Upload
muhammad-akhram-resmana
View
256
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sistemik lupus eritematosus
Citation preview
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Y
Tanggal Lahir : 01 /08/ 1983
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Makassar
Agama : Islam
No. RM : 117111
Tanggal masuk : 23 /04/ 2015
Ruangan : RS Ibnu Sina lt.2 Aisyah kamar 5
II. ANAMNESIS : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Bengkak dan kemerahan pada wajah
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang dengan keluhan utama bengkak dan kemerahan pada wajah yang
dialami sejak ± 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya wajah bengkak
lama kelamaan menjadi kemerahan. Bengkak hanya terjadi diwajah dan di kedua
pergelangan tangan. Bibir juga bengkak disertai luka-luka terkelupas. Demam tidak
ada. Batuk ada tidak terus menerus dan ada lendir berwarna hijau, nyeri menelan ada,
tetapi suara tidak berubah. Nyeri perut ada pada daerah ulu hati, mual ada, muntah
ada, muntah dialami sejak ± 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, muntah
proyektil tidak ada, isi muntah berupa air dan sisa makanan, sesak tidak ada. Riwayat
rambut rontok dan nyeri pada persendian ada terutama pada daerah pergelangan
tangan dan kaki. Selain itu, muncul pula bintik-bintik kemerahan pada kaki. Pasien
juga mudah silau dengan sinar matahari. Pasien juga mengeluh nyeri punggung
bawah sekitar 5 hari yang lalu. Nyeri tidak terus menerus, nyeri tidak menjalar hingga
ke paha. Buang air kecil seperti biasa. Buang air besar warna kehitaman sejak ± 3 hari
1
yang lalu. Frekuensi Buang air besar 3 kali konsistensi encer. Tidak ada alergi obat
dan makanan.
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
- Tidak ada riwayat hipertensi - Tidak ada riwayat DM
- Tidak ada riwayat TB - Tidak ada riwayat malaria
- Tidak ada riwayat hepatitis
- Riwayat bengkak dan kemerahan pada wajah dialami sejak tahun 2011
Riwayat Psikososial: - Tidak ada riwayat minum alkohol- Tidak ada riwayat merokok
Riwayat Keluarga: - Tidak ada riwayat keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan yang
sama
III.STATUS PRESENT
Sakit Sedang / Gizi Kurang / Composmentis
BB = 45 kg
TB = 160 cm
IMT = 17.57 kg/m2
Tanda vital :
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 100 x/menit reguler, kuat angkat
Pernapasan : 20 x/menit, Tipe : Thoracoabdominal
Suhu : 37,3oC (axilla)
2
IV. PEMERIKSAAN FISIS
Kepala
Ekspresi : Biasa
Simetris muka : simetris kiri-kanan, tampak malar rash
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam lurus, rontok (+)
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan : ke segala arah
Tekanan bola mata : dalam batas normal
Kelopak Mata : edema palpebra (-)
Konjungtiva : anemis (+)
Sklera : ikterus (-)
Kornea : jernih
Pupil : bulat, isokor 2,5mm/2,5mm
Reflex cahaya +/+
Telinga
Pendengaran : dalam batas normal
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : pucat (-), kering (+),edema(-), oral
trush (+)
Lidah : kotor (-) tremor (-) hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
3
Gigi geligi : caries (-)
Gusi : perdarahan gusi (+)
Rongga mulut : ulkus (+)
Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
DVS : R-2 cm H2 30º dengan bidang datar.
