103
PERBANDINGAN HUBUNGAN ANTARA POSISI DUDUK SAAT BUANG AIR BESAR DENGAN POSISI JONGKOK SAAT BUANG AIR BESAR TERHADAP KEJADIAN HERNIA INGUINALIS LATERALIS KARYA ILMIAH PARIPURNA Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Program Studi Ilmu Bedah Diajukan oleh Mozes Santovani 07/266845/PKU/9797 Pembimbing Prof. dr. H. Armis, SpB, SpOT (K) BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA

Soft Copy Karya Akhir

  • Upload
    naomi

  • View
    242

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Karya Akhir

Citation preview

PERBANDINGAN HUBUNGAN ANTARA POSISI DUDUK SAAT BUANG AIR BESAR DENGAN POSISI JONGKOK SAAT BUANG AIR BESAR TERHADAP KEJADIAN HERNIA INGUINALIS LATERALISKARYA ILMIAH PARIPURNAUntuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu BedahProgram Studi Ilmu Bedah

Diajukan olehMozes Santovani07/266845/PKU/9797Pembimbing Prof. dr. H. Armis, SpB, SpOT (K)

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA2012PERBANDINGAN HUBUNGAN ANTARA POSISI DUDUK SAAT BUANG AIR BESAR DENGAN POSISI JONGKOK SAAT BUANG AIR BESAR TERHADAP KEJADIAN HERNIA INGUINALIS LATERALIS

KARYA ILMIAH PARIPURNAOleh:Mozes Santovani

Telah dipresentasikan pada tanggal 8 Oktober 2012dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Pembimbing,

Prof. dr. H. Armis, SpB, SpOT (K)130321330Mengetahui,

Atas Nama Kepala Bagian Ilmu Bedah FK UGMSekretaris Bagian Ilmu Bedah FK UGM

Dr. Ishandono Dachlan, Sp.B, Sp.BP (K), M.Sc.195202141979031001 Ketua Program Studi Ilmu BedahFK UGM

dr. Supomo, Sp.B (K) BTKV195311281982021001

i

LEMBAR PERNYATAAN

Penulis menyatakan bahwa sampai akhir tulisan ini diterbitkan, penulis tidak menjumpai tulisan yang sama dengan tulisan ini kecuali seperti yang tercantum dalam daftar pustaka.Pernyataan ini penulis sampaikan dengan sebenar-benarnya dengan mengingat kode etik penulisan ilmiah

Penulis

ii

DAFTAR ISI HalamanHALAMAN JUDULLEMBAR PENGESAHANiLEMBAR PERNYATAANiiDAFTAR ISI iiiKATA PENGANTARviDAFTAR TABELviiiDAFTAR GAMBAR ixDAFTAR SINGKATAN ..............................................................xABSTRAKxi

BAB I PENDAHULUAN1. Latar Belakang12. Perumusan Masalah33. Tujuan Penelitian34. Manfaat Penelitian35. Keaslian Penelitian4BAB II TINJAUAN PUSTAKA1. Hernia Inguinalis71.1. Sejarah71.2. Insiden81.3. Etiologi ..91.4. Klasifikasi 101.5. Anatomi ...111.6. Gambaran Klinis ..131.7. Diagnosis Banding Penonjolan Regio Inguinal 15

iii1.8. Penatalaksanaan ...162. Posisi Saat Buang Air Besar182.1. Definisi182.2. Sudut Anorektal192.3. Reflek Iliopsoas Abdominal233. Kerangka Teori264. Alur Penelitian275. Hipotesa Penelitian..28BAB III METODOLOGI PENELITIAN1. Desain Penelitian292. Tempat dan Waktu Penelitian293. Populasi Penelitian29 4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Penelitian305. Besar Sampel Penelitian306. Kriteria Inklusi dan Eksklusi317. Persetujuan / Informed Consent318. Cara Pengumpulan Data319. Etika Penelitian3210. Alur Penelitian3211. Variabel Penelitian3312. Batasan Penelitian3313. Rencana Pengolahan dan Analisis Data36BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN1. Hasil Penelitian372. Pembahasan51 BAB V SIMPULAN DAN SARAN1. Kesimpulan55

iv2. Saran55DAFTAR PUSTAKA56LAMPIRAN58

v

KATA PENGANTARDengan mengharap rahmat, bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT, penulis memulai karya ilmiah ini. Penulis juga memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis paripurna ini dalam rangka memenuhi sebagian persyaratan spesialis Ilmu Bedah di PPDS I Ilmu Bedah FK UGM.Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pasien yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk terus belajar dan mendapat pengalaman yang sangat berarti selama proses pendidikan Ilmu Bedah.Rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan kepada: 1. Prof. dr. H. Armis, SpB, SpOT (K) Guru Besar Ortopedi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada selaku pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan dorongan, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis paripurna ini.2. dr. Supomo, SpB (K) BTKV sebagai Ketua Program Studi Ilmu Bedah FK UGM RSUP Dr. Sardjito yang telah memberikan kesempatan dan arahan kepada penulis untuk melalui proses pendidikan di bagian Bedah FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito.3. Prof.Dr.dr. Teguh Aryandono, SpB (K) Onk, sebagai Kepala Bagian / SMF Bedah FK UGM RSUP Dr. Sardjito, yang telah memberikan kesempatan dan arahan kepada penulis untuk melalui proses pendidikan di bagian Bedah FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito.4. Seluruh senior/ guru penulis, penulis menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga atas segala kesempatan, dorongan, bimbingan, dan arahan selama penulis menjalani proses pendidikan.5. Orang tua, istri serta segenap keluarga penulis atas segala kesabaran tak berbatas dan dukungan sepenuh makna yang berkat doa restu serta semangatnya menjadikan penulis dapat menyelesaikan setiap proses pendidikan.

vi6. Semua keluarga besar Bagian Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta serta semua pihak yang telah membantu memberikan semangat, motivasi dan doa kepada penulis.Akhir kata, semoga Allah SWT membalas kebaikan dan amalan semua pasien, guru penulis, dan pihak-pihak yang telah membantu selama proses penulisan karya paripurna ini dengan kebaikan yang berlimpah.Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, karenanya kritik dan saran akan penulis terima dengan senang hati untuk menjadi perbaikan.

Yogyakarta, 2012.

Penulis

viiDAFTAR TABEL Halaman

Tabel 1 : Distribusi umur responden penelitian40Tabel 2 : Distribusi tingkat pendidikan responden penelitian ........41Tabel 3 : Distribusi kasus hernia inguinalis lateralis pada kelompok kasus 43Tabel 4 : Distribusi kasus bedah pada kelompok kontrol 44Tabel 5 : Distribusi pengetahuan tentang maksud dari kloset duduk dan jongkok .45Tabel 6 : Distribusi pengetahuan tentang penyakit hernia inguinalis lateralis .......46Tabel 7 : Distribusi jenis kloset yang digunakan oleh responden penelitian ...48Tabel 8 : Distribusi lama penggunaan kloset duduk dan jongkok pada kelompok kasus.49Tabel 9 : Distribusi lama penggunaan kloset duduk dan jongkok pada kelompok kontrol...50Tabel 10 : Crosstabulation 52Tabel 11 : Risk estimate 53

viiiDAFTAR GAMBAR Gambar 1 : Anatomi Regio Inguinal15Gambar 2 : Sitting Position Versus Squating Position.23Gambar 3 : Three positions on Defecation..24Gambar 4 : Daerah Tang's Lacuna26Gambar 5 : Reflek Iliopsoas Abdominal..27Gambar 6 : Kerangka Teori ....29Gambar 7 : Kerangka Konsep Penelitian.30 Gambar 8 : Rumus BMI..39Gambar 9 : Distribusi Umur Responden Penelitian...41Gambar 10 : Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Penelitian.42Gambar 11 : Distribusi Kasus Hernia Inguinalis Lateralis..43Gambar 12 : Distribusi Kasus Bedah Berdasarkan SubBagian44Gambar 13 : Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian Tentang Maksud Dari Kloset Duduk dan Kloset Jongkok46Gambar 14 : Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian Tentang Maksud DariPenyakit Hernia Inguinalis Lateralis47Gambar 15 : Distribusi Jenis Kloset Yang Digunakan Responden Penelitian.49Gambar 16 : Distribusi Lama Penggunaan Kloset Pada Kelompok Kasus ..50Gambar 17 : Distribusi Lama Penggunaan Kloset Pada Kelompok Kontrol 51ixDAFTAR SINGKATAN

BAB: Buang Air BesarBMI: Body Mass IndexCm: Senti meterKg: KilogramM: MeterOR: Odds RatioPT: PerguruanTinggiRR: Risiko RelatifRSUP: Rumah Sakit Umum PusatSD: Sekolah DasarSLTP: Sekolah Lanjutan Tingkat PertamaSLTA: Sekolah Lanjutan Tingkat AtasSM: Sebelum MasehiWHO: World Health Organization

xPERBANDINGAN HUBUNGAN ANTARA POSISI DUDUK SAAT BUANG AIR BESAR DENGAN POSISI JONGKOK SAAT BUANG AIR BESAR TERHADAP KEJADIAN HERNIA INGUINALIS LATERALIS

Mozes Santovani 1), Armis 1)1). Bagian Ilmu Bedah FK UGM/RSUP DR.Sardjito, Jl Kesehatan No 1 Sekip Yogyakarta, Indonesia 55284 tel: +62 0274 587333 fax: +62 0274 565369; *E-mail : [email protected]

Latar Belakang : Salah satu perubahan yang dibawa oleh industrialisasi barat adalah perubahan posisi saat buang air besar dengan menggunakan kloset duduk. Posisi alamiah saat buang air besar adalah posisi jongkok dan metode ini digunakan di kebanyakan negara. Posisi duduk pada saat buang air besar dilaporkan menjadi sumber beberapa masalah kesehatan seperti kanker kolon, inflamantory bowel disease, apendisitis, hernia, divertikulosis dan hemorrhoid.Tujuan penelitian : Mengetahui perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis.Metode : Penelitian ini dilakukan selama bulan Januari Juli 2012 dengan menggunakan desain penelitian case control. Sampel penelitian adalah laki-laki berumur 40 tahun yang menderita hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis dan penyakit bedah lainnya. Sampel diambil dari RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan rumah sakit jejaring sebanyak 30 pasien dengan hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis sebagai kelompok kasus dan 30 pasien dengan penyakit bedah lainnya sebagai kelompok kontrol. Pada setiap sampel penelitian diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan. Hasil : Dari 60 sampel penelitian didapatkan pengguna kloset duduk sebanyak 50% dan pengguna kloset jongkok sebanyak 50%. Pada analisis crosstab didapatkan nilai risiko relatif sebesar 1,5 dan rasio odds sebesar 2,250.

xiKesimpulan : Berdasarkan hasil analisis crosstab dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis. Posisi duduk saat buang air besar merupakan faktor risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis dan posisi duduk saat buang air besar memberikan risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis 2,250 kali lebih besar dari pada buang air besar dengan posisi jongkok.Kata Kunci : Posisi duduk saat buang air besar, posisi jongkok saat buang air besar, hernia inguinalis lateralis , analisis crosstab.

xiiTHE COMPARISON RELATIONSHIP BETWEEN SITTING POSITION DURING DEFECATION WITH SQUATTING POSITION DURING DEFECATION TO THE LATERAL INGUINAL HERNIA INCIDENCEMozes Santovani 1, Armis 11 Department of Surgery, Sardjito General Hospital/ Faculty of Medicine Gadjah Mada University. Jl Kesehatan No 1 Sekip Yogyakarta, Indonesia 55284 tel: +62 0274 587333 fax: +62 0274 565369; *E-mail : [email protected]

