43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skleroderma merupakan penyakit kronik yang penyebabnya belum diketahui dimana menyerang pembuluh darah kecil dan jaringan ikat (Abul, 2004) Skleroderma dibagi dalam dua bentuk, bentuk pertama dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea atau skleroderma lokalisata, dan skleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Pada skleroderma sistemik terjadi penebalan dan indurasi kulit yang difus dan diikuti dengan fibrosis serta terjadi obliterasi pembuluh darah dari organ dalam. Tidak seperti pada sklerosis sistemik, gambaran klinis morphea tidak dijumpai sklerodaktili, Raynaud phenomenon dan keterlibatan organ dalam. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis.

Skleroderma Word

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kulkel

Citation preview

Page 1: Skleroderma Word

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skleroderma merupakan penyakit kronik yang penyebabnya belum diketahui dimana

menyerang pembuluh darah kecil dan jaringan ikat (Abul, 2004) Skleroderma dibagi dalam dua

bentuk, bentuk pertama dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea

atau skleroderma lokalisata, dan skleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Pada

skleroderma sistemik terjadi penebalan dan indurasi kulit yang difus dan diikuti dengan fibrosis

serta terjadi obliterasi pembuluh darah dari organ dalam. Tidak seperti pada sklerosis sistemik,

gambaran klinis morphea tidak dijumpai sklerodaktili, Raynaud phenomenon dan keterlibatan

organ dalam. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan gambaran inflamasi yang

menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang menyeluruh pada

mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis.

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras kulit

berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa faktor lingkungan mungkin

berhubungan dengan timbulnya scleroderma.

Walaupun insidennya jarang, studi epidemiologi memberi kesan bahwa 0,9-5,7% pasien

dengan morfea berkembang menjadi skleroderma sistemik . Morfea sendiri adalah suatu penyakit

yang jinak dan self-limited. Namun dapat menyebabkan morbiditas khususnya pada anak-anak di

masa pertumbuhan. Mulai dari kontraktur sendi, manifestasi neurologi dan oftalmologi, sampai

depresi dan ansietas dapat terjadi akibat penyakit ini.

Page 2: Skleroderma Word

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah skleroderma berasal dari kata Yunani, skleros (keras atau berindurasi) dan derma

(kulit). Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai

pembuluh darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma ditandai oleh adanya fibrosis dan

obliterasi pembuluh darah kulit, paru, pencernaan, ginjal dan jantung.

2.2 Epidemiologi

Skleroderma adalah penyakit sporadis dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan

menyerang semua ras. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun

1973 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skleroderma

dengan fenomena Raynaud pertamakali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865.

Kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ

viseral. Pada tahun 1945 Goetz mengusulkan istilah progressive systemic sclerosis yang

menggambarkan lesi yang luas baik di kulit maupun di organ viseral.

Skleroderma lokal relatif jarang didapat. Wanita tiga kali lebih sering terserang dari pada

laki-laki. Penderita kulit putih lebih sering daripada kulit hitam. Penderita berumur antara 20-50

tahun. Pernah dilaporkan penderita anak berumur 15 bulan. Pada skleroderma linier, serangan

berlangsung pada umur yang lebih muda, dua dekade pertama kehidupan. Pada scleroderma

sistemik, wanita empat kali lebih banyak terserang daripada laki-laki. Penderita kulit hitam lebih

Page 3: Skleroderma Word

banyak dari pada penderita kulit putih. Sebagian besar penderita mendapat serangan antara umur

30-50 tahun .

2.3 Etiologi

Etiologi belum diketahui secara pasti diduga beberapa faktor dapat mempengaruhi

skleroderma antara lain:

a. Faktor Genetik

Skleroderma adalah penyakit yang tidak diturunkan sesuai dengan hukum Mendelian.

Kembar dizigot dan monozigot menunjukkan kekerapan yang berbeda. Sekitar 1,6% pasien

skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang menunjukkan pentingnya faktor genetik.

Resiko penyakit autoimun lain termasuk systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid

arthritis (RA) juga meningkat pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik

saat ini difokuskan pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan

regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang

lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah dilaporkan

pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide

synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor

kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha),

growth factors dan reseptornya (connective tissue growth factor [CTGF] and transforming

growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and

SPARC).

b. Faktor Lingkungan

Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya

faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus, paparan toksin

Page 4: Skleroderma Word

lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat mencetuskan skleroderma.

Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan antibodi terhadap human

cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu

terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit. Hal ini terjadi melalui proses mimikri

molekuler antara hCMV dengan host. Penelitian lain menunjukkan implikasi infeksi hCMV

pada vaskulopati allograft pada transplantasi organ padat. Vaskulopati ini dicirikan dengan

pembentukan neointima vaskuler, proliferasi otot polos dan vaskulopati obliteratif. hCMV

dapat secara langsung menginduksi produksi CTGF pada fibroblast yang terinfeksi sehingga

hipotesis tentang peran hCMV terhadap kejadian skleroderma adalah rasional. Infeksi Human

parvovirus B19 juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian Skleroderma. Beberapa

peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada pekerja yang terpapar

silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan dengan skleroderma adalah

polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).

Obat-obatan yang berhubungan dengan kejadian skleroderma adalah bleomycin, pentazocine,

cocaine dan penekan nafsu makan (terutama derivat fenfluramine) yang berhubungan dengan

kejadian hipertensi pulmonal.

2.4 Patogenesa

Patogenesis skleroderma terdiri dari proses vaskulopati, aktivasi respon imun seluler dan

humoral serta progresivitas fibrosis organ multipel. Autoimunitas, perubahan fungsi sel endotel

dan aktifitas vaskuler mungkin merupakan manifestasi dini dari skleroderma berupa fenomena

Raynaud yang terjadi bertahun-tahun sebelum gambaran klinis lain muncul. Terjadi proses yang

kompleks dari proses fibrosis mulai dari inisiasi, amplifikasi dan perbaikan jaringan.

Page 5: Skleroderma Word

Cedera vaskuler dini pada penderita yang secara genetik rentan terhadap scleroderma, akan

menyebabkan perubahan fungsi dan struktur vaskuler, inflamasi dan terjadinya autoimunitas.

Inflamasi dan respon imun akhirnya menyebabkan sel fibroblast teraktifasi dan berdifernsiasi

secara terus menerus, menghasilkan fibrogenesis yang patologis dan kerusakan jaringan yang

ireversibel.

Gambar 1. Skema pathogenesis kompleks Sklerosis Sistemik (Mayes, 2008).

2.4.1 Vaskulopati

Pada Skleroderma keterlibatan vaskuler yang terjadi tersebar luas dan penting dalam

implikasi klinis. Fenomena Raynaud, sebagai manifestasi awal penyakit ditandai dengan

Page 6: Skleroderma Word

perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya reversibel, terjadi akibat

perubahan sistem saraf otonom dan perifer dengan kurangnya produksi neuropeptida seperti

calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris dan peningkatan sensitifitas reseptor

alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler. Pada fenomena Raynaud primer gejala klinis

relatif lebih ringan dan tidak progresif seperti halnya Skleroderma yang mengakibatkan

perubahan morfologi dan fungsi sirkulasi yang ireversibel dan mengakibatkan cedera endotel.

Di dalan sel endotel terdapat perubahan produksi dan responsifitas endothelium-derived

factors yang memediasi vasodilatasi (nitric oxide, prostacyclin) dan vasokonstriksi (endothelin-

1). Terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah mikro sehingga diapedesis leukosit

transendotelial meningkat, aktifasi kaskade koagulasi dan fibrinolitik serta agregasi trombosit.

Proses ini menyebabkan terjadinya trombosis. Sel Endotel menunjukkan peningkatan ekspresi

molekul adhesi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) serta molekul adhesi permukaan

lainnya.

Vaskulopati mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole dan bahkan pembuluh darah

besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot polos mengalami proliferasi,

membran basal menebal, reduplikasi serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia. Oklusi

lumen vaskuler progresif akibat hipertrofi tunika intima dan media serta fibrosis adventitia,

ditambah dengan kerusakan persisten sel endotel dan apoptosis sehingga menjadi suatu lingkaran

setan. Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan hilangnya

gambaran vaskuler.

Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit dan pelepasan vasokonstriktor

(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian

diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia berhubungan dengan

Page 7: Skleroderma Word

terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut

melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya, proses revaskularisasi yang seharusnya

mempertahankan aliran darah pada jaringan yang iskemik tampaknya gagal pada Skleroderma.

Kegagalan vaskulogenesis terjadi dalam keadaan kadar faktor angiogenik yang tinggi seperti

vascular endothelial growth factor (VEGF). Pada pasien Skleroderma, jumlah progenitor sel

CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi jumlahnya menurun

secara bermakna. Lebih jauh lagi, penelitian in vitro menunjukkan diferensiasinya menjadi sel

endotel matur terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif dan kegagalan perbaikan

pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.

2.4.2 Autoimunitas Seluler dan Humoral

Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan terakumulasi

di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang menginfiltrasi,

mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR serta menampakkan

restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai respon terhadap antigen

yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga meningkatkan reseptor kemokin dan

mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin yang berfungsi meningkatkan kemampuan

untuk mengikat endotel dan fibroblast.

Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi

diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon Th2 terpolarisasi

dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat menginduksi TGF-beta

yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks. TGF-beta dapat menginduksi

produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai aktifitas autokrin/parakrin untuk

mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain.

Page 8: Skleroderma Word

Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial menunjukkan

pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 serta

penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang sintesis kolagen

dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan memblok aktivasi

fibroblast yang dimediasi sitokin.

Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini

spesifisitasnya tinggi terhadap skleroderma dan menunjukkan hubungan yang kuat dengan

fenotif penyakit individual dan haplotipe HLA yang dibedakan secara genetik. Kadar

autoantibodi berhubungan dengan keparahan penyakit dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas

penyakit. Autoantibodi spesifik Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein

mitosis seperti topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang

antigen permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma

dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel

endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin

mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan.

Berbagai mekanisme potensial telah diajukan dengan memperhitungkan peran pembentukan

autoantibodi pada Skleroderma. Menurut salah satu teori, pada pasien sklerodema self-antigen

spesifik dapat membuat perubahan struktural melalui celah proteolitik, peningkatan level

ekspresi atau perubahan lokalisasi subseluler sehingga sel tersebut dapat dikenali oleh sistem

imun. Sebagai contoh, sel Tc melepaskan protease granzim B yang merusak autoantigen,

menghasilkan fragmen baru dengan neo-epitop potensial yang merusak toleransi imun.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan fibrosis

pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen presenting

Page 9: Skleroderma Word

cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi fungsi sel T dan

sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas intrinsik dengan

peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan menurunkan jumlah sel B

memori serta sel plasma.

2.4.3 Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis

Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang

membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan konsekuensi

dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan penggantian arsitektur

jaringan normal dengan jaringan ikat aseluler yang progresif yang menyebabkan peningkatan

morbiditas dan mortalitas scleroderma.

Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas fungsional

dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh TGF-beta dan

sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan kolagen dan matriks

makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi reseptor permukaan

untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast. Respon fibroblast ini

memfasilitasi perbaikan cedera jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan

fibroblast akan berhenti dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi. Pada respon fibrosis

yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi terus-menerus dan makin besar yang menghasilkan

perubahan matriks dan pembentukan jaringan parut. Aktivasi fibroblast yang salah ini serta

akumulasi matriks adalah perubahan patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada

scleroderma.

Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum tulang

yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang mengekspresikan CD14

Page 10: Skleroderma Word

dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth muscle actin-positive fibrocytes

pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,

perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya menjadi

matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel epitel

menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di paru dan

ginjal serta organ lain.

Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik proses

transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast bertahan di

dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis. Miofibroblast berkontribusi

terhadap pembentukan skar melalui kemampuannya dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta,

memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang

rapat.

Ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen kolagen tipe I dari fibroblast pasien

skleroderma. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,

ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap

apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler yang

tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative Smad-7

tampak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi yang dimediasi

Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler yang memodulasi

fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad, p300 dan protein

seluler lain mempengaruhi progresifitas proses fibrogenik scleroderma dengan cara memodulasi

transkripsi gen.

Page 11: Skleroderma Word

2.5 Klasifikasi dan gejala klinis

Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat dibagi

menjadi dua kelompok yaitu :

1. Skleroderma Lokal

Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma), adalah

suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang menyebabkan

penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya tanpa keterlibatan sistemik. Pada

awalnya morfe tampak sebagai plak atau bercak eritematosa yng terkadang tampak menyerupai

jarring (reticulated). Selanjutnya terbentuk plak hipopigmentasi dengan bagian sklerotik pada

bagian tengahnya yang dikelilingi warna kemerahan atau keunguan pada tepinya (fase

inflamatorik). Rasa nyeri dan/atau gatal dapat mendahului lesi kulit. Bagian yang sklerotik

menjadi berwarna putih mengkilat dengan warna hiperpigmentasi di sekitarnya (fase sklerotik).

Setelah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, plak slerotik akan melunak dan menjadi atrofik

dengan warna hipo atau hiperpigmentasi (fase atrofik). Fase atrofik menyebabkan kulit tampak

berkerut seperti cigarette paper, cliff drop (dermal), atau deep indentions (subkutis atau lebih

dalam).

1) Morfea sirkumkripta

Morfea sirkumkripta berupa satu buah atau beberapa lesi berbentuk bulat atau lonjong

yang mengikuti fase sebagaimana disebutkan di atas. Pada jenis superficial, kelainan

hanya terbatas pada epidermis dan dermis, sedangkan pada jenis dalam, kelainan juga

mencapai jaringan subkutan, fasia, dan otot. Pasien dengan morfea jenis ini sebaiknya

diikuti, karena dapat berkembang menjadi morfea linear atau morfea generalisata.

