72
KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILUKADA ACEH 2012 ( Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon Perseorangan) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Oleh : Teuku Hafas Hafizie NIM : 0710103010003 Program Studi : Ilmu Politik FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2012

Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bahan bacaan

Citation preview

Page 1: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILUKADA ACEH 2012

( Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon Perseorangan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Syiah Kuala Untuk Melengkapi Persyaratan Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

Teuku Hafas Hafizie

N I M : 0710103010003Program Studi : Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM, BANDA ACEH

2012

Page 2: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

i

ABSTRAK

Teuku Hafas Hafizie KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILUKADA2012 ACEH 2012 ( Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon

Perseorangan)Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Syiah Kuala (v,66),pp,bibl(M. Jafar, SH, M. Hum dan Effendi Hasan, MA)

Polemik mengenai calon perseorangan/independen di Aceh terus bergulirdan beberapa praktisi maupun akademisi telah memaparkan alasan-alasanpembenar mengenai pentingnya diakomodasikan calon perseorangan/independendalam Pemilukada Aceh tahun 2012. Pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilaidemokrasi, sehingga semua orang memiliki hak untuk dapat maju dalamPemilukada Aceh. Langkah revisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)melalui Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi suatukeharusan untuk dilakukan ada beberapa kelompok yang menginginkan adanyacalon perseorangan/independen dan ada juga kelompok yang tidak menginginkanadanya calon perseorangan/independen yang maju dalam Pemilukada 2012sehingga menimbulkan konflik antar elit politik yang berkuasa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik elit politik Aceh tentangcalon perseorangan/independen pada Pemilukada 2012. Mengetahui penyebabPartai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menolak calonperseorangan/independen pada Pemilukada 2012. Serta Melihat faktor perubahansikap Partai Aceh (PA) melunak serta menerima calon perseorangan/independendan memutuskan ikut Pemilukada 2012 dengan mendafatarkan calon mereka diprovinsi dan kabupaten/kota.

Penelitian ini menggunakan kajian pustaka dan lapangan, kajian pustakadilakukan dengan mengumpulkan data-data melalui buku-buku dan dokumenuntuk menghasilkan data sekunder sedangkan kajian lapangan dilakukan dengancara mewawancarai responden dan informan untuk menghasilkan data primer.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadinya konflik politik diantara elitpolitik Aceh tentang calon perseorangan/independen pada Pemilukada 2012dikarenakan pencabutan Pasal 256 UU/2006 oleh MK. Perpecahan elit politik ditubuh Partai Aceh (PA) terhadap calon perseorangan/independen serta sikap tegasMK dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) terhadap konflik elit politik. AlasanPA dan DPRA bersikap tegas menolak calon perseorangan pada Pemilukada 2012karena tidak sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki,sikap MK yang tidak berkonsultasi dengan DPRA tentang pencabutan Pasal 256UUPA serta perpecahan suara dikubu partai. Perubahan sikap elit PA yangmelunak serta menerima calon perseorangan/independen dan memutuskan ikutPemilukada 2012 disebabkan karena adanya intervensi dari pusat, terciptanyalobi-lobi politik antara PA dan Pusat, tidak ada pilihan lain untuk menggagalkancalon perseorangan maju dalam Pemilukada 2012, serta keyakinan bahwa PAakan menang dalam Pemilukada 2012.

Disarankan kepada Legeslatif dan Eksekutif Aceh membuat perangkathukum yang jelas tentang calon perseorangan, melakukan komunikasi politik,serta diberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar kedepannya konflik elitpolitik dapat dihindarkan.Kata Kunci : Konflik, Elit, Pasal 256 UUPA, Partai Aceh, Independen dan MK.

Page 3: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,

hidayah dan karunia-

skripsi ini dengan judul

PEMILUKADA ACEH 2012 (Suatu Analisa

Perseorangan)”, merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dan

menyelesaikan pendidikan pada Universitas Syiah Kuala.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada

SAW, yang telah menyampaikan segala kebaikan kepada umatnya se

termasuk golongan umat yang baik

sahabat, dan tabi’in beliau.

Penyusunan skripsi ini banyak mendapat dukungan dan bant

berbagai pihak serta

penghargaan secara khusus kepada

1. Bapak M. Jafar, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah

banyak membantu memberikan sumbangan pemikiran dan menstransfer

ilmu yang begitu besar

2. Bapak Effendi Hasan, MA

memberikan ilmu serta bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Responden dan Informan

dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ayah tercinta T. Munzar dan mama tersayang Nurfadhillah Hanum yang

telah membesarkan dan mengajarkan arti kehidupan serta selalu berdo’a

dan memberi dukungan atas keberhasilan penulis, kemudian kepada

kakanda Cut Danila Helwani yang selalu memberikan motivasi

bagi penulis dan merupakan tanggung jawab bagi penulis untuk

memberikan hasil yang terbaik.

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,

-Nya sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini dengan judul “KONFLIK ELIT POLITIK DALAM

ILUKADA ACEH 2012 (Suatu Analisa Kritis Terhadap Calon

, merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dan

menyelesaikan pendidikan pada Universitas Syiah Kuala.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi

SAW, yang telah menyampaikan segala kebaikan kepada umatnya se

termasuk golongan umat yang baik dan berilmu, dan juga ke

beliau.

Penyusunan skripsi ini banyak mendapat dukungan dan bant

serta mengucapkan beribu terimakasih dan memberikan

n secara khusus kepada :

Bapak M. Jafar, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah

banyak membantu memberikan sumbangan pemikiran dan menstransfer

ilmu yang begitu besar dalam menyelesaikan skripsi ini.

Effendi Hasan, MA selaku Pembimbing II yang telah banyak

memberikan ilmu serta bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

Responden dan Informan yang telah memberikan masukan serta pemikiran

dalam penyelesaian skripsi ini.

tercinta T. Munzar dan mama tersayang Nurfadhillah Hanum yang

telah membesarkan dan mengajarkan arti kehidupan serta selalu berdo’a

dan memberi dukungan atas keberhasilan penulis, kemudian kepada

kakanda Cut Danila Helwani yang selalu memberikan motivasi

bagi penulis dan merupakan tanggung jawab bagi penulis untuk

memberikan hasil yang terbaik.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,

Nya sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan

“KONFLIK ELIT POLITIK DALAM

Kritis Terhadap Calon

, merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dan

Nabi Muhammad

SAW, yang telah menyampaikan segala kebaikan kepada umatnya sehingga kita

dan berilmu, dan juga kepada keluarga,

Penyusunan skripsi ini banyak mendapat dukungan dan bantuan dari

mengucapkan beribu terimakasih dan memberikan

Bapak M. Jafar, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing I yang telah

banyak membantu memberikan sumbangan pemikiran dan menstransfer

selaku Pembimbing II yang telah banyak

memberikan ilmu serta bimbingan dalam pengerjaan skripsi ini.

yang telah memberikan masukan serta pemikiran

tercinta T. Munzar dan mama tersayang Nurfadhillah Hanum yang

telah membesarkan dan mengajarkan arti kehidupan serta selalu berdo’a

dan memberi dukungan atas keberhasilan penulis, kemudian kepada

kakanda Cut Danila Helwani yang selalu memberikan motivasi dan do’a

bagi penulis dan merupakan tanggung jawab bagi penulis untuk

Page 4: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

iii

5. Segenap dosen, pengajar dan seluruh civitas akademika Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik;

6. Seluruh keluarga besar (alm) paknek H. T. Budiman Husain dan (alm)

paknek Abdurrahman terutama kepada nenek (alm) Sawiyah dan nenek

(alm) Hj. Wathaniah serta semua sepupu di Aceh;

7. Seluruh Almamater tercinta Madrasah Ulumul Qur’an, ustadz dan

ustadzah dan seluruh peserta didik dan alumni, serta angkatan Angkasa

(Santri Angkatan Dua Puluh Satu);

8. Kepada utadz yang telah mengajarkanku mengaji, ustadz. Amirudin

Husnur, Nasrudin Nurdin, M. Yusuf Jamil, Hamli Yunus dan Abi Jailani,

sehingga bisa menggapai harapan belajar sambil terus mengaji;

9. Kepada teman-teman sejawat dan seperjuangan dalam menuntut ilmu

khususnya teman satu ruangan Ilmu Politik 1;

10. Terakhir buat seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah membantu penyusunan skripsi ini, semoga Allah membalas amal

mereka.

Banda Aceh, 4 Mei 2012

Penulis

TEUKU HAFAS HAFIZIE

Page 5: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

iv

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iv

LAMPIRAN........................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................... 1

B. Perumusan Masalah.............................................................. 4

C. Tujuan Penelitian.................................................................. 5

D. Manfaat Penelitian................................................................ 5

E. Sistematika Penulisan........................................................... 6

BAB II KONFLIK ELIT POLITIK................................................... 8

A. Sejarah Konflik .................................................................... 8

B. Teori Konflik........................................................................ 10

C. Konflik Elit Politik ............................................................... 13

D. Bentuk-bentuk Konflik dan Faktor-faktor

Penyebab Konflik................................................................. 14

E. Kelebihan dan Kelemahan Konflik ...................................... 16

F. Elit Politik Lokal dan Non Lokal ......................................... 18

G. Pengertian Elit dan Klasifikasi Elit ...................................... 20

H. Calon Perseorangan/Independen dan Partai Politik ............. 22

BAB III METODE PENELITIAN ...................................................... 27

A. Jenis Penelitian.................................................................... 27

B. Lokasi dan Waktu Penelitian............................................... 27

C. Populasi dan Sample Penelitian .......................................... 29

D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 29

E. Teknik Analisa Data............................................................ 30

F. Definisi Oprasional Variabel Peneliti ................................. 30

Page 6: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

v

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................... 32

A. Penyebab Konflik Diantara Elit Politik Aceh Tentang

Calon Perseorangan/Independen Pada Pemilukada

Aceh 2012 .......................................................................... 32`

1. Pencabutan Pasal 256 UU/2006 oleh Mahkamah

Konstitusi.................................................................. 33

2. Adanya Perpecahan Elit Politik di Tubuh Partai Aceh

(PA) Terhadap Calon Perseorangan/Independen ..... 37

3. Sikap MK dan KIP Terhadap Konflik Elit

Politik Aceh............................................................. 41

B. Alasan Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh Bersikap tegas Menolak Calon Perseorangan/

independen Pada Pemilukada 2012 ................................... 47

1. Tidak Sesuai dengan MoU Helsinki.......................... 47

2. Mahkamah Konstitusi tidak Berkonsultasi dengan

DPRA tentang Pencabutan Pasal 256 UUPA............ 50

3. Menimbulkan Perpecahan Suara dikubu Partai......... 52

C. Perubahan Sikap Elit Partai Aceh (PA) yang Melunak

Serta Menerima Calon Perseorangan/Independen

dan Memutuskan Ikut Pemilukada 2012 ........................... 54

1. Adanya Intervensi dari Pusat.................................... 55

2. Terciptanya Loby-loby Politik antara PA dan Pusat. 56

3. Tidak ada pilihan lain untuk mengagalkan calon

perseorangan maju dalam pemilhan 2012 ................ 58

4. Keyakinan bahwa PA akan Menang dalam

pemilihan 2012. ....................................................... 60

BAB V PENUTUP............................................................................... 62

A. Kesimpulan.......................................................................... 62

B. Saran.................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 65

Page 7: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2012,

perseteruan di tingkat elit Aceh sempat memanas tentang calon perseorangan.

Berbagai manuver dijalankan demi ambisi dan kepentingan masing-masing elit

politik. Ironisnya, dalam kondisi seperti ini ternyata nyawa masyarakat tidak

segan-segan dipertaruhkan. Sejak penembakan dilakukan di Aceh Timur,

kemudian di Aceh Utara, Bireuen, Banda Aceh dan terakhir di Aneuk Galong

Aceh Besar telah menebar suatu ketakutan di tengah-tengah masyarakat serta

mengingatkan kembali pada saat konflik Aceh masa lalu. Nyawa manusia

dijadikan pertaruhan demi ambisi politik pihak-pihak tertentu. Apa yang terjadi di

Aceh memang sulit untuk digambarkan. Yang jelas konflik elit politik pada

Pemilukada ini benar-benar telah menjadi persoalan berat bagi rakyat Aceh

(Teuku Zulkhairi, Harian Analisa, 26/01/2012 ).

Konflik elit menjelang Pemilukada 2012 dimulai sejak keluar Keputusan

Mahkamah Konstitusi RI Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang mencabut Pasal 256

Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tentang ketentuan yang mengatur

calon perseorangan dalam Pemilukada hanya berlaku satu kali sejak Undang-

Undang ini ditetapkan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membolehkan hadirnya

calon perseorangan dengan mencabut Pasal 256 UUPA ternyata mendapat protes

Page 8: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

2

keras dari elit Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Alasan penolakan terhadap keputusan MK, karena putusan tersebut tidak mengacu

pada UUPA yang secara nyata telah memberikan keistimewaan penuh untuk

Aceh, dimana dalam UUPA sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada

pemerintah pusat agar setiap keputusan hukum (Undang-Undang) baru atau

penyesuain harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh (DPRA), seperti yang tercantum dalam UUPA dalam Bab XL

Ketentuan Penutup Pasal 269 UUPA ayat 3, namun hal ini ternyata tidak

dilakukan oleh Pemerintah Pusat terkait penghapusan Pasal 256 UUPA, dan ini

merupakan salah satu bukti Pemerintah Pusat yang mengangkangi hak-hak

istimewa rakyat Aceh pasca perdamaian (Saumi, Tribunnews, 26/11/2011).

Pada sebagian yang lain Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh terus

menjalankan tahapan Pemilukada Aceh berpedoman pada Qanun No. 7 Tahun

2006 , dengan adanya putusan MK yang mencabut Pasal 256 UUPA, yang

mengatur tentang calon perseorangan/independen maka secara otomatis Qanun

tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena dalam Qanun itu tertulis calon

perseorangan/independen hanya berlaku satu kali dalam Pemilukada Aceh.