Background: One of the changes brought by Western industrialization has been the posture for defecation using sitting closet. Natural posture for defecation was squatting posture and this posture had been applied in most countries. Sitting posture was reported as the source of some health problem such as colon cancer, inflamantory bowel disease, appendicitis, hernia, diverticulosis dan hemorrhoids.Objective : To assess the comparison relationship between sitting position during defecation with squatting position during defecation to the lateral inguinal hernia incidence.Methods : We conducted a case control study on January - July 2012. The study sample were male aged 40 years old with reponible and ireponible lateral inguinal hernia and with the other surgical diseases. Samples taken from Dr. Sardjito general hospital Yogyakarta and networking general hospitals as much as 30 patients with reponible and ireponible lateral inguinal hernia as the case group and 30 patients with the other surgical diseases as a control group. The samples were asked to fill out a questionnaire that had been prepared. Results: From 60 samples in this research obtained sitting closet users are 50% and squatting closet users are 50%. In the crosstab analysis found relative risk 1,5 and

xiiiodds ratio 2,250.Conclusion: Based on the results of the crosstab analysis can be concluded that there is a relationship between sitting position during defecation with lateral inguinal hernia incidence. Sitting position during defecation is the risk factor for the lateral inguinal hernia incidence and sitting position during defecation pose the risk to the lateral inguinal hernia incidence of 2,250 times greater than defecation with squatting position.Key words: Sitting position during defecation, Squatting position during defecation, lateral inguinal hernia, crosstab analysis.

xivBAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangSemua hernia dapat terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan (Marijata, 2006). Peningkatan tekanan intraabdomen sudah lama dicurigai berperan dalam patogenesis hernia inguinalis (Ruhl CE et al., 2007).Pada penelitian yang dilakukan oleh Sakakibara R et al., (2010) yang berjudul influence of Body Position in Humans menunjukkan tekanan intraabdomen pada saat mengejan dalam posisi duduk dengan fleksi sendi panggul 60 (53 cmH2O) lebih rendah daripada pada posisi duduk yang normal (65 cmH2O). Sedangkan tekanan intraabdomen pada saat mengejan dalam posisi jongkok (52 cmH2O) lebih rendah dari pada mengejan dalam posisi duduk yang normal dan duduk dengan fleksi sendi panggul 60 (Sakakibara R et al., 2010).Pada pertengahan abad ke-19 kloset duduk mulai digunakan oleh kebanyakkan orang. Kloset duduk melambangkan suatu kemajuan dan kreatifitas dari bangsa barat. Orang orang mulai mengabaikan kesalahan ergonomis yang utama yaitu posisi duduk pada saat buang air besar yang menyebabkan buang air besar menjadi sulit, tidak tuntas dan mengejan pada saat buang air besar (Jian LV, 2011).Manusia dapat melakukan buang air besar dengan sejumlah posisi. Dua posisi buang air besar yang umum dilakukan manusia adalah posisi jongkok dan posisi duduk. Posisi jongkok digunakan pada saat buang air besar dengan mempergunakan kloset jongkok dan posisi ini juga biasa digunakan untuk buang air besar apabila tidak ada kloset atau perangkat lainnya. Posisi duduk digunakan pada saat buang air besar dengan dengan mempergunakan kloset duduk (western toilets) (Wikipedia, 2012). Pada proses buang air besar yang normal terdapat tiga komponen penting yaitu kontraksi spontan dari rektum pada saat feses berada dalam rektum, relaksasi dari kanalis analis dengan sudut anorektal yang bertambah besar dan usaha mengejan (Sakakibara R et al., 2010).Pada saat posisi berdiri dan duduk yang normal terdapat sudut anorektal yang terletak diantara rektum dimana feses disimpan dan kanalis analis. Sudut ini bertambah besar pada saat posisi jongkok. Hal ini dapat mengurangi usaha mengejan yang berlebihan pada saat buang air besar dan mencegah konstipasi (Singh A, 2007). Pada sudut anorektal terdapat muskulus puborektalis. Untuk mempertahankan kontinensi dibutuhkan kontraksi yang terus menerus dari muskulus puborektalis yang menghasilkan jeratan pada rektum. Pada saat buang air besar dengan posisi duduk tidak akan terjadi relaksasi dari muskulus puborektalis. Sehingga pada saat buang air besar dengan posisi duduk dibutuhkan usaha mengejan yang berlebihan (Isbit J, 2001). Konstipasi merupakan konsekuensi dari kebiasaan buang air besar dengan mempergunakan kloset duduk. Hal ini disebabkan oleh sifat obstruksi yang alamiah dari sudut anorektal pada saat buang air besar dengan posisi duduk. Posisi buang air besar yang alamiah bagi manusia adalah posisi jongkok. Pada posisi jongkok besar dari sudut anorektal bertambah, hal ini menyebabkan buang air besar menjadi lebih mudah dan mencegah usaha mengejan yang berlebihan (Sikirov BA , 1989). Faktor lain yang berperan dalam proses buang air besar adalah reflek iliopsoas-abdominal. Reflek iliopsoas-abdominal akan menyebabkan buang air besar menjadi lebih cepat, mudah dan tuntas. Jadi reflek tersebut mempermudah proses buang air besar dan mencegah stagnasi feses yang merupakan faktor primer pada kejadian kanker kolon, inflamantory bowel disease, apendisitis, hernia, divertikulosis dan hemorrhoid (Jian LV, 2011).Dalam rangka untuk mengetahui posisi saat buang air besar yang lebih baik untuk mengurangi kejadian hernia inguinalis lateralis, maka peneliti mencoba membandingkan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis. Hal ini berdasarkan laporan bahwa posisi duduk saat buang air besar menjadi sumber beberapa masalah kesehatan seperti kanker kolon, inflamantory bowel disease, apendisitis, hernia, divertikulosis dan hemorrhoid (Jian LV, 2011).2. Perumusan MasalahUraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar untuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis ?3. Tujuan PenelitianUntuk membandingkan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis.4. Manfaat Penelitian1. Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan tentang perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis.2. Di bidang pelayanan masyarakat : dengan didapatkan bukti adanya hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis diharapkan terjadi perubahan kebiasaan buang air besar dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk menjadi buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok .5. Keaslian PenelitianPenelitian yang dilakukan oleh Sakakibara R et al., (2010) yang berjudul influence of Body Position in Humans dengan menggunakan video manometri untuk mengukur tekanan intraabdomen dan besar sudut anorektal yang dibentuk pada tiga posisi saat buang air besar yaitu duduk dengan fleksi sendi panggul 60, posisi duduk yang normal dan posisi jongkok menunjukkan tekanan intraabdomen paling kecil dihasilkan pada saat mengejan dalam posisi jongkok dan sudut anorektal yang dibentuk paling besar pada saat mengejan dalam posisi jongkok. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa buang air besar menjadi lebih mudah pada posisi jongkok dari pada posisi duduk yang normal maupun pada posisi duduk dengan fleksi sendi panggul 60 (Sakakibara R et al., 2010). Desain penelitian yang digunakan adalah kohort dan dianalisis secara student's t-test. Penelitian yang dilakukan oleh Sakakibara et al., berbeda dengan penelitian ini karena pada penelitian ini meneliti perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis dengan menggunakan desain penelitian case control dan dianalisis secara crosstabs.Penelitian yang dilakukan oleh Sikirov D (2003) yang berjudul Comparison of Straining During Defecation in Three Position dengan menilai lama waktu yang dibutuhkan untuk buang air besar dan kesulitan saat buang air besar yang dialami oleh responden berdasarkan pada posisi saat buang air besar dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk dengan ketinggian 41-42 cm, posisi duduk dengan menggunakan kloset duduk dengan ketinggian 31-32 cm dan posisi jongkok dengan menggunakan kloset jongkok. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil penelitian bahwa waktu yang paling cepat dibutuhkan untuk buang air besar yaitu pada saat buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok dan jumlah responden yang paling sedikit mengeluh kesulitan untuk buang air besar ditemukan pada saat buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok (Sikirov D, 2003). Desain penelitian yang digunakan adalah kohort dan dianalisis secara Wilcoxon rank test. Penelitian yang dilakukan oleh Sikirov berbeda dengan penelitian ini oleh karena pada penelitian ini meneliti perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis dengan menggunakan desain penelitian case control dan dianalisis secara crosstabs.Penelitian yang dilakukan oleh Rad S (2002) yang berjudul Impact of Ethnic Habits on Defecographic Measurements yang membandingkan hasil foto Xray barium enema pada saat buang air besar dengan posisi jongkok dibandingkan dengan hasil foto X-ray barium enema pada saat buang air besar dengan posisi duduk. Dengan melihat hasil foto X-ray tersebut Dr. Rad dapat memastikan besar dari sudut anorektal. Dari penelitian tersebut Dr. Rad menemukan ketika subyek penelitiannya menggunakan kloset duduk rata-rata sudut anorektal membentuk sudut 92 dan diperlukan usaha mengejan yang kuat untuk buang air besar. Ketika mereka menggunakan kloset jongkok, rata-rata sudut anorektal membentuk sudut 132 dan kadang-kadang membentuk sudut 180 yang menghasilkan jalur evakuasi feses yang lancar dan mengurangi usaha mengejan yang berlebihan (Rad S, 2002). Desain penelitian yang digunakan adalah kohort. Penelitian yang dilakukan oleh Rad berbeda dengan penelitian ini oleh karena pada penelitian ini meneliti perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis dengan menggunakan desain penelitian case control dan dianalisis secara crosstabs.Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung FA (2011) yang berjudul Hubungan Posisi Saat Buang Air Besar Dengan Kejadian Konstipasi Fungsional Pada Anak untuk mengetahui hubungan antara posisi saat buang air besar dengan kejadian konstipasi fungsional pada anak dengan membandingkan antara anak yang buang air besar dengan kloset duduk dibandingkan dengan anak yang buang air besar dengan menggunakan kloset jongkok. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan adanya hubungan yang bermakna antara posisi saat buang air besar dengan kejadian konstipasi fungsional pada anak (Tanjung FA, 2011). Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dan dianalisis secara chi square. Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung FA berbeda dengan penelitian ini oleh karena pada penelitian ini meneliti perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis dengan menggunakan desain penelitian case control dan dianalisis secara crosstabs.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Hernia Inguinalis 1.1. SejarahHernia merupakan penonjolan sebagian atau seluruh viskus dari posisi normalnya melalui celah dimana viskus tersebut berada. Pada hernia inguinalis lateralis viskus memasuki kanalis inguinalis melalui cincin inguinal interna yang terletak lateral dari vasa epigastrika inferior dan berjalan sepanjang kanalis di depan korda (Marijata, 2006). Jika isi suatu hernia dapat tereduksi lagi masuk ke rongga abdomen dinamakan hernia inguinalis lateralis reponibilis dan jika tidak dapat tereduksi lagi masuk ke rongga abdomen dinamakan hernia inguinalis lateralis ireponibilis (Schwartz SI et al., 2000).Hernia sudah dikenal sejak 1500 SM. Pada jaman Yunani kuno sudah dikenal hernia inguinalis yang dalam bahasa yunani artinya benjolan. Dalam bahasa latin berarti hancur dan robek. Pada waktu itu untuk mengontrol hernia sudah umum dipakai peyangga atau plester (Schwartz SI et al., 1999).Pada tahun 1363, Gay de Chauliac memisahkan antara hernia inguinalis dan hernia femoralis dan juga menjabarkan teknik reduksi pada kasus strangulasi. Casper Stromeyer pada tahun 1559 mengajukan textbook hernia yang lengkap dimana membedakan antara hernia inguinalis lateralis dan medialis, serta menganjurkan tidak perlu dilakukan pemotongan testis pada operasi hernia (Schwartz SI et al., 1999).Penanganan bedah pada hernia inguinalis sudah ada sejak abad I, namun deskripsi secara formal mengenainya baru muncul setelah abad XV. Pada abad tersebut penanganan hernia dengan cara kastrasi atau kauterisasi hernia atau debridemen kantong hernia dan kemudian membiarkan luka sembuh secara sekunder. Penanganan di atas menggambarkan betapa belum ada pemahaman yang benar mengenai anatomi regio inguinal. Pada abad XVII Sir Astley Cooper merekomendasikan menutup pintu hernia dengan menopang dari luar untuk penanganan hernia dan pembedahan hanya dilakukan bila terjadi hernia strangulasi (Norton JA et al., 2001).Pemahaman mengenai anatomi dari regio inguinal mulai berubah secara dramatis pada akhir abad XVII. Pada tahun 1881, ahli bedah Perancis, Lucas Championiere melakukan ligasi tinggi pada kantong hernia setinggi cincin interna kemudian menutup luka secara primer (Norton JA et al., 2001).Edoardo Bassini (1844 1924) seorang ahli bedah Italia, yang kemudian dijuluki Father of Modern Inguinal Hernia Surgery, melakukan repair hernia dan merekontruksi kanalis inguinalis dan menyelamatkan fungsi seanatomis mungkin. Teknik herniorepair cara Bassini masih dipakai sampai sekarang dan telah diakui secara universal serta digunakan sebagai Gold Standard herniorepair pada penanganan hernia inguinal pada abad XX (Norton JA et al., 2001).