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Dada
Inspeksi :
Bentuk : normochest, simetris kiri = kanan
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Buah dada : simetris kiri = kanan
Sela iga : dalam batas normal
Paru
Palpasi :
Nyeri tekan : (-/-)
Massa tumor : (-/-)
Fremitus raba : normal
Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS V-VI dextra anterior
Batas bawah paru belakang kanan : setinggi CV Th X
Batas bawah paru belakang kiri : setinggi CV Th XI
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh Wh
4
- -- +- +
- -- -- -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : dalam batas normal
batas atas jantung : ICS II sinistra
batas kanan jantung : ICS III-IV linea parasternalis dextra
batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular,
bunyi tambahan (-)
Perut
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : NT (-) MT (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Perkusi : Timpani
Alat kelamin : edema (-)
Ekstremitas
Edema -/-
+/+ (minimal)
Discoid rash (+)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
5
VI. ASSESMENT :
Sistemik Lupus Eritematosus
Melena e.c Gastropati Obat
Anemia
LBP (Low Back Pain)
VII. PLANNING
6
Jenis Pemerikaan Hasil (23/04/2015) Nilai Rujukan
WBC 2.3 x 103/uL 4 - 10 x 103/uL
HGB 6,3 g/dL 12 - 18 g/dL
PLT 133x103/uL 150-400x103/uL
MCV 77 80-100 µm3
MCH 23 26-34 pg
MCHC 29,9 32-36 gr/dl
PT 11,2 10-14
APTT 34,1 22.0-30.0
Ureum 66 mg/dL 10-50 mg/dL
Creatinin 0.5 mg/dL L(<1.3), P(<1.1)
GDS 85 140 mg/dl
Natrium 128.600 136.000-146.000
mmol/L
Kalium 1900 3500-5000 mmol/L
Klorida 102.400 98.000-106.000
mmol/L
SGOT 27 Lk(<38), Pr(<31)
SGPT 8 Lk(<41), Pr(<32)
Pengobatan :
Diet lunak
IVFD Nacl 0,9% 30 tpm
Methyl Prednisolon 4mg/8 jam/oral
Omeprazole 40 mg /12jam /IV
Ondasetron 4 mg/12 jam/IV
Rencana selanjutnya :
o Foto thoraks PA
o EKG
o ANA profile
o Sel LE
o Coomb’s test
o Apusan darah tepi
VIII. PROGNOSIS
Quad ad functionam : Dubia et bonam
Quad ad sanationam : Dubia et bonam
Quad ad vitam : Dubia et bonam
IX. FOLLOW UP PASIEN
TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER
24/04/2015
07.00
Interna
S : wajah kemerahan, riwayat
rambut rontok ada, malar rash ada.
Nyeri ulu hati ada, mual ada
muntah tidak ada, batuk ada, lendir
ada warna kehijauan, sesak tidak
ada. Nyeri punggung bawah ada.
BAB kehitaman ada
P:
IVFD NaCl 0.9% 30tpm
Methyl prednisolon 4 mg
/8jam/oral
Omeprazole 40mg/12jam/IV
Ondasetron 4 mg/12 jam/IV
7
O : SS / GK / CM
T : 90/60 mmHg
N : 100 x/i
P : 18 x/i
S : 37,0 C⁰ Anemis (+), ikterus (-)
DVS R-2 cmH2O
BP : Vesikuler Rh +/+
(mediobasal paru) Wh -/-
CV : BJ I/II murni regular, BT
(-)
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar & lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat,
edema -/-
A :
Sistemik Lupus Eritomatosus
Anemia
Melena e.c Gastropati Obat
LBP (Low Back Pain)
Periksa :
Foto Thorax PA
EKG
Konsul Rheumatologi
Konsul Pulmonologi
25/04/2015
07.00
Interna
S : wajah kemerahan, riwayat
rambut rontok ada, malar rash ada.
Nyeri ulu hati ada, mual ada
muntah tidak ada, batuk ada, lendir
ada warna kehijauan, sesak tidak
ada. Nyeri punggung bawah ada.
