Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SPESIESME DALAM KASUS ELIMINASI ANJING DI BALI
Tinjauan Etis Utilitarianisme Peter Singer
Della Edelia Lisdiyati
Departemen Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia.
Email: [email protected]
Abstrak
Eliminasi hewan dengan cara yang membuat hewan merasakan sakit berkepanjangan merupakan suatu tindakan
yang salah. Cara eliminasi tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman manusia bahwa hewan juga merupakan
makhluk sentient, sama seperti manusia. Makhluk sentient adalah makhluk yang dapat merasakan sakit. Penelitian
ini menolak cara eliminasi anjing di Bali menggunakan prinsip moral utilitarianisme menurut Peter Singer. Prinsip
utilitarianisme Singer membasiskan kesetaraan antara manusia dengan hewan berdasarkan kepentingan (interest).
Singer mengatakan bahwa tolok ukur paling mendasar untuk kesataraan antara manusia dan hewan adalah
kemampuan rasa sakit. Sesuatu yang benar bagi kaum utilitarian adalah yang dapat memaksimalkan kebahagiaan
(pleasure) dan meminimalkan rasa sakit (pain). Jika anjing-anjing di Bali dieliminasi dengan cara yang dapat
menyebabkan rasa sakit yang berkepanjangan, berarti tindakan tersebut dapat digolongkan ke dalam tindakan
speciesist.
SPECIESM IN CASE OF DOGS ELIMINATION IN BALI
An Ethichal Observation of Peter Singer’s Utilitarianism
Animal elimination by making animals painful endlessly is a bad action. That way of elimination occurs because
people do not fully understand that animals are also sentient creatures, just like people. Sentient creatures are
creatures which can feel pain. This script rejects dogs elimination in Bali by using principle of utilitarianism
morality according to Peter Singer. The principle of utilitarianism basically discusses equal consideration between
human being and animals based on interest. Singer said that the most basic benchmark for equal consideration
between human being and animals is capability of feeling pain. Something right to do for utilitarians is maximize
happiness (pleasure) and minimize pain. If dogs elimination in Bali is done by painful ways, the ways can be
categorized into sppeciesist acts.
Keywords: animal welfare, elimination, interest, sentient, utilitarianism.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, Pulau Bali termasuk ke dalam 24 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus
rabies dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tinggi. Gede Wira menjelaskan bahwa pada
tahun 2013 hingga April 2014 per bulan di Kota Denpasar terdapat sebanyak 521 kasus gigitan
anjing, Kabupaten Badung sebanyak 720 kasus, Gianyar sebanyak 562 kasus, Buleleng 460
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
kasus, Tabanan 450 kasus, Karangasem 359 kasus, Bangli 283 kasus, Klungkung 216 kasus, dan
Jembrana 191 kasus. "Jumlah kasus gigitan anjing yang paling tinggi terdapat di Kabupaten
Badung sebanyak 720 kasus," ujarnya.1
Hal ini mengundang banyak pihak untuk angkat bicara. Ada beberapa hal yang menjadi
faktor penyebab belum berhasilnya pembasmian rabies di Bali.
tingginya populasi anjing yang sebagian besar diliarkan.
tidak adanya data populasi anjing yang valid di Bali.
lemahnya pengawasan masuk/keluar anjing di Bali.
terlambatnya penanganan dan perawatan pasca gigitan anjing yang terjangkit rabies.
tidak tersedianya vaksin rabies dalam memenuhi kebutuhan.
penanda anjing yang telah diberi vaksin tidak jelas.
Lama kekebalan vaksinasi pertama hanya berlangsung selama 4-6 bulan.
Tidak adanya satuan kerja dan ahli dalam pelaksanaan penanggulangan rabies.
Tidak adanya evaluasi dan monitoring terhadap semua pemberantasan rabies di Bali.
Dinas Peternakan juga dikabarkan akan membantai dan membunuh anjing yang
berkeliaran hanya demi pencitraan karena Bali akan menjadi tuan rumah dilaksanakannya Asia-
Pacific Economic Cooperation (APEC). Di salah satu media cetak di Bali, Kepala Dinas
Peternakan Bali mengatakan: “Jangan karena ada anjing yang berkeliaran atau ada yang digigit,
menjadikan kesan yang tidak baik untuk Bali.” Hal ini menimbulkan banyaknya protes dari
berbagai pihak sampai akhinya petisi untuk menolak hal tersebut.2
Penulis melihat kasus eliminasi anjing ini sebagai tindakan keji karena anjing-anjing
tersebut dieliminasi hanya karena Bali akan dijadikan sebagai tuan rumah APEC. Di samping itu,
eliminasi anjing-anjing tersebut bukanlah jalan keluar untuk menanggulangi angka rabies yang
sangat tinggi. Dinas Peternakan Bali sudah seharusnya memberi anggaran yang lebih besar untuk
hal ini.
