Upload
putry-dqueen
View
29
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bahan bacaan
Citation preview
KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILUKADA ACEH 2012
( Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon Perseorangan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Syiah Kuala Untuk Melengkapi Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh :
Teuku Hafas Hafizie
N I M : 0710103010003Program Studi : Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM, BANDA ACEH
2012
i
ABSTRAK
Teuku Hafas Hafizie KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILUKADA2012 ACEH 2012 ( Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon
Perseorangan)Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Syiah Kuala (v,66),pp,bibl(M. Jafar, SH, M. Hum dan Effendi Hasan, MA)
Polemik mengenai calon perseorangan/independen di Aceh terus bergulirdan beberapa praktisi maupun akademisi telah memaparkan alasan-alasanpembenar mengenai pentingnya diakomodasikan calon perseorangan/independendalam Pemilukada Aceh tahun 2012. Pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilaidemokrasi, sehingga semua orang memiliki hak untuk dapat maju dalamPemilukada Aceh. Langkah revisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)melalui Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi suatukeharusan untuk dilakukan ada beberapa kelompok yang menginginkan adanyacalon perseorangan/independen dan ada juga kelompok yang tidak menginginkanadanya calon perseorangan/independen yang maju dalam Pemilukada 2012sehingga menimbulkan konflik antar elit politik yang berkuasa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik elit politik Aceh tentangcalon perseorangan/independen pada Pemilukada 2012. Mengetahui penyebabPartai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menolak calonperseorangan/independen pada Pemilukada 2012. Serta Melihat faktor perubahansikap Partai Aceh (PA) melunak serta menerima calon perseorangan/independendan memutuskan ikut Pemilukada 2012 dengan mendafatarkan calon mereka diprovinsi dan kabupaten/kota.
Penelitian ini menggunakan kajian pustaka dan lapangan, kajian pustakadilakukan dengan mengumpulkan data-data melalui buku-buku dan dokumenuntuk menghasilkan data sekunder sedangkan kajian lapangan dilakukan dengancara mewawancarai responden dan informan untuk menghasilkan data primer.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadinya konflik politik diantara elitpolitik Aceh tentang calon perseorangan/independen pada Pemilukada 2012dikarenakan pencabutan Pasal 256 UU/2006 oleh MK. Perpecahan elit politik ditubuh Partai Aceh (PA) terhadap calon perseorangan/independen serta sikap tegasMK dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) terhadap konflik elit politik. AlasanPA dan DPRA bersikap tegas menolak calon perseorangan pada Pemilukada 2012karena tidak sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki,sikap MK yang tidak berkonsultasi dengan DPRA tentang pencabutan Pasal 256UUPA serta perpecahan suara dikubu partai. Perubahan sikap elit PA yangmelunak serta menerima calon perseorangan/independen dan memutuskan ikutPemilukada 2012 disebabkan karena adanya intervensi dari pusat, terciptanyalobi-lobi politik antara PA dan Pusat, tidak ada pilihan lain untuk menggagalkancalon perseorangan maju dalam Pemilukada 2012, serta keyakinan bahwa PAakan menang dalam Pemilukada 2012.
Disarankan kepada Legeslatif dan Eksekutif Aceh membuat perangkathukum yang jelas tentang calon perseorangan, melakukan komunikasi politik,serta diberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar kedepannya konflik elitpolitik dapat dihindarkan.Kata Kunci : Konflik, Elit, Pasal 256 UUPA, Partai Aceh, Independen dan MK.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan karunia-
skripsi ini dengan judul
PEMILUKADA ACEH 2012 (Suatu Analisa
Perseorangan)”, merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dan
menyelesaikan pendidikan pada Universitas Syiah Kuala.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
SAW, yang telah menyampaikan segala kebaikan kepada umatnya se
termasuk golongan umat yang baik
sahabat, dan tabi’in beliau.
Penyusunan skripsi ini banyak mendapat dukungan dan bant
berbagai pihak serta
penghargaan secara khusus kepada
1. Bapak M. Jafar, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak membantu memberikan sumbangan pemikiran dan menstransfer
ilmu yang begitu besar
2. Bapak Effendi Hasan, MA
memberikan ilmu serta bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.
3. Responden dan Informan
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ayah tercinta T. Munzar dan mama tersayang Nurfadhillah Hanum yang
telah membesarkan dan mengajarkan arti kehidupan serta selalu berdo’a
dan memberi dukungan atas keberhasilan penulis, kemudian kepada
kakanda Cut Danila Helwani yang selalu memberikan motivasi
bagi penulis dan merupakan tanggung jawab bagi penulis untuk
memberikan hasil yang terbaik.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
-Nya sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan judul “KONFLIK ELIT POLITIK DALAM
ILUKADA ACEH 2012 (Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon
, merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dan
menyelesaikan pendidikan pada Universitas Syiah Kuala.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
SAW, yang telah menyampaikan segala kebaikan kepada umatnya se
termasuk golongan umat yang baik dan berilmu, dan juga ke
beliau.
Penyusunan skripsi ini banyak mendapat dukungan dan bant
serta mengucapkan beribu terimakasih dan memberikan
n secara khusus kepada :
Bapak M. Jafar, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak membantu memberikan sumbangan pemikiran dan menstransfer
ilmu yang begitu besar dalam menyelesaikan skripsi ini.
Effendi Hasan, MA selaku Pembimbing II yang telah banyak
memberikan ilmu serta bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.
Responden dan Informan yang telah memberikan masukan serta pemikiran
dalam penyelesaian skripsi ini.
tercinta T. Munzar dan mama tersayang Nurfadhillah Hanum yang
telah membesarkan dan mengajarkan arti kehidupan serta selalu berdo’a
dan memberi dukungan atas keberhasilan penulis, kemudian kepada
kakanda Cut Danila Helwani yang selalu memberikan motivasi
bagi penulis dan merupakan tanggung jawab bagi penulis untuk
memberikan hasil yang terbaik.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
Nya sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan
“KONFLIK ELIT POLITIK DALAM
Kritis Terhadap Calon
, merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dan
Nabi Muhammad
SAW, yang telah menyampaikan segala kebaikan kepada umatnya sehingga kita
dan berilmu, dan juga kepada keluarga,
Penyusunan skripsi ini banyak mendapat dukungan dan bantuan dari
mengucapkan beribu terimakasih dan memberikan
Bapak M. Jafar, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak membantu memberikan sumbangan pemikiran dan menstransfer
selaku Pembimbing II yang telah banyak
memberikan ilmu serta bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.
yang telah memberikan masukan serta pemikiran
tercinta T. Munzar dan mama tersayang Nurfadhillah Hanum yang
telah membesarkan dan mengajarkan arti kehidupan serta selalu berdo’a
dan memberi dukungan atas keberhasilan penulis, kemudian kepada
kakanda Cut Danila Helwani yang selalu memberikan motivasi dan do’a
bagi penulis dan merupakan tanggung jawab bagi penulis untuk
iii
5. Segenap dosen, pengajar dan seluruh civitas akademika Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik;
6. Seluruh keluarga besar (alm) paknek H. T. Budiman Husain dan (alm)
paknek Abdurrahman terutama kepada nenek (alm) Sawiyah dan nenek
(alm) Hj. Wathaniah serta semua sepupu di Aceh;
7. Seluruh Almamater tercinta Madrasah Ulumul Qur’an, ustadz dan
ustadzah dan seluruh peserta didik dan alumni, serta angkatan Angkasa
(Santri Angkatan Dua Puluh Satu);
8. Kepada utadz yang telah mengajarkanku mengaji, ustadz. Amirudin
Husnur, Nasrudin Nurdin, M. Yusuf Jamil, Hamli Yunus dan Abi Jailani,
sehingga bisa menggapai harapan belajar sambil terus mengaji;
9. Kepada teman-teman sejawat dan seperjuangan dalam menuntut ilmu
khususnya teman satu ruangan Ilmu Politik 1;
10. Terakhir buat seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu penyusunan skripsi ini, semoga Allah membalas amal
mereka.
Banda Aceh, 4 Mei 2012
Penulis
TEUKU HAFAS HAFIZIE
iv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iv
LAMPIRAN........................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Perumusan Masalah.............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian................................................................ 5
E. Sistematika Penulisan........................................................... 6
BAB II KONFLIK ELIT POLITIK................................................... 8
A. Sejarah Konflik .................................................................... 8
B. Teori Konflik........................................................................ 10
C. Konflik Elit Politik ............................................................... 13
D. Bentuk-bentuk Konflik dan Faktor-faktor
Penyebab Konflik................................................................. 14
E. Kelebihan dan Kelemahan Konflik ...................................... 16
F. Elit Politik Lokal dan Non Lokal ......................................... 18
G. Pengertian Elit dan Klasifikasi Elit ...................................... 20
H. Calon Perseorangan/Independen dan Partai Politik ............. 22
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 27
A. Jenis Penelitian.................................................................... 27
B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................... 27
C. Populasi dan Sample Penelitian .......................................... 29
D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 29
E. Teknik Analisa Data............................................................ 30
F. Definisi Oprasional Variabel Peneliti ................................. 30
v
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................... 32
A. Penyebab Konflik Diantara Elit Politik Aceh Tentang
Calon Perseorangan/Independen Pada Pemilukada
Aceh 2012 .......................................................................... 32`
1. Pencabutan Pasal 256 UU/2006 oleh Mahkamah
Konstitusi.................................................................. 33
2. Adanya Perpecahan Elit Politik di Tubuh Partai Aceh
(PA) Terhadap Calon Perseorangan/Independen ..... 37
3. Sikap MK dan KIP Terhadap Konflik Elit
Politik Aceh............................................................. 41
B. Alasan Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh Bersikap tegas Menolak Calon Perseorangan/
independen Pada Pemilukada 2012 ................................... 47
1. Tidak Sesuai dengan MoU Helsinki.......................... 47
2. Mahkamah Konstitusi tidak Berkonsultasi dengan
DPRA tentang Pencabutan Pasal 256 UUPA............ 50
3. Menimbulkan Perpecahan Suara dikubu Partai......... 52
C. Perubahan Sikap Elit Partai Aceh (PA) yang Melunak
Serta Menerima Calon Perseorangan/Independen
dan Memutuskan Ikut Pemilukada 2012 ........................... 54
1. Adanya Intervensi dari Pusat.................................... 55
2. Terciptanya Loby-loby Politik antara PA dan Pusat. 56
3. Tidak ada pilihan lain untuk mengagalkan calon
perseorangan maju dalam pemilhan 2012 ................ 58
4. Keyakinan bahwa PA akan Menang dalam
pemilihan 2012. ....................................................... 60
BAB V PENUTUP............................................................................... 62
A. Kesimpulan.......................................................................... 62
B. Saran.................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2012,
perseteruan di tingkat elit Aceh sempat memanas tentang calon perseorangan.
Berbagai manuver dijalankan demi ambisi dan kepentingan masing-masing elit
politik. Ironisnya, dalam kondisi seperti ini ternyata nyawa masyarakat tidak
segan-segan dipertaruhkan. Sejak penembakan dilakukan di Aceh Timur,
kemudian di Aceh Utara, Bireuen, Banda Aceh dan terakhir di Aneuk Galong
Aceh Besar telah menebar suatu ketakutan di tengah-tengah masyarakat serta
mengingatkan kembali pada saat konflik Aceh masa lalu. Nyawa manusia
dijadikan pertaruhan demi ambisi politik pihak-pihak tertentu. Apa yang terjadi di
Aceh memang sulit untuk digambarkan. Yang jelas konflik elit politik pada
Pemilukada ini benar-benar telah menjadi persoalan berat bagi rakyat Aceh
(Teuku Zulkhairi, Harian Analisa, 26/01/2012 ).
Konflik elit menjelang Pemilukada 2012 dimulai sejak keluar Keputusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang mencabut Pasal 256
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tentang ketentuan yang mengatur
calon perseorangan dalam Pemilukada hanya berlaku satu kali sejak Undang-
Undang ini ditetapkan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membolehkan hadirnya
calon perseorangan dengan mencabut Pasal 256 UUPA ternyata mendapat protes
2
keras dari elit Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Alasan penolakan terhadap keputusan MK, karena putusan tersebut tidak mengacu
pada UUPA yang secara nyata telah memberikan keistimewaan penuh untuk
Aceh, dimana dalam UUPA sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada
pemerintah pusat agar setiap keputusan hukum (Undang-Undang) baru atau
penyesuain harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA), seperti yang tercantum dalam UUPA dalam Bab XL
Ketentuan Penutup Pasal 269 UUPA ayat 3, namun hal ini ternyata tidak
dilakukan oleh Pemerintah Pusat terkait penghapusan Pasal 256 UUPA, dan ini
merupakan salah satu bukti Pemerintah Pusat yang mengangkangi hak-hak
istimewa rakyat Aceh pasca perdamaian (Saumi, Tribunnews, 26/11/2011).
Pada sebagian yang lain Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh terus
menjalankan tahapan Pemilukada Aceh berpedoman pada Qanun No. 7 Tahun
2006 , dengan adanya putusan MK yang mencabut Pasal 256 UUPA, yang
mengatur tentang calon perseorangan/independen maka secara otomatis Qanun
tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena dalam Qanun itu tertulis calon
perseorangan/independen hanya berlaku satu kali dalam Pemilukada Aceh.