Atrophoderma of Pasini and Pierini diduga merupakan residua morfea tipe plak. Kelainan

Page 12: Skleroderma Word

ini berupa lesi berwarna abu-abu kecoklatan, berbentuk lonjong, bulat, atau tidak

beraturan , dengan permukaan yang licin dan atrofik, berbatas tegas. Pada tepi lesi

atrophoderma terdapat “clift drop” sehingga tampak seperti lesi morfea yang mengalami

“bumt-out”

2) Morfea generalisata

Ditandai oleh adanya 4 buah lesi atau lebih yang terdapat pada minimal 2 dari 7 lokasi

anatomis yang berbeda. Terdapat tiga jenis morfea generalisata yaitu isomorfik, simetrik,

dan pansklerotik. Berbeda dengan scleroderma sistemik pada morfea generalisata tidak

itemukan akrosklerosis atau sklerodaktili. Lesi sering ditemukan pada batang tubuh dan

menyebar pada daerh akral namun tidak mengenai jari tangan dan kaki. Atrofi otot dapat

ditemukan namun tidak didapat keterlibatan organ dalam.

3) Morfea linear

Jenis ini sering ditemukan pada decade awal kehidupan. Morfea linear biasanya

mengenai daerah ekstremitas dan wajah, namun dapat pula ditemukan di daerah batang

tubuh. Lesi linear multipel tidak jarang ditemukan. Kelainan ini dapat mengenai dermis,

subkutis, otot, dan tulang sehingga menyebabkan deformitas yang bermakna. En coup de

sabre yang berartipotongan pedang, menunjukkan plak atrofikberbentuk pita linier pada

dahi yang meluas ke daerah scalp, alis, hidung, dan bibir. Sindrom parry-rhomberg

meliputi epilepsy, aksoftalmus, alopesia, dan progressive facial hemiatrophy, yaitu atrofi

unilateral progresif lambat, yang dapat mengenai kulit, jaringan lunak, otot dan/atau

tulang. Jika mengenai ekstremitas bawah, dapat ditemukan spina bifida, gangguan

perkembangan tungkai, herniatrofi, atau kontraktur fleksi.

4) Deep morphea

Page 13: Skleroderma Word

Deep morphea meliputi dermis dalam, jaringan subkutis, fasia, dan otot. Lesi berupa plak

berbatas difus yang simetris. Kulit teraba menebal dan melekat pada fasia serta otot di

bawahnya. Tanda groove dapat ditemukan pada tendon dan ligament.

2. Sklerosis sistemik

Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan

penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal yang luas terutama

paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan

gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional yang

menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari proses fibrosis.

Adanya gambaran skleroderma, membedakan sklerosis sistemik dari penyakit jaringan ikat lain

(Gabrielli et al., 2009).

Manifestasi klinis scleroderma sitemik bergantung pada perluasan dan stadium penyakit

pada diffuse cutneous scleroderma terjadi pengerasan kulit yang progresif. Selain itu ditemukan

Page 14: Skleroderma Word

fenomena Raynaud yang terjadi dalam satu tahun setelah kulit mulai mengeras. Kelainan

biasanya mengenai batang tubuh, wajah, lengan atas, dan tungkai atas. Selain itu dapat

ditemukan anti-Scl 70 atau antibody anti RNAPIII. Selanjutnya dapat terjadi fibrosis paru,

keterlibatan jantung dan gangguan ginjal. Pada limited cutaneous scleroderma terdapat

pengerasan kulit pada daerah ekstremitas yang terletak jauh dari sendi lutut dan siku termasuk

wajah. Pada tipe ini biasanya pasien sudah lama mengalami fenomena Raynaud. Antibody anti-

centromere dan hipertensi arteri pulmonal dapat ditemukan. Kalsinosis, fenomena Raynaud,

dismotilitas esophagus, sklerodaktili dan telengiaktasis (CERST) merupakan bagian dari

kelainan ini.

a. Vaskulopati

Fenomena Raynaud biasanya mengawali kelainan ini, yaitu pda >90% pasien.