BAB kehitaman tidak ada
O : SS / GK / CM
P:
IVFD Asering 30 tpm
Methyl prednisolon 4 mg
/8jam/oral
Omeprazole 40 mg/12jam/IV
Ondasetron 4 mg/12 jam/IV
Ambroxol 30 mg/8 jam/oral
8
Anemis (+) ikterus (-)
T : 130/80 mmHg
N : 80 x/i
P : 24 x/i
S : 36.5 oC
BP : vesikuler,
BT : Rh +/+ (mediobasal paru), Wh -/-
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba Ext : Akral hangat, Edema -/-
Hasil :
EKG : tidak ada kelainan pada
gelombang EKG
Foto Thoraks (25/04/2015) : tidak
tampak kelainan pada foto thoraks
A :
Sistemik Lupus Eritematosus
Anemia
Melena e.c Gastropati Obat
LBP (Low Back Pain)
26/04/2015
07.00
Interna
S : wajah kemerahan, riwayat
rambut rontok ada, malar rash ada.
Nyeri ulu hati ada, mual ada
muntah tidak ada, batuk ada, lendir
ada warna kehijauan, sesak tidak
ada Nyeri punggung bawah ada.
BAB kehitaman tidak ada
P:
Methyl prednisolon 4 mg
/8jam/oral
Omeprazole 40mg/12jam/IV
Ondasetron 4 mg/12 jam/IV
Ambroxol 30 mg/8 jam/oral
Klorokuin 2x1 tab
9
O : SS / GK / CM
Anemis (+) ikterus (-)
T : 100/60 mmHg
N : 88 x/i
P : 22 x/i
S : 36,8 oC
BP : vesikuler,
BT : Rh +/+ (mediobasal paru), Wh -/-
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba
Ext : Akral hangat, Edema -/-
A :
Sistemik Lupus Eritematosus
Anemia
Melena e.c Gastropati Obat
LBP (Low Back Pain)
Periksa:
ANA Profile
Sel LE
Analisa Darah Tepi
Coomb’s test
Protein Esbach
27/04/2015
07.00
Interna
S : wajah kemerahan, riwayat
rambut rontok ada, malar rash ada.
Nyeri ulu hati ada, mual ada
muntah tidak ada, batuk ada, lendir
ada warna kehijauan, sesak tidak
ada Nyeri punggung bawah ada.
BAB kehitaman tidak ada
O : SS / GK / CM
Anemis (+) ikterus (-)
T : 130/80 mmHg
N : 76 x/i
P:
Methyl prednisolon 4 mg/8
jam/oral
Omeprazole 40 mg/12 jam/IV
Ondasetron 4 mg/12 jam/IV
Ambroxol 30 mg/8 jam/oral
Kloroquin 2x1 tab
Keterangan:
- Pasien tidak mempunyai dana
untuk pemeriksaan ANA
10
P : 22x/i
S : 36.3 oC
BP : vesikuler,
BT : Rh +/+ (mediobasal paru), Wh -/-
BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+) kesan normal
Hepar dan lien tidak teraba Ext : Akral hangat, Edema -/-
A:
Sistemik Lupus Eritematosus
Anemia
LBP (Low Back Pain)
profile, Coomb’s test, ADT
- Pasien tidak menampung urin
untuk pemeriksaan protein
esbach
- Pasien pulang atas permintaan
sendiri
X. RESUME
Pasien perempuan usia 32 tahun datang ke RS dengan keluhan utama
malar rash pada wajah dialami sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Juga didapatkan oral trush pada bibir.
Batuk ada tidak terus menerus, demam tidak ada. Ada lendir warna hijau.