1.2. InsidenAngka kejadian hernia inguinalis lateralis yang sebenarnya tidak diketahui walaupun sudah ada estimasi yang akurat berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada (Zinner MJ et al., 2001).Angka kejadian hernia inguinalis pada orang dewasa berkisar 10% - 15%. Rasio angka kejadian hernia inguinalis pada laki-laki dan perempuan adalah 12 : 1. Angka kejadian pada pasien berumur 25 40 tahun berkisar 5% - 8%. Angka kejadian hernia inguinalis pada laki-laki berumur 75 tahun berkisar 45%. Pada tahun 1993 Lichtenstein melaporkan lebih dari 700.000 operasi hernia dilakukan di Amerika Serikat (Zinner MJ et al., 2001).

1.3. Etiologia. Faktor PredisposisiSemua hernia dapat terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan. Faktor faktor predisposisinya adalah (Marijata, 2006) :1. Defek kongenital. Kantong peritoneal kongenital merupakan faktor predisposisi terjadinya hernia pada awal kehidupan dan dapat berupa :a. Prosessus vaginalis persisten dapat menyebabkan terbentuknya hernia inguinalis indirek.b. Obliterasi inkomplit dari umbilikus meyebabkan terbentuknya hernia umbilikalis.c. Kanalis Nuck paten menyebabkan terjadinya hernia inguinalis indirek pada wanita.2. Defek Acquired. Kelemahan pada dinding abdomen anterior dapat disebabkan oleh: a. Insisi pembedahan yang menyebabkan hernia insisional.b. Kelemahan otot akibat obesitas dengan infiltrasi lemak, kehamilan, penyakit wasting, proses ketuaan normal dan poliomyelitis.b. Faktor PresipitasiHerniasi dapat terjadi ketika tekanan intraabdomen naik karena beberapa faktor seperti (Marijata, 2006) :a. Batuk kronisb. Konstipasic. Obstruksi leher vesika atau uretrald. Parturisie. Muntahf. Penggunaan otot berlebihang. Keganasan abdomen dengan ascitesSepak bola merupakan salah satu olah raga yang dapat menyebabkan sporthernia. Pada sporthernia terjadi robekan pada otot, tendon dan ligamen daerah abdomen bagian bawah atau daerah lipat paha. Hal ini biasanya berhubungan dengan rasa nyeri yang kronik, kelemahan pada dinding posterior kanalis inguinalis dan dinding abdomen bagian bawah yang akhirnya dapat menyebabkan hernia inguinalis (Jian LV, 2011. Joesting DR, 2002. Wilkerson R, DO, 2010).

1.4. KlasifikasiBerdasarkan letaknya hernia diklasifikasikan menjadi (Marijata, 2006. Sjamsuhidajat et al., 1998) : 1. Hernia inguinalis. Merupakan hernia yang terjadi di daerah lipat paha di atas ligamentum inguinale. 2. Hernia femoralis. Merupakan hernia yang terjadi di daerah lipat paha di bawah ligamentum inguinale, medial vena femoralis dan lateral tuberkulum pubikum.3. Hernia umbilikal dan para-umbilikal. Hernia umbilikal adalah hernia yang terjadi melalui defek pada sikatriks umbilikal pada hari-hari pertama kehidupan. Kantong hernia menonjol sebagai tonjolan kecil pada umbilikus dan akan tampak ketika anak menangis atau mengejan. Hernia para-umbilikal pada sebagian besar kasus terjadi sebagai kondisi yang didapat pada usia pertengahan, obesitas dan wanita multipara, dimana pada mereka sering didapatkan defek kecil pada linea alba di atas umbilikus.4. Hernia epigastrika. Merupakan penonjolan lemak ekstraperitoneal pada garis tengah, melalui suatu atau beberapa defek pada linea alba, biasanya tampak sebagai hernia kecil yang ireponibilis yang terletak pada pertengahan antara xiphisternum dan umbilikus.5. Hernia insisional. Merupakan hernia yang terjadi karena otot yang dipotong atau insisi yang memisahkan / membelah otot.6. Hernia obturator. Merupakan hernia yang didapat dan dapat timbul melalui kanalis obturator fibrosseal yang terletak antara sulkus obturator pada permukaan bawah ramus horisontal pubis dan batas membran obturator. Kanalis ini dilewati oleh vasa dan nervus obturator.7. Hernia lumbar. Dapat merupakan hernia insisional atau terjadi spontan melalui segitiga lumbar inferior Petit yang dibatasi di kaudal oleh krista iliaka, di anterior oleh tepi bebas muskulus obliquus eksternus abdominis dan di posterior oleh tepi bebas muskulus latissimus dorsi. Dasar segitiga ini adalah muskulus obliquus internus abdominis dan tutupnya fasia superfisialis. Atau melalui ruang lumbar superior Grinjnfelt yang dibatasi di kranial oleh kosta ke-12, di anterior oleh tepi bebas muskulus obliquus internus abdominis, di posterior oleh tepi bebas muskulus sakrospinalis. Dasarnya adalah aponeurosis muskulus transversus abdominis sedangkan tutupnya muskulus latissimus dorsi. 8. Hernia diafragmatika. Hernia diafragmatika dapat didefinisikan sebagai prolaps bagian lambung ke kavum toraks melalui diafragmatika esofageal. 9. Hernia spiegelian. Merupakan hernia yang melalui linea semilunaris pada batas luar muskulus rektus abdominis dan terjadi pada pertengahan antara pubis dan umbilikus (setinggi lipatan semilunar Douglas).10. Hernia gluteal. Merupakan hernia yang terjadi melalui incisura skiatik mayor baik diatas maupun di bawah muskulus piriformis.11. Hernia skiatik. Merupakan hernia yang terjadi melalui incisura skiatik minor dan biasa ditemukan saat operasi untuk obstruksi usus.12. Hernia perineal. Merupakan hernia yang terjadi paling sering sebagai hernia insisional setelah eksisi abdominoperineal rektum. Dapat pula terjadi pada wanita tua atau usia pertengahan melalui ekstensi atau persistennya kantong rekto-vaginal atau sebagai penonjolan kantong antar vagina dan kandung kemih.

1.5. AnatomiKanalis inguinalis adalah suatu lorong yang melintas serong melalui bagian kaudal dinding abdomen ventral dengan arah mediokaudal untuk memberi jalan funikulus spermatikus. Kanalis inguinalis terletak sejajar dan tepat kranial dari ligamentum inguinale. Pada laki-laki kanalis inguinalis berisi funikulus spermatikus dan pada wanita berisi ligamentum rotundum (Marijata, 2006. Moore KL et al., 2002)Cincin inguinal interna terletak sekitar 1,5 inci (1 cm) di atas titik tengah ligamentum inguinale dan merupakan kondensasi fasia transversalis berbentuk U yang diperkuat pada bagian medial oleh ligamentum interfoveolar Hesselbach. Cincin interna dilewati oleh korda spermatika, vasa testiskular, cabang kremasterika dari arteri epigastrika inferior, arteri vas deferens (cabang arteri vesikalis inferior dari divisi posterior arteri iliaka interna), cabang genital nervus genitofemoralis serta prosessus vaginalis jika ada (Marijata, 2006).Cincin inguinal eksterna dibentuk oleh slit berbentuk V pada aponeurosis muskulus obliquus eksternus abdominis dan terletak 0,5 inci (1 cm) di atas dan lateral dari tuberkulum pubikum dengan sisi-sisi yang dikenal sebagai crura (crus lateralis melekat pada tuberkulum pubikum dan crus medialis melekat pada korpus ossis pubis). Cincin ini dilewati oleh vas deferen, arteri testikular, pleksus pampiniformis, arteri vas deferens, cabang kremasterika dari arteri epigastrika inferior, nervus ilioinguinal, cabang genital nervus genitofemoralis serta prosessus vaginalis jika ada (Marijata, 2006. Moore KL et al., 2002).Batas - batas kanalis inguinalis : Dinding ventral yang terutama dibentuk oleh aponeurosis muskulus obliquus eksternus abdominis di sebelah medial dan di sebelah lateral diperkuat oleh serabut muskulus obliquus internus abdominis. Kedua struktur tersebut ditutupi oleh fasia superfisial, lemak subkutan dan kulit (Marijata, 2006. Moore KL et al., 2002) Dinding dorsal yang dibentuk oleh fasia transversalis, ligamentum umbilikal lateral dan arteri epigastrika inferior di sebelah lateral. Di sebelah medial diperkuat oleh conjoint tendon (flax inguinalis), yakni tendon bersama muskulus obliquus abdominis internus dan muskulus transversus abdominis pada krista pubika. Area triangular dibatasi oleh arteri epigastrika inferior, ligamentum inguinale dan batas lateral dari muskulus rektus abdominis (segitiga Hesselbach) (Marijata, 2006. Moore KL et al., 2002). Atap dibentuk oleh serabut muskulus obliquus internus abdominis dan muskulus transversus abdominis yang melengkung (Moore KL et al., 2002). Lantai dibentuk oleh permukaan kranial ligamentum inguinale di bagian lateral dan ligamentum lakunare di bagian medial, yakni lanjutan ligamentum inguinale (Moore KL et al., 2002).