Polemik mengenai calon perseorangan di Aceh terus bergulir dan beberapa
praktisi maupun akademisi telah memaparkan alasan-alasan pembenar mengenai
pentingnya diakomodasikan calon perseorangan/independen dalam Pemilukada
Aceh tahun 2012. Pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, agar
semua orang memiliki hak untuk dapat maju dalam Pemilukada Aceh. Langkah
3
revisi UUPA melalui Judicial Review (JR) ke MK menjadi suatu keharusan untuk
dilakukan (Indra Rahmansyah, Waspada Medan, 23/08/2011).
Penolakan partisipasi calon perseorangan/independen dilakukan oleh 40
orang anggota dewan dalam voting sidang paripurna DPRA. Anggota dewan yang
menolak calon perseorangan/independen beralasan bahwa Pasal 256 UU No.11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh membatasi hanya satu kali keikutsertaan
calon perseorangan/independen dalam Pemilukada di Aceh.
PA menggugat MK untuk membatalkan keputusan MK yang
memperbolehkan adanya calon perseorangan/independen dalam Pemilukada Aceh
2012. PA menilai, uji materi Pasal 256 UUPA (calon independen) bertentangan
dengan UUD 1945 dan menimbulkan konflik regulasi di Aceh jelang
Pemilukada. PA terus melakukan usaha untuk membatalkan putusan MK pada
Pasal 256 UUPA dan mendesak eksekutif dan KIP Aceh membatalkan
Pemilukada karena tidak ada dasar hukum.
PA dan DPRA juga menilai, MK yang mencabut Pasal 256 UUPA yang
mengatur tentang calon perseorangan hanya berlaku sekali pada Pilkada 2006
bertentangan dengan Pasal 269 ayat 3 UUPA. DPRA melihat putusan MK tentang
permohonan JR Pasal 256 UUPA sama sekali tidak pernah melibatkan DPRA,
sebagaimana diamanatkan Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menyatakan bahwa
setiap perubahan terhadap isi UUPA harus dikonsultasikan dan mendapat
pertimbangan DPR Aceh. Namun, desakan PA tidak digubris oleh KIP Aceh
yang terus menjalankan tahapan Pemilukada Aceh. KIP beralasan, tahapan
4
Pemilukada telah merujuk kepada Undang-Undang dan tidak ada alasan untuk
membatalkan Pemilukada Aceh.
Kemelut tentang calon perseorangan akhirnya membuat PA menolak untuk
mendaftarkan diri dalam Pemilukada mengatakan putusan sela MK sama sekali
belum menyentuh substansi yang menjadi akar persoalan konflik regulasi
Pemilukada Aceh. Karenanya, PA memastikan tidak akan mendaftarkan calonnya,
baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, meskipun peluang itu telah dibuka
kembali. Namun demikian, persoalan kembali berubah sebagaimana layaknya
politik pada umumnya dimana kepentingan lebih dominan dari sebuah sikap
maupun konsistensi prinsip.
Pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf kembali mendaftar sebagai calon
kepada KIP Aceh untuk maju dalam Pemilukada Aceh, dengan pertimbangan, PA
tak ingin Pemilukada berujung konflik. Menurutnya, segala keputusan yang telah
diambil sebelumnya, adalah untuk kepentingan penyelamatan perdamaian Aceh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, kajian ini akan merumuskan beberapa
pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi konflik diantara elit politik Aceh tentang calon
perseorangan/independen pada Pemilukada 2012?
2. Mengapa Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
bersikap tegas menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada
2012?
5
3. Apa yang menyebabkan sikap Partai Aceh (PA) melunak dan memutuskan
untuk ikut Pemilukada 2012?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai untuk:
1. Mengkaji konflik elit politik Aceh tentang calon perseorangan pada
Pemilukada 2012.
2. Menganalisis penyebab Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada
Aceh tahun 2012.
3. Menilai faktor perubahan sikap Partai Aceh (PA) yang melunak serta
menerima calon perseorangan/independen dan memutuskan ikut
Pemilukada 2012 dengan mendafatarkan calon mereka baik di provinsi dan
kabupaten/kota.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian akademis yang akan
menjadikan hasil penelitian ini sebagai referensi teoritis untuk kemudian
dapat menjadi pertimbangan bagaimana pelaksanaan Pemilukada di Aceh
ke depan menjadi lebih baik.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemikiran di bidang
sosial terutama dalam pengembangan bidang ilmu hukum dan politik,
sehingga dapat menciptakan tatanan hukum dan politik yang lebih baik
untuk masa depan.
6
3. Hasil ini diharapkan bisa menjadi stimulan dalam pengembangan dunia
akademik, terutama bidang hukum dan politik dan menjadi acuan untuk
penelitian selanjutnya di bidang politik.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini secara keseluruhan disusun berdasarkan bab perbab.
Skripsi ini akan dibagi dalam lima bab.
Bab I pendahuluan,yang berisikan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, sistematika pembahasan terhadap
konflik elit politik dalam pemilukada Aceh 2012.
Bab II tinjauan pustaka, dalam bab ini dibahas mengenai kehadiran calon
perseorangan pertama kali di Indonesia dalam pemilihan kepala daerah terutama
di Aceh, dalam hal ini teori yang digunakan adalah teori konflik sehingga masalah
yang timbul dalam penelitian ini dapat dikaji melalui teori tersebut baik dengan
cara studi pustaka maupun studi lapangan sehingga hasil yang didapat dapat lebih
akurat.
Bab III metodelogi penelitian, dalam bab ini dibahas mengenai lokasi
penelitian dilakukan dikota Banda Aceh, populasi penelitian ini adalah
masyarakat kota Banda Aceh, sampel yang diambil sebagian dari populasi yaitu
anggota DPRA, PA, KIP, serta informan yang dipercaya sebagai objek penelitian.
Bab IV hasil dan pembahasan, dalam bab ini dibahas, penyebab konflik
diantara elit politik Aceh tentang calon perseorangan/independen pada
pemilukada aceh 2012, alasan Partai Aceh (PA) dan dewan perwakilan rakyat
Aceh bersikap tegas menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada
7
2012, perubahan sikap elit Partai Aceh (PA) yang melunak serta menerima calon
perseorangan/independen dan memutuskan ikut Pemilukada 2012.
Bab V penutup, Berisikan kesimpulan, dan saran hasil pembahasan.
8
BAB II
KONFLIK ELIT POLITIK
A. Sejarah Konflik
Meskipun sejak zaman dahulu kala orang telah tertarik untuk meneliti
mengenai konflik, abad kesembilan belas telah membuat gebrakan yang dramatis
dan enerjik, yang dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Charles
Darwin tertarik mengenai perjuangan yang dilakukan suatu spesies untuk bertahan
hidup(“survivel of the fittest”). Sigmund Freud mempelajari tentang perang antar
berbagai kekuatan psikodinamika untuk mengontrol ego yang terjadi di dalam diri
seseorang.
Karl Marx mengembangkan analisis politis dan ekonomis berdasarkan
asumsi bahwa konflik adalah bagian yang terletak dalam sebuah masyarakat, yang
mencerminkan filosofi dialektis yang menjadi pegangannya dengan menarik
kesimpulan dari hasil-hasil pemikiran para pemikir abad kesembilan belas, bahwa
konflik selalu bersifat merusak, sebenarnya kita kehilangan inti dari hasil kerja
mereka. Ketiganya juga melihat adanya konsekuensi merugikan maupun
menguntungkan yang dapat muncul dari terjadinya konflik (Dean Pruitt, dkk.,
2004:12-17).
Asal mula konflik Aceh disebutkan bahwa Aceh sudah bergejolak dalam
konflik sebelum bergabung bersama Indonesia hingga akhir abad 19, Saat Aceh
ditetapkan menjadi salah satu wilayah Kesatuan Republik Indonesia.
9
Pada tahun 1870-an, orang Aceh pernah menjadi korban agresi Belanda dan
realpolitik Inggris, selanjutnya Aceh juga menjadi korban tak berdosa dari negara
yang merangkulnya menjadi sebuah wilayah kesatuan republik (Anthony reid,
2005: 25).
Sebutan Aceh adalah laboratorium percobaan memang tepat sekali dan
sebagai wadah percobaan, Gejolak kekacauan di Aceh belum pudar hingga
sekarang. Jika zaman indatu Aceh dicoba dengan perang melawan kaphé
Beulanda, Setelah Belanda angkat kaki dari Bumi Fansuri ini perang tetap
berlanjut. Perang cumbok hingga pemberontakan DI/TII merupakan percobaan
demi percobaan untuk Aceh. Setelah merdeka pun perang masih juga ada.
Kemudian Aceh dicoba melalui metode baru yakni air laut naik ke darat.
Pasca air laut naik pun kenyataannya konflik masih juga belum berakhir di Bumi
Iskandar Muda ini. Masalah pembagian bantuan kepada korban bencana saja tetap
menimbulkan konflik. Hal itu masih ada sampai sekarang. Demikian hebatnya
Aceh dalam konflik hingga daerah ini pun mendapat gelar sebagai laboratorium
percobaan atau mungkin pula sebagai laboratorium konflik, Sehingga Indonesia
yang mengakui Aceh sebagai salah satu wilayah kesatuannyapun ikut-ikutan
menggelar percobaan di Aceh (Anthony reid, 2005: 28).
Percobaan ala Indonesia itu sangat jelas dengan beberapa ketetapan dan
kebijakan untuk Aceh semisal dicoba beri julukan daerah istimewa, lantas dicoba
dengan kebijakan syariat Islam, mungkin pula penerapan UUPA juga salah satu
percobaan Indonesia apakah Aceh mampu mengelola daerahnya atau tidak.
Kendati mengalami gejolak percobaan panjang dan berliku, bermula konflik di
10
Aceh. Aceh tidak pernah menjadi pemberitaan utama dunia (Anthony reid, 2005:
30).
B. Teori Konflik
Konflik berasal dari bahasa latin, conflictus yang artinya pertentangan
(Poerwordaminto, 2000:461). Defenisi konflik menurut para ahli sangatlah
bervariasi karena para ahli melihat konflik dari berbagai sudut pandang atau
perspektif yang berbeda-beda. Konflik dapat digambarkan sebagai benturan
kepentingan antar dua pihak atau lebih, dimana salah satu pihak merasa
diperlakukan secara tidak adil, kemudian kecewa (Nasikun, 1995:21).
Kekecewaan itu dapat diwujudkan melalui konflik dengan cara-cara yang
legal dan tidak legal. Konflik juga diartikan sebagai hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa sasaran-sasaran
yang tidak sejalan. Proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang
segala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan dan
meramalkan gejala tersebut. Konflik ini terjadi diantara kelompok-kelompok
dengan tujuan untuk memperebutkan hal-hal yang sama. Dengan demikian
konflik adalah merupakan gambaran dari sebuah permainan, baik untuk
permainan yang memenangkan kedua belah pihak (Non-Zero Sum Conflict)
maupun yang juga mengalahkan pihak lain (Zero- Sum Conflict) seperti kelas
konflik yang terjadi pada masyarakat industri (Ralf Dahrendorf, 1959:210-222).
Menurut Webster, istilah “Conflict” di dalam bahasa aslinya suatu
perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara
beberapa pihak. Kata ini kemudian berkembang dengan masuknya
11
ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-
lain. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek piskologis
di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi itu sendiri. Secara
singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan
statusnya sebagai sebuah konsep. Dengan demikian konflik diartikan sebagai
persepsi mengenai perbedaan kepentingan ( perceived of interest), atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai
secara simultan (Dean G. Pruit& Jeffrey Z, 2004:9).
Secara umum ada beberapa teori terjadinya konflik antara lain: Pertama,
konflik adalah merupakan suatu unsur sosial yang alami (Konrad Lorenz,
1989:359). Kedua, dari sudut pandang pisikologi sosial, konflik berasal dari
pertentangan antara dorongan dan motivasi fisik manusia disatu sisi dan tuntutan
norma disisi lain. Ketiga, masyarakat terbentuk dan terjaga keberadaannya bukan
berdasarkan kesepakatan melainkan berdasarkan paksaan. Untuk itu, dimanapun
manusia membentuk suatu ikatan sosial disitu akan terdapat konflik. Keempat,
dari sisi Marxisme, konflik disebabkan oleh kepemilikan harta benda (Raif
Dahrendorf, 2003: 359).
Ada banyak penyebab terjadinya konflik antara lain: Pertama, teori
hubungan masyarakat yaitu menganggap bahwa konflik disebabkan oleh olarisasi
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyrakat. Kedua, teori negoisasi prinsip yaitu menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang suatu hal.
12
Ketiga, teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar
dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang berupa kebutuhan fisik,
mental, sosial, yang tidak terpenuhi atau di halangi. Keempat, teori identitas
berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering
berakar pada hilangnya suatu atau penderitaan di massa lalu yang tidak di
selesaikan. Kelima, teori kesalahpahaman antara budaya berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai
budaya yang berbeda.
Keenam, teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh masalah-masalah ketidaksetiaan yang muncul sebagai masalah-masalah
sosial, budaya dan ekonomi. Menurut Louis Coser konflik adalah perselisihan
mengenai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa
(kekuasaan) dan sumber-sumber kekayaan yang persediaanya tidak
mencukupi/memenuhi, dimana pihak-pihak yang bekonflik tidak hanya
bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga
memojokkan, merugikan atau melemahkan lawan mereka (Paul Conn, 2000:70).