Polemik mengenai calon perseorangan di Aceh terus bergulir dan beberapa

praktisi maupun akademisi telah memaparkan alasan-alasan pembenar mengenai

pentingnya diakomodasikan calon perseorangan/independen dalam Pemilukada

Aceh tahun 2012. Pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, agar

semua orang memiliki hak untuk dapat maju dalam Pemilukada Aceh. Langkah

Page 9: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

3

revisi UUPA melalui Judicial Review (JR) ke MK menjadi suatu keharusan untuk

dilakukan (Indra Rahmansyah, Waspada Medan, 23/08/2011).

Penolakan partisipasi calon perseorangan/independen dilakukan oleh 40

orang anggota dewan dalam voting sidang paripurna DPRA. Anggota dewan yang

menolak calon perseorangan/independen beralasan bahwa Pasal 256 UU No.11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh membatasi hanya satu kali keikutsertaan

calon perseorangan/independen dalam Pemilukada di Aceh.

PA menggugat MK untuk membatalkan keputusan MK yang

memperbolehkan adanya calon perseorangan/independen dalam Pemilukada Aceh

2012. PA menilai, uji materi Pasal 256 UUPA (calon independen) bertentangan

dengan UUD 1945 dan menimbulkan konflik regulasi di Aceh jelang

Pemilukada. PA terus melakukan usaha untuk membatalkan putusan MK pada

Pasal 256 UUPA dan mendesak eksekutif dan KIP Aceh membatalkan

Pemilukada karena tidak ada dasar hukum.

PA dan DPRA juga menilai, MK yang mencabut Pasal 256 UUPA yang

mengatur tentang calon perseorangan hanya berlaku sekali pada Pilkada 2006

bertentangan dengan Pasal 269 ayat 3 UUPA. DPRA melihat putusan MK tentang

permohonan JR Pasal 256 UUPA sama sekali tidak pernah melibatkan DPRA,

sebagaimana diamanatkan Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menyatakan bahwa

setiap perubahan terhadap isi UUPA harus dikonsultasikan dan mendapat

pertimbangan DPR Aceh. Namun, desakan PA tidak digubris oleh KIP Aceh

yang terus menjalankan tahapan Pemilukada Aceh. KIP beralasan, tahapan

Page 10: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

4

Pemilukada telah merujuk kepada Undang-Undang dan tidak ada alasan untuk

membatalkan Pemilukada Aceh.

Kemelut tentang calon perseorangan akhirnya membuat PA menolak untuk

mendaftarkan diri dalam Pemilukada mengatakan putusan sela MK sama sekali

belum menyentuh substansi yang menjadi akar persoalan konflik regulasi

Pemilukada Aceh. Karenanya, PA memastikan tidak akan mendaftarkan calonnya,

baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, meskipun peluang itu telah dibuka

kembali. Namun demikian, persoalan kembali berubah sebagaimana layaknya

politik pada umumnya dimana kepentingan lebih dominan dari sebuah sikap

maupun konsistensi prinsip.

Pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf kembali mendaftar sebagai calon

kepada KIP Aceh untuk maju dalam Pemilukada Aceh, dengan pertimbangan, PA

tak ingin Pemilukada berujung konflik. Menurutnya, segala keputusan yang telah

diambil sebelumnya, adalah untuk kepentingan penyelamatan perdamaian Aceh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, kajian ini akan merumuskan beberapa

pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa terjadi konflik diantara elit politik Aceh tentang calon

perseorangan/independen pada Pemilukada 2012?

2. Mengapa Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

bersikap tegas menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada

2012?

Page 11: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

5

3. Apa yang menyebabkan sikap Partai Aceh (PA) melunak dan memutuskan

untuk ikut Pemilukada 2012?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai untuk:

1. Mengkaji konflik elit politik Aceh tentang calon perseorangan pada

Pemilukada 2012.

2. Menganalisis penyebab Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh (DPRA) menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada

Aceh tahun 2012.

3. Menilai faktor perubahan sikap Partai Aceh (PA) yang melunak serta

menerima calon perseorangan/independen dan memutuskan ikut

Pemilukada 2012 dengan mendafatarkan calon mereka baik di provinsi dan

kabupaten/kota.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kajian akademis yang akan

menjadikan hasil penelitian ini sebagai referensi teoritis untuk kemudian

dapat menjadi pertimbangan bagaimana pelaksanaan Pemilukada di Aceh

ke depan menjadi lebih baik.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemikiran di bidang

sosial terutama dalam pengembangan bidang ilmu hukum dan politik,

sehingga dapat menciptakan tatanan hukum dan politik yang lebih baik

untuk masa depan.

Page 12: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

6

3. Hasil ini diharapkan bisa menjadi stimulan dalam pengembangan dunia

akademik, terutama bidang hukum dan politik dan menjadi acuan untuk

penelitian selanjutnya di bidang politik.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini secara keseluruhan disusun berdasarkan bab perbab.

Skripsi ini akan dibagi dalam lima bab.

Bab I pendahuluan,yang berisikan latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, sistematika pembahasan terhadap

konflik elit politik dalam pemilukada Aceh 2012.

Bab II tinjauan pustaka, dalam bab ini dibahas mengenai kehadiran calon

perseorangan pertama kali di Indonesia dalam pemilihan kepala daerah terutama

di Aceh, dalam hal ini teori yang digunakan adalah teori konflik sehingga masalah

yang timbul dalam penelitian ini dapat dikaji melalui teori tersebut baik dengan

cara studi pustaka maupun studi lapangan sehingga hasil yang didapat dapat lebih

akurat.

Bab III metodelogi penelitian, dalam bab ini dibahas mengenai lokasi

penelitian dilakukan dikota Banda Aceh, populasi penelitian ini adalah

masyarakat kota Banda Aceh, sampel yang diambil sebagian dari populasi yaitu

anggota DPRA, PA, KIP, serta informan yang dipercaya sebagai objek penelitian.

Bab IV hasil dan pembahasan, dalam bab ini dibahas, penyebab konflik

diantara elit politik Aceh tentang calon perseorangan/independen pada

pemilukada aceh 2012, alasan Partai Aceh (PA) dan dewan perwakilan rakyat

Aceh bersikap tegas menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada

Page 13: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

7

2012, perubahan sikap elit Partai Aceh (PA) yang melunak serta menerima calon

perseorangan/independen dan memutuskan ikut Pemilukada 2012.

Bab V penutup, Berisikan kesimpulan, dan saran hasil pembahasan.

Page 14: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

8

BAB II

KONFLIK ELIT POLITIK

A. Sejarah Konflik

Meskipun sejak zaman dahulu kala orang telah tertarik untuk meneliti

mengenai konflik, abad kesembilan belas telah membuat gebrakan yang dramatis

dan enerjik, yang dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Charles

Darwin tertarik mengenai perjuangan yang dilakukan suatu spesies untuk bertahan

hidup(“survivel of the fittest”). Sigmund Freud mempelajari tentang perang antar

berbagai kekuatan psikodinamika untuk mengontrol ego yang terjadi di dalam diri

seseorang.

Karl Marx mengembangkan analisis politis dan ekonomis berdasarkan

asumsi bahwa konflik adalah bagian yang terletak dalam sebuah masyarakat, yang

mencerminkan filosofi dialektis yang menjadi pegangannya dengan menarik

kesimpulan dari hasil-hasil pemikiran para pemikir abad kesembilan belas, bahwa

konflik selalu bersifat merusak, sebenarnya kita kehilangan inti dari hasil kerja

mereka. Ketiganya juga melihat adanya konsekuensi merugikan maupun

menguntungkan yang dapat muncul dari terjadinya konflik (Dean Pruitt, dkk.,

2004:12-17).

Asal mula konflik Aceh disebutkan bahwa Aceh sudah bergejolak dalam

konflik sebelum bergabung bersama Indonesia hingga akhir abad 19, Saat Aceh

ditetapkan menjadi salah satu wilayah Kesatuan Republik Indonesia.

Page 15: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

9

Pada tahun 1870-an, orang Aceh pernah menjadi korban agresi Belanda dan

realpolitik Inggris, selanjutnya Aceh juga menjadi korban tak berdosa dari negara

yang merangkulnya menjadi sebuah wilayah kesatuan republik (Anthony reid,

2005: 25).

Sebutan Aceh adalah laboratorium percobaan memang tepat sekali dan

sebagai wadah percobaan, Gejolak kekacauan di Aceh belum pudar hingga

sekarang. Jika zaman indatu Aceh dicoba dengan perang melawan kaphé

Beulanda, Setelah Belanda angkat kaki dari Bumi Fansuri ini perang tetap

berlanjut. Perang cumbok hingga pemberontakan DI/TII merupakan percobaan

demi percobaan untuk Aceh. Setelah merdeka pun perang masih juga ada.

Kemudian Aceh dicoba melalui metode baru yakni air laut naik ke darat.

Pasca air laut naik pun kenyataannya konflik masih juga belum berakhir di Bumi

Iskandar Muda ini. Masalah pembagian bantuan kepada korban bencana saja tetap

menimbulkan konflik. Hal itu masih ada sampai sekarang. Demikian hebatnya

Aceh dalam konflik hingga daerah ini pun mendapat gelar sebagai laboratorium

percobaan atau mungkin pula sebagai laboratorium konflik, Sehingga Indonesia

yang mengakui Aceh sebagai salah satu wilayah kesatuannyapun ikut-ikutan

menggelar percobaan di Aceh (Anthony reid, 2005: 28).

Percobaan ala Indonesia itu sangat jelas dengan beberapa ketetapan dan

kebijakan untuk Aceh semisal dicoba beri julukan daerah istimewa, lantas dicoba

dengan kebijakan syariat Islam, mungkin pula penerapan UUPA juga salah satu

percobaan Indonesia apakah Aceh mampu mengelola daerahnya atau tidak.

Kendati mengalami gejolak percobaan panjang dan berliku, bermula konflik di

Page 16: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

10

Aceh. Aceh tidak pernah menjadi pemberitaan utama dunia (Anthony reid, 2005:

30).

B. Teori Konflik

Konflik berasal dari bahasa latin, conflictus yang artinya pertentangan

(Poerwordaminto, 2000:461). Defenisi konflik menurut para ahli sangatlah

bervariasi karena para ahli melihat konflik dari berbagai sudut pandang atau

perspektif yang berbeda-beda. Konflik dapat digambarkan sebagai benturan

kepentingan antar dua pihak atau lebih, dimana salah satu pihak merasa

diperlakukan secara tidak adil, kemudian kecewa (Nasikun, 1995:21).

Kekecewaan itu dapat diwujudkan melalui konflik dengan cara-cara yang

legal dan tidak legal. Konflik juga diartikan sebagai hubungan antara dua pihak

atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa sasaran-sasaran

yang tidak sejalan. Proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang

segala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan dan

meramalkan gejala tersebut. Konflik ini terjadi diantara kelompok-kelompok

dengan tujuan untuk memperebutkan hal-hal yang sama. Dengan demikian

konflik adalah merupakan gambaran dari sebuah permainan, baik untuk

permainan yang memenangkan kedua belah pihak (Non-Zero Sum Conflict)

maupun yang juga mengalahkan pihak lain (Zero- Sum Conflict) seperti kelas

konflik yang terjadi pada masyarakat industri (Ralf Dahrendorf, 1959:210-222).

Menurut Webster, istilah “Conflict” di dalam bahasa aslinya suatu

perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara

beberapa pihak. Kata ini kemudian berkembang dengan masuknya

Page 17: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

11

ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-

lain. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek piskologis

di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi itu sendiri. Secara

singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan

statusnya sebagai sebuah konsep. Dengan demikian konflik diartikan sebagai

persepsi mengenai perbedaan kepentingan ( perceived of interest), atau suatu

kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai

secara simultan (Dean G. Pruit& Jeffrey Z, 2004:9).

Secara umum ada beberapa teori terjadinya konflik antara lain: Pertama,

konflik adalah merupakan suatu unsur sosial yang alami (Konrad Lorenz,

1989:359). Kedua, dari sudut pandang pisikologi sosial, konflik berasal dari

pertentangan antara dorongan dan motivasi fisik manusia disatu sisi dan tuntutan

norma disisi lain. Ketiga, masyarakat terbentuk dan terjaga keberadaannya bukan

berdasarkan kesepakatan melainkan berdasarkan paksaan. Untuk itu, dimanapun

manusia membentuk suatu ikatan sosial disitu akan terdapat konflik. Keempat,

dari sisi Marxisme, konflik disebabkan oleh kepemilikan harta benda (Raif

Dahrendorf, 2003: 359).

Ada banyak penyebab terjadinya konflik antara lain: Pertama, teori

hubungan masyarakat yaitu menganggap bahwa konflik disebabkan oleh olarisasi

yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang

berbeda dalam suatu masyrakat. Kedua, teori negoisasi prinsip yaitu menganggap

bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan

pandangan tentang suatu hal.

Page 18: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

12

Ketiga, teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar

dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang berupa kebutuhan fisik,

mental, sosial, yang tidak terpenuhi atau di halangi. Keempat, teori identitas

berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering

berakar pada hilangnya suatu atau penderitaan di massa lalu yang tidak di

selesaikan. Kelima, teori kesalahpahaman antara budaya berasumsi bahwa konflik

disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai

budaya yang berbeda.

Keenam, teori transformasi konflik berasumsi bahwa konflik disebabkan

oleh masalah-masalah ketidaksetiaan yang muncul sebagai masalah-masalah

sosial, budaya dan ekonomi. Menurut Louis Coser konflik adalah perselisihan

mengenai nilai-nilai atau tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa

(kekuasaan) dan sumber-sumber kekayaan yang persediaanya tidak

mencukupi/memenuhi, dimana pihak-pihak yang bekonflik tidak hanya

bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga

memojokkan, merugikan atau melemahkan lawan mereka (Paul Conn, 2000:70).