Dalam ranah filosofis, adanya anggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling
tinggi derajatnya merupakan cara pandang antroposentris. Anggapan tersebut menjadi dalih
1 Jumlah Kasus Gigitan Anjing di Bali Meningkat Drastis, diunduh dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/05/10/n5cbxu-jumlah-kasus-gigitan-anjing-di-bali-meningkat-drastis, 2 Juni 2014. 2 Diunduh dari https://www.change.org/petitions/gubernur-bali-dinas-peternakan-untuk-menghentikan-eliminasi-
massal-yang-berkedok-penanggulangan-rabies-secara-tidak-manusiawi-mulai-bekerjasama-dengan-organisasi-organisasi-yang-peduli-pada-binatang, 2 Maret 2014.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
manusia untuk mendiskriminasi hewan. Hewan dianggap hanya sebagai pemenuh kebutuhan
manusia saja. Padahal, hewan juga merupakan makhluk yang memiliki kepentingan (interest)
yang sama seperti manusia.
Dalam kasus eliminasi anjing yang terjadi di Bali ini, penulis melihat adanya problem etis
yang saling berbenturan antara kepentingan manusia dengan kepentingan hewan (dalam hal ini
adalah anjing). Manusia memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kesehatan dan jauh dari
penyakit rabies, sedangkan hewan memiliki kepentingan untuk hidup tanpa rasa sakit dan tanpa
ancaman. Kedua kepentingan tersebut merupakan kepentingan yang sama-sama harus
dipertimbangkan. Akan tetapi, dalam mengambil keputusan untuk menanggulangi rabies dengan
cara mengeliminasi, pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan manusia, tanpa
mempertimbangkan kepentingan hewan. Anggapan ini terlihat dari cara mengeliminasi, yaitu
dengan cara ditulup, diracun, dan dipukuli sehingga anjing-anjing tersebut harus merasakan
penderitaan terlebih dahulu sebelum akhirnya meninggal.
Rumusan Masalah
Demikian pemaparan tentang permasalahan yang terjadi mengenai rabies yang terjadi di
Bali. Di sini akan dijelaskan mengenai pembatasan atau perumusan masalah yang akan dibahas
berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Penelitian ini akan membahas perlakuan Pemerintah Provinsi Bali atau dalam hal ini adalah
Dinas Peternakan Bali yang dengan kejinya memberantas anjing-anjing rabies di Bali. Mereka
mengeliminasi anjing-anjing dengan sangat keji. Yang dimaksud dengan tindakan keji di sini
adalah adanya indikasi tindak kekerasan terhadap anjing-anjing yang terkena rabies ini. Mereka
memukuli anjing-anjing tersebut sampai sekarat lalu dibiarkan mati. Tidak sedikit dari anjing-
anjing tersebut yang tidak langsung mati saat dieliminasi sehingga harus merasakan penderitaan
yang lebih lama. Padahal, anjing-anjing tersebut juga dapat merasakan sakit sama halnya dengan
manusia. Lalu, apakah tindakan eliminasi ini etis bila dilakukan terhadap hewan?
Tujuan Penelitian
Tujuan ditulisnya penelitian ini adalah untuk:
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan permasalahan spesiesme yang terjadi pada
kasus eliminasi anjing-anjing yang berpotensi rabies di Bali.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
Penelitian ini bertujuan untuk memperkecil atau bahkan menghentikan adanya diskriminasi
spesies yang sering kali terjadi di sekitar kita. Melalui penelitian ini, diharapkan bahwa
penjelasan tentang kekerasan terhadap hewan merupakan suatu contoh permasalahan
spesiesme dapat memberikan pemahaman bahwa hal tersebut salah dan tidak etis. Hewan
memang tidak dapat berbicara layaknya manusia, namun yang perlu ditekankan adalah
bahwa hewan juga makhluk yang setara dengan manusia karena hewan juga dapat
merasakan sakit seperti halnya manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya manusia yang
mempunyai hati nurani, lebih peduli terhadap hewan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkritik spesiesme menggunakan prinsip moral dan
utilitarianisme.
Tinjauan Teoritis
Teori yang akan digunakan untuk membantu memperkuat pernyataan tesis adalah
pemikiran Peter Singer. Singer adalah filsuf dari Australia. Ia juga pengajar di Princeton
University dan juga seorang professor di University of Melbourne. Singer adalah seorang filsuf
utilitarian. Teori Singer yang akan dijadikan landasan teori dalam penelitian ini adalah tentang
The basic principle of equality dan tentang Animal liberation sebagai teori penunjang utama.
Teori principle of equal consideration of interests ini menggaungkan kesetaraan pertimbangan
atas kepentingan atau kepentingan antara human dan non-human. Singer mengatakan bahwa
kesetaraan tidak dapat didasari secara keseluruhan karena setiap makhluk terlahir dengan
karakteristik yang beraneka ragam.
Utilitarianisme merupakan prinsip yang meninjau penilaian baik dan buruk yang
dihasilkan oleh putusan etis yang diambil secara menyeluruh. Prinsip ini mempertimbangkan
seluruh kepentingan yang terkena pengaruh putusan etis tersebut. Pertimbangan ini ditinjau dari
sikap moral manusia terhadap hewan harus ditentukan oleh kapabilitas merasakan sakit, bukan
dilihat dari ciri-ciri fisik atau kapabilitas bernalar.