Penyebab konflik menurut (Paul Conn, 2000:70) karena dua hal: pertama,
kemajemukan horizontal yakni masyarakat secara cultural seperti: suku, ras,
agama, antar golongan, dan bahasa dari masyarakat majemuk secara horizontal
sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi, kedua, kemajemukan vertikal
seperti struktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan,
pengetahuan, dan kekuasaan.
13
C. Konflik Elit Politik
Konflik elit politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Karena tidak
ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik artinya, tidak ada
masyarakat yang tidak mempunyai konflik politik. Dalam hal ini konflik politik
yang terutama adalah konflik antar penguasa politik dalam melihat objek
kekuasaan politik. Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi
tinggi atau karena alternatif yang bersifat dinilai sulit didapat. Konflik dapat juga
didefenisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan bermanfaat
untuk meramalkan apa yang di lakukan orang. Hal ini di sebabkan persepsi yang
biasanya mempunyai dampak yang bersifat segera terhadap perilaku (Dean Pruitt,
2004:27).
Secara umum ada dua tujuan dasar konflik yakni, mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-
sumber merupakan ciri manusia yang bersifat materil-jasmaniah untuk maupun
spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam
masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan
kehendak bebas dan kepentingannya.
Tujuan konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini
sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin
memperoleh sumber-sumber yang menjadi miliknya, dan berupaya
mempertahankan dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-
sumber tersebut. Yang ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan
hidup dan keluarganya, tetapi juaga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan
14
kekuasaan yang dimiliki. Tujuan mempertahankan diri tidak menjadi monopoli
manusia saja karena binatang sekalipun memiliki watak untuk berupaya
mempertahankan diri. Maka dengan itu dirumuskan tujuan konflik politik sebagai
upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang
dianggap penting (Ramlan Surbakti 1992:155).
D. Bentuk-Bentuk Konflik dan Faktor-faktor Penyebab Konflik
Konflik merupakan sebagian dari kehidupan manusia yang tidak lenyap
dari sejarah. Selama manusia masih hidup, konflik terus ada dan tidak mungkin
manusia menghapus konflik dari dunia ini, baik konflik antar individu dengan
individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok yang
ada dalam lingkup masyarakat. Konflik senantiasa mewarnai kehidupan
masyarakat yang mencakup aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan berbagai
aspek lainnya (Fera Nugroho, 2004:22).
Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial, dimana
keduanya memiliki ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan konflik sosial dan
politik adalah kata politik yang membawa konotasi tertentu bagi isitilah konflik
politik, yakni mempunyai keterkaitan dengan negara/pemerintah, para pejabat
politik/pemerintahan dan kebijakan (Rauf, Maswadi, 2001:19).
Konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang
diarahkan untuk menentang keputusan politik, kebijakan publik dan
pelaksanaannya, juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan
prosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik (Ramlan
Surbakti, 1992:151). Sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis
15
interaksi (interaction) yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara
kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar
lainnya yang satu sama lain saling bertentangan. Dengan demikian, makna
benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan
pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu
dengan kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan
pemerintah (Ramlan Surbakti, 1992:149).
Menurut Ihwan Muis faktor-faktor penyebab konflik dalam Pemilukada
pada umumnya antara lain :
1. Kepentingan setiap elite lokal, elite nasional, pengusaha dan kepentingan
kekuatan-kekuatan politik lain di daerah yang sedang bertarung
memperebutkan kekuasaan.
2. Kesalahan penafsiran terhadap implementasi undang-undang yang
mengatur persoalan Pemilukada.
3. Belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang sering kali
kontroversial.
4. Lemahnya institusionalisasi demokrasi di tingkat lokal (KPUD) yang
menjadi faktor dominan timbulnya konflik antar kekuatan politik.
Akibatnya, aturan main berdemokrasi sering berubah, berbeda-beda, dan
tidak ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang menentukan hasil
akhir proses politik di tingkat lokal, contoh kasus Pilkada Maluku.
Diversifikasi sumber konflik adalah sebagai berikut :
16
1. Dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya sangat peka untuk
diprovokasi.
2. Pola kompetisi yang bergerak tidak sehat melalui intervensi kekuasaan,
politik uang, anarkis dan arogansi.
3. Sistem manajemen termasuk payung hukum yang tidak berwibawa, tidak
berfungsi dan tidak dihormati.
4. Rapuhnya simbol perekat dan pemersatu yang mencakup nasionalisme,
etnisisme, etika dan budaya politik yang luhur.
5. Sikap dan perilaku aktor politik yang tidak terkendali, menerabas dan
terjerumus ke deviant politik.
Dilihat dari jenisnya potensi konflik bisa melibatkan :
a. Internal Partai yang mendukung calon.
b. Konflik yang melibatkan antara kandidat satu dengan lainnya atau antara
pendukung-pendukung kandidat. Konflik antar kandidat dapat berupa black
campaign berupa usaha-usaha untuk mendeskriditkan kandidat lain dengan
cara-cara yang tidak gentle, bukan melalui adu visi-misi tetapi dengan
penyebaran berita bohong dan fitnah.
c. Konflik antar elemen masyarakat. Konflik ini berskala sangat besar, karena
melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik antar pendukung masing-masing
kandidat melibatkan pula aparat keamanan (Ihwan Muis, 2004:77).
E. Kelebihan dan Kelemahan Konflik
Meskipun konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi
manusia membuat hal ini menjadi jelas dan meskipun berbagai episode konflik
17
merupakan peristiwa-peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam
kehidupan manusia, tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan
konflik adalah salah. Orang pada umumnya mampu bergaul dengan baik dengan
orang-orang, kelompok, maupun organisasi lain, pergaulan itu mereka lakukan
dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian
rupa sehingga hanya sedikit terjadi konflik didalamnya.
Bilamana konflik itu memang tejadi, maka lebih sering konflik itu dapat
diatasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan
dapat memuaskan semua pihak. Beberapa fungsi positifnya sebagai tambahan
bagi apa yang telah di kemukan. Pertama, konflik adalah persemaian yang subur
bagi terjadinya perubahan sosial. Kedua, dari konflik sosial adalah tersebut
memfasilitasi tercapainaya rikinsilasi atas berbagai kepentingan.
Ketiga, atas dasar kedua fungsi pertama tadi, konflik dapat mempercepat
persatuan kelompok. Kelemahan konflik adalah kita telah menyaksikan banyak
perubahan sosial yang tidak di sertai terjadinya konflik. Disamping itu, ketika
konflik memang terjadi, biasanya dapat di atasi tanpa sakit hati maupun dendam,
bahkan di sertai sejumlah fungsi positif. Sekalipun demikian, konflik benar-benar
mampu menimbulkan malapetaka di masyrakat. Ketika orang menangani konflik
dengan contengding, dimana masing-masing berusaha agar dapat mungkin pihak
lawanlah yang berkorban, maka sejumlah tindakan dan tindakan balik yang
dilakukan justru akan cenderung meningkatkan intensitas konflik, peningkatan
intensitas ini umumnya disebut sebagai eskalasi (Dean Pruitt,2004,12-170).
18
Eskalasi konflik dilihat meskipun bukan berarti tidak mungkin untuk
dibalik. Pertama, taktik yang pada awalnya relatif ringan, bersahabat, dan tidak
bersifat ofensif, cenderung membuka jalan bagi tindakan yang lebih berat. Kedua,
jumlah masalah yang timbul di dalam konflik meningkat. Ketiga, fokus yang pada
awalnya bersifat khusus dapat melebar dan menjadi bersifat lebih global,
menyangkut banyak hal. Keempat, motivasi didalam konflik yang mengalami
eskalasi beranjak dari kepentingan awal salah satu pihak untuk mendapatkan yang
terbaik, yang kemudian berkembang kearah penyerangan terhadap pihak lain dan
pada akhirnya kearah memastikan dari bawah pihak lain lebih menderita daripada
dirinya.
Kelima, jumlah pihak yang berkonflik cenderung meningkat, pertama-
tama hanya antara saya dan anda, kemudian antara keluarga batin kita, lalu cepat
atau lambat akan melibatkan seluruh keluarga besar kita. Sekali konflik mulai
mengalami eskalasi, maka transformasi yang menyertainya akan sulit untuk di de-
eskalasikan (Dean Pruitt, 2004,12-170).
F. Elit Politik Lokal dan Non Lokal
Kajian ini membagi dua katagori elit dalam konteks lokal yaitu elit politik
lokal dan elit non politik lokal (S. P. Varma,1987:89, dan maurice duverger,
1982:78) teori elit mengandung bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua
kategori yang luas yang mencakup (a) sekelompok kecil manusia yang
berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b)
sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering diartikan
sebagai sekumpulan orang sebagai individu-individu yang superior, yang berbeda
19
dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang
berbeda dilingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto
membagi sertifikasi dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing
elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-
elite).
1. Elit Politik Lokal: merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan
umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal.
Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan
menjalankan kebijakan politik. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati,
Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan Partai politik.
2. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan
strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam
lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit
organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.
Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang
lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan
antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses pemilihan kepala
daerah di tingkat lokal.
Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri
maupun antar kelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit
menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi
antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian
20
terjadi diantara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa
berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a) Individu-individu dari
lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b)
Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan
masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada (S.P.
Varma,1987:203).
G. Pengertian Elit dan Klasifikasi Elit
Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang
memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebut
menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan
bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa
yang baru (S.P. Varma,1987:205-206). Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh
Masco, terutama karena terjadinya “ penjatuhan rezim,” konflik pasti tidak
terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam
cara.
Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat
digunakan seperti organisasi dan uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik,
dan lain sebagainya (S.P. Varma,1987:276). Tata cara mekanisme sirkulasi elit ini
akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi
terujutnya pergantian kekuasaan disuatu Negara.
Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak
selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukkan sifat-
sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana diatur dalam
21
UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan
mekanisme masing-masing dalam pergantian elit. Dalam memahami konstelasi
dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku
massa.
Untuk memetakan perubahan politik di masyarakat antar waktu misalnya,
kita bisa meminjam kategori teoritik dari yang membagi masyarakat atau massa
kedalam tiga kategori besar (Amitai Etzioni,1961:56). (1) massa moral; (2) massa
kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial terikat
secara politik pada suatu orsospol karena loyalitas normatif yang dimilikinya.
Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap
krisis-krisis empirik.
Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli
dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi oleh masyarakat di
sekitarnya. Massa ini akrab dengan modenitas, sebagian besar menempati lapisan
tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan
punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Massa alienatif adalah
massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada
saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu
bagiannya dan bagi proses politik secara umum.
Bagaimanapun karakteristik konfliknya, kecenderungan untuk terjadinya
“integrasi” dalam rangka untuk mengakhiri konflik pasti terjadi. Oleh karena itu,
gagasan pendekatan baru bahwa sistem politik demokrasi dapat digunakan
22
sebagai upaya penyelesaian konflik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis
(Peter Harris,2000:141).
H. Calon Perseorangan dan Calon Partai Politik
Independen dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu
“independent”, artinya bebas, merdeka atau mandiri (Partanto,1994:250). Dari
kata ini kemudian muncul istilah independensi. Independesi sendiri bisa diartikan
dengan kebebasan, kemandirian atau kemerdekaan dari pengaruh kekuatan yang
berada diluar sesuatu. Independen berarti “tidak tergantung dari”. Maka kata
independen dapat digunakan untuk mengatakan, bahwa seseorang sudah tidak lagi
bergantung pada orang lain atau kelompok lain.
Konteksnya dengan prosesi Pemilukadasung sebagaimana yang telah
dilakukan di beberapa daerah, independensi bisa diartikan sebagai suatu sifat yang
melekat pada suatu lembaga penyelenggara. Dengan demikian, secara
kelembagaan, lembaga yang ditunjuk sebagai penyelenggara itu tidak boleh
diintervensi oleh kekuatan apapun dari luar terkait penentuan kualitas kinerjanya.
Secara sederhana pengertian calon perseorangan/independen yang
dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan
yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil
kepala daerah melalui mekanisme Pemilukada tanpa mempergunakan Partai
politik sebagai media perjuangannya. Sebagai jaminan konstitusional atas hak
perseorangan untuk dapat dicalonkan sebagai calon independen, maka putusan
MK tersebut membutuhkan perangkat hukum berupa revisi terhadap UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya telah secara tegas
23
mengatur hak-hak calon independen. Landasan hukum mengenai calon
independen ini pun semakin menguat manakala dikeluarkannya UU No.12 Tahun
2008 yang secara lebih rinci mengatur mengenai persyaratan calon independen
untuk dapat maju dalam Pemilukada (Lambang Trijono, 2007:67).
Jika menimbang kekuatan antara calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang dicalonkan oleh Partai dengan calon independen, maka proses
penarikan dukungan yang akan dipakai tidak akan jauh berbeda karena calon yang
diusung partai maupun calon independen tetap mempergunakan sentimen-
sentimen yang ada dalam masyarakat sendiri. Biasanya sentimen yang dipakai
tidak jauh dari isu kultural (marga dan rumpun adat) yang menjadi basis
kesadaran masyarakat yang mudah dimobilisasi, khususnya masyarakat pedesaan.