(Gambar 1 : Anatomi Regio Inguinal)1.6. Gambaran KlinisHernia inguinalis indirek terjadi pada semua usia, dan jika karena persistennya prosessus vaginalis, maka akan timbul segera setelah lahir atau pada saat dewasa muda (Marijata, 2006).Hernia inguinalis direk lebih sering terjadi pada usia pertengahan atau orang tua sebagai kondisi yang didapat (Marijata, 2006).Gejala (Marijata, 2006) : a. Benjolan. Benjolan ini tampak pada daerah inguinal, terkadang muncul setelah kerja berlebihan dan akan menghilang pada keadaan berbaring kecuali jika hernianya ireponibilis.b. Rasa nyeri atau tidak nyaman. Ketidaknyamanan pada daerah inguinal merupakan gejala umum, namun rasa nyeri pada benjolan atau pada abdomen biasanya mengindikasikan obstruksi atau strangulasi.c. Muntah. Hal ini menunjukkan obstruksi atau strangulasi.Tanda (Marijata, 2006) :a. UmumPerhatian khusus harus ditujukan pada hal-hal di bawah ini :1. Faktor presipitasi, terutama penyakit paru kronik, obstruksi saluran kencing dan penyakit pada kolon.2. Tanda obstruksi atau strangulasi, terutama dehidrasi, syok dan peritonitis.b. Lokal(a) Inspeksi dengan posisi pasien berdiri dan pasien diminta untuk batuk(1) Hernia inguinalis indirek berjalan ke arah bawah dan medial menuju skrotum.(2) Hernia inguinalis direk menonjol secara langsung ke arah depan pada bagian dalam kanalis inguinalis.(b) Palpasi(1) Hernia inguinalis indirek, jika redusibel, akan kembali ke arah atas dan lateral dan dicegah agar tidak kambuh dengan memberi tekanan pada cincin interna 0,5 inci (1 cm) di atas titik tengah ligamentum inguinalis.(2) Hernia inguinalis yang kecil (bubonocele) dapat tidak terdeteksi kecuali dengan memasukkan jari ke dalam skrotum dan menuju cincin eksterna , dimana akan terasa suatu dorongan saat pasien batuk.(3) Hernia inguinalis direk jarang berukuran cukup besar untuk memasuki skrotum dan jika redusibel akan kembali secara langsung ke arah belakang. Karena terletak medial dari cincin interna maka tidak dapat dikontrol dengan tekanan pada cincin interna dan dengan jari diletakkan pada cincin eksterna maka dorongan akibat batuk akan mengarah ke depan.Baik hernia itu direk ataupun indirek, adalah penting untuk menilai keadaan isi dalam kantung hernia, jika isi usus terdengar bising usus saat membuat penilaian lokal pada hernia inguinalis, adalah penting untuk mengingat tiga hal penting (Marijata, 2006) :a. Terkadang tidak mungkin untuk menentukan secara klinis apakah suatu hernia inguinalis itu direk atau indirek.b. Hernia inguinalis ireponibilis yang tegang dan nyeri (paling sering pada hernia inguinalis indirek), bersifat ireponibilis sederhana bila tidak terdapat nyeri abdomen. Namun bila terdapat rasa nyeri yang persisten, kehilangan dorongan batuk, atau mungkin edema serta kemerahan pada kulit yang menutupi hernia, bersamaan dengan tanda lain dari obstruksi intestinal, harus dicurigai strangulasi usus. Hernia yang terobstruksi tidak dapat dibedakan secara klinis dengan hernia strangulata, perbedaan hanya dapat dibuat pada saat operasi, merupakan tindakan yang amat penting dilakukan bila terdapat tanda dan gejala obstruksi usus.c. Absennya dorongan batuk saja tidak mengindikasikan strangulasi usus karena kantung hernia dapat saja terisi oleh omentum. Strangulasi omentum dapat dicurigai bila terdapat hernia ireponibilis yang tegang dan nyeri namun tidak terdapat tanda-tanda obstruksi usus.

1.7. Diagnosis Banding Penonjolan Pada Regio InguinalHernia femoralis, pembesaran limfonodi inguinal, varix vena saphena hal ini berhubungan dengan varikosis saphena longus, aneurisma femoral, hidrokel encysted dari korda, Lipoma dari korda, penurunan testis yang tidak sempurna dan testis ektopik (Marijata, 2006).1.8. PenatalaksanaanTanpa terapi, hal ini diindikasikan pada pasien dengan keadaan kesehatan yang jelek yang memiliki harapan hidup pendek atau pada mereka yang menolak terapi (Marijata, 2006).Truss (sabuk hernia) tidak dapat menyembuhkan hernia (kecuali pada bayi). Pada orang dewasa, truss dapat diberikan bila pembedahan merupakan suatu kontraindikasi karena terdapatnya penyakit lain. Hal lain yang dibutuhkan dalam memberikan terapi truss adalah hernianya harus dapat dikembalikan dengan mudah dan pasien harus memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi karena penggunaan truss membutuhkan perhatian yang tinggi terutama dalam hal penempatan posisi serta keberhasilan area di sekelilingnya. Truss 'adder headed' atau 'rat tailed' harus dapat dimasukkan dengan pas ke dalam kanalis inguinalis dan ukuran pinggang yang benar ditentukan dengan mengukur mulai dari tuberkulum pubikum mengelilingi Krista iliaka dan trokanter mayor, sampai pada bagian tengah sakrum (Marijata, 2006).Dasar dari hernioplasti inguinalis adalah untuk mencegah penonjolan peritoneum melalui defek dinding abdomen. Integritas dari dinding abdomen dipulihkan dengan cara : (1) penutupan aponeurosis dari defek hernia (2) penggantian dari fasia transversalis yang mengalami defek dengan protesis sintetik yang besar. Dua metode tersebut kadang-kadang dikombinasikan (Schwartz SI et al., 2000).Hernia diperbaiki dari anterior melalui insisi lipat paha atau posterior melalui insisi abdomen. Pendekatan anterior merupakan insisi yang paling populer untuk hernioplasti inguinal. Perbaikan hernia dari posterior disebut hernioplasti properitoneal (Schwartz SI et al., 2000).Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari herniotomi dan hernioplastik (Sjamsuhidajat et al., 1998).Pada herniotomi dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi dari kantong hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian isi dari kantong hernia dikembalikan ke dalam kavum abdomen. Kantong hernia dijahit ikat setinggi mungkin lalu dipotong (Sjamsuhidajat et al., 1998).Pada hernioplastik dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis. Hernioplastik lebih penting artinya dalam mencegah residif dibandingkan dengan herniotomi. Dikenal berbagai metode hernioplastik seperti memperkecil anulus internus dengan jahitan terputus, menutup dan memperkuat fasia transversa dan menjahitkan pertemuan muskulus transvesus abdominis dan muskulus obliquus internus abdominis yang dikenal dengan nama conjoint tendon ke ligamentum inguinale menurut metode Bassini, atau menjahitkan fasia transversa, muskulus transversus abdominis dan muskulus obliquus internus abdominis ke ligamentum Cooper pada metode Mc Vay (Sjamsuhidajat et al., 1998).Metode Bassini merupakan teknik herniorepair yang pertama dipublikasikan tahun 1887, dan sampai sekarang masih merupakan operasi baku. Namun ahli bedah harus memilih dan memodifikasi teknik mana yang akan dipakai sesuai dengan temuan pada operasi dan patogenesis hernia menurut usia dan keadaan penderita (Sjamsuhidajat et al., 1998).Kadang ditemukan insufisiensi dinding belakang kanalis inguinalis dengan hernia inguinalis medialis besar yang biasanya bilateral. Dalam hal ini diperlukan hernioplastik yang dilakukan secara cermat dan teliti. Tidak ada satupun teknik yang dapat menjamin bahwa tidak akan terjadi residif. Yang penting diperhatikan ialah mencegah terjadinya tegangan pada jahitan dan kerusakan jaringan (Sjamsuhidajat et al., 1998).Bila defek cukup besar atau terjadi residif berulang diperlukan pemakaian bahan sintesis seperti mersilene, prolene mesh atau marleks untuk menutup defek (Sjamsuhidajat et al., 1998).Perbaikan posterior dari hernia dengan laparoskopik pada saat ini sedang sangat diminati. Pada teknik ini daerah annulus internus, segitiga Hesselbach dan lakuna vasorum ditutup artinya pintu masuk hernia indirek, hernia direk dan hernia femoralis sekaligus ditampilkan kemudian ditutup dengan selembar bahan sintesis prolen. Kerugian penting dari hernioplastik laparoskopik adalah biayanya yang lebih mahal dari pada hernioplastik konvensional, karena prosedur ini membutuhkan anestesi umum dan peralatan yang mahal. Satusatunya keuntungan yang dapat diterima adalah bahwa prosedur ini hanya sedikit menimbulkan rasa tidak nyaman akibat insisi (Schwartz SI et al., 2000. Sjamsuhidajat et al., 1998).Terjadinya residif lebih banyak dipengaruhi oleh teknik reparasi dibandingkan dengan faktor konstitusi. Pada hernia inguinalis lateralis penyebab residif yang paling sering ialah ketegangan yang berlebihan pada saat perbaikan, penutupan anulus inguinalis internus yang tidak memadai, di antaranya karena diseksi kantong yang kurang sempurna, adanya lipoma preperitoneal atau kantong hernia tidak ditemukan. Pada hernia inguinalis medialis penyebab residif umumnya karena tegangan yang berlebihan pada jahitan hernioplastik atau kekurangan lainnya dalam teknik operasi. Angka residif perbaikan klasik hernia sekitar 1-3% dalam jarak waktu 10 tahun kemudian (Schwartz SI et al., 2000. Sjamsuhidajat et al., 1998).

2. Posisi Saat Buang Air Besar 2.1. DefinisiManusia dapat melakukan buang air besar dengan sejumlah posisi. Dua posisi saat buang air besar yang umumnya dilakukan adalah posisi jongkok dan posisi duduk (Wikipedia, 2012). Posisi duduk saat buang air besar adalah posisi tubuh saat buang air besar dengan fleksi sendi panggul dan sendi lutut membentuk sudut 90 seperti duduk diatas kursi dengan menggunakan kloset duduk (western toilets) (Wikipedia, 2012). Posisi jongkok saat buang air besar adalah posisi tubuh saat buang air besar dengan fleksi sendi panggul dan sendi lutut membentuk sudut yang tajam, bertumpu pada kedua telapak kaki dan pantat tidak menyentuh tanah dengan menggunakan kloset jongkok. Dan posisi jongkok saat buang air besar merupakan posisi alamiah untuk buang air besar pada manusia (Wikipedia, 2012).

