencampuran yang mengarah pada penggunaan pestisida berlebih pada

dasarnya dilakukan sebagai tindakan preventif untuk memperkecil resiko produksi. Analisis residu juga menunjukkan

adanya residu pestisida yang melewati ambang toleransi. Berdasarkan urutan kepentingannya, tiga kendala utama

produksi menurut persepsi petani adalah ketersediaan modal, fluktuasi harga dan insiden hama penyakit. Sementara

itu, ketersediaan informasi teknis serta kesuburan tanah dipersepsi sebagai kendala produksi prioritas rendah. Secara

spesifik, petani mengusulkan bahwa topik perbaikan budidaya sayuran yang paling dibutuhkan adalah pengendalian

hama penyakit.

Kata kunci: Karakterisasi; Sistem produksi; Peri-urban; Analisis residu.

ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana, R. Suherman, T. A. Soetiarso, B. K. Udiarto and I. Sulastrini. 1998.

Urban and peri-urban vegetable production system in Kotamadya and Kabupaten Bandung. This study was

conducted on December 1997 until February 1998 in Bandung urban and peri-urban areas, involving randomly

selected 53 farmers. The objective of this study was to characterize vegetable production system in Bandung urban

and peri-urban areas. Results show that cropping pattern varies among different ecosystems (low-land: rice based

cropping system; medium-land: vegetables-vegetables-secondary crops, vegetables-secondary crops-vegetables,

vegetables-secondary crops-secondary crops; high-land: vegetables-vegetables-vegetables. Farmers observe that the

dynamics of bio-physical production environment in the last five years have caused (a) shifts in planting time, (b)

changes in priority commodity, and (c) an increase in production risks. In the last five years, some farmers also

observe a decrease in soil fertility as reflected by a decreasing yield and an increasing need of inputs. Limitation in

land availability is indicated from the data showing that land size cultivated by some farmers (> 25%) is getting smaller

in the last three years. Routine spraying and pesticide mixing are commonly practiced as preventive measures to

minimize production risks. Pesticide use in highland areas is much more intensive than in lowland areas, and it even

tends to be excessive. This is supported by the results from residue analysis for some vegetable crops that are above

tolerable threshold. Three problems considered as the main production constraints as perceived by farmers, based on

their ranks of importance are funds/capital availability, price fluctuation and pest and disease incidence. Meanwhile,

technical information and soil fertility are perceived as low priority constraints. Specifically, farmers in both ecosystems

suggest that controlling pest and disease is the most needed technology for improving vegetable production system.

Key words: Characterization; Production system; Peri-urban; Residue analysis.

Page 2: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

2

Data estimasi Bank Dunia menunjukkan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan di

Indonesia akan meningkat rata-rata 3,9% per tahun selama periode 1995-2010 (Pasandaran dan

Hadi, 1994). Pengeluaran konsumsi sayuran per kapita penduduk perkotaan diperkirakan empat kali

lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran penduduk pedesaan (van Lieshout, 1992). Bank

Dunia juga memproyeksikan bahwa pada tahun 2005, jumlah penduduk perkotaan akan meningkat

menjadi 37%. Berbagai indikator tersebut menggambarkan bahwa peningkatan permintaan sayuran

dari penduduk perkotaan akan berlangsung lebih cepat dan signifikan (MacMillan et al., 1972).

Kebutuhan sayuran bagi penduduk kota besar sebagian besar dipasok oleh sentra-sentra

produksi yang lokasinya relatif jauh. Sementara itu, untuk jenis sayuran tertentu, misalnya sayuran

daun, sebagian besar dipasok oleh kantung-kantung produksi di daerah urban dan peri-urban.

Peranan kawasan tersebut dalam memenuhi kebutuhan sayuran sangat penting, terutama me-

nyangkut kontinuitas pasokan yang berlangsung sepanjang tahun. Secara implisit, kondisi ini

menggambarkan keunggulan komparatif daerah urban dan peri-urban dalam memproduksi jenis-

jenis sayuran tertentu dibandingkan dengan sentra-sentra produksi lainnya (Kleer, 1987). Namun

demikian, peran serta potensi daerah urban dan peri-urban seringkali kurang mendapat perhatian

karena informasi kualitatif dan data kuantitatif yang menjelaskan kontribusinya tidak tersedia

(Gutman, 1987; Jansen et al., 1994).

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan dan perkembangan

pasar, permintaan sayuran terutama di daerah perkotaan dipastikan akan semakin meningkat (Price

et al., 1980). Tingginya konsentrasi penduduk di daerah perkotaan yang pemenuhan kebutuhan

pangannya sangat tergantung pada pasokan dari luar, secara implisit menjanjikan pasar yang baik

bagi produk sayuran. Kondisi ini mendorong petani untuk mengusahakan lahannya secara lebih

intensif, sehingga cenderung mengarah kepada tipe pengusahaan padat-input (Saran, 1993).

Sistem produksi sayuran diduga juga memberikan andil cukup besar terhadap timbulnya gangguan

kestabilan ekologis. Ketergantungan terhadap penggunaan input kimiawi dan manipulasi sumber-

daya alam yang cenderung semakin meningkat merupakan dua hal penting yang mendorong

ketidak-stabilan sistem produksi (Waibel & Setboonsarng, 1993).

Bandung merupakan salah satu kota besar yang sebagian kebutuhan sayurannya sangat

bergantung pada pasokan dari daerah urban dan peri-urban. Pertumbuhan permintaan yang relatif

cepat menimbulkan tekanan terhadap kemampuan kawasan tersebut untuk menyediakan pasokan

sayuran secara kontinyu. Respon produsen sayuran terhadap tekanan ini merupakan isu penting

untuk diteliti. Produksi intensif dan penawaran sayuran sepanjang tahun dari kantung-kantung

produksi sekitar perkotaan, selain dihadapkan pada masalah konversi lahan produktif yang berjalan

cepat, juga menghadapi masalah-masalah lain meliputi polusi air tanah, penurunan produktivitas

lahan, tingginya tingkat residu, rendahnya kualitas produk dan tingginya kehilangan hasil (Jansen et

al., 1994). Berbagai masalah ini pada dasarnya merupakan indikasi bahwa sistem usahatani

sayuran urban/peri-urban diduga semakin menjauhi alur model pengembangan berkelanjutan.

Usaha pertanian yang bertumpu pada penggunaan input moderen diakui dapat mening-

katkan ketersediaan pangan, namun tidak selalu menunjukkan kontribusi yang nyata terhadap

usaha menghapuskan kemiskinan, malahan menimbulkan polusi dan degradasi lingkungan (Lynam

& Herdt, 1989). Dengan demikian, kebijakan yang mempromosikan penggunaan input moderen

untuk mencapai swa sembada, perlu dikaji kembali dan lebih diarahkan pada kebijakan untuk

mencapai keamanan pangan yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan (Lightfoot et al.,

1993). Mengacu pada berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkarakteri-

sasi sistem produksi sayuran di daerah urban dan peri-urban Bandung dan mengidentifikasi ken-

dala bio-fisik, sosial ekonomi dan kelembagaan yang berkaitan erat dengan pengembangan sistem

produksi sayuran di daerah urban dan peri-urban Bandung.

Page 3: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

3

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 1997 sampai Februari 1998. Lokasi

penelitian dikonsentrasikan untuk daerah urban dan peri-urban yang memasok sayuran untuk

Bandung dan sekitarnya. Pemilihan lokasi didasarkan pada kriteria: (1) kedekatan geografis

terhadap pusat konsumsi Bandung, (2) produksi dan penawaran/pasokan sayuran sepanjang tahun,

dan (3) jenis sayuran dataran tinggi dan sayuran dataran rendah. Berdasarkan kriteria tersebut, tiga

kecamatan yang terletak di wilayah Kotamadya Bandung dan dua kecamatan di Kabupaten

Bandung dipilih secara sengaja sebagai lokasi penelitian. Kelima kecamatan tersebut adalah:

Kec. Margacinta dan Bandung Kidul (ekosistem dataran rendah -- ketinggian < 400m) serta Kec.

Cibiru, Parongpong dan Cisarua (ekosistem dataran medium /tinggi -- ketinggian > 700 m). Jarak

ke pusat kota Bandung bervariasi antara 5-25 km dan dilengkapi dengan fasilitas tranportasi yang

memberikan jaminan akses ke pasar. Petani responden dipilih secara acak, sehingga diperoleh 14

orang responden untuk ekosistem dataran rendah dan 39 orang responden untuk ekosistem dataran

tinggi.

Penelitian ini memberikan penekanan pada kegiatan karakterisasi, sehingga cakupan data yang

dihimpun cukup ekstensif dan komprehensif. Melalui penggunaan kuesioner, wawancara dengan

petani diarahkan untuk menghimpun informasi menyangkut:

• karakteristik petani responden (usia, pendidikan, pengalaman, luas lahan garapan dan status

penguasaan lahan)

• jenis sayuran, pola tanam dan sistem penanaman

• indikator efisiensi finansial usahatani sayuran

• lingkungan produksi bio-fisik (iklim, curah hujan, persepsi kesuburan lahan)

• lingkungan produksi sosial ekonomi (ketersediaan sumberdaya, pemasaran dan kelembagaan)

• pengelolaan hara dan metode pengendalian hama penyakit

• kendala sistem produksi

Beberapa contoh tanaman juga dikumpulkan pada saat survai dan selanjutnya dianalisis residu

pestisidanya dengan menggunakan metode bio-assay.

Kodya Bandung

Kabupaten Bandung

CibiruCisarua

Parongpong

MargacintaBandung Kidul

Page 4: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Petani Responden

Struktur usia di atas 45 tahun (> 60%) ternyata mendominasi usia petani responden, baik

pada ekosistem dataran rendah maupun dataran tinggi. Sebagian besar petani responden

(> 70%) memiliki latar belakang pendidikan tidak tamat SD dan SD. Relatif rendahnya latar

belakang pendidikan formal ini diimbangi oleh pengalaman berusahatani yang dimiliki sebagian

besar responden (> 10 tahun). Luasan lahan sebagian besar petani responden dataran rendah

adalah < 0,25 hektar, sedangkan persentase petani yang menggarap lahan > 0,25 hektar tampak

lebih tinggi di ekosistem dataran tinggi. Sementara itu, persentase responden yang berstatus

sebagai pemilik penggarap ternyata relatif kecil baik di dataran rendah maupun dataran tinggi.