Anggapan bahwa calon independen akan lahir dari masyarakat sendiri
dengan harapan ketika berhasil memperoleh dukungan mayoritas sebagai kepala
daerah dan wakil kepala daerah dapat langsung memperjuangkan kepentingan
konstituennya merupakan harapan yang tidak jauh berbeda dengan harapan ketika
masyarakat menentukan pilihan pada calon yang berasal dari Partai. Masyarakat
yang menyambut positif mempunyai keyakinan bahwa dengan munculnya calon
kepala daerah dari luar mekanisme Partai politik akan memberikan pilihan yang
lebih luas dan menjadikan persaingan lebih sehat. Dampak selanjutnya yang
diharapkan adalah munculnya calon dari luar Partai akan menyehatkan proses
demokrasi dan akhirnya menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas
(Lambang Trijono, 2007:32).
24
Perbedaan yang kontras antara calon perseorangan/independen dengan
calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan
suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik
yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur)
dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang
diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat
dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan
berbagai parpol. Karena calon independen hanya mengandalkan kemampuan
pribadi calon, maka yang si calon hanya dapat memperoleh legitimasi politiknya
dari konstituen yang independen pula.
Dalam timbangan kelembagaan demokrasi perwakilan melalui sistem
pemilihan, maka calon independen dapat dianggap sebagai katup penyelamat
antara masa pemilih (partisan) dan simpatisan Partai dengan non-partisan dan juga
kelompok golput. Dengan demikian, kelompok yang tidak punya pilihan dapat
mengartikulasikan kepentingan politiknya melalui calon independen. Akan tetapi,
hal ini sangat sederhana sekali.
Namun, menjadi alternatif penyampaian kepentingan ketika partai tidak
lagi dianggap ideal sebagai media perjuangan kepentingan masyarakat. Selain itu,
partai yang merasa mendapat “lawan tanding” baru menganggap calon
independen perlu mendapat ketentuan syarat pengajuannya. Dan ketentuan-
ketentuan tersebut masih mengalami perdebatan. Ada yang menawarkan 5 persen,
10 persen, dan 15 persen dari jumlah pemilih. Jika melihat kasus Pemilukada
25
Aceh, syarat pengajuan bagi calon independen hanya sebesar 3 persen dari jumlah
pemilih (Lambang Trijono, 2007:54).
Dari sisi politis, posisi partai dalam hal ini mengajukan persyaratan
ambang batas minimal jumlah dukungan yang harus dikantongi oleh para calon
independen merupakan bentuk desakan politik terhadap aturan hukum yang
berlaku pasca putusan MK. Jika mengikut pada perkembangan perdebatan dari
kebutuhan aturan hukum yang berlaku, yakni revisi UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, maka pendapat Partai mulai dari munculnya
wacana calon independen dan pasca putusan MK mengenai ambang batas
minimum dukungan bagi calon independen akan menjadi materi dalam penentuan
perubahan Pasal yang mengatur ketentuan tersebut. Hal ini merupakan tuntutan
(demand) dari para stakeholder terhadap sistem pembentukan kebijakan publik
(yang dalam hal ini adalah revisi UU).
Prinsip demokrasi perwakilan adalah bahwa calon yang terpilih dapat
mengagregasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya bagi
konstituennya saja. Jadi, jika calon yang berasal dari Partai akan lebih
mementingkan basis pemilihnya sendiri karena Partai sudah memenangkannya,
maka calon independen harus mementingkan masyarakat secara keseluruhan
karena calon independen tidak hanya dikontrol oleh masyarakat, tetapi juga
seluruh parpol. Dengan demikian, posisinya menjadi sorotan publik, baik dari
kebijakan yang dihasilkan maupun aktifitas politiknya. Selain itu, jika calon
independen tidak memiliki basis masa pemilih yang kuat dan terorganisir, maka
posisinya akan sama dengan calon yang diusung oleh partai yang hanya
mengandalkan mobilisasi masa pada saat pemilihan. Basis masa pendukung yang
26
terorganisir ini akan mampu menjadi infrastruktur politik kasus Pemilukada Aceh,
syarat pengajuan bagi calon independen hanya sebesar 3 persen dari jumlah
pemilih (Lambang Trijono, 2007:37).
Pemilukada Aceh adalah yang terbesar di Indonesia mungkin juga di
dunia. Sejarah Pemilukadasung di indonesia sebenarnya di mulai dari Aceh.
Sehingga menjadi laboratorium demokrasi Pemilukadasung maupun calon
perseorangan secara nasional. Berdasarkan hal tersebut konflik politik dalam
proses penyelenggaraan Pemilukadasung dapat diminimalisir dengan aturan yang
jelas yang dapat diterima oleh seluruh partisipan politik di Aceh.
27
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu sebuah
penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara
holistik. Penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabel-variabel
tunggal melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan
variabel lain. Guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, disamping
mengungkapkan fakta, dilakukan juga analisis berlandaskan pada aturan dan
konsep (Ali, M. Sayuthi. 2002:23).
Kualitatif juga dapat diartikan sebagai penelitian yang lebih menekankan
analisisnya pada proses penyimpulan deduktif serta pada analisis terhadap
dinamika hubungan yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah.
Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk
mengumpulkan data, kemudian disusun dan diolah serta ditafsirkan, selanjutnya
data yang telah diolah diberi makna yang rasional untuk diambil kesimpulan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di kota Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi
Aceh. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 April 2012 sampai dengan tanggal
15 Juli 2012.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
28
Populasi adalah wilayah genelisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian di tarik kesimpulannya. Populasi penelitian ini adalah
masyarakat kota Banda Aceh yaitu mencakup tokoh-tokoh politik yang tergabung
dalam partai maupun calon perseorangan yang maju dalam Pemilukada 2012 di
Kota Banda Aceh serta peneliti akan memilih beberapa orang responden dan
informan. Mereka yang dipilih menjadi responden dan informan adalah orang
yang dipercaya memiliki informasi dan data akurat yang diperlukan untuk
menunjang penelitian ini.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi, pengambilan sampel
dilakukan secara kelayakan atau disebut dengan metode purposive sampling yaitu
sample diambil dari populasi yang dapat mewakili keseluruhan populasi
penelitian yang terdiri dari responden dan informan. Mengingat besarnya populasi
yang ada maka perlu diambil sampel yang terdiri responden dan informan.
Responden dari penelitian ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) dan Partai Aceh (PA) :
1. Hasbi Abdulah Ketua DPRA.
2. Abdulah Saleh Komisi A DPRA.
3. Fakhrurazi Juru Bicara Partai Aceh.
4. Kausar Tim Pemenangan Partai Aceh.
5. Amir Helmi Wakil DPRA Fraksi Demokrat.
6. Calon Independen :
29
- Darni M. Daud
- Abi Lampisang
Informan adalah orang-orang yang dipercaya dan ikut terlibat dalam
konflik politik. Informan dalam penelitian ini adalah :
1. Ilham Sahputra KIP Aceh.
2. Makmur Biro Hukum kantor Gubernur.
3. Ja’far Helmi Staf Ahli Gubernur.
4. Masyarakat Kota Banda Aceh.
D. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan dan penelitian lapangan.
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, data
sekunder dikumpulkan dari data dan informasi dari berbagai sumber, seperti
buku-buku yang memuat berbagai macam ragam kajian teori yang sangat
dibutuhkan peneliti, berupa naskah-naskah dokumen sejarah dan dokumen lainnya
yang menunjang proses penilitian.
2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer yang
berhubungan dengan penelitian ini data dikumpulkan melalui wawancara dengan
responden dan informan.
30
E. Teknik Analisisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun lapangan
dipadukan untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengasilkan data deskriptif
analitis dari yang dinyatakan oleh responden dan informan secara tertulis atau
yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan penelitian ini
diharapkan dapat menghasilkan analisis yang mampu menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian
- Konflik diartikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (
perceived of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak
yang berkonflik tidak dapat di capai secara simultan.
- Konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan
untuk menentang keputusan politik, kebijakan publik dan pelaksanaannya,
juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang
mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik.
- Tujuan konflik politik adalah sebagai upaya untuk mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
- Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagi individu-individu yang
superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan
kekuasaan atau kelompok yang berbeda dilingkaran kekuasaan maupun yang
sedang berkuasa.
31
- Independen dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu
“independent”, artinya bebas, merdeka atau mandiri. Dari kata ini kemudian
muncul istilah independensi. Independesi sendiri bisa diartikan dengan
kebebasan, kemandirian atau kemerdekaan dari pengaruh kekuatan yang
berada diluar sesuatu.
- Pengertian calon perseorangan/independen yang dimaksud didalam keputusan
Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi
dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui
mekanisme Pemilukada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media
perjuangannya.
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyebab Konflik Diantara Elit Politik Aceh Tentang Calon
Perseorangan/Independen Pada Pemilukada Aceh 2012
Konflik regulasi sudah dimulai sejak adanya keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon perseorangan/independen untuk
berkompetisi dalam Pemilukada Aceh. Bahkan sebelum adanya keputusan MK
tentang calon perseorangan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf termasuk salah
seorang yang keberatan akan adanya calon perseorangan dalam Pemilukada Aceh.
Hal yang sama juga di tunjukkan oleh Partai Aceh (PA) yang
sebelummnya menolak untuk berpartisipasi dalam Pemilukada pada akhirnya juga
kembali mendaftarkan calonnya untuk berpartisipasi dalam Pemilukada Aceh
2012. Kemelut tentang calon perseorangan akhirnya membuat PA monolak untuk
mendaftarkan diri dalam Pemilukada, pihak PA mengatakan putusan sela
Mahkamah Konstitusi (MK) sama sekali belum menyentuh substansi yang
menjadi akar persoalan konflik regulasi Pemilukada Aceh. Karenanya, PA
memastikan tidak akan mendaftarkan calonnya, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, meskipun peluang itu telah dibuka kembali. Namun demikian,
persoalan kembali berubah sebagaimana layaknya politik pada umumnya dimana
kepentingan lebih dominan dari sebuah sikap maupun konsistensi prinsip.
Adapun penyebab konflik diantara elit politik Aceh tentang calon
perseorangan/independen pada Pemilukada Aceh 2012 adalah :
33
1. Pencabutan Pasal 256 UU/2006 oleh Mahkamah Konstitusi
Konflik elit politik Pemilukada Aceh diawali ketika fraksi Partai Aceh
(PA) di Legislatif tidak menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
35/PUU-VIII/2010 yang mencabut Pasal 256 UUPA tentang ketentuan yang
mengatur calon perseorangan/independen dalam Pemilukada hanya berlaku sekali
sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
Keputusan MK dengan mencabut Pasal 256 UUPA yang melegalkan
keikutsertaan calon perseorangan/independen dalam Pemilukada di Aceh. Sikap
fraksi PA di legislatif Aceh, yang merupakan Partai Lokal (Parlok) terbesar di
Aceh adalah sikap resmi PA. Keputusan MK dianggap bertentangan dengan
UUPA yang merupakan turunan dari Memorandum of Understanding (MoU)
yang ditandatangani di Helsinki oleh perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan perwakilan pemerintah Republik Indonesia sehingga jalur independen yang
diberlakukan sekarang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati (Irwanda,
Masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).
Jalur Independen itu tidak memberikan kesejahteraan buat rakyat Aceh
tetapi menciptakan kelompok elit-elit tertentu dengan kepentingan-kepentingan
tertentu pula sehingga independen tidak boleh ada lagi kami bersikap keras dan
menolak pencabutan Pasal 256 UUPA yang dilakukan oleh MK secara sepihak
serta telah melanggar perjanjian MoU yang telah disepakati oleh Pemerintah
Indonesia dengan Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei
2012).
34
Dalam UUPA tersebut keikutsertaan calon perseorangan/independen di
Aceh hanya satu kali, yaitu dimasa peralihan Aceh dari konflik ke damai. UUPA
sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat agar setiap
keputusan hukum (Undang-Undang) baru atau penyesuain harus terlebih dahulu
dikoordinasikan dengan DPRA, seperti yang tercantum dalam UUPA dalam Bab
XL Ketentuan Penutup Pasal 269 UUPA ayat 3, hal ini ternyata tidak dilakukan
oleh Pemerintah Pusat terkait penghapusan Pasal 256 UUPA (H. Hasbi Abdullah,
ketua DPRA wawancara 16 Mei 2012).
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 disebutkan, kekuasaan
MK sebagai penegak hukum dan keadilan sekaligus sebagai pengawal konstitusi
adalah merdeka tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun. Dilanjutkan,
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, perubahan ketiga, 2001 contoh UU No. 24/2003
tentang MK, contoh Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU No. 48/2009 tentang kekuasaan
kehakiman, secara eksplisit MK berwenang untuk menguji konstitusionalitas atau
tidaknya suatu Undang-Undang (UU).
Proses dan karakteristik kewenangannya adalah menguji UU terhadap
UUD 1945 mulai pada tingkat pertama hingga terakhir yang putusannya bersifat
final dan mengikat (final and binding) dan tidak ada upaya hukum lainnya.
Memang, yang menjadi permasalahan pasca terbentuk MK sebagai lembaga
judicial baru, masih banyak masyarakat tidak mengetahui eksistensi, kewenangan,
pelaksanaan maupun implikasi putusannya. Misalnya, norma Pasal 57 ayat (1-3)
UU MK menyebutkan: 1) menyatakan materi UU yang bertentangan dengan UUD
1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2) pembentukan UU yang
35
tidak berdasarkan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan,
3) permohonan yang dikabulkan wajib dimuat dalam berita negara paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan sehingga MK harus mencabut
Pasal 256 UUPA karena adanya Judicial Review ( Abdulah Saleh, komisi A
DPRA 18 Mei 2012).