Fenomena Raynaud adalah serangan vasospasme berulang pada arteriol atau arteri

kecil di jari tangan dan jari kaki yang bisanya disebabkan oleh stimulus suhu

dingin atau stimulus lain, misalnya stress emosional. Secara klinis fenomena

Raynaud berupa warna pucat atau iskemia yang muncul tiba-tiba dan terasa nyeri

pada satu atau beberapa jari tangan atau jari kaki yang diikuti hyperemia reaktif

setelah dihangatkan.

b. Kulit

Keterlibatan kulit termasuk tanda cardinal scleroderma dan biasanya muncul pertama

kali pada jari tangan dan jari kaki. Seiring berjalannya waktu, akan terjadi edema non

pitting pada jari tangan (puffy fingers), tangan dan ekstremitas. Selanjutnya akan terjadi

peningkatan indurasi dan penebalan kulit (sklerodactily). Sendi tangan lebih sering

terkena, dapat terjadi resorbsi dan pemendekan phalang serta penyempitan rongga antar

Page 15: Skleroderma Word

sendi. Bergantung pada lokasi penebalan kulit dapat terjadi keterbatasan gerak sendi

atau gerak pernafasan, pada wajah dapat ditemukan teleangeaktaksis, hidung yang

berbentuk seperti paruh dan berkurangnya arpertura mulut (microstomy). Selain itu

terdapat galur radial di sekitar mulut dan tidak ada ekspresi wajah. Pada kulit dapat pula

ditemukan warna hipo dan hiperpigmentasi (salt and papper), kerontokkan rambut serta

hilangnya kelenjar keringat (hipo/anhidrosis).

c. Jantung dan paru

Dapat ditemukan fibrosis paru dan jantung serta hipertensi arteri pulmonalis. Secara

klinis ditemukan sesak naafas, batuk non produktif, gangguan kapasitas difusi dan

sianosis. Skleroris jantung dapat menyebabkan gangguan konduksi yang menyebabkan

aritmia.

d. Saluran cerna

Keterlibatan esophagus ditemukan >90% dengan klinis disfagia dan refluks esofagitis.

Atonia usus halus dapat menyebabkan konstipasi, malabsobsi dan diare.

e. Ginjal

Muncul pada 5-10% pasien scleroderma yang dapat menyebabkan hipertensi yang

diikuti gagal ginjal akut.

Tabel 1. Perbedaan antara sklerosis sitemik terbatas dan sklerosis sistemik difusa

Sklerosis Sistemik Terbatas versus Sklerosis Sistemik Difusa

Tampilan Sklerosis Sistemik Terbatas Sklerosis Sistemik Difus

Kulit yang

terlibat

Terbatas pada jari, lengan

distal, wajah, progresifitas

lambat

Difus: jari-jari, ekstremitas,

wajah, badan, progresifitas cepat

Fenomena Mendahului keterlibatan kulit; Sejalan dengan keterlibatan kulit

Page 16: Skleroderma Word

Raynaud berhubungan dengan iskemia

Fibrosis

pulmonal

Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat

Hipertensi arteri

pumonal

Sering, lambat, mungkin

terisolasi

Dapat terjadi, berhubungan

dengan fibrosis pulmonal

Krisis renal

scleroderma

Sangat jarang 15 % terjadi; diawal

Kalsinosis kutis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan

Karakteristik

autoantibody

Antisentromer Antitopoisomerase (Scl-70)

Page 17: Skleroderma Word

Gambar 8. (A,B) Keterlibatan kulit tersebar pada sklerosis sintemik, (C.) Amputatum (Denton and Black, 2006).

2.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan Autoantibodi

Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu

sebesar 46%-80% dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan homogenous

immunofluorescence. Bila meluas, 36%-53% kasus memiliki anti-single stranded DNA

dan/atau antibody antihiston. Umumnya, pasien dengan morfea generalisata memiliki

antibodi positif dengan frekuensi yang lebih tinggi dibanding jenis morfea lainnya, dan

autoantibodi berhubungan dengan presentasi klinis yang lebih berat, jumlah lesi yang lebih

banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang lebih lama. Pada 95% pasien

sklerosis sistemik didapatkan antibody antinuclear. ANA spesifik terhadap DNA

topoisomerase I (anti topoisomerase, anti Scl-70) didapatkan 20-30%, dan separuhnya

terdapat pada pasien sklerosis sistemik difusa. ANA spesifik yang lain adalah DNA Histon

kompleks, Anti PM-Scl dan anti RNA Polimerase I,II dan III.