Anti-spesiesme adalah sikap yang membela kepentingan dan kelangsungan semua spesies
di bumi ini karena mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan perhatian dan
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
perlindungan yang sama seperti spesies manusia.3
Anti-spesiesme berprinsip bahwa kepentingan
setiap makhluk hidup harus diperhitungkan dan diberi bobot yang sama seperti halnya
kepentingan dari makhluk hidup lain. Hewan juga mempunyai kepentingan yang sama dengan
manusia untuk tidak disakiti karena sama-sama dapat merasakan sakit.
Singer membasiskan teorinya mengenai prinsip moral kesetaraan pada pertimbangan
mengenai kepentingan. Perlakuan yang sama dalam hubungan antara manusia dengan hewan
didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia dengan hewan memiliki kepentingan yang sama.
Oleh karena itu, Kesetaraan tidak dilihat dari perbedaan kapasitas moral, intelektual, fisik,
kecakapan berkomunikasi, dan sebagainya. “Fakta bahwa orang yang bukan termasuk dalam
ras kita bukan berarti kita dapat mengeksploitasi mereka, dan fakta bahwa orang-orang yang
kurang cerdas dibandingkan yang lainnya bukan berarti juga kepentingan mereka dapat
diabaikan.”4
Perbedaan yang terlihat nyata, bukanlah tolok ukur untuk menilai apakah makhluk-
makhluk yang berbeda ini setara atau tidak. Penilaian kesetaraan juga tidak hanya berlaku bagi
manusia dengan manusia saja, melainkan hewan juga harus diikutsertakan dalam penilaian
kesetaraan ini.
Singer menganggap bahwa terdapat suatu karakteristik yang dapat dijadikan sebagai
tolok ukur kesetaraan dalam masing-masing spesies. Khususnya manusia dengan hewan.
Manusia dan hewan merupakan makhluk sentient, yaitu makhluk yang sama-sama dapat
merasakan sakit dan memiliki kesadaran.
Kesetaraan merupakan konsep moral dan bukan sebuah pembelaan mengenai fakta. Kita
tidak dapat mengatakan bahwa perbedaan fisik antara dua makhluk dapat menentukan perbedaan
jumlah pertimbangan yang diberikan atas kebutuhan kepentingan masing-masing. Manusia dan
hewan sama-sama makhluk sentient, yaitu makhluk yang sama-sama dapat merasakan sakit. Hal
inilah yang dijadikan tolok ukur prinsip pertimbangan. Manusia juga tidak boleh melakukan
kekerasan terhadap hewan karena menganggap kapasitas mental hewan yang lebih rendah
daripada manusia. Hal ini karena Singer mengatakan bahwa masalah kesetaraan bukanlah
permasalahan apakah hewan tersebut mempunyai rasio atau apakah hewan dapat berbicara,
melainkan apakah hewan dapat merasakan sakit.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa manusia dan hewan adalah makhluk yang
3 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, 2002, Jakarta: Kompas., hal. 68.
4 Peter Singer, Practical Ethics, 2011, New York: Cambridge University Press., hal. 67.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
setara karena sama-sama makhluk sentient, maka dari itu, permasalahan kekerasan terhadap
hewan adalah suatu contoh tindakan spesiesme. Ketika hewan tersebut disakiti atau dieliminasi
maka kepentingan hewan untuk tidak merasakan sakit tidak dipertimbangkan. Prinsip bahwa
hewan juga dapat merasakan sakit sudah dapat digunakan untuk menjadi standar pertimbangan
kepentingan makhluk dari spesies lain. Manusia tidak dapat menggunakan kecerdasan intelektual
atau rasionalitas yang memang dimiliki manusia untuk membela perlakuan kekerasan terhadap
hewan. Jika hal itu digunakan, maka akan menimbulkan adanya diskriminasi spesies karena tak
dapat dipungkiri bahwa manusia yang memiliki hal-hal tersebut. Membuat justifikasi terhadap
penilaian etis harus dipertimbangkan dahulu kepentingan dari makhluk-makhluk yang terlibat.
Seseorang perlu menimbangnya sebagai kepentingan, bukan sebagai keinginan yang bersifat
pribadi.
Lalu bagaimana kita dapat membuktikan bahwa hewan juga dapat merasakan sakit
seperti halnya manusia? Hewan memang tidak dapat berkomunikasi seperti halnya manusia,
namun ia dapat mengisyaratkan bahwa ia merasakan sakit. Hal ini sama halnya dengan cara bayi
yang belum bisa berbicara. Bayi memberitahu bahwa ia merasakan sakit dengan cara menangis.
Begitu juga dengan hewan, ia mengisyaratkan bahwa ia sedang merasakan sakit dengan cara
merintih-rintih menyuarakan bunyinya atau bahkan sampai berontak dan meronta-ronta.