Penyebab konflik diantara elit politik Aceh tentang calon perseorangan
pada Pemilukada Aceh 2012 adalah karena adanya pencabutan Pasal 256 UUPA
oleh MK, sehingga keputusan MK tersebut sangat direspon oleh PA sehingga
terjadinya konflik diantara PA, MK serta Irwandi yang dianggap sebagai
pengkhianat (Kausar, Tim pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).
Pada Pemilukada kemarin sempat terjadi ketegangan antara PA dan MK
akibat pencabutan Pasal 256 UUPA tetapi bukan itu masalah utamanya tetapi ada
faktor-faktor lain salah satunya pengkhianatan yang dilakukan oleh Irwandi
sehingga PA sangat emosional menanggapi hal tersebut buktinya saja pemukulan
yang terjadi setelah pelantikan gubernur ini jelas konflik yang terjadi antara
mereka (Darni M.Daud, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).
Adanya calon independen mencerminkan demokrasi yang harus
dipertahankan, sebab dengan adanya demokrasi maka kebebasan bagi masyarakat
untuk dipilih tetap ada saya rasa PA bersikeras supaya Pasal 256 UUPA tidak
dicabut dikarenakan PA tidak ingin ada saingan dari calon independen karena
akan memecah suara partai, saya rasa dengan dicabutnya Pasal 256 UUPA maka
kebebasan bagi masyarakat untuk dipilih semakin besar (Abi Lampisang, Calon
Independen, wawancara 26 Juni 2012).
36
Pada dasarnya JR yang dilontarkan ke MK merupakan awal terjadinya
konflik, hal ini merupakan salah satu agenda politik yang direncanakan oleh
aktor-aktor yang ingin maju dalam Pemilukada Aceh 2012 melalui calon
independen. Hal ini membuat kubu PA geram dan dan secara tegas menolak
putusan MK sehingga lambat laun tercipta konflik antar elit politik. Saya merasa
bukan karena pencabutan Pasal 256 UUPA yang mebuat terjadinya konflik tetapi
akibat adanya perpecahan suara di dalam kubu PA dimana Irwandi ingin maju
dalam calon perseorangan dikarenakan Irwandi merasa telah dicampakkan oleh
partai yang dulu telah mengusungnya (Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21
Mei 2012).
Saya melihat tidak terjadi konflik antara PA dan Irwandi tetapi secara
politik saya melihat Irwandi telah dicampakkan oleh PA dan PA tidak ingin
Irwandi maju dalam calon perseorangan sehingga menolak keras sikap MK yang
ingin mencabut Pasal 256 UUPA agar calon perseorangan tidak bisa ikut dalam
Pemilukada Aceh 2012, pencabutan Pasal 256 UUPA telah sesuai dengan
prosedur hukum yang dianut oleh pemerintah pusat dimana MK sebagai penegak
hukum dan keadilan sehingga MK tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain
termaksud PA(Ja’far Helmi, Staf Ahli Kantor Gubernur, wawancara 28 Mei
2012).
Dari hasil penelitian lapangan ditemukan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik antara elit politik adalah pencabutan pasal 256
UUPA yang dinilai merungikan rakyat Aceh oleh MK sehingga mendapat protes
tegas dari PA yang berkeinginan agar Pasal 256 UUPA ini tidak dicabut. Hal
37
tersebut yang membuat konflik elit politik Aceh semakin memanas. Dalam hal ini
saya sepakat dengan dicabutnya Pasal 256 UUPA yang merungikan hak
demokrasi masyarakat Aceh.
2. Adanya Perpecahan Elit Politik di Tubuh Partai Aceh (PA) Terhadap
Calon Perseorangan/Independen
Irwandi Yusuf sebelumnya adalah calon yang diusung dari Partai Aceh
pada Pemilukada 2006 dan berhasil dimenangkan dengan suara mayoritas. Saat
ini, Irwandi menyatakan untuk maju kembali mencalonkan sebagai Gubernur
Aceh periode yang akan datang melalui jalur perseorangan/independen setelah PA
mengumumkan untuk mengusung calon Gubernur dan Wagub Aceh yang akan
datang pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Dan ini adalah akar masalah
penolakan calon perseorangan/independen oleh PA.
Perbedaan ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh PA dan semakin
memperuncing konflik sesama anggota Partai. Meskipun sulit memprediksi apa
yang akan terjadi pada dunia politik namun dengan melihat perimbangan ini,
Partai Aceh menganggap bahwa Irwandi Yusuf merupakan rival terberat dari jalur
perseorangan/independen sehingga kebijakan Partai sangat mempengaruhi
keputusan DPRA khususnya pansus III Qanun Pemilukada yang dikuasai
mayoritas anggota dari Partai Aceh 47% (Hasbi Abdulah, Ketua DPRA Aceh,
wawancara 16 Mei 2012).
Dilihat situasi konflik politik menjelang Pemilukada secara khusus adalah
konflik ini hanyalah konflik antara Irwandi Yusuf dan PA. Irwandi Yusuf dinilai
telah membelot dan tidak memiliki komitment dengan keputusan yang disepakati
38
pada perjanjian MoU Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam perjanjian tersebut dinyatakan calon
perseorangan/independen hanya boleh mencalonkan saat Pemilukada tahun 2006.
Setelah itu sesuai dengan perjanjian Helsinki calon yang akan maju dalam
pertarungan Pemilukada harus diusung Partai
( Kausar, Tim pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).
Irwandi dinilai PA sebagai pembelot, karena tidak komit dengan
kesepakatan Helsinki di mana dalam perjanjian tersebut disebutkan rakyat Aceh
akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang
dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pemilihan lokal yang bebas dan adil
akan diselenggarakan dibawah Undang-Undang baru tentang penyelenggaraan
pemerintahan di Aceh untuk memilih kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih
lainnya serta untuk memilih anggota legislatif Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara
Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Calon perseorangan tak bertentangan dengan MoU Helsinki, tapi dalam
UU nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sengaja diberlakukan sekali
karena ada ketakutan partai terhadap calon perseorangan/independen.
Irwandi yusuf, pada awalnya menjadi salah satu bakal calon Gubernur
yang akan diusung lagi oleh PA yang justru mendepak dirinya, dan memilih
mengusung Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai calon Gubernur/Wakil
Gubernur Aceh 2012-2017, dan pada akhirnya memilih maju lewat jalur non
parpol. Dari inilah membuat DPR Aceh meminta supaya Pemilukada ditunda,
disisi lain eksekutif Aceh justru menginginkan Pemilukada berjalan tepat waktu.
39
Semenjak saat itu muncullah berbagai gugatan terhadap KIP tentang kehadiran
calon perseorangan/independen yang pada akhirnya calon
perseorangan/independen dapat diakomodasikan didalam Pemilukada Aceh 2012
(Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).
Konflik antara PA dan Irwandi ini merupakan salah satu sikap yang
ditempuh oleh PA dalam perpolitikan. Pada dasarnya Irwandi ingin diusung PA
untuk kedua kalinya tetapi akibat adanya aktor-aktor lain dikubu PA yang melobi
didalam PA maka terpilihlah Muzakir dan Zaini Abdullah sebagai calon gubernur
dari Partai PA hal ini membuat Irwandi memutuskan untuk maju dari calon
perseorangan yang menyebabkan PA merasa dirugikan sehingga timbulah konflik
yang semakin meruncing pada dasanya JR yang dilontarkan ke MK merupakan
awal terjadinya konflik, Hal ini merupakan salah satu agenda politik yang
direncanakan oleh aktor-aktor yang ingin maju dalam Pemilukada Aceh 2012
melalui calon independen. Hal ini membuat kubu PA geram dan secara tegas
menolak putusan MK sehingga lambat laun tercipta konflik antar elit politik. Saya
merasa bukan karena pencabutan Pasal 256 UUPA yang mebuat terjadinya
konflik tetapi akibat adanya perpecahan suara didalam kubu PA dimana Irwandi
ingin maju dalam calon perseorangan dikarenakan Irwandi merasa telah
dicampakan oleh partai yang dulu telah mengusungnya (Makmur, Biro Hukum
Kantor Gubernur 21 Mei 2012).
Perpecahan dikubu partai pasti akan terjadi tetapi melihat arah
perkembangan politik maka hal ini harus terjadi karena Irwandi tidak lagi diusung
oleh PA. Pencabutan Pasal 256 UUPA membuat keuntungan bagi Irwandi untuk
40
maju dari calon perseorangan hal ini membuat PA merasa geram dan ingin
menekan MK supaya Pasal 256 UUPA tidak dicabut karena bertentangan dengan
MoU yang telah disepakati sikap lain yang dilakukan PA adalah tidak ikut
mendaftar ke KIP hingga terciptanya kontrak antara PA dan Pemerintah Pusat
(Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21 Mei 2012).
Bagi saya pada saat itu apapun keputusan yang diambil oleh MK tidak
berpengaruh bagi saya sebab saya hanya berharap bisa maju dalam Pemilukada
Aceh. Perpecahan yang terjadi dikubu PA seharusnya menjadi keuntungan bagi
saya dan calon yang lain tetapi itu tidak terjadi karena masyarakat lebih memilih
Muzakir dan Zaini Abdulah (Darni M.Daud, calon independen, wawancara 26
Juni 2012).
Sangat jelas telihat adanya perpecahan didalam kubu Partai Aceh yaitu
adanya pengkhianatan yang terjadi dimana Irwandi ingin maju dalam calon
perseorangan jadi apapun keputusan yang diambil oleh Irwandi akan menjadi
bumerang bagi PA sehingga ada hal yang dilakukan oleh PA untuk menjatuhkan
Irwandi inilah konflik yang terjadi didalam kubu PA (Muspirah, masyarakat,
wawancara 26 Juni 2012).
Tanggapan yang dikeluarkan oleh elit politik tersebut menyimpulkan
bahwa akibat konflik didalam PA yang semakin meruncing menyebabkan
perpecahan didalam kubu partai hal ini didasarkan atas sikap Irwandi yang
mencalonkan diri dari calon perseorangan karena tidak lagi mendapatkan
dukungan dari PA. PA menilai Irwandi telah gagal memimpin Aceh dan telah
merugikan PA.
41
3. Sikap MK dan KIP Terhadap Konflik Elit Politik Aceh
Bagi PA dicabutnya salah satu Pasal dari UUPA dianggap sebagai usaha
untuk merusak perdamaian. Mengkhianati perjanjian damai yang telah disepakati.
Pencabutan Pasal dalam UUPA akan dimaknai sebagai upaya untuk mengakhiri
kesepakatan damai. Beberapa pengamat memprediksi, bahwa PA yang merupakan
transmisi ideologi GAM saat ini tidak akan menempuh jalur konflik lagi ditengah
realita berbagai sarana dan prasarana negara yang telah mereka genggam. Namun
prediksi tersebut ternyata tidak kuat dan salah, secara organisatorik terbukti PA
tidak mendaftarkan calonnya satu orang pun hingga batas terakhir yang diberikan
oleh KIP untuk ikut dalam prosesi Pemilukada di Aceh.
Sifat putusan MK dikategorikan kedalam jenis putusan declaratoir
constitutif. Artinya, menyatakan apa yang menjadi hukum, tetapi tidak melakukan
penghukuman dan menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau
menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Sehingga, putusan MK sebagai
negative legislator mempunyai kekuatan hukum mengikat (Makmur, Biro Hukum
Kantor Gubernur 21 Mei 2012).
Akibat dari aturan hukum tersebut maka KIP harus melaksanakan putusan
yang telah dikeluarkan oleh MK sehingga calon perseorangan bisa mengikuti
proses pemilihan dalam proses tersebut KIP tetap menjalankan amanat sesuai
dengan aturan hukum yang telah ditetapkan.
Partai Aceh berpendapat pelaksanaan Pemilukada di Aceh bertentangan
dengan UUPA. Bahkan, PA juga tidak mendaftar saat pendaftaran sesi kedua
kembali atas keputusan MK. Disisi lain, pihak yang menuntut hadirnya calon
42
perseorangan/independen di Aceh juga memiliki landasan yuridis yang jelas, yaitu
bahwa calon perseorangan/independen adalah hak setiap warga negara dimana
pada akhirnya MK juga mengabulkan permohonan untuk melegitimasi
keikutsertaan calon perseorangan/independen di Aceh. Keikutsertaan calon
perseorangan/independen ini dianggap juga tidak menodai amanat MoU yang
dulu ditandatangani pihak GAM dan perwakilan NKRI di Helsinki (Makmur, Biro
Hukum kantor gubernur, wawancara 21 Mei 2012).
Konsistensi KIP Aceh dengan segala landasan yuridis yang di pegang pada
akhirnya memaksa PA untuk menerima kehadiran calon perseorangan/independen
di Aceh. Setelah terjadinya berbagai kekerasan yang dianggap berbagai pihak
sebagai manuver untuk penundaan Pemilukada, situasi Aceh kembali tidak
kondusif. Melihat situasi itu, Kementrian Dalam Negri (Kemendagri) Gunawan
Fauzi akhirnya mendukung dibuka kembali pendaftaran kontestan Pemilukada di
Aceh dan meminta kepada MK agar diberi kewenangan untuk melakukan
penundaan Pemilukada Aceh dan berwenang membuka kembali pendaftaran
pasangan kandidat dengan alasan Aceh berbeda dengan daerah lain dalam
berbagai hal.