Penyebab konflik menurut (Paul Conn, 2000:70) karena dua hal: pertama,

kemajemukan horizontal yakni masyarakat secara cultural seperti: suku, ras,

agama, antar golongan, dan bahasa dari masyarakat majemuk secara horizontal

sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi, kedua, kemajemukan vertikal

seperti struktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan,

pengetahuan, dan kekuasaan.

Page 19: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

13

C. Konflik Elit Politik

Konflik elit politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Karena tidak

ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik artinya, tidak ada

masyarakat yang tidak mempunyai konflik politik. Dalam hal ini konflik politik

yang terutama adalah konflik antar penguasa politik dalam melihat objek

kekuasaan politik. Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi

tinggi atau karena alternatif yang bersifat dinilai sulit didapat. Konflik dapat juga

didefenisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan bermanfaat

untuk meramalkan apa yang di lakukan orang. Hal ini di sebabkan persepsi yang

biasanya mempunyai dampak yang bersifat segera terhadap perilaku (Dean Pruitt,

2004:27).

Secara umum ada dua tujuan dasar konflik yakni, mendapatkan dan/atau

mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-

sumber merupakan ciri manusia yang bersifat materil-jasmaniah untuk maupun

spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam

masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan

kehendak bebas dan kepentingannya.

Tujuan konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini

sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin

memperoleh sumber-sumber yang menjadi miliknya, dan berupaya

mempertahankan dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-

sumber tersebut. Yang ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan

hidup dan keluarganya, tetapi juaga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan

Page 20: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

14

kekuasaan yang dimiliki. Tujuan mempertahankan diri tidak menjadi monopoli

manusia saja karena binatang sekalipun memiliki watak untuk berupaya

mempertahankan diri. Maka dengan itu dirumuskan tujuan konflik politik sebagai

upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang

dianggap penting (Ramlan Surbakti 1992:155).

D. Bentuk-Bentuk Konflik dan Faktor-faktor Penyebab Konflik

Konflik merupakan sebagian dari kehidupan manusia yang tidak lenyap

dari sejarah. Selama manusia masih hidup, konflik terus ada dan tidak mungkin

manusia menghapus konflik dari dunia ini, baik konflik antar individu dengan

individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok yang

ada dalam lingkup masyarakat. Konflik senantiasa mewarnai kehidupan

masyarakat yang mencakup aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan berbagai

aspek lainnya (Fera Nugroho, 2004:22).

Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial, dimana

keduanya memiliki ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan konflik sosial dan

politik adalah kata politik yang membawa konotasi tertentu bagi isitilah konflik

politik, yakni mempunyai keterkaitan dengan negara/pemerintah, para pejabat

politik/pemerintahan dan kebijakan (Rauf, Maswadi, 2001:19).

Konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang

diarahkan untuk menentang keputusan politik, kebijakan publik dan

pelaksanaannya, juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan

prosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik (Ramlan

Surbakti, 1992:151). Sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis

Page 21: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

15

interaksi (interaction) yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara

kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar

lainnya yang satu sama lain saling bertentangan. Dengan demikian, makna

benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan

pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu

dengan kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan

pemerintah (Ramlan Surbakti, 1992:149).

Menurut Ihwan Muis faktor-faktor penyebab konflik dalam Pemilukada

pada umumnya antara lain :

1. Kepentingan setiap elite lokal, elite nasional, pengusaha dan kepentingan

kekuatan-kekuatan politik lain di daerah yang sedang bertarung

memperebutkan kekuasaan.

2. Kesalahan penafsiran terhadap implementasi undang-undang yang

mengatur persoalan Pemilukada.

3. Belum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang sering kali

kontroversial.

4. Lemahnya institusionalisasi demokrasi di tingkat lokal (KPUD) yang

menjadi faktor dominan timbulnya konflik antar kekuatan politik.

Akibatnya, aturan main berdemokrasi sering berubah, berbeda-beda, dan

tidak ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang menentukan hasil

akhir proses politik di tingkat lokal, contoh kasus Pilkada Maluku.

Diversifikasi sumber konflik adalah sebagai berikut :

Page 22: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

16

1. Dendam kelompok dan dendam sejarah, yang umumnya sangat peka untuk

diprovokasi.

2. Pola kompetisi yang bergerak tidak sehat melalui intervensi kekuasaan,

politik uang, anarkis dan arogansi.

3. Sistem manajemen termasuk payung hukum yang tidak berwibawa, tidak

berfungsi dan tidak dihormati.

4. Rapuhnya simbol perekat dan pemersatu yang mencakup nasionalisme,

etnisisme, etika dan budaya politik yang luhur.

5. Sikap dan perilaku aktor politik yang tidak terkendali, menerabas dan

terjerumus ke deviant politik.

Dilihat dari jenisnya potensi konflik bisa melibatkan :

a. Internal Partai yang mendukung calon.

b. Konflik yang melibatkan antara kandidat satu dengan lainnya atau antara

pendukung-pendukung kandidat. Konflik antar kandidat dapat berupa black

campaign berupa usaha-usaha untuk mendeskriditkan kandidat lain dengan

cara-cara yang tidak gentle, bukan melalui adu visi-misi tetapi dengan

penyebaran berita bohong dan fitnah.

c. Konflik antar elemen masyarakat. Konflik ini berskala sangat besar, karena

melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik antar pendukung masing-masing

kandidat melibatkan pula aparat keamanan (Ihwan Muis, 2004:77).

E. Kelebihan dan Kelemahan Konflik

Meskipun konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi

manusia membuat hal ini menjadi jelas dan meskipun berbagai episode konflik

Page 23: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

17

merupakan peristiwa-peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam

kehidupan manusia, tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan

konflik adalah salah. Orang pada umumnya mampu bergaul dengan baik dengan

orang-orang, kelompok, maupun organisasi lain, pergaulan itu mereka lakukan

dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian

rupa sehingga hanya sedikit terjadi konflik didalamnya.

Bilamana konflik itu memang tejadi, maka lebih sering konflik itu dapat

diatasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan

dapat memuaskan semua pihak. Beberapa fungsi positifnya sebagai tambahan

bagi apa yang telah di kemukan. Pertama, konflik adalah persemaian yang subur

bagi terjadinya perubahan sosial. Kedua, dari konflik sosial adalah tersebut

memfasilitasi tercapainaya rikinsilasi atas berbagai kepentingan.

Ketiga, atas dasar kedua fungsi pertama tadi, konflik dapat mempercepat

persatuan kelompok. Kelemahan konflik adalah kita telah menyaksikan banyak

perubahan sosial yang tidak di sertai terjadinya konflik. Disamping itu, ketika

konflik memang terjadi, biasanya dapat di atasi tanpa sakit hati maupun dendam,

bahkan di sertai sejumlah fungsi positif. Sekalipun demikian, konflik benar-benar

mampu menimbulkan malapetaka di masyrakat. Ketika orang menangani konflik

dengan contengding, dimana masing-masing berusaha agar dapat mungkin pihak

lawanlah yang berkorban, maka sejumlah tindakan dan tindakan balik yang

dilakukan justru akan cenderung meningkatkan intensitas konflik, peningkatan

intensitas ini umumnya disebut sebagai eskalasi (Dean Pruitt,2004,12-170).

Page 24: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

18

Eskalasi konflik dilihat meskipun bukan berarti tidak mungkin untuk

dibalik. Pertama, taktik yang pada awalnya relatif ringan, bersahabat, dan tidak

bersifat ofensif, cenderung membuka jalan bagi tindakan yang lebih berat. Kedua,

jumlah masalah yang timbul di dalam konflik meningkat. Ketiga, fokus yang pada

awalnya bersifat khusus dapat melebar dan menjadi bersifat lebih global,

menyangkut banyak hal. Keempat, motivasi didalam konflik yang mengalami

eskalasi beranjak dari kepentingan awal salah satu pihak untuk mendapatkan yang

terbaik, yang kemudian berkembang kearah penyerangan terhadap pihak lain dan

pada akhirnya kearah memastikan dari bawah pihak lain lebih menderita daripada

dirinya.

Kelima, jumlah pihak yang berkonflik cenderung meningkat, pertama-

tama hanya antara saya dan anda, kemudian antara keluarga batin kita, lalu cepat

atau lambat akan melibatkan seluruh keluarga besar kita. Sekali konflik mulai

mengalami eskalasi, maka transformasi yang menyertainya akan sulit untuk di de-

eskalasikan (Dean Pruitt, 2004,12-170).

F. Elit Politik Lokal dan Non Lokal

Kajian ini membagi dua katagori elit dalam konteks lokal yaitu elit politik

lokal dan elit non politik lokal (S. P. Varma,1987:89, dan maurice duverger,

1982:78) teori elit mengandung bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua

kategori yang luas yang mencakup (a) sekelompok kecil manusia yang

berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b)

sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering diartikan

sebagai sekumpulan orang sebagai individu-individu yang superior, yang berbeda

Page 25: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

19

dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan kekuasaan atau kelompok yang

berbeda dilingkaran kekuasaan maupun yang sedang berkuasa. Mosca dan Pareto

membagi sertifikasi dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing

elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-

elite).

1. Elit Politik Lokal: merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan

umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal.

Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan

menjalankan kebijakan politik. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati,

Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan Partai politik.

2. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan

strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam

lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit

organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.

Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang

lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan

antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses pemilihan kepala

daerah di tingkat lokal.

Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri

maupun antar kelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit

menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi

antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian

Page 26: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

20

terjadi diantara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa

berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a) Individu-individu dari

lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b)

Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan

masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada (S.P.

Varma,1987:203).

G. Pengertian Elit dan Klasifikasi Elit

Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang

memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebut

menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan

bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa

yang baru (S.P. Varma,1987:205-206). Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh

Masco, terutama karena terjadinya “ penjatuhan rezim,” konflik pasti tidak

terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam

cara.

Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat

digunakan seperti organisasi dan uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik,

dan lain sebagainya (S.P. Varma,1987:276). Tata cara mekanisme sirkulasi elit ini

akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi

terujutnya pergantian kekuasaan disuatu Negara.

Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak

selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukkan sifat-

sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana diatur dalam

Page 27: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

21

UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan

mekanisme masing-masing dalam pergantian elit. Dalam memahami konstelasi

dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku

massa.

Untuk memetakan perubahan politik di masyarakat antar waktu misalnya,

kita bisa meminjam kategori teoritik dari yang membagi masyarakat atau massa

kedalam tiga kategori besar (Amitai Etzioni,1961:56). (1) massa moral; (2) massa

kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial terikat

secara politik pada suatu orsospol karena loyalitas normatif yang dimilikinya.

Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap

krisis-krisis empirik.

Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli

dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi oleh masyarakat di

sekitarnya. Massa ini akrab dengan modenitas, sebagian besar menempati lapisan

tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan

punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Massa alienatif adalah

massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada

saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu

bagiannya dan bagi proses politik secara umum.

Bagaimanapun karakteristik konfliknya, kecenderungan untuk terjadinya

“integrasi” dalam rangka untuk mengakhiri konflik pasti terjadi. Oleh karena itu,

gagasan pendekatan baru bahwa sistem politik demokrasi dapat digunakan

Page 28: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

22

sebagai upaya penyelesaian konflik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis

(Peter Harris,2000:141).

H. Calon Perseorangan dan Calon Partai Politik

Independen dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu

“independent”, artinya bebas, merdeka atau mandiri (Partanto,1994:250). Dari

kata ini kemudian muncul istilah independensi. Independesi sendiri bisa diartikan

dengan kebebasan, kemandirian atau kemerdekaan dari pengaruh kekuatan yang

berada diluar sesuatu. Independen berarti “tidak tergantung dari”. Maka kata

independen dapat digunakan untuk mengatakan, bahwa seseorang sudah tidak lagi

bergantung pada orang lain atau kelompok lain.

Konteksnya dengan prosesi Pemilukadasung sebagaimana yang telah

dilakukan di beberapa daerah, independensi bisa diartikan sebagai suatu sifat yang

melekat pada suatu lembaga penyelenggara. Dengan demikian, secara

kelembagaan, lembaga yang ditunjuk sebagai penyelenggara itu tidak boleh

diintervensi oleh kekuatan apapun dari luar terkait penentuan kualitas kinerjanya.

Secara sederhana pengertian calon perseorangan/independen yang

dimaksud di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan

yang dapat berkompetisi dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil

kepala daerah melalui mekanisme Pemilukada tanpa mempergunakan Partai

politik sebagai media perjuangannya. Sebagai jaminan konstitusional atas hak

perseorangan untuk dapat dicalonkan sebagai calon independen, maka putusan

MK tersebut membutuhkan perangkat hukum berupa revisi terhadap UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya telah secara tegas

Page 29: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

23

mengatur hak-hak calon independen. Landasan hukum mengenai calon

independen ini pun semakin menguat manakala dikeluarkannya UU No.12 Tahun

2008 yang secara lebih rinci mengatur mengenai persyaratan calon independen

untuk dapat maju dalam Pemilukada (Lambang Trijono, 2007:67).

Jika menimbang kekuatan antara calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah yang dicalonkan oleh Partai dengan calon independen, maka proses

penarikan dukungan yang akan dipakai tidak akan jauh berbeda karena calon yang

diusung partai maupun calon independen tetap mempergunakan sentimen-

sentimen yang ada dalam masyarakat sendiri. Biasanya sentimen yang dipakai

tidak jauh dari isu kultural (marga dan rumpun adat) yang menjadi basis

kesadaran masyarakat yang mudah dimobilisasi, khususnya masyarakat pedesaan.