A

C

B

Page 18: Skleroderma Word

b. Pemeriksaan Darah Lengkap

Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-50% pasien morfea. Kadar eosinofilia berhubungan

dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar eosinofilia dapat bersamaaan dengan

penurunan aktivitas dari lesi kutaneus dan rasio sedimentasi eritrosit meningkat 25% .

c. Pemeriksaan Imunoglobulin

Imunoglobulin yang meningkat, khususnya kadar serum imunoglobulin G, dihubungkan

dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan kontraktur sendi. Faktor rheumatoid positif

ditemukan pada 26% pasien.

d. Pemeriksaan Fungsi Ginjal, Jantung

2. Pemeriksaan Radiologis

3. Uji fungsi paru

Fibrosis paru dapat menyebabkan penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restriktif)

4. Pemeriksaan histopatologi

2.7 Diagnosa

Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan dikonfimasi dengan

biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskripsikan sebagai plak yang terlokalisir, berindurasi dan

hairless atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa “tight”, “hard”, atau

“grooved”. Morfea dapat muncul sebagai plak yang soliter, linier atau generalisata. Lesi biasanya

berdistribusi pada batang tubuh, namun juga bisa pada ekstremitas, wajah, atau kepala. Walau

beberapa pasien mengeluh gatal, namun plak itu sendiri asimptomatik.

Diagnosis dapat dilihat dari perkembangan plak berinduasi dan band di kulit, dengan atau

tanpa hemiatropi karena tidak mungkin ada di kondisi lain. Jika terdapat batas dengan lilac-

Page 19: Skleroderma Word

coloured, diagnosis makin mudah. Lesi reticulat ungu dengan minimal indurasi dapat mirip

dengan poliartritis nodosa kutaneus. Lesi dapat dimulai dengan vascular blush, dan dapat

dianggap macular vascular naevus. Pada fase akut, harus dibedakan dari scleoderma of Buschke,

tapi pada keadaan ini onsetnya lebih akut, dan lesi dapat diikuti dengan episode infeksius. Lesi

atrophic pigmented mirip dengan lesi dari atrophy of Pierini and Pasini, muncul pada 47%

pasien dalam satu seri. Plak atophic morphoeic dapat disebabkan oleh injeksi vitamin K

intramuscular atau injeksi kortikosteroid subkutaneus.

Pada anak-anak, klinis yang biasanya terlihat adalah kontraktur ekstremitas yang asimetris,

yang berhubungan dengan penebalan fasia dan kulit di dasarnya, dan masalah vaskuler distal

yang dieksaserbasi oleh pembedahan ortopedi, termasuk angioma dan malformasi atriovena. Hal

ini menunjukkan bahwa distibusi lesi mewakili sklerotom, atau area tubuh yang disuplai oleh

nervus sensorik spinal, dan bahwa keterlibatan kulit dan otot muncul pada dermatom dan miotom

yang relevan.

Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan biopsi kulit. Pada biopsi kulit, di stadium awal

peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen dan edema yang ditemukan di dermis. Infiltrat

perivaskuler atau difus predominan terdiri dari limfosit walau dapat juga terdapat sel plasma dan

makrofag. Pada stadium sklerotik, dermis menebal dengan kolagen yang padat dan beberapa

fibroblas dengan infiltrat peradangan pada dermis dan subcutis junction. Saat penyakit

berkembang, fibril kolagen dermis ini bercampur dengan pola homogen dan eosinofilik.

Diagnosis Skleroderma ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul

kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan

gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun.

Page 20: Skleroderma Word

2.8 Diagnosa Banding

a. Diagnosis banding morfea

Pada gambaran klinis skleroderma lokalisata harus dibedakan dengan :

1. Lichen Sclerosus et atrophicus

Tampak plak berwarna putih gading, berbatas jelas, permukaan lesi bisa tampak meninggi

atau sama dengan kulit normal. Pada keadaan lanjut lesi menjadi cekung. Pada pemeriksaan

histopatologi ditemukan hiperkeratosis, atrofi epidermis, follicular plugging dan

homogenisasi dan kolagen dermis.

2. Lupus eritematosus discoid

Pada gambaran klinis menunjukkan plak eritematous terutama pada wajah dan kulit kepala,

berbatas tegas, berindurasi, skuama yang melekat, berbentuk bulat oval. Pemeriksaan

histopatologi menunjukkan hiperkeratosis ringan, follicular plugging, kerusakan lapisan sel

basal dengan vakuolisasi dan ukuran sel basal yang tidak teratur.

3. Granuloma anulare

Gambaran klinisnya menunjukkan plak berbentuk semisirkuler atau anular berwarna

kecoklatan dengan bagian tengah mengalami regresi. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan

radang kronik dan infiltrasi histiosit dalam dermis bagian superfisial dan tengah dengan

necrobiosis of collagen yang dikelilingi oleh suatu dinding dari palisade histiosit dan

multinucleated giant cells.

b.Diagnosa Banding Skleroderma sistemik

a. Morbus Hansen

Pada Morbus Hansen didapatkan kelainan kulit hipopigmentasi atau eritematus dengan

adanya gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat timbul gejala seperti Fasies