Khusus di dataran rendah, status “lainnya” (menggarap lahan milik orang lain sebelum dibangun,

tanpa ikatan tertentu) bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan status sewa.

Tabel 1 Karakteristik responden (Respondents’ characteristics)

No Karakteristik

(Characteristics)

Dataran Rendah

(Lowland)

n=14 (%)

Dataran Tinggi

(Highland)

n=39 (%)

1. Usia (Age)

25 - 35 tahun (years)

36 - 45 tahun (years)

46 - 55 tahun (years)

> 55 tahun (years)

14,3

14,3

42,8

28,6

12,8

17,9

43,6

25,7

2. Pendidikan

(Education)

< SD (< elementary school)

SD (elementary school)

SLTP (middle school)

SLTA (high school)

42,8

28,6

7,1

21,5

25,6

69,2

5,2

-

3. Pengalaman

(Experience)

3 - 10 tahun (years)

11 - 20 tahun (years)

21 - 30 tahun (years)

31 - 40 tahun (years)

35,7

35,7

14,3

14,3

23,1

30,7

38,5

7,7

4. Luas Lahan Garapan

(Farm size)

< 2 500 m2

2 501 - 5 000 m2

5 001 - 7 500 m2

7 500 - 10 000 m2

> 10 000 m2

50,0

21,5

21,5

-

7,0

35,9

35,9

7,6

15,4

5,2

5. Status Penguasaan

Lahan (Land tenure)

milik (owned)

sewa (rented)

bagi hasil (sharecropped)

lainnya (others)

7,1

28,6

21,5

42,8

28,2

58,9

2,6

10,3

4.3. Jenis Sayuran dan Pola Tanam

Jenis sayuran yang diusahakan pada ekosistem dataran rendah (kangkung, tomat,

mentimun, kacang merah, kacang panjang, kacang kapri, buncis, caisin, paria, cabai, terung) dan

dataran tinggi (tomat, cabai, bawang merah, kacang merah, kacang panjang, buncis, kubis

bunga, bawang daun, terung, caisin, kubis) cukup beragam. Beberapa jenis sayuran dapat

beradaptasi dan tumbuh baik di ke dua ekosistem, walaupun varietasnya berlainan. Disamping

Page 5: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

5

itu, ada pula jenis sayuran yang hanya diusahakan pada ekosistem tertentu, misalnya kangkung

di dataran rendah serta kubis dan kubis bunga di dataran tinggi.

Dataran rendah (Lowland):

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

padi

(rice)

ikan

(fish)

tomat

(tomatoes)

ikan

(fish)

padi

(rice)

tomat, mentimun, kacang merah

(tomatoes, cucumber, kidney bean)

ikan

(fish)

kangkung

(kangkong)

padi

(rice)

ikan

(fish)

Dataran medium/tinggi (Medium land / Highland):

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

bera

(fallow)

jagung

(corn)

cabai

(hot pepper)

cabai & b. merah

(hot pepper & shallot)

tomat

(tomatoes)

bera

(fallow)

cabai dan bawang merah

(hot pepper & shallot)

kemangi/kapri/terung

(kemangi/peas/egg-

plant)

kacang panjang/buncis/paria

(yardlong bean/kidney

bean/paria)

wortel/tomat/kacang panjang/

jagung (carrot/tomato/yardlong

bean/corn)

kubis bunga/tomat

(cauliflower/tomato)

b daun

(bunc

onion)

Gambar 1. Alternatif pola tanam dominan di dataran rendah dan medium/tinggi (Cropping pattern alternatives in

lowland and medium-land/highland)

Pola tanam di ekosistem dataran rendah pada dasarnya merupakan pola tanam berbasis

padi. Dari setiap alternatif pola tanam setahun yang dominan dilakukan oleh petani, padi dan/atau

ikan selalu diusahakan minimal masing-masing satu kali. Dalam kaitan ini, komoditas sayuran

hanya merupakan salah satu komponen pola tanam secara keseluruhan. Sistem produksi sayur-

an pada ekosistem dataran rendah ternyata masih banyak yang bersifat monokultur. Sehubungan

dengan keterbatasan ketersediaan lahan, sistem tersebut masih memberikan peluang pengem-

bangan yang diarahkan untuk meningkatkan nisbah kesetaraan tanah.

Sementara itu, pola tanam pada ekosistem dataran medium dan tinggi menunjukkan

tingkat keragaman yang lebih tinggi. Di dataran medium, terutama pada lahan kering datar

sampai bergelombang, pola tanam yang sering dilaksanakan petani adalah: (1) sayuran-sayuran-

palawija, (2) sayuran-palawija-sayuran, dan (3) sayuran-palawija-palawija. Pada ekosistem

dataran tinggi, pola tanam dominan adalah sayuran-sayuran-sayuran. Sistem pergiliran tanaman

dan kombinasi tanaman dalam sistem produksi tumpang sari juga menunjukkan keragaman yang

tinggi. Perbandingan pola tanam antara dua ekosistem ini memberikan indikasi bahwa

penggunaan lahan di dataran tinggi cenderung lebih intensif.

Pada umumnya petani memilih sistem produksi monokultur berdasarkan pertimbangan

bahwa sistem ini memungkinkan tanaman utama untuk tumbuh lebih baik. Sementara itu, alasan

penting yang melatar-belakangi pemilihan sistem produksi tumpangsari adalah (a) efisiensi biaya,

dan (b) mengurangi resiko usahatani.

Page 6: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

6

Tabel 2 Sistem produksi dan alasan pemilihannya (Production system and the reason for choosing it)

Dataran Rendah

(Lowland) n=14 (%)

Dataran Tinggi

(Highland) n=39 (%)

Sistem monokultur (Mono-cropping system) 71,4 51,3

Sistem tumpangsari (Multiple-cropping system) 28,6 48,7

Alasan monokultur (Reasons for mono-cropping)

pengelolaan lebih mudah (easier management)

produksi lebih baik (better/higher yield)

kebiasaan (habit)

10,0

90,0

-

20,0

65,0

15,0

Alasan tumpangsari (Reasons for multiple-cropping)

efisiensi penggunaan lahan (land-use efficiency)

efisiensi penggunaan biaya (cost efficiency)

mengurangi resiko kegagalan (reducing risks)

25,0

25,0

50,0

26,3

52,6

21,1

Pada ekosistem dataran rendah, secara konsisten petani menganggap bahwa tomat me-

rupakan komoditas yang paling dikuasai teknik budidayanya serta paling menguntungkan. Na-

mun demikian, pengusahaannya membutuhkan biaya paling tinggi dan sekaligus dianggap paling

beresiko dibandingkan dengan jenis komoditas sayuran lainnya. Pada ekosistem dataran tinggi,

komoditas yang paling dikuasai teknik budidayanya berturut-turut adalah kubis bunga, cabai,

tomat dan buncis. Jenis sayuran yang seringkali menjadi andalan petani adalah tomat dan cabai.

Pada ekosistem ini, petani juga menganggap tomat sebagai komoditas yang memerlukan biaya

paling tinggi serta memiliki tingkat resiko kegagalan yang tinggi.

Tabel 3 Persepsi petani menyangkut beberapa aspek pengusahaan sayuran selama lima tahun terakhir (Cultivating

particular vegetables in the last five years as perceived by farmers)

budidaya paling

dikuasai

(most

manageable)

(%)

paling me-

nguntungkan

(most profitable)

(%)

resiko paling

tinggi

(highest risk)

(%)

biaya produksi

paling tinggi

(highest cost)

(%)

Dataran rendah (Lowland): n=14

buncis (kidney bean) 7,1 7,1 - -

tomat (tomato) 50,0 57,2 50,0 50,0

mentimun (cucumber) 7,1 - - -

kangkung (kangkong) 14,3 21,5 21,5 -

kacang merah (french bean) 21,5 7,1 21,4 -

kacang panjang (yardlong bean) - 7,1 - -

cabai (hot pepper) - - - 28,6

bawang merah (shallot) - - 7,1 21,4

Dataran tinggi (Highland): n=39

kubis bunga (cauliflower) 23,1 15,3 5,1 5,1

tomat (tomato) 17,9 25,6 64,1 61,5

bawang daun (bunching onion) 2,6 2,6 - -

kacang panjang (yardlong bean) 12,8 10,3 2,6 2,6

buncis (kidney bean) 17,9 12,8 2,6 5,1

terung (eggplant) 2,6 2,6 - -

selada air - 2,6 - -

caisin (chinese cabbage) - - 2,6 -

cabai (hot pepper) 20,5 23,1 15,3 23,1

bawang merah (shallot) 2,6 5,1 7,7 2,6

Page 7: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

7

4.4. Indikator Efisiensi Finansial Usahatani Sayuran

Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi finansial usahatani

adalah besaran rasio antara nilai output dengan nilai input. Tabel 4 memperlihatkan indikator

efisiensi finansial dari usahatani beberapa jenis komoditas sayuran di Kotamadya dan Kabupaten

Bandung. Informasi yang diperoleh pada saat penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun

pengusahaan komoditas sayuran mengalami kerugian. Indikasi ini harus diinterpretasikan secara

hati-hati karena jika terjadi perubahan harga output, maka besaran rasio antara nilai output

dengan nilai input juga akan berubah. Analisis usahatani juga menghitung biaya produksi per unit

atau titik impas harga untuk setiap jenis sayuran yang diusahakan. Fluktuasi harga sayuran yang

tajam seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga yang berada di bawah titik impas.