2.2. Sudut Anorektal Pada pertengahan abad ke-19 kloset duduk mulai digunakan oleh kebanyakkan orang. Kloset duduk melambangkan suatu kemajuan dan kreatifitas dari bangsa barat. Orang orang mulai mengabaikan kesalahan ergonomis yang utama yaitu posisi duduk pada saat buang air besar yang menyebabkan buang air besar menjadi sulit, tidak tuntas dan mengejan pada saat buang air besar (Jian LV, 2011). Pada awalnya manusia menggunakan posisi jongkok pada saat buang air besar dan posisi buang air besar tersebut masih dipraktekkan di negaranegara berkembang. Pada pertengahan abad ke- 20, sekelompok peneliti yang bekerja di Afrika dikejutkan dengan hampir tidak ditemukannya kasus hemorroid, konstipasi, hernia dan divertikulosis pada orang kulit hitam. Mereka juga jarang mendapatkan penyakit-penyakit tersebut di negara-negara berkembang lainnya. Para ahli saat itu menghubungkan temuan ini dengan makanan yang mengandung tinggi serat dan menganjurkan pada masyarakat barat untuk mengkonsumsi makanan yang berserat tinggi, akan tetapi prevalensi penyakit-penyakit tersebut di negara-negara barat masih tetap tinggi. Hal ini dapat menjelaskan penemuan Burkit et al., tentang distribusi penyakit yang spesifik secara geografi menyebutkan bahwa individu yang tinggal di daerah-daerah dimana prevalensi penyakit-penyakit tersebut yang tinggi biasanya menggunakan kloset duduk sedangkan individu yang tinggal di daerah-daerah dengan prevalensi penyakit-penyakit tersebut yang rendah biasanya menggunakan kloset jongkok (Sikirov D, 2003). Pada proses buang air besar yang normal terdapat tiga komponen penting yaitu kontraksi spontan dari rektum pada saat feses berada dalam rektum, relaksasi dari kanalis analis dengan sudut anorektal yang bertambah besar dan usaha mengejan (Sakakibara R et al., 2010).Pada saat posisi berdiri dan duduk normal terdapat sudut anorektal yang terletak diantara rektum dimana feses disimpan dan kanalis analis. Sudut ini bertambah besar pada saat posisi jongkok. Hal ini dapat mengurangi usaha mengejan yang berlebihan pada saat buang air besar dan mencegah konstipasi (Singh A , 2007). Pada sudut anorektal terdapat muskulus puborektalis. Untuk mempertahankan kontinensi dibutuhkan kontraksi yang terus menerus dari muskulus puborektalis yang menghasilkan jeratan pada rektum. Pada saat buang air besar dengan posisi duduk tidak akan terjadi relaksasi dari muskulus puborektalis. Sehingga dibutuhkan usaha mengejan yang berlebihan pada saat buang air besar dengan posisi duduk (Isbit J, 2001). Konstipasi merupakan konsekuensi dari kebiasaan buang air besar dengan mempergunakan kloset duduk. Hal ini disebabkan oleh sifat obstruksi yang alamiah dari sudut anorektal pada saat buang air besar dengan posisi duduk. Posisi buang air besar yang alamiah bagi manusia adalah posisi jongkok. Pada posisi jongkok besar dari sudut anorektal akan bertambah, hal ini menyebabkan buang air besar menjadi lebih mudah dan mencegah usaha mengejan yang berlebihan (Sikirov BA, 1989). (Gambar 2 : Sitting Position Versus Squatting Position)Penelitian yang dilakukan Sakakibara et al., (2010) dengan menggunakan video manometri untuk mengukur tekanan intraabdomen dan besar sudut anorektal yang dibentuk pada tiga posisi saat buang air besar yaitu duduk dengan fleksi sendi panggul 60, posisi duduk yang normal dan posisi jongkok. Pada penelitian ini menunjukkan tekanan intraabdomen pada saat mengejan dalam posisi duduk dengan fleksi sendi panggul 60 (53 cmH2O) lebih rendah daripada pada posisi duduk yang normal (65 cmH2O). Sedangkan tekanan intraabdomen pada saat mengejan dalam posisi jongkok (52 cmH2O) lebih rendah dari pada mengejan dalam posisi duduk yang normal dan duduk dengan fleksi sendi panggul 60. Besar sudut anorektal pada saat buang air besar dalam posisi duduk dengan fleksi sendi panggul 60 (99) tidak berbeda jauh dengan sudut yang dibentuk pada saat buang air besar dalam posisi duduk yang normal (100). Sedangkan besar sudut anorektal pada saat buang air besar dalam posisi jongkok (126) lebih besar dari pada besar sudut anorektal pada buang air besar dalam posisi duduk yang normal dan duduk dengan fleksi sendi panggul 60. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa buang air besar menjadi lebih mudah pada posisi jongkok dari pada posisi duduk yang normal maupun pada posisi duduk dengan fleksi sendi panggul 60 (Sakakibara et al., 2010).(Gambar 3 : Three positions on defecation and video imaging. A typical recording of a subject (case 1) is shown. Left column shows body positions (a,sitting; b, sitting with the hip flexed; c, squatting with the hip most flexed). Right column indicates the anorectal angle on defecation according to thebody position in the left column. The anorectal angle was measured radiographically in a lateral view using two central longitudinal axes of the rectumand the anal canal, respectively, which lie in the center of two wall lines. The anorectal angle on defecation became larger with squatting (c,f) than withsitting (a,d), and also larger than with sitting with the hip flexed (b,e). Pressure values are not indicated here)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sikirov (2003) untuk menilai lama waktu yang dibutuhkan untuk buang air besar dan kesulitan saat buang air besar yang dialami oleh responden berdasarkan pada posisi saat buang air besar dengan posisi duduk dengan menggunakan kloset duduk dengan ketinggian 41-42 cm, posisi duduk dengan menggunakan kloset duduk dengan ketinggian 31-32 cm dan posisi jongkok dengan menggunakan kloset jongkok didapatkan hasil penelitian bahwa waktu yang paling cepat dibutuhkan untuk buang air besar yaitu pada saat buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok dan jumlah responden yang paling sedikit mengeluh kesulitan untuk buang air besar ditemukan pada saat buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok (Sikirov D, 2003). Pada bulan April 2002, Dr. Saeed Rad seorang ahli radiologi kebangsaan Iran mempublikasikan penelitiannya yang membandingkan hasil foto Xray barium enema pada saat buang air besar dengan posisi jongkok dan posisi duduk. Dengan melihat hasil foto X-ray tersebut Dr. Rad dapat memastikan besar dari sudut anorektal. Pada posisi duduk pada sudut anorektal terdapat muskulus puborektalis yang menjerat rektum untuk mempertahankan kontinensi. Dr. Rad menemukan ketika subyek penelitiannya menggunakan kloset duduk rata-rata sudut anorektal membentuk sudut 92 dan diperlukan usaha mengejan yang kuat untuk buang air besar. Ketika mereka menggunakan kloset jongkok, rata-rata sudut anorektal membentuk sudut 132 dan kadang-kadang membentuk sudut 180 yang menghasilkan jalur evakuasi feses yang lancar dan mengurangi usaha mengejan yang berlebihan. Dr. Rad berkesimpulan bahwa penggunaan kloset jongkok lebih nyaman dan lebih baik dari pada penggunaan kloset duduk (Rad S, 2002).

2.3. Reflek Iliopsoas AbdominalHipotesis tentang ligamentum inguinale yang terdorong ke medial oleh muskulus iliopsoas untuk melindungi kanalis inguinalis. Terdapat daerah yang terletak di atas ligamentum inguinale yang dinamakan Tang's Lacuna. Daerah tersebut dibatasi oleh muskulus rektus di bagian medial, ligamentum inguinale di bagian inferior dan garis horizontal yang sejajar dengan pertengahan ligamentum inguinale. Kanalis inguinalis dan segitiga Hesselbach terletak pada daerah Tang's Lacuna tanpa suport dari otot di bagian posterior. Pada saat buang air besar dengan posisi jongkok ligamentum inguinale akan terdorong kearah medial menutup daerah Tang's Lacuna sehingga akan melindungi kanalis inguinalis dan segitiga Hessebach (Jian LV, 2011). (Gambar 4) (Gambar 4 : Iiliopsoas passes the space deep to the inguinal ligament and causes a defect. The triangle with dashed line expresses Tangs lacuna that is sealed during iliopsoasabdominal reflex in squatting position)

Faktor lain yang berperan dalam proses buang air besar adalah reflek iliopsoas-abdominal. Pada saat buang air besar dengan posisi jongkok, sekum dan kolon asenden terletak di depan muskulus iliopsoas kanan dan kolon desenden dan sigmoid didepan muskulus iliopsoas kiri. Pada saat buang air besar dengan posisi jongkok, oleh karena reflek iliopsoas-abdominal menyebabkan muskulus iliopsoas dan otot otot abdomen bagian anterior secara bersamaan menekan sekum di sebelah kanan dan kolon desenden di sebelah kiri. Pada awalnya feses di dorong ke kolon asenden dan kemudian dialirkan oleh gerakkan peristaltik ke kolon transversum dan akhirnya feses didorong ke sigmoid dan rektum. Reflek iliopsoas-abdominal akan mencegah refluk feses dari sigmoid ke kolon desenden, yang akan menyebabkan buang air besar menjadi cepat, mudah dan lebih tuntas. Jadi reflek tersebut menolong untuk mencegah stagnasi feses yang merupakan faktor primer pada kejadian kanker kolon, inflamantory bowel disease, apendisitis, hernia, divertikulosis dan hemorrhoid (Jian LV, 2011). (Gambar 5)(Gambar 5 : Iliopsoas Abdominal Reflek ; The cecum is squeezed by iliopsoas and the anterior abdominal muscles and the inguinal canal is closed in squatting position)

Keuntungan buang air besar dengan posisi jongkok (Isbit J, 2001). :1. Defekasi menjadi lebih cepat, lebih mudah dan lebih lengkap. Hal ini mencegah stagnasi feses yang merupakan faktor utama penyebab kanker kolon, apendisitis dan inflamantory bowel disease.2. Melindungi katup ileocaecal, yang terletak diantara kolon dan usus halus. Pada buang air besar dengan posisi duduk, sering terjadi kebocoran pada katup ileocaecal, sehingga usus halus tercemari oleh feses.3. Relaksasi dari otot puborektalis yang normalnya menjerat rektum untuk mempertahankan kontinensi.4. Mencegah usaha mengejan yang berlebihan. Usaha mengejan yang berlebihan dan berlangsung kronis pada saat buang air besar dapat menyebabkan hernia, divertikulosis dan prolapnya organ pelvis.

3. Kerangka TeoriBAB Dengan Posisi Duduk

Tidak Terjadi Relaksasi Muskulus Puborektalis Yang Menjerat Rektum Di Sudut Anorektal

Usaha Mengejan Yang Berlebihan Saat BAB

Peningkatan Tekanan Intraabdomen

Hernia Inguinalis Lateralis

(Gambar 6 : Kerangka Teori)

4. Alur PenelitianPopulasi

Penyakit Bedah LainnyaHernia Inguinalis Lateralis

BAB Posisi DudukBAB Posisi JongkokBAB Posisi JongkokBAB Posisi Duduk

Analisis crosstab

Terdapat Hubungan Antara Posisi Duduk Saat BAB Dengan Kejadian Hernia Inguinalis Lateralis

(Gambar 7 : Kerangka Konsep Penelitian)5. Hipotesis PenelitianTerdapat hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis.

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

1. Desain PenelitianPenelitian ini termasuk penelitian analitik observasional dengan desain penelitian case control untuk mengetahui perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis. Desain penelitian case control adalah penyelidikan dengan membandingkan kelompok pasien yang menderita penyakit sebagai kelompok kasus dengan kelompok pasien tanpa penyakit sebagai kelompok kontrol (Armis, 2012). Dengan cara penelitian ini peneliti dapat menilai apakah terdapat hubungan antara posisi saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis. 2. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dan rumah sakit jejaring yang dilaksanakan pada bulan Januari Juli 2012.3. Populasi PenelitianPopulasi target adalah laki-laki berumur 40 tahun yang menderita hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis dan penyakit bedah lainnya. Populasi terjangkau adalah pasien laki-laki berumur 40 tahun penderita hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis dan penyakit bedah lainnya yang berobat di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dan rumah sakit jejaring pada bulan Mei-Juni 2012. 4. Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel PenelitianSampel penelitian adalah laki-laki berumur 40 tahun yang menderita hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis yang buang air besar dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk dan yang buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok sebagai kelompok kasus dan laki-laki berumur 40 tahun yang menderita penyakit bedah lainnya yang buang air besar dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk dan yang buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok sebagai kelompok kontrol.Kami mengambil sampel penelitian laki-laki berumur 40 tahun oleh karena berdasarkan literatur insiden hernia inguinalis lateralis tertinggi didapatkan pada laki-laki berumur 40-75 tahun (Ruhl CE et al., 2007). Pengambilan sampel penelitian dilakukan oleh peneliti dan residen bedah yang sedang bertugas di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dan rumah sakit jejaring yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012.Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi.Sebelum dilakukan pengambilan data dari sampel penelitian, peneliti menjelaskan maksud, tujuan, serta cara pelaksanaan penelitian kepada sampel penelitian kemudian meminta persetujuan dari sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi untuk diiikut sertakan dalam penelitian. 5. Besar Sampel PenelitianPada penelitian pendidikan direkomendasikan untuk penelitian cause-effect adalah 30 subyek (Armis, 2012). Dalam penelitian ini kami mengambil 60 sampel penelitian yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 30 sampel penelitian sebagai kelompok kasus dan 30 sampel penelitian sebagai kelompok kontrol.6. Kriteria Inklusi dan EksklusiKriteria inklusi :1. Laki-laki berumur 40 tahun.2. Menderita hernia inguinalis lateralis reponiblis maupun ireponibilis dan penyakit bedah lainnya.3. Buang air besar dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk dan buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok.4. Bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi :1. Pasien yang memiliki keluhan konstipasi.2. Pasien yang memiliki keluhan mengejan saat buang air kecil yang merupakan tanda adanya obstruksi leher vesika urinaria.3. Pasien yang memiliki berat badan berlebih atau obesitas. 4. Pasien yang memiliki riwayat batuk kronis.5. Pasien yang memiliki pekerjaan angkat berat.6. Pasien yang memiliki kebiasaan berolah raga sepak bola.7. Responden di luar kriteria inklusi.8. Apabila tidak bersedia mengikuti penelitian.