Khususnya karena Aceh memiliki UU sendiri (UUPA) dalam menjalankan
pemerintahannya serta karena situasi Aceh yang memiliki potensi kembali lagi ke
masa konflik. MK memerintahkan KIP Aceh untuk membuka kembali
pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota, selama tujuh hari terhitung sejak 17 Januari 2012.
Dalam waktu tujuh hari tersebut, KIP juga diminta untuk melakukan verifikasi
43
serta penetapan bagi pasangan calon baru. Hal itu terungkap dalam putusan sela
yang dijatuhkan MK dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
(SKLN) antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan KIP Aceh (Ilham
Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).
Kami melakukan sesuai dengan ranah hukum yang telah ditentukan ketika
MK mencabut Pasal 256 UUPA dan diperbolehkannya calon independen maka
kami mengikuti sesuai aturan yang berlaku kami tidak punya kuasa terhadap Pasal
256 UUPA yang telah dicabut (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16
Mei 2012).
Selain Mendagri, permohonan SKLN juga diajukan oleh Gubernur Aceh
Irwandi Yusuf. Dalam pertimbangannya, MK mengungkapkan, MK sebelumnya
telah memerintahkan pembukaan kembali pendaftaran sesuai putusan sela MK
terkait sengketa Pemilukada yang diajukan sejumlah calon perseorangan yang
diputus pada 2 November. Ketika itu, pemohon meminta kepastian hukum terkait
diperbolehkannya calon perseorangan/independen mengikuti Pemilukada Aceh
2012.
Putusan sela yang membolehkan calon perseorangan/independen
mengikuti Pemilukada Aceh itu dikuatkan dalam putusan akhir pada 24
November 2011. Namun, pelaksanaan putusan sela 2 November itu ternyata
belum digunakan sepenuhnya oleh pihak-pihak yang masih belum bersikap,
karena masih menunggu putusan akhir MK 24 November. Namun setelah putusan
akhir dijatuhkan, waktu pendaftaran sebagai bakal pasangan calon sudah ditutup
oleh KIP Aceh karena MK hanya memerintahkan pembukaan pendaftaran selama
44
7 hari terhitung dari tanggal 2 November (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh,
wawancara 16 Mei 2012).
MK memahami kalau ada pihak yang belum menentukan sikap hukum
tertentu yaitu ikut mendaftar sebagai pasangan calon atau tidak ikut mendaftar
pasangan calon karena masih menunggu kepastian hukum sampai pokok
permohonan diputus pada 24 November 2011.
Pengabaian atas hak-hak Partai Politik atau perseorangan yang
serharusnya dapat mencalonkan diri sebagai calon kepada daerah dalam
Pemilukada Aceh. Keadaan ini sangat potensial mengganggu pelaksanaan
Pemilukada Aceh dan penyelenggaraan pemerintah Aceh, terkait dengan hal
tersebut, MK memutuskan untuk kembali menjatuhkan putusan sela dalam
perkara SKLN Mendagri dengan KIP Aceh untuk dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat dan proses Pemilukada yang lebih demokratis serta kepastian hukum
yang adil.
Dalam masalah ini Mahkamah Konstitusi menilai ada alasan yang lebih
penting dan mendesak yang pada akhirnya menjatuhkan putusan sela dengan
memerintahkan membuka kembali pendaftaran calon dengan tujuan untuk
memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan
Pemilukada guna menentukan sikap hukumnya setelah mengetahui keabsahan
Pemilukada Aceh (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).
Pemeriksaan perkara SKLN bisa membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dan apabila permohonan SKLN dikabulkan tetapi Pemilukada telah berlangsung,
hal tersebut dapat menimbulkan persoalan baru dalam Pemilukada Aceh. MK
45
memerintahkan KIP Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota,
selama tujuh hari terhitung sejak 17 Januari 2012.
Banyak anggapan bahwa tindakan tersebut telah membuat wibawa
Pemerintah Pusat dianggap jatuh, namun demi menyelamatkan perdamaian Aceh
langkah tersebut harus diambil. Jadi solusi yang tepat ketika akhirnya MK
mengeluarkan keputusan sela yang memerintahkan KIP Aceh membuka kembali
pendaftaran bakal calon pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Pemilukada Aceh selama tujuh hari
setelah putusan diucapkan. KIP dalam hal ini harus menerima keputusan ini dan
ketua KIP Aceh juga tidak perlu mundur dari jabatannya sebagaimana
ancamannya beberapa pihak karena dicurigai ketidak independensiannya dalam
mengelola Pemilukada Aceh.
Putusan MK yang memperbolehkan calon independen maju dalam
Pemilukada membuat kami harus mempersiapakan diri, dalam hal ini kami
melihat MK telah mempermainkan perjanjian MoU antara RI dan Aceh yang telah
disepakati sehingga kami memutusakan untuk tidak mendaftar sebagai bentuk
protes terhadap pencabutan Pasal 256 UUPA ( Fakhrurazi, Juru Bicara PA,
wawancara 18 Mei 2012).
Hal yang paling disayangkan dan membuat suasana politik di Aceh
semakin panas adalah sikap MK yang tidak berkoordinasi dan berkomunikasi
dengan DPRA tentang pencabutan Pasal 256 UUPA sehingga kami tidak tahu
sama sekali dan kami tidak setuju dengan sikap putusan MK yang tidak
46
menghargai kekhususan Aceh (H. Hasbi Abdullah, ketua DPRA wawancara 16
Mei 2012).
Kita melaksanakan semua aturan yang telah ditetapkan oleh KIP maupun
MK sehingga kami bisa mencalonkan diri pada tanggal yang telah disepakati
walaupun sikap KIP yang kurang tegas terhadap waktu dan penutupan
pendaftaran (Abi Lampisang, Calon Independen, wawancara 26 Juni 2012).
Berdasarkan kasus diatas pembelajaran politik bagi rakyat adalah bahwa
konsisten dengan aturan dan tidak mempermainkannya itu sangat penting. Rakyat
perlu diberikan contoh teladan dalam mentaati regulasi yang berlaku agar konflik
regulasi tidak terjadi lagi di masa yang akan datang (Irwanda, Masyarakat,
wawancara 26 Juni 2012).
Masyarakat perlu diajarkan untuk melawan setiap intimidasi yang
dilancarkan oleh pihak manapun. Saat ini, masyarakat Aceh cenderung telah
keluar dari bayang-bayang ketakutan. Beragam suara dari berbagai kalangan telah
dimunculkan untuk melawan praktek intimidasi dalam model apapun. Tidak
sebagaimana masa-masa konflik dulu dimana masyarakat banyak yang tidak
berani bersuara melawan praktek intimidasi. Semangat ini harus terus dipelihara
untuk terus mengawal pembangunan Aceh ke depan.
Ketegasan MK yang telah mengeluarkan keputusan No 35/PUU-VIII/2010
tentang pencabutan Pasal 256 UUPA agar Pemilukada yang di laksanakan di
Aceh mampu menjunjung nilai-nilai demokrasi sehingga masyarakat Aceh dari
semua kalangan bisa ikut dalam Pemilukada tanpa batasan batasan yang
membatasi hak demokrasi mereka.
47
Sikap KIP yang tunduk kepada keputusan yang dikeluarkan oleh MK
membuat PA semakin memanas karena KIP tidak mau membatalkan Pemilukada
Aceh. KIP aceh sendiri telah memiliki dasar hokum yang jelas dalam menjalankan
Pemilukada.
B. Alasan Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
Bersikap Tegas Menolak Calon Perseorangan/Independen pada
Pemilukada 2012
Berdasarkan pengamatan dilapangan alasan yang di kemukakan oleh P dan
DPRA yang juga merupakan refleksi PA di DPRA menolak calon
perseorangan/independen dikarenakan :
1. Tidak Sesuai dengan MoU Helsinki
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-VIII/2010 terkait
dibolehkannya calon perseorangan/independen untuk ikut Pemilukada
berlawanan dengan UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh UUPA
(Hasbi Abdulah, Ketua DPRA, wawancara 16 Mei 2012).
Berlawanan dengan MoU dan UUPA dimana seharusnya MK tidak
mencabut Pasal ini karena ini telah menodai perjanjian dan menciptakan konflik
baru jadi dalam hal ini seharusnya Pasal 256 itu tetap ada dan tidak
memperbolehkan calon independen maju dalam pemilihan jikapun maju harus
memiliki kendaraan politik berupa Partai Politik dalam MoU dan UUPA calon
perseorangan hanya boleh maju sekali dan tidak maju untuk putaran kedua
Pemilukada karna telah lahir Partai Lokal sebagai kendaraan politik (Kausar, Tim
Pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).
48
Acuan hukum tersebut dipertegas lagi dalam dasar konstitusi pemerintahan
Republik Indonesia UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B bahwa
negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang
(Abdullah Saleh, Komisi A DPRA, wawancara 18 Mei 2012).
Mencakup lembaga negara yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) harus
menghormati keberadaan UUPA terutama Pasal 256 UU 11/2006 yang
menyebutkan ketentuan yang mengatur calon perseorangan/independen dalam
Pemilukada hanya berlaku sekali sejak Undang-Undang ini ditetapkan sebagai
amanah dan jaminan konstitusi dari UUD 1945 yang merupakan aturan hukum
tertinggi dalam sistematika perundang-undangan NKRI (Hasbi Abdulah, Ketua
DPRA, wawancara 16 Mei 2012).
Didalam MoU Helsinki telah di tetapkan perjanjian-perjanjian yang telah
disepakati antara GAM dan RI dimana didalam MoU tersebut ditetapkan
kekhususan Aceh yaitu adanya UUPA yang mengatur peraturan di Aceh dan
lahirnya Partai Lokal jadi pemerintah pusat setiap mengambil kebijakan harus
berkoordinasi dengan pemerintah Aceh dimana pencabutan Pasal 256 UUPA telah
melangar perjanjian tersebut sehingga kami PA menolak keras putusan MK
tersebut (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Pada dasarnya Pasal 256 UUPA bertentangan dengan demokrasi dimana
masyarakat seharusnya bisa ikut maju dalam Pemilukada dengan adanya Pasal
256 tersebut telah mengekang hak-hak rakyat untuk bisa ikut dalam Pemilukada
49
dan tidak sesuai dengan asas demokrasi sehingga Pasal tersebut harus dicabut
(Darni M.Daud, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).
Apabila Pasal 256 UUPA tersebut tidak dicabut maka akan
menguntungkan sebagian pihak saja seperti Partai Lokal yang memiliki suara
paling besar, sebagai contoh apabila saya tidak memiliki Partai Lokal tetapi
memiliki suara terbanyak sama saja saya tidak bisa ikut dalam Pemilukada
sehingga dengan adanya Pasal 256 membuat calon independen terkekang dan
tidak bisa ikut dalam pesta rakyat (Abi Lampisang, Calon Independen, wawancara
26 Juni 2012).
Keputusan MK terhadap pencabutan Pasal 256 telah sesuai dengan
prosedur dan tatanan hukum yang berlaku di Indonesia sebaiknya Pasal 256 itu
dicabut dan tidak lagi masuk dalam peraturan hukum di Aceh karna tidak sesuai
dengan asas-asas demokrasi yang dianut oleh Indonesia (Makmur, Biro Hukum
Kantor Gubernur 21 Mei 2012).
Saya melihat konflik yang terjadi disini semakin meruncing apalagi
dicabutnya pasal 256 UUPA yang menyebabkan PA bersikeras tidak akan
mendukung hal tersebut bisa-bisa Pemilukada kemarin itu bisa saja kacau bila PA
tidak ikut mendaftarkan diri (Normalia, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).
Bagi PA MoU Helsinki merupakan hasil perdamaian antara RI dan GAM
dimana melahirkan UUPA atas dasar inilah PA beranggapan calon perseorangan
hanya diatur sekali semenjak Undang-undang itu diundangkan. Sedangkan
didalam MoU tidak ada satupun butiran yang mengatur calon perseorangan hanya
50
sekali, ini yang menjadi suatu kerancuan dalam pemahaman MoU oleh PA itu
sendiri.
2. Mahkamah Konstitusi tidak Berkonsultasi dengan DPRA tentang
Pencabutan Pasal 256 UUPA.
MK dalam membatalkan Pasal 256 UUPA tidak pernah berkonsultasi
dengan DPRA sebelum memutuskan pencabutan pasal tersebut. Pecabutan Pasal
256 UUPA diluar prosedur karena lembaga peradilan tersebut tidak pernah
berkonsultasi dengan DPRA sebelum memutuskan mencabut Pasal 256 tersebut
(Hasbi Abdulah, Ketua DPRA, wawancara 16 Mei 2012).
Fraksi PA berpendapat pencabutan Pasal 256 UUPA tidak boleh dicabut
karena adanya calon perseorangan/independen yang merupakan kekhususan bagi
Provinsi Aceh, berdasarkan MoU Helsinki. PA menyebutkan, UUPA dibuat
berdasarkan MoU Helsinki yang merupakan kesepakatan damai antara pemerintah
RI dengan GAM. Fraksi PA juga menolak Pasal yang mengatur penyelesaian
sengketa harus di MK. UUPA sudah mengaturnya bahwa penyelesaian sengketa
Pemilukada dilakukan di Mahkamah Agung (Abdullah Saleh, Komisi A DPRA,
wawancara 18 Mei 2012).