Kemungkinan ini dapat terjadi untuk semua jenis sayuran, sehingga peluang mengalami kerugian

yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 4 sebenarnya juga cukup tinggi. Besarnya

Tabel 4 Indikator efisiensi finansial usahatani sayuran, 1996 (Indicators of financial efficiency in vegetable cultivation)

Komoditas

(Commodity)

Produksi

(Yield)

kg/ha

Harga Jual

(Selling

Price)

Rp./kg

Pendapatan

Kotor (Gross

Revenue)

000 Rp.

Biaya Produksi

(Cost of

Production)

000 Rp.

Pendapatan Bersih

(Net

Revenue)

000 Rp.

Biaya per Unit

(Unit Cost)

Rp/kg

Nisbah Pendapatan

Biaya

(Revenue-

Cost Ratio)

Cabai

(Hot pepper)

15 750 500 7 875 4 405,9 3 469,1 279,7 1,78

Mentimun

(Cucumber)

58 000 100 5 800 3 058,3 2 741,7 52,7 1,89

Tomat

(Tomato)

30 000 200 6 000 3 842,1 2 157,9 128,2 1,56

Kubis

(Cabbage)

30 000 200 6 000 4 545,0 1 455,0 151,5 1,32

Terung

(Eggplant)

15 000 300 4 500 1 854,0 2 646,0 123,6 2,42

Kacang panjang

(Yardlong bean)

5 000 700 3 500 1 819,0 1 681,0 363,8 1,92

Kentang

(Potato)

14 750 650 9 587,5 6 312,5 3 275,0 427,9 1,52

Bawang merah

(Shallot)

5 300 1 000 5 300 4 232,1 1 067,9 798,5 1,25

Wortel

(Carrot)

8 772 400 3 508,8 1 492,2 2 016,6 170,1 2,35

Kubis bunga

(Cauliflower)

28 700 300 8 610 4 576,2 4 033,8 159,4 1,88

Kangkung

(Kangkong)

40 000 75 3 000 1 580,0 1 420,0 39,5 1,90

biaya produksi ternyata tidak selalu merupakan faktor utama yang menentukan pemilihan

komoditas., khususnya di dataran rendah. Hal ini tampaknya berkaitan erat dengan lebih

terbatasnya alternatif pilihan komoditas sayuran di dataran rendah (dibandingkan dengan di

dataran tinggi), terutama dikaitkan dengan kesesuaiannya sebagai salah satu komponen dalam

pola tanam berbasis padi.

Pada saat kegiatan penelitian ini dilaksanakan, salah satu fenomena penting yang

sedang terjadi di lapangan adalah kenaikan harga sarana produksi, terutama pupuk dan

pestisida. Harga pupuk buatan meningkat 30-60%, sedangkan harga pestisida meningkat antara

100-200%. Konsekuensi dari kenaikan harga dua jenis input ini adalah meningkatnya biaya

produksi secara keseluruhan. Namun demikian, sebagaian besar petani responden di kedua

ekosistem cenderung berkeinginan untuk tetap mempertahankan volume dari komposisi input

yang digunakan. Petani pada umumnya beranggapan bahwa pengurangan volume input akan

Page 8: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

8

menurunkan produksi dan meningkatkan resiko kegagalan usahatani (Tabel 5). Berkenaan

dengan kenaikan harga pestisida, jika teknologi pengendalian hama terpadu dapat menawarkan

kompensasi terhadap resiko yang mungkin timbul dari pengurangan penggunaan pestisida, maka

teknologi tersebut berpeluang untuk diadopsi secara lebih cepat oleh petani.

Tabel 5 Persepsi petani menyangkut biaya produksi usahatani (Farmers’ perception regarding production costs)

No Uraian

(Description)

Dat. Rendah

(Lowland)

Dat. Tinggi

(Highland)

1. Respon petani terhadap biaya produksi yang semakin meningkat

(Farmers’ response to the increasing cost of production)

• tetap mempertahankan volume komposisi input yang digunakan

(keep maintaining the volume of input composition currently used)

• melakukan penghematan dengan mengurangi volume input yang

digunakan (cost-saving by reducing the volume of inputs used)

57,1

42,9

71,8

28,2

2. Biaya produksi menentukan pilihan petani untuk mengusahakan

komoditas tertentu (the amount of production cost influences farmers’

choice in cultivating a particular commodity)

• selalu (always)

• tidak selalu (not always)

21,4

78,6

53,8

46,2

4.5. Lingkungan Produksi Bio Fisik

Disatu sisi, berbagai faktor biofisik merupakan pendukung sistem produksi, namun dilain

sisi sekaligus sering juga merupakan kendala yang harus selalu dicermati. Petani mengelola

lingkungan biofisik yang dihadapi sesuai dengan suatu pola atau perhitungan yang dikembangkan

berdasarkan pengalaman berusahatani. Seringkali pola/perhitungan ini bersifat kualitatif, tetapi

sangat fleksibel dalam merespon dinamika lingkungan produksi biofisik.

Data hujan selama empat tahun terakhir menunjukkan adanya penurunan curah hujan

yang cukup signifikan. Disamping itu, musim kemarau panjang dalam dua tahun terakhir ini

menghadapkan petani pada masalah kekurangan air. Sebagian besar petani responden dikedua

ekosistem menyatakan bahwa kondisi iklim dan curah hujan selama lima tahun terakhir semakin

sukar diramalkan, sehingga perhitungan musim yang biasa dilakukan dalam perencanaan

usahatani sering meleset. Petani responden juga mengindikasikan bahwa dinamika lingkungan

produksi biofisik selama lima tahun terakhir secara berturut-turut menyebabkan terjadinya (a)

pergeseran waktu tanam, (b) perubahan jenis komoditas andalan, dan (c) peningkatan resiko

usahatani. Selama lima tahun terakhir, sebagian besar petani responden di ekosistem dataran

rendah dan dataran tinggi juga mengamati adanya penurunan kesuburan tanah. Dua hal utama

yang menurut petani memberikan indikasi adanya penurunan kesuburan tanah adalah (a)

semakin menurunnya produksi rata-rata yang dicapai, dan (b) semakin meningkatnya kebutuhan

input.

Page 9: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

9

Tabel 6 Persepsi petani menyangkut dinamika lingkungan produksi biofisik (Farmers’ perceptions with regard to the

dynamic of biophysical production circumstances)

No Uraian

(Description)

Dataran

Rendah

(Lowland)

Dataran

Tinggi

(Highland)

1. Persepsi petani berkenaan dengan kondisi iklim dan curah hujan selama lima

tahun terakhir (Farmers’ perceptions with regard to climate and rainfall condition in the last five years)

• masih dapat diramalkan sesuai dengan perhitungan musim yang biasa

dilakukan dalam perencanaan usahatani (it still can be pre-dicted according to the calculation being made in the planning stage)

• semakin sukar diramalkan sehingga perhitungan musim yang biasa

dilakukan dalam perencanaan usahatani sering meleset (getting more difficult to be predicted by the calculation being made in the planning stage)

35,7

64,3

12,8

87,2

2. Persepsi petani berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada

usahatani sejalan dengan perkembangan iklim dan curah hujan selama lima

tahun terakhir (Farmers’ perceptions with regard to changes in the vegetable production system as a consequence of changes in climate and rainfall in the last five years)

• terjadi perubahan jenis komoditas andalan yang diusahakan (there are changes in the main commodity being cultivated)

• terjadi perubahan atau pergeseran waktu tanam (there are changes or shifts in the time of planting)

• terjadi perubahan tingkat resiko usahatani yang cenderung semakin tinggi (there are changes in the farming risks that tend to be higher)

• terjadi penurunan produksi sayuran dari daerah sekitar (there is a decrease in vegetable production in the neighboring areas)

21,4

42,8

21,4

14,4

28,2

35,9

20,5

15,4

3. Persepsi petani menyangkut terjadinya penurunan kesuburan selama lima tahun

terakhir pada lahan yang sama (Farmers’ perceptions with regard to land fertility degradation in the last five years) ya, (yes) tercermin dari (as reflected by):

• produksi rata-rata yang semakin menurun (a decrease in the average of production)

• kebutuhan input yang semakin meningkat (an increase in inputs requirement)

tidak, (no) tercermin dari (as reflected by):

• produksi rata-rata relatif tetap (the average of production is relatively stable)

• pola tanam tidak berubah (there is no significant change in cropping pattern)

71,4

70,0

30,0

28,6

75,0

25,0

79,5

77,4

22,6

20,5

87,5

12,5

4.6. Lingkungan Produksi Sosial Ekonomi

Salah satu kendala pengembangan sistem produksi sayuran di daerah urban dan peri-

urban adalah keterbatasan ketersediaan lahan. Keterbatasan ini semakin terasa sejalan dengan

cepatnya konversi lahan yang awalnya merupakan lahan pertanian produktif menjadi lahan non-

pertanian. Kecenderungan ini tampaknya tidak dapat dihindarkan karena merupakan konsekuensi

langsung dari perkembangan daerah perkotaan. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar

petani di ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi memberikan konfirmasi mengenai ke-

terbatasan lahan ini melalui kenyataan semakin sukarnya memperoleh lahan sewa atau sakap

dalam tiga tahun terakhir. Hal ini juga diperjelas dengan relatif tetapnya luas lahan yang digarap

oleh sebagian besar responden di kedua ekosistem. Sebagian responden (> 25%) bahkan

menyatakan bahwa lahan garapannya semakin sempit dalam tiga terakhir ini. Sebagian besar

petani responden (> 50%) pada ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi menggunakan

tenaga kerja keluarga (2 orang anggota keluarga/suami dan isteri) dalam mengelola usahatani.

Disamping tenaga kerja keluarga, sebagian besar responden (> 75%) juga menggunakan tenaga

kerja luar keluarga mulai dari aktivitas pengolahan lahan sampai panen.