7. Persetujuan / Informed ConsentSemua sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan diminta persetujuan untuk diikut sertakan dalam penelitian setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu tentang maksud, tujuan, serta cara pelaksanaan penelitian.8. Cara Pengumpulan DataData yang digunakan adalah data primer. Data primer langsung diambil dari responden penelitian dengan mempergunakan kuesioner. Kuesioner adalah suatu metode pengumpulan data dengan daftar pertanyaan yang diajukan oleh suatu pihak dan diisi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah yang diteliti (responden).9. Etika PenelitianMendaftarkan usulan penelitian ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk mendapatkan surat Keterangan Kelaikan Etik. Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data pada sampel penelitian pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dengan cara sampel penelitian diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan.Oleh karena itu etika yang harus dijaga selama proses penelitian berlangsung antara lain:1. Peneliti memperkenalkan diri kepada pasien, menjelaskan maksud, tujuan, serta cara pelaksanaan penelitian kemudian dilakukan informed consent untuk dilakukan pengambilan data dengan cara sampel penelitian diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan.10. Alur Penelitian10.1. Tahap Persiapana. Penelitian dilakukan mulai JanuariJuli 2012 di RSUP Dr. Sardjito dan RS jejaring.b. Mempersiapkan kuesioner sebagai instrumen penelitian untuk pengambilan data-data yang diperlukan, kemudian disampaikan kepada pembimbing penelitian untuk didiskusikan dan dilakukan validitas oleh pembimbing penelitian sedangkan uji reliabilitas dan validitas tidak dilakukan.c. Mendaftarkan usulan penelitian ke Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk mendapatkan surat Keterangan Kelaikan Etik.10.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian.a. Pengambilan sampel penelitian dilakukan oleh peneliti dan residen bedah yang sedang bertugas di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dan rumah sakit jejaring yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012.b. Menjelaskan maksud, tujuan, serta cara pelaksanaan penelitian pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi.c. Meminta persetujuan pasien yang memenuhi kriteria inklusi untuk diikut sertakan dalam penelitian.d. Melakukan pengambilan data dengan cara meminta pasien yang memenuhi kriteria inklusi untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan.10.3. Tahap Analisa Dataa. Data yang diperoleh dianalisis deskriptif untuk menilai karakteristik subyek penelitian.b. Dilakukan analisis crosstab untuk memperoleh nilai proportion expose, risiko relatif, odds exposure dan rasio odds untuk membuktikan bahwa posisi duduk saat buang air besar merupakan salah satu faktor risiko kejadian hernia ingunalis lateralis.11. Variabel Penelitian Variabel bebas: posisi saat buang air besar. Variabel tergantung: hernia inguinalis lateralis.12. Batasan PenelitianHernia inguinalis lateralis adalah penonjolan sebagian atau seluruh viskus dari posisi normalnya melalui celah dimana viskus tersebut berada. Pada hernia inguinalis lateralis viskus memasuki kanalis inguinalis melalui cincin inguinal interna yang terletak lateral dari vasa epigastrika inferior dan berjalan sepanjang kanalis di depan korda (Marijata, 2006). Jika isi suatu hernia dapat tereduksi lagi masuk ke rongga abdomen dinamakan hernia inguinalis lateralis reponibilis dan jika tidak dapat tereduksi lagi masuk ke rongga abdomen dinamakan hernia inguinalis lateralis ireponibilis (Schwartz SI et al., 2000). Dalam penelitian ini tidak membedakan antara hernia inguinalis lateralis reponibilis dan hernia inguinalis ireponibilis.Penyakit bedah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kelainan sistem jaringan pada organ tubuh manusia yang diobati dengan cara pembedahan (Kamus Bahasa Indonesia online). Pada penelitian ini yang dimaksud penyakit bedah lainnya adalah penyakit bedah selain kasus hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis.Posisi duduk saat buang air besar adalah posisi tubuh saat buang air besar dengan fleksi sendi panggul dan sendi lutut membentuk sudut 90 seperti duduk di atas kursi dengan menggunakan kloset duduk (western toilets) (Wikipedia, 2012). Posisi jongkok saat buang air besar adalah posisi tubuh saat buang air besar dengan fleksi sendi panggul dan sendi lutut membentuk sudut yang tajam, bertumpu pada kedua telapak kaki dan pantat tidak menyentuh tanah dengan menggunakan kloset jongkok (Wikipedia, 2012).Kloset duduk adalah tempat buang air besar yang biasanya terbuat dari porselen yang dipasang di kamar kecil dan dipergunakan buang air besar dengan posisi duduk (Kamus Bahasa Indonesia online). Dalam penelitian ini tidak membedakan tinggi dari kloset duduk yang digunakan dimana ukuran standar dari kloset duduk adalah dengan ketinggian 41-42 cm (Sikirov D, 2003).Kloset jongkok adalah tempat buang air besar yang biasanya terbuat dari porselen yang dipasang di kamar kecil dan dipergunakan buang air besar dengan posisi jongkok (Kamus Bahasa Indonesia online). Buang air besar adalah suatu tindakan atau proses manusia untuk membuang kotoran atau feses yang padat, setengah padat atau cair yang berasal dari sistem pencernaan manusia melalui anus (Wikipedia, 2012).Konstipasi adalah terhambatnya defekasi dari kebiasaan defekasi normal. Pengertian ini dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses yang kurang, atau feses yang keras dan kering. Konstipasi kronis menurut kriteria Rome III untuk konstipasi adalah dalam 3 bulan terakhir pasien secara terus menerus mengalami dua atau lebih gejala-gejala berikut (Basson MD, 2011): Frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu. Pasien mengejan pada saat buang air besar. Konsistensi feses keras atau bergumpal-gumpal. Pasien merasakan kesulitan untuk mengeluarkan feses pada saat buang air besar (sensasi obstruksi anorektal). Perasaan buang air besar yang tidak tuntas. Dibutuhkan tindakan manual untuk membantu defekasi seperti melakukan evakuasi feses dengan cara mencungkil feses dengan jari.Batuk adalah reflek pertahanan tubuh di saluran pernafasan yang mempunyai fungsi untuk membersihkan sekret yang berlebihan dan debris dari jalan nafas. Batuk kronis adalah batuk yang berlangsung lebih dari 8 minggu (Chen HH, 2010). Obstruksi leher vesika urinaria adalah suatu kondisi dimana leher vesika urinaria gagal terbuka secara adekuat contohnya akibat dari pembesaran prostat pada laki-laki. Gejala-gejala yang ditimbulkan antara lain gejala-gejala penyimpanan (frekuensi, urgensi, nokturia dan inkontinensi) dan gejala-gejala pengosongan (pancaran miksi lemah, hesitansi dan rasa miksi tidak puas) (Nitti VW, 2005). Angkat berat adalah pekerjaan yang menggunakan kekuatan untuk mengangkat benda yang berat (Kamus Bahasa Indonesia online). Obesitas adalah akumulasi lemak yang berlebihan pada tubuh. Metode yang baik untuk menentukan obesitas adalah dengan menghitung Body Mass Index (BMI). Menurut WHO BMI orang normal adalah 18,5 24,9 kg/m2 , BMI kurang dari 18,5 kg/m2 dikatakan kurus sedangkan BMI lebih dari 25 kg/m2 disebut obesitas (Hamdy O, 2012).

BMI = Berat badan (Kg) / Tinggi badan 2 (M)

(Gambar 8 : Rumus BMI)Olah raga sepak bola adalah olah raga yang menggunakan bola yang dimainkan oleh 2 tim yang masing-masing tim beranggotakan 11 orang (Wkipedia, 2012). 13. Rencana Pengolahan dan Analisis DataData tentang subyek penelitian yang didapatkan dari pengisian kuesioner dianalisa deskriptif terlebih dahulu untuk menilai karakteristik subyek penelitian. Kemudian dilakukan analisis crosstab untuk memperoleh nilai proportion expose, risiko relatif, odds exposure dan rasio odds. Data yang diperoleh dimasukkan dan diolah dengan program SPSS versi 17,0 for Windows.

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil1.1. Distribusi Umur Responden PenelitianDistribusi umur responden penelitian pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 1.Tabel.1 : Distribusi umur responden penelitian Umur (Tahun)

Total

40-5051-6061-7071-8081-90

Kelompok Kasus1136.7%1033.3%930.0%0.0%0.0%30100.0%

Kelompok Kontrol1136.7%930.0%826.7%13.3%13.3%30100.0%

Total

2236.7%1931,7%1728,3%11,7%11,7%60100.0%

Dari 60 orang responden penelitian dengan kisaran umur 40 tahun sampai dengan 83 tahun dengan rata-rata umur 55,90 tahun didapatkan jumlah responden pada kelompok umur 40-50 tahun sebesar 36,7%, kelompok umur 51-60 tahun sebesar 31,7%, kelompok umur 61-70 tahun sebesar 28,3%, kelompok umur 71-80 tahun sebesar 1,7% dan kelompok umur 81-90 tahun sebesar 1,7%. Distribusi umur responden penelitian pada kelompok kasus kelompok umur 40-50 tahun sebesar 36,7%, kelompok umur 51-60 tahun sebesar 33,3%, kelompok umur 61-70 tahun sebesar 30,0%, kelompok umur 71-80 tahun sebesar 0% dan kelompok umur 81-90 tahun sebesar 0%. Distribusi umur responden penelitian pada kelompok kontrol kelompok umur 40-50 tahun sebesar 36,7%, kelompok umur 51-60 tahun sebesar 30,0%, kelompok umur 61-70 tahun sebesar 26,7%, kelompok umur 71-80 tahun sebesar 3,3% dan kelompok umur 81-90 tahun sebesar 3,3%.