Page 21: Skleroderma Word

Leonina, penebalan cuping hidung, madarosis dan Gloves and stocking anastesia. Selain itu

juga terdapat kerusakan syaraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik dan autonomik. Sehingga

dapat muncul hipoestesia, kelemahan otot sampai terjadi amputasi dan lesi yang terserang

tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran syaraf tepi terutama dekat dengan

permukaan kulit. Bila terdapat reaksi kusta tipe II dapat diikuti kelainan organ lain.

b. Vitiligo

Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik didapat ditandai dengan makula putih yang

meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit. Makula dapat

hipo atau hiperpigmentasi dengan diameter beberapa millimeter atau sentimeter batas tegas

tanpa perubahan epidermis yang lain. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Daerah

yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama pada jari, periorifisial sekitar

mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Pada area

yang terkena trauma dapat timbul vitiligo.

c. Raynaud disease

Tabel 2. Perbedaan Fenomena Raunaud Primer dan Sklerosis Sistemik

No Perbedaan Fenomena Raynaud

Primer

Sklerosis Sitemik

1. Perempuan: Laki-laki 20:1 4:1

2. Umur mulai timbul Pubertas >24 thn

3. Frekuensi serangan

perhari

>10x 5x

4. Faktor Pencetus Dingin, emosi Dingin

5. Proliferasi intima Negatif Positif

6. Antibodyantinuklear Negatif 90-95%

Page 22: Skleroderma Word

7. Antibodi antrisentromer Negatif 50-60%

8 Antibodi anti Acl-70 Negatif 20-30%

9 Aktivasi trombosit in

vivo

Negatif >75%

1.10 Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Umum (KIE)

Memberitahu pasien bahwa pada morfea adalah penyakit yang tidak berbahaya pada

kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat progresif lambat; namun biasanya

terjadi remisi spontan.

Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi range of

motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi.

Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada

ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan diskrepansi

panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang meluas juga

membutuhkan follow-up yang lebih.

Penderita harus dilindungi terhadap kedinginan, bila terdapat fenomena Raynaud.

b. Penatalaksanaan Khusus

Secara umum belum ada pengobatan yang memuaskan untuk scleroderma, baik bentuk

lokal maupun sistemik.

1. Penatalaksanaan Skleroderma Lokalisata/Morphea

Pada kebanyakan kasus, lesi skleroderma lokalisata menjadi inaktif secara spontan dan

pada kasus yang lebih berat dapat menyebabkan fibrosis/sklerosis ireversibel dari kulit dan

Page 23: Skleroderma Word

jaringan subkutan. Pengobatan ditujukan pada komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan

aktivasi dan deposit kolagen. Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morfea

dengan keberhasilan yang bervariasi

Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi bedah plastik atau injeksi triamsinolon

acetonid intralesi, dengan dosis 1 mg/lokasi suntikan, maksimal 10 lokasi suntik. Pengobatan

topikal dengan salep kortikosteroid (triamsinolon, betametason dll) dapat mencegah

meluasnya lesi. Perlu emolien dan sunscreen.

Fototerapi juga dapat digunakan untuk pengobatan. Beberapa studi telah menunjukkan

perkembangan pada mayoritas pasien morfea menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A,

broad band ultraviolet A (UVA), atau fototerapi UVAI.

Pendekatan praktis: untuk cakupan yang terbatas dengan satu atau sedikit lesi morfea,

dapat menggunakan pengobatan topikal seperti calcipotriene, tacrolimus, retinoids, atau tidak

menggunakan pengobatan sama sekali. Di sisi lain, lesi en coup de sabre dapat menyebabkan

kecacatan yang nyata. Pendekatan pada lesi wajah menggunakan hydroxychloroquine dan

mungkin methotrexate dalam kombinasi dengan dosis kecil (5 sampai 10 mg) dari

kortikosteroid sistemik. Pada cakupan yang lebih luas, dapat digunakn fototerapi. Jika

pendekatan tersebut tidak berhasil, atau jika terdapat keterlibatan subkutaneus yang banyak,

pengobatan yang bermanfaat adalah methotrexate. D-penicillamine, cyclosporine, dan agen

immunosuppressive lainnya juga telah digunakan .

Pada kasus pediatrik dengan pertumbuhan yang terganggu dari ekstremitas yang terkena,

intervensi bedah, dan stapling dari lempeng epifisis dari sisi yang normal dapat efektif. Hal

ini akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat, namun berkelanjutan, dari ekstremitas

yang terkena dan dapat menyebabkan tingkat perbedaan ekstremitas yang lebih sedikit.

Page 24: Skleroderma Word

2. Penatalaksanaan Skleroderma Sistemik

Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat penyakit

merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan

perlunya terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat

tergantung manifestasi organ spesifik.