Anggapan bahwa calon independen akan lahir dari masyarakat sendiri

dengan harapan ketika berhasil memperoleh dukungan mayoritas sebagai kepala

daerah dan wakil kepala daerah dapat langsung memperjuangkan kepentingan

konstituennya merupakan harapan yang tidak jauh berbeda dengan harapan ketika

masyarakat menentukan pilihan pada calon yang berasal dari Partai. Masyarakat

yang menyambut positif mempunyai keyakinan bahwa dengan munculnya calon

kepala daerah dari luar mekanisme Partai politik akan memberikan pilihan yang

lebih luas dan menjadikan persaingan lebih sehat. Dampak selanjutnya yang

diharapkan adalah munculnya calon dari luar Partai akan menyehatkan proses

demokrasi dan akhirnya menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas

(Lambang Trijono, 2007:32).

Page 30: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

24

Perbedaan yang kontras antara calon perseorangan/independen dengan

calon dari partai politik adalah masalah pengorganisasian infrastruktur dengan

suprastruktur politiknya. Calon independen tidak memiliki infrastruktur politik

yang jelas. Sehingga, apa yang menjaga hubungan konstituen (infrastruktur)

dengan lembaga eksekutif (suprastruktur) tidak ada. Justru posisi eksekutif yang

diisi oleh calon independen tidak akan memperoleh legitimasi politik yang kuat

dari DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota karena representasi dari kekuatan

berbagai parpol. Karena calon independen hanya mengandalkan kemampuan

pribadi calon, maka yang si calon hanya dapat memperoleh legitimasi politiknya

dari konstituen yang independen pula.

Dalam timbangan kelembagaan demokrasi perwakilan melalui sistem

pemilihan, maka calon independen dapat dianggap sebagai katup penyelamat

antara masa pemilih (partisan) dan simpatisan Partai dengan non-partisan dan juga

kelompok golput. Dengan demikian, kelompok yang tidak punya pilihan dapat

mengartikulasikan kepentingan politiknya melalui calon independen. Akan tetapi,

hal ini sangat sederhana sekali.

Namun, menjadi alternatif penyampaian kepentingan ketika partai tidak

lagi dianggap ideal sebagai media perjuangan kepentingan masyarakat. Selain itu,

partai yang merasa mendapat “lawan tanding” baru menganggap calon

independen perlu mendapat ketentuan syarat pengajuannya. Dan ketentuan-

ketentuan tersebut masih mengalami perdebatan. Ada yang menawarkan 5 persen,

10 persen, dan 15 persen dari jumlah pemilih. Jika melihat kasus Pemilukada

Page 31: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

25

Aceh, syarat pengajuan bagi calon independen hanya sebesar 3 persen dari jumlah

pemilih (Lambang Trijono, 2007:54).

Dari sisi politis, posisi partai dalam hal ini mengajukan persyaratan

ambang batas minimal jumlah dukungan yang harus dikantongi oleh para calon

independen merupakan bentuk desakan politik terhadap aturan hukum yang

berlaku pasca putusan MK. Jika mengikut pada perkembangan perdebatan dari

kebutuhan aturan hukum yang berlaku, yakni revisi UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, maka pendapat Partai mulai dari munculnya

wacana calon independen dan pasca putusan MK mengenai ambang batas

minimum dukungan bagi calon independen akan menjadi materi dalam penentuan

perubahan Pasal yang mengatur ketentuan tersebut. Hal ini merupakan tuntutan

(demand) dari para stakeholder terhadap sistem pembentukan kebijakan publik

(yang dalam hal ini adalah revisi UU).

Prinsip demokrasi perwakilan adalah bahwa calon yang terpilih dapat

mengagregasikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya bagi

konstituennya saja. Jadi, jika calon yang berasal dari Partai akan lebih

mementingkan basis pemilihnya sendiri karena Partai sudah memenangkannya,

maka calon independen harus mementingkan masyarakat secara keseluruhan

karena calon independen tidak hanya dikontrol oleh masyarakat, tetapi juga

seluruh parpol. Dengan demikian, posisinya menjadi sorotan publik, baik dari

kebijakan yang dihasilkan maupun aktifitas politiknya. Selain itu, jika calon

independen tidak memiliki basis masa pemilih yang kuat dan terorganisir, maka

posisinya akan sama dengan calon yang diusung oleh partai yang hanya

mengandalkan mobilisasi masa pada saat pemilihan. Basis masa pendukung yang

Page 32: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

26

terorganisir ini akan mampu menjadi infrastruktur politik kasus Pemilukada Aceh,

syarat pengajuan bagi calon independen hanya sebesar 3 persen dari jumlah

pemilih (Lambang Trijono, 2007:37).

Pemilukada Aceh adalah yang terbesar di Indonesia mungkin juga di

dunia. Sejarah Pemilukadasung di indonesia sebenarnya di mulai dari Aceh.

Sehingga menjadi laboratorium demokrasi Pemilukadasung maupun calon

perseorangan secara nasional. Berdasarkan hal tersebut konflik politik dalam

proses penyelenggaraan Pemilukadasung dapat diminimalisir dengan aturan yang

jelas yang dapat diterima oleh seluruh partisipan politik di Aceh.

Page 33: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

27

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu sebuah

penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara

holistik. Penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabel-variabel

tunggal melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan

variabel lain. Guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, disamping

mengungkapkan fakta, dilakukan juga analisis berlandaskan pada aturan dan

konsep (Ali, M. Sayuthi. 2002:23).

Kualitatif juga dapat diartikan sebagai penelitian yang lebih menekankan

analisisnya pada proses penyimpulan deduktif serta pada analisis terhadap

dinamika hubungan yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah.

Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk

mengumpulkan data, kemudian disusun dan diolah serta ditafsirkan, selanjutnya

data yang telah diolah diberi makna yang rasional untuk diambil kesimpulan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kota Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi

Aceh. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 April 2012 sampai dengan tanggal

15 Juli 2012.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Page 34: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

28

Populasi adalah wilayah genelisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian di tarik kesimpulannya. Populasi penelitian ini adalah

masyarakat kota Banda Aceh yaitu mencakup tokoh-tokoh politik yang tergabung

dalam partai maupun calon perseorangan yang maju dalam Pemilukada 2012 di

Kota Banda Aceh serta peneliti akan memilih beberapa orang responden dan

informan. Mereka yang dipilih menjadi responden dan informan adalah orang

yang dipercaya memiliki informasi dan data akurat yang diperlukan untuk

menunjang penelitian ini.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi, pengambilan sampel

dilakukan secara kelayakan atau disebut dengan metode purposive sampling yaitu

sample diambil dari populasi yang dapat mewakili keseluruhan populasi

penelitian yang terdiri dari responden dan informan. Mengingat besarnya populasi

yang ada maka perlu diambil sampel yang terdiri responden dan informan.

Responden dari penelitian ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

(DPRA) dan Partai Aceh (PA) :

1. Hasbi Abdulah Ketua DPRA.

2. Abdulah Saleh Komisi A DPRA.

3. Fakhrurazi Juru Bicara Partai Aceh.

4. Kausar Tim Pemenangan Partai Aceh.

5. Amir Helmi Wakil DPRA Fraksi Demokrat.

6. Calon Independen :

Page 35: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

29

- Darni M. Daud

- Abi Lampisang

Informan adalah orang-orang yang dipercaya dan ikut terlibat dalam

konflik politik. Informan dalam penelitian ini adalah :

1. Ilham Sahputra KIP Aceh.

2. Makmur Biro Hukum kantor Gubernur.

3. Ja’far Helmi Staf Ahli Gubernur.

4. Masyarakat Kota Banda Aceh.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan dan penelitian lapangan.

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, data

sekunder dikumpulkan dari data dan informasi dari berbagai sumber, seperti

buku-buku yang memuat berbagai macam ragam kajian teori yang sangat

dibutuhkan peneliti, berupa naskah-naskah dokumen sejarah dan dokumen lainnya

yang menunjang proses penilitian.

2. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer yang

berhubungan dengan penelitian ini data dikumpulkan melalui wawancara dengan

responden dan informan.

Page 36: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

30

E. Teknik Analisisa Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun lapangan

dipadukan untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif

deskriptif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengasilkan data deskriptif

analitis dari yang dinyatakan oleh responden dan informan secara tertulis atau

yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan penelitian ini

diharapkan dapat menghasilkan analisis yang mampu menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan.

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian

- Konflik diartikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (

perceived of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak

yang berkonflik tidak dapat di capai secara simultan.

- Konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan

untuk menentang keputusan politik, kebijakan publik dan pelaksanaannya,

juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang

mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik.

- Tujuan konflik politik adalah sebagai upaya untuk mendapatkan dan/atau

mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

- Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagi individu-individu yang

superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jaringan

kekuasaan atau kelompok yang berbeda dilingkaran kekuasaan maupun yang

sedang berkuasa.

Page 37: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

31

- Independen dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris yaitu

“independent”, artinya bebas, merdeka atau mandiri. Dari kata ini kemudian

muncul istilah independensi. Independesi sendiri bisa diartikan dengan

kebebasan, kemandirian atau kemerdekaan dari pengaruh kekuatan yang

berada diluar sesuatu.

- Pengertian calon perseorangan/independen yang dimaksud didalam keputusan

Mahkamah Konstitusi adalah calon perseorangan yang dapat berkompetisi

dalam rekrutmen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui

mekanisme Pemilukada tanpa mempergunakan partai politik sebagai media

perjuangannya.

Page 38: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyebab Konflik Diantara Elit Politik Aceh Tentang Calon

Perseorangan/Independen Pada Pemilukada Aceh 2012

Konflik regulasi sudah dimulai sejak adanya keputusan Mahkamah

Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon perseorangan/independen untuk

berkompetisi dalam Pemilukada Aceh. Bahkan sebelum adanya keputusan MK

tentang calon perseorangan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf termasuk salah

seorang yang keberatan akan adanya calon perseorangan dalam Pemilukada Aceh.

Hal yang sama juga di tunjukkan oleh Partai Aceh (PA) yang

sebelummnya menolak untuk berpartisipasi dalam Pemilukada pada akhirnya juga

kembali mendaftarkan calonnya untuk berpartisipasi dalam Pemilukada Aceh

2012. Kemelut tentang calon perseorangan akhirnya membuat PA monolak untuk

mendaftarkan diri dalam Pemilukada, pihak PA mengatakan putusan sela

Mahkamah Konstitusi (MK) sama sekali belum menyentuh substansi yang

menjadi akar persoalan konflik regulasi Pemilukada Aceh. Karenanya, PA

memastikan tidak akan mendaftarkan calonnya, baik tingkat provinsi maupun

kabupaten/kota, meskipun peluang itu telah dibuka kembali. Namun demikian,

persoalan kembali berubah sebagaimana layaknya politik pada umumnya dimana

kepentingan lebih dominan dari sebuah sikap maupun konsistensi prinsip.

Adapun penyebab konflik diantara elit politik Aceh tentang calon

perseorangan/independen pada Pemilukada Aceh 2012 adalah :

Page 39: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

33

1. Pencabutan Pasal 256 UU/2006 oleh Mahkamah Konstitusi

Konflik elit politik Pemilukada Aceh diawali ketika fraksi Partai Aceh

(PA) di Legislatif tidak menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

35/PUU-VIII/2010 yang mencabut Pasal 256 UUPA tentang ketentuan yang

mengatur calon perseorangan/independen dalam Pemilukada hanya berlaku sekali

sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

Keputusan MK dengan mencabut Pasal 256 UUPA yang melegalkan

keikutsertaan calon perseorangan/independen dalam Pemilukada di Aceh. Sikap

fraksi PA di legislatif Aceh, yang merupakan Partai Lokal (Parlok) terbesar di

Aceh adalah sikap resmi PA. Keputusan MK dianggap bertentangan dengan

UUPA yang merupakan turunan dari Memorandum of Understanding (MoU)

yang ditandatangani di Helsinki oleh perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

dan perwakilan pemerintah Republik Indonesia sehingga jalur independen yang

diberlakukan sekarang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati (Irwanda,

Masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).

Jalur Independen itu tidak memberikan kesejahteraan buat rakyat Aceh

tetapi menciptakan kelompok elit-elit tertentu dengan kepentingan-kepentingan

tertentu pula sehingga independen tidak boleh ada lagi kami bersikap keras dan

menolak pencabutan Pasal 256 UUPA yang dilakukan oleh MK secara sepihak

serta telah melanggar perjanjian MoU yang telah disepakati oleh Pemerintah

Indonesia dengan Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei

2012).

Page 40: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

34

Dalam UUPA tersebut keikutsertaan calon perseorangan/independen di

Aceh hanya satu kali, yaitu dimasa peralihan Aceh dari konflik ke damai. UUPA

sebenarnya juga telah mengamanahkan kepada pemerintah pusat agar setiap

keputusan hukum (Undang-Undang) baru atau penyesuain harus terlebih dahulu

dikoordinasikan dengan DPRA, seperti yang tercantum dalam UUPA dalam Bab

XL Ketentuan Penutup Pasal 269 UUPA ayat 3, hal ini ternyata tidak dilakukan

oleh Pemerintah Pusat terkait penghapusan Pasal 256 UUPA (H. Hasbi Abdullah,

ketua DPRA wawancara 16 Mei 2012).

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 disebutkan, kekuasaan

MK sebagai penegak hukum dan keadilan sekaligus sebagai pengawal konstitusi

adalah merdeka tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun. Dilanjutkan,

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, perubahan ketiga, 2001 contoh UU No. 24/2003

tentang MK, contoh Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU No. 48/2009 tentang kekuasaan

kehakiman, secara eksplisit MK berwenang untuk menguji konstitusionalitas atau

tidaknya suatu Undang-Undang (UU).