(Gambar 9 : Distribusi Umur Responden Penelitian)1.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden PenelitianDistribusi tingkat pendidikan responden penelitian pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel.2 : Distribusi tingkat pendidikan responden penelitian Tingkat Pendidikan

Total

Tidak SekolahSDSLTPSLTAPT

Kelompok Kasus0.0%516.7%516.7%1550.0%516.7%30100.0%

Kelompok Kontrol310.0%516.7%26.7%1240.0%826.7%30100.0%

Total35.0%1016.7%711.7%2745.0%1321.7%60100.0%

Dari 60 orang responden penelitian didapatkan yang tidak bersekolah sebesar 5,0%, berpendidikan sampai dengan tingkat SD sebesar 16,7%, berpendidikan sampai dengan tingkat SLTP sebesar 11,7%, berpendidikan sampai dengan tingkat SLTA sebesar 45,0% dan yang berpendidikan sampai dengan tingkat perguruan tinggi sebesar 21,7%.Distribusi tingkat pendidikan responden penelitian pada kelompok kasus didapatkan yang tidak bersekolah sebesar 0%, berpendidikan sampai dengan tingkat SD sebesar 16,7%, berpendidikan sampai dengan tingkat SLTP sebesar 16,7%, berpendidikan sampai dengan tingkat SLTA sebesar 50,0% dan yang berpendidikan sampai dengan tingkat perguruan tinggi sebesar 16,7%.Distribusi tingkat pendidikan responden penelitian pada kelompok kontrol didapatkan yang tidak bersekolah sebesar 10,0%, berpendidikan sampai dengan tingkat SD sebesar 16,7%, berpendidikan sampai dengan tingkat SLTP sebesar 6,7%, berpendidikan sampai dengan tingkat SLTA sebesar 40,0% dan yang berpendidikan sampai dengan tingkat perguruan tinggi sebesar 26,7%.

(Gambar 10 : Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Penelitian)1.3. Distribusi Kasus Bedah Pada Kelompok Kasus dan Kelompok KontrolDistribusi kasus hernia inguinalis lateralis reponibilis dan hernia inguinalis lateralis ireponibilis pada kelompok kasus dapat dilihat pada tabel 3. Tabel.3 : Distribusi kasus hernia inguinalis lateralis pada kelompok kasusHernia Inguinalis Lateralis ReponibilisHernia Inguinalis Lateralis IreponibilisTotal

Kelompok Kasus27 90,0%%3 10,0%30 100%

Distribusi kasus hernia inguinalis lateralis reponibilis dan ireponibilis pada kelompok kasus dimana jumlah kasus hernia inguinalis lateralis reponibilis sebesar 90,0% dan jumlah kasus hernia inguinalis lateralis ireponibilis sebesar 10,0%.

(Gambar 11 : Distribusi Kasus Hernia Inguinalis Lateralis Pada Kelompok Kasus)Distribusi kasus bedah berdasarkan subbagian pada kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.Tabel.4:Distribusi kasus bedah berdasarkan subbagian pada kelompok kontrolBedahOnkologiBedahDigestifOrtopediUrologiBedah Toraks KardiovaskulerTotal

Kelompok Kontrol

12 40%1136,7%516,7%13,3%13,3%30 100%

Distribusi kasus bedah berdasarkan subbagian pada kelompok kontrol, jumlah kasus bedah onkologi sebesar 40%, bedah digestif sebesar 36,7%, ortopedi sebesar 16,7%, bedah urologi sebesar 3,3% dan bedah toraks kardiovaskuler sebesar 3,3%.

(Gambar 12: Distribusi Kasus Bedah Berdasarkan SubBagian Pada Kelompok Kasus)1.4. Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian Tentang Maksud Dari Kloset Duduk dan Kloset JongkokDistribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok pada kelompok kasus dan kontrol dapat dilhat pada tabel 5.Tabel.5 : Distribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok Pengetahuan Tetang Maksud Dari Kloset Duduk dan Kloset JongkokTotal

Tahu

Tidak Tahu

Kelompok Kasus30100.0%0.0%30100.0%

Kelompok Kontrol2996.7%13.3%30100.0%

Total

5998.3%11.7%60100.0%

Dari 60 orang responden penelitian yang mengetahui maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok sebesar 98,3% dan responden penelitian yang tidak mengetahui maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok sebesar 1,7%.Distribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok pada kelompok kasus yang mengetahui maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok sebesar 100% dan responden penelitian yang tidak mengetahui maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok sebesar 0%.Distribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok pada kelompok kontrol yang mengetahui maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok sebesar 96,7% dan responden penelitian yang tidak mengetahui maksud dari kloset duduk dan kloset jongkok sebesar 3,3%.

(Gambar 13 : Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian Tentang Maksud Dari Kloset Duduk dan Kolset Jongkok)1.5. Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian Tentang Maksud Dari Penyakit Hernia Inguinalis LateralisDistribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 6.Tabel.6 : Distribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralisPengetahuan Tentang Maksud Dari Hernia Inguinalis lateralis

Total

TahuTidak tahu

Kelompok Kasus30100.0%0.0%30100.0%

Kelompok Kontrol

1756.7%1343.3%30100.0%

Total

4778.3%1321.7%60100.0%

Dari 60 orang responden penelitian yang mengetahui tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis sebesar 78,3% dan responden penelitian yang tidak mengetahui tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis sebesar 21,7%.Distribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis pada kelompok kasus yang mengetahui tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis sebesar 100% dan responden penelitian yang tidak mengetahui tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis sebesar 0%.Distribusi pengetahuan responden penelitian tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis pada kelompok kontrol yang mengetahui tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis sebesar 56,7% dan responden penelitian yang tidak mengetahui tentang maksud dari penyakit hernia inguinalis lateralis sebesar 43,3%.

(Gambar. 14: Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian Tentang Maksud Dari Penyakit Hernia Inguinalis Lateralis)1.6. Distribusi Jenis Kloset Yang Digunakan Oleh Responden PenelitianJenis kloset yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kloset duduk dan kloset jongkok. Responden penelitian yang pada saat buang air besar dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk dan responden penelitian yang pada saat buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok. Distribusi jenis kloset yang digunakan oleh responden penelitian pada kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 7.Tabel.7 : Distribusi jenis kloset yang digunakan oleh responden penelitian Jenis Kloset

Total

Kloset Duduk

Kloset Jongkok

Kelompok Kasus1860.0%1240.0%30100.0%

Kelompok Kontrol

1240.0%1860.0%30100.0%

Total

3050.0%3050.0%60100.0%

Dari 60 orang responden penelitian yang menggunakan kloset duduk sebesar 50% dan responden penelitian yang menggunakan kloset jongkok sebesar 50%.Distribusi jenis kloset yang digunakan oleh responden penelitian pada kelompok kasus yang menggunakan kloset duduk sebesar 60% dan responden penelitian yang menggunakan kloset jongkok sebesar 40%.Distribusi jenis kloset yang digunakan oleh responden penelitian pada kelompok kontrol yang menggunakan kloset duduk sebesar 40% dan responden penelitian yang menggunakan kloset jongkok sebesar 60%.

(Gambar 15 : Distribusi Jenis Kloset Yang Digunakan Oleh Responden Penelitian)1.7. Distribusi Lama Penggunaan Kloset Oleh Responden PenelitianDistribusi lama penggunaan kloset duduk dan kloset jongkok oleh responden penelitian pada kelompok kasus dan kontrol dapat dilihat pada tabel 8 dan tabel 9.

Tabel.8 : Distribusi lama pengunaan kloset duduk dan jongkok pada kelompok kasusJenis KlosetLama Penggunaan Kloset ( Tahun )

Total

1 1011 -2021 3031-404150>50

Kloset Duduk422,2%738,9%527,8%00%15,6%15,6%18100%

Kloset Jongkok18,3%00%325%216,7%433,3%216,7%12100%

Total

516,7%723,3%826,7%26,7%516,7%310%30100%

Dari 30 orang responden penelitian pada kelompok kasus yang mempergunakan kloset duduk selama 1-10 tahun sebesar 22,2%, selama 11-20 tahun sebesar 38,9%, selama 21-30 tahun sebesar 27,8%, selama 31-40 tahun sebesar 0%, selama 41-50 tahun sebesar 5,6% dan selama lebih dari 50 tahun sebesar 5,6%. Sedangkan responden penelitian yang mempergunakan kloset jongkok selama 1-10 tahun sebesar 8,3%, selama 11-20 tahun sebesar 0%, selama 21-30 tahun sebesar 25%, selama 31-40 tahun sebesar 16,7%, selama 41-50 tahun sebesar 33,3% dan selama lebih dari 50 tahun sebesar 16,7%. (Gambar 16: Distribusi Lama Penggunaan Kloset Duduk dan Jongkok Pada Kelompok Kasus)Tabel.9 : Distribusi lama pengunaan kloset duduk dan jongkok pada kelompok kontrolJenis KlosetLama Penggunaan Kloset ( Tahun )

Total

1 1011 -2021 3031-404150>50

Kloset Duduk

325%650%18,3%18,3%00%18,3%12100%

Kloset Jongkok15,6%15,6%316,7%15,6%316,7%950%18100%

Total

413,3%723,3%413,3%26,7%310%1033,3%30100%

Dari 30 orang responden penelitian pada kelompok kontrol yang mempergunakan kloset duduk selama 1-10 tahun sebesar 25%, selama 11-20 tahun sebesar 50%, selama 21-30 tahun sebesar 8,3%, selama 31-40 tahun sebesar 8,3%, selama 41-50 tahun sebesar 0% dan selama lebih dari 50 tahun sebesar 8,3%. Sedangkan responden penelitian yang mempergunakan kloset jongkok selama 1-10 tahun sebesar 5,6%, selama 11-20 tahun sebesar 5,6%, selama 21-30 tahun sebesar 16,7%, selama 31-40 tahun sebesar 5,6%, selama 41-50 tahun sebesar 16,7% dan selama lebih dari 50 tahun sebesar 50%.

(Gambar 17 : Distribusi Lama Penggunaan Kloset Duduk dan Jongkok Pada Kelompok Kontrol)1.8. Analisis Crosstab Kemudian dilakukan analisis crosstab untuk memperoleh nilai proportion expose, risiko relatif, odds exposure dan rasio odds sehingga dapat dibuktikan bahwa posisi duduk saat buang air besar merupakan salah satu faktor risiko kejadian hernia ingunalis lateralis. Tabel. 10 : CrosstabulationPosisi Saat BAB

Kelompok KasusKelompok KontrolTotal

Duduk1812

30

Jongkok12

18

30

Total30

30

60

1. Pada pengukuran proporsi penggunaan kloset duduk (proportion expose) pada kelompok kasus dan kelompok kontrol didapatkan hasil :a. Pada kelompok kasus :A / (A+C) = 18 / (18+12) = 18 / 30 = 0,6b. Pada kelompok kontrol :B / (B+D) = 12/ (12+18) = 12 / 30 = 0,4Dari hasil perhitungan proportion expose dapat disimpulkan bahwa proportion expose pada kelompok kasus lebih besar dari pada kelompok kontrol.2. Pada pengukuran risiko relatif (RR) yaitu pengukuran antara penyakit atau kondisi dan faktor yang diteliti (Armis, 2012), didapatkan hasil :RR = A / (A+B) : C / (C+D) = 18 / (18+12) : 12 / (12+18) = 0,6 : 0,4= 1,5Insidensi posisi duduk saat buang air besar lebih besar daripada insidensi posisi jongkok saat buang air besar. Dari pengukuran risiko relatif dapat disimpulkan bahwa posisi duduk saat buang air besar merupakan faktor risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis (RR = 1,5 >1). Tabel. 11 : Risk EstimateValue95% Confidence Interval

LowerUpper

Rasio odds untuk posisi BAB (duduk/jongkok)N of Valid Cases2.250

600.8016.321

3. Odds exposure yang artinya pengukuran antara kekuatan potensi risiko pada kelompok kasus dan pada kelompok kontrol (Armis, 2012). a. Odds exposure pada kelompok kasus :Odds exposure = A/C = 18/12 = 1,5b. Odds exposure pada kelompok kontrol :

Odds exposure = B/C = 12/18 = 0,67

4. Dari analisis risk estimate didapatkan hasil nilai OR sebesar 2,250 yang berarti bahwa posisi duduk saat buang air besar memberikan risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis sebesar 2,250 kali lebih besar dari pada buang air besar dengan posisi jongkok.