Page 10: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

10

Tabel 7 Lahan , tenaga kerja, modal dan ketersediaan sarana produksi (Land, labor, capital and production inputs

availability)

No Uraian

(Description)

Dataran Rendah

(Lowland)

Dataran Tinggi

(Highland)

1. Kecenderungan memperoleh lahan sewa atau sakap dalam tiga tahun terakhir

(Trend in obtaining rented or sharecropped land in the last three years)

• tetap mudah (still easy)

• makin sukar (getting more difficult)

35,7 64,3

43,6 56,4

2. Perkembangan luas lahan garapan (milik/sewa/bagi hasil) dalam tiga tahun

terakhir (The size of cultivated land -- owned, rented, sharecropped -- in the

last three years)

• makin luas (getting larger)

• makin sempit (getting smaller)

• relatif tetap (relatively unchanged)

- 35,7 64,3

5,1 25,6 69,3

3. Anggota keluarga yang terlibat langsung dalam pengelolaan usahatani

(Member of the family directly involved in farm management)

• satu orang (one person)

• dua orang (two persons)

• lebih dari dua orang (more than two persons)

28,6 64,3 7,1

5,1 53,8 41,1

4. Menggunakan tenaga kerja luar keluarga/sewa (Using hired labor)

• ya (yes)

• tidak (no)

78,6 21,4

87,2 12,8

5. Kecenderungan memperoleh tenaga kerja luar keluarga dalam tiga tahun

terakhir (Trend in obtaining hired labor in the last three years)

• tetap mudah (still easy)

• semakin sukar (getting more difficult)

57,1 42,9

82,1 17,9

6. Menggunakan dana pinjaman sebagai modal utama atau tambahan untuk

usahatani (Using loan for farming activities)

• ya (yes)

• tidak (no)

35,7 64,3

38,5 61,5

7. Sumber dana pinjaman (Loan sources)

• keluarga (family)

• pedagang (traders

• koperasi (cooperative unit

• bank (bank)

60,0 40,0 - -

26,7 46,7 6,6 20,0

8. Pasar sarana produksi dapat memenuhi semua jenis input yang dibutuhkan

(Market can provide all kind of inputs needed)

• ya (yes)

• tidak (no)

85,7 14,3

92,3 7,7

9. Masalah yang dihadapi menyangkut sarana produksi (Problems confronted

regarding production inputs)

• tidak tersedianya sarana produksi tertentu (particular inputs are not

available)

• kualitas sarana produksi yang kurang baik (quality of production inputs is

less appropriate)

• harga sarana produksi yang mahal (price of production input is

expensive)

21,4

21,4

57,2

5,1

5,1

89,8

Selama tiga tahun terakhir, petani responden (> 50%) berpendapat masih tetap mudah untuk

memperoleh tenaga kerja luar keluarga. Namun demikian, proporsi petani yang menyatakan

semakin sukar untuk mendapatkan tenaga kerja luar keluarga ternyata lebih tinggi di ekosistem

dataran rendah dibandingkan dengan ekosistem dataran tinggi. Hal ini mencerminkan lebih

terbatasnya ketersediaan tenaga kerja luar keluarga untuk sektor pertanian di daerah urban

dibandingkan dengan daerah peri-urban.

Persentase petani responden yang menggunakan dana pinjaman sebagai modal utama

atau tambahan ternyata lebih kecil dibandingkan dengan petani yang menggunakan dana sendiri.

Sumber dana pinjaman bagi petani di ekosistem dataran rendah sebagian besar adalah keluarga,

sedangkan bagi petani di dataran tinggi kebutuhan modal produksi banyak ditawarkan oleh

pedagang. Khusus untuk pinjaman modal dari pedagang, petani sebenarnya juga menyadari

bahwa skim tersebut melemahkan posisi tawar menawarnya. Namun demikian, tidak dapat di-

Page 11: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

11

pungkiri bahwa skim ini juga memberikan kemudahan bagi petani ditinjau dari sisi prosedural

serta pemasaran produk. Sumber pinjaman dari bank tampaknya hanya dimanfaatkan oleh petani

di ekosistem dataran tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh kemampuan yang lebih tinggi dari

petani di ekosistem tersebut untuk menyediakan jaminan serta penilaian dari pihak bank yang

lebih baik ditinjau dari sisi kelayakan usaha.

Pada umumnya, petani responden di ekosistem dataran rendah dan dataran tinggi me-

rasa tidak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi dari pasar di sekitar

lokasi usahatani. Jenis sarana produksi yang seringkali harus dipenuhi dari luar lokasi adalah

benih/bibit dan pupuk kandang. Sementara itu, masalah yang dirasakan oleh sebagian besar

petani responden adalah semakin meningkatnya harga sarana produksi, terutama pestisida.

Selama tiga tahun terakhir, sebagian besar petani mengamati adanya peningkatan ter-

hadap permintaan sayuran (Tabel 8). Namun demikian, petani berpendapat bahwa peningkatan

permintaan tersebut belum terasa dampaknya terhadap peningkatan pendapatan usahatani.

Menurut petani, peningkatan permintaan sayuran masih belum dapat mengurangi resiko kerugian

usahatani yang diakibatkan oleh fluktuasi harga. Tampaknya peningkatan permintaan telah

memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi sayuran, tetapi belum diimbangi

dengan perbaikan infrastruktur dan kelembagaan di sisi pemasaran.

Tabel 8 Cara penjualan, sistem pembayaran dan pemasaran (Selling method, payment system, and marketing)

No Uraian

(Description)

Dataran

Rendah

(Lowland)

Dataran

Tinggi

(Highland)

1. Persepsi petani mengenai permintaan sayuran dalam 3 tahun terakhir (Farmers’ perceptions of the demand for vegetables in the last three years)

• semakin meningkat (increasing)

• semakin menurun (decreasing)

• relatif tetap (relatively stable)

50,0

7,1

42,9

71,8

12,8

15,4

2. Cara penjualan produk dan alasannya (Selling method and its reasoning)

ditebas, dengan alasan (directly sold in the field, since):

• dapat menerima sejumlah uang sekaligus (a significant amount of money can be received simultaneously)

• harga pada saat transaksi sedang relatif baik atau sudah menguntungkan (price at the time of transaction is relatively high)

• lebih praktis, tidak perlu mengeluarkan biaya tenaga kerja panen (more practical, farmers do not have to spend money for harvesting)

ditimbang, dengan alasan (product is weighed, since) :

• volume penjualan tidak terlalu besar (selling volume is not too high)

• peluang memperoleh keuntungan lebih tinggi (there is an opportunity to get higher profit)

• agar besaran produksi dapat diketahui secara lebih jelas (to get an accurate magnitude of the actual yield)

64,3

22,2

33,3

44,5

35,7

40,0

60,0

-

76,9

26,7

26,7

46,6

23,1

-

77,7

22,3

3. Produk pada umumnya dijual ke (Products are commonly sold to)

• pedagang perantara/pengumpul/bandar (assembly traders)

• langsung ke pasar (directoly to the market)

71,4

28,6

92,3

7,7

4. Sistem pembayaran yang dominan digunakan (Payment system used)

• tunai (cash)

• kemudian (paid later)

71,4

28,6

56,4

43,6

5. Cakupan wilayah pemasaran produk (Region covered in marketing)

• Bandung dan sekitarnya (Bandung and its periphery)

• Bandung dan luar Bandung (Bandung and outer Bandung)

92,8

7,2

23,1

76,9

Page 12: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

12

Tebasan merupakan sistem penjualan produk yang dipilih oleh sebagian besar petani

responden (> 60%) di dataran rendah maupun dataran tinggi. Petani memilih tebasan karena

dianggap lebih praktis, cukup menguntungkan dan dapat menerima uang penjualan secara

sekaligus. Sementara itu, sebagian petani yang menggunakan sistem ditimbang menyatakan

bahwa sistem ini memberikan peluang untuk memperoleh keuntungan lebih tinggi karena petani

dapat menentukan kapan dan kepada siapa menjual produknya.

Pemasaran produk kepada pedagang perantara/pengumpul/bandar merupakan pilihan

sebagian besar petani responden (> 70%). Persentase petani yang menjual produknya langsung

ke pasar di ekosistem dataran rendah ternyata lebih besar dibandingkan dengan di ekosistem

dataran tinggi. Hal ini terutama dimungkinkan karena jarak ke pasar yang lebih dekat. Sistem

pembayaran tunai ternyata ditempuh oleh sebagian besar petani responden. Namun demikian,

persentase petani yang menggunakan sistem pembayaran kemudian juga cukup tinggi di eko-

sistem dataran tinggi. Petani di ekosistem dataran rendah lebih banyak memasarkan produknya

ke daerah Bandung dan sekitarnya, sedangkan petani di dataran tinggi tidak saja memasarkan

produknya ke daerah Bandung, tetapi juga ke luar Bandung (Bogor, Jakarta, Semarang).

Hanya sebagian kecil petani responden (< 15%) di ekosistem dataran rendah maupun

tinggi yang pernah mendapatkan penyuluhan khusus mengenai sayuran (Tabel 9). Petugas

penyuluh merasa bahwa salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya penyuluhan

sayuran ini belum atau kurang lengkapnya pengetahuan petugas menyangkut budidaya sayuran.

Disisi lain, program pelatihan yang ditawarkan kepada penyuluh, khususnya mengenai budidaya

atau pengembangan sayuran, juga sangat terbatas. Sementara itu, program penyuluhan

menyangkut topik budidaya sayuran secara umum, justru merupakan usulan permintaan semua

petani responden. Rendahnya intensitas penyuluhan ini juga tidak ditunjang oleh perkembangan

kelompok tani yang sebenarnya dapat membantu

Tabel 9 Penyuluhan, kelompok tani dan koperasi (Extension, farmer-group, and cooperative unit)

No Uraian (Description)

Dataran

Rendah (Lowland)

Dataran

Tinggi (Highland)

1. Pernah mendapatkan penyuluhan khusus untuk budidaya sayuran (Receiving a special extension program on vegetable cultural practices)

• ya (yes)

• tidak (no)

14,28

85,72

12,82

87,18

2. Usulan topik untuk penyuluhan sayuran (Topics proposed for vegetable extension program)

• budidaya komoditas sayuran (cultural practices)

• pasca panen dan pemasaran sayuran (postharvest and marketing)

• pembinaan kelompok tani sayuran (empowerment of farmer-group)

100,0

-

-

100,0

-

-

3. Keanggotaan dalam kelompok tani (Member of a farmer-group)

• ya (yes)

• tidak (no)

-

100,0

7,6

92,4

4. Keanggotaan dalam koperasi (Member of a cooperative unit)

• ya (yes)

• tidak (no)

7,1

92,9

33,3

66,7

diseminasi pengetahuan antar petani. Keterlibatan petani dalam koperasi sebagai salah satu

kelembagaan penunjang juga sangat terbatas. Proporsi petani responden yang menjadi anggota

koperasi (terutama koperasi susu) ternyata lebih besar di ekosistem dataran tinggi.