Proses dan karakteristik kewenangannya adalah menguji UU terhadap

UUD 1945 mulai pada tingkat pertama hingga terakhir yang putusannya bersifat

final dan mengikat (final and binding) dan tidak ada upaya hukum lainnya.

Memang, yang menjadi permasalahan pasca terbentuk MK sebagai lembaga

judicial baru, masih banyak masyarakat tidak mengetahui eksistensi, kewenangan,

pelaksanaan maupun implikasi putusannya. Misalnya, norma Pasal 57 ayat (1-3)

UU MK menyebutkan: 1) menyatakan materi UU yang bertentangan dengan UUD

1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2) pembentukan UU yang

Page 41: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

35

tidak berdasarkan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan,

3) permohonan yang dikabulkan wajib dimuat dalam berita negara paling lambat

30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan sehingga MK harus mencabut

Pasal 256 UUPA karena adanya Judicial Review ( Abdulah Saleh, komisi A

DPRA 18 Mei 2012).

Penyebab konflik diantara elit politik Aceh tentang calon perseorangan

pada Pemilukada Aceh 2012 adalah karena adanya pencabutan Pasal 256 UUPA

oleh MK, sehingga keputusan MK tersebut sangat direspon oleh PA sehingga

terjadinya konflik diantara PA, MK serta Irwandi yang dianggap sebagai

pengkhianat (Kausar, Tim pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).

Pada Pemilukada kemarin sempat terjadi ketegangan antara PA dan MK

akibat pencabutan Pasal 256 UUPA tetapi bukan itu masalah utamanya tetapi ada

faktor-faktor lain salah satunya pengkhianatan yang dilakukan oleh Irwandi

sehingga PA sangat emosional menanggapi hal tersebut buktinya saja pemukulan

yang terjadi setelah pelantikan gubernur ini jelas konflik yang terjadi antara

mereka (Darni M.Daud, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).

Adanya calon independen mencerminkan demokrasi yang harus

dipertahankan, sebab dengan adanya demokrasi maka kebebasan bagi masyarakat

untuk dipilih tetap ada saya rasa PA bersikeras supaya Pasal 256 UUPA tidak

dicabut dikarenakan PA tidak ingin ada saingan dari calon independen karena

akan memecah suara partai, saya rasa dengan dicabutnya Pasal 256 UUPA maka

kebebasan bagi masyarakat untuk dipilih semakin besar (Abi Lampisang, Calon

Independen, wawancara 26 Juni 2012).

Page 42: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

36

Pada dasarnya JR yang dilontarkan ke MK merupakan awal terjadinya

konflik, hal ini merupakan salah satu agenda politik yang direncanakan oleh

aktor-aktor yang ingin maju dalam Pemilukada Aceh 2012 melalui calon

independen. Hal ini membuat kubu PA geram dan dan secara tegas menolak

putusan MK sehingga lambat laun tercipta konflik antar elit politik. Saya merasa

bukan karena pencabutan Pasal 256 UUPA yang mebuat terjadinya konflik tetapi

akibat adanya perpecahan suara di dalam kubu PA dimana Irwandi ingin maju

dalam calon perseorangan dikarenakan Irwandi merasa telah dicampakkan oleh

partai yang dulu telah mengusungnya (Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21

Mei 2012).

Saya melihat tidak terjadi konflik antara PA dan Irwandi tetapi secara

politik saya melihat Irwandi telah dicampakkan oleh PA dan PA tidak ingin

Irwandi maju dalam calon perseorangan sehingga menolak keras sikap MK yang

ingin mencabut Pasal 256 UUPA agar calon perseorangan tidak bisa ikut dalam

Pemilukada Aceh 2012, pencabutan Pasal 256 UUPA telah sesuai dengan

prosedur hukum yang dianut oleh pemerintah pusat dimana MK sebagai penegak

hukum dan keadilan sehingga MK tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain

termaksud PA(Ja’far Helmi, Staf Ahli Kantor Gubernur, wawancara 28 Mei

2012).

Dari hasil penelitian lapangan ditemukan bahwa salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya konflik antara elit politik adalah pencabutan pasal 256

UUPA yang dinilai merungikan rakyat Aceh oleh MK sehingga mendapat protes

tegas dari PA yang berkeinginan agar Pasal 256 UUPA ini tidak dicabut. Hal

Page 43: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

37

tersebut yang membuat konflik elit politik Aceh semakin memanas. Dalam hal ini

saya sepakat dengan dicabutnya Pasal 256 UUPA yang merungikan hak

demokrasi masyarakat Aceh.

2. Adanya Perpecahan Elit Politik di Tubuh Partai Aceh (PA) Terhadap

Calon Perseorangan/Independen

Irwandi Yusuf sebelumnya adalah calon yang diusung dari Partai Aceh

pada Pemilukada 2006 dan berhasil dimenangkan dengan suara mayoritas. Saat

ini, Irwandi menyatakan untuk maju kembali mencalonkan sebagai Gubernur

Aceh periode yang akan datang melalui jalur perseorangan/independen setelah PA

mengumumkan untuk mengusung calon Gubernur dan Wagub Aceh yang akan

datang pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Dan ini adalah akar masalah

penolakan calon perseorangan/independen oleh PA.

Perbedaan ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh PA dan semakin

memperuncing konflik sesama anggota Partai. Meskipun sulit memprediksi apa

yang akan terjadi pada dunia politik namun dengan melihat perimbangan ini,

Partai Aceh menganggap bahwa Irwandi Yusuf merupakan rival terberat dari jalur

perseorangan/independen sehingga kebijakan Partai sangat mempengaruhi

keputusan DPRA khususnya pansus III Qanun Pemilukada yang dikuasai

mayoritas anggota dari Partai Aceh 47% (Hasbi Abdulah, Ketua DPRA Aceh,

wawancara 16 Mei 2012).

Dilihat situasi konflik politik menjelang Pemilukada secara khusus adalah

konflik ini hanyalah konflik antara Irwandi Yusuf dan PA. Irwandi Yusuf dinilai

telah membelot dan tidak memiliki komitment dengan keputusan yang disepakati

Page 44: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

38

pada perjanjian MoU Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam perjanjian tersebut dinyatakan calon

perseorangan/independen hanya boleh mencalonkan saat Pemilukada tahun 2006.

Setelah itu sesuai dengan perjanjian Helsinki calon yang akan maju dalam

pertarungan Pemilukada harus diusung Partai

( Kausar, Tim pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).

Irwandi dinilai PA sebagai pembelot, karena tidak komit dengan

kesepakatan Helsinki di mana dalam perjanjian tersebut disebutkan rakyat Aceh

akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang

dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pemilihan lokal yang bebas dan adil

akan diselenggarakan dibawah Undang-Undang baru tentang penyelenggaraan

pemerintahan di Aceh untuk memilih kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih

lainnya serta untuk memilih anggota legislatif Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara

Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Calon perseorangan tak bertentangan dengan MoU Helsinki, tapi dalam

UU nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sengaja diberlakukan sekali

karena ada ketakutan partai terhadap calon perseorangan/independen.

Irwandi yusuf, pada awalnya menjadi salah satu bakal calon Gubernur

yang akan diusung lagi oleh PA yang justru mendepak dirinya, dan memilih

mengusung Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai calon Gubernur/Wakil

Gubernur Aceh 2012-2017, dan pada akhirnya memilih maju lewat jalur non

parpol. Dari inilah membuat DPR Aceh meminta supaya Pemilukada ditunda,

disisi lain eksekutif Aceh justru menginginkan Pemilukada berjalan tepat waktu.

Page 45: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

39

Semenjak saat itu muncullah berbagai gugatan terhadap KIP tentang kehadiran

calon perseorangan/independen yang pada akhirnya calon

perseorangan/independen dapat diakomodasikan didalam Pemilukada Aceh 2012

(Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).

Konflik antara PA dan Irwandi ini merupakan salah satu sikap yang

ditempuh oleh PA dalam perpolitikan. Pada dasarnya Irwandi ingin diusung PA

untuk kedua kalinya tetapi akibat adanya aktor-aktor lain dikubu PA yang melobi

didalam PA maka terpilihlah Muzakir dan Zaini Abdullah sebagai calon gubernur

dari Partai PA hal ini membuat Irwandi memutuskan untuk maju dari calon

perseorangan yang menyebabkan PA merasa dirugikan sehingga timbulah konflik

yang semakin meruncing pada dasanya JR yang dilontarkan ke MK merupakan

awal terjadinya konflik, Hal ini merupakan salah satu agenda politik yang

direncanakan oleh aktor-aktor yang ingin maju dalam Pemilukada Aceh 2012

melalui calon independen. Hal ini membuat kubu PA geram dan secara tegas

menolak putusan MK sehingga lambat laun tercipta konflik antar elit politik. Saya

merasa bukan karena pencabutan Pasal 256 UUPA yang mebuat terjadinya

konflik tetapi akibat adanya perpecahan suara didalam kubu PA dimana Irwandi

ingin maju dalam calon perseorangan dikarenakan Irwandi merasa telah

dicampakan oleh partai yang dulu telah mengusungnya (Makmur, Biro Hukum

Kantor Gubernur 21 Mei 2012).

Perpecahan dikubu partai pasti akan terjadi tetapi melihat arah

perkembangan politik maka hal ini harus terjadi karena Irwandi tidak lagi diusung

oleh PA. Pencabutan Pasal 256 UUPA membuat keuntungan bagi Irwandi untuk

Page 46: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

40

maju dari calon perseorangan hal ini membuat PA merasa geram dan ingin

menekan MK supaya Pasal 256 UUPA tidak dicabut karena bertentangan dengan

MoU yang telah disepakati sikap lain yang dilakukan PA adalah tidak ikut

mendaftar ke KIP hingga terciptanya kontrak antara PA dan Pemerintah Pusat

(Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21 Mei 2012).

Bagi saya pada saat itu apapun keputusan yang diambil oleh MK tidak

berpengaruh bagi saya sebab saya hanya berharap bisa maju dalam Pemilukada

Aceh. Perpecahan yang terjadi dikubu PA seharusnya menjadi keuntungan bagi

saya dan calon yang lain tetapi itu tidak terjadi karena masyarakat lebih memilih

Muzakir dan Zaini Abdulah (Darni M.Daud, calon independen, wawancara 26

Juni 2012).

Sangat jelas telihat adanya perpecahan didalam kubu Partai Aceh yaitu

adanya pengkhianatan yang terjadi dimana Irwandi ingin maju dalam calon

perseorangan jadi apapun keputusan yang diambil oleh Irwandi akan menjadi

bumerang bagi PA sehingga ada hal yang dilakukan oleh PA untuk menjatuhkan

Irwandi inilah konflik yang terjadi didalam kubu PA (Muspirah, masyarakat,

wawancara 26 Juni 2012).

Tanggapan yang dikeluarkan oleh elit politik tersebut menyimpulkan

bahwa akibat konflik didalam PA yang semakin meruncing menyebabkan

perpecahan didalam kubu partai hal ini didasarkan atas sikap Irwandi yang

mencalonkan diri dari calon perseorangan karena tidak lagi mendapatkan

dukungan dari PA. PA menilai Irwandi telah gagal memimpin Aceh dan telah

merugikan PA.

Page 47: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

41

3. Sikap MK dan KIP Terhadap Konflik Elit Politik Aceh

Bagi PA dicabutnya salah satu Pasal dari UUPA dianggap sebagai usaha

untuk merusak perdamaian. Mengkhianati perjanjian damai yang telah disepakati.

Pencabutan Pasal dalam UUPA akan dimaknai sebagai upaya untuk mengakhiri

kesepakatan damai. Beberapa pengamat memprediksi, bahwa PA yang merupakan

transmisi ideologi GAM saat ini tidak akan menempuh jalur konflik lagi ditengah

realita berbagai sarana dan prasarana negara yang telah mereka genggam. Namun

prediksi tersebut ternyata tidak kuat dan salah, secara organisatorik terbukti PA

tidak mendaftarkan calonnya satu orang pun hingga batas terakhir yang diberikan

oleh KIP untuk ikut dalam prosesi Pemilukada di Aceh.

Sifat putusan MK dikategorikan kedalam jenis putusan declaratoir

constitutif. Artinya, menyatakan apa yang menjadi hukum, tetapi tidak melakukan

penghukuman dan menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau

menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Sehingga, putusan MK sebagai

negative legislator mempunyai kekuatan hukum mengikat (Makmur, Biro Hukum

Kantor Gubernur 21 Mei 2012).

Akibat dari aturan hukum tersebut maka KIP harus melaksanakan putusan

yang telah dikeluarkan oleh MK sehingga calon perseorangan bisa mengikuti

proses pemilihan dalam proses tersebut KIP tetap menjalankan amanat sesuai

dengan aturan hukum yang telah ditetapkan.

Partai Aceh berpendapat pelaksanaan Pemilukada di Aceh bertentangan

dengan UUPA. Bahkan, PA juga tidak mendaftar saat pendaftaran sesi kedua

kembali atas keputusan MK. Disisi lain, pihak yang menuntut hadirnya calon

Page 48: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

42

perseorangan/independen di Aceh juga memiliki landasan yuridis yang jelas, yaitu

bahwa calon perseorangan/independen adalah hak setiap warga negara dimana

pada akhirnya MK juga mengabulkan permohonan untuk melegitimasi

keikutsertaan calon perseorangan/independen di Aceh. Keikutsertaan calon

perseorangan/independen ini dianggap juga tidak menodai amanat MoU yang

dulu ditandatangani pihak GAM dan perwakilan NKRI di Helsinki (Makmur, Biro

Hukum kantor gubernur, wawancara 21 Mei 2012).