Inti pemikiran Singer adalah tentang konsistensi moral. Pertimbangan moral harus
bersifat konsisten berlaku bagi semua yang mempunyai kepentingan sama. Manusia dengan
hewan memang berbeda dalam hal emosional dan intelektual. akan tetapi pertimbangan harus
dilakukan secara setara karena hewan dan manusia sama-sama makhluk yang dapat merasakan
sakit dan nikmat hal ini sama dengan manusia yang memiliki cacat mental atau bayi yang belum
dapat berpikir dan belum dapat berbicara namun bukan berarti dia tidak berhak mendapatkan
perlakuan etis dari manusia.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Kasus yang digunakan
adalah kasus eliminasi anjing yang terjadi di Bali Dalam kasus tersebut sangat terlihat adanya
spesiesme. Kasus ini akan dianalisis secara kritis reflektif dengan menggunakan teori Peter
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
Singer mengenai kesetaraan pertimbangan. Selain itu, digunakan juga metode literatur untuk
mendapatkan sumber-sumber yang valid mengenai data rabies yang terjadi di Bali. Terdapat juga
metode kepustakaan untuk mendapatkan beberapa sumber yang akan menunjang penulisan
penelitian ini. Buku utama yang akan digunakan adalah buku Animal Liberation dan Practical
Ethics yang ditulis oleh Peter Singer.
Hasil Penelitian
Kasus eliminasi anjing di Bali dengan cara yang kejam sebagai suatu tindakan speciesist dan
tidak etis menurut analisis utilitarianisme Peter Singer.
Pembahasan
Gugatan terhadap Cara Eliminasi Anjing di Bali
Kesetaraan untuk hewan awalnya merupakan suatu parodi yang digunakan dalam kasus
kesetaraan perempuan. Spesiesme juga dianalogikan sebagai seksisme dan rasisme. Mengapa
seksisme dan rasisme dianggap salah? Perkumpulan inegaliter sering mengatakan bahwa mau
tidak mau kita harus berhadapan dengan hal-hal yang jelas terlihat perbedaannya, seperti
perbedaan kapasitas moral, perbedaan kapasitas intelektual, perbedaan sensitifitas terhadap rasa
memerlukan orang lain, perbedaan keefektifan berkomunikasi, dan perbedaan kapasitas
merasakan kesenangan dan kesakitan. Oleh karena itu, kita tidak dapat menuntut kesataraan yang
didasarkan pada perbedaan yang sebenarnya pada manusia. Perbedaan ini yang nantinya harus
memunculkan perbedaan hak yang mereka miliki.
Perluasan prinsip dasar kesetaraan dari untuk satu kelompok tidak menyiratkan bahwa
kita harus memperlakukan kelompok lain dengan cara yang persis sama, melainkan memberi
pertimbangan secara adil. Singer mengatakan bahwa: “The basic principle of equality does not
require equal or identical treatment, it requires equal consideration.”5 Hal ini berarti
kepentingan setiap makhluk terpengaruh oleh tindakan yang harus diperhitungkan dan diberikan
5 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York; HarperCollins Publisher Inc., hal. 2.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
bobot yang sama dengan makhluk lainnya. Bentham berpendapat bahwa kapasitas penderitaan
merupakan karakter vital yang memberikan hak makhluk dalam kesetaraan pertimbangan.
Anggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang lebih tinggi dari pada makhluk
lainnya merupakan alasan yang digunakan atas dominasi manusia terhadap hewan. Hal ini
berujung kepada tindakan-tindakan yang menjadikan hewan sebagai pemenuh dan pemuas
keinginan manusia. Terdapat pemisah antara manusia dengan hewan terutama pada peradaban
Barat yakni pengisahan penciptaan Ilahi. Dalam kisah penciptaan Ilahi diceritakan bahwa
manusia diciptakan oleh Allah dari jiwa yang abadi.
Peter Singer mengkritik anggapan ini dengan memberikan argumen-argumen filosofis
mengenai kesetaraan antara manusia dengan hewan. Singer menjelaskan bahwa manusia dan
hewan merupakan makhluk yang setara sebagai makhluk yang sama-sama dapat merasakan
sakit. Dominasi manusia terhadap hewan merupakan suatu tindakan yang harus dikritik. Untuk
menghentikan tirani terhadap hewan, manusia harus bersikap egaliter terhadap hewan sebagai
makhluk yang sama-sama memiliki kepentingan dalam merasakan sakit. Manusia juga harus
mempertimbangkan kepentingan hewan dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menentukan karaktel vital yang digunakan untuk basis dasar kesetaraan
pertimbangan makhluk, Bentham mengatakan:
“The day may come when the rest of the animal creation may acquire those rights which
never could have been with holden from them but by the hand of tyranny. The French
have already discovered that the blackness of the skin is no reason why a human being
should be abandoned without redress to the caprice of a tormentor. It may one day come
to be recognized that the number of the legs, the villosity of the skin, or the termination of
the os sacrum are reasons equally insufficient for abandoning a sensitive being to the
same fate. What else is it that should trace the insuperable line? Is it the faculty of
reason, or perhaps the faculty of discourse? But a full-grown horse or dog is beyond
comparison a more rational, as well as a more conversable animal, than an infant of a
day or a week or even a month, old. But suppose they were otherwise, what would it
avail? The question is not, can they reason? Nor can they talk? But, can they suffer?6
Dalam kutipan ini, Bentham mengatakan bahwa kapasitas dalam merasakan rasa sakit
sebagai karakter utama yang memberikan makhluk suatu pertimbangan kesetaraan. Lebih
tepatnya, untuk merasakan rasa sakit dan/atau kebahagiaan. Bagi Bentham seperti dikutip juga
oleh Singer bahwa kapasitas penderitaan dan merasakan kebahagiaan merupakan suatu prasyarat
6 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York; HarperCollins Publisher Inc., hal 7.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
untuk mendapatkan kepentingan. Kapasitas penderitaan dan kesenangan merupakan prasyarat
untuk memiliki kepentingan. Bentham juga mengatakan bahwa ini bukanlah tentang “hak”,
melainkan tentang “kesetaraan”.