Page 13: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

13

4.7. Pengelolaan Hara dan Metode Pengendalian Hama Penyakit

Penggunaan pupuk kandang dan pupuk buatan di ekosistem dataran rendah maupun

dataran tinggi sangat beragam. Keragaman ini tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi juga

jenis pupuk yang digunakan. Konsekuensi dari keragaman penggunaan pupuk ini adalah

terjadinya perbedaan produktivitas antar usahatani. Tabel 10 dan 11 menunjukkan adanya

perbedaan intensitas penggunaan pupuk kandang dan pupuk buatan yang diindikasikan oleh

lebarnya kisaran penggunaan, baik secara individual maupun total. Ditinjau dari penggunaan

pupuk, pengusahaan komoditas sayuran di dataran tinggi cenderung dilakukan secara lebih

intensif dibandingkan dengan di dataran rendah. Informasi kuantitatif pada kedua tabel tersebut

juga mengindikasikan adanya penggunaan pupuk yang cenderung berlebihan. Disamping

menggunakan pupuk tunggal (Urea, TSP, ZA, KCl), kebanyakan petani juga menggunakan pupuk

majemuk (NPK).

Tabel 10 Kisaran penggunaan pupuk organik dan anorganik di dataran rendah dan tinggi (Range of organic and

inorganic fertilizers use in lowland and highland)

Ekosistem

(Ecosystem)

Komoditas

(Commodity)

Pupuk Organik/Anorganik

(Org/Inorg. Fertilizer)

Kisaran (kg/ha)

(Range) Dataran Rendah

(Lowland)

Tomat

(Tomato)

Ayam (Chicken)

Kambing (Goat) Urea ZA TSP KCl NPK

1 428, 57 - 14 285, 70 2 142, 86 - 8 928, 57 71, 43 - 171, 43 39, 68 - 428, 57 42, 86 - 71, 43 42, 86 - 71, 43 42, 86 - 196, 43

Kangkung

(Kangkong)

Ayam (Chicken)

Kambing (Goat) Urea NPK

178, 57 - 2 700, 00 2 300, 00 - 4 761, 90 178, 57 - 1 000, 00 50, 00 - 2 500, 00

Kacang Merah

(French Bean)

Ayam (Chicken) Urea NPK

2 142, 86 - 3 571, 43 428, 57 - 1 190, 48 57, 14 - 2 380, 95

Dataran Tinggi

(Highland)

Cabai

(Hot pepper)

Ayam (Chicken)

Sapi (Cow) Urea ZA TSP KCl NPK

1 071, 43 - 7 142, 86 5 714, 29 - 28 571, 43 71, 43 - 476, 19 71, 43 - 952, 38 85, 71 - 1 178, 57 214, 29 - 285, 71 107, 14 - 690, 48

Cabai + Tomat

(Hot pepper + Tomato)

Ayam (Chicken) NPK ZA TSP KCl

1 428, 57 - 4 464, 29 133, 93 - 238, 10 238, 10 - 357, 14 178, 57 - 238, 10 178, 57 - 238, 10

Kubis Bunga

(Cauliflower)

Ayam (Chicken)

Sapi (Cow) NPK ZA TSP Urea

2 142, 86 - 5 357, 14 17 857, 14 - 35 714, 29 214, 29 - 1 071, 43 238, 10 - 1 071, 43 214, 29 - 1 071, 43 238, 10 - 535, 71

Tomat

(Tomato)

Sapi (Cow) NPK Urea ZA TSP

19 047, 62 - 47 619, 05 178, 57 - 595, 24 223, 21 - 1 190, 48 357, 14 - 1 190, 48 267, 86 - 1 309, 52

Page 14: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

14

Kacang Panjang

(Yardlong bean)

Kambing (Goat) TSP Urea ZA NPK

10 714, 29 - 25 714, 29 47, 62 - 510, 20 95, 24 - 964, 29 142, 86 - 428, 57 107, 14 - 200, 00

Buncis

(Kidney bean)

Ayam (Chicken)

Kambing (Goat) TSP Urea NPK ZA

2 857, 14 - 8 571, 43 7 827, 79 - 10 714, 29 178, 57 - 535, 71 142, 86 - 391, 39 107, 14 - 750, 00 342, 47 - 785, 71

Tabel 11 Kombinasi dominan penggunaan pupuk anorganik di dataran rendah dan tinggi (Combination of inorganic

fertilizer mostly used in lowland and highland)

Ekosistem

(Ecosystem)

Komoditas

(Commodity)

Kombinasi Dominan

(Dominant Combination)

Kisaran Total Penggunaan

(Range of Total Fertilizer

Used) (kg/ha)

Dataran Rendah (Lowland) Tomat

(Tomato)

Urea, ZA, NPK 277, 78 - 750, 00

Kangkung

(Kangkong)

Urea, NPK 178, 57 - 550, 00

Kacang Merah

(French bean)

Urea, NPK 485, 71 - 761, 49

Dataran Tinggi (Highland)

Cabai

(Hot pepper)

Urea, ZA, TSP, NPK

ZA, TSP, KCl, NPK

ZA, TSP, NPK

714, 29 - 1 190, 59

1 071, 43 - 2 142, 86

857, 13 - 2 857, 14

Cabai + Tomat

(Hot pepper +

Tomato)

ZA, TSP, KCl, NPK 848, 21 - 952, 40

Kubis bunga

(Cauliflower)

Urea, ZA, TSP, NPK

ZA, TSP, NPK

1 000, 10 - 2 892, 86

964, 29 - 2 142, 85

Tomat

(Tomato)

Urea, ZA, TSP, NPK 1 214, 28 - 4 285, 72

Kacang Panjang

(Yardlong bean)

Urea, ZA, TSP, NPK

Urea, ZA, TSP

785, 71 - 1 214, 28

571, 43 - 1 678, 58

Buncis

(Kidney bean)

Urea, ZA, TSP, NPK 839, 28 - 2 392, 85

Sebagian besar petani responden di ekosistem dataran rendah menggunakan pupuk kan-

dang dengan memberikannya secara setempat di dekat/sekitar tanaman (Tabel 12). Di ekosistem

dataran tinggi, petani cenderung menggunakan pupuk kandang dengan menebarkannya pada

lahan yang akan ditanami. Perbedaan cara pemberian juga ternyata berlaku untuk penggunaan

pupuk buatan. Petani di dataran rendah membenamkan pupuk buatan di sekitar tanaman,

sedangkan petani di dataran tinggi menghamparkannya pada garitan, kemudian ditimbuni tanah.

Page 15: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

15

Sementara itu, terlepas dari data kuantitatif yang dikemukakan sebelumnya, sebagian besar

petani responden menyatakan bahwa penggunaan pupuk masih berada pada tingkat yang wajar,

sesuai dengan kebutuhan tanaman. Persentase petani yang menganggap bahwa penggunaan

pupuk cenderung berlebihan bahkan lebih rendah dibandingkan dengan persentase petani yang

menyatakan bahwa penggunaan pupuk masih di bawah standar. Terlebih lagi, sebagian besar

petani juga menyatakan tidak akan mengurangi dosis pupuk walaupun harga naik.

Tabel 12 Cara penggunaan pupuk kandang dan pupuk buatan di dataran rendah dan tinggi (Application method of

organic and inorganic fertilizers in lowland and highland)

No Uraian

(Description)

Dataran

Rendah

(Lowland)

Dataran

Tinggi

(Highland)

1. Cara penggunaan pupuk kandang (Application method of organic fertilizer)

• dihamparkan pada garitan (spread out along the ditch)

• diberikan secara setempat (locally placed)

• ditebar pada lahan yang akan ditanami (spread out all over the cultivated land)

7,1

92,9

-

10,2

2,6

87,2

2. Cara pemberian pupuk buatan (Application method of inorganic fertilizer)

• disebar (spread out)

• dibenamkan sekitar tanaman (burried around the plant)

• dihampar pada garitan (spread out along the ditch)

21,4

71,4

7,2

10,2

2,6

87,2

3. Persepsi petani menyangkut tingkat penggunaan pupuk di tingkat petani pada

umumnya (Farmers’ perception with regard to the level of fertilizer use)

• cenderung di bawah standar (tend to be below standard)

• sesuai dengan kebutuhan tanaman (in accordance with the plants requirement)

• cenderung berlebihan (tend to be excessive)

28,6

64,3

7,1

17,9

76,9

5,2

4. Tindakan yang dilakukan jika harga pupuk naik (Actions taken when there is an increase in the price of fertizer)

• dosis tidak akan berubah (no change in dosage )

• dosis dikurangi (dosage is reduced)

• frekuensi pemberian dikurangi (frequency is reduced)

• jenis pupuk diganti dengan yang lebih murah (fertilizer is replaced by the cheaper one)

64,3

21,4

14,3

-

79,5

17,9

2,6

-

Petani di ekosistem dataran rendah dan tinggi biasa melakukan pengamatan rutin di

lapangan sebelum memutuskan pengendalian hama penyakit. Kegiatan utama yang dilakukan

pada saat pengamatan adalah mencermati gejala serangan. Keputusan yang diambil oleh

sebagian besar petani responden setelah melakukan pengamatan adalah menentukan saat/waktu

penyemprotan. Tabel 13 menunjukkan bahwa walaupun petani juga melakukan pengendalian

secara mekanis (mematikan/membuang ulat atau telur, mencabut tanaman layu), pengendalian

hama penyakit tampaknya lebih didominasi oleh pendekatan pengendalian kimiawi. Informasi

yang dihimpun lebih lanjut pada Tabel 14 memberikan indikasi bahwa penggunaan pestisida

cenderung lebih intensif di ekosistem dataran tinggi. Hal ini tercermin dari lebih tingginya

persentase petani yang melakukan penyemprotan rutin di dataran tinggi. Penyemprotan rutin ini

pada dasarnya dilakukan sebagai tindakan preventif untuk memperkecil resiko kegagalan panen.