Pada bentuk yang sistemik adapat digunakan kortikosteroid secara oral : Prednison dosis

awal 30 mg/hari diturunkan secara perlahan-lahan hingga dosis maintenance 2,5 – 5 mg/hr.

Bisa diberikan juga vitamin E 200 IU per hari selama 3-6 bulan. Juga bisa digunakan

methyldopa 125-500 mg/hari, dinaikkan secara bertahap dipertahankan 1-3 bulan sampai ada

kemajuan klinis.

Strategi penatalaksannan skleroderma telah berkembang dengan pesat beberapa tahun

terakhir ini seperti tampak pada gambar di bawah ini.

2.10 Komplikasi

Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering ditemukan pada

skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan gangguan

mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada skleroderma linier meliputi ekstremitas dan garis sendi

berlawanan. Anak-anak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa. Pada kasus yang

berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada ekstremitas yang terlibat

karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan keterlibatan kraniofasial linier, seperti en

coup de sabre dan hemiatropi fasial, dapat memiliki abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan

oral. Kasus berat morfea dikarakterisasi dengan hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan atropi

jaringan yang mendasari dapat menjadi hancur (Ricard et al., 2006). Komplikasi Skleroderma

Page 25: Skleroderma Word

sistemik terjadi akibat PAH (pulmonary arterial hypertension), RP (Raynaud’s phenomenon)

dan SRC (scleroderma renal crisis).

2.11 Prognosis

Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak melibatkan sistemik,

walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit jaringan penghubung lainnya yang pernah

dilaporkan. Kebanyakan kasus adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk umur

rata-rata 3-5 tahun. Beberapa pasien dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara nyata.

Dalam 13% pasien dengan skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi setelah beberapa tahun

remisi. En coup de sabre dapat tidak terdeteksi selama beberapa dekade. Hal ini mungkin karena

morfea menjadi proses kronik dengan kadar rendah dari aktivitas selama beberapa tahun. Sedikit

atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya gejala penyakit yang

persisten.

Angka harapan hidup lima tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan

hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ

visceral. Pada sklerosis sitemik difus kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung

atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi

pulmonal dan malbsorbsi. Pasien sklerosis sitemik mempunyai resiko yang tinggi untuk

mendapatkan keganasan, terutam karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin Hal ini

turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sitemik. Satu hal yang unik adalah bahwa

resiko timbulnya adenokarsinoma esophagus sangat rendah walaupun terdapat metaplasi mukosa

esophagus distal (metaplasia Barret). Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor

yang memperburuk prognosis sklerosis sitemik adalah :

Usia lanjut( > 64 tahun)

Page 26: Skleroderma Word

Penurunan fungsi ginjal (BUN<16 mg/dl)

Anemia (Hb<11 gr/dl)

Penurunan kapasitas difusi CO2 pada paru (<50% prediksi)

Penurunan kadar protein serum total (6 mg/dl)

Penurunan cadangan paru (Kapasitas vital paksa <80% pada Hb >14 gr/dl atau kapasitas vital

paksa < 65 % pada Hb<14 gr/dl) (Setiyohadi, 2006).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Page 27: Skleroderma Word

Skleroderma adalah penyakit kronik, tidak diketahui penyebabnya dan mengenai pembuluh

darah mikro serta jaringan ikat lunak. Skleroderma dibagi dalam dua bentuk, bentuk pertama

dinamakan skleroderma sirkumskripta atau dengan nama lain morphea atau scleroderma

lokalisata, dan scleroderma difusa progresiva atau sklerosis sitemik. Karakteristik kliniknya

adalaah adanya indurasi dan penebalan kulit. Deposit jaringan ikat dan obliterasi pembuluh darah

ditemukan dikulit maupun di alat-alat dalam tertentu.

Tujuan penatalaksanaan disesuaikan dengan organ mana yang terlibat. Derajat penyakit

merupakan kunci untuk dimulainya terapi. Progresifitas perubahan kulit menunjukkan perlunya

terapi segera utnuk mencegah kerusakan organ internal. Pemilihan terapi yang tepat tergantung

manifestasi organ spesifik.

Kebanyakan kasus pada morfea adalah self-limited, dengan aktifitas klinik yang nyata untuk

umur rata-rata 3-5 tahun. Sedangkan pada sklerosis sistemik harapan hidup akan makin pendek

dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya keterlibatan organ visceral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bernard M. Karnath, MD. Clinical Features of Systemic Sclerosis

Page 28: Skleroderma Word

2. Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T, 2009, Scleroderma. The New England Journal of

Medicine, Massachusetts Medical Society.

3. Setiyohadi B., 2006, Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, 1239-1244,

Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, Jakarta

4.