Singer mengatakan pemberian pertimbangan untuk hewan adalah bahwa hewan juga
makhluk yang dapat merasakan sakit atau yang disebut dalam buku Animal Liberation karya
Peter Singer adalah makhluk sentient. Menurut Singer, makhluk sentient bukanlah makhluk yang
memiliki kecerdasan, melainkan makhluk yang memiliki kemampuan dalam merasakan sakit.
Batasan sentient adalah satu-satunya batas dipertahankan dari kepedulian terhadap kepentingan
hewan.7
Berangkat dari utilitarian Singer yang berbunyi equal consideration of interests atau
kesetaraan pertimbangan bagi kepentingan makhluk yang terkena pengaruh atas tindakan etis,
Singer ingin memberikan pertimbangan yang setara untuk hewan melihat karena membasiskan
teori utilitarian kepada makhluk sentient. Makhluk sentient merupakan makhluk yang dapat
merasakan sakit. Sama seperti halnya manusia, tentu hewan juga dapat merasakan sakit. Oleh
karena itu, anjing sebagai makhluk sentient juga harus diberi pertimbangan etis.
Seperti yang telah diketahui bahwa dalam kasus eliminasi anjing di Bali terdapat
kepentingan dua spesies yang saling berbenturan. Yaitu benturan antara kepentingan manusia
untuk menjaga stabilitas kesehatan dengan kepentingan anjing untuk tidak hidup dalam ancaman
eliminasi. Anjing-anjing di Bali yang dianggap telah menyebarkan penyakit rabies digunakan
sebagai alasan untuk mengambil cara eliminasi yang tidak tepat. Oleh karena itu, manusia harus
dapat bersikap egaliter terhadap hewan. Dalam kasus eliminasi anjing di Bali sangat terlihat
bahwa pemerintah masih sangat bersikap antroposentris terhadap anjing-anjing di Bali.
Anjing juga merupakan makhluk yang memiliki kemampuan merasakan rasa sakit,
Singer menyebutnya makhluk sentient. Bagi Singer, kemampuan untuk merasakan sakit
merupakan batas paling utama untuk mempertimbangkan hewan dalam pertimbangan keputusan
etis yang akan diambil. Dengan demikian, anjing sebagai makhluk sentient juga harus
dipertimbangkan kepentingannya. Apalagi anjing merupakan hewan yang berhubungan langsung
dengan kasus eliminasi akan dan akan menerima pengaruh dari putusan-putusan yang diambil
untuk mengurangi angka rabies.
7 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York; HarperCollins Publisher Inc., hal. 5.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kasus ini telah terjadi, sehingga langkah untuk
pencegahan sudah tidak dapat dijadikan sebagai jalan keluar. Alasan tersebut menjadikan
eliminasi sebagai jalan keluar yang terakhir, walaupun sesungguhnya eliminasi bukanlah jalan
keluar yang terbaik. Utilitarian juga mengajarkan bahwa suatu hal yang benar adalah sesuatu
yang berguna bagi kuantitas atau kualitas terbanyak. Hal tersebut mengindikasikan adanya suatu
kepentingan yang harus dikorbankan. Namun, hal yang harus dikorbankan tersebut nantinya juga
harus tetap turut dipertimbangkan. Kemampuan anjing dalam merasakan sakit harus
dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengambil tindakan etis pada kasus eliminasi anjing di
Bali.