Darah tidak ada
Ada riwayat rambut rontok, artralgia, photosensitivitas
BAB warna kehitaman sejak 3 hari yang lalu. Frekuensi 3 kali, konsistensi
lunak. BAK lancar warna kuning.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Sakit sedang/Gizi kurang/Compos mentis
TD : 90/60 mmHg
Nadi : 100 x/menit reguler; kuat angkat
11
Pernapasan : 20 x/menit, tipe thoracoabdominal
Suhu : 37,3 oC (axilla)
Anemis (+), Ikterus (-), Sianosis (-)
Edema palpebra -/-
Thorax : BP vesikuler, BT : Rh +/+ (mediobasal paru), Wh -/-
Vocal fremitus normal
CV : BJ I/II murni regular, bising (-)
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal, hepar & lien tidak teraba
Ascites (-)
Ekstremitas : edema +/+ (minimal) , arthralgia (+), discoid rash (+)
Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil laboratorium
o Darah Rutin : WBC = 2.3 x 103/uL
HGB = 6,3 gr/dL
PLT = 133x103/uL
MCV = 77 µm3
MCH = 23 pg
MCHC = 29,9gr/dl
Elektrolit : Ureum = 66 mg/dL
Natrium = 128.600 mmol/L
Kalium = 1900 mmol/L
o Fotothorax AP : tidak tampak kelainan pada foto thoraks
o EKG : tidak ditemukan kelainan gelombang EKG
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, maka pasien didiagnosis:
Sistemik Lupus Eritematosus
Melena e.c Gastropati Obat
Anemia
LBP (Low Back Pain)
12
XI. DISKUSI
Ditegakkannya SLE sebagai diagnosis pada pasien ini, mengacu pada kriteria
diagnosis American College of Rheumatology, yang menyatakan tegaknya diagnosis
SLE dengan didapatkannya 4 atau lebih dari 11 kriteria, yakni :
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adanya silinder
sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologi, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia,
atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti ds-DNA positif, atau anti
Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif
Pada pasien ini, ditemukan 4 dari 11 kriteria yang mendukung diagnosis SLE,
yakni ruam discoid, oral rush, fotosensitifitas, ruam malar, dan arthralgia. Arthralgia,
keluhan yang dijumpai pada pasien ini, dapat diberikan pengobatan analgetik
sederhana atau antiinflamasi non steroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan
obat-obat ini adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan umum pasien.
Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan,
misalnya dengan memeriksa serum kreatinin secara berkala. Dapat pula
dipertimbangkan pemberian anti malaria dengan efek imunosupresifnya, misalnya
hidrosikloklorokuin dengan dosis awal 400 mg/hari, namun harus segera distop bila
dalam waktu 6 bulan obat ini tidak memberikan efek yang baik. Pada pasien yang
13
tidak menunjukkan respon adekuat dengan analgetik, antiinflamasi non steroid, atau
anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah dengan
dosis tidak lebih 15 mg setiap pagi.
Nyeri pada 1 atau 2 sendi yang menetap pada pasien SLE yang tidak menunjukkan
bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakitnya, harus dipikirkan kemungkinan
adanya osteonekrosis, apalagi bila pasien mendapat terapi kortikosteroid dari awal.
Sehingga pasien ini mendapat Osteocal yang berisi kalsium karbonat. Efek samping
dari pemberian kortikosteroid berupa perdarahan lambung, dicegah dengan
pemberian omeprazole.
Prognosis dari penderita, pada kasus ini adalah jelek, tetapi kemungkinan
hidup lima tahun pada penderita sebesar 91%. Karena pada kasus ini, belum terdapat
kelainan pada ginjalnya. Pada penderita SLE tanpa keterlibatan ginjal,
kemungkinan hidup 15 tahun lagi sebanyak 84%.
14
XII. PEMBAHASAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam
tubuh.
SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda dengan
penyakit autoimun yang organ-spesific di mana suatu respon autoimun tunggal
mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan menimbulkan gejala klinis
yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal
yang mengahasilkan beragam manifestasi klinis.
Patogenesis
Penyebab SLE sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Teori yang paling
dapat diterima adalah akibat disfungsi sistim imunoregulasi, karena adanya faktor
predisposisi genetik pada pembentukan sel limfosit T supresor yang abnormal
kemungkinan akibat pengaruh faktor lingkungan. Berbagai keadaan sitokin yang
terjadi pada SLE ialah penurunan jumlah IL-1 dan peningkatan IL-6, IL-4 dan IL-6.