Petinggi GAM, PA dan Anggota DPRA mendukung MoU dan UUPA dan
menolak pencabutan Pasal 256 dikarenakan jika pencabutan itu terjadi maka akan
berlanjut terhadap pencabutan dan perubahan Pasal lain dikemudian hari maka
kami bersikeras mempertahankan MoU dan UUPA disinilah kekhususan Aceh,
dalam pencabutan Pasal 256 MK tidak berkonsultasi dengan DPRA sehingga MK
51
memutuskan dengan sepihak terhadap permaslahan ini (Amir Helmi, Wakil
DPRA Fraksi Demokrat, wawancara 30 Mei 2012).
Hal tersebut membuat PA menolak mencalonkan diri dari Pemilukada
walaupun pada saat itu telah dibuka 2 kali pendaftaran tetapi PA tidak
mencalonkan kadernya sehingga menimbulkan pertanyaan apakah PA eksis dalam
perpolitikan atau merupakan strategi dalam pemenangan sehingga akhirnya MK
memberi jeda waktu 7 hari untuk PA mencalonkan dirinya dalam Pemilukada
2012 (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).
Seharusnya MK harus berkonsultasi dengan DPRA tetapi apabila
Indonesia memiliki aturan yang lebih tinggi maka aturan tersebut harus
dilaksanakan seperti halnya pencabutan Pasal 256 UUPA yang tidak sesuai
dengan aturan di Indonesia dan adanya JR yang diajukan oleh masyrakat Aceh ke
MK karena pasal tersebut mengekang hak kebebasan masyrakat Aceh untuk
dipilih dan ikut dalam Pemilukada (Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21
Mei 2012).
Pada saat itu kami berpatokan pada hukum dan aturan yang berlaku kami
tidak dirugikan apabila pasal tersebut dicabut maupun tidak dicabut karena saya
ada partai yang mengusung saya pada saat itu memang pada kenyataanya terjadi
konflik elit politik yang berkepentingan dalam Pemilukada dan semakin memanas
antara PA dan Irwandi terbukti dengan pemukulan yang terjadi terhadap Irwandi
(Darni M.Daud, calon Independen, wawancara 26 Juni 2012).
Benar kami tidak pernah dikasih tahu tentang pencabutan Pasal 256 UUPA
tetapi akibat jumlah anggota fraksi PA yang mendominasi DPRA maka keputusan
52
kami tidak berpegaruh sama sekali didalam DPRA sehingga yang muncul keluar
adalah DPRA menolak dengan putusan MK (Amir Helmi, Wakil DPRA Fraksi
Demokrat, wawancara 30 Mei 2012).
Keputusan MK yang tidak berkomunikasi dengan DPRA merupakan salah
satu sikap yang kurang saya setujui bagaimanapun keistimewaan yang dimiliki
Aceh harus dijunjung tinggi oleh Pusat jangan sesuka hati Pusat yang seenaknya
mencabut pasal yang telah disepakati dalam MoU (Iwan Ramadhan, masyarakat,
wawancara 26 Juni 2012).
Sebenarnya MK tidak harus berkonsultasi dengan DPRA tentang
pencabutan Pasal 256 UUPA karena MK merupakan lembanga tinggi di Indonesia
yang bisa mengeluarkan keputusan keputusan tanpa berkoordinasi dengan daerah.
Ini yang kurang dipahami oleh PA dan DPRA sehingga konflik diantara MK dan
DPRA terjadi.
3. Menimbulkan Perpecahan Suara dikubu Partai.
Salah satu upaya yang dilakukan PA adalah mempertahankan Pasal 256
UUPA sebab apabila pasal tersebut dicabut maka kader PA yang akan
mencalonkan diri menjadi gubenur otomatis akan membuat perpecahan suara
sehingga PA tahu itu tidak menguntungkan mereka.
Melihat kekuatan PA yang begitu besar tidak heran akan terjadi
pengkhianatan di kubu PA dengan cara maju sebagai calon perseorangan sehingga
nanti ditakuti suara PA akan pecah (Kausar, pemenang Partai Aceh, wawancara 4
Mei 2012).
53
Pada dasarnya Partai Aceh ingin mencalonkan kembali Irwandi menjadi
Gubernur tetapi melihat masa pemerintahannya yang lebih banyak tidak
menguntungkan PA maka Irwandi tidak dicalonkan melihat hal tersebut Irwandi
maju dari jalur perseorangan sehingga terciptalah perpecahan di kubu partai yang
ditakuti oleh PA adalah perpecahan suara dikubu juga terancam pecah sehingga
PA sangat keras menolak terhadap putusan MK (Fakhrulrazi, juru bicara Partai
Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Saya melihat dengan majunya Irwandi dalam Pemilukada jelas membuat
geram kubu PA dimana seharusnya Irwandi tidak mencalonkan diri lagi hal ini
membuat pendukung mengklaim Irwandi sebagai pengkhianat hal tersebut bisa
memecah suara partai ( Makmur, kepala Biro Hukum kantor Gubernur,
wawancara 21 Mei 2012).
Perpecahan dikubu PA jelas membuat keuntungan bagi kami sebagai calon
independen dengan kata lain hal ini bisa membuat suara PA terbagi menjadi dua
antara masa pendukung PA dan masa pendukung Irwandi tetapi peta politik itu
tetap saja dipegang oleh kubu PA yang jelas telah memenangkan Pemilukada di
Aceh (Darni M.Daud, calon Independen, wawancara 26 Juni 2012).
Jikapun suara pecah dikubu PA tetap saja mereka akan menang karena
pendukung PA sangat fanatik terbukti mereka rela mati demi asas-asas yang
dianut sehingga apapun yang terjadi di kubu PA tetap masa akan mengintervensi
masyarakat untuk memilih PA ( Abi Lampisang, calon Independen, wawancara 26
Juni 2012).
54
Ketakutan PA akan pecahnya suara jelas tidak terbukti dalam Pemilukada
mereka memilki suara diatas 50% yang secara setatistik telah menang dengan
calon yang lain hal tersebut tidak berpengaruh dengan isu perpecahan dikubu
Partai (muspirah, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).
Konflik Pemilukada ini sebenarnya diantara Irwandi dan PA karena
dulunya Irwandi dicalonkan dari PA dan terpilih menjadi gubernur Aceh. Namun
PA menilai Irwandi gagal dalam memimpin Aceh sehingga PA tidak
mencalonkan Irwandi untuk yang kedua kalinya. Akibat keputusan PA tersebut
Irwandi merasa dicampakkan dan memilih keluar PA dan mencalonkan diri dari
calon perseorangan faktor inilah yang membuat perpecahan dikubu PA.
C. Perubahan Sikap Elit Partai Aceh (PA) Yang Melunak Serta Menerima
Calon Perseorangan/Independen dan Memutuskan Ikut Pemilukada
2012
Konflik yang ditimbulkan akibat pencabutan Pasal 256 UUPA tentang
calon independen/perseorangan menciptakan dinamika politik yang tak kunjung
berakhir. Disatu sisi Aceh menjadi penggagas calon independen pertama bagi
daerah-daerah lain kini menimbulkan konflik politik antara calon independen dan
tidak dibolehkannya calon independen maju untuk kedua kalinya dalam
Pemilukada 2012 di Aceh.
Sikap tegas tetap diambil oleh Mahkamah Konstitusi bahwa calon
independen boleh mengusungkan diri dalam pemilihan serta sikap tegas PA yang
menolak calon independen akhirnya melunak dan ikut dalam Pemilukada 2012
hal-hal tersebut tidak lepas dari :
55
1. Adanya Intervensi dari Pusat.
PA merupakah salah satu Partai yang bersikeras menolak calon
independen maju dalam Pemilukada Aceh 2012 dikarenakan jalur independen
tidak sesuai dengan apa diterapkan oleh MoU Helsinki dan telah melanggar
UUPA yang merupakan dasar hukum kekhususan masyarakat Aceh.
Keputusan yang diambil oleh PA merupakan keputusan yang telah
direncanakan tarik undur tentang pendaftaran pencalonan kandidat dari PA
merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh PA yaitu bertujuan untuk
mengacaukan Pemilukada dengan cara tidak ikut dalam Pemilukada tetapi hal itu
direspon oleh pusat sehingga pusat melakukan sedikit intervansi dengan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati hal ini terbukti ketika PA
mendaftarkan diri ketika MK memberikan putusan sela selama 7 hari (Makmur,
Biro Hukum Kantor Gubernur 21 Mei 2012).
Terjadi ketegangan politik antara PA, KIP dan MK dimana MK
memperbolehkan jalur independen dan KIP melaksanakan aturan yang telah
ditetapkan sehingga KIP membuka pendaftaran calon tetapi PA tidak mendaftar
sehingga pemerintah pusat takut terjadi konflik yang lebih besar akibat tidak
majunya PA dalam Pemilukada sehingga Pusat melakukan intervensi baik berupa
lobi-lobi politik maupun kesepakatan antara PA dan pusat dimana PA juga harus
ikut dalam Pemilukada 2012 dengan berbagai pertimbangan yang telah disepakati
(Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).
Pada dasarnya kami tetap tidak mendaftarkan diri dikarenakan kami masih
bersikap tegas terhadap penolakan pencabutan Pasal 256 oleh MK, jika dibilang
56
kami diintervansi kami tidak pernah mendapatkan tekanan dari pusat malahan
kami ingin menekan pusat supaya Pasal 256 tetap ada tetapi melihat polemik
perpolitikan Aceh semakin rumit dan tidak berunjung maka kami ikut dalam
Pemilukada Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Melihat sikap PA yang bersikeras tidak mau mencalonkan diri dalam
Pemilukada Aceh sehingga pusat khawatir akan tercipta konflik baru di Aceh
akibat sikap PA tersebut maka pusat sedikit mengintervensi PA untuk ikut dalam
Pemilukada hal ini dilakukan supaya dimasa depan tidak terjadi konflik yang pada
ujungnya masyarakat Aceh yang akan menderita (Ja’far Helmi, Staf Ahli Kantor
Gubernur, wawancara 28 Mei 2012).
Kami sebagai masyarakat sedikit khawatir akan terciptanya konflik baru
antar PA dan pusat sehingga akibat sikap pusat dan PA tidak sejalan sehingga
yang menjadi korbannya kami masyarakat, saya rasa sedikit ada intervensi yang
dilakukan oleh pusat kepada PA sehingga PA mau mendaftarkan diri dalam
Pemilukada (Iwan Ramadhan, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).
Intervensi dari pusat disini dimaksudkan keluarnya putusan sela yang
diberikan oleh pemerintah pusat agar PA mencalonkan dirinya pada Pemilukada
Aceh 2012. Putusan ini keluar setelah adanya proses komunikasi politik diantara
PA dan pemerintah pusat.
2. Terciptanya Lobi-lobi Politik antara PA dan Pusat.
Melihat kondisi perpolitikan Aceh yang semakin meruncing maka
timbullah inisiatif pemerintah untuk melakukan lobi-lobi politik dimana KIP telah
menutup pendaftaran calon sehingga PA tidak terdaftar dalam Pemilukada maka
57
lobi-lobi politik ini bekerja dimana PA berhasil melakukan lobi berupa penetapan
sela waktu 7 hari untuk PA mendaftarkan calon ke kantor KIP dengan
kesepakatan bahwa calon independen boleh maju dalam Pemilukada 2012 (Ja’far
Helmi, Staf Ahli Kantor Gubernur, wawancara 28 Mei 2012) .
Secara politik ada suatu teori yang menggambarkan mundur satu langkah
untuk menerima calon perseorangan dengan begitu akan tercipta lobi-lobi politik
yaitu semua qanun yang belum disahkan menjadi hak PA. Ini jelas menguntukan
bagi kami jika kami memenangkan Pemilukada Aceh sehingga arah kebijakan
pengembangan Aceh tidak lagi bergantung dengan Pusat (Fakhrulrazi, juru bicara
Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Jika qanun-qanun yang belum disahkan menjadi milik PA maka akan
susah membahas qanun yang belum disahkan di DPRA karena setiap qanun
tersebut pasti memiliki kepentingan yang menguntungkan bagi PA dan merugikan
orang lain baik itu masyarakat maupun Partai lain (Makmur, Biro Hukum Kantor
Gubernur 21 Mei 2012).
Kondisi ini sangat menguntungkan PA dimana seharusnya pusat tidak ada
hak dalam menentukan jadwal Pemilukada semua jadwal seharusnya ditentukan
oleh KIP Aceh melalui pertimbangan maka MK mengeluarkan keputusan untuk
menunda jadwal pemilihan aturan tersebut harus dilaksanakan oleh KIP karena
melihat kondisi Aceh yang bisa menimbulkan konflik baru dalam hal tersebut
juga terlihat bagaimana PA mampu mengusai KIP secara tidak langsung setelah
adanya lobi-lobi politik yang telah disepakati (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh,
wawancara 16 Mei 2012).
58
Lobi-lobi itu sudah jelas terlihat buktinya saja setelah pendaftaran calon
gubernur ditutup kenapa dibuka lagi hal tersebut memiliki arti tertentu bayangkan
saja jika PA tidak mendaftar saya rasa Pemilukada Aceh akan kacau akan timbul
konflik (Normalia, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).