Konsistensi KIP Aceh dengan segala landasan yuridis yang di pegang pada

akhirnya memaksa PA untuk menerima kehadiran calon perseorangan/independen

di Aceh. Setelah terjadinya berbagai kekerasan yang dianggap berbagai pihak

sebagai manuver untuk penundaan Pemilukada, situasi Aceh kembali tidak

kondusif. Melihat situasi itu, Kementrian Dalam Negri (Kemendagri) Gunawan

Fauzi akhirnya mendukung dibuka kembali pendaftaran kontestan Pemilukada di

Aceh dan meminta kepada MK agar diberi kewenangan untuk melakukan

penundaan Pemilukada Aceh dan berwenang membuka kembali pendaftaran

pasangan kandidat dengan alasan Aceh berbeda dengan daerah lain dalam

berbagai hal.

Khususnya karena Aceh memiliki UU sendiri (UUPA) dalam menjalankan

pemerintahannya serta karena situasi Aceh yang memiliki potensi kembali lagi ke

masa konflik. MK memerintahkan KIP Aceh untuk membuka kembali

pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,

Walikota/Wakil Walikota, selama tujuh hari terhitung sejak 17 Januari 2012.

Dalam waktu tujuh hari tersebut, KIP juga diminta untuk melakukan verifikasi

Page 49: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

43

serta penetapan bagi pasangan calon baru. Hal itu terungkap dalam putusan sela

yang dijatuhkan MK dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara

(SKLN) antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan KIP Aceh (Ilham

Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).

Kami melakukan sesuai dengan ranah hukum yang telah ditentukan ketika

MK mencabut Pasal 256 UUPA dan diperbolehkannya calon independen maka

kami mengikuti sesuai aturan yang berlaku kami tidak punya kuasa terhadap Pasal

256 UUPA yang telah dicabut (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16

Mei 2012).

Selain Mendagri, permohonan SKLN juga diajukan oleh Gubernur Aceh

Irwandi Yusuf. Dalam pertimbangannya, MK mengungkapkan, MK sebelumnya

telah memerintahkan pembukaan kembali pendaftaran sesuai putusan sela MK

terkait sengketa Pemilukada yang diajukan sejumlah calon perseorangan yang

diputus pada 2 November. Ketika itu, pemohon meminta kepastian hukum terkait

diperbolehkannya calon perseorangan/independen mengikuti Pemilukada Aceh

2012.

Putusan sela yang membolehkan calon perseorangan/independen

mengikuti Pemilukada Aceh itu dikuatkan dalam putusan akhir pada 24

November 2011. Namun, pelaksanaan putusan sela 2 November itu ternyata

belum digunakan sepenuhnya oleh pihak-pihak yang masih belum bersikap,

karena masih menunggu putusan akhir MK 24 November. Namun setelah putusan

akhir dijatuhkan, waktu pendaftaran sebagai bakal pasangan calon sudah ditutup

oleh KIP Aceh karena MK hanya memerintahkan pembukaan pendaftaran selama

Page 50: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

44

7 hari terhitung dari tanggal 2 November (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh,

wawancara 16 Mei 2012).

MK memahami kalau ada pihak yang belum menentukan sikap hukum

tertentu yaitu ikut mendaftar sebagai pasangan calon atau tidak ikut mendaftar

pasangan calon karena masih menunggu kepastian hukum sampai pokok

permohonan diputus pada 24 November 2011.

Pengabaian atas hak-hak Partai Politik atau perseorangan yang

serharusnya dapat mencalonkan diri sebagai calon kepada daerah dalam

Pemilukada Aceh. Keadaan ini sangat potensial mengganggu pelaksanaan

Pemilukada Aceh dan penyelenggaraan pemerintah Aceh, terkait dengan hal

tersebut, MK memutuskan untuk kembali menjatuhkan putusan sela dalam

perkara SKLN Mendagri dengan KIP Aceh untuk dapat memenuhi rasa keadilan

masyarakat dan proses Pemilukada yang lebih demokratis serta kepastian hukum

yang adil.

Dalam masalah ini Mahkamah Konstitusi menilai ada alasan yang lebih

penting dan mendesak yang pada akhirnya menjatuhkan putusan sela dengan

memerintahkan membuka kembali pendaftaran calon dengan tujuan untuk

memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan

Pemilukada guna menentukan sikap hukumnya setelah mengetahui keabsahan

Pemilukada Aceh (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).

Pemeriksaan perkara SKLN bisa membutuhkan waktu yang cukup lama.

Dan apabila permohonan SKLN dikabulkan tetapi Pemilukada telah berlangsung,

hal tersebut dapat menimbulkan persoalan baru dalam Pemilukada Aceh. MK

Page 51: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

45

memerintahkan KIP Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota,

selama tujuh hari terhitung sejak 17 Januari 2012.

Banyak anggapan bahwa tindakan tersebut telah membuat wibawa

Pemerintah Pusat dianggap jatuh, namun demi menyelamatkan perdamaian Aceh

langkah tersebut harus diambil. Jadi solusi yang tepat ketika akhirnya MK

mengeluarkan keputusan sela yang memerintahkan KIP Aceh membuka kembali

pendaftaran bakal calon pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil

Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Pemilukada Aceh selama tujuh hari

setelah putusan diucapkan. KIP dalam hal ini harus menerima keputusan ini dan

ketua KIP Aceh juga tidak perlu mundur dari jabatannya sebagaimana

ancamannya beberapa pihak karena dicurigai ketidak independensiannya dalam

mengelola Pemilukada Aceh.

Putusan MK yang memperbolehkan calon independen maju dalam

Pemilukada membuat kami harus mempersiapakan diri, dalam hal ini kami

melihat MK telah mempermainkan perjanjian MoU antara RI dan Aceh yang telah

disepakati sehingga kami memutusakan untuk tidak mendaftar sebagai bentuk

protes terhadap pencabutan Pasal 256 UUPA ( Fakhrurazi, Juru Bicara PA,

wawancara 18 Mei 2012).

Hal yang paling disayangkan dan membuat suasana politik di Aceh

semakin panas adalah sikap MK yang tidak berkoordinasi dan berkomunikasi

dengan DPRA tentang pencabutan Pasal 256 UUPA sehingga kami tidak tahu

sama sekali dan kami tidak setuju dengan sikap putusan MK yang tidak

Page 52: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

46

menghargai kekhususan Aceh (H. Hasbi Abdullah, ketua DPRA wawancara 16

Mei 2012).

Kita melaksanakan semua aturan yang telah ditetapkan oleh KIP maupun

MK sehingga kami bisa mencalonkan diri pada tanggal yang telah disepakati

walaupun sikap KIP yang kurang tegas terhadap waktu dan penutupan

pendaftaran (Abi Lampisang, Calon Independen, wawancara 26 Juni 2012).

Berdasarkan kasus diatas pembelajaran politik bagi rakyat adalah bahwa

konsisten dengan aturan dan tidak mempermainkannya itu sangat penting. Rakyat

perlu diberikan contoh teladan dalam mentaati regulasi yang berlaku agar konflik

regulasi tidak terjadi lagi di masa yang akan datang (Irwanda, Masyarakat,

wawancara 26 Juni 2012).

Masyarakat perlu diajarkan untuk melawan setiap intimidasi yang

dilancarkan oleh pihak manapun. Saat ini, masyarakat Aceh cenderung telah

keluar dari bayang-bayang ketakutan. Beragam suara dari berbagai kalangan telah

dimunculkan untuk melawan praktek intimidasi dalam model apapun. Tidak

sebagaimana masa-masa konflik dulu dimana masyarakat banyak yang tidak

berani bersuara melawan praktek intimidasi. Semangat ini harus terus dipelihara

untuk terus mengawal pembangunan Aceh ke depan.

Ketegasan MK yang telah mengeluarkan keputusan No 35/PUU-VIII/2010

tentang pencabutan Pasal 256 UUPA agar Pemilukada yang di laksanakan di

Aceh mampu menjunjung nilai-nilai demokrasi sehingga masyarakat Aceh dari

semua kalangan bisa ikut dalam Pemilukada tanpa batasan batasan yang

membatasi hak demokrasi mereka.

Page 53: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

47

Sikap KIP yang tunduk kepada keputusan yang dikeluarkan oleh MK

membuat PA semakin memanas karena KIP tidak mau membatalkan Pemilukada

Aceh. KIP aceh sendiri telah memiliki dasar hokum yang jelas dalam menjalankan

Pemilukada.

B. Alasan Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

Bersikap Tegas Menolak Calon Perseorangan/Independen pada

Pemilukada 2012

Berdasarkan pengamatan dilapangan alasan yang di kemukakan oleh P dan

DPRA yang juga merupakan refleksi PA di DPRA menolak calon

perseorangan/independen dikarenakan :

1. Tidak Sesuai dengan MoU Helsinki

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-VIII/2010 terkait

dibolehkannya calon perseorangan/independen untuk ikut Pemilukada

berlawanan dengan UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh UUPA

(Hasbi Abdulah, Ketua DPRA, wawancara 16 Mei 2012).

Berlawanan dengan MoU dan UUPA dimana seharusnya MK tidak

mencabut Pasal ini karena ini telah menodai perjanjian dan menciptakan konflik

baru jadi dalam hal ini seharusnya Pasal 256 itu tetap ada dan tidak

memperbolehkan calon independen maju dalam pemilihan jikapun maju harus

memiliki kendaraan politik berupa Partai Politik dalam MoU dan UUPA calon

perseorangan hanya boleh maju sekali dan tidak maju untuk putaran kedua

Pemilukada karna telah lahir Partai Lokal sebagai kendaraan politik (Kausar, Tim

Pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).

Page 54: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

48

Acuan hukum tersebut dipertegas lagi dalam dasar konstitusi pemerintahan

Republik Indonesia UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B bahwa

negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang

(Abdullah Saleh, Komisi A DPRA, wawancara 18 Mei 2012).

Mencakup lembaga negara yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) harus

menghormati keberadaan UUPA terutama Pasal 256 UU 11/2006 yang

menyebutkan ketentuan yang mengatur calon perseorangan/independen dalam

Pemilukada hanya berlaku sekali sejak Undang-Undang ini ditetapkan sebagai

amanah dan jaminan konstitusi dari UUD 1945 yang merupakan aturan hukum

tertinggi dalam sistematika perundang-undangan NKRI (Hasbi Abdulah, Ketua

DPRA, wawancara 16 Mei 2012).

Didalam MoU Helsinki telah di tetapkan perjanjian-perjanjian yang telah

disepakati antara GAM dan RI dimana didalam MoU tersebut ditetapkan

kekhususan Aceh yaitu adanya UUPA yang mengatur peraturan di Aceh dan

lahirnya Partai Lokal jadi pemerintah pusat setiap mengambil kebijakan harus

berkoordinasi dengan pemerintah Aceh dimana pencabutan Pasal 256 UUPA telah

melangar perjanjian tersebut sehingga kami PA menolak keras putusan MK

tersebut (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Pada dasarnya Pasal 256 UUPA bertentangan dengan demokrasi dimana

masyarakat seharusnya bisa ikut maju dalam Pemilukada dengan adanya Pasal

256 tersebut telah mengekang hak-hak rakyat untuk bisa ikut dalam Pemilukada

Page 55: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

49

dan tidak sesuai dengan asas demokrasi sehingga Pasal tersebut harus dicabut

(Darni M.Daud, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).

Apabila Pasal 256 UUPA tersebut tidak dicabut maka akan

menguntungkan sebagian pihak saja seperti Partai Lokal yang memiliki suara

paling besar, sebagai contoh apabila saya tidak memiliki Partai Lokal tetapi

memiliki suara terbanyak sama saja saya tidak bisa ikut dalam Pemilukada

sehingga dengan adanya Pasal 256 membuat calon independen terkekang dan

tidak bisa ikut dalam pesta rakyat (Abi Lampisang, Calon Independen, wawancara

26 Juni 2012).

Keputusan MK terhadap pencabutan Pasal 256 telah sesuai dengan

prosedur dan tatanan hukum yang berlaku di Indonesia sebaiknya Pasal 256 itu

dicabut dan tidak lagi masuk dalam peraturan hukum di Aceh karna tidak sesuai

dengan asas-asas demokrasi yang dianut oleh Indonesia (Makmur, Biro Hukum

Kantor Gubernur 21 Mei 2012).

Saya melihat konflik yang terjadi disini semakin meruncing apalagi

dicabutnya pasal 256 UUPA yang menyebabkan PA bersikeras tidak akan

mendukung hal tersebut bisa-bisa Pemilukada kemarin itu bisa saja kacau bila PA

tidak ikut mendaftarkan diri (Normalia, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).

Bagi PA MoU Helsinki merupakan hasil perdamaian antara RI dan GAM

dimana melahirkan UUPA atas dasar inilah PA beranggapan calon perseorangan

hanya diatur sekali semenjak Undang-undang itu diundangkan. Sedangkan

didalam MoU tidak ada satupun butiran yang mengatur calon perseorangan hanya

Page 56: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

50

sekali, ini yang menjadi suatu kerancuan dalam pemahaman MoU oleh PA itu

sendiri.

2. Mahkamah Konstitusi tidak Berkonsultasi dengan DPRA tentang

Pencabutan Pasal 256 UUPA.

MK dalam membatalkan Pasal 256 UUPA tidak pernah berkonsultasi

dengan DPRA sebelum memutuskan pencabutan pasal tersebut. Pecabutan Pasal

256 UUPA diluar prosedur karena lembaga peradilan tersebut tidak pernah

berkonsultasi dengan DPRA sebelum memutuskan mencabut Pasal 256 tersebut

(Hasbi Abdulah, Ketua DPRA, wawancara 16 Mei 2012).

Fraksi PA berpendapat pencabutan Pasal 256 UUPA tidak boleh dicabut

karena adanya calon perseorangan/independen yang merupakan kekhususan bagi

Provinsi Aceh, berdasarkan MoU Helsinki. PA menyebutkan, UUPA dibuat

berdasarkan MoU Helsinki yang merupakan kesepakatan damai antara pemerintah

RI dengan GAM. Fraksi PA juga menolak Pasal yang mengatur penyelesaian

sengketa harus di MK. UUPA sudah mengaturnya bahwa penyelesaian sengketa

Pemilukada dilakukan di Mahkamah Agung (Abdullah Saleh, Komisi A DPRA,

wawancara 18 Mei 2012).