Ketidakseimbangan sitokin ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk
antibodi. Penderita SLE akan mengalami penurunan jumlah serta fungsi sel T
supresor, sehingga jumlah serta fungsi sel B akan meningkat, demikian pula
autoantibodi anti-limfosit T supresor. Sel T yang abnormal ini akan sangat
mempengaruhi kontrol terhadap fungsi sel T helper dan sel B sehingga timbul
pembentukan autoantibodi. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraselular, sel-sel darah dan fosfolipid semuanya khas
untuk SLE. Profil autoantibodi ini sangat bervariasi antara masing-masing pengidap
SLE, tetapi pola antibodi yang sama boleh dikatakan tetap pada seorang pasein.
Kompleks autoantigen-autoantibodi terbentuk, terutama di dalam sirkulasi yang
15
kemudian mengendap pada jaringan terutama yang mempunyai sifat sebagai
penyaring seperti glomerulus ginjal. Peningkatan aktifitas autoantibodi akan disertai
dengan bertambahnya kerusakan yang ditimbulkan. Walaupun beberapa autoantibodi
ini mempunyai efek patogenik langsung (misalnya antieritrosit, antitrombosit,
antifosfolipid), kebanyakan antibodi antinuklir ini berperan dalam timbulnya penyakit
melalui mekanisme kerusakan jaringan yang berperantara kompleks imun. Kompleks
imun tersebut dapat juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya berikatan
dengan reseptor C3b di sel darah merah yang akan menimbulkan hemolisis. Adanya
lupus antokoagulan, yaitu antibodi IgG atau IgM yang mempunyai afinitas terhadap
fosfolipid anionik, akan mengganggu proses koagulasi darah. Pada proses koagulasi
darah yang normal, fosfolipid anionik ini bersama-sama dengan faktor Xa, Va dan
kalsium membentuk enzim protrombinase yang selanjutnya akan mengubah
protrombin menjadi trombin yang akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin.Bila
komplek imun melalui hepar maka akan dieliminasi dengan cara mengikat C3bR dan
bila melalui limpa akan diikat oleh FcR. IgG. Ketidakmampuan kedua organ tersebut
akan menimbulkan manifestasi klinik berupa hemolisis. Dengan diaktifkannya sistim
komplemen, akan terjadi kemotaksis sel neutrofil dan makrofag, pelepasan enzim
proteolitik, aktifasi sistim koagulasi darah serta bermacam-macam mediator radang
seperti kinin pada lokasi endapan kompleks imun tersebut, sehingga menimbulkan
kerusakan serta lisis jaringan.
Faktor Resiko
Prevalensi bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah
dilaporkan. Pada dekade terakhir terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di
RSCM Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk
ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui
sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Baron dkk melaporkan
keterlibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan onset usia kurang dari 18
tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk lesi diskoid dan serositis lebih sering
16
ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih
jarang. Samanta dkk pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris
melaporkan kelainan ginjal lebih sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih
sering terkena dibanding laki-laki dan umumnya pada kelompok usia produktif
Paling sedikit 5% dari penderita SLE disertai riwayat keluarga yang juga
menderita kelainan sama. Dugaan adanya faktor genetik serta lingkungan sangat
penting dalam timbulnya kelainan baik klinis maupun serologis. Penelitian genetik
terutama yang menyangkut HLA tidak dapat memberikan kepastian adanya hubungan
antara HLA A/B/C dengan SLE, akan tetapi HLA DW2 dan DW3 mungkin dapat
merupakan faktor predisposisi. Pada penderita SLE dijumpai peningkatan Ia - 715
serta defisiensi komplemen bila dibandingkan dengan penderita bukan SLE.