2. PembahasanPenelitian ini dilakukan oleh karena berdasarkan literatur yang ada bahwa posisi duduk saat buang air besar akan menyebabkan buang air besar menjadi sulit, tidak tuntas dan menyebabkan mengejan pada saat buang air besar. Posisi duduk saat buang air besar dilaporkan menjadi sumber beberapa masalah kesehatan seperti kanker kolon, apendisitis, inflamantory bowel disease, hernia dan divertikulosis (Jian LV, 2011). Hasil penelitian ini dapat dijelaskan berdasarkan anatomi dan fisiologi yang terjadi pada manusia yaitu sudut anorektal yang menjadi lebih besar pada saat buang air besar dengan posisi jongkok dibandingkan dengan buang air besar dengan posisi duduk (Singh A, 2007. Tanjung FA, 2011).Pada penelitian yang dilakukan oleh Sakakibara et al., (2010) dengan menggunakan video manometri untuk mengukur tekanan intraabdomen dan besar sudut anorektal yang dibentuk pada tiga posisi saat buang air besar yaitu duduk dengan fleksi sendi panggul 60, posisi duduk yang normal dan posisi jongkok. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa buang air besar dengan posisi jongkok menghasilkan tekanan intraabdomen yang lebih kecil dan besar sudut anorektal yang lebih besar dari pada buang air besar dengan posisi duduk yang normal maupun posisi duduk dengan fleksi panggul 60 (Sakakibara R et al., 2010).Pada penelitian yang dilakukan oleh Sikirov (2003) untuk menilai waktu yang dibutuhkan untuk buang air besar dan kesulitan saat buang air besar yang dialami oleh respon penelitian berdasarkan pada posisi saat buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok dan dengan posisi duduk menggunakan kloset duduk dengan ketinggian 41-42 cm dan 31-32 cm menunjukkan bahwa waktu yang paling cepat dibutuhkan untuk buang air besar dan jumlah responden yang paling sedikit mengalami kesulitan pada saat buang air besar ditemukan pada responden yang buang air besar dengan posisi jongkok menggunakan kloset jongkok (Sikirov D, 2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Saeed Rad (2002) yang membandingkan hasil foto x-ray barium enema pada saat buang air besar dengan posisi jongkok dan pada saat buang air besar dengan posisi duduk menunjukkan bahwa besar sudut anorektal yang dibentuk paling besar ditemukan pada saat buang air besar dengan posisi jongkok sehingga menghasilkan jalur evakuasi feses yang lancar dan mengurangi usaha mengejan yang berlebihan pada saat buang air besar (Rad S, 2002). Posisi duduk pada saat buang air besar akan menghasilkan tekanan intraabdomen yang lebih besar dari pada buang air besar dengan posisi jongkok dan peningkatan tekanan intraabdomen sudah lama dicurigai mempunyai peran dalam patogenesis dari hernia (Ruhl CE et al., 2007). Semua hernia dapat terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan (Marijata, 2006). Buang air besar dengan posisi jongkok juga mempunyai kelemahan dimana posisi jongkok akan menyebabkan arteri arteri anggota tubuh bagian bawah tertekuk. Arteri femoralis akan tertekuk di daerah lipat paha dan arteri poplitea akan tertekuk di daerah lutut yang akan mengakibatkan pengurangan atau penghentian total aliran darah ke tungkai meskipun hanya untuk sementara waktu. Hal ini menyebabkan iskemia pada tungkai dan memberikan gejala parestesia. Pada orang sehat dalam posisi jongkok aliran darah akan dialirkan melalui pembuluh darah-pembuluh darah kolateral yang berada di daerah panggul dan lutut. Setelah kembali ke posisi normal aliran darah kembali normal dan tidak terjadi kerusakan jaringan akibat iskemia. Hal tersebut tidak terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer dimana pada posisi jongkok akan menyebabkan penghentian total aliran darah ke tungkai akibat tertekuknya arteri femoralis dan arteri poplitea dan pembuluh darah-pembuluh darah kolateral tidak dapat secara maksimal mengalirkan darah ke tungkai sehingga akan menyebabkan kerusakan jaringan akibat iskemia (Shetty BR et al., 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Shetty BR dan Kumar M (2011) untuk mempelajari efek dari posisi jongkok dengan membandingkan pasien dengan penyakit arteri pada tungkai bawah dibandingkan dengan orang sehat. Pada penelitian ini pasien dengan penyakit arteri pada tungkai bawah mengalami parestesia setelah jongkok selama 2 menit dan mengeluh nyeri setelah jongkok selama 6 menit. Sedangkan pada orang sehat gejala parestesia baru timbul setelah jongkok selama 20 menit. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa posisi jongkok dapat memperburuk keadaan pasien dengan penyakit arteri pada tungkai bawah. Sehingga pada pasien dengan penyakit arteri pada tungkai bawah disarankan untuk menghidari posisi jongkok (Shetty BR et al., 2011). Dari hasil analisis crosstab didapatkan nilai risiko relatif sebesar 1,5 dan nilai rasio odds sebesar 2,250 yang berarti bahwa posisi duduk saat buang air besar merupakan faktor risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis (RR = 1,5 >1) dan posisi duduk saat buang air besar memberikan risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis sebesar 2,250 kali lebih besar dari pada buang air besar dengan posisi jongkok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis.Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur yang ada bahwa posisi duduk saat buang air besar dilaporkan menjadi sumber masalah kesehatan salah satunya adalah penyakit hernia.Penelitian ini menggunakan desain penelitian case control yang memiliki keuntungan penelitian ini lebih cepat, dapat dengan jumlah sampel yang sedikit, sensitif, dapat menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis dan konsisten (Armis, 2012). Kelemahan pada penelitian ini mungkin terdapat bias dalam pengisian kuesioner oleh responden penelitian oleh karena informasi data dari subyek / sampel tidak komplit akibat terbatasnya kemampuan mengingat kembali past history (Armis, 2012), penelitian ini tidak dilakukan pada komunitas mayarakat yang besar tapi hanya dilakukan pada komunitas yang kecil yaitu pasien di rumah sakit yang menderita hernia inguinalis lateralis dan penyakit bedah lainnya, pada populasi penelitian sebanyak 33,4% sampel penelitian berpendidikan tidak sampai dengan SLTA yang kemungkinan mendapat kesulitan dalam mengerti bahasa pada pertanyaan dalam kuesioner penelitian dan tidak dilakukan uji reabilitas dan validitas pada kuesioner penelitian.

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN1. KesimpulanDari hasil analisis crosstab dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan kejadian hernia inguinalis lateralis. Posisi duduk saat buang air besar merupakan faktor risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis (RR = 1,5 >1) dan posisi duduk saat buang air besar memberikan risiko terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis sebesar 2,250 kali lebih besar dari pada buang air besar dengan posisi jongkok. 2. SaranMasih diperlukan penelitian lebih lanjut yang mencakup semua aspek dalam menentukan hubungan posisi duduk saat buang air besar dibandingkan dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis dengan jumlah sampel yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Armis (2012). Metodologi Penelitian Pembedahan dan Ortopedi. Unit Pelayanan Percetakan FK UGM. Yogyakarta 2. Aram FO, Banafa NS (2009). Risks Factors of Hernia in Hadramout Yemen (Tesis). Department of Surgery College of Medicine, Hadramout University 3. Basson MD (2011). Constipation. http://emedicine.medscape.com/article/184704-overview 4. Chen HH (2010). Chronic Cough. http://emedicine.medscape.com/article/1048560-overview5. Hamdy O (2012). Obesity. http://emedicine.medscape.com/article/1048560-overview 6. Isbit J (2001). Health Benefit of the Natural Squatting Position. Nature's Platform. http://naturesplatfrom.com/health_benefit.html7. Jian LV (2011). Re-recognizing the Pathogenesis of Inguinal Hernias. Med Hypoth 76 : 403-68. Joesting DR (2002). Diagnosis and Treatment of Sportsman's Hernia. Curr Sports Med Rep 1(2) : 121-49. Kamus Bahasa Indonesia online. Available from : URL : http://www.KamusBahasaIndonesia.org10. Marijata (2006). Pengantar Bedah Dasar Klinis. Unit Pelayanan Kampus, FK UGM. Yogyakarta 11. Moore KL, Agur AMR (2002). Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta 12. Nitti VW (2005). Primary Bladder Neck Obstruction in Men and Women. Pub Med 7(Suppl 8) : S12-S1713. Norton JA, Bolingger RR, Chang AE, Lawry SF, Sean J, Mulvihill, et al (2001). Surgery Basic Science and Clinical Evidence. Springer. New York14. Rad S (2002). Impact of Ethnic Habits on Defecographic Measurements (Tesis). Department of Radiology, Tabriz University of Medical Sciences, Tabriz, Iran15. Ruhl CE, Everhart JE (2007). Risk Factors for Inguinal Hernia among Adults in the US Population. Am. J. Epidemiol 165 (10) : 1154-6116. Sakakibara R, Tsunoyama K, Hosoi H, Takahashi O, Sugiyama M, Kishi M, et al (2010). Influence of Body Position on Defecation in Humans. LUTS 2010 2 : 16 2117. Schwartz SI, Shires TS, Spencer FC, Husser WC (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah (Terjemahan). EGC. Jakarta 18. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC (1999). Principle of Surgery, Ed 7th. McGraw-Hill. Singapore19. Shetty BR, Kumar M (2011). A Pilot Study On Effect of Squatting On Lower Limb Peripheral Vascular Disease. The Internet Journal of Health ISSN : 1528-831520. Singh A (2007). Do We Really Need to Shift to Pedestal Type of Latrines in India ?. Ind J Com Med 32 : 243-4421. Sikirov BA (1989). Primary Constipation: An Underlying Mechanisme. Med hypoth 28 : 71-322. Sikirov D (2003). Comparison of Straining during Defecation in Three Positions. Dig Dis Sci 48 : 1201-523. Sjamsuhidajat dan de Jong W (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta 24. Tanjung FA (2011). Hubungan Posisi Saat Buang Air Besar Dengan Kejadian Konstipasi Fungsional Pada Anak (Tesis). FK USU25. Wikipedia (2012). Human Defecation Postures. http://en.wikipedia.org/wiki/Human_defecation_postures26. Wikipedia (2012). Buang Air Besar. http://id.wikipedia.org/wiki/Buang_air_besar 27. Wkipedia (2012). Sepak Bola. http://id.wikipedia.org/wiki/Sepak_bola 28. Wilkerson R, DO (2010). Sports Hernia (Athletic Pubalgia). http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00573 29. Zinner MJ, Ashley SW (2001). Maingot's Abdominal Operation, Ed 10th. McGraw-Hill. Singapore

Lampiran

INFORMASI UNTUK SUBYEK PENELITIANPerbandingan Antara Hubungan Posisi Duduk Saat Buang Air Besar Dengan Posisi Jongkok Saat Buang Air Besar Terhadap Kejadian Hernia Inguinalis Lateralis

Kami dari bagian bedah FK. UGM RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta akan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan hubungan antara posisi duduk saat buang air besar dengan posisi jongkok saat buang air besar terhadap kejadian hernia inguinalis lateralis.Saudara yang didiagnosa dengan hernia inguinalis lateralis reponibilis maupun ireponibilis dan penyakit bedah lainnya, kami mengundang saudara untuk ikut serta dalam penelitian ini.Akan tetapi saudara harus memenuhi beberapa persyaratan berikut sebelum dapat ikut se