Petinggi GAM, PA dan Anggota DPRA mendukung MoU dan UUPA dan

menolak pencabutan Pasal 256 dikarenakan jika pencabutan itu terjadi maka akan

berlanjut terhadap pencabutan dan perubahan Pasal lain dikemudian hari maka

kami bersikeras mempertahankan MoU dan UUPA disinilah kekhususan Aceh,

dalam pencabutan Pasal 256 MK tidak berkonsultasi dengan DPRA sehingga MK

Page 57: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

51

memutuskan dengan sepihak terhadap permaslahan ini (Amir Helmi, Wakil

DPRA Fraksi Demokrat, wawancara 30 Mei 2012).

Hal tersebut membuat PA menolak mencalonkan diri dari Pemilukada

walaupun pada saat itu telah dibuka 2 kali pendaftaran tetapi PA tidak

mencalonkan kadernya sehingga menimbulkan pertanyaan apakah PA eksis dalam

perpolitikan atau merupakan strategi dalam pemenangan sehingga akhirnya MK

memberi jeda waktu 7 hari untuk PA mencalonkan dirinya dalam Pemilukada

2012 (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).

Seharusnya MK harus berkonsultasi dengan DPRA tetapi apabila

Indonesia memiliki aturan yang lebih tinggi maka aturan tersebut harus

dilaksanakan seperti halnya pencabutan Pasal 256 UUPA yang tidak sesuai

dengan aturan di Indonesia dan adanya JR yang diajukan oleh masyrakat Aceh ke

MK karena pasal tersebut mengekang hak kebebasan masyrakat Aceh untuk

dipilih dan ikut dalam Pemilukada (Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21

Mei 2012).

Pada saat itu kami berpatokan pada hukum dan aturan yang berlaku kami

tidak dirugikan apabila pasal tersebut dicabut maupun tidak dicabut karena saya

ada partai yang mengusung saya pada saat itu memang pada kenyataanya terjadi

konflik elit politik yang berkepentingan dalam Pemilukada dan semakin memanas

antara PA dan Irwandi terbukti dengan pemukulan yang terjadi terhadap Irwandi

(Darni M.Daud, calon Independen, wawancara 26 Juni 2012).

Benar kami tidak pernah dikasih tahu tentang pencabutan Pasal 256 UUPA

tetapi akibat jumlah anggota fraksi PA yang mendominasi DPRA maka keputusan

Page 58: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

52

kami tidak berpegaruh sama sekali didalam DPRA sehingga yang muncul keluar

adalah DPRA menolak dengan putusan MK (Amir Helmi, Wakil DPRA Fraksi

Demokrat, wawancara 30 Mei 2012).

Keputusan MK yang tidak berkomunikasi dengan DPRA merupakan salah

satu sikap yang kurang saya setujui bagaimanapun keistimewaan yang dimiliki

Aceh harus dijunjung tinggi oleh Pusat jangan sesuka hati Pusat yang seenaknya

mencabut pasal yang telah disepakati dalam MoU (Iwan Ramadhan, masyarakat,

wawancara 26 Juni 2012).

Sebenarnya MK tidak harus berkonsultasi dengan DPRA tentang

pencabutan Pasal 256 UUPA karena MK merupakan lembanga tinggi di Indonesia

yang bisa mengeluarkan keputusan keputusan tanpa berkoordinasi dengan daerah.

Ini yang kurang dipahami oleh PA dan DPRA sehingga konflik diantara MK dan

DPRA terjadi.

3. Menimbulkan Perpecahan Suara dikubu Partai.

Salah satu upaya yang dilakukan PA adalah mempertahankan Pasal 256

UUPA sebab apabila pasal tersebut dicabut maka kader PA yang akan

mencalonkan diri menjadi gubenur otomatis akan membuat perpecahan suara

sehingga PA tahu itu tidak menguntungkan mereka.

Melihat kekuatan PA yang begitu besar tidak heran akan terjadi

pengkhianatan di kubu PA dengan cara maju sebagai calon perseorangan sehingga

nanti ditakuti suara PA akan pecah (Kausar, pemenang Partai Aceh, wawancara 4

Mei 2012).

Page 59: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

53

Pada dasarnya Partai Aceh ingin mencalonkan kembali Irwandi menjadi

Gubernur tetapi melihat masa pemerintahannya yang lebih banyak tidak

menguntungkan PA maka Irwandi tidak dicalonkan melihat hal tersebut Irwandi

maju dari jalur perseorangan sehingga terciptalah perpecahan di kubu partai yang

ditakuti oleh PA adalah perpecahan suara dikubu juga terancam pecah sehingga

PA sangat keras menolak terhadap putusan MK (Fakhrulrazi, juru bicara Partai

Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Saya melihat dengan majunya Irwandi dalam Pemilukada jelas membuat

geram kubu PA dimana seharusnya Irwandi tidak mencalonkan diri lagi hal ini

membuat pendukung mengklaim Irwandi sebagai pengkhianat hal tersebut bisa

memecah suara partai ( Makmur, kepala Biro Hukum kantor Gubernur,

wawancara 21 Mei 2012).

Perpecahan dikubu PA jelas membuat keuntungan bagi kami sebagai calon

independen dengan kata lain hal ini bisa membuat suara PA terbagi menjadi dua

antara masa pendukung PA dan masa pendukung Irwandi tetapi peta politik itu

tetap saja dipegang oleh kubu PA yang jelas telah memenangkan Pemilukada di

Aceh (Darni M.Daud, calon Independen, wawancara 26 Juni 2012).

Jikapun suara pecah dikubu PA tetap saja mereka akan menang karena

pendukung PA sangat fanatik terbukti mereka rela mati demi asas-asas yang

dianut sehingga apapun yang terjadi di kubu PA tetap masa akan mengintervensi

masyarakat untuk memilih PA ( Abi Lampisang, calon Independen, wawancara 26

Juni 2012).

Page 60: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

54

Ketakutan PA akan pecahnya suara jelas tidak terbukti dalam Pemilukada

mereka memilki suara diatas 50% yang secara setatistik telah menang dengan

calon yang lain hal tersebut tidak berpengaruh dengan isu perpecahan dikubu

Partai (muspirah, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).

Konflik Pemilukada ini sebenarnya diantara Irwandi dan PA karena

dulunya Irwandi dicalonkan dari PA dan terpilih menjadi gubernur Aceh. Namun

PA menilai Irwandi gagal dalam memimpin Aceh sehingga PA tidak

mencalonkan Irwandi untuk yang kedua kalinya. Akibat keputusan PA tersebut

Irwandi merasa dicampakkan dan memilih keluar PA dan mencalonkan diri dari

calon perseorangan faktor inilah yang membuat perpecahan dikubu PA.

C. Perubahan Sikap Elit Partai Aceh (PA) Yang Melunak Serta Menerima

Calon Perseorangan/Independen dan Memutuskan Ikut Pemilukada

2012

Konflik yang ditimbulkan akibat pencabutan Pasal 256 UUPA tentang

calon independen/perseorangan menciptakan dinamika politik yang tak kunjung

berakhir. Disatu sisi Aceh menjadi penggagas calon independen pertama bagi

daerah-daerah lain kini menimbulkan konflik politik antara calon independen dan

tidak dibolehkannya calon independen maju untuk kedua kalinya dalam

Pemilukada 2012 di Aceh.

Sikap tegas tetap diambil oleh Mahkamah Konstitusi bahwa calon

independen boleh mengusungkan diri dalam pemilihan serta sikap tegas PA yang

menolak calon independen akhirnya melunak dan ikut dalam Pemilukada 2012

hal-hal tersebut tidak lepas dari :

Page 61: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

55

1. Adanya Intervensi dari Pusat.

PA merupakah salah satu Partai yang bersikeras menolak calon

independen maju dalam Pemilukada Aceh 2012 dikarenakan jalur independen

tidak sesuai dengan apa diterapkan oleh MoU Helsinki dan telah melanggar

UUPA yang merupakan dasar hukum kekhususan masyarakat Aceh.

Keputusan yang diambil oleh PA merupakan keputusan yang telah

direncanakan tarik undur tentang pendaftaran pencalonan kandidat dari PA

merupakan salah satu strategi yang dilakukan oleh PA yaitu bertujuan untuk

mengacaukan Pemilukada dengan cara tidak ikut dalam Pemilukada tetapi hal itu

direspon oleh pusat sehingga pusat melakukan sedikit intervansi dengan

perjanjian-perjanjian yang telah disepakati hal ini terbukti ketika PA

mendaftarkan diri ketika MK memberikan putusan sela selama 7 hari (Makmur,

Biro Hukum Kantor Gubernur 21 Mei 2012).

Terjadi ketegangan politik antara PA, KIP dan MK dimana MK

memperbolehkan jalur independen dan KIP melaksanakan aturan yang telah

ditetapkan sehingga KIP membuka pendaftaran calon tetapi PA tidak mendaftar

sehingga pemerintah pusat takut terjadi konflik yang lebih besar akibat tidak

majunya PA dalam Pemilukada sehingga Pusat melakukan intervensi baik berupa

lobi-lobi politik maupun kesepakatan antara PA dan pusat dimana PA juga harus

ikut dalam Pemilukada 2012 dengan berbagai pertimbangan yang telah disepakati

(Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh, wawancara 16 Mei 2012).

Pada dasarnya kami tetap tidak mendaftarkan diri dikarenakan kami masih

bersikap tegas terhadap penolakan pencabutan Pasal 256 oleh MK, jika dibilang

Page 62: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

56

kami diintervansi kami tidak pernah mendapatkan tekanan dari pusat malahan

kami ingin menekan pusat supaya Pasal 256 tetap ada tetapi melihat polemik

perpolitikan Aceh semakin rumit dan tidak berunjung maka kami ikut dalam

Pemilukada Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Melihat sikap PA yang bersikeras tidak mau mencalonkan diri dalam

Pemilukada Aceh sehingga pusat khawatir akan tercipta konflik baru di Aceh

akibat sikap PA tersebut maka pusat sedikit mengintervensi PA untuk ikut dalam

Pemilukada hal ini dilakukan supaya dimasa depan tidak terjadi konflik yang pada

ujungnya masyarakat Aceh yang akan menderita (Ja’far Helmi, Staf Ahli Kantor

Gubernur, wawancara 28 Mei 2012).

Kami sebagai masyarakat sedikit khawatir akan terciptanya konflik baru

antar PA dan pusat sehingga akibat sikap pusat dan PA tidak sejalan sehingga

yang menjadi korbannya kami masyarakat, saya rasa sedikit ada intervensi yang

dilakukan oleh pusat kepada PA sehingga PA mau mendaftarkan diri dalam

Pemilukada (Iwan Ramadhan, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).

Intervensi dari pusat disini dimaksudkan keluarnya putusan sela yang

diberikan oleh pemerintah pusat agar PA mencalonkan dirinya pada Pemilukada

Aceh 2012. Putusan ini keluar setelah adanya proses komunikasi politik diantara

PA dan pemerintah pusat.

2. Terciptanya Lobi-lobi Politik antara PA dan Pusat.

Melihat kondisi perpolitikan Aceh yang semakin meruncing maka

timbullah inisiatif pemerintah untuk melakukan lobi-lobi politik dimana KIP telah

menutup pendaftaran calon sehingga PA tidak terdaftar dalam Pemilukada maka

Page 63: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

57

lobi-lobi politik ini bekerja dimana PA berhasil melakukan lobi berupa penetapan

sela waktu 7 hari untuk PA mendaftarkan calon ke kantor KIP dengan

kesepakatan bahwa calon independen boleh maju dalam Pemilukada 2012 (Ja’far

Helmi, Staf Ahli Kantor Gubernur, wawancara 28 Mei 2012) .

Secara politik ada suatu teori yang menggambarkan mundur satu langkah

untuk menerima calon perseorangan dengan begitu akan tercipta lobi-lobi politik

yaitu semua qanun yang belum disahkan menjadi hak PA. Ini jelas menguntukan

bagi kami jika kami memenangkan Pemilukada Aceh sehingga arah kebijakan

pengembangan Aceh tidak lagi bergantung dengan Pusat (Fakhrulrazi, juru bicara

Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Jika qanun-qanun yang belum disahkan menjadi milik PA maka akan

susah membahas qanun yang belum disahkan di DPRA karena setiap qanun

tersebut pasti memiliki kepentingan yang menguntungkan bagi PA dan merugikan

orang lain baik itu masyarakat maupun Partai lain (Makmur, Biro Hukum Kantor

Gubernur 21 Mei 2012).

Kondisi ini sangat menguntungkan PA dimana seharusnya pusat tidak ada

hak dalam menentukan jadwal Pemilukada semua jadwal seharusnya ditentukan

oleh KIP Aceh melalui pertimbangan maka MK mengeluarkan keputusan untuk

menunda jadwal pemilihan aturan tersebut harus dilaksanakan oleh KIP karena

melihat kondisi Aceh yang bisa menimbulkan konflik baru dalam hal tersebut

juga terlihat bagaimana PA mampu mengusai KIP secara tidak langsung setelah

adanya lobi-lobi politik yang telah disepakati (Ilham Sahputra, Wakil KIP Aceh,

wawancara 16 Mei 2012).

Page 64: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

58

Lobi-lobi itu sudah jelas terlihat buktinya saja setelah pendaftaran calon

gubernur ditutup kenapa dibuka lagi hal tersebut memiliki arti tertentu bayangkan

saja jika PA tidak mendaftar saya rasa Pemilukada Aceh akan kacau akan timbul

konflik (Normalia, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012).