Cara eliminasi yang dilakukan sekarang adalah dengan cara tulup dan dipukul. Cara
tersebut sangatlah tidak mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mempertimbangkan
kepentingan anjing. Cara tersebut tentu dapat mengakibatkan penderitaan anjing yang lebih
panjang karena saat dieliminasi anjing-anjing tersebut tidak langsung mati sehingga anjing-
anjing tersebut harus merasakan sakit terlebih dahulu. Penulis setuju dengan pendapat dari
Animal Shanti bahwa jika memang eliminasi dianggap sebagai jalan keluar yang paling tepat
untuk mengurangi angka rabies di Bali seharusnya dilakukan dengan cara put to sleep atau sering
disebut sebagai euthanasia yang merupakan cara eliminasi yang tidak menimbulkan rasa sakit,
yaitu dengan cara memberi obat yang dapat membuat anjing terkantuk lalu langsung kehilangan
nyawa ketika tertidur. Cara eliminasi dengan cara put to sleep ini sama dengan euthanasia yang
disinggung oleh Singer sebagai berikut:
“'Euthanasia' means, according to the dictionary, 'a gentle and easy death', but it is now
used to refer to the killing of those who are incurably ill and in great pain or distress, for
the sake of those killed, and in order to spare them further suffering or distress.”8
Prinsip dasar moral kaum utilitarian adalah memaksimalkan pleasure dan meminimalkan
pain. Ketika anjing harus dieliminasi dengan alasan demi kebahagiaan dan kepentingan society
bagi manusia dan hewan lainnya agar tidak turut terjangkit rabies, maka yang dapat dilakukan
adalah mengeliminasi dengan cara meminimalkan rasa sakit anjing ketika dieliminasi. Ketika
anjing yang telah terbukti terjangkit rabies dan tidak dapat disembuhkan lagi tidak dieliminasi,
maka kemungkinan anjing tersebut akan menularkan penyakit sehingga akan menimbulkan
8 Taking Human Life, diunduh dari http://www.utilitarianism.net/singer/by/1993----.htm, 29 Mei 2014.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
penderitaan, baik bagi manusia, maupun hewan lainnya. Bagi kaum utilitarian seperti Singer,
yang menjadi permasalahan utama adalah penyiksaan atau penderitaan yang berkepanjangan,
bukan kematian itu sendiri. Sehingga, eliminasi dapat dijustifikasi dengan catatan dilakukan
dengan cara yang etis, yaitu cara yang tidak menimbulkan rasa sakit.
Jika eliminasi anjing tersebut dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit,
maka seluruh kepentingan yang berbenturan dalam kasus ini turut dipertimbangkan. Manusia
yang memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kesehatan dan kepentingan hewan untuk
tidak merasakan penderitaan juga dapat dipertimbangkan. Sehingga dapat memaksimalkan
pleasure dan meminimalkan pain. Dengan demikian, prinsip utilitarian dapat diterapkan dalam
eliminasi anjing di Bali.
Cara yang dilakukan oleh Pemerintah Bali untuk mengeliminasi anjing adalah dengan
cara ditulup, dipukul dan diracun sehingga menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan.
Singer mengatakan bahwa kita dapat mengetahui hewan tersebut merasakan sakit. Kita dapat
merasakan sakit dan dapat mengetahui bahwa kita merasakan sakit secara langsung dari apa yang
kita rasakan. Namun kita tidak dapat merasakan rasa sakit makhluk lain, sesama manusia
maupun hewan, namun yang jelas manusia dan hewan sama-sama dapat merasakan sakit, dan
kita tidak dapat merasakan hal yang sama dengan mereka karena rasa sakit dalam orang lain
hanya dapat kita duga dari berbagai indikasi eksternal. Sikap penanda termasuk menggeliat,
perubahan mimik muka, rintihan, meronta-ronta berusaha menghindari sumber rasa sakit. hewan
juga memiliki sistem syaraf seperti manusia yang merespon secara fisiologis ketika dalam
keadaan merasakan sakit.
Selain rasa sakit secara fisik, hewan juga dapat merasakan sakit secara mental. Hewan
juga dapat merasakan takut atas teror dan ancaman. Pemerintah Inggris telah melaporkan bahwa
hewan mampu menderita fisik, rasa takut, cemas, stress, dan sebagainya. Kepedulian akan
kesadaran yang dimiliki oleh hewan telah menjadi subjek yang serius untuk investigasi.
Lalu bagaimana dengan bahasa? Sesama hewan mungkin dapat berkomunikasi dengan
baik, lalu bagaimana berkomunikasi dengan manusia? Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa
“we cannot meaningfully attribute states of consciousness to beings without language.”9
Kaitan antara bahasa dan adanya rasa sakit adalah untuk mempermudah kita mengetahui
makhluk lain sedang merasakan sakit melalui ucapannya. Akan tetapi ini dapat terpatahkan
9 Peter Singer, Animal Liberation, 2002, New York: HarperCollins Publisher Inc.,, hal 14.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
karena ucapan atau bahasa bukanlah fakta yang dapat dijustifikasi ketika seseorang dapat
berbohong. Bagi Singer, bahasa bukanlah sekadar bahasa sistematik yang digunakan oleh
manusia normal. Bahasa juga merupakan simbol-simbol seperti bahasa tubuh. Dalam
menunjukkan rasa sakit, hewan memperlihatkan rasa sakit melalui bahasa tubuh dan suara atau
jeritan seperti bayi yang sedang merasakan sakit. Dalam buku Animal Liberation, ada salah satu
contoh spesiesme yang sangat terlihat terkait permasalahan bahasa ini. Bayi yang baru lahir juga
belum dapat berbicara, namun kita masih dapat merasakan bahwa ia merasakan sakit ketika kita
tampar misalnya.10
Namun pada hewan, walaupun hewan tersebut sudah meronta-ronta kesakitan
tetap saja kita tak mempedulikannya.
Manusia speciesists adalah manusia yang menyebabkan rasa sakit pada hewan dan tidak
akan menyebabkan rasa sakit yang mirip dengan manusia untuk alasan yang sama.11
Ini bukan
berarti bahwa kita harus berpegang teguh pada anggapan bahwa membunuh anjing adalah salah
seperti salahnya membunuh manusia. Karena membedakan secara saksama antara manusia dan
hewan lainnya memungkinkan adanya perbedaan yang harus dibuat dalam spesies kita sendiri.