Lobi-lobi politik diantara PA dan Pusat menghasilkan suatu keputusan
yang diharapkan oleh PA yaitu sesuai yang dipaparkan oleh jubir PA bahwasanya
qanun-qanun yang belum disahkan dimasa Irwandi menjadi milik PA. Ini yang
menyebabkan salah satu penyebab melunaknya sikap PA untuk ikut dalam
Pemilukada.
3. Tidak ada pilihan lain untuk menggagalkan calon perseorangan maju
dalam pemilhan 2012
Melunaknya Partai Aceh sehingga mengikuti Pemilukada 2012 tidak lepas
akibat gagalnya mempertahankan Pasal 256 UUPA sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali ikut dalam Pemilukada walaupun pada dasarnya terjadi perpecahan
didalam kubu PA dimana Irwandi mencalonkan diri melalui jalur independen
yang mengakibatkan jumlah suara pemilih PA pecah (Amir Helmi, Wakil DPRA
Fraksi Demokrat, wawancara 30 Mei 2012).
Pada dasarnya menggagalkan calon independen maju dalam Pemilukada
tidak lepas dari kepentingan Partai agar Irwandi tidak bisa ikut dalam Pemilukada
sehingga suara PA tidak pecah jika Irwandi maju dalam jalur perseorangan maka
suara akan pecah, inilah yang ditakuti oleh PA sehingga PA bersikeras dalam
penolakan Pasal 256 UUPA yang telah di cabut oleh MK berdasarkan JR
(Abdullah Saleh, Komisi A DPRA, wawancara 18 Mei 2012).
59
Ketakutan yang dirasakan oleh PA yaitu majunya Irwandi mencalonkan
diri menjadi Gubernur untuk kedua kalinya melalui jalur independen dengan
begitu maka ditakutkan suara PA akan pecah antara masa Irwandi dan masa PA
sehingga tidak ada cara lain selain PA ikut dalam Pemilukada Aceh (Abi
Lampisang, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).
Menanggapi hal yang terjadi dikubu Partai membuat kami sedikit khawatir
tetapi melihat pendukung fanatik yang kami miliki maka ketakutan yang kami
miliki sedikit berkurang sebab kami pasti bisa mengorganisir masa untuk memilih
pasangan Zaini dan Muzakkir terbukti kami menang diatas 50% dalam
Pemilukada Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Akibat tidak adanya cara lain untuk mempertahankan Pasal 256 UUPA
maka PA harus melakukan sedikit perjanjian dengan pusat dan tetap ikut dalam
Pemilukada sehingga melihat jumlah suara PA yang begitu besar maka
kemungkinan PA pasti menang dan itu terbukti dalam Pemilukada Aceh 2012
dimana kemenangan berada di kubu PA ( Irwanda, masyarakat, wawancara 26
Juni 2012).
PA merupakan salah satu partai terbesar di Aceh sehingga menjadi
pertimbangan untuk maju dalam Pemilukada di Aceh. Akibat tidak ada cara lain
untuk mengagalkan calon perseorangan agar tidak maju dalam Pemilukada maka
mau tidak mau PA harus ikut dalam Pemilukada dengan asumsi PA kedepannya
dapat mengatur arah kebijakan pemerintah Aceh.
60
4. Keyakinan bahwa PA akan Menang dalam pemilihan 2012.
Akibat tidak adanya pilihan lain maka PA akhirnya maju dalam
Pemilukada 2012. Sebagai Partai yang besar dan memiliki jumlah suara yang
banyak daripada Partai lain hal ini membuat PA merasa yakin akan menang dalam
Pemilukada 2012.
Faktor keyakinan tersebut didasari oleh rencana-rencana bahwa apabila
Partai Aceh tidak ikut maka puncak kekuasaan akan hilang dari tangan PA
sehingga walaupun kalah maka sebagian akan dari kader PA bisa menduduki
jabatan didalam pemerintahan sehingga PA bisa mengontrol pemerintahan
(Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).
Jumlah masa yang dimiliki PA saat ini sangat besar hampir seluruh
masyarakat Aceh tahu sejarah lahirnya PA sehingga patriotnisme masih melekat
dalam darah masyarakat Aceh sehingga apapun yang terjadi dikubu Partai dalam
Pemilukada ini pasti PA akan menang, melihat cara untuk menggagalkan calon
independen tidak berhasil lagi maka PA yakin akan menang dalam Pemilukada
dan itu sudah terbukti sekarang (Darni, calon independen, wawancara 26 Juni
2012).
Bagaimana Partai kami tidak ikut Pemilukada melihat jumlah suara yang
kami miliki sangat besar dan kami yakin akan menang sehingga kami berani ikut
dalam Pemilukada walupun dibayangi dengan pengkhiatan yang terjadi dikubu
PA (Kausar, Tim pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).
Saya rasa mereka tidak yakin akan menang dalam Pemilukada melihat
calon indenpen yang maju dalam Pemilukada Aceh seperti adanya Nazar yang
61
memiliki masa pendukung serta konflik didalam Partai dimana suara PA akan
terbagi dua antara masa Irwandi dan PA sehingga hal ini menguntungkan calon
yang lain tetapi pada kenyataanya ini berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi
melihat dalam Pemilukada PA jauh unggul dengan calon-calon yang lain (Abi
Lampisang, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).
Kondisi yang terjadi dikubu Partai PA membuat perkiraan saya akan
terjadi perpecahan suara dan saya yakin bahwa PA akan kalah tetapi hal itu tidak
terjadi, jumlah suara yang dimiliki oleh PA sangat besar diatas 50% sehingga
calon dari PA menang dalam Pemilukada mengalahkan pasangan yang lain
(Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21 Mei 2012).
Saya rasa PA akan menang pada saat itu melihat kampanye yang
dilakukan oleh PA sangat besar hampir semua masyarakat Aceh ikut dalam
kampanye tersebut tidak lepas dari sejarah terbentuknya PA itu sendiri hal tesebut
membuat PA yakin menang dalam Pemilukada dan itu terbukti dengan
kemenangan PA ( Renggie, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012)
Keyakinan yang dimiliki PA sangat kuat dalam memenangkan Pemilukada
yang berlangsung di Aceh apapun cara dilakukan baik itu kampanye,komunikasi
politik, intimidasi, paksaan, maupun cara yang lain yang hanya bertujuan untuk
kepentingan Partai dan itu menandakan bahwa Partai yang besar yang memiliki
suara yang banyak akan tentu mampu menang dalam Pemilukada dan itu terbukti
dengan menangnya kubu PA dalam pemilihan kepala daerah.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terjadinya konflik politik diantara elit politik Aceh tentang calon
perseorangan/independen pada Pemilukada 2012 dikarenakan pencabutan
Pasal 256 UU/2006 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hal ini melanggar
perjanjian yang telah disepaki dalam MoU hensilki dan bertentangan dengan
UUPA. Perpecahan elit politik ditubuh Partai Aceh (PA) terhadap calon
perseorangan/independen semakin memperkuat terjadinya konflik dimana PA
takut terjadi perpecahan suara didalam partai sehingga bersikeras terhadap
pencabutan Pasal 256 UUPA oleh MK serta sikap MK dan Komisi
Independen Pemilihan (KIP) terhadap konflik elit politik menjadi memanas
karena sikap MK yang tegas terhadap keputusan yang diambil.
2. Alasan Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
bersikap tegas menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada
2012 dikarenakan tidak sesuai dengan MoU Helsinki, sikap Mahkamah
Konstitusi yang tidak berkonsultasi dengan DPRA tentang pencabutan Pasal
256 UUPA serta akan menimbulkan perpecahan suara dikubu partai.
3. Sikap elit Partai Aceh (PA) yang melunak serta menerima calon
perseorangan/independen dan memutuskan ikut Pemilukada 2012 disebabkan
karena adanya intervensi dari pusat, terciptanya lobi-lobi politik antara PA
dan Pusat, tidak ada pilihan lain untuk menggagalkan calon perseorangan
63
maju dalam Pemilukada 2012, serta keyakinan bahwa PA akan Menang
dalam Pemilukada 2012.
B. SARAN
1. Untuk menghindari konflik antar elit politik hendaknya legeslatif dan
eksekutif membuat perangkat hukum dan aturan main yang jelas dan
dipahami oleh semua praktisi politik sehingga konflik seperti pertentangan
tentang calon perseorangan/independen dapat dihindari. Politik kerap menjadi
ruang yang bebas, dimana para aktor dapat saja menggunakan cara apapun
untuk meraih kekuasaan, termasuk manipulasi dan tipu muslihat.
2. Eksekutif maupun legeslatif serta Partai politik lokal maupun nasional
sebaiknya melakukan komunikasi politik dengan melibatkan semua pihak.
Serta legeslatif harus jelas dalam membuat keputusan baik dalam pembuatan
peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilukada sehingga
penafsiran terhadap sebuah aturan dapat dipahami bersama, dan ini secara
tidak langsung telah dapat menghidari pertentangan seperti penolakan Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menolak kehadiran calon
perseorangan/independen dalam Pemilukada Aceh 2012 akibat keluarnya
keputusan MK mencabut Pasal 256 UUPA, dan tindakan ini tidak
dikomunikasikan atau melibatkan DPRA sehingga berakhir dengan polemik
yang berujung menjadi konflik antar elit.
3. Diharapkan kepada Partai politik harus melakukan pendidikan politik serta
pendewasaan cara berpolitik perlu ditanamkan pada setiap kader politik
terutama pada Partai lokal. Melihat Aceh yang dalam masa transisi
64
demokrasi, perlu diberi pemahaman tentang kekuatan sebuah hukum dan
Undang-Undang yang dikeluarkan oleh sebuah badan hukum, sehingga
kejadian yang pernah diputuskan untuk monolak berpartisipasi dalam
Pemilukada seperti yang dilakukan Partai Aceh (PA) tidak terjadi lagi jika
Partai Aceh (PA) paham akan makna demokrasi dan menjujung tinggi hukum
dan peraturan seperti keputusan MK yang bersifat berlaku dan mengikat,
kedewasaan dan etika sangat penting untuk menjaga proses Pemilukada tetap
berjalan fair dengan tidak memaksakan kepentingan politik sebuah kelompok.
65
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Ali Sayuthi M, 2002. Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan
Praktek. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Amitai Etzioni, A Comparative Analysis of Complex Organization, (New York:
Free Press, 1961).
Conn Paul, Conflict and Decision Making, An Induction to Political Science, New
York: Harper and Row Publisher, 1971 dalam Decki Natalis Pigay Bik
“Evolusi dan Sejarah Konflik Politik di Papua”, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2000.
Fera Nugroho M. A, (dkk), Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal, Turusan
Ihwan Muis, Analisis Kebijakan Terhadap Pemilu Kada, jakarta, 2004.
Lambang Trijono, Pembangunan Sebagai Perdamaian; Rekontruksi pasca
Konflik, Jakarta, 2007.
Maswandi Rauf, Ciri-ciri teori Pembangunan politik, Jurnal Ilmu Politik, Jakarta
2001.
Nasikun Dr, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Peter Harris & Reilly Ben (eds), Demokrasi dan konflik yang mengakar: Sejumlah
Pilihan Untuk Negosiator, Jakarta: Internasional IDEA,2000
Poerwoerdaminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai pustaka Jakarta
2000.
Pruitt Dean & G. Jeffrey. Z., Teori Konflik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik ,Air Langga Surabaya , 1992.
Reid Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005
Varma S.P, Teori Politik Modren, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), Maurice
Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982).
66
Undang - Undang
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang RI No.32/2004, Tentang Otonomi Daerah.
Internet Dan Media Informasi Lainnya
anonymous, 2011, Harian Aceh, Muzakkir Manaf: Putusan MK Belum Sentuh
Substansi Persoalan, http://harian-Aceh.com/2011/11/05/muzakkir-manaf-
putusan-mk-belum-sentuh-substansi-persoalan
anonymous, 2012, Aneh, Qanun Pilkada Aceh Kok Belum Terbentuk, suara
pembaharuan, http://www.suarapembaruan.com/home/aneh-qanun-pilkada-
Aceh-kok-belum-terbentuk/15944
Anonymous, 2012, KIP Aceh Usul Pilkada di Tunda, Koran-jakarta, http://koran-
jakarta.com/index.php/detail/view01/81442
Anonymous, 2012, Menyelamatkan Perdamaian Aceh; Harian Analisa,
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/26/32042/menyelamatkan_
perdamaian_Aceh/#.TyROb8WRG_g
Asy’ari Darwis 2011, Calon Independen dan Masa Depan Aceh,
http://harian-Aceh.com/2011/06/30/calon-independen-dan-masa-depan-
Aceh.
Indra Rahmansyah, 2011, Kontroversi Calon Perseorangan Pilkada Aceh 2011,
hhtp://Waspadamedan.com/2011/08/23index.php?option=.com_content&vie
w=article&id=491:ciptakan semangan persatuan-dan kesatuan
dibatubara&catid=36:sumut&itemid=106
Saumi, 2011, Aceh dan Polemik Calon Independen,
http://www.tribunnews.com/2011/11/26/Aceh-polemik-calon-independen
Teuku Zulkhairi, 2012, Menyelamatkan Perdamaian Aceh, Harian Analisa,
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/26/32042/menyelamatkan_
perdamaian_Aceh/#.TyROb8WRG_g