Hal ini sebenarnya agak bertentangan dengan pernyataan petani bahwa penyemprotan pertama

dilakukan tergantung keadaan serangan. Elaborasi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menda-

patkan konfirmasi menyangkut pola penggunaan pestisida ini.

Petani pada umumnya menyatakan pernah mengalami hasil yang tidak memuaskan

setelah melakukan penyemprotan pestisida. Persepsi petani mengenai penyebab ketidak-

berhasilan penyemprotan tersebut cukup beragam, bahkan cenderung bersifat kontradiktif.

Page 16: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

16

Tabel 13 Pengamatan serta keputusan yang diambil petani dalam pengendalian hama penyakit (Monitoring and

decisions made by farmers in controlling pests and diseases)

No Uraian

(Descriptions)

Dataran

Rendah

(Lowland)

Dataran

Tinggi

(Highland)

1. Melakukan pengamatan rutin sebelum pengendalian hama penyakit (Conducting routine monitoring before controlling pests and diseases)

• ya (yes)

• tidak (no)

78,5

21,5

87,1

12,9

2. Hal-hal yang dilakukan pada saat pengamatan (Actions taken during monitoring)

• mengamati gejala serangan (observing symptom)

• menghitung populasi ulat/ngengat (counting larvae)

• menghitung tanaman layu (counting wilted plants)

92,9

-

7,1

100,0

-

-

3. Keputusan yang diambil setelah melakukan pengamatan (Decisions made after monitoring)

• menentukan saat/waktu penyemprotan (Determining time to spray)

• menentukan jenis pestisida yang digunakan (Determining tipe of pesticides to spray)

• menentukan volume/konsentrasi/dosis (Determining volume/concentration/dosage to spray)

64,3

14,3

21,4

48,7

28,2

23,1

4. Melakukan pengendalian mekanis (Conducting mechanical control)

• ya (yes)

• tidak (no)

42,9

57,1

76,9

23,1

5. Jenis pengendalian mekanis yang dilakukan (Method of mechanical controls)

• mematikan dengan tangan (eliminating the pest by hand-picking

• membuang telur (getting rid off the eggs)

• membuang ulat (getting rid off the larvae)

• mencabut tanaman (pulling up the sick plants)

83,3

-

16,7

-

80,0

-

16,7

3,3

Disatu pihak, sebagian petani menyadari bahwa penyemprotan yang kurang berhasil disebabkan

oleh resistensi dari hama dan/atau penyakit. Hal ini tercermin dari persepsi sebagian petani yang

menganggap bahwa jenis pestisida yang digunakan sudah tidak tepat atau tidak efektif lagi.

Sementara itu, dilain pihak petani juga menyatakan bahwa hasil pengendalian yang tidak

memuaskan pada dasarnya disebabkan oleh konsentrasi penggunaan pestisida yang terlalu

rendah. Persepsi ini menjadi kontradiktif jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa salah satu

penyebab utama timbulnya resistensi hama penyakit sasaran justru sebagai akibat dari

penggunaan pestisida yang berlebih.

Sebagian besar petani, terutama di ekosistem dataran tinggi, melakukan pencampuran

pestisida dalam mengendalikan hama penyakit. Beberapa alasan yang dikemukakan petani

sehubungan dengan tindakan tersebut adalah agar dapat mengendalikan berbagai jenis hama/

penyakit secara sekaligus serta menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk pestisida

maupun tenaga kerja penyemprotan. Berbagai informasi kualitatif yang dihimpun di atas

memberikan indikasi tingginya ketergantungan petani terhadap cara pengendalian kimiawi dan

adanya penggunaan pestisida yang cenderung berlebihan.

Indikasi tersebut perlu dikonfirmasi melalui pengkajian lebih teliti mengenai pola

pengendalian yang dilakukan petani. Hal ini merupakan aspek penting yang harus dicermati

sebelum mengklasifikasikan petani sebagai pengguna pestisida yang tidak efisien, sebab pada

kenyataannya petani memang menghadapi berbagai hama penyakit yang sangat beragam untuk

setiap komoditas yang diusahakan.

Page 17: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

17

Tabel 14 Pengendalian hama penyakit secara kimiawi di dataran rendah dan tinggi (Controlling pests and diseases by

chemical method in lowland and highland areas)

No Uraian

(Descriptions)

Dataran Rendah

(Lowland)

%

Dataran Tinggi

(Highland)

%

1. Melakukan penyemprotan secara rutin (Conducting routine spraying)

• ya (yes)

• tidak (no)

42,9

57,1

79,5

20,5

2. Jika ya, alasannya (If yes, the reasons are:)

• mencegah serangan hama penyakit (prevent pest and disease incidence)

• memperkecil resiko kegagalan panen (minimize the risk of haevest failure)

• serangan hama penyakit yang berat (confront a heavy pest and disease incidence)

• kebiasaan (follow habitual practices)

• meniru petani lain (immitate other farmers)

50,0

37,5

-

12,5

-

38,7

38,7

9,7

12,9

-

3. Jika tidak, alasannya (If no, the reasons are:)

• berdasarkan beratnya serangan (depend on the heaviness of pest and disease incidence)

• tergantung ketersediaan dana (depend on the funds availability)

• kebiasaan (follow habitual practices)

• meniru petani lain (immitate other farmers)

46,1

53,9

-

-

87,5

-

12,5

-

4. Penyemprotan pertama dilakukan pada saat (First spray is conducted at)

• segera setelah tanam (immediately after planting)

• 7 hst (7 days after planting)

• 14 hst (14 days after planting)

• tergantung keadaan serangan (depend on the heaviness of pest and disease incidence)

-

21,4

14,3

64,3

17,9

23,1

25,6

33,4

5. Penyemprotan terakhir dilakukan (Last spray is conducted at)

• < seminggu sebelum panen (less than a week before harvest)

• seminggu sebelum panen (a week before harvest)

• dua minggu sebelum panen (two weeks before harvest)

-

27,3

72,7

14,6

8,8

36,6

6. Melakukan pencampuran pestisida (Mixing pesticides)

• ya (yes)

• tidak (no)

76,9

23,1

100,0

-

7. Alasan mencampur pestisida (Reasons for mixing pesticides)

• agar lebih manjur/cepat (quicker/time-saving)

• menghemat biaya pest dan tenaga kerja (cost and labor-saving)

• mengendalikan penyakit & hama sekaligus (control pests and diseases simultaneously)

• mencegah serangan h & p lain (prevent other pests and diseases)

• meniru petani lain (immitate other farmers)

38,9

22,2

33,3

5,6

-

19,1

34,9

30,1

14,3

1,6

Tabel 15 dan 16 menunjukkan jenis hama dan penyakit, jenis pestisida yang digunakan serta

perkiraan kisaran persentase kerusakan yang diakibatkan oleh hama penyakit tersebut, menurut

pengamatan dan pengalaman petani. Beragamnya jenis hama penyakit mencerminkan tingkat

resiko kegagalan panen tinggi yang dihadapi petani. Resiko tinggi tersebut menyebabkan petani

memilih metode pengendalian, khususnya kimiawi yang bersifat preventif. Pengendalian preventif

ini pada gilirannya mendorong penggunaan pestisida yang berlebih.

Page 18: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

18

Tabel 15 Hama penyakit, pestisida yang digunakan serta kisaran persentase kerusakan menurut petani di ekosistem

dataran rendah (Pests and diseases, pesticides used, and damage percentage as perceived by farmers in

lowland areas)

No Jenis Sayuran

(Vegetable)

Hama

(Pests)

Pestisida

(Pesticides)

Keru-sakan

(Damage) %

Penyakit

(Diseases)

Pestisida

(Pesticides)

Keru-sakan

(Dama-

ge) %

1

Tomat

(Tomato)

Agrotis epsilon (Ulat tanah)

Helicoverpa almigera (Ulat hijau)

Impoasca sp. (Wereng)

Decis Decis -

10-40 5-30 -

Pseudomonas

solanacearum (Layu)

Phytophtora infestans (Busuk daun/btng)

Antracol dan Dithane -

15-50 10-25

2

Kangkung

(Kangkong)

Torsoglocis semicauda (Ulat keket)

Epilachna sp. (Lembing)

Spodoptera sp. (Ulat hijau)

Impoasca sp. (Wereng)

Curacron - Decis Curacron

10-30 5-10 20-30 10-20

Albugo condida (Bintik hijau di daun)

Antracol

5-30

3

Kacang Merah

(French bean)

Aphis crosifora (Wereng)

Helicoverpa armigera (Ulat hijau)

Thiodan Tamaron

20-60 -

Colletotrichum & Cercospora (Busuk buah dan daun)

-

-

4

Mentimun

(Cucumber)

Aphis sp dan Myzus

persicae (Bereng)

Dacus sp. (Belatung)

Curacron Decis

20-75 20-75

Tabel 16 Hama penyakit, pestisida yang digunakan serta kisaran persentase kerusakan menurut petani di dataran

tinggi (Pests and diseases, pesticides, and damage percentage as perceived by farmers in highland)

No Sayuran

(Vegetable)

Hama

(Pests)

Pestisida

(Pesticides)

Keru-sakan

(Dama-

ge) %

Penyakit

(Diseases)

Pestisida

(Pesticides)

Keru-sakan

(Dama-

ge) %

1

Cabai

(Hot pepper)

Aphis gosipii (Bereng)

Plusia sp. (Ulat jengkal)

Thrips parvisipinus (Bereng)

Spodoptera litura (Ulat)

Dacus sp. (Busuk buah)

Decis, Curacron Decis, Curacron Curacron Curacron, Dursban, Basudin, Decis Basudin

5-40 15-25 10-40 5-75 10-25

Colletotricum sp. (Patek)

Pseudomonas

solanacearum (Rayut)

Cercospora sp. (Batang hitam)

Ridomil, Antracol Polyram, Antracol Polyram

5-25 5-25 5-25

2

Bw. Merah

(Shallot)

Spodoptera exigua (Hama pucuk)

Decis

10-45

Altenaria sp (Trotol)

- -

3 Kubis Bunga

(Cauliflower) Plutella xylostela (Ulat ramat)