Keberatan atas pembunuhan harus sama dengan keberatan dengan pembunuhan orang dewasa
normal.
Untuk menghindari adanya spesiesme, Singer mengatakan bahwa kita harus menghargai
bahwa makhluk yang bersangkutan mempunyai hak yang sama untuk hidup dan anggota spesies
biologis kita tidak dapat menjadi suatu kriteria moral yang relevan untuk hak ini. Kita telah
mengetahui bahwa kita tidak boleh membunuh manusia dewasa yang normal dengan alasan
mereka memiliki kepedulian terhadap diri dan dapat merencanakan suatu hal untuk masa depan.
Tikus dan hewan lainnya yang tidak termasuk ke dalam karakter ini setidaknya kita tidak bisa
menganggap bahwa spesies manusia memiliki kelebihan sehingga dapat memperlakukan hewan
dengan keji. Hewan tetap mempunyai hak untuk hidup di luar tekanan.
Sakit adalah sakit, apapun kapasitas yang dimiliki oleh suatu spesies lainnya tetap tidak
dapat mengubah hak hewan untuk hidup. Lalu bagaimana jika kita harus memilih antara
kehidupan manusia atau kehidupan hewan? Singer mengatakan bahwa kita harus memilih
kehidupan manusia. Tapi ada kasus-kasus tertentu yang mengharuskan hal sebaliknya, yaitu
ketika manusia tidak memiliki kapasitas untuk dapat dikatakan sebagai manusia normal.
10
Ibid. 11
Ibid., hal. 17.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
Preferensi dalam kasus manusia normal untuk menyelamatkan manusia melebihi hewan adalah
preferensi berdasarkan fakta karakteristik yang manusia miliki, bukan pada fakta bahwa mereka
adalah anggota dari spesies kita sendiri.
Kepentingan-kepentingan yang manusia dan hewan miliki memang berbeda, begitupun
dengan kapasitas mental dan kecerdasan. Namun, bagi Singer, untuk memberikan kesetaraan
pertimbangan kepentingan bagi hewan, pasti ada satu hal yang sama antara manusia dengan
hewan, yaitu kesamaan dalam merasakan penderitaan dan menikmati kesenangan. Batasan
hewan merupakan makhluk sentient merupakan alasan yang rasional untuk mengikutsertakan
kepentingan hewan.
Kesimpulan
Pulau Bali termasuk dalam provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus rabies yang sangat
tinggi serta mengakibatkan korban jiwa yang tinggi pula. Hal tersebut diduga karena tingginya
populasi anjing di Bali yang sebagian besar diliarkan. Angka rabies yang terus meningkat di Bali
menjadikan rabies dianggap sebagai teror yang mengancam masyarakat Bali. Dalam rangka
mengurangi angka rabies yang tinggi dan memberantas virus rabies, Pemerintah Bali memilih
untuk mengeliminasi anjing di Bali. Namun, langkah ini tetap saja tidak dapat meminimalisir
tingginya angka rabies di Bali. Hal tersebut dikarenakan kurangnya koordinasi antara Pemerintah
Bali dengan Dinas Peternakan Bali.
Cara Pemerintah Bali dalam mengeliminasi anjing adalah dengan cara ditulup, dipukul,
diracun, dan ditembak. Cara eliminasi tersebut adalah cara yang salah karena mengakibatkan
anjing-anjing yang dieliminasi tidak langsung mati sehingga mengakibatkan rasa sakit yang
berkepanjangan. Banyak pihak yang mengecam cara eliminasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Bali, terutama organisasi-organisasi pecinta hewan yang ada di Bali. Penolakan tersebut muncul
karena cara eliminasi yang tidak sesuai dengan asas kesejahteraan hewan.
Dalam teori utilitarianisme, dikatakan bahwa pertimbangan yang diberikan harus
menyeluruh. Pertimbangan bahwa hewan juga dapat merasakan sakit merupakan tolok ukur
utama dalam membuat putusan etis terhadap hewan. Anggapan bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki derajat lebih tinggi harus dihilangkan, karena bagi Singer, manusia dan
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
hewan sama-sama makhluk sentient. Oleh sebab itu, kita harus mengikutsertakan hewan dalam
seluruh putusan etis yang kita ambil.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kasus eliminasi anjing di Bali untuk
menjelaskan bagaimana manusia dan hewan merupakan makhluk yang sama-sama dapat
merasakan sakit, serta untuk melihat bagaimana seharusnya utilitarisnisme memberikan suatu
solusi terhadap suatu masalah. Utilitarianisme sangat memperhatikan konsekuensi dan
pertimbangan yang menyeluruh.
Jika melihat dari penjelasan kasus yang telah dijelaskan lalu dikaitkan dengan
pemahaman utilitarianisme, penulis menganggap bahwa kasus eliminasi anjing di Bali tidak
sejalan dengan prinsip utilitarianisme. Penulis menganggap bahwa eliminasi anjing di Bali hanya
memperhatikan pertimbangan manusia yang merasa terancam oleh teror rabies. Kepentingan
anjing sebagai makhluk sentient tidak dipertimbangkan. Oleh karena itu, penulis menganggap
bahwa kasus eliminasi anjing di Bali merupakan contoh kasus spesiesme.