Banyak fakta menunjukkan bahwa pada individu yang secara acak genetik sensitif,
beberapa stimulus lingkungan akan sangat mempengaruhi DNA, jaringan
imunoregulator atau keduanya sehingga dapat mengakibatkan pembentukan antibodi
terhadap inti sel. Faktor stimulus ini antara lain infeksi virus, sinar ultra violet,
paparan dengan obat tertentu, dan sebagainya. dapat menjadi pencetus manifestasi
SLE atau mem-perberat penyakit yang ada, seperti yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti:
- SLE dapat ditimbulkan oleh adanya respon imun yang abnormal terhadap
suatu infeksi virus.
- Hampir sepertiga penderita SLE ditemukan antibodi terhadap inti sel yang
rusak akibat sinar ultra violet.
- Beberapa obat tertentu dapat mepengaruhi / mengubah DNA sehingga
merangsang pembentukan antibodi terhadap inti sel (ANA). Lima belas
sampai 70% penderita yang menggunakan obat-obatan seperti hidralazin,
prokainamid, metildopa, isoniazid, klorpromazin, hidantoin, etosuksimid,
trimetadion untuk jangka waktu lama akan terbentuk antibodi anti inti sel
(ANA).
17
- Faktor hormonal dapat mempengaruhi gambaran klinis penderita SLE yang
90% wanita pada usia produktif dan 30% penderita mengalami perburukan
pada kehamilan.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama pada penderita mencakup demam, rashes, artritis, serta
keterlibatan organ seperti ginjal, paru-paru, jantung dan organ lainnya. Perjalanan
penyakit bervariasi dan untuk menegakkan diagnosis digunakan kriteria ARA
(American Rheumatism Association), yang menyatakan tegaknya diagnosis SLE
dengan didapatkannya 4 atau lebih dari 11 kriteria, yakni :
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adanya silinder
sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologi, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia,
atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti ds-DNA positif, atau anti
Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif
Derajat SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberiandan pemantauan
18
efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi
arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombositosis
vena dan arteri.
19
Penatalaksanaan
Pada kasus dengan derajat ringan, dapat diberikan pengobatan berupa:
- Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid merupakan pilihan utama.
- Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
- Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada skin rash dan lesi
di mukosa membran.
- Bila pengobatan di atas gagal, dapat ditambah prednison 2,5 mg-5 mg/hari,
dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 1-2 minggu, sesuai kebutuhan.
Pada kasus dengan derajat berat, pengobatan yang dapat diberikan berupa:
- Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama.
- Obat anti inflamasi non steroid dan anti malaria tidak diberikan.
- Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelainan organ
sasaran yang terkena.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, eds. Lupus Eritematosus Sistemik. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.1214-1221.
2. Djoerban Z. Kelainan Hematologi pada Lupus Eritematosus Sistemik. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p.667-669.
3. Carter MA. Lupus Eritematosus Sistemik. In : Price SA, Wilson LM, ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC; 1995.p.1231-1234.
4. Gill MJ, Quisel AM, Rocca PV, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. J AmFamPhy. 2003;68:2179-2186
5. Rahman A, Isenberg DA. Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med. 2008;358:929-939
6. Cervera R, Font J. Therapeutic Perspectives in Systemic Lupus Erythematosus. Curr Rheum Rev. 2005;1:45-47
7. Rhen T, Cidlowski JA. Antinflammatory Action of Glucocorticoids New Mechanism for Old Drugs. N Engl J Med. 2005;353:1711-1723
8. Shmerling RH. Autoantibodies in Systemic Lupus Erythematosus There Before You Know It. N Engl J Med. 2003;349:1499-1500
9. Saraswati PD, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus. Dexa Media. 2006;1:26-30
10. Sukmana N. Penatalaksanaan LES pada Berbagai Organ Target. CDK. 2004;142:27-30
11. Petri M. Systemic Lupus Erythematosus. In: Imboden J, Hellman D, Stone J, eds. Current Rheumatology Diagnosis and Treatment. San Fransisco : McGraw Hill; 2007.
21