Crocidolomia binotalis (Ulat hijau)

Agrotis epsilon (Ulat tanah)

Myzus persicae (Bereng)

Dursban, Orthane, Curacron, Regent Argolin - Orthane, Curacron, Tamaron

15-50 5-25 2- 5 5-25

Plasmodiopora brasicae (Akar gada)

Erwinia sp. (Daun busuk)

Xanthomonas sp. (Busuk pelep daun)

- Antracol Antracol, Dithane

20-90 20-75 25-50

Page 19: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

19

4

Kubis

(Cabbage)

Plutella xylostela (Ulat ramat)

Crocidolomia binotalis (Ulat hijau)

Myzus persicae (Bereng)

Orthane, Dipel, Supracide - -

- - -

Plasmodiopora brasicae (Akar gada)

Erwinia sp. (Daun busuk)

Xanthomonas sp. (Busuk pelep daun)

- Antracol Antracol, Daconil

20-90 20-75 25-50

5

Tomat

(Tomato)

Helicoverpa armigera (Ulat hijau)

Agrotis epsilon (Ulat tanah)

Plusia sp. (Ulat jengkal)

Curacron, Orthane Curacron, Orthane Curacron, Tralet, Dursban

5-10 5-10 5-25

Phytophtora infestans (Busuk daun)

Altenaria sp. (Busuk buah)

Pseudomonas

solanacearum (Layu)

Cladosporium sp. (Penyakit tembaga)

Antracol, Dithane, Daconil Antracol, Dithane, Daconil Antracol Antracol

10-50 15-50 5-10 10-25

6

Bawang daun

Thrips tabaci (Bereng)

Spodoptera exigua (Ulat)

Dursban Dursban

20-60 5-20

Altenaria sp. (Trotol)

Antracol

20-60

7

Terung

Epilachna sparsa (Cacantal)

Plusia sp. (Ulat)

Orthane, Dursban Orthane, Dursban

10-50 5-10

Phomopsis sp. (Busuk buah)

Pseudomonas

solanacearum (Layu)

Antracol -

10-20 5-10

8

Kc. panjang

Aphis gosipii (Bereng)

Maruca testuralis (Ulat buah)

Coleoptura sp. (Kuuk)

Helicoverpa armigera (Ulat hijau)

Demicron, Dursban, Sumithion, Elsan, Sumialfa Decis, Orthane Furadan Decis, Orthane

5-40 10-60 10-40 5-30

Cercospora sp. (Bercak daun)

-

-

9

Buncis

Plusia sp. (Ulat jengkal)

Coleoptura sp. (Kuuk)

Agrotis epsilon (Ulat tanah)

Maruca testuralis (Ulat buah)

Helicoverpa armigera (Ulat hijau)

Ophiomya phaseoli (Lalat)

Decis Furadan Decis, Orthane Decis, Orthane Decis, Curacron Tralet, Dursban

5-10 15-30 5-10 5-10 5-10 10-75

Virus mosaik (Daun kuning)

Cercospora sp. (Bercak daun)

Antracol Tralet, Dursban

25-50 25-50

Salah satu upaya untuk mendapatkan informasi pendukung berkaitan dengan dugaan

adanya penggunaan pestisida berlebih, ditempuh melalui analisis cepat residu (bio-assay) pada

beberapa jenis sayuran. Walaupun ketelitian metode analisis ini agak terbatas (tidak dapat

mengungkapkan residu pestisida ditinjau dari bahan aktifnya secara spesifik), hasil analisis masih

dapat digunakan sebagai peringatan awal tingkat keamanan produk untuk dikonsumsi. Hasil

analisis pada Tabel 17 menunjukkan bahwa residu insektisida pada beberapa jenis sayuran

sudah melampaui ambang toleransi (25%), tetapi residu fungisidanya ternyata masih di bawah

ambang toleransi (50%). Residu fungisida yang di bawah ambang kemungkinan disebabkan oleh

relatif rendahnya penggunaan fungisida pada musim kemarau (sayuran yang dianalisis adalah

tanaman musim kemarau). Jika diamati, beberapa jenis sayuran (kangkung, tomat, kacang

panjang) yang residu insektisidanya sudah melewati batas ambang, bahkan seringkali dikonsumsi

segar.

Page 20: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

20

Tabel 17 Hasil analisis residu pestisida pada beberapa jenis sayuran (Results of pesticide residue analysis on some

vegetable crops)

No Lokasi

(Location)

Sayuran

(Vegetable)

Residu Insektisida

(Insecticide

Residue) (%)

Residu Fungisida

(Fungicide

Residue) (%)

Keterangan Status Residu

Insektisida

(Remarks on the

Status of

Insecticide

Residue)

Keterangan Status Residu Fungisida

(Remarks on the

Status of

Fungicide

Residue)

1

Margacinta (dataran rendah =

lowland)

Kc. Merah (French bean)

Kangkung (Kangkong)

Tomat (Tomato)

Cabai (Hot pepper)

2,56 68,23 0

26,75

0 0

15,23 0

aman

tidak aman aman

tidak aman

aman aman aman aman

2 Cibiru (dataran medium =

medium land)

Cabai (Hot pepper)

Bw. Merah (Shallot)

Tomat (Tomato)

69,88 0

19,51

0 0

26,23

tidak aman aman aman

aman aman aman

3 Cisarua (dataran tinggi =

highland)

Kubis bunga (Cauliflower) Labu siam

Buncis (Kidney bean)

Tomat (Tomato)

60,21 22,53 9,75 36,35

0 0

29,56 32,52

tidak aman aman aman

tidak aman

aman aman aman aman

4 Parongpong (dataran tinggi =

highland)

Caisin (Chinese cabbage) Kemangi

Kc. panjang (Yardlong bean)

Buncis (Kidney bean)

Tomat (Tomato)

56,67 1,56 58,04 10,21 52,75

0 0 25,12 19,67 36,29

tidak aman aman

tidak aman aman

tidak aman

aman aman aman aman aman

Keterangan (Remarks): aman (save); tidak aman (unsave)

Berkaitan dengan residu pestisida, khususnya untuk Kotamadya Bandung, pemerintah

daerah telah mengeluarkan Perda no. 09 tahun 1994. Perda ini ditujukan untuk (a) menjamin

kualitas pasokan hasil pertanian atau tanaman pangan bagi konsumen (kesehatan, selera,

kualitas), (b) memberikan pelayanan informasi harga bagi pemasok, pedagang, produsen dan

konsumen, dan (c) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Secara operasional, pengujian mutu

hasil pertanian ini dilakukan mulai tahun anggaran 1995/1996 secara bertahap, dimulai dari Pasar

Induk Caringin dan Pasar Induk Gedebage. Pencapaian program ini ternyata lebih banyak diukur

dari target retribusi atau kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah. Target inipun tidak

pernah tercapai selama tiga tahun terakhir. Berbagai kendala yang meyebabkan tidak tercapainya

target tersebut adalah (a) pemasyarakatan Perda belum dapat menjangkau obyek pengujian mutu

secara keseluruhan, (b) kuantitas peralatan pengujian mutu masih terbatas, dan (c) tingkat

produktivitas tenaga lapangan yang masih rendah. Namun demikian, kekurangan lain yang

bersifat lebih substantif dari Perda ini adalah semakin kurang diperhatikannya tujuan pertama

(kualitas) dan tujuan kedua (informasi harga) di dalam pelaksanaannya. Konsekuensinya, dampak

langsung Perda tersebut terhadap kualitas sayuran dan dampak tidak langsungnya terhadap

pengurangan penggunaan pestisida di tingkat petani menjadi tidak tercapai.

4.8. Kendala Sistem Produksi

Petani responden secara individual diminta untuk menyusun peringkat atau urutan

kepentingan dari berbagai hal yang dianggap menjadi kendala dalam melakukan usahatani.

Respon dari seluruh responden dianalisis dengan menggunakan method based on rank orders.

Hasil analisis menunjukkan bahwa ketersediaan modal dan fluktuasi harga secara berkebalikan

Page 21: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

21

merupakan dua kendala terpenting yang dirasakan oleh petani di dataran rendah dan tinggi.

Kendala modal merupakan pencerminan dari belum baiknya akses petani untuk memperoleh mo-

dal produksi yang relatif tinggi pada usahatani sayuran. Persepsi petani mengenai kendala modal

yang berada pada peringkat satu/dua tampaknya juga dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di

pasar input (kenaikan harga pestisida dan pupuk) pada saat survai/wawancara dilaksanakan.

Harga merupakan faktor eksternal usahatani ditinjau dari sangat kecilnya peranan petani secara

individual dalam mengendalikannya (price taker). Informasi mengenai perkembangan dan

determinasi harga di pasar yang dimiliki petani relatif sangat terbatas. Dengan demikian, posisi

tawar menawar yang lemah serta fluktuasi harga yang tajam masih dirasakan sebagai salah satu

kendala utama usahatani sayuran. Petani responden di dataran rendah dan tinggi menganggap

insiden hama penyakit sebagai kendala yang ditempatkan pada urutan kepentingan ketiga.

Persepsi ini memberikan penjelasan menyangkut pola penggunaan pestisida yang cenderung

berlebihan dalam mengendalikan hama penyakit. Menarik untuk diperhatikan bahwa ketersediaan

informasi teknis dipersepsi petani sebagai kendala yang memiliki peringkat relatif rendah.

Persepsi ini kemungkinan merupakan percerminan penguasaan teknis petani menyangkut

budidaya sayuran (secara teknis petani merasa tidak mengalami kesulitan) atau justru karena

langkanya ketersediaan informasi teknis yang dapat diakses petani. Sementara itu, petani di

dataran rendah dan tinggi mempersepsi kesuburan tanah sebagai kendala produksi dengan

urutan kepentingan terendah. Petani menganggap bahwa kesuburan tanah yang rendah atau

menurun dapat diatasi dengan pemberian pupuk kandang dan buatan.