Selain itu, penulis juga menggugat Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang
penanggulangan rabies yang belum memadai. Banyak pasal-pasal dalam Peraturan Daerah Bali
tentang penanganan rabies yang masih terlihat sangat antroposentris dan akan merugikan hewan.
Menurut penulis, hal tersebut dikarenakan bahwa Pemerintah Bali belum mengerti mengenai
konsep kesejahateraan hewan. Sehingga, Pemerintah Bali hanya mempertimbangkan
kepentingan manusia. Ketidakpahaman Pemerintah Bali mengenai kesejahteraan hewan
mengakibatkan pengambilan kebijakan untuk mengurangi angka rabies di Bali dengan cara yang
salah.
Penulis juga menggugat hukum perlindungan untuk hewan yang belum bisa disebut
sebagai hukum perlindungan hewan. Penulis menganggap bahwa hukum tersebut belum secara
menyeluruh melindungi hewan. Kurangnya efek jera dalam hukuman tentu akan membuat kasus-
kasus kekerasan terhadap hewan akan terus muncul. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hukum
perlindungan terhadap hewan tidak bersifat jangka panjang.
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
Saran
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa Undang-undang perlindungan
hewan di Indonesia sangatlah kurang memadai. Penulis menyarankan kepada Pemerintah untuk
duduk bersama dengan organisasi-organisasi penyayang hewan dan dokter hewan untuk
membahas bagaimana Undang-undang perlindungan hewan seharusnya. Penulis menganggap
apabila hanya pemerintah saja yang mengeksekusi Undang-undang ini, dikhawatirkan
Pemerintah hanya akan memikirkan anggaran saja, tanpa adanya pertimbangan kesejahteraan
hewan.
Penulis telah menjelaskan kondisi di beberapa negara yang telah memberikan hak khusus
kepada salah satu organisasi penyayang hewan, seperti Royal Society for the Prevention of
Cruelty to Animals yang mendapatkan status khusus dari Kerajaan Inggris. Penulis menyarankan
di Indonesia juga seharusnya memiliki organisasi penyayang hewan yang diberikan wewenang
legal untuk menyelidiki kasus-kasus penyiksaan terhadap hewan. Selain untuk memberikan
wewenang kepada pihak yang lebih paham, cara tersebut juga akan lebih memudahkan
pemerintah dalam mengawasi keadaan hewan di Indonesia.
Pemerintah Bali tidak seharusnya mengeliminasi anjing di Bali dengan cara yang salah.
Selain itu, sudah seharusnya penambahan anggaran untuk vaksinasi dan pembuatan
penampungan untuk anjing liar di Bali dilakukan. Pemerintah Bali juga harus memahami tentang
bagaimana cara mengeliminasi hewan dengan benar.
Terakhir, setelah Pemerintah memahami tentang konsep kesejahteraan hewan dan cara
mengeliminasi anjing yang benar, organisasi penyayang hewan seharusnya memberikan
pemahaman bagaimana masyarakat memperlakukan hewan dengan benar. Masyarakat perlu
menerapkan cara hidup utilitarian. Dengan menerapkan cara hidup utilitarian, akan muncul
keselarasan antara hubungan manusia dengan alam. Hal tersebut muncul karena utilitarian
menganjurkan kita untuk mempertimbangkan seluruh kepentingan yang terkena pengaruh dari
tindakan kita.
Daftar Referensi
Buku:
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014
Keraf, Sonny. Etika Lingkungan, 2002, Jakarta: Kompas.
Mill, John Stuart. (2001). Utilitarianism. Ontario: Batoche Books.
Singer, Peter. (2002). Animal Liberation. New York: HarperCollins Publisher.
__________. (2011). Practical Ethics: Third Edition. New York: Cambridge University Press.
__________. (2006). In Defense of Animals: The Second Wave. Victoria: Blackwell Publishing.
Website:
Jumlah Kasus Gigitan Anjing di Bali Meningkat Drastis, 2 Juni 2014.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/05/10/n5cbxu-jumlah-kasus-gigitan-anjing-
di-bali-meningkat-drastis
Welfarian Bali, Untuk Menghentikan Eliminasi Massal yang Berkedok Penanggulangan Rabies
Secara Tidak Manusiawi & Mulai Bekerjasama dengan Organisasi-organisasi yang Peduli pada
Binatang. Diakses 12 Maret 2014, 16:51 WIB.
https://www.change.org/petitions/gubernur-bali-dinas-peternakan-untuk-menghentikan-
eliminasi-massal-yang-berkedok-penanggulangan-rabies-secara-tidak-manusiawi-mulai-
bekerjasama-dengan-organisasi-organisasi-yang-peduli-pada-binatang
Singer, Peter. Taking Human Life, Diakses 29 Mei 2014.
http://www.utilitarianism.net/singer/by/1993----.htm
Spesiesme dalam..., Della Edelia Lisdiyati, FIB UI, 2014