Lobi-lobi politik diantara PA dan Pusat menghasilkan suatu keputusan

yang diharapkan oleh PA yaitu sesuai yang dipaparkan oleh jubir PA bahwasanya

qanun-qanun yang belum disahkan dimasa Irwandi menjadi milik PA. Ini yang

menyebabkan salah satu penyebab melunaknya sikap PA untuk ikut dalam

Pemilukada.

3. Tidak ada pilihan lain untuk menggagalkan calon perseorangan maju

dalam pemilhan 2012

Melunaknya Partai Aceh sehingga mengikuti Pemilukada 2012 tidak lepas

akibat gagalnya mempertahankan Pasal 256 UUPA sehingga tidak ada pilihan lain

kecuali ikut dalam Pemilukada walaupun pada dasarnya terjadi perpecahan

didalam kubu PA dimana Irwandi mencalonkan diri melalui jalur independen

yang mengakibatkan jumlah suara pemilih PA pecah (Amir Helmi, Wakil DPRA

Fraksi Demokrat, wawancara 30 Mei 2012).

Pada dasarnya menggagalkan calon independen maju dalam Pemilukada

tidak lepas dari kepentingan Partai agar Irwandi tidak bisa ikut dalam Pemilukada

sehingga suara PA tidak pecah jika Irwandi maju dalam jalur perseorangan maka

suara akan pecah, inilah yang ditakuti oleh PA sehingga PA bersikeras dalam

penolakan Pasal 256 UUPA yang telah di cabut oleh MK berdasarkan JR

(Abdullah Saleh, Komisi A DPRA, wawancara 18 Mei 2012).

Page 65: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

59

Ketakutan yang dirasakan oleh PA yaitu majunya Irwandi mencalonkan

diri menjadi Gubernur untuk kedua kalinya melalui jalur independen dengan

begitu maka ditakutkan suara PA akan pecah antara masa Irwandi dan masa PA

sehingga tidak ada cara lain selain PA ikut dalam Pemilukada Aceh (Abi

Lampisang, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).

Menanggapi hal yang terjadi dikubu Partai membuat kami sedikit khawatir

tetapi melihat pendukung fanatik yang kami miliki maka ketakutan yang kami

miliki sedikit berkurang sebab kami pasti bisa mengorganisir masa untuk memilih

pasangan Zaini dan Muzakkir terbukti kami menang diatas 50% dalam

Pemilukada Aceh (Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Akibat tidak adanya cara lain untuk mempertahankan Pasal 256 UUPA

maka PA harus melakukan sedikit perjanjian dengan pusat dan tetap ikut dalam

Pemilukada sehingga melihat jumlah suara PA yang begitu besar maka

kemungkinan PA pasti menang dan itu terbukti dalam Pemilukada Aceh 2012

dimana kemenangan berada di kubu PA ( Irwanda, masyarakat, wawancara 26

Juni 2012).

PA merupakan salah satu partai terbesar di Aceh sehingga menjadi

pertimbangan untuk maju dalam Pemilukada di Aceh. Akibat tidak ada cara lain

untuk mengagalkan calon perseorangan agar tidak maju dalam Pemilukada maka

mau tidak mau PA harus ikut dalam Pemilukada dengan asumsi PA kedepannya

dapat mengatur arah kebijakan pemerintah Aceh.

Page 66: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

60

4. Keyakinan bahwa PA akan Menang dalam pemilihan 2012.

Akibat tidak adanya pilihan lain maka PA akhirnya maju dalam

Pemilukada 2012. Sebagai Partai yang besar dan memiliki jumlah suara yang

banyak daripada Partai lain hal ini membuat PA merasa yakin akan menang dalam

Pemilukada 2012.

Faktor keyakinan tersebut didasari oleh rencana-rencana bahwa apabila

Partai Aceh tidak ikut maka puncak kekuasaan akan hilang dari tangan PA

sehingga walaupun kalah maka sebagian akan dari kader PA bisa menduduki

jabatan didalam pemerintahan sehingga PA bisa mengontrol pemerintahan

(Fakhrulrazi, juru bicara Partai Aceh wawancara 18 Mei 2012).

Jumlah masa yang dimiliki PA saat ini sangat besar hampir seluruh

masyarakat Aceh tahu sejarah lahirnya PA sehingga patriotnisme masih melekat

dalam darah masyarakat Aceh sehingga apapun yang terjadi dikubu Partai dalam

Pemilukada ini pasti PA akan menang, melihat cara untuk menggagalkan calon

independen tidak berhasil lagi maka PA yakin akan menang dalam Pemilukada

dan itu sudah terbukti sekarang (Darni, calon independen, wawancara 26 Juni

2012).

Bagaimana Partai kami tidak ikut Pemilukada melihat jumlah suara yang

kami miliki sangat besar dan kami yakin akan menang sehingga kami berani ikut

dalam Pemilukada walupun dibayangi dengan pengkhiatan yang terjadi dikubu

PA (Kausar, Tim pemenang Partai Aceh, wawancara 4 Juni 2012).

Saya rasa mereka tidak yakin akan menang dalam Pemilukada melihat

calon indenpen yang maju dalam Pemilukada Aceh seperti adanya Nazar yang

Page 67: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

61

memiliki masa pendukung serta konflik didalam Partai dimana suara PA akan

terbagi dua antara masa Irwandi dan PA sehingga hal ini menguntungkan calon

yang lain tetapi pada kenyataanya ini berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi

melihat dalam Pemilukada PA jauh unggul dengan calon-calon yang lain (Abi

Lampisang, calon independen, wawancara 26 Juni 2012).

Kondisi yang terjadi dikubu Partai PA membuat perkiraan saya akan

terjadi perpecahan suara dan saya yakin bahwa PA akan kalah tetapi hal itu tidak

terjadi, jumlah suara yang dimiliki oleh PA sangat besar diatas 50% sehingga

calon dari PA menang dalam Pemilukada mengalahkan pasangan yang lain

(Makmur, Biro Hukum Kantor Gubernur 21 Mei 2012).

Saya rasa PA akan menang pada saat itu melihat kampanye yang

dilakukan oleh PA sangat besar hampir semua masyarakat Aceh ikut dalam

kampanye tersebut tidak lepas dari sejarah terbentuknya PA itu sendiri hal tesebut

membuat PA yakin menang dalam Pemilukada dan itu terbukti dengan

kemenangan PA ( Renggie, masyarakat, wawancara 26 Juni 2012)

Keyakinan yang dimiliki PA sangat kuat dalam memenangkan Pemilukada

yang berlangsung di Aceh apapun cara dilakukan baik itu kampanye,komunikasi

politik, intimidasi, paksaan, maupun cara yang lain yang hanya bertujuan untuk

kepentingan Partai dan itu menandakan bahwa Partai yang besar yang memiliki

suara yang banyak akan tentu mampu menang dalam Pemilukada dan itu terbukti

dengan menangnya kubu PA dalam pemilihan kepala daerah.

Page 68: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Terjadinya konflik politik diantara elit politik Aceh tentang calon

perseorangan/independen pada Pemilukada 2012 dikarenakan pencabutan

Pasal 256 UU/2006 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hal ini melanggar

perjanjian yang telah disepaki dalam MoU hensilki dan bertentangan dengan

UUPA. Perpecahan elit politik ditubuh Partai Aceh (PA) terhadap calon

perseorangan/independen semakin memperkuat terjadinya konflik dimana PA

takut terjadi perpecahan suara didalam partai sehingga bersikeras terhadap

pencabutan Pasal 256 UUPA oleh MK serta sikap MK dan Komisi

Independen Pemilihan (KIP) terhadap konflik elit politik menjadi memanas

karena sikap MK yang tegas terhadap keputusan yang diambil.

2. Alasan Partai Aceh (PA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)

bersikap tegas menolak calon perseorangan/independen pada Pemilukada

2012 dikarenakan tidak sesuai dengan MoU Helsinki, sikap Mahkamah

Konstitusi yang tidak berkonsultasi dengan DPRA tentang pencabutan Pasal

256 UUPA serta akan menimbulkan perpecahan suara dikubu partai.

3. Sikap elit Partai Aceh (PA) yang melunak serta menerima calon

perseorangan/independen dan memutuskan ikut Pemilukada 2012 disebabkan

karena adanya intervensi dari pusat, terciptanya lobi-lobi politik antara PA

dan Pusat, tidak ada pilihan lain untuk menggagalkan calon perseorangan

Page 69: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

63

maju dalam Pemilukada 2012, serta keyakinan bahwa PA akan Menang

dalam Pemilukada 2012.

B. SARAN

1. Untuk menghindari konflik antar elit politik hendaknya legeslatif dan

eksekutif membuat perangkat hukum dan aturan main yang jelas dan

dipahami oleh semua praktisi politik sehingga konflik seperti pertentangan

tentang calon perseorangan/independen dapat dihindari. Politik kerap menjadi

ruang yang bebas, dimana para aktor dapat saja menggunakan cara apapun

untuk meraih kekuasaan, termasuk manipulasi dan tipu muslihat.

2. Eksekutif maupun legeslatif serta Partai politik lokal maupun nasional

sebaiknya melakukan komunikasi politik dengan melibatkan semua pihak.

Serta legeslatif harus jelas dalam membuat keputusan baik dalam pembuatan

peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilukada sehingga

penafsiran terhadap sebuah aturan dapat dipahami bersama, dan ini secara

tidak langsung telah dapat menghidari pertentangan seperti penolakan Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menolak kehadiran calon

perseorangan/independen dalam Pemilukada Aceh 2012 akibat keluarnya

keputusan MK mencabut Pasal 256 UUPA, dan tindakan ini tidak

dikomunikasikan atau melibatkan DPRA sehingga berakhir dengan polemik

yang berujung menjadi konflik antar elit.

3. Diharapkan kepada Partai politik harus melakukan pendidikan politik serta

pendewasaan cara berpolitik perlu ditanamkan pada setiap kader politik

terutama pada Partai lokal. Melihat Aceh yang dalam masa transisi

Page 70: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

64

demokrasi, perlu diberi pemahaman tentang kekuatan sebuah hukum dan

Undang-Undang yang dikeluarkan oleh sebuah badan hukum, sehingga

kejadian yang pernah diputuskan untuk monolak berpartisipasi dalam

Pemilukada seperti yang dilakukan Partai Aceh (PA) tidak terjadi lagi jika

Partai Aceh (PA) paham akan makna demokrasi dan menjujung tinggi hukum

dan peraturan seperti keputusan MK yang bersifat berlaku dan mengikat,

kedewasaan dan etika sangat penting untuk menjaga proses Pemilukada tetap

berjalan fair dengan tidak memaksakan kepentingan politik sebuah kelompok.

Page 71: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

65

Daftar Pustaka

Buku-Buku

Ali Sayuthi M, 2002. Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan

Praktek. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Amitai Etzioni, A Comparative Analysis of Complex Organization, (New York:

Free Press, 1961).

Conn Paul, Conflict and Decision Making, An Induction to Political Science, New

York: Harper and Row Publisher, 1971 dalam Decki Natalis Pigay Bik

“Evolusi dan Sejarah Konflik Politik di Papua”, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2000.

Fera Nugroho M. A, (dkk), Konflik dan Kekerasan pada Aras Lokal, Turusan

Ihwan Muis, Analisis Kebijakan Terhadap Pemilu Kada, jakarta, 2004.

Lambang Trijono, Pembangunan Sebagai Perdamaian; Rekontruksi pasca

Konflik, Jakarta, 2007.

Maswandi Rauf, Ciri-ciri teori Pembangunan politik, Jurnal Ilmu Politik, Jakarta

2001.

Nasikun Dr, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Peter Harris & Reilly Ben (eds), Demokrasi dan konflik yang mengakar: Sejumlah

Pilihan Untuk Negosiator, Jakarta: Internasional IDEA,2000

Poerwoerdaminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai pustaka Jakarta

2000.

Pruitt Dean & G. Jeffrey. Z., Teori Konflik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik ,Air Langga Surabaya , 1992.

Reid Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005

Varma S.P, Teori Politik Modren, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), Maurice

Duverger, Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1982).

Page 72: Skripsi Teuku Hafas Hafizie herna

66

Undang - Undang

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-undang RI No.32/2004, Tentang Otonomi Daerah.

Internet Dan Media Informasi Lainnya

anonymous, 2011, Harian Aceh, Muzakkir Manaf: Putusan MK Belum Sentuh

Substansi Persoalan, http://harian-Aceh.com/2011/11/05/muzakkir-manaf-

putusan-mk-belum-sentuh-substansi-persoalan

anonymous, 2012, Aneh, Qanun Pilkada Aceh Kok Belum Terbentuk, suara

pembaharuan, http://www.suarapembaruan.com/home/aneh-qanun-pilkada-

Aceh-kok-belum-terbentuk/15944

Anonymous, 2012, KIP Aceh Usul Pilkada di Tunda, Koran-jakarta, http://koran-

jakarta.com/index.php/detail/view01/81442

Anonymous, 2012, Menyelamatkan Perdamaian Aceh; Harian Analisa,

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/26/32042/menyelamatkan_

perdamaian_Aceh/#.TyROb8WRG_g

Asy’ari Darwis 2011, Calon Independen dan Masa Depan Aceh,

http://harian-Aceh.com/2011/06/30/calon-independen-dan-masa-depan-

Aceh.

Indra Rahmansyah, 2011, Kontroversi Calon Perseorangan Pilkada Aceh 2011,

hhtp://Waspadamedan.com/2011/08/23index.php?option=.com_content&vie

w=article&id=491:ciptakan semangan persatuan-dan kesatuan

dibatubara&catid=36:sumut&itemid=106

Saumi, 2011, Aceh dan Polemik Calon Independen,

http://www.tribunnews.com/2011/11/26/Aceh-polemik-calon-independen

Teuku Zulkhairi, 2012, Menyelamatkan Perdamaian Aceh, Harian Analisa,

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/26/32042/menyelamatkan_

perdamaian_Aceh/#.TyROb8WRG_g