Tabel 18 Persepsi petani menyangkut peringkat kendala sistem produksi di dataran rendah dan tinggi (Farmers’

perceptions with regard to the rank of production system constraints in lowland and higland areas)

No

Kendala atau Masalah

(Constraints or Problems)

Peringkat

(Rank of Importance)

Dataran

Rendah

(Lowland)

Dataran

Tinggi

(Highland)

1. Insiden hama dan penyakit (Pest and disease incidence) III III

2. Ketersediaan modal (Capital/funds availability) II I

3. Ketersediaan lahan (Land availability) IV IV

4. Ketersediaan tenaga kerja (Labor availability) VIII VI

5. Ketersediaan pupuk dan pestisida (Fertilizer and pesticide availability) V V

6. Ketersediaan air/pengairan (Water/irrigation availability) VI VII

7. Erosi tanah/kesuburan tanah (Soil erosion/fertility) IX IX

8. Fluktuasi harga (Price fluctuation) I II

9 Ketersediaan informasi teknis (Technical information availability) VII VIII

4.9. Saran Perbaikan Teknologi Budidaya

Pada sub-bab sebelumnya, petani mempersepsi informasi teknis sebagai kendala

produksi berperingkat rendah. Namun demikian, elaborasi lebih lanjut pada Tabel 19

menunjukkan bahwa sebagian petani (> 25%) masih membutuhkan perbaikan teknologi budidaya

Page 22: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

22

sayuran secara umum. Secara lebih spesifik, petani di dataran rendah dan tinggi bahkan

mengemukakan perlunya perbaikan teknologi pengendalian hama penyakit sebagai prioritas

utama yang diusulkan.

Tabel 19 Usulan topik perbaikan budidaya sayuran di dataran rendah dan tinggi (Topics proposed by farmers for

improving lowland and highland vegetable cultivation)

No Topik yang memerlukan perbaikan

(Topics need improvements)

Dataran Rendah

(Lowland)

n=14 (%)

Dataran Tinggi

(Highland)

n=39 (%)

1. budidaya sayuran

(vegetable cultural practices)

28, 6 25, 6

2. pengendalian hama penyakit

(controlling pests and diseases)

50,0 38, 5

3. pengendalian bengkak akar

(controlling club root)

- 10, 3

4. pengendalian hama bereng

(controlling aphids)

- 5, 1

5. pengendalian penyakit layu

(controlling wilt)

21,4 20, 5

KESIMPULAN

• Pola tanam di dataran rendah pada dasarnya adalah pola tanam berbasis padi. Sayuran

umumnya diusahakan satu kali setahun dengan sistem pertanaman monokultur. Di dataran

medium, pola tanam cukup bervariasi, meliputi sayuran-sayuran-palawija, sayuran-palawija-

sayuran, dan sayuran-palawija-palawija. Sementara itu, pola tanam dominan di ekosistem

dataran tinggi adalah sayuran-sayuran-sayuran, dengan sistem pertanaman tumpang-sari/

tumpang-gilir.

• Dari berbagai jenis sayuran yang beradaptasi baik di dataran rendah, petani mempersepsi

tomat sebagai komoditas yang paling dikuasai teknik budidayanya, paling menguntungkan,

membutuhkan biaya paling tinggi dan dianggap paling beresiko. Pada ekosistem dataran

tinggi, petani beranggapan bahwa komoditas yang paling dikuasai teknik budidayanya secara

berturut-turut adalah kubis bunga, cabai, tomat dan buncis. Jenis sayuran yang dianggap

paling menguntungkan adalah tomat dan cabai. Sementara itu, tomat dianggap sebagai

komoditas yang memerlukan biaya paling tinggi dan sekaligus paling beresiko.

• Pengamatan petani menunjukkan bahwa dinamika lingkungan produksi biofisik selama lima

tahun terakhir telah menyebabkan terjadinya (a) pergeseran waktu tanam, (b) perubahan

jenis komoditas andalan, dan (c) peningkatan resiko usahatani. Dalam lima tahun terakhir,

sebagian petani juga mengamati terjadinya penurunan kesuburan tanah yang diindikasikan

oleh semakin menurunnya produksi rata-rata yang dicapai dan semakin meningkatnya

kebutuhan input. Berkaitan dengan kenaikan harga input, resiko penurunan produktivitas

dianggap akan menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan tambahan

biaya yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan volume input yang biasa digunakan.

• Kendala ketersediaan lahan tercermin dari pendapat sebagian responden (>25%) yang

menyatakan bahwa lahan garapannya semakin sempit dalam tiga tahun terakhir ini. Ditinjau

dari sisi ketersediaannya, tenaga kerja dan sarana produksi tidak menjadi kendala bagi

Page 23: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

23

usahatani sayuran. Namun demikian, petani merasakan adanya kenaikan upah maupun

harga input yang jauh lebih cepat dan tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga produk

sayuran. Sementara itu, akses untuk memperoleh pinjaman modal atau modal tambahan dari

lembaga keuangan formal juga dirasakan masih terbatas.

• Produk sayuran pada umumnya dijual melalui pedagang perantara/pengumpul/ bandar

dengan sistem pembayaran tunai. Sistem penjualan tebasan banyak pula dipilih petani

karena dianggap lebih praktis (menerima uang sekaligus dan tidak perlu mengeluarkan biaya

tenaga kerja panen. Cakupan wilayah pemasaran sayuran dari dataran rendah sebagian

besar adalah Bandung, sedangkan sayuran dari dataran tinggi juga ke luar Bandung.

• Volume penggunaan pupuk kandang dan pupuk buatan sangat beragam, sehingga terjadi

perbedaan produktivitas antar usahatani (salah satu indikator in-efisiensi). Intensitas peng-

gunaan pupuk di dataran tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan di dataran rendah, bahkan

cenderung berlebihan. Pola pengendalian hama penyakit menunjukkan ketergantungan pe-

tani terhadap penggunaan pestisida. Penyemprotan rutin dan pencampuran pestisida pada

dasarnya dilakukan sebagai tindakan preventif untuk memperkecil resiko kegagalan panen.

Penggunaan pestisida di dataran tinggi jauh lebih intensif dibandingkan di dataran rendah,

bahkan cenderung berlebihan. Dugaan ini juga ditunjang oleh analisis residu pada beberapa

sayuran yang menunjukkan adanya residu pestisida yang sudah melewati ambang toleransi.

• Masalah yang dipersepsi petani sebagai tiga kendala utama produksi berdasarkan urutan

kepentingannya adalah ketersediaan modal, fluktuasi harga dan insiden hama penyakit.

Sementara itu, ketersediaan informasi teknis serta ke-suburan tanah dipersepsi petani

sebagai kendala produksi yang memiliki prioritas rendah. Secara spesifik petani di dataran

rendah maupun tinggi mengusulkan bahwa topik perbaikan budidaya sayuran yang paling

dibutuhkan adalah topik pengendalian hama penyakit.

• Karakterisasi sistem produksi sayuran di daerah urban dan peri-urban Bandung ini perlu

diikuti dengan kajian teknis (analisis tanah dan analisis ekosistem) yang lebih teliti untuk

memperoleh konfirmasi berkaitan dengan beberapa dugaan menyangkut in-efisiensi

penggunaan sumberdaya (kecenderungan penggunaan pupuk dan pestisida yang berle-

bihan). Dengan demikian akan diperoleh informasi yang lebih akurat untuk penyusunan

program perbaikan sistem produksi sayuran, khususnya menyangkut pengelolaan hara dan

pengendalian hama penyakit, yang berkaitan erat dengan keberlanjutan usahatani.

• Dari sisi kelembagaan, perlu diprioritaskan revitalisasi fungsi dan dinamika kelompok tani

sayuran. Hal ini perlu diperhatikan karena efektivitas komponen-komponen teknologi

(pengelolaan hara maupun pengendalian hama penyakit) seringkali dipengaruhi oleh

kebersamaan suatu komunitas untuk menyepakati sistem pengelolaan yang terkoordinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Gutman, P. 1987. Urban agriculture: The potentials and limitations of an urban self-reliance

strategy. Food and Nutrition Bulletin, 9(2): 37-42.

Jansen, H. G., D. Poudel, D. J. Midmore, R. K. Raut, P. R. Pokhrel, P. Bhurtyal & R. K. Shrestha.

1994. Sustainable peri-urban vegetable production and natural resources management in

Nepal: Results of a diagnostic survey. Working Paper no. 8. AVRDC, Taiwan.

Page 24: Sistem Produksi Sayuran Urban Dan Periurban Di Kotamadya Dan Kabupaten Bandung

24

Kleer, J. 1987. Small-scale agricultural production in urban areas in Poland. Food and Nutrition

Bulletin, 9 (2): 24-28.

Lightfoot, C., J. P. Dalsgaard, M. Bimbao & F. Fermin. 1993. Farmer participatory procedures for

managing and monitoring sustainable farming systems. Journal of the Asian Farming

Systems Association, 2(1): 67-87.

Lynam, J. K. & R. W. Herdt. 1989. Sense and sustainability: Sustainability as an objective in

international agricultural research. Agricultural Economics, 3(4): 381-398.

MacMillan, J.A., F.L. Chung, and R.M.A. Loyns. 1972. Differences in regional household

consumption patterns by urbanization: A cross-sectional analysis. Journal of Regional

Science, 22: 417-424.

Pasandaran, E. & Hadi, P. U. 1994. Prospek komoditi hortikultura di Indonesia dalam kerangka

pembangunan ekonomi. Makalah pada Penyusunan Prioritas dan Desain Penelitian

Hortikultura, Solok, 17-19 November 1994.

Price, D.W., D.Z. Price and D.A. West. 1980. Traditional and non-traditional determinants of

household expenditures on selected fruits and vegetables. Western Journal of Agricultural

Economics, 5: 21-36.

Saran, S. 1993. Integrated farming systems methodology for high-risk ecological zones. Journal of

the Asian Farming Systems Asso., 1(4): 463-477.

van Lieshout, O. 1992. Consumption of fresh vegetables in Indonesia. Internal Communication no.

48. Project ATA-395/LEHRI.

Waibel, H. and S. Setboonsarng. 1993. Resource degradation due to chemical inputs in

vegetable-based farming systems in Thailand. Journal of the Asian Farming Systems

Association, 2(1